referat mola hidatidosa
DESCRIPTION
referat bagian obgynTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Mola Hidatidosa adalah suatu penyakit trofoblas gestasional sebagai akibat dari suatu
kehamilan yang berkembang tidak sempurna. Penyakit trofoblas ialah penyakit yang
mengenai sel-sel trofoblas dimana terjadi suatu keabnormalan konsepsi plasenta yang disertai
sedikit atau bahkan tanpa perkembangan janin (Sebire, 2008; Sumapraja,2005; Hadijanto,
2010).1 Di dalam tubuh wanita sel trofoblas hanya ditemukan bila wanita itu hamil. Di luar
kehamilan sel-sel trofoblas dapat ditemukan pada teratoma dari ovarium, karena itu penyakit
trofoblas yang berasal dari kehamilan disebut sebagai Gestational Trophoblastic Disease,
sedangkan yang berasal dari teratoma disebut Non Gestational Throphoblastic Disease
(Sumapraja, 2005).1
Penyakit trofoblas mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi ganas dan
menimbulkan berbagai bentuk metastase keganasan dengan berbagai variasi (Manuaba, 2007).2
Penyakit ini dapat ditemukan diseluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda.
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dibandingkan
dengan negara-negera Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan 1:2000 kehamilan. Frekuensi
mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi sekitar 1: 120 kehamilan (Prawirohadjo,
2009).2 Di Amerika Serikat dilaporkan insidensi mola sebesar 1 pada 1000-1200 kehamilan. Di
Indonesia sendiri didapatkan kejadian mola pada 1 : 85 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih
sering pada usia reproduktif (15-45 tahun); dan pada multipara. Jadi dengan meningkatnya
paritas kemungkinan menderita mola akan lebih besar. Mola hidatidosa terjadi pada 1-3 dalam
setiap 1000 kehamilan. Sekitar 10% dari seluruh kasus akan cenderung mengalami
transformasi ke arah keganasan, yang disebut sebagai gestational trophoblastic neoplasma
(Sumapraja, 2005; Manuaba, 2007).2
Di negara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada, mortalitas akibat mola
hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini dan terapi yang tepat. Akan
tetapi di negara berkembang kematian akibat mola masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2%
dan 5,7%. Kematian pada mola hidatidosa biasanya disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi
eklamsia, payah jantung dan tirotoksikosis (Sumapraja, 2005).2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ada beberapa pengertian yang menjelaskan mengenai mola hidatidosa namun secara
garis besar mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal yang sebagian atau seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi berupa gelembung yang menyerupai anggur.1,2
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana terjadi
keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan perkembangan parsial atau
tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-
villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan
adalah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada vilus berproliferasi dan
mengeluarkan hormon human chononic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih
besar daripada kehamilan biasa (Sumapraja, 2005; Manuaba, 2007; Prawirohadjo, 2009).1,2
B. Epidemiologi
Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120 kehamilan)
daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di Indonesia, mola hidatidosa
dianggap sebagai penyakit yang penting dengan insiden yang tinggi (data RS di Indonesia,
1 per 40 persalinan), faktor risiko banyak, penyebaran merata serta sebagian besar data
masih berupa hospital based. Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia kurang dari
20 tahun dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik (Prawirohadjo,
2009).2,3
C. Klasifikasi Mola Hidatidosa
2
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin maka
disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian dari
janin disebut mola parsialis atau Parsials mole (Sumapraja, 2005; Manuaba, 2007;
Cunningham, 2006). Walaupun secara histologis dan morfologis keduanya berbeda tetapi
gambaran klinis dan penanganannya pada dasarnya sama1, 2
a. Mola hidatidosa komplit (klasik)
Mola hidatidosa komplit secara genetik adalah lesi yang diploid dengan kromosom 46
XX. Pada mola komplit tidak dijumpai elemen embrionik atau fetus. Kelainan genetik ini
disebabkan oleh karena fertilisasi ovum yang kosong oleh dua sperma.1 Mola hidatidosa
merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin
dan hampir seluruh vili khorialis berubah menjadi kumpulan gelembung yang jernih yang
mempunyai ukuran yang bervariasi mulai dari yang lebih mudah terlihat sampai beberapa
sentimeter dan bergantung dalam beberapa sentimeter dan bergantung dalam beberapa
kelompok dari tangkai yang tipis. Massa tersebut dapat tumbuh cukup besar sehingga
memenuhi uterus yang besarnya biasa mencapai ukuran uterus kehamilan normal lanjut.
Gambaran histologi mola hidatidosa komplit adalah :1, 3
1. Terdapat Vili dalam berbagai ukuran.
2. Ditengah Vili yg besar menunjukkan edema dengan sentral kavitas berisi cairan yang
disebut cisterna.
3. Terdapat proliferasi trofoblas yg berlebihan.
4. Sinsitiotrofoblas berwarna ungu, sitotrofoblas jernih dan nukleus Bizarre.
5. Tidak ada pembuluh darah fetal di mesenkim vili.
b. Mola hidatidosa inkomplit (parsial)
3
Mola hidatidosa parsial kariotipenya triploid, yang terdiri dari 1 set maternal dan 2 set
paternal. Secara klinis dijumpai adanya fetus dan perubahan pada plasenta berupa mola
hidatidosa. Titer hCG yang abnormal meningkat disertai tanda preeklamsia dan hiperplasia
trofoblas yang dijumpai lebih ringan daripada mola komplit.1
Secara makroskopik tampak gelembung mola yang disertai janin atau bagian dari janin.
Umumnya janin mati pada bulan pertama atau ada juga yang hidup sampai cukup besar
atau bahkan aterm. Perubahan hidatidosa bersifat fokal serta belum begitu jauh dan masih
terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion. Pada sebagian vili yang biasanya avaskuler
terjadi pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara vili lainnya yang
vaskuler dengan sirkulasi darah fetus-plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami
perubahan. Bila ditemukan mola yang disertai janin, terdapat dua kemungkinan, yaitu
pertama kehamilan kembar dimana satu janin tumbuh normal dan hasil konsepsi yang satu
lagi mengalami mola parsial.1,3
Gambaran Mola Komplit Mola Parsial
Kariotipe 46,XX atau 46,XY Umumnya 69,XXX atau
69,XXY (tripoid)
Patologi
Edema villus Difus Bervariasi,fokal
Proliferasi trofoblastik Bervariasi, ringan s/d berat Bervariasi, fokal, ringan
s/d sedang
Janin Tidak ada Sering dijumpai
Amnion,SDM janin Tidak ada Sering dijumpai
Gambaran klinis
4
Diagnosis Gestasi mola Missed abortion
Ukuran uterus 50% besar untuk masa
kehamilan
Kecil untuk masa
kehamilan
Kista teka-lutein 25-30% Jarang
Penyulit medis Sering jarang
Penyakit pascamola 20% <5-10%
Kadar hCG Tinggi Rendah – tinggi
Tabel 1. Perbandingan bentuk mola hidatidosa
D. Etiologi dan Faktor Resiko
Mola hidatidosa disebabkan oleh adanya over-production jaringan yang membentuk
plasenta. Dalam keadaan kehamilan normal, plasenta berfungsi memberikan nutrisi untuk
janin. Namun pada kasus mola hidatidosa, jaringan berkembang menjadi suatu masa yang
abnormal sehingga tidak dapat berfungsi secara normal (Sebire, 2008).3
Penyakit trofoblastik gestasional disebabkan oleh gangguan genetik dimana sebuah
spermatozoon memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua sperma
memasuki ovum tersebut. Pada lebih dari 90 persen mola komplit hanya ditemukan gen
dari ayah dan 10 persen mola bersifat heterozigot. Sebaliknya, mola parsial biasanya terdiri
dari kromosom triploid yang memberi kesan gangguan sperma sebagai penyebab (John,
2006).4
Pembuluh darah primitif di dalam vilus tidak terbentuk dengan baik sehingga embrio
'kelaparan', mati, dan diabsorpsi, sedangkan trofoblas terus tumbuh dan pada keadaan
tertentu mengadakan invasi ke jaringan ibu. Peningkatan aktivitas sinsitiotrofoblas
5
menyebabkan peningkatan produksi hCG, tirotrofin korionik dan progestron. Sekresi
estrodiol menurun, karena sintesis hormone ini memerlukan enzim dari janin, yang tidak
ada. Peningkatan kadar hCG dapat menginduksi perkembangan kista teka-lutein di dalam
ovarium (Mochtar, 1998)4,5
Penyebab mola hidatidosa sampai saat ini belum diketahui secara pasti. namun ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mola hidatidosa adalah :4
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan.
2. Usia ibu yang terlalu muda ( < 20 tahun) atau tua ( > 35 tahun) beresiko 50% terkena
penyakit ini.
3. Imunoselektif dari sel trofoblast
4. Keadaan sosioekonomi yang rendah rendah sehingga mengakibatkan rendahnya asupan
protein, asam folat, dan beta karoten
5. Jumlah paritas yang tinggi
6. Defisiensi vitamin A
7. Infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.
1. Penggunaan kontrasepsi oral untuk jangka waktu yang lama
8. Riwayat mola hidatidosa sebelumnya
9. Riwayat abortus
E. Patogenesis
Menurut Sarwono, 2010, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena
tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu : hasil
6
pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3 – 5 minggu dan karena
pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan cairan di dalam jaringan
mesenkim villi (Sumapraja, 2005; Prawirohadjo,2009).2,3
Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola memberikan
beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan mola hidatidosa adalah
mola “lengkap” dan mempunyai 46 kariotipe XX. Penelitian khusus menunjukkan bahwa
kedua kromosom X itu diturunkan dari ayah. Secara genetik, sebagian besar mola
hidatidosa komplit berasal dari pembuahan pada suatu “telur kosong” (yakni, telur tanpa
kromosom) oleh satu sperma haploid (23 X), yang kemudian berduplikasi untuk
memulihkan komplemen kromosom diploid (46 XX). Hanya sejumlah kecil lesi adalah 46
XY (John, 2006; Mochtar, 1998, Cunningham,2006).1,4,5
Pada mola yang “tidak lengkap” atau sebagian, kariotipe biasanya suatu triploid, sering
69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX atau 69 XYY. Kadang-
kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan mola lengkap, sering disertai dengan
janin yang ada secara bersamaan. Janin itu biasanya triploid dan cacat (John, 2006;
Cunningham, 2006).1,4,6
7
Gambar 1.Susunan sitogenetik dari mola hidatidosa.
A. Sumber kromosom dari mola lengkap.
B. Sumber kromosom dari mola sebagian yang triploid. (Hacker).
Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblas (Sumapraja, 2005):2,6
1. Teori missed abortion.
Teori ini menyatakan bahwa mudigah mati pada usia kehamilan 3-5 minggu (missed
abortion). Hal inilah yang menyebabkan gangguan peredaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah
gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan karena
kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini
menyebabkan terjadinya gangguan angiogenesis.6
2. Teori neoplasma
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas, yang abnormal
adalah sel-sel trofoblas dimana fungsinya juga menjadi abnormal. Hal ini menyebabkan
terjadinya reabsorpsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga menimbulkan
gelembung. Sehingga menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.5,6
Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, sehingga menyerupai buah anggur,
atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. Ukuran gelembung-
gelembung ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1-2 cm. Secara mikroskopik
terlihat trias: (1) Proliferasi dari trofoblas; (2) Degenerasi hidropik dari stroma villi dan
kesembaban; (3) Hilangnya pembuluh darah dan stroma. Sel-sel Langhans tampak seperti
8
sel polidral dengan inti terang dan adanya sel sinsitial giantik (syncytial giant cells). Pada
kasus mola banyak dijumpai ovarium dengan kista lutein ganda berdiameter 10 cm atau
lebih (25-60%). Kista lutein akan berangsur-angsur mengecil dan kemudian hilang setelah
mola hidatidosa sembuh (Sumparja, 2005; Hacker, 2001).5,6
F. Gambaran Klinis
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan
biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran rahim lebih besar dari kehamilan
biasa, pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah
darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam.5
1. Terdapat tanda-tanda kehamilan. Mual dan muntah yang hebat.
2. Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan
3. Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung berwarna coklat. Pada keadaan
lanjut kadang keluar gelembung mola
4. Gejala – gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan BB yang
tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit lembab
5. Gejala – gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai, peningkatan
tekanan darah, proteinuria yang basanya terjadi sebelum kehamilan 24 minggu
6. Tidak terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengarnya BJJ sekalipun uterus
sudah membesar setinggi pusat atau lebih.
Dan menurut Cuningham, 1995. Dalam stadium pertumbuhan mola yang dini terdapat
beberapa ciri khas yang membedakan dengan kehamilan normal, namun pada stadium
lanjut trimester pertama dan selama trimester kedua sering terlihat perubahan sebagai
berikut (Cunningham, 2006) :1
9
1. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi mulai dari
spoting sampai perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat dimulai sesaat sebelum
abortus atau yang lebih sering lagi timbul secara intermiten selama berminggu-minggu
atau setiap bulan. Sebagai akibat perdarahan tersebut gejala anemia ringan sering
dijumpai. Anemia defisiensi besi merupakan gejala yang sering dijumpai.1,7
2. Ukuran uterus
Uterus tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang sebenarnya dan teraba
lunak. Saat palpasi tidak didapatkan balotement dan tidak teraba bagian janin.1
3. Aktivitas janin
Meskipun uterus cukup membesar mencapai bagian atas sympisis, secara khas
tidak akan ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test dengan alat yang
sensitive sekalipun. Kadang-kadang terdapat plasenta yang kembar pada kehamilan
mola hidatidosa komplit. Pada salah satu plasentanya sementara plasenta yang lainnya
dan janinnya sendiri terlihat normal. Demikian pula sangat jarang ditemukan perubahan
mola inkomplit yang luas pada plasenta dengan disertai dengan janin yang hidup.1,6
4. Embolisasi
Trofoblas dengan jumlah yang bervariasi dengan atau tanpa stroma villus dapat
keluar dari dalam uterus dan masuk aliran darah vena. Jumlah tersebut dapat
sedemikian banyak sehingga menimbulkan gejala serta tanda emboli pulmoner akut
bahkan kematian. 1Keadaan fatal ini jarang terjadi. Meskipun jumlah trofoblas dengan
atau tanpa stroma villus yang menimbulkan embolisasi ke dalam paru-paru terlalu kecil
untuk menghasilkan penyumbatan pembuluh darah pulmoner namun lebih lanjut
10
trofoblas ini dapat menginfasi parenkin paru. Sehingga terjadi metastase yang terbukti
lewat pemeriksaan radiografi. Lesi tersebut dapat terdiri dari trofoblas saja
(koriokarsinoma metastasik) atau trofoblas dengan stroma villus (mola hidatidosa
metastasik). Perjalanan selanjutnya lesi tersebut bisa diramalkan dan sebagian terlihat
menghilang spontan yang dapat terjadi segera setelah evakuasi atau bahkan beberapa
minggu atau bulan kemudian. Sementara sebagian lainnya mengalami proliferasi dan
menimbulkan kematian wanita tersebut tidak mendapatkan pengobatan yang efektif.1,7
5. Ekspulsi Spontan
Kadang-kadang gelembung-gelembung hidatidosa sudah keluar sebelum mola
tersebut keluar spontan atau dikosongkan dari dalam uterus lewat tindakan. Ekspulsi
spontan paling besar kemungkinannya pada kehamilan sekitar 16 minggu. Dan jarang
lebih dari 28 minggu (John, 2006).4,7
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang berlebihan,
perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang bergelembung
seperti busa.8
(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah
perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan.
Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan cairan
gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.7,8
11
(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG.8
(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan
kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang terjadi pada
27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria (>300
mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia6,8
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
keluarnya gelembung-gelembung mola, muka dan kadang-kadang badan
kelihatan pucat kekuning-kuningan yang disebut muka mola (mola face).8
Palpasi :
Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek6
Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.6
Fenomena harmonika, yaitu darah dan gelembung mola keluar dan fundus uteri
turun lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru8
Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin7,8
Pemeriksaan dalam8 :
Memastikan besarnya uterus
Uterus terasa lembek
Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kadar B-hCG9
BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml
12
Beta HCG serum > 40.000 IU/ml
Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter dalam
penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.
Gambar 2 : Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang menggambarkan kurva
regresi normal gonadotropin korionik subunit β pasca mola (Cunningham,
2006).1,7
Pemeriksaan kadar T3 /T4
B-hCG > 300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin, mengakibatkan
aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Terjadi gejala-gejala
hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia, tremor, hiperhidrosis, gelisah, emosi
labil, diare, muntah, nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun dan
sebagainya. Dapat terjadi krisis hipertiroid tidak terkontrol yang disertai
hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran
sampai delirium-koma (Cunningham, 2006).1,9
4. Pemeriksaan Imaging
a. Ultrasonografi
13
Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin
Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti badai salju.
b. Plain foto abdomen-pelvis: tidak ditemukan tulang janin9
H. Diagnosis banding2,8
- Kehamilan ganda
- Abortus iminens
- Hidroamnion
- Kario Karsinoma
I. Penatalaksanaan
Mola hidatidosa harus dievakuasi sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Bila
perlu lakukan stabilisasi dahulu dengan melakukan perbaikan keadaan umum penderita
dengan mengobati beberapa kelainan yang menyertai seperti tirotoksikosis.8,10
Terapi mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu :
1. Perbaiki keadaan umum
a. Koreksi dehidrasi
b. Transfusi darah bila ada anemia
c. Bila ada gejala preeklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati
d. Penatalaksanaan hipertiroidisme
Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat-obatan antitiroid, ß-bloker.
dan perawatan suportif (pemberian cairan, perawatan respirasi) penting untuk
menghindari presipitasi krisis tiroid selama evaluasi. Tujuan terapi adalah untuk
mencegah pelepasan T4 yang terus-menerus dan menghambat konversi menjadi T3
14
untuk memblok aksi perifer hormon tiroid dan untuk mengobati faktor-faktor
presipitasi.10 Agen-agen antitiroid dapat menurunkan level T3 dan T4 serum dengan
cepat seperti sodium ipodoat (orografin, suatu kontras yang mengandung iodine)
yang merupakan terapi pilihan dalam mencegah krisis tiroid setelah hipertiroidisme
yang diinduksi kehamilan mola karena Ca mengurangi konsentrasi T3 dan T4
dengan cepat. Apabila sodium ipodoat tidak tersedia, PTU harus digunakan dan
dikombinasikan dengan iodida. PTU berbeda dengan metimazol, menghambat
konversi T4 menjadi T3 di perifer dan karenanya lebih disukai daripada metimazol.
Loading dose 300-600 mg PTU diikuti oleh 150-300 mg setiap 6 jam (perrektal atau
melalui NGT). Kalium iodida oral (3-5 tetes, 3x sehari, 35 mg iodida/tetes) atau
iodine lugol (30-60 tetes/hari dibagi dala 4 dosis, 8 mg iodida/tetes) atau natrium
iodida intravena (0,25-0,5 g tiap 8-12 jam) menginduksi penurunan level T3 dan T4
yang cepat. ß-bloker digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain yang
diaktivasi saraf simpatis. Propanolol dimulai pada dosis 1-2 mg tiap 5 menit secara
intravena (dosis maksimum 6 mg) diikuti dengan propanolol oral pada dosis 20-40
mg tiap 4-6 jam.7,10
2. Pengeluaran jaringan mola
Bila sudah terjadi evakuasi spontan lakukan kuretase untuk memastikan kavum
uteri sudah kosong. Bila belum lakukan evakuasi dengan kuret hisap. Bila serviks
masih tertutup dapat didilatasi dengan dilator nomor 9 atau 10. Setelah seluruh jaringan
dievakuasi dengan kuret hisap dilanjutkan kuret tajam dengan hati-hati untuk
memastikan kavum uteri kosong.7 Untuk menghentikan perdarahan, uterotonika
diberikan setelah evakuasi dan pemberian antibiotoka untuk mencegah terjadinya
15
infeksi. Induksi dengan medikamentosa seperti prostaglandin dan oksitosin tidak
dianjurkan karena meningkatkan emboli trofoblas.1,7,10
Teknik evakuasi mola hidatidosa ada 2 cara yaitu :3,7
a. Kuretase
Dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki dan setelah pemeriksaan-persiapan
selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar b-hCG serta foto thoraks), kecuali bila
jaringan mola sudah keluar spontan.
Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan laminaria dan
kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus dengan
tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc Dextrose 5%
Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1 minggu
Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi
b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :
- Umur > 35 tahun
- Anak hidup > 3 orang
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan risiko tinggi akan terjadi keganasan
misalnya pada umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi
atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan
Methotrexate atau Actinomycin D. Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca
mola hidatidosa adalah sebagai berikut :9
16
Kadar hCG yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum >20.000 IU/liter, urine
>30.000 IU/24 jam)
Kadar hCG yang meningkat progresif pascaevakuasi
Kadar hCG berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan pascaevakuasi
Kadar hCG berapapun juga yang disertai tanda-tanda metastasis otak, renal, hepar,
traktus gastrointestinal, atau paru-paru.
4. Penatalaksanaan pascaevakuasi
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola
hidatidosa, lama pengawasan berkisar 1 sampai 2 tahun.2,10
Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan9 :
a. Gejala Klinis : Keadaan umum, perdarahan
b. Pemeriksaan dalam :
o Keadaan Serviks
o Uterus bertambah kecil atau tidak
c. Laboratorium
Pengamatan lanjut meliputi pemeriksaan pelvis dan hCG setiap minggu sampai
hCG negatif, bila ditemui anemia atau infeksi harus diberikan pengobatan yang
adekuat. ß-hCG negatif diikuti tiap minggu 2 kali pemeriksaan, bila tetap negatif
dilakukan tiap bulan sampai dengan bulan keenam, lalu tiap 2 bulan sekali selama 6
bulan.9
Reaksi biologis dan imunologis9,10 :
17
o 1x seminggu sampai hasil negatif
o 1x2 minggu selama Triwulan selanjutnya
o 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya
o 1x3 bulan selama tahun berikutnya
o Kalau hasil reaksi titer masih (+) maka harus dicurigai adanya
keganasan
Diberikan kontrasepsi oral setelah kadar hCG normal. Bila penurunan hCG sesuai
dengan kurva regresi, pasien diperkenankan hamil setelah 6 bulan. Dapat juga
dengan metode barier, namun IUD tidak dianjurkan. Bila penurunan lambat, tunda
kehamilan lebih lama lagi.9
Bila terjadi kehamilan lakukan USG dan lakukan pemeriksaan hCG postpartum
untuk menyingkirkan reaktifasi residu dari mola.9
Pasien dengan besar uterus 4 kali lebih besar dari usia gestasi dan adanya kista
lutein, maka risiko untuk menjadi karsinoma adalah 50%.10
18
Gambar 3. Penatalaksanaan mola hidatidosa
FOLLOW UP
19
Dikarenakan 20% pasien dengan mola komplit dan 5-7 % pasien dengan mola parsial
dapat menjadi penyakit yang berulang. Follow up yang ketat sangat diperlukan. Kadar b -
hCG perlu dimonitor setiap minggu sampai diperoleh 3 kali angka yang normal dan
kemudian setiap bulan untuk 6 bulan. Sangat penting bagi pasien untuk menggunakan
kontrasepsi selama 6 bulan sehingga peningkatan b -hCG yang normal terjadi dalam
kehamilan tidak dikacaukan dengan penyakit yang berulang. Pil KB tidak meningkatkan
resiko dari penyakit post mola. Setelah angka b-hCG normal selama 6 bulan, kehamilan
menjadi aman.3,4,10
J. Komplikasi10
Perdarahan yang hebat sampai syok
Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia
Infeksi sekunder
Perforasi karena tindakan atau keganasan
K. Prognosis
Dinegara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada, mortalitas akibat
mola hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini dan terapi yang
tepat. Akan tetapi di negara berkembang kematian akibat mola masih cukup tinggi yaitu
berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Kematian pada mola hidatidosa biasanya disebabkan oleh
karena perdarahan, infeksi, eklamsia, payah jantung dan tirotoksikosis (Sumapraja, 2005;
Cunningham, 2006).1 Lebih dari 80% kasus mola hidatidosa tidak berlanjut menjadi
keganasan trofoblastik gestasional, akan tetapi walaupun demikian tetap dilakukan
pengawasan lanjut yang ketat, karena hampir 20% dari pasien mola hidatidosa berkembang
menjadi tumor trofoblastik gestasional (Sumapraja, 2005; Cunningham, 2006).1,3
20
Pada 10-15% kasus mola akan berkembang menjadi mola invasive, dimana akan masuk
kedalam dinding uterus lebih dalam lagi dan menimbulkan perdarahan dan komplikasi
yang lain yang mana pada akhirnya akan memperburuk prognosisnya. Pada 2-3% kasus
mola dapat berkembang menjadi korio karsinoma, suatu bentuk keganasan yang cepat
menyebar dan membesar (Cunningham, 2006).1,10
BAB III
KESIMPULAN
21
Mola Hidatidosa adalah penyakit trofoblas gestasional sebagai akibat dari suatu
kehamilan yang berkembang tidak sempurna dimana hampir seluruh villi korialisnya
mengalami perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa terbagi menjadi mola hidatidosa
sempurna dan mola hidatidosa parsial tergantung dari ada tidaknya janin atau bagian janin
yang ditemukan. Meskipun banyak publikasi tentang mola hidatidosa namun penyebabnya
secara langsung masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti namun ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya mola di antara nya faktor ovum, faktor
usia, multiparitas, dan riwayat kehamilan mola sebelumnya. Menegakkan diagnosa mola
hidatidosa sangat penting untuk penanganan lebih lanjut mengingat angka kematian akibat
mola hidatidosa di negara berkembang cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Cunninngham. F.G. dkk. 2006. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik Gestasional
Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. EGC: Jakarta.Sumapraja S, Martaadisoebrata D. 2005.
Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin, dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo: Jakarta
2. Manuaba I.B.G.F, Manuaba, I.D.C. 2007. Penyakit Trofoblas, dalam: Pengantar Kuliah
Obstetri. EGC: Jakarta
3. Prawirohadjo S, Wiknjosastro H. 2009. “Mola Hidatidosa”. Ilmu Kandungan. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo: Jakarta
4. John T. 2006. Gestational Throphoblastic Disease. The American College of Obstetricians
and Gynecologists. Lippincott Williams & Wilkins. Diakses dari
http://www.utilis.net/Morning%20Topics/Gynecology/GTN.PDF , pada 25 Oktober 2012
5. Mochtar, R. 1998. Penyakit Trofoblast, dalam Sinopsis Obstetri, Jilid I, Edisi kedua. EGC:
Jakarta
6. Hacker, N.F., Moore, J.G. 2001. Neoplasia Trofoblast Gestasi, dalam: Esensial Obstetri
dan Ginekologi, Edisi 2. Hipokrates : Jakarta
7. Martaadisoebrata D. Mola hidatidosa dalam Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit
Trofoblas Gestasional, EGC, Jakarta, 2005; 7–41.
8. Adrijono. Deteksi Dini Penyakit Trofoblas Ganas dalam Deteksi Dini Penyakit Kanker,
FKUI, Jakarta, 2004; 130–3.
9. Fischbach TF. Chorionic Gonadotropin in A Manual of Laboratory and diagnostic Test,
Seventh ed. 7, Philadephia, Lippincott, 2004; 375–6.
10. Winknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Gangguan Bersangkutan Dengan Konsepsi; ed 2;
Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 2008; 246-268.
23
24