presus rehap medik

41
BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI (2) Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat 1

Upload: miftahul-fahmi-fs

Post on 31-Oct-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Presus Rehap Medik

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI (2)

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak

diketahui sebabnya. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis

akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya

tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit

neurologis lainnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti

beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.

fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Paralisis fasial

idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari

Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes

simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan

penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada

Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di

dekat ganglion genikulatum.

Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi

anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan

erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini

lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2

tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat

hubungannya dengan cuaca dingin.

B. EPIDEMIOLOGI (3, 4)

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis

fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986

dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,

insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%

mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000

populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-

diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang

1

Page 2: Presus Rehap Medik

sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena

daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai

semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan

trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s

palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat

Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.

Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan

frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak

pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak

didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada

beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin

berlebihan .

C. ANATOMI (5)

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.

levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah).

2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan

mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan

glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap

di dua pertiga bagian depan lidah.

4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu

dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang

dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang

menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut

parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut

dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang

2

Page 3: Presus Rehap Medik

telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral

umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif

dari otot yang disarafinya.

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang

menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai

saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di

ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi

pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda

timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi

ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada

akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan

sentralnya identik dengan saraf trigeminus.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan

keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral

pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius

dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis

bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan

3

Page 4: Presus Rehap Medik

dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari

tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi

otot- otot wajah.

4

Page 5: Presus Rehap Medik

D. PATOFISIOLOGI (6)

1) Teori Infeksi Virus Herpes Zoster

Salah satu penyebab munculnya Bell’s Palsy adalah karena adanya infeksi

virus herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila

radang herpes zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat

melibatkan paralisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis

herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering

dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt atau Bell’s Palsy

2) Teori Iskemia Vaskuler

Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii,

secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis. Kerusakan

yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan

dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan

akibat dari tekanan langsung pada sarafnya. Kemungkinan terdapat respon

simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena

pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema

sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah,

menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis.

3) Teori herediter

5

Page 6: Presus Rehap Medik

Teori herediter mengemukakan bahwa Bell’s Palsy yang disebabkan karena

faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis

yang bersifat menurun.

4) Pengaruh udara dingin

Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher

atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari

suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus

bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga

rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah

mengalami kelemahan atau lumpuh.

E. ETIOLOGI (1)

Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

1) Idiopatik

Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut

bell’s palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s

Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di

tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,

diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor

genetic.

2) Kongenital

a) anomali kongenital (sindroma Moebius)

b) trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

3) Didapat

a) Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

b) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)

c) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

d) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)

e) Sindroma paralisis n. fasialis familial.

F. GEJALA KLINIK (1, 2)

6

Page 7: Presus Rehap Medik

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan

gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas

bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal,

linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal

yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :

1) Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang

lumpuh (lagophthalmos).

2) Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola

mata berputar zXke atas bila memejamkan mata, fenomena ini

disebut Bell's sign.

3) Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada

sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi

lesi :

1) Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi

mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan

sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit

dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau

tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

2) Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda

klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman

pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang

terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah

menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus

menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda

timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

3) Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus

stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan

adanya hiperakusis.

7

Page 8: Presus Rehap Medik

4) Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion

genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di

belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi

pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah

paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di

ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani,

kanalis auditorius eksterna dan pina.

5) Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik

seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari

terlibatnya nervus akustikus.

G. DIAGNOSA (4)

1) Anamnesa

Rasa nyeri

Gangguan atau kehilangan pengecapan.

Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan

pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.

8

Page 9: Presus Rehap Medik

Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita

seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-

lain.

2) Pemeriksaan Fisik

Diagnosis Bell’s palsy biasanya ditegakkan berdasarkan gejala yang muncul.

Hal ini dapat dibedakan dengan stroke karena biasanya stroke dapat menyebabkan

kelemahan mendadak hanya pada wajah bagian bawah daripada pada semua

bagian wajah. Selain itu, stroke juga menyebabkan kelemahan yang khas pada

lengan dan kaki.

Para dokter dapat membedakan Bell’s palsy dari kelainan lain yang

menyebabkan paralisis nervus fasialis karena kelainan lain biasanya berkembang

secara perlahan-lahan. Yang termasuk pada kelainan ini antara lain tumor otak,

tumor lain yang menekan nervus fasialis, infeksi di rongga telinga tengah atau

sinus mastoideus, dan fraktur basis cranii. Biasanya, dokter dapat

mengesampingkan kelainan-kelainan ini berdasarkan riwayat penyakit, hasil foto

rontgen, CT Scan atau MRI. Untuk tes darah tidak ada tes khusus untuk Bell’s

palsy.

Untuk menilai kelumpuhan atau kondisi simetris-asimetris dari Bell’s palsy

yaitu dengan “UGO FISCH SCORE”. Cara penilaian kondisi simetris-asimetris

antara sisi sakit dibandingkan dengan sisi sehat pada 5 posisi:

1. Kerutan dahi : 10 point

2. Bersiul : 10 point

3. Istirahat : 20 point

4. Tutup mata : 30 point

5. Tersenyum : 30 point

Kondisi tersebut dikalikan dengan penilaian dengan kondisi dibawah ini:

0% = asimetris komplit, gerakan involunter tidak ada

30% = simetris, lebih dekat ke asimetris komplit dari pada

normal

70% = simetris cukup, sembuh parsial, lebih dekat ke normal

100% = simetris normal atau komplit

9

Page 10: Presus Rehap Medik

Kemudian semua hasil dijumlahkan (dalam keadaan normal, jumlah point = 100).

Hasil: Normal (100), prognosis baik (70-99), prognosis cukup (30-69), prognosis

buruk (0-29)

3) Pemeriksaan Laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan

diagnosis Bell’s palsy.

4) Pemeriksaan Radiologi.

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-

Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,

stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien

Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus

fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

H. DIAGNOSA BANDING (2)

a) Ramsay Hunt syndrom

Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom).

Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan

ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.

Tanda dan gejala RHS meliputi :

Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang

telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut

(langit-langit) atau lidah.

Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang

terkinfeksi.

Kesulitan menutup satu mata.

Sakit telinga.

Pendengaran berkurang.

Dering di telinga (tinnitus).

Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo).

Perubahan dalam persepsi rasa.

b) Miller Fisher Syndrom

10

Page 11: Presus Rehap Medik

Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang

jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated

Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa

opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom

didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan

kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan

kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada

Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan

rasa kebas, pusing dan mual.

I. PENATATALAKSANAAN (1, 8)

1). Istirahat terutama pada keadaan akut

2). Medikamentosa

i. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60

mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan

perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya

dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk

meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Dasar dari

pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan

terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang

disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal

fasialis yang sempit.

ii. Penggunaan obat- obat antivirus .

Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam

penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan

prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk

penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.

Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari

pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

iii. Perawatan mata:

11

Page 12: Presus Rehap Medik

Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk

menggantikan lakrimasi yang hilang.

Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa

sadar jika air mata buatan tidak mampu menyedikan

perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan

kabur.

Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan

menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara

langsung terhadap kornea.

3). Fisioterapi

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada

stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.

Dapat dilakukan dengan melakukan terapi ke rehabmedik dengan pemberian

terapi Infra Merah (15 menit) dan Elektrikal Stimulasi intensitas 1 MA. Cara yang

sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore

atau dengan faradisasi.

Ocupational Terapi Program :

- Suportif OT

- Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut dahi,

tutup mata, tersenyum, meringis, meniup bola pingpong,/lilin,

berkumur.

- Latihan makan dengan mengunyah disisi yang lemah.

4). Operasi

Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena

dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan

operatif dilakukan apabila :

tidak terdapat penyembuhan spontan

tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

J. KOMPLIKASI (2, 9,10)

a) Crocodile tear phenomenon.

12

Page 13: Presus Rehap Medik

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul

beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi

yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi

menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

b) Synkinesis.

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri.

selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan

mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi

platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah,

serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-

serabut otot yang salah.

c) Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme

Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak

terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal

hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada

sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.

Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul

dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

K. PROGNOSIS

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah :

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang

lumpuh.

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki

prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy,

85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset

13

Page 14: Presus Rehap Medik

penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Pada umumnya

prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6

minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun

atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi

meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya

memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan

meninggalkan gejala sisa.Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita

cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang

spasme hemifasial.

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding

penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non

DM. Hanya 23%kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy

kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral

menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

14

Page 15: Presus Rehap Medik

BAB II

LAPORAN KASUS REHABILITASI MEDIK

BELL’S PALSY

Anamnesis : Autoanamnesa

Tanggal : 12 Februari 2013

Ruang : Poliklinik

Masuk RS : 12 Februari 2013

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Umur : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : Tamat SMA

Agama : Islam

II. DATA SUBYEKTIF

Keluhan Utama : wajah sebelah kiri terasa bebal, rujukan dokter umum ke

rehabilitasi medik.

Keluhan Tambahan : ( - )

Riwayat Perjalanan Penyakit

10HSMRS pasien mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan dan mata

terasa pedih karena tidak bisa menutup maksimal. Pasien mengeluh ketika

mengunyah makanan, makanan tersebut mengumpul di rongga mulut bagiuan kiri.

Untuk minum seperti bocor keluar. Keluhan tersebut muncul saat pasien pulang

dari sawah pagi-pagi subuh sehabis bertani. Saat bangun tidur pasien tidak

merasakan perubahan ataupun keluhan apapun. Pasien tidak mengeluh demam

15

Page 16: Presus Rehap Medik

maupun pusing berdenyut. Pasien juga tidak mengeluh ada kelemahan anggota

gerak. Pasien kemudian berobat ke dokter umum, dan setelah menjalani

pengobatan dokter tersebut merujuk ke bagian rehabilitasi medis RSU Salatiga

Pasien mengaku tidak bisa menggunakan sedotan saat minum. Pasien mengaku

tidak ada riwayat trauma sebelumnya.

Faktor yang memperberat : -

Faktor yang memperingan : -

Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat penyakit yang sama : Tidak ada

b. Riwayat penyakit asma : Tidak ada

c. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi : Tidak ada

d. Riwayat penyakit jantung : Tidak ada

e. Riwayat penyakit kencing manis : Tidak ada

f. Riwayat penyakit alergi : Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat penyakit yang sama : tidak ada

b. Riwayat penyakit asma : Tidak ada

c. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi : Tidak ada

d. Riwayat penyakit jantung : Tidak ada

e. Riwayat penyakit kencing manis : Tidak ada

f. Riwayat penyakit alergi : Tidak ada

Riwayat Sosio Ekonomi

Pasien merupakan seorang petani. Tinggal bersama istri di rumah.

Memiliki 2 anak kesemuanya belum bekerja dan belum berkeluarga. Aktivitas

sehari-hari pasien adalah bercocok tanam. Pasien menggarap sawah orang,

kemudian dengan system bagiu hasil. Penghasilan per bulan tidak menetap,

tergantung hasil panen.

Anamnesis Sistem

Sistem Serebrospinal : CM,

Sistem Kardiovaskular : tak ada keluhan

Sistem Respirasi : tak ada keluhan

16

Page 17: Presus Rehap Medik

Sistem Gastrointestinal : tak ada keluhan

Sistem Muskuloskeletal : kelumpuhan otot wajah sebelah kiri

Sistem Integumentum : tak ada keluhan

Sistem Urogenital : tak ada keluhan

III. DATA OBYEKTIF

A. Status present tanggal 12 Februari 2013

Keadaan Umum : CM, E4V5M6

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Denyut nadi : 88x/menit

Pernapasan : 24x/menit

Suhu : 36,5 °C

B. Status Internus (12 Februari 2013)

Kepala : Mesosepal, bentuk simetris, konjungtiva tidak anemis.

Hidung : Secret (-), hiperemis (-)

Telinga : Secret (-), nyeri tekan (-)

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe, kaku kuduk (-),

bentuk dan sikap leher normal.

Thorak : Bentuk dinding thorak simetris, ketinggalan gerak (-).

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tak teraba

Perkusi : batas jantung

kiri atas : SIC II linea parasternalis kiri

kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra

kiri bawah : SIC V ±4-5 cm dari caudo lateral linea

midclavicula

Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-)

Paru-paru

Inspeksi : Permukaan datar tak tampak retraksi

17

Page 18: Presus Rehap Medik

Palpasi : Fokal femitus ka=ki

Perkusi : Sonor disemua lapang paru

Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler (+),

Suara tambahan: (-)

Abdomen

Inspeksi : Permukaan datar, tidak tampak adanya massa.

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani (+)

C. Status Psikis

Pasien berharap bisa sembuh seperti semula.

D. Status Neurologis

Kesadaran : Baik (compos mentis)

GCS : E4 V5 M6

Orientasi : Tempat : baik

Waktu : baik

Orang : baik

Daya ingat : Lama : baik

Baru : baik

Pemeriksaan Penunjang

1. Tidak dilakukan

Ugo Fisch Score

Istirahat : 20 x 100% = 20

Kerut dahi : 10 x 70% = 7

Tutup mata : 30 x 70% = 21

Tersenyum : 30 x 70% = 21

Mencucu : 10 x 70% = 7

Total Score = 76

18

Page 19: Presus Rehap Medik

V. KESIMPULAN (Assesment)

Diagnosis klinis :Bell’s Palsy

Diagnosis topik : Lesi pada nervus VII (fasialis) perifer sinistra

Diagnosis etiologi : Tidak diketahui

VI. PENATALAKSANAAN

A. Terapi Umum

Istirahat terutama pada keadaan akut

Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.

B. Terapi Khusus

a. Farmakoterapi

Methyl Prednison mg 7

B1 tab 1/3

Diazepam 0,1

Mfla pulv dtd da in caps No VI

∫ 2 dd caps I

Neurodex No X

∫ 2 dd tab I

Pemberian kortikosteroid selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7

hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset

penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.

Metilprednisolon adalah glukokortikoid turunan prednisolon yang mempunyai

efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya.

Metilprednisolon tidak mempunyai aktivitas retensi natrium seperti

glukokortikosteroid yang lain. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk

menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang

disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang

sempit. Dosis awal dari metilprednisolon dapat bermacam – macam dari 4 mg –

48 mg per hari, dosis tunggal atau terbagi, tergantung keadaan penyakit.

19

Page 20: Presus Rehap Medik

Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-

aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat sehingga kanal

klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan

mendorong post sinaptik membrane sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini

menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alcohol,

antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. Dosisnya adalah 2-10 mg 3-4 kali sehari

atau 15-30 mg bentuk lepas lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari

diawal pada lansia atau pasien yang sangat lemah.

Tiap tablet neurodex mengandung vitamin B1 mononitrate100mg, vitamin B6

HCL 200 mg, vitamin B12 200 mcg. Vitamin B1 sebagai koenzim pada

dekarboksilasi asam alfa-keto dan berperan dalam metabolisme karbohidrat.

Vitamin B6 di dalam tubuh berubah menjadi piridoksal fosfat dan piridoksamin

fosfat yang dapat membantu dalam metabolisme protein dan asam amino. Vitamin

B12 berperan dalam sintesa asam nukleat dan berpengaruh pada pematangan sel

dan memelihara integritas jaringan syaraf. Dosisnya adalah 2-3x sehari.

b. Program Rehabilitasi Medik

Fisioterapi

Problem

- Kelemahan sistem otot-otot wajah yang diinervasi NVII perifer sinistra

Asssment

Bell’s Palsy

Program

- Pemanasan 1, 10

Pemanasan superfisial dengan infrared.

Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave

Diathermy. Memelihara ROM sendi lengan dan tungkai

- Stimulasi listrik. 1,8

- Latihan

- otot-otot wajah dan massage wajah

Sebaiknya ditambahkan juga dengan terapi :

20

Page 21: Presus Rehap Medik

1. Okupasi Terapi

Problem

- Gangguan mengunyah makan dan meminum minuman

Program

- Suportif OT

- Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut

dahi, tutup mata, tersenyum, meringis, meniup bola

pingpong,/lilin, berkumur.

- Latihan makan dengan mengunyah disisi yang lemah.

2. Home Program

- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20

menit

- Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan

tangan dari sisi wajah yang sehat

- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah

disisi yang sakit, minum dengan sedotan, mengunyah

permen karet

- Perawatan mata :

Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x

sehari

Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang

hari

Biasakan menutup kelopak mata secara pasif

sebelum tidur

Prognosis

pada kasus ini:

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanatioman : dubia ad bonam

Ad kosmetika : dubia ad bonam

21

Page 22: Presus Rehap Medik

BAB III

PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki, usia 52 tahun, datang ke Poliklinik RSU Salatiga

dengan keluhan 10HSMRS pasien mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan

dan mata terasa pedih karena tidak bisa menutup maksimal. Pasien mengeluh

ketika mengunyah makanan, makanan tersebut mengumpul di rongga mulut

bagiuan kiri. Untuk minum seperti bocor keluar. Keluhan tersebut muncul saat

pasien pulang dari sawah pagi-pagi subuh sehabis bertani. Saat bangun tidur

pasien tidak merasakan perubahan ataupun keluhan apapun. Pasien tidak

mengeluh demam maupun pusing berdenyut. Pasien juga tidak mengeluh ada

kelemahan anggota gerak. Pasien kemudian berobat ke dokter umum, dan setelah

menjalani pengobatan dokter tersebut merujuk ke bagian rehabilitasi medis RSU

Salatiga Pasien mengaku tidak bisa menggunakan sedotan saat minum. Pasien

mengaku tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Berdasarkan anamnesis, keluhan

pasien ini sesuai dengan paralisis nervus fasialis tipe perifer, dimana paralisis

terjadi padasisi wajah sebelah kiri saja. Hal ini terjadi karena kerusakan pada inti

nervus fasialis atau infranuklearnya, sehingga impuls homolateral untuk otot-otot

wajah bagian atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah

terganggu. Pada pasien ini tidak ditemukan gangguan pengecapan dan

pendengaran. Hal ini dapat menyingkirkan keterlibatan ganglion genikulatum

sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah maupun meatus akustikus

internus yang dapat mengganggu pendengaran. Pasien tidak memiliki riwayat

telinga berair, sehingga dapat disingkirkan kemungkinan etiologinya merupakan

suatu otitis media. Riwayat trauma juga disangkal sehingga dapat disingkirkan

kemungkinan fraktur os temporal, dan tidak adanya riwayat hipertensi serta tidak

adanya kelumpuhan anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan suatu lesi

sentral.

Dari riwayat sosial dan kebiasaan, pasien adalah seorang petani yang

terbiasa terkena udara dingin dan kelelahan. Hal ini merupakan faktor risiko yang

22

Page 23: Presus Rehap Medik

dapat menyebabkan nervus fasialis menjadi sembab dan terjepit pada foramen

stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan nervus fasialis tipe LMN(perifer).

Kelumpuhan ini disebut dengan Bell’s Palsy.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, tekanan

darah 130/90 mmHg, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit, suhu 36,50C. Tidak

ditemukan hipeakusis karena jika nervus fasialis terjepit di foramen

stilomastoideum maka ia tidak lagi mengandung serabut korda timpani dan

serabut yang mempersarafi muskulus stapedius. Ugo Fisch Score

Istirahat : 20 x 100% = 20

Kerut dahi : 10 x 70% = 7

Tutup mata : 30 x 70% = 21

Tersenyum : 30 x 70% = 21

Mencucu : 10 x 70% = 7

Total Score = 76. Tidak adanya kelumpuhan anggota gerak dapat

menyingkirkan kemungkinan stroke yang dapatmenyebabkan paralisis Nv.VII,

yang lesinya bersifat sentral. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat

ditegakkan diagnosis klinis Parelisis Nervus VII tipe perifer (Bell’s Palsy),

dengan diagnosis topik Nervus VII, dan etiologi idiopatik. Pada kasus ini tidak

dilakukan pemeriksaan penunjang, atau bila ingin dilakukan pemeriksaan

penunjang bisa dengan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat untuk

mengetahui kelumpuhan saraf fasialis yaitu dengan uji fungsi saraf. Terdapat

beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG),

Elektroneuronografi (ENOG).

1. Elektromiografi (EMG)EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi.

Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons

reinervasi pasien.Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal,

pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang

mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG

sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21hari,

jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi.

23

Page 24: Presus Rehap Medik

Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan

kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.

2. Elektroneuronografi (ENOG). ENOG memberi informasi lebih awal

dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik

dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.

Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90%

pada ENOG biladibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari,

maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna.

Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara

medikamentosa yaitu dengan pemberian kortikosteroid, seperti prednison

1mg/kgBB (prednisone 60 mg), di tappering off diturunkan 2 tab/hari sampai

10hari (stadium akut), diberikan Nurodex 3x1 tab, dan dapat ditambahkan

analgetik (bila nyeri). Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi,

dilakukan setelah hari ke 4 awitan. Hal ini dapat dilakukan dengan melatih sisi

wajah yang lumpuh untuk melakukan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup

mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat juga dilakukan

massase wajah sisi yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk mempertahankan

tonus otot yang lumpuh.

Rehabilitasi Medik dapat dilakukan berupa :

- Pemanasan

- Pemanasan superfisial dengan infra red.

- Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave

Diathermy

- Stimulasi listrik

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan

memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya

adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,

meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2

minggu setelah onset.

- Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

24

Page 25: Presus Rehap Medik

Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan

berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan

mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca

dengan konsentrasi penuh).

Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan

maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle

massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek

mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.

Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak

volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap

pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam

laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan

meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage

daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan

diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

- Program Terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.

Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk

permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi

penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan

berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,

latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.

- Program Sosial Medik

Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan

sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.

Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat

kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak

banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan

mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu

memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang

merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

25

Page 26: Presus Rehap Medik

- Program Psikologik

Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol,

rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau

penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan

umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.

- Program Ortotik – Prostetik

Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut

yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu

diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester

dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah

menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot

Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.

Home Program

- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

- Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan

dari sisi wajah yang sehat

- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang

sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet

- Perawatan mata :

• Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari

• Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari

• Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

26

Page 27: Presus Rehap Medik

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

2.Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy, “http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses tanggal 11 desember 2011)

3.Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy, “http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses tanggal 22 Desember 2011).

4.Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)

5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.

6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”, (diakses tanggal 12 Desember 2011)

7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174

8.Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)

9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2

10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 : 311-17

8. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81

9.    Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell¶s Palsy. Available from :http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1, 2010.Holland, J. Bell¶s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.Ropper AH, Brown RH. Bell¶s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and

27

Page 28: Presus Rehap Medik

Victor¶sPrinciples of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.

10. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed.Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.

11. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.

12. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George ThiemeVerlag: German, 2003. 98-99.

13.  Breneman J, Warnick R. Stereotactic Radiosurgery & Radiotherapy of the Head [Online]. 2003 Sept [cited 2007 Agt 28]; Available from: URL:hhtp:// www.abta.org

28