referat gbs

22
REFERAT GUILLAIN-BARRE SYNDROME Oleh : M. KHAIRUL AFIF 201210401011066 1

Upload: muhammad-khairul-afif

Post on 10-Aug-2015

263 views

Category:

Documents


78 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT GBS

REFERAT

GUILLAIN-BARRE SYNDROME

Oleh :

M. KHAIRUL AFIF

201210401011066

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2013

1

Page 2: REFERAT GBS

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sindroma Guillain-Barre (SGB) mempunyai banyak sinonim, antara lain

polyneuritis akut pasca-infeksi, polineuritis akut toksik, polyneuritis febril, poli

radikulopati dan acute ascending paralysis. Ditandai dengan kelemahan motorik

progresif dan arefleksia. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik

otonom dan batang otak. Gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti

demam dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus.

Penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh Landry

pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detil dengan apa yang ia sebut sebagai

febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl

memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali mengemukakan penilaian melalui

cairan serebrospinal (CSF), disosiasi albinositologik (peningkatan protein CSF terhadap

hitung sel CSF normal ). Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu,

akan mengarah kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya dengan

poliomyelitis dan neuropati lainnya.

1.2.Epidemiologi

Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 – 2,0 per

100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang ada

di Amerika Serikat

2

Page 3: REFERAT GBS

Internasional : angka kejadian sama yakni 1 – 3 per 100.000 orang per

tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di

China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter memiliki

predileksi pada musim panas.

Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa muda.

Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh penurunan

mekanisme imunosupresor.

Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1

Berkaitan dengan faktor resiko genetik yaitu FcRIIa-H131 dan alel homozigot

(vs R131)

3

Page 4: REFERAT GBS

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Sindroma Guillain Barre, adalah polineuropati yang menyeluruh , dapat

berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi secara spontan atau sesudah suatu

infeksi. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini

dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang.

2.2. Etiologi

Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini

terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang

adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune responde maupun

immune mediated process.

Sindrom terlihat dicetuskan oleh infeksi virus atau bakteri akut, seperti infeksi

saluran pernapasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau 3 minggu

sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang selubung myelin

yang melapisi sel-sel neuron dan kemudian menyebabkan paralysis, kelemahan otot dan

kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, kehamilan,

atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya sindrom.

2.3. Patofisiologi

Terjadi reaksi inflamasi (infiltrat) dan edema pada saraf yang terganggu. Infiltrat

terdiri dari atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrate terutama terdiri dari sel limfosit

4

Page 5: REFERAT GBS

berukuran kecil, sedang, dan tampak pula mikrofag serta sel polimorfonuklear pada

permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Seranut saraf mengalami

degenerasi segmental dan aksonal.

Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversible dan menyeluruh

dapat terjadi. Kerusakan itu merupakam perwujudan reaksi imunopatologik walaupun

segenap radiks terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis

paling berat mengalami kerusakan keadaan patologik itu dikenal sebagai

poliradikulopatia atau polyneuritis post infeksiosa. Atau lebih dikenal sebagai Sindroma

Gullain Barre.

2.4. Gambaran Klinis

Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresifitasnya

akan berhenti setelah berjalan selama 4 minggu, lebih kurang 50% akan terjadi

kelemahan menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih dari 90% selama 4

minggu.

Pasien dengan SGB dijumpai adanya kelemahan disertai dengan diestesia,

perasaan kebas, geli pada ekstremitas, kelemahan ini terutama pada otot-otot proksimal,

kaki lebih sering terkena dibandingkan lengan. Parestesia terjadi menjalar secara

proksimal tetapi jarang meluas melewati pergelangan tangan dan pergelangan kaki.

Refleks tendon melemah, bahkan bisa menghilang dalam beberapa hari perjalanan

penyakit.

Kelumpuhan terjadi secara simetris lebih dari satu anggota gerak, jarang yang

asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja dan dapat pula

5

Page 6: REFERAT GBS

terjadi paralysis total keempat anggota gerak terjadii secara cepat, dalam waktu kurang

dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis.

Gejala motorik biasanya timbul lebih awal daripada gangguan sensorik Biasanya

terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan kaus kaki, tetapi

kadang-kadang gangguan tampak segmental, otot-otot proksimal dan distal terganggu dan

reflek tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung biasanya ditemukan.

Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50% kasus dan

sering bilateral. Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena,khususnya yang mengurus

lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik ekstra ocular. Terlibatnya nervi kraniles

dapat merupakan awal sindrom Guillain-Barre.

Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung, hipotensi

postural, hipertensi, atau gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi gejala dan tanda

klinik sindrom ini.

Proses penyembuhan biasanya dimulai setelah 2-4 minggu terhentinya

progesifitas klinik. Namun demikian, proses penyembuhan bisa tertunda selama 4 bulan.

Secara klinis banyak penderita yang bisa sembuh secara fungsional.

2.5. Diagnosa

1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang terdiri dari kelemahan

motorik (terutama bagian proksimal) yang meluas ke atas, arefleksia, gangguan

sensorik bagian distal yang ringan, dan kelemahan otot wajah bilatelar

(merupakan petunjuk penting).

2. Punksi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan protein dalam cairan

serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit yang bermakna. Pada

6

Page 7: REFERAT GBS

saat awal, protein dalam cairan serebrospinal dapat normal tetapi meningkat

dalam beberapa hari. Dijumpai peningkatan protein > 0,55 g/dL, tanpa pleositosis

( jumlah sel-sel abnormal dari CSF).

3. Pengobatan beratnya kelemahan motorik pada SGB tidak dapat dipastikan pada

awal penyakit. Oleh karena itu, dokter harus mengenal penderita polyneuritis

inflamatorik akut dan melakukan pemantauan fungsi pernafasan dengan teliti,

termasuk analisa gas darah serta kapasitas vital paru hungga kelemahan motorik

mencapai titik terendah (menetap). Hal ini merupakan hal yang penting.

4. Elektrodiagnostik (EMG) memberikan tanda-tanda demielinisasi yabg terlihat

dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantaran saraf, blok

hantar saraf (conduction blok) atau disperse temporal, dan gelombang F (F-wave)

yang hilang atau memanjang. Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 –

10 hari dan terdiri dari F-wave yang melambat karena terkenanya radiks , didikuti

kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang

menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction blok) dan lalu

mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari penurunan kecepatan hantar

saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.

2.6. Diagnosa Banding

Peradangan akut/kronis demielinisasi poliradikuloneuropati

Sindrom, Kauda Equina

Sindrom Konus Medullaris

HIV-1 dengan peradangan kronis demielinisasi poliradikulopati

7

Page 8: REFERAT GBS

HIV-1 dengan nyeri polineuropati sensorimotor distal

HIV-1 dengan mononeuropati multiple

HIV-1 dengan komplikasi neuromuscular

HIV-1 dengan poliradikulopati progresif

HIV-1 dengan mielopati

Penyakit Lynne

Myastenia Gravis

Neuropati toksik

Keracunan organophospat

2.7. Pemeriksaan

1. Diagnosa didasarkan atas adanya gejala kelemahan ascenden dengan arefleksi.

Pemeriksaan punksi lumbal, elektrodiagnosis, atau kadang MRI hanya sebagai

pendukung diagnosis

2. Khas pada pemeriksaan punksi lumbal atas dugaan demielinisasi ( yakni

peningkatan protein) tanpa disertai adanya tanda infeksi aktif (kurangnya

pleositosis LCS), merupakan temuan Guillain Barre.

Nilai NCS bisa saja normal dalam 2 minggu ke atas sejak adanya gejala,

dan kadang proteinnya bisa jadi tidak bertambah tinggi dalam 1 minggu.

Sebagian besar pasien memiliki leukosit di bawah 10 per cc, tapi kadang

ditemukan sedikit meningkat (10-50 per cc).

3. Kriteria terjadinya kegagalan nafas pada SGB :

Kapasitas vital < 1L ; diperlukan observasi di ICU

8

Page 9: REFERAT GBS

33% memerlukan intubasi

Indikasi intubasi:

- Kapasitas vital < 12-15 ml/Kg, khususnya dengan derajat cepat

- Inspirasi paksa negative ; 25 cmH2O

- Hipoxemia ; PaO2 80mmHg

- Kesulitan sekresi

- Waktu onset ; 7 hari

Waktu bernafas ; 50% < 3 minggu

Kadang-kadang berhubungan dengan aspirasi

2.8. Terapi

Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif dan

terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama, jika pasien

sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan mengalami

kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan

intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. Oleh

karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit untuk diobservasi tertutup

untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan system

autonom. Disfungsi system saraf autonom dapat bermanfestasi ; tekanan darah yang

berubah-ubah, disritmia, psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis

untuk trombosis vena dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak

selama beberapa minggu.

9

Page 10: REFERAT GBS

Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi. Pasien

tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi. Penilaian

ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang cepat sangat

diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya adalah :

Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari

Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur

Tidak sanggup berdiri

Peninggian kadar enzim hati

Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk memijat

dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi dapat

meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin) telah digunakan

sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien dengan paralysis

memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan diskusi tentang fase

penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress psikologi.

Belum ada drug of choice yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah

kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan

klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan.

Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot-

otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau

immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatu plasma

exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari) secara bermakna

menurunkan lama dan beratnya disability pada pasien SGB, namun beberapa

penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg.

10

Page 11: REFERAT GBS

The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg

(400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan dengan

plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan dan

mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian IVIg

dibandingkan plasma exchange.

IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan

lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun

sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan

yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah

dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi tentang keuntungan menggabungkan

penggunaan IVIg dan plasma exchange, sehingga hanya salah satu terapi saja yang

digunakan.

Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti

sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika plasma beku

digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus seperti hepatitis

dan HIV.

IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma juga

dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal Insuffiensi. Pasien-

pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan muntah, tetapi

gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga dapat mnegalami

meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat alergi sebelumnya terhadap

penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi pengobatan.

11

Page 12: REFERAT GBS

Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian, apabila

keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka kortikosteroid

dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi dengan

kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.

Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah

terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan

seperti ini.

Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang

pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.

Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.

2.9. Prognosis

Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit tidak

memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak terjadi

kelumpuhan total.

Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan fungsi

dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset, bagimanapun

pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia.

Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap termasuk bilateral

footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia, dan disestesia. Angka kematian

<5% pada pengobatan yang professional. Penyebab kematian biasanya berupa sindrom

distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan henti jantung.

12

Page 13: REFERAT GBS

Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat

memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun, berat,

memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara langsung

berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada pengobatan

spesifik.

13

Page 14: REFERAT GBS

BAB 3

KESIMPULAN

Pada pasien yang diduga SGB, pemeriksaan terkait harus segera dilakukan untuk

menegakkan diagnosa. Pemantauan pasien secara kontinu diperlukan untuk memberikan

terapi lebih intensif apabila diduga telah mengalami paralysis otot-otot respirasi.Latihan

dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.

14

Page 15: REFERAT GBS

DAFTAR PUSTAKA

1. PDSSI, Editor : Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 2005

2. Mack, KJ, Sindrom Guillain-Barre, http://www.emedicine.com, 2013

3. Howard, L. Werner, Lowrence P. Levitt, Buku Saku Neurologi, Edisi ke V,

EGC, Jakarta, 2001

4. Asnawi C. Margono, Neuropati, Kapita Selekta, Edisi TI, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, 1996

5. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Dian Rakyat,

Jakarta, 2000

6. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,

http://www.americanfamilyphysician.com, May 2004

15