high mandibular ramus fracture- endoscopy treatment
TRANSCRIPT
10.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2018
HIGH MANDIBULAR RAMUS FRACTURE- ENDOSCOPY TREATMENT
Disusun Oleh:
Drg. Putri Rejeki, SKG
NIK. 1987100920180122001
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat segala karunia dan berkat-Nya penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul “High Mandibular Ramus Fracture- Endoscopy Treatment”.
Karya ilmiah ini disusun dalam rangka memenuhi penugasan pada Program Studi
Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tahun 2018. Dalam
penyusunan karya ilmiah ini, berbagai bantuan, petunjuk, serta saran dan masukan penulis
dapatkan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis berterimakasih
kepada beberapa pihak yang membantu melancarkan pembuatan dari karya ilmiah ini, yaitu:
1. Dr. dr. Ni Made Linawati, M.Si, Koordinator Prodi yang telah membantu dan
membimbing penulis dalam menyusun karya ilmiah ini.
2. drg. Steffano Aditya Handoko, MPH yang telah membantu dan membimbing penulis
dalam menyusun karya ilmiah ini.
3. Serta teman-teman dosen dan sejawat lain di PSPDG Universitas Udayana yang tidak
bisa disebutkan satu persatu namanya.
Penulis sadar bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan rekomendasi demi kesempurnaan karya
ilmiah ini. Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberi manfaat kepada
semua orang.
Om Santih Santih Santih Om
Denpasar, 6 Juni 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
1.3.1 Tujuan Umum ...................................................................... 2
1.3.2 Tujuan Khusus ..................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................. 3
1.4.1 Bagi Penulis ......................................................................... 3
1.4.2 Bagi Instansi Pendidikan ..................................................... 3
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 4
BAB III KAITAN DENGAN TEORI ..................................................................... 7
3.1 Gambaran Umum Fraktur Pada Pasien ................................................. 7
3.2 Penanganan Definitif Fraktur ................................................................ 8
3.2.1 Reduksi Terbuka (Open Reduction) ..................................... 10
3.2.2 Rigid internal fixation (RIF) ................................................. 11
3.3 Pertimbangan Khusus Pada Condylar Fracture................................... 14
3.4 Penggunaan Endoskopi Pada Fraktur High Ramus
Mandibular (Subcondylar Fracture) ................................................. 15
3.4.1 Akses Pembedahan ............................................................... 15
3.4.2 Kelebihan dan Kekurangan Penanganan Endoskopi ............ 17
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 20
4.1. Simpulan ............................................................................................. 20
4.2. Saran ................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ................................................................................................................. 4
Gambar 2 ................................................................................................................. 5
Gambar 3 ................................................................................................................. 6
Gambar 4. ................................................................................................................ 6
Gambar 5 ................................................................................................................. 8
Gambar 6 ................................................................................................................. 8
Gambar 7 ................................................................................................................. 9
Gambar 8 ............................................................................................................... 13
Gambar 9 ............................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepala merupakan bagian yang sangat vital dari tubuh manusia
dikarenakan perannya yang sangat kompleks. Kepala sendiri tidak terlindungi
secara topografis sehingga mudah terpapar trauma. Hal tersebut menyebabkan
fraktur maksilofasial merupakan cedera yang sering dijumpai. Fraktur
maksilofasial merupakan salah satu kasus trauma yang memiliki insidensi dan
kebutuhan finansial tinggi, diikuti dengan terjadinya kerusakan pada bentuk fisik,
fungsi, maupun estetika (Pandey dkk, 2015; Leles dkk, 2010).
Fraktur pada regio maksilofasial seringkali menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak, gigi, dan komponen skeletal wajah. Fraktur yang terjadi pada regio
maksilofasial dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perkelahian,
terjatuh, kecelakaan saat berolah raga, kecelakaan saat bekerja, maupun
kecelakaan lalu lintas (Malik, 2012; Leles dkk, 2010; Hupp dkk, 2014).
Salah satu lokasi fraktur maksilofasial adalah fraktur mandibula. Fraktur
mandibula merupakan putusnya kontinuitas tulang mandibula (Ajmal dkk, 2007).
Walaupun faktanya mandibula merupakan yang terbesar dan terkuat dari tulang
wajah, bagian ini sangat sering mengalami fraktur yang disebabkan oleh
bentuknya yang menonjol dan lokasinya yang terekspos pada bagian kepala
(Schön, 2003). Lokasi fraktur mandibula bervariasi, diantaranya pada ramus
horizontal, angulus, kondilus, simfisis, ramus vertikal, prosesus alveolaris, dan
prosesus koronoid (Tomich 2011). Fraktur dari kondilus (condylar) bisa
diklasifikasikan menjadi fraktur intracapsular (condylar head), condylar neck,
dan subcondylar/ high ramus fracture (Shahid dkk, 2009).
Penatalaksanaan bedah dari fraktur mandibula sendiri diantaranya adalah
Closed reduction with maxillomandibular fixation (MMF), Open reduction with
internal fixation (ORIF), dan Endoscopic-assisted reduction with internal fixation
(ERIF) (Bayat, 2016). Pemilihan jenis penanganan fraktur mandibula yang tepat
masih diperdebatkan (Handschel, 2012). Pada literatur masih sangat kurang
mengenai konsensus yang tepat untuk penanganan fraktur pada area condylar
1
2
(Aslan, 2016; You, 2016). Disamping itu, pada saat ini pasien bedah fraktur
maksilofasial sangat memperhatikan segi estetis pasca bedah dikarenakan
banyaknya keluhan bekas luka akibat penatalaksanaan pembedahan, maka
pencarian solusi yang lebih baik pada prosedur bedah sangat diperlukan (Bayat,
2016).
Salah satu pentalaksanaan yang digunakan fada fraktur mandibula adalah
Endoscopic-assisted reduction with internal fixation (ERIF). Pada
penatalaksanaan ini digunakan suatu teknik yaitu endoskopi. Endoskopi
merupakan pemeriksaan menggunakan endoskop. Endoskop sendiri adalah
teropong untuk memeriksa rongga di dalam pembuluh, saluran, dan liang yang
sempit-sempit dalam beberapa bagian tubuh (KBBI, 2016).
Selain penatalaksanaan untuk fraktur subcondylar yang mirip dengan
fraktur high ramus mandibular yang merupakan kasus pada jurnal dapat ditangani
dengan bantuan endoskopi, teknik visualisasi endoskopi memiliki keuntungan
diantaranya merupakan teknik yang sangat membantu aspek estetis pada proses
insisi, dapat memperkecil bekas luka, hemostasis yang lebih baik, peningkatan
visualisasi dalam bedah, dan pemulihan post operatif yang lebih singkat (Kumar,
2016; Lee, 1998). Keuntungan yang ditawarkan oleh penggunaan endoskopi
sangat sesuai dengan kebutuhan para pasien dan juga para dokter yang melakukan
pembedahan. Oleh karena itu karya ilmiah ini akan membahas mengenai
penggunaan teknik endoskopi pada fraktur high ramus mandibular.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah penatalaksanaan bedah fraktur ramus mandibula
menggunakan endoskopi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1Tujuan Umum
Mengetahui penatalaksanaan bedah fraktur ramus mandibula
menggunakan endoskopi.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui kelebihan dan kekurangan penatalaksanaan bedah fraktur
3
ramus mandibula menggunakan endoskopi.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Penulis
Manfaat penelitian ini bagi penulis diharapkan dapat menambah
informasi dan membuka wawasan penulis.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat penelitian ini bagi institusi pendidikan diharapkan dapat
menjadi salah satu tambahan informasi dalam pelaksanaan kegiatan belajar di
Universitas Udayana.
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien M.K.L., 18 tahun, perempuan, mencari penanganan trauma
maksilofasial di Rumah Sakit Vitória (Curitiba-Paraná), untuk perbaikan fraktur
mandibula. Pada pemeriksaan klinis, pasien menunjukkan pergeseran dalam
pembukaan mulut ke arah sisi kanan, keterbatasan membuka mulut, nyeri pada
manipulasi, dan perpindahan oklusal mandibula di daerah antara gigi 33 dan 34.
Pada pemeriksaan ekstraoral, ia mengalami peningkatan volume kecil pada bagian
kanan wajah, tanpa luka robek atau memar. Pemeriksaan biokimia darah tidak ada
perubahan. Gambarancomputed tomography (CT) mengkonfirmasi adanya fraktur
ramus atas mandibula di sisi kanan yang berhubungan dengan fraktur
parasymphisis di sisi kiri (gambar 1).
Gambar 1 - Gambar CT scan menunjukkan fraktur ramus atas mandibula di sisi kanan dan fraktur
parasymphisis di sisi kiri (Tiboni dkk, 2017)
4
5
Untuk operasi reduksi fraktur parasymphisis, akses intraoral diusulkan
dengan insisi dibawah vestibulum pada derah fraktur untuk reduksi dan fiksasi
dengan dua sistem plat 2.0 Osteomedsecara paralel. Pada saat itu, diputuskan
untuk menggunakan self-compressed plates untuk mendapatkan kompresi aksial
dari stumps dan terjadi reduksi fraktur secara anatomis. Untuk fraktur ramus
mandibula, direncanakan akses insisi intraoral yang mirip dengan osteotomi
sagital pada ramus dan visualisasi endoskopi (Karl Storz Endoscopei ® 1,9 mm).
Endoskopi digunakan untuk membantu penempatan tulang dan fiksasi fraktur.
Untuk daerah ini, kami menggunakan plat dengan empat sekrup Sistem 2.0
(gambar 2).
Gambar 2 - (A) Pemasangan trocar untuk memungkinkan akses yang lebih baik dari endoskopi ke
daerah yang fraktur; (B) Perangkat endoskopi digunakan untuk fiksasi fraktur ramus atas
mandibula (Tiboni dkk, 2017).
Selama prosedur pembedahan, akses intraoral dilakukan dan kemudian
menempatkan retraktor Bauer & Merrill-Lavasseur yang diposisikan untuk
mengekspos fraktur. Selama prosedur, pasien tetap dipertahankan posisinya
denganintermaxillary fixture (IMF) sehingga dia tidak mengalami perubahan
oklusi (gambar 3). Endoskopi (angulasi optik tingkat nol) dipasang dan
ditempatkan secara intraoral melalui lubang yang dibuat oleh trocar. Dengan
demikian, pandangan tegak lurus dari fraktur diperoleh untuk membantu dalam
reduksi fraktur. Gambar yang diambil oleh endoskopi menunjukkan reduksi
anatomi yang tepat dari fraktur (gambar 4).
6
Gambar 3 - (A) Akses Intraoral untuk fiksasi fraktur parasimphysis mandibula; (B) Penyumbatan
maksilomandibular menggunakan sekrup IMF dan kawat baja; (C) Rigid internal fixation (RIF)
dari fraktur parasimphysis menggunakan dua sistem pelat paralel 2,0 dengan empat lubang dan
satu lagi dengan enam lubang; (D) Akses intraoral pada ramus mandibula, retraksi dengan
retraktor Bauer & Merrill-Lavasseur; (E) Tampak depan fraktur ramus atas mandibula (Tiboni
dkk, 2017).
Gambar 4 – Gambar yang diambil oleh endoskop memperlihatkan hasil dari rigid internal
fixation (RIF) (Tiboni dkk, 2017).
BAB III
KAITAN DENGAN TEORI
3.1 Gambaran Umum Fraktur Pada Pasien
Fraktur diartikan sebagai berhentinya atau putusnya kontiunitas dari
tulang. Pada laporan kasus diatas, secara umum pasien mengalami simple
fracture. Pada kondisi ini garis fraktur tidak terekspos dengan lingkungan luar
karena jaringan lunak yang meliputinya masih utuh (Borle, 2014). Fragmen yang
telah fraktur pada mandibula perpindahannya juga dapat dipengaruhi oleh tarikan
otot yang berafiliasi dengan mandibula. Pada pemeriksaan CT Scan tidak terjadi
perpindahan segmen fraktur High Ramus Mandibular ke arah vertikal maupun
horizontal,maka berdasarkan perpindahan oleh karena otot, fraktur ini dapat
diklasifikasikan sebagai vertically favorable dan horizontally favorable.
Favorable sendiri terjadi ketika fragmen yang fraktur akan cenderung saling
mendekat satu sama lain daripada berpisah. Sebuah fraktur muncul pada lokasi
dimana terjadinya gaya dan fraktur muncul pada lokasi tersebut dikarenakan
tekanan pada tulang maka disebut sebagai direct fracture.Apabila fraktur juga
muncul pada lokasi persilangan dari vektor yang dihasilkan oleh gaya tegangan
maka disebut sebagai indirect fracture. Sebagai contoh, terdapat fraktur pada
parasymphysismengakibatkan fraktur langsung pada parasymphysis. Vektor dari
gaya bergerak ke condylar neck dan menginduksi terjadinya indirect fracture pada
subcondylaratau high ramus mandibular. Pada pasien yang mengalami fraktur
khususnya fraktur mandibular terdapat beberapa kondisi klinis yang dapat
dijumpai sepertifacial asymmetry yang diakibatkan oleh edema dan hematoma,
trismus dan keterbatasan pergerakan mandibula, rasa sakit pada saat pergerakan,
pada palpasi terdapat step deformity yang dikarenakan pergeseran segmen yang
fraktur, ketidaksesuaian oklusi yang juga disebabkan oleh segmen yang fraktur
dan lain lain.
7
8
Gambar 5 – Perlekatan otot pada mandibula menyebabkan perpindahan segmen yang fraktur
(Borle, 2014).
Gambar 6 – (A) Direct Fracture, (B) Indirect Fractur, dan (C) Berbagai macam kombinasi
Direct dan IndirectFracture (Borle, 2014).
3.2 Penanganan Definitif Fraktur
Pada penanganan definitif fraktur terdapat beberapa langkah yaitu: (Borle,
2014)
• Reduksi
• Imobilisasi
• Fiksasi (biasanya diaplikasikan pada reduksi terbuka ketika fragmen
fraktur diperbaiki dengan implan).
Aspek pertama dan yang paling penting dalam penanganan bedah adalah
untuk mereduksi fraktur dengan tepat, atau menempatkan segmen-segmen fraktur
9
untuk kembali memiliki hubungan yang baik satu sama lain. Pada reduksi tulang
yang berkaitan dengan keberadaan gigi, hal yang paling penting adalah
mengembalikan hubungan oklusi seperti sebelum terjadinya cedera (Peterson dkk,
1998). Dengan mengembalikan posisi anatomis yang semula, maka penyembuhan
dapat terjadi dengan baik dan cepat (Borle, 2014).
Setelah segmen yang fraktur direduksi ke posisi yang tepat untuk
membangun hubungan oklusi yang baik, dilakukan imobilisasi untuk
mempertahankan posisi oklusi. Rahang atas dan rahang bawah diimobilisasi
dengan mempertahankan keduanya bersama dalam hubungan oklusi disebut
sebagai intermaxillary fixation (IMF) atau maxillo-mandibular fixation.
Penanganan fraktur yang hanya menggunakan IMF disebut sebagai reduksi
tertutup (closed reduction) karena dalam penanganan ini tidak melibatkan
pembukaan secara langsung, eksposur, dan manipulasi pada bagian yang fraktur
(Borle, 2014; Peterson dkk, 1998).
Berbagai modalitas yang digunakan untuk intermaxillary fixation adalah:
(Borle, 2014)
1. Wiring, salah satunya adalah teknikivy loop wiring,
2. Arch bars
3. Splints
Gambar 7 – Ivy Loop Wiring (Borle, 2014).
10
3.2.1 Reduksi Terbuka (Open Reduction)
Setelah melakukan reduksi tertutup pada mandibula dan
menempatkan alveolar process pada oklusi yang tepat dengan maksila,
apabila terdapat indikasi yang kuat untuk melakukan reduksi terbuka
(Open Reduction), maka dapat dilanjutkan degan tahap berikutnya.
Reduksi terbuka adalah ketika garis fraktur terekspos danreduksi fraktur
dilakukan dibawah pengamatan visual secara langsung, serta reduksi
fraktur yang dilakukan melalui operasi insisi (Borle, 2014; Peterson dkk,
1998).
Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan penanganan reduksi
terbuka diantaranya adalah: (Borle, 2014)
1. Fraktur yang berpindah secara jelas, dengan perpindahan yang besar
atau menimpa segmen yang fraktur
2. Unfavorable fracture pada angulus
3. Fraktur lama yang tidak tereduksi dikarenakan fibrous adhesions
4. Fraktur yang tidak sembuh dengan benar pada leher kondilus dimana
segmen proksimal berpindahke arah medial.
5. Fraktur pada pasien epilepsi dimana IMF menjadi kontraindikasi.
6. Dimana morbiditas pada pasien karena IMF harus dihindari
Ketika reduksi terbuka dilakukan, akses bedah secara langsung ke
bagian fraktur harus didapatkan. Akses ini bisa didapatkan melalui
beberapa pendekatan bergantung pada lokasi fraktur. Pendekatan dalam
pembedahan harus menghindari struktur vital seperti saraf, duktus, dan
pembuluh darah dan meninggalkan seminimal mungkin bekas luka
(Peterson dkk, 1998).
Adapun modalitas untuk melakukan reduksi terbuka diantaranya
adalah: (Borle, 2014)
- Compression bone staples-rigid fixation
- Champhy’s miniplates-semirigid fixation
11
3.2.2 Rigid internal fixation (RIF)
Metode rigid internal fixation menggunakan bone plates, bone
screws, atau keduanya untuk memfiksasi fraktur lebih rigid dan
menstabilisasi segmen-segmen tulang selama masa penyembuhan.
Keuntungan dari teknik fiksasi rigid untuk penanganan fraktur
mandibula termasuk penurunan rasa tidak nyaman dan kerepotan pada
pasien karena, IMF mengeliminasi atau mengurangi peningkatan nutrisi
pasca operasi, peningkatan kebersihan pasca operasi, keamanan yang
lebih tinggi pada pasien dengan seizures, dan penanganan pasca operasi
pada pasien dengan cedara yang banyak menjadi lebih baik (Peterson
dkk, 1998). Dengan teknik rigid fixation, pasien dimungkinkan untuk
sembuh tanpa menggunakan IMF atau setidaknya pengurangan masa
penggunaan IMF. Ketika fragmen yang fraktur didekatkan dan
ditempatkan bersama secara rigid dengan bantuan implan, penyembuhan
tulang berlangsung lebih cepat. Untuk memungkinkan terjadinya
penyembuhan tulang yang baik stabilitas segmen fraktur yang telah
didekatkan harus cukup untuk menetralkan semua pembengkokan, torsi
dan gaya geser terhadap mandibula yang seharusnya diterima selama
berfungsi (Borle, 2014).
Sebelum memasang fiksasi internal apapun pada segmen tulang,
sudah seharusnya untuk membangun hubungan oklusi yang baik dengan
membuat intermaxillary fixation pada hubungan oklusi (Borle, 2014;
Peterson dkk, 1998).
Kekurangan dari compression plate adalah plat tersebut sangat
tebal dan mungkin dapat terdeteksi pada subkutan di lokasi tertentu.
Tekniknya rumit dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Stress shielding
juga mempengaruhi tulang yang berada di dibawah pemampatan (Borle,
2014).
Kebutuhan akan plat yang tebal dirasa tidak perlu, dan plat yang
lebih tipis direkomendasikan dengan stabilitas yang dapat diterima.
Jenis fiksasi monocortical plates dari Champy adalah semirigid. Diamati
bahwa aktivitas osteosintetis optimal disepanjang area tertentu selama
12
masa penyembuhan fraktur dan di rekomendasikan penggunaan plat
disepanjang garis osteosintetis untuk memberikan penyembuhan yang
lebih awal dan baik (Champy dkk, 1977).
Pada regio interior garis ini terdapat dua, satu pada inferior border
dan yang lain terdapat dibawak apeks gigi. Keuntungan utama dari
teknik ini adalah platnya tidak terlalu tebal dan semua lokasi dengan
mudah diakses secara intraoral, sehingga dapat menghindari bekas luka
pada wajah.Pada fraktur subkondilar dapat difiksasi melalui insisi
preauricular atau Risdon’s submandibular dengan ekstensi
retromandibular atau dengan pendekatan Hind’s post ramal. Pada
fraktur low subcondylar mudah untuk memasang plat, namun untuk
fraktur high subcondylar sangat sulit untuk menanganinya dikarenakan
fragmen proksimal biasanya berpindah sangat parah dan sulit untuk
dikendalikan (Borle, 2014).
Gambar 8 – Champhy’s line (Borle, 2014).
Pada saat melakukan pemasangan plat, celah diantara plat dan tulang
harus minimal. Sekrup harus diamankan dengan kuat dan dikencangkan
sampai tidak ada lagi sekrup yang mungkin berputar oleh karena tekanan
berkekuatan sedang. Kelebihan tekanan dapat menyebabkan fraktur mikro
disekeliling poros sekrup yang menyebabkan longgarnya sekrup dan adanya
13
mobilitas mikro, yang mungkin dapat mengakibatkan kegagalan implan dan
peningkatan kemungkinan infeksi (Borle, 2014).
Sekrup yang digunakan untuk plat pada tempat fraktur terdapat dua
jenis, self-tapping dan non-self tapping. Self tapping merupakan kemampuan
dari sekrup untuk melaju ketika diputar sembari membuat ulirnya sendiri
(Borle, 2014).
Gambar 9 – Champhy’s plate dan screws dan berbagai lokasi pada mandibula di sepanjang
Champhy’s line (Borle, 2014).
3.3 Pertimbangan Khusus Pada Condylar Fracture
Selama penanganan fraktur mandibula, beberapa kondisi khusus
membutuhkan perhatian lebih dan perubahan yang tepat pada penanganannya.
Salah satunya adalah cedera kondilus. Fraktur kondilus dapat diklasifikasikan
menjadi: (Borle, 2014)
• Intracapsular fractures (fraktur kepala kondilus)
o Undisplaced
o Comminuted
o Cortical injuries/cortical chippling biasanya bagian medialnya.
• Extracapsular fractures (fraktur leher kondilus)
o High subcondylar
o Low subcondylar
Fraktur subkondilar juga dapat diklasifikasikan sebagai:(Borle, 2014)
• Undisplaced
• Medially undisplaced (dikarenakan tarikan oleh lateral pterygoid)
• Laterally displaced (lebih jarang)
• Fracture dislocation (kondilus menjadi berpindah posisi dari glenoid fossa
14
dan berpindah posisi ke arah medial di infratemporal fossa yang
disebabkan oleh tarikan otot pterygoid lateral)
Permasalahan dengan reduksi yang tepat dan fiksasi fraktur kondilus
menggunakan mini plat tunggal telah dievaluasi. Ditemukan bahwa perpindahan
segmen kondilus yang disebabkan oleh tarikan otot yang merugikan dari otot
pterygoid lateral dan tekanan fungsional yang bekerja pada segmen proksimal
melebihi kemampuan atau rigiditas satu miniplat, terjadinya kegagalan plat dan
melonggarnya sekrup. Oleh karena itu, direkomendasikan penggunaan dua
miniplat. Ditemukan efek menguntungkan yaitu mengembalikan tekanan dan
memberikan stabilitas terhadap tarikan otot (Hammer dkk, 1997).
3.4 Penggunaan Endoskopi Pada Fraktur High Ramus Mandibular
(Subcondylar Fracture)
Dalam penanganan fraktur mandibula yang tidak mengalami perpindahan
lokasi, melakukan pengobatan konservatif melalui IMF adalah yang paling umum
digunakan. Hasil fungsional yang baik dalam tindak lanjut dari kasus non-bedah
telah dilaporkan, tetapi kasus non-bedah membutuhkan terapi fungsional pasca
operasi yang lebih lama. Terapi fungsional diindikasikan untuk meningkatkan
hasil rehabilitasi artikular ketika ketidaksesuaian fungsional hadir (Troulis &
Kaban, 2001). Namun, dalam banyak kasus fraktur ramus mandibula jarang
terjadi sendiri, biasanya berhubungan dengan fraktur rahang lain dan / atau
fraktur dari sepertiga tengah wajah. Jika hal tersebut terjadi, perawatan bedah
menjadi pilihannya (Jadhav dkk, 2015).
3.4.1 Akses Pembedahan
Dalam penanganannya akses pra-aurikularis diindikasikan untuk fraktur
kondilus mandibula, ada beberapa aspek negatif, seperti padalower fractures
dan high ramus fractures. Akses tersebut tidak memungkinkan dokter bedah
untuk bekerja tegak lurus terhadap garis fraktur, yang membatasi fiksasi rigid
dan membuat prosedur lebih tidak nyaman (Salgarelli dkk, 2013). Akses pra-
aurikularis, submandibular, intraoral, dan retromandibular adalah yang paling
sering digunakan untuk membuat fiksasi internal rigid pada fraktur kepala
mandibula (You dkk, 2016). Karena anatomi ramus yang dibungkus oleh otot
15
masseter dan otot pterygoid medial serta ligamen pterygoid-masseter, bahkan
setelah fraktur, pemindahan tunggul (stumps) minimal. Karena itu, sebagian
besar ahli bedah memilih perawatan tertutup. Namun, reduksi tertutup
memiliki keterbatasan tertentu seperti fiksasi maxillomandibular (MMF) yang
berkepanjangan, kebersihan rongga mulut yang tidak terawat, resiko
gangguan saluran napas, ketidakpatuhan pasien, kekurangan makanan, dan
keterlambatan pemulihan (Jadhav dkk, 2015).
Akses submandibular menawarkan bidang penglihatan yang luas, tetapi
panjang bekas luka dari sayatan merupakan kerugian yang paling penting.
Akses pra-aurikularis cocok untuk fraktur intrakapsular TMJ. Dalam kasus
fraktur subkondilaris, garis insisi harus diperpanjang pada bagian bawah
telinga untuk meningkatkan akses. Pendekatan transparotid retromandibular
memiliki keuntungan yang signifikan dan menawarkan hasil biaya-manfaat
terbaik untuk mengakses low fractures of mandibular head dan high ramus
fracture. Garis fraktur dapat terlihat dengan jelas dan, jika perlu, sayatan
dapat dengan mudah diperpanjang melalui wilayah pra-aurikularis dan daerah
marginal mandibula (Aslan dkk, 2016). Namun, jika dibandingkan dengan
akses intraoral, akses ekstraoral sering dikaitkan dengan angka komplikasi
operasi yang lebih tinggi, seperti terbentuknya fistula kelenjar liur, bekas luka
yang tampak, dan luka pada nervus facialis. Maka dari itu, diharapkan akan
adanya peningkatan popularitas pada operasi yang lebih sedikit menggunakan
teknik yang invasif di masa yang akan datang (You dkk, 2016).
Pada kasus yang berhubungan fraktur mandibula, dimana sudah jelas
merupakan indikasi adanya operasi, dievaluasi untuk pelaksanaan insisi
intraoral yang berhubungan dengan visualisasi endoskopik untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Tujuan yang ingin dicapai pada
perawatan fraktur adalah: hilangnya rasa sakit pada saat membuka mulut.
Bukaan dengan jarak interincisal lebih dari 40 mm, pergerakan mandibula
yang baik untuk semua sisi, pembentukan ulang oklusi pre trauma, stabilisasi
TMJ, dan simetri yang baik pada wajah (Mueller dkk, 2006). Tujuan dari
perawatan ini hanya dapat dicapai dengan visualisasi fraktur yang baik, baik
dengan endoskopi atau dengan penglihatan tradisional (Haug & Brandt,
16
2004). Hasil dari endoskopi lebih aman dan prosedur yang lebih tepat.
Biasanya fragmen tulang di daerah artikular sangat sulit untuk dilihat, pada
kasus-kasus ini penggunaan endoskop yang berhubungan dengan akses
intraoral mengurangi masalah dalam eksekusi operasi (Chen dkk, 1999).
Untuk memastikan oklusi akan stabil, IMF hanya dilakukan pada
periode trans-operatif. Pasien sebelumnya diinformasikan apabila tidak
dimungkinkan untuk mengakses fraktur secara intraoral untuk fiksasi, sebagai
pelengkapnya akses intraoral dapat dilakukan, dengan resiko ini akan
merusak nervus facialis.
3.4.2 Kelebihan dan Kekurangan Penanganan Endoskopi
Kedekatan saraf wajah ke TMJ membahayakan akses ke segmen yang
retak. Upaya untuk meningkatkan akses bedah dapat mengakibatkan
kerusakan langsung pada saraf wajah atau cedera traksi selama retraksi
daristump. Pendekatan intraoral reduksi terbuka, dirancang untuk mengatasi
masalah ini, telah dilaporkan, tetapi jarang digunakan, karena penglihatan
yang buruk dan fiksasi yang sulit. Penggunaan endoskopi untuk mengobati
cedera artikular merupakan bagian dari manajemen invasif yang minimal dari
trauma craniofacial.
Pendekatan endoskopi memiliki potensi untuk mengurangi morbiditas
bedah dengan mengurangi bekas luka, mengurangi risiko kerusakan saraf
wajah, menghilangkan kebutuhan untuk IMF, mendapatkan keuntungan dari
meningkatkan reduksi secara anatomis, dan memungkinkan fiksasi yang rigid
(Mueller dkk, 2006). Namun, kemampuan operator masih diperlukan untuk
mengatasi langkah tersulit dari prosedur endoskopi: diseksi subkutan,
manajemen perdarahan jaringan lunak, dan penanganan instrumen khusus.
Pilihan pendekatan apa pun, apakah ekstraoral atau intraoral, mungkin
memiliki konsekuensi yang berbeda, tetapi itu tidak mengubah manfaat
memiliki profesional yang terlatih (Guarda-Nardini dkk, 2005).
Memfasilitasi penanganan untuk mereduksi fraktur tulang dengan
medial displacement dengan sudut medial lebih dari 90 dapat menjadi
kerugian bagi teknik endoskopi. Meskipun memiliki anatomi yang kompleks,
17
teknik ini membantu menjaga struktur dan mengurangi risiko pada saraf
wajah (Liao dkk, 2015).
Nilai positif penggunaan endoskopi adalah pengurangan cedera jaringan
yang dikaitkan dengan paparan tulang yang kurang dari daerah artikular
(Lauer, 2015). Paparan ini yang dapat menyebabkan hilangnya vaskularisasi
tulang kepala mandibula dan kemudian nantinya dapat menyebabkan
komplikasi.
Fraktur head of mandible adalah indikasi untuk pengobatan endoskopi
jika sisa proksimal tulang cukup untuk menerima dua sekrup untuk fiksasi
plat kecil (Mueller dkk, 2006). Untuk fiksasi fraktur mandibula, dua plat kecil
tampaknya lebih tepat daripada hanya satu selama perbaikan.
Dalam perawatan cedera kondilus mandibula, endoskopi tidak hanya
membantu pelaksanaan bedah tetapi juga mengubah paradigma dari
pengobatan konservatif RIF menjadi reduksi anatomis fraktur (Mueller dkk,
2006).
Masalahnya adalah bahwa penggunaan intraoral endoskopi
membutuhkan pelatihan ekstensif untuk semua anggota tim dan memiliki
biaya yang lebih tinggi (Schön dkk, 2003). Teknik ini memiliki beberapa
keterbatasan: (a) fraktur yang sangat comminuted adalah kontraindikasi untuk
perbaikan endoskopi, karena didasarkan pada melihat garis dari fraktur untuk
reduksi anatomi dan beberapa derajat kontak antara fragmen untuk fiksasi
yang rigid (Schön dkk, 2003; (b) ketika fraktur parah, rasa tidak nyaman dan
comminuted atau rekonstruksi wajah yang besar dengan membutuhkan
melakukan akses tradisional intra dan ekstraoral untuk eksposur dan
visualisasi yang lebih besar (Vasconcelos dkk, 2005).
Risiko untuk kelumpuhan saraf wajah atau komplikasi neurologis
lainnya cukup sering terjadi untuk teknik RIF melalui akses ekstraoral, secara
teoritis dapat dikurangi menggunakan teknik ini (Lauer, 2015). Namun, di
lain sisi operasi yang dibantu endoskopi terbukti membutuhkan lebih banyak
waktu untuk diimplementasi. Pelatihan intensif dan penggunaan retraktor
spesifik adalah wajib untuk pelaksanaan trans-oral fraktur kondilus
mandibula. Namun, endoskopi, bila diindikasikan dengan baik, dapat
18
menawarkan keunggulan dibandingkan pengobatan tradisional. berkurangnya
waktu operasi dapat dikatakan sebagai keuntungan dari teknik RIF untuk
akses ekstraoral. Akses intraoral, seperti yang digunakan dalam osteotomi
sagital dari ramus mandibula, memiliki lebih banyak waktu yang dikurangi.
Dipahami bahwa, untuk memfasilitasi reduksi fraktur dan pengurangan waktu
yang dihabiskan dalam operasi, instrumen bedah kecil harus dikembangkan
(Vasconcelos dkk, 2005)
Sehubungan dengan waktu operasi, tidak ada perbedaan yang diamati
mengenai penggunaan visualisasi endoskopik. Penggunaan endoskopi
mengurangi waktu yang dihabiskan pada saat penjahitan, karena telah
mengurangi jumlah akses bedah, fakta yang mungkin telah mengompensasi
waktu yang dihabiskan dalam perakitan peralatan (Tiboni dkk, 2017).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Pada proses reduksi, dikarenakan posisi fraktur terdapat pada bagian atas
ramus mandibula, akses insisi intraoral digunakan untuk mencapai fraktur untuk
melakukan reduksi terbuka. Sebelum melakukan reduksi terbuka, reduksi tertutup
dilakukan untuk mendapatkan oklusi yang baik sehingga dalam proses tidak
terjadi pergerakan oklusi dan kedepannya proses pemulihan juga dapat berjalan
dengan baik. Untuk mendapatkan visualilasi dilakukan endoskopi. Penggunaan
endoskopi untuk mereduksi fraktur yang terlokalisasi pada bagian atas ramus
mandibula akan dapat memberikan hasil yang lebih estetik, prosedur bedah infasif
yang lebih minimal dengan waktu pemulihan yang lebih singkat dan resiko yang
lebih rendah untuk pasien. Setelah didapatkan visualisasi yang baik maka
penempatan internal rigid fixation dapat dilakukan dengan baik. Pemilihan
internal rigid fixation dilakukan karena dapat memberikan dampak positif yang
lebih banyak diantaranya, proses penyembuhan akan berlangsung lebih cepat
pasca proses operasi.
4.2. Saran
Diharapkan kedepannya penanganan bedah akan lebih banyak dilakukan
dengan meminimalisir pembedahan yang infasif agar dapat memberikan hasil
yang lebih baik dan lebih memudahkan melakukan tindakan operasi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ajmal, S., Khan, M.A., Jadoon, H. and Malik, S.A., 2007. Management protocol
of mandibular fractures at Pakistan Institute of Medical Sciences,
Islamabad, Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad, 19(3).
Aslan, C., Hoşnuter, M., Baş, S., Tan, O., Işık, D. and Durgun, M., 2016.
Retromandibular transparotid approach to mandibular subcondylar and
high ramus fractures: two-point fixation. Ulus Travma Acil Cerrahi
Derg, 22(1), pp.40-45.
Bayat, M., Parvin, M., & Meybodi, A. A. (2016). Mandibular Subcondylar
Fractures: A Review on Treatment Strategies. Electronic Physician, 8(10),
3144–3149. http://doi.org/10.19082/3144
Bindra, S., Choudhary, K., Sharma, P., Sheorain, A. and Sharma, C.B., 2010.
Management of mandibular sub condylar and condylar fractures using
retromandibular approach and assessment of associated surgical
complications. Journal of maxillofacial and oral surgery, 9(4), pp.355-
362.
Borle, R.M., 2014. Textbook of oral and maxillofacial surgery.(pp 402-424). JP
Medical Ltd.
Champy, M., Lodde, J.P., Muster, D., Wilk, A. and Gastelo, L., 1977.
Osteosynthesis using miniaturized screws on plates in facial and cranial
surgery. Indications and results in 400 cases. In Annales de chirurgie
plastique (Vol. 22, No. 4, p. 261).
Chen, C.T., Lai, J.P., Tung, T.C. and Chen, Y.R., 1999. Endoscopically assisted
mandibular subcondylar fracture repair. Plastic and reconstructive
surgery, 103(1), pp.60-65.
Fernandes, V.S., Ramos, N., Matias, J., Andrade, M. and Fraga, Z.B., 2004. The
use of endoscope in maxillo-facial trauma. Acta medica portuguesa, 17(2),
pp.141-4.
Guarda-Nardini, I., Fusetti, S., Lobbio, A., Mair, D., Procopio, O., Bedogni, A.
and Ferronato, G., 2005. Endoscopic-assisted surgery in the treatment of
mandibular condyle neck fractures. International Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery, 34, p.47.
Hammer, B., Schier, P. and Prein, J., 1997. Osteosynthesis of condylar neck
fractures: a review of 30 patients. The British journal of oral &
maxillofacial surgery, 35(4), pp.288-291.
Handschel, J., Rüggeberg, T., Depprich, R., Schwarz, F., Meyer, U., Kübler, N.R.
and Naujoks, C., 2012. Comparison of various approaches for the
treatment of fractures of the mandibular condylar process. Journal of
Cranio-Maxillo-Facial Surgery, 40(8), pp.e397-e401.
Haug, R.H. and Brandt, M.T., 2004. Traditional versus endoscope-assisted open
reduction with rigid internal fixation (ORIF) of adult mandibular condyle
fractures: a review of the literature regarding current thoughts on
management. Journal of oral and maxillofacial surgery, 62(10), pp.1272-
1279.
Hupp JR. Ellis E., Tucker MR. 2014 Contemporary oral and maxilofacial surgery.
6th ed. Missouri: Elsevier Mosby, pp. 496-9.
Jadhav, A., Mundada, B., Deshmukh, R., Bhutekar, U., Kala, A., Waghwani, K.
and Mishra, A., 2015. Mandibular ramus fracture: an overview of rare
anatomical subsite. Plastic surgery international, 2015.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2016. Endoskop
http://kbbi.web.id/endoskop. Diakses pada tanggal 26 Juni 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2016. Endoskopi
http://kbbi.web.id/endoskopi. Diakses pada tanggal 26 Juni 2018.
Kumar, A., Yadav, N., Singh, S., & Chauhan, N. (2016). Minimally invasive
(endoscopic-computer assisted) surgery: Technique and review. Annals of
Maxillofacial Surgery, 6(2), 159–164. http://doi.org/10.4103/2231-
0746.200348
Lauer, G., 2015. Endoscopically assisted open reduction and internal rigid fixation
of subcondylar and condylar neck fractures using 3-D-plates. International
Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, 44, p.e10.
Lee C. 1998. Subcondylar fracture of the mandible: an endoscopic-assisted
technique. Operative Techniques in Plastic and Reconstructive Surgery,
5(3):287-94.
Leles JLR, Santos EJD, Jorge FD, Silva ET, Leles CR. 2010. Risk factors for
maxillofacial injuries in a Brazillian Emergency Hospital sample. J Appl
Oral Sci, vol 18, no 1, pp. 23-4.
Liao, H.T., Wang, P.F. and Chen, C.T., 2015. Experience with the transparotid
approach via a mini-preauricular incision for surgical management of
condylar neck fractures. Journal of Cranio-Maxillo-Facial Surgery, 43(8),
\p.1595-1601.
Malik NA.2012. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 3rd ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, pp. 365-72, 403-5, 428-30.
Mueller, R.V., Czerwinski, M., Lee, C. and Kellman, R.M., 2006. Condylar
fracture repair: use of the endoscope to advance traditional treatment
philosophy. Facial Plastic Surgery Clinics, 14(1), pp.1-9.
Pandey S, Roychoudhury A, Bhutia O, Singhal M, Sagar S, Pandey RM. 2015.
Study of the pattern of maxillofacial fractures seen at a Tertiary Care
Hospital in North India. J Maxillofac Oral Surg, vol 14, no1, pp. 32-3
Peterson, L.J., Ellis, E., Hupp, J.R. and Tucker, M.R. eds., 1988. Contemporary
oral and maxillofacial surgery (pp. 501-517). St. Louis, MO: Mosby.
Salgarelli, A.C., Anesi, A., Bellini, P., Pollastri, G., Tanza, D., Barberini, S. and
Chiarini, L., 2013. How to improve retromandibular transmasseteric
anteroparotid approach for mandibular condylar fractures: our clinical
experience. International journal of oral and maxillofacial surgery, 42(4),
pp.464-469.
Scariot, R., Oliveira, I.A.D., Passeri, L.A., Rebellato, N.L.B. and Müller, P.R.,
2009. Maxillofacial injuries in a group of Brazilian subjects under 18 years
of age. Journal of applied oral science, 17(3), pp.195-198.
Schön, R., Schramm, A., Gellrich, N.C. and Schmelzeisen, R., 2003. Follow-up of
condylar fractures of the mandible in 8 patients at 18 months after
transoral endoscopic-assisted open treatment. Journal of oral and
maxillofacial surgery, 61(1), pp.49-54.
Shahid R. Aziz, DMD, MD, FACS, & Vincent B. Ziccardi, DDS, MD. (2009).
Endoscopically Assisted Management of Mandibular Condylar Fractures.
Atlas Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 17, 71–74.
Tiboni, F., Scariot, R., Gebert, A.O. and Signorini, L., 2017. High mandibular
ramus fracture–endoscopy treatment: a case report in adult. RSBO Revista
Sul-Brasileira de Odontologia, 14(2), pp.106-113.
Tomich, G., Baigorria, P., Orlando, N., Méjico, M., Costamagna, C. and
Villavicencio, R., 2011. Frequency and types of fractures in maxillofacial
traumas. Assessment using multi-slice computed tomography with
multiplanar and three-dimensional reconstructions. Rev Argent Radiol, 75,
pp.305-317.
Troulis, M.J. and Kaban, L.B., 2001. Endoscopic approach to the ramus/condyle
unit: clinical applications. Journal of oral and maxillofacial
surgery, 59(5), pp.503-509.
Vasconcelos BCE, Oliveira e Silva ED, NogueiraRVB, Sá AS, Cassundé MFP. ,
2005. The use of minimally invasive surgical procedures for the treatment
of mandibular condyle fractures. Revista de Cirurgiae Traumatologia
Buco-Maxilo-Facial, 5(2), pp. 25-32.
You, H.J., Moon, K.C., Yoon, E.S., Lee, B.I. and Park, S.H., 2016. Clinical and
radiological outcomes of transoral endoscope-assisted treatment of
mandibular condylar fractures. International journal of oral and
maxillofacial surgery, 45(3), pp.284-291.