refka meningitis
DESCRIPTION
refka meningitisTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh lebih sering daripada
infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur dan
parasit.Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori
besar: yang utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada
parenkim (ensefalitis).1,2,7
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada
meninges atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum
tulang belakang yang terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara
klinis, meningitis bermanifestasi dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala,
kaku kuduk, fotofobia), serta Leukositosis (peningkatan jumlah sel darah putih)
dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada durasi gejala, meningitis
dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara anatomis dibagi
menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis (agak
jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai
peradangan pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi
oleh infeksi bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui
aliran darah dari bagian lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung
(perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak.2
Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan CSS
subarachnoid. Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat mengakibatkan
kelemahan (debility) seumur hidup atau kematian. Penyakit ini fatal sebelum era
antimikroba, tapi dengan munculnya terapi antimikroba, tingkat kematian secara
keseluruhan dari meningitis bakteri mengalami penurunan. Meskipun demikian,
tetap sangat tinggi, mencapai sekitar 25%. Munculnya strain bakteri resisten telah
mendorong perubahan dalam protokol antibiotik di beberapa negara, termasuk
Amerika Serikat.
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R Tanggal masuk : 17 desember 2013
Umur : 3 tahun, 1 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien umur 2 tahun datang dengan keluhan demam ± 2 bulan yang lalu
disertai batuk ± 2 bulan yang lalu. Pasien juga sering mengalami kejang ± 5
kali / hariPi. Kejang seluruh badan dengan posisi mata ke atas dan
ekstremitas atas ekstensi, kejang terjadi < 15 menit
BAB 7 hari (-), BAK lancar
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu dari pasien yang serumah dengan pasien juga menderita batuk lama dan
mendapatkan pengobatan 6 bulan dari Puskesmas.
Riwayat Imunisasi
Tidak jelas
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kondisi Umum : Sakit berat BB : 9 kg
Tingkat Kesadaran : Stupor GCS : 6
E : 3
V : 2
M :1
Status Gizi : Buruk
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Denyut Nadi : 120 x/menit
Suhu : 38,2°C
Pernapasan : 43 x/menit
Kepala – Leher
- Normocephali,
- Konjungtiva anemis (-/-),
- Sklera ikterik (-/-),
- Sianosis (-),
- Tonsil T1/T1 hiperemis (-),
- Pembesaran kelenjar getah bening (-/+),
Thoraks
Paru :
- Normothoraks
- Ekspansi dada simetris kiri-kanan
- Retraksi dinding dada (+)
- Nyeri tekan (-/-)
- Bunyi paru : vesikuler
- Bunyi tambahan : ronkhi (+/+),
wheezing (-/-)
Jantung :
- Bunyi jantung I-II murni, regular
- Murmur (-)
- Gallop (-)
Abdomen
- Datar dan supel
- Distensi (-)
- Peristaltik (+) kesan normal
- Nyeri tekan (-)
- Organomegali (-)
Genital
- Kelainan kongenital lainnya (-)
Ekstremitas
- Akral hangat (+/+)
Pemeriksaan Neurologi
- Kaku kuduk (+)
- Brudzinski 1 (-)
- Brudzinski 2 (-)
- Brudzinski 3 (-)
- Brudzinski 4 (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab. Darah Rutin
WBC = 13.1 x 109/L Hb = 9.5 g/dL
HCT = 33.9 % PLT = 447 x 109/L
SCORING TB/
Riwayat kontak : 3
Tes Mantoux : tidak dilakukan
Gizi buruk : 1
Batuk ≥ 3 minggu : 1
Demam ≥ 2 minggu : 1
Pembesaran KGB : 1
TB tulang/sendi : 1
Rontgen toraks : 0
TOTAL SKOR : 8
V. DIAGNOSIS
Meningitis TB
VI. TERAPI
a. IVFD Dextrose 5 %
b. Inj. Cefotaxime 2x 150 gr IV
c. Inj. Gentamycin 2 x 2 gr
d. Prednison 5 gr 2x2 tab
FOLLOW UP
18 Desember 2013
S : Demam (+), Kejang (+) 1x, BAB 1x cair.
O : Kondisi Umum : Sakit berat BB : 9 kg
Tingkat Kesadaran : Stupor GCS : 6
E : 3
V : 2
M :1
Status Gizi : Buruk
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Denyut Nadi : 120 x/menit
Suhu : 39.4°C
Pernapasan : 43 x/menit
Kepala – Leher
- Normocephali,
- Konjungtiva anemis (-/-),
- Sklera ikterik (-/-),
- Sianosis (-),
- Tonsil T1/T1 hiperemis (-),
- Pembesaran kelenjar getah bening (-/+),
Thoraks
Paru :
- Normothoraks
- Ekspansi dada simetris kiri-kanan
- Retraksi dinding dada (+)
- Nyeri tekan (-/-)
Jantung :
- Bunyi jantung I-II murni, regular
- Murmur (-)
- Gallop (-)
- Bunyi paru : vesikuler
- Bunyi tambahan : ronkhi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen
- Datar dan supel
- Distensi (-)
- Peristaltik (+) kesan normal
- Nyeri tekan (-)
- Organomegali (-)
Genital
- Kelainan kongenital lainnya (-)
Ekstremitas
- Akral hangat (+/+)
A : TB Paru
P :
a. P : IVFD Dextrose 5 %
b. Inj. Cefotaxime 2x 150 gr IV
c. Inj. Gentamycin 2 x 2 gr
d. Prednison 5 gr 2x2 tab
19 desember 2013
S : Demam (+), Kejang (-) 1x, BAB (-). BAK (+) 1x
O : Kondisi Umum : Sakit berat BB : 9 kg
Tingkat Kesadaran : Stupor GCS : 5
E : 3
V : 1
M :1
Status Gizi : Buruk
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Denyut Nadi : 120 x/menit
Suhu : 40.2°C
Pernapasan : 43 x/menit
Kepala – Leher
- Normocephali,
- Konjungtiva anemis (-/-),
- Sklera ikterik (-/-),
- Sianosis (-),
- Tonsil T1/T1 hiperemis (-),
- Pembesaran kelenjar getah bening (-/+),
Thoraks
Paru :
- Normothoraks
- Ekspansi dada simetris kiri-kanan
Jantung :
- Bunyi jantung I-II murni, regular
- Murmur (-)
- Retraksi dinding dada (+)
- Nyeri tekan (-/-)
- Bunyi paru : vesikuler
- Bunyi tambahan : ronkhi (+/+),
wheezing (-/-)
- Gallop (-)
Abdomen
- Datar dan supel
- Distensi (-)
- Peristaltik (+) kesan normal
- Nyeri tekan (-)
- Organomegali (-)
Genital
- Kelainan kongenital lainnya (-)
Ekstremitas
- Akral hangat (+/+)
Pemeriksaan Laboratorium
o Lumbal Pungsi
Fisika
a. Volume : 3 ml
b. Warna : tidak berwarna
c. Bekuan : tidak ada bekuan
d. Kekeruhan : jernih
Kimia
a. Reaksi Noni : negatif
b. Reaksi pandy : negatif
c. Mononukleus : 68 %
d. Polinukleus : 32 %
e. Glukosa : 32
A : Meningitis TB
P :
e. P : IVFD Dextrose 5 %
f. Inj. Cefotaxime 2x 150 gr IV
g. Inj. Gentamycin 2 x 2 gr
h. Prednison 5 gr 2x2 t
i. Rifampicin 1x200 gr
j. Isoniazid 1 x 150 gr
k. Pyrazinamid 2x 270 gr
l. Ethambutol 1 x 200gr
m. Prednison 5 gr 2x2 tab
20 desember 2013
S : Demam (+), Kejang (+) >1x, BAB (-). BAK (-)
O : Kondisi Umum : Sakit berat BB : 9 kg
Tingkat Kesadaran : Stupor GCS : 4
E : 2
V : 1
M :1
Status Gizi : Buruk
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Denyut Nadi : 120 x/menit
Suhu : 39.4°C
Pernapasan : 67 x/menit
Kepala – Leher
- Normocephali,
- Konjungtiva anemis (-/-),
- Sklera ikterik (-/-),
- Sianosis (-),
- Tonsil T1/T1 hiperemis (-),
- Pembesaran kelenjar getah bening (-/+),
Thoraks
Paru :
- Normothoraks
- Ekspansi dada simetris kiri-kanan
- Retraksi dinding dada (+)
- Nyeri tekan (-/-)
- Bunyi paru : vesikuler
Jantung :
- Bunyi jantung I-II murni, regular
- Murmur (-)
- Gallop (-)
- Bunyi tambahan : ronkhi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen
- Datar dan supel
- Distensi (-)
- Peristaltik (+) kesan normal
- Nyeri tekan (-)
- Organomegali (-)
Genital
- Kelainan kongenital lainnya (-)
Ekstremitas
- Akral hangat (+/+)
A : Meningitis TB
P :
n. P : IVFD Dextrose 5 %
o. Inj. Cefotaxime 2x 150 gr IV
p. Inj. Gentamycin 2 x 2 gr
q. Prednison 5 gr 2x2 t
r. Rifampicin 1x200 gr
s. Isoniazid 1 x 150 gr
t. Pyrazinamid 2x 270 gr
u. Ethambutol 1 x 200gr
v. Dexamethasone 3 x 0.5 mg
21 desember 2013 jam 08.05 pasien meninggal dunia
DISKUSI
Meningitis adalah Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges)
termasuk dura, arachnoid dan piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis
yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat
diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS).3
2.1 ANATOMI 4
2.2.1 LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.
1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan
suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural
yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana
keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar
sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana
lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. Duramater lapisan
luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum,
dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri;
lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal darinya
membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium
terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan
meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis
interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas
ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium
cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa
craniiin posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os
occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral
ia meninggalkan
lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-
saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura.
Gambar
2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Struktur
ini menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis,
cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-
septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga
yang saling berhubungan.Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan
mirip jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni
(granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di
sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor
cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia
villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi
ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun
rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak.
Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut
struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan
cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid
di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersambung
dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek
ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah
cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga
ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna
supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara
peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis
dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh
darah diseluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di
abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari
ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-
pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-
ventrikel ini. Pia dan ependyma berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk tela choroidea ditempat itu.
LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)
1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket
pelindung dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur
komposisi ion, membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai
pumbuluh limfe), dan memberikan beberapa perlindungan terhadap perubahan-
perubahan tekanan (volume venosus volume cairan cerebrospinal).
2. Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. LCS terdapat dalam
suatu system yang terdiri dari spatium liquor cerebrospinalis internum dan
externum yang saling berhubungan. Hubungan antara keduanya melalui dua
apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan apetura medial dari
ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa, volume cairan
cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara normal �} 150 ml; bagian internal
(ventricular) dari system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara
400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.
3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air;
perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan.
Takanan meningkat
bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor),
volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada
hydrocephalus) karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari
tulang yang tidak dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa
kenaikan tekanan.
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke
dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke
ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis
externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan
meninggalkan system ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari
ventrikel keempat dan memasuki rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin
mengalir di atas konveksitas otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah
kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater
atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam
vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas
konveksitas superior.
Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk mempertahankan
reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan cerebrospinal yang terus
menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan reabsorpsi dalam keadaan
yang seimbang.
Proses terjadinya meningitis tuberkulosis adalah 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis
primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya
selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder
melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang
atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (rich dan
McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi perkontinuitatum dari mastoiditis
atau spondilitis.11
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
meningoensefalitis.Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak,
terutama batang otak (brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat
yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna
basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan saraf pusat. Tampak juga
kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis yang menimbulkan
penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian
mengakibatkan perlunakan otak.
- Manifestasi klinis
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun
selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada
penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum
tampak.
1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otak.
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat
kenaikan suhu ringan, jarang terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai
anak mudah terangsang (iritabel) atau anak menjadi apatis dan tidurnya sering
terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise, snoreksia, obstipasi,
mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak manifestasi kelainan
neurologis.
2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala
diatas menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana
seluruh tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih
tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf
mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di
koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga
timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial dan gerakan
involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam,
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak
teratur, kadang-kadang menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam).
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali
Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan
yang lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum
anak meninggal
Pada pasien terlihat pada awal stadium yaitu prodromal sampai stadium terminal
dan akhirnya meninggal dunia.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman.
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang dicurigai meningitis
9. Sepsis 1.
Pada pasien ini mempunyai indikasi untuk dilakukanya pungsi lumbal yaitu kaku
kuduk dengan kesadaran menurun.
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah
pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan
dilakukan pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis.
Cairan serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit
kepala dan sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada
tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial hypertension), pungsi
lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat tertentu.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar
tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses
desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan
yang belum diobati.
Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis)
bukan kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.
Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan
jarum pungsi tidak kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum
pungsi karena penusukan tidak tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di
ruang ekstradural
- Pada pemeriksaan penunjang kali ini Pemeriksaan meliputi darah perifer
lengkap, laju endap darah, dan gula darah.
Leukosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering
ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon
yang tidak adekuat.
- Pungsi lumbal :
· Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
· Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3.
Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear.
· Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35
mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
· Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan.
· Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan
dapat memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.
- Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dan Latex particle agglutination dapat
mendeteksi kuman Mycobacterium di cairan serebrospinal (bila
memungkinkan).
- Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat
menunjukkan lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma,
maupun hidrosefalus.
- Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis.
- Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis
- Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat
menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar.9,10
Diagnosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman
tuberkulosis dalam CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang
tampak pada foto roentgen thorak dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga
hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis
sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama
dalam stadium terminalis.9
Tata Laksana
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4
macam obat selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin
selama 10 bulan.
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat
antituberkulosis ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila
terdapat kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau
muntah-muntah dan fisioterapi.
Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:
1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering
off untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.9
Pada kasus ini Pasien diberikan sesuai dasar pengobatan meningitis tuberculosis
sesuai teori namun pada pasien ini di tambahkan terapi antibiotik golongan
cephalosporin generasi ketiga yang diberikan adalah cefotaxime dan golongan
aminoglikosida yaitu gentamycin, menurut Pedoman pelayanan medis IDAI tahun
2010 antibiotik yang diberikan adalah golongan cepalosporin karena sefalosporin
generasi ketiga juga dapat menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik
dalam kasus ini yang diberikan adalah cefotaxim 200-300 mg/kgBB/hari IV
dibagi dalam 3-4 dosis.
PROGNOSIS
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis
tuberkulosis hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat
diturunkan walaupun masih tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus.
Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala sisa masih tinggi pada anak
yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat dalam stadium lanjut.
Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata dan pendengaran.
Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan
hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat
permulaan pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan.9
Pada pasien ini mempunyai prognosis buruk karena pada awal masuk di
rumah sakit sudah terjadi penurunan kesadaran dengan GCS 6 dan pada pasien
hanya bertahan 3 hari dan meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS,
Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed May
29th,2011.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting.
Pediatric
Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf.
Accessed
June 1st, 2011.
5. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed May 29th, 2011.
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders;
2005. h. 106-13.
7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman,
Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004. h. 2038-47.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed May 29th,
2011.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta:
Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
11. Kliegman, R.M., Behrman, R.E., Jenson, H.B., Stanton, B.F. (2007). Kliegman: Nelson Textbook of Pediatrics 18th Ed. USA: Elsiever.