refrat mata
DESCRIPTION
....TRANSCRIPT
BAB IPendahuluan
Mata merupakan salah satu indra yang sangat penting untuk kehidupan manusia.
Terlebih lagi dengan majunya teknologi, indra penglihatan yang baik merupakan kebutuhan
yang tidak dapat diabaikan. Mata merupakan bagian yang sangat peka. Meskipun mata telah
mendapat perlindungan dari tulang orbita, bantalan lemak retrobulber, kelopak mata dengan
bulu matanya, juga dengan telah dibuatnya macam-macam alat untuk melindungi mata, tetapi
frekuensi kecelakaan masih sangat tinggi.
Kemajuan teknologi dan bertambah banyaknya kawasan industri meningkatkan
kecelakaan akibat pekerjaan, kecelakaan akibat kepadatan lalu lintas, belum terhitung
kecelakaan akibat perkelahian, yang kesemuanya dapat mengenai mata. Pada anak-anak
kecelakaan mata biasanya terjadi akibat alat dari permainan yang biasa dimainkan seperti
panahan, ketapel, senapan angin, tusukan dari gagang mainan dan lain-lain.
Trauma tajam mata sering merupakan penyebab kebutaan unilateral pada dewasa muda.
Kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang parah. Dewasa muda,
terutama pria, merupakan kelompok yang kemungkinan besar mengalami cedera tembus
mata. Kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan api, cedera akibat olahraga, dan kecelakaan
lalu lintas merupakan keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata.
Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari cedera. Bola mata
terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh hubungan tulang yang kuat. Kelopak
mata bisa segera menutup untuk membentuk penghalang bagi benda asing dan mata bisa
mengatasi benturan yang ringan tanpa mengalami kerusakan. Trauma tajam dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata dan rongga orbita. Trauma
pada mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih
berat ataupun kebutaan.
1
Perforasi bola mata merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada
keadaan ini kuman mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat menyebabkan kerusakan
susunan anatomi dan fungsional jaringan intraokuler. Trauma tembus dapat berbentuk
perforasi sklera, prolaps badan kaca maupun prolaps badan siliar
2
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Definisi
Menurut Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT) yang dimaksud trauma tembus
adalah trauma yang mengakibatkan adanya "pintu masuk" terjadinya luka (injury with an
entance wound) yang menembus ke intraokular. Mekanisme terjadinya trauma tembus pada
mata ini adalah trauma terbuka (open globe).
Gambar 1. Klasifikasi trauma menurut BETT
Trauma tembus menyebabkan gangguan pada lapisan mata terluar tanpa menganggu
kontinuitas anatomi keseluruhan mata, tidak sampai terjadi prolapsus dari isi bola mata.
Namun demikian trauma ini menjadi hal yang sangat serius dan mengancam fungsi
penglihatan yang memakan waktu serta biaya yang mahal dan prognosis kebanyakan kasus
adalah buruk.
3
Gambar 2. Klasifikasi trauma menurut America ocular trauma society
Trauma tembus pada mata merupakan laserasi dengan luka yang tunggal dengan
ketebalan penuh disebabkan objek yang tajam tanpa adanya jaringan yang keluar (exit
wound) sedangkan perforasi akibat trauma terdapat laserasi akibat trauma yang
mengakibatkan keluarya jaringan disebabkan oleh benda yang sama.
Gambar 3. Trauma tembus pada mata
Apabila yang terjadi adalah trauma tembus (penetrasi), objek menembus masuk struktur
tertentu di dalam mata, namun apabila yang terjadi adalah perforasi, luka akan berjalan
melewati struktur tersebut. Sebagai contoh, suatu objek yang berhasil melewati kornea dan
tersangkut di segmen anterior melubangi (terjadi perforasi) kornea tetapi menembus mata.
4
trauma mata meknikal
trauma tertutup
kontusio
superficial foreign
lamellar laserasi
trauma tebuka
laserasi
perforasi
peneterasi
IOFBruptur
Perforasi menyebabkan gangguan anatomi yang komplit dari sklera maupun kornea, dan bisa
saja berhubungan dengan prolapsus struktur internal.
B. Etiologi dan epidemiologi
Trauma tembus pada mata merupakan salah satu ancaman bagi penglihatan dan dapat
terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Hal-hal yang berkaitan dengan kejadian trauma ini
antara lain,
1. Pekerja industri terbanyak pada industri logam.
2. Pekerja pertanian misahiya karena tusukan duri ranting atau dirunduk oleh hewan
seperti sapi seperti yang terjadi di India.
3. Peralatan rumah tangga seperti pisau, gunting, jarum.
4. Olahraga seperti bola kaki, bola basket, baseball, biasanya sering dialami anak-anak
dan dewasa muda. Pada orang yang bepergian dibawah pengaruh alkohol bisa saja
terjadi trauma secara tidak sadar mengakibatkan kecelakaan.
5. Kelalaian yang mengakibatkan cedera akibat benda tajam seperti pisau, pecahan kaca.
6. Bencana perang
7. Penggunaan senjata api
Smith, Wrenn, Lawrence (2002) melakukan penelitian dan mendapatkan hasil dari 372
kasus trauma tembus, 26.1% berkaitan dengan pekerjaan industri, 23.1 % disebabkan
kelalaian berakibat cedera, 22.9% terjadi pada anak-anak, 14.9% karena kecelakaan lalu
lintas, dan 12% terjadi sehari-hari akibat kelalaian penggunaan alat rumah tangga.
Secara umum insiden trauma mata terbuka sebanyak 3.6-3.8 per 100.000 populasi
seluruh dunia dimana puncak insidensi ada pada kelompok dewasa rata-rata di sekitaran usia
30-an tahun, remaja <20 tahun dan orangtua usia >70.
5
Studi lainnya menyebutkan angka kejadian trauma tembus berkisar 3.1 dari
100.000orang.70-80 % terjadi pada kaum pria, kecuali pada lansia dan bayi.Bisa dikatakan
perbandingannya 3:1 antara pria dengan wanita, ini dikarenakan laki-laki lebih sering
berhadapan dengan aktivitas beresiko terhadap paparan trauma ocular.
Kecenderungan pada anak-anak terutama yang tumbuh dalam keluarga miskin atau
pendidikan rendah atau pengawasan yang buruk lebih sering terpapar dengan trauma. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Daza A.B Larque,dkk pada 92 pasien rawatan open globe
trauma (trauma terbuka) di Hospital de Poniente sebanyak 72% trauma intraokular ini
disebabkan oleh trauma tembus.
C. Patofisiologi
Keutuhan struktur anatomi mata dapat terganggu karena adanya paparan benda seperti
jarum, stik, pensil, pisau, mata panah, pulpen, kaca maupun benda tajam lainnya yang
menyebabkan perlukaan pada mata atau bisa juga karena peluru berkecepatan tinggi atau
potongan logam.Beratnya trauma bergantung pada ukuran objek, kecepatan menembus dan
kandungan yang terdapat didalamnya. Benda yang tajam seperti pisau akan mengakibatkan
laserasi sempurna pada mata. Sementara benda yang melayang ditentukan oleh energi kinetik
dalam hal menyebabkan berat ringannya trauma yang dialami penderita.
Luka bisa saja hanya terkena pada kornea dan tidak sampai menembus segmen anterior
yang mungkin kecil kemungkinan hilang penglihatan namun dalam proses penyembuhannya
akan meninggalkan bekas (skar). Lentikular difus atau lokalisata terjadi akibat trauma di
segmen anterior yang melibatkan kapsul anterior dari lensa.Terbentuknya traksi pada vitreo-
retina dan skar beberapa saat setelah terjadinya luka di bagian posterior berperan penting
terhadap kejadian lepasnya retina (retinal detachment).
Enukleasi pada mata bisa diakibatkan oleh infeksi, abses vitreous, sinekia anterior,
katarak dan fractional retinal detachment.Trauma tembus pada salah satu mata (unilateral)
6
dapat menyebabkan reaksi inflamasi simpatis pada mata yang tidak terkena trauma kapanpun
mulai 2 minggu sampai hitungan tahun dimana terjadi penyakit autoimun saat pigmen uveal
dikeluarkan dan masuk aliran darah menyebabkan produksi antibodi dan akibatnya terjadi
uveitis di kedua mata baik yang terpapar trauma maupun yang tidak. Faktor resiko akan
terminimalisasi apabila jaringan mata yang terpapar trauma ini dibuang dalam waktu 2
minggu jika tidak ada lagi bukti untuk menyelamatkan fiingsi penglihatannya dan jika pada
mata yang terpapar trauma ini tetap berlangsung proses inflamasi.
D. Gejala klinis
Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata maka akan
terlihat tanda-tanda trauma tembus seperti:
1. Nyeri 2. Tajam penglihatan yang menurun
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Boo Sup Oum, dkk di Korea trauma tembus
menjadi penyebab teratas terhadap terjadinya penurunan akuisi visual dilanjutkan berturut-
turut dengan IOF, retinal detachment, corneal ulcer, chemical burn, dan penyebab lainnya
3. Defek kehitaman (prolapsus koroid) atau prolapsus vitreous
4. Injeksi sklera dan perdarahan subkonjungtiva
5. Kebocoran cairan vitreous
6. Hyphaema
7. Prolapsus iris
8. Lensa yang dislokasi, katarak traumatik
9. Tekanan bola mata rendah
10. Bilik mata dangkal
11. Bentuk dan letak pupil yang berubah
12. Pupil yang tidak sama; berdilatasi dan nonreaktif pada sisi yang terkena
13. Terlihatnya ada ruptur pada kornea atau sklera
7
Gejala yang muncul dari trauma tembus mata dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Efek mekanik langsung
Efek yang segera muncul setelah terjadinya trauma okular yang terlihat bergantung
bagaimana efek mekanik pada struktur yang terlibat.Yang paling umum ditemukan
adalah laserasi di kornea maupun sklera dengan atau tanpa keterlibatan struktur mata
lainnya. Dapat muncul dalam beberapa variasi seperti:
simple corneal laceration, melibatkan kornea dan tertahan sampai di limbus, tidak
ada keterlibatan iris, lensa maupun vitreous
stellate corneal laceration
corneal laceration with iris incarseration, laserasi kornea lebih lanjut dengan bagian
anterior mengalami pendangkalan dengan tertahannya iris maupun prolapsus iris.
corneal laceration with lens involvement, laserasi yang besar pada kornea disertai
prolapsus iris sering melibatkan lensa. Trauma minimal karena tembakan atau
tusukan juga dapat menyebabkan kerusakan pada lensa. Kerasakan tersebut dapat
melibatkan kapsul anterior, korteks, kapsul posterior dan zonula. Dapat menyebabkan
katarak traumatik bergantung sejauh mana akibat dari trauma yang ditimbulkan
corneal laceration with vitreous involvement, laserasi yang sudah melibatkan lensa
sering diikuti dengan terganggunya bagian vitreous
simple corneoscleral laceration, penyembuhan dari jaringan sklera dapat begitu
berbeda dari kornea dan limbus, hal ini dikarenakan tidak terjadi pembengkakan pada
seratnya namun cenderung ada kontraksi akan tetapi tidak ada lapisan epitel maupun
endotel untuk menutup celah sehingga tujuan untuk pemulihan secara primer tidak
terjadi
posterior scleral laceration
corneoscleral laceration with tissue loss
irreparable penetrating injury
8
b. Efek kontusio
Kebanyakan kasus trauma tembus pada mata berhubungan dengan efek kontusio,
bervariasi mulai dari abrasi kornea yang sederhana sampai rupturnya bola mata.Pada
beberapa kasus, perubahan bisa saja lamban atau malah progresif. Untuk itu pasien
harus tetap dalam pengawasan untuk beberapa bulan.9
c. Infeksi
Ada tiga mekanisme terjadinya infeksi:
Infeksi primer; terjadi bersamaan dengan trauma
Infeksi sekunder; infeksi ini terjadi sebelum luka pulih/sembuh
Infeksi yang terjadi lambat; timbul akibat konsolidasi skar yang buruk khususnya apabila ada fistula
Infeksi menjadi tantangan besar dalam manajemen trauma tembus oleh karena
bisa mengakibatkan komplikasi di kemudian hari seperti cincin abses di kornea,
iridocyclitis purulen dengan hipopion, skleritis infeksi nekrotik, endophtalmitis,
panopthahnitis, jarang namun bisa saja terjadi yaitu adanya gas gangrene atau bahkan
tetanus okular.
d. Iridocyclitis post trauma
Kejadiannya cukup sering, muncul tanda-tanda inflamasi pada pasien seperti nyeri, mata
kemerahan, fotofobia, dan penurunan kemampuan melihat.
e. Sympathetic Ophtalmitis
Hal ini jarang terjadi, sifatnya bilateral, merupakan suatu granuloma dari panuveitis yang
terjadi setelah pembedahan atau trauma pada uvea salah satu nata.Onset klinis didahului oleh
inflamasi ringan oleh mata yang tidak ada trauma dan perburukan inflamasi pada mata yang
terkena trauma.
Gejala seperti nyeri, fotofobia, lakrimasi dan penglihatan kabur.Pencegahannya yaitu
dengan melakukan enukleasi pada mata yang terpapar trauma dalam 2 minggu setelah onset
9
trauma. Ini dikerjakan pada mata yang sudah terpapar trauma sangat berat dan tidak ada lagi
potensi untuk mengembalikan penglihatannya.
f. Benda asing intraokular yang tertahan
Materi atau partikel yang sering tertahan misalnya potongan besi atau logam,
batu, pecahan, sampai yang jarang seperti duri rerumputan.
E. Diagnosis
Untuk mendiagnosis suatu trauma tembus pada mata dapat dilakukan tahapan sebagai
berikut, dimulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Diagnosis dari trauma mungkin dapat terlihat nyata secara klinis dari pemeriksaan
fisik mata yang biasa dilakukan, akan tetapi tetap diperlukan anamnesis untuk
mencari tahu riwayat berhubungan dengan kejadian trauma tersebut untuk
mengetahui predisposisi bagaimana terjadinya penetrasi pada mata. Faktor yang perlu
ditanyakan seputar objek yang menembus mata antara lain, materi logam, proyektil
berkecepatan tinggi, tubrukan berenergi tinggi pada bola mata, benda tajam, serta
rendahnya proteksi pada mata.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik secara umum dan
pemeriksaan ophtalmikus.Sesegera mungkin, pemeriksa dapat menentukan akuisi
visual, yang menjadi prediktor reliabel untuk visual akhir pada mata yang mengalami
trauma dan melakukan pemeriksaan pada pupil untuk mendeteksi adanya defek pada
pupil aferen.Pemeriksaan akuisi visual dan pupil dilakukan pada kedua mata. Secara
khusus akuisi visual awal (kurang dari 20/200), adanya hifema, serta pupil dan uvea
10
yang abnormal adalah indikator dari trauma tembus pada mata yang harus sesegera
mungkin mendapat penanganan dan respon yang cepat oleh tenaga medis.
Evaluasi awal yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan akuisi visual, lapangan
pandang konfrontasional, pemeriksaan pupil, dan funduskopi mungkin dilakukan
secara ekstim karena ada penekanan yang menyebabkan ekstrusi dari isi bola mata
melalui perlukaan pada sklera maupun kornea. Tanda-tanda penetrasi yang dapat
dilihat yaitu prolapsus uvea, distorsi pupil, katarak, dan perdarahan vitreous.
Jika diduga sebagai suatu trauma tembus mata maka sudah seharusnya dilakukan
perlindungan yang aman dan nyaman terhadap mata yang terpapar trauma dengan pelindung
dari plastik yang jernih di sekitar mata (disanggakan ke dahi dan pipi).Eye patchtidak
dianjurkan untuk menghindari tekanan langsung pada mata. Pasien diberitahu untuk tidak
batuk dengan keras dan segera merujuk ke ophthalmologist untuk penanganan selanjutnya.
3. Pemeriksaan Penunjang
Apabila diduga sebagai suatu trauma tembus pada mata maka dapat dilakukan
pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan antara lain
dengan plain radiography, USG dan CT scan yang dapat memberikan informasi yang
adekuat apabila ada benda asing yang tertinggal di dalam mata.
F. Penatalaksanaan
Jika penanganan dengan teknik pembedahan diperlukan, maka waktu untuk
melakukannya sangat penting. Meskipun beberapa studi belum bisa mencatat beberapa
kerugian apabila dilakukan penundaan untuk perbaikan pada trauma terbuka sampai 36 jam
setelah kejadian, intervensi yang ideal sesegera mungkin dilakukan pada pasien. Perbaikan
segera dapat menolong untuk meminimalisir sejumlah komplikasi termasuk
nyeri
prolapsus struktur intraokular
11
perdarahan suprakoroidal
kontaminasimikrobapadajaringan
proliferasi mikroba ke dalam mata
migrasi epitel ke dalam jaringan
inflamasi intraokular
ketidakmampuan lensa ditembus cahaya
Hal-hal berikut ini sementara dapat dilakukan selama periode preoperatif:
Menggunakan pelindung pada mata
Hindari penggunaan obat topikal atau intervensi lainnya yang membuat kelopak mata harus dibuka
Pasien dipuasakan untuk persiapan operasi
Sediakan medikasi yang sesuai untuk sedasi dan kontrol nyeri
Mulailah pemberian antibiotik IV
Profilaksis tetanus
Konsul bagian anestesi
Trauma berhubungan dengan kontaminasi hal-hal yang kotor dan atau benda asing
intraokular yang tertahan membutuhkan perhatian khusus akan resiko Bacillus
endophtalmitis. Karena organisme ini dapat menghancurkan jaringan mata dalam 24 jam,
terapi antibiotik yang efektif terhadap Bacillus diberikan intravena maupun intravitreal,
biasanya golongan fluoroquinolone (seperti levofloxacin, moxifloxacin), clindamycin atau
vancomycin dapat dipertimbangkan. Pembedahan untuk perbaikan harus dilakukan sesegera
mungkin pada kasus beresiko terinfeksi organisme ini.
1. Terapi non pembedahan
Beberapa kasus trauma tembus ada yang sangat minimal yang didapatkan dari
pemeriksaan fisik awal dengan tidak ada kerusakan intraokular, prolapsus, atau
perlekatan.Kasus seperti ini mungkin hanya membutuhkan terapi antibiotik sistemik maupun
12
topikal selama pengawasan ketat.Jika terdapat kebocoran di jaringan komea, tetapi ruang
anterior tetap utuh, klinisi bisa mencoba untuk menghentikan kebocoran dengan farmakologi
menekan produksi aqueous (misal dengan |3-blocker sistemik atau topikal), penutup yang
dilekatkan ke mata, dan atau suatu kontak lensa terapeutik. Umumnya, apabila tindakan ini
gagal untuk menutup luka dalam 2-3 hari, pembedahan untuk penutupan dengan jahitan
direkomendasikan.
2. Pembedahan
Mata dapat bertahan dari terjadinya kerusakan internal yang berat bahkan dengan luka
yang nampaknya kecil.Pada kasus laserasi korneaskleral dengan prolapsus uvea biasanya
membutuhkan pembedahan.Tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan keutuhan dari
bola mata. Tujuan sekunder untuk memenuhi perbaikan primer yaitu mengembalikan
penglihatan melalui perbaikan kerusakan internal dan eksternal mata.
Apabila prognosis penglihatan mata yang terpajan trauma sangat tidak ada harapan dan
pasien beresiko untuk terjadi simpatetik oftalmia, tindakan enukleasi dapat dipertimbangkan.
Enukleasi primer seharusnya dikerjakan pada trauma yang benar-benar menghancurkan
jaringan mata sehingga untuk mengembalikan anatominya menjadi sangat tidak mungkin.
Pada beberapa kasus, penundaan enukleasi dalam beberapa hari memberi keuntungan
lebih daripada enukleasi primer.Penundaan ini (yang tidak boleh lebih dari 12-14 hari karena
bisa mencetuskan simpatetik oftalmia) diikuti dengan evaluasi fungsi penglihatan
postoperatif, konsultasi vitreoretina atau bedah plastik oftahnia dan stabilisasi kondisi umum
pasien. Lebih penting lagi, penundaan enukleasi mengikuti perbaikan yang gagal dan
hilangnya persepsi terhadap cahaya memberikan pasien waktu untuk mengetahui kehilangan
ini dan pertimbangan untuk melakukan enukleasi dalam keadaan non-emergensi.
Tindakan anastesi umum hampir selalu perlu untuk perbaikan dari trauma terbuka
karena injeksi anestesi lokal di retrobulbar maupun peribulbar meningkatkan tekanan orbita,
13
yang bisa mengakibatkan eksaserbasi atau ekstrusi dari isi intraokular. Setelah pembedahan
selesai, injeksi anestesi periokular dapat digunakan untuk kontrol nyeri paska operasi.
Pada penutupan luka segmen anterior, sebaiknya digunakan teknik-teknik bedah
mikro.Laserasi komea diperbaiki dengan jahitan nylon 10-0 untuk menghasilkan penutupan
yang kedap air. Iris atau corpus ciliare yang mengalami inkarserasi dan terpajan kurang dari
24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan viskoelastik atau dengan memasukkan
suatu spatula siklodialisis melalui insisi tusuk di limbus dan menyapu jaringan dari bibir luka.
Bila hal ini tidak dapat dilakukan, bila jaringan telah terpajan lebih dari 24 jam, atau bila
jaringan tersebut mengalami iskemia dan kerusakan berat, jaringan yang prolaps haras
dieksisi setinggi bibir luka.
Sampel untuk kultur diambil bila terdapat kecurigaan adanya superinfeksi bakteri atau
jamur, contohnya yang terjadi (terutama) pada benda asing organik dan cedera pada pekerja
perkebunan. Benda asing logam-berkecepatan tinggi sendiri biasanya steril.Sisa-sisa lensa
dan darah dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi mekanis atau dengan peralatan vitrektomi.
Pembentukan kembali bilik mata depan selama tindakan perbaikan dicapai dengan cairan
intraokular fisiologik, udara atau viskoelastik.
Luka di sklera ditutup dengan jahitan interrupted menggunakan benang nonabsorbable
8-0 atau 9-0. Setiap upaya dilakukan untuk mengidentiflkasi dan menutup perluasan sklera ke
posterior. Untuk sementara waktu, otot-otot rektus mungkin perlu dilepaskan dari insersinya
agar tindakan lebih mudah dilakukan.
Prognosis ablasio retina akibat trauma buruk karena adanya cedera makula, robekan
besar pada retina, dan pembentukan membran fibrovaskular intravitreal yang terjadi pada
trauma tembus. Membran-membran intravitreal tersebut menghasilkan gaya kontraktil yang
cukup besar untuk menimbulkan ablasio retina.
14
Vitrektomi merupakan tindakan terapi yang efektif, tetapi masih diperdebatkan kapan
sebaiknya tindakan ini dilakukan.Vitrektomi dini dengan antibiotik intravitreal diindikasikan
pada endoftalmitis. Pada kasus-kasus non-infeksi, penundaan pembedahan selama 10-14 hari
dapat menurunkan resikoperdarahan intraoperasi dan memungkinkan terjadinya perlepasan
vitreous posterior sehingga teknik bedah menjadi lebih mudah.
Bedah vitreoretina pada luka kornea yang besr dapat dilakukan melalui keratoprostesis
Landers-Foulke temporer sebelum melakukan tandur kornea (corned grafting). Enukleasi
maupun eviserasi primer dipertimbangkan hanya bila bola mata mengalami kerusakan total.
Mata sebelahnya rentan terhadap oftalmia simpatika bila terjadi trauma tembus mata,
terutama bila ada kerusakan di jaringan uvea walaupun hal ini sangat jarang terjadi.
G. Komplikasi
nyeri prolapsus struktur intraokular
perdarahan suprakoroidal
- kontaminasi mikroba pada jaringan
- proliferasi mikroba ke dalam mata
- migrasi epitel ke dalam jaringan
- inflamasi intraokular
- ketidakmampuan lensa ditembus cahaya
- hilangnya penglihatan yang ireversibel
- endophtalmitis
- oftahnia simpatik
- ablasio retina
- katarak
- perdarahan di vitreous
- retinal detachment1,8,12,17
15
Suatu penelitian yang dilakukan Rao Laavanya, dkk dari 166 pasien sejumlah komplikasi
yang dijumpai adalah sebagai berikut:
- 56.7% pasien dengan prolapsus iris
- 21.6% pasien dengan perdarahan vitreous
- 13.5% pasien dengan delayed endophtalmitis
- 12% pasien dengan katarak
- 8.1% pasien dengan benda asing intraocular
- 6.6% pasien dengan hifema
- 5.4% pasien dengan retinal detachment
- 5.4% pasien dengan phthisis bulbi
- 2.7% pasien dengan eviserasi
Studi lainnya yang dilakukan oleh Christopher A. Girkin, dkk yaitu suatu studi kohort
dari 3.627 pasien yang mengalami trauma tembus mata selama periode tahun 1988 sampai
Januari 2003 di Amerika Serikat, didapatkan 97 orang mengalami glaukoma sekunder post-
traumatik, secara akumulasi angka kejadiannya 2.67% selama follow-up 6 bulan pada
masing-masing subjek. Peningkatan usia berhubungan dengan perkembangan glaukoma pada
pasien post trauma tembus ini. Selain itu akuisi visual awal yang krang dari 20/200 secara
signifikan berhubungan dengan terjadinya glaukoma paska trauma ini, demikian juga pada
pasien yang mempunyai kelainan pada matanya sebelum terpajan trauma. Kerusakan iris atau
lensa, perdarahan vitreous dan inflamasi, merupakan faktor resiko terbesar untuk
berkembangnya glaukoma paska trauma ini.
G. Prognosis
Trauma tembus pada mata merupakan trauma yang serius dan mengancam penglihatan,
prognosisnya seringkali sangat buruk. Ada beberapa faktor prediktor berkaitan dengan
prognosis yang buruk misalnya akuisi visual yang menurun bahkan hilang penglihatan,
16
seperti defek pupil aferen, laserasi di kelopak, kerusakan lensa, perdarahan vitreous dan
adanya benda asing intraokular.
17
BAB III
Kesimpulan
Menurut Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT) yang dimaksud trauma tembus
adalah trauma yang mengakibatkan adanya "pintu masuk" terjadinya luka (injury with an
entance wound) yang menembus ke intraokular.Trauma tembus menyebabkan gangguan pada
lapisan mata terluar tanpa menganggu kontinuitas anatomi keseluruhan mata, tidak sampai
terjadi prolapsus dari isi bola mata.
Berdasarkan National for the prevention of Blindness (WHO) memperkiran bahwa 55
juta trauma mata terjadi di dunia setiap tahunnya, 750.000 di rawat di lebih kurang 200.000
adalah trauma terbuka bola mata. Pravelensi yang dihasilkan oleh trauma adalah 1,6 juta dan
19 juta demhan gangguan penglihatan.
Perforasi bola mata merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada
keadaan ini kuman mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat menyebabkan kerusakan
susunan anatomi dan fungsional jaringan intraokuler. Trauma tembus dapat berbentuk
perforasi sklera, prolaps badan kaca maupun prolaps badan siliar.
18
Daftar Pustaka
1. Riordan- Eva Paul, Whitcher John P. 2010. Vaughan & Asbury: Oftalmologi Umum edisi ke-17. Jakarta: EGC, 372-380
2.
19