penyakit jantung rematik stase harkit

27
Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Pendekatan Patofisiologi dan Diagnostik Penulis: Ahmad Yasa Pembimbing: Prof. Dr Ganesja M Harimurti, SpJP (K) Divisi Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan 1

Upload: ah-yasa

Post on 16-Sep-2015

69 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

preskas

TRANSCRIPT

Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Pendekatan Patofisiologi dan Diagnostik

Penulis:Ahmad Yasa

Pembimbing:Prof. Dr Ganesja M Harimurti, SpJP (K)

Divisi Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung BawaanDepartemen Kardiologi dan Kedokteran VaskulerFakultas Kedokteran Universitas Indonesia2014

Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Pendekatan Patofisiologi dan DiagnostikAhmad Yasa

Divisi Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung BawaanDepartemen Kardiologi dan Kedokteran VaskulerFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak

Latar BelakangDemam rematik akut dan penyakit jantung rematik merupakan perhatian kesehatan masyarakat diseluruh dunia. Walaupun angka kejadian yang menurun pada negara-negara maju, hal ini masih menjadi beban kesehatan yang sangat signifikan pada negara miskin dan berkembang. Tujuan Tujuan dari presentasi kasus ini adalah menyajikan kasus demam rematik dan penyakit jantung rematik pada anak dan mendiskusikan pendekatan patofisiologi diagnostiknya. Ilustrasi KasusPasien anak wanita usia 11 tahun 10 bulan datang ke IGD PJNHK dengan keluhan sesak napas, pasien merupakan pasien lama dengan diagnosis MR severe e/c PJR. Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan untuk penegakan diagnosis penyakit jantung rematik dan pasien diberikan prevensi sekunder serta direncanakan untuk operasi katup untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.KesimpulanDengan diagnosis yang tepat, berdasakan pada temuan klinis dan alat bantu diagnostik. Penurunan morbiditas dan mortalitas demam rematik sehingga tidak berakhir pada penyakit jantung rematik dapat dicapai, sehingga dapat mengurangi beban kesehatan di negara-negara miskin dan berkembang.

Pendahuluan

Penyakit jantung rematik (PJR), merupakan satu-satunya konsekuensi klinis dari demam rematik akut (DRA), yang berkelanjutan, tidak tertangani dengan baik pada negara-negara berkembang dan miskin juga pada komunitas-komunitas pribumi pada negara industri. Setidaknya 15 juta populasi diseluruh dunia menderita PJR.1 American Heart Association (AHA) telah mengeluarkan kriteria diagnostik klinis- kriteria Jones dengan beberapa modifikasi dan revisi, kriteria ini telah diterima dan digunakan diseluruh dunia untuk mendiagnosis suatu DRA.2Beban kesehatan DRA maupun PJR telah didiskripsikan oleh Carapetis dan kawan-kawan, 3 tanpa menyertakan negara-negara maju, beban global dari PJR pada anak-anak usia 5-14 tahun diperkirakakn mencapai 0.8-5.7 kasus per 1000 populasi, dengan perkiraan jumlah anak-anak yang mengalami PJR seluruh dunia sekitar 2.4 juta. Beberapa penelitian yang dilakukan di Asia, jumlah penderita PJR berkisar antara 1.96 hingga 2.21 juta penderita. Jika tidak berdasarkan usia, populasi penderita PJR secara global berkisar antara 15.6-19.6 juta jiwa. Sedang populasi penderita PJR di Asia pada semua usia berkisar antara 10.8-15.9 juta penderita. 4Satu-satunya pendekatan yang dinilai hemat biaya untuk mengendalikan PJR adalah profilaksis sekunder dengan menggunakan injeksi penicillin tiap 3-4 minggu untuk mencegah serangan lenjutan dari infeksi kuman grup A Streptococcus (GAS) yang mengakibatkan DRA dan perburukan PJR. 1 Bagaimanapun, mayoritas pasien yang terdaftar dalam program berbasis registry biasanya bersifat simtomatis dengan kondisi penyakit yang telah lanjut. Pasien dengan PJR yang ringan dan asimtomatis merupakan kelompok populasi yang paling rawan, karena mayoritas dari populasi ini biasanya tidak terdeteksi dalam 5-10 tahun.5

TUJUANTujuan dari presentasi kasus ini adalah menyajikan kasus demam rematik dan penyakit jantung rematik pada anak dan mendiskusikan pendekatan patofisiologi diagnostiknya.

ILUSTRASI KASUSAnak perempuan 11 tahun, 10 bulan datang ke instalasi gawat darurat (IGD) Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) pada tanggal 25 September 2014 dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak biasanya dirasakan semakin parah terutama bila pasien beraktivitas berat, namun sejak seminggu pasien selalu merasakan sesak napas saat melakukan aktivitas harian, seperti berjalan ke kamar mandi dan naik beberapa anak tangga. Sesak sedikit berkurang dengan istirahat, namun tidak dapat hilang, pasien juga menggunakan 3 bantal untuk bisa tidur karena sesak. Terbangun saat tidur akibat sesak juga kadang dirasakan pasien. Pasien juga merasakan demam selama 1 minggu, tidak disertai batuk.Pasien merupakan pasien lama PJNHK dan pernah dirawat dengan keluhan serupa. Menurut data rekam medis pasien terakhir kali menjalani perawatan pada pertengahan tahun 2011 dengan keluhan serupa dengan diagnosis MR severe e/c PJR. Saat itu pasien pernah dijadwalkan untuk menjalani operasi penggantian katup jantung namun pasien tidak pernah datang untuk menjalani operasi dan kontrol berobat karena orang tua pasien meninggal dunia.Pada saat di IGD pasien tampak sesak, dengan tanda-tanda vital, tekanan darah 98/ 56 mmHg, laju jantung 124 kali per menit, regular, laju napas 26 kali permenit, febris suhu 38 celcius dan saturasi oksigen 97 % dengan oksigen ruangan. Pemeriksaan antropometri menunjukkan berat badan 38 kg dengan tinggi badan 146 cm dengan status gizi kesan baik dengan normoweight dan normoheight. Pada pemeriksaan fisik didapatkan conjunctiva anemis, dengan peningkatan distensi vena jugularis 5+3 cmH2O. Pemeriksaan jantung aktivitas ventikel kanan dan kiri kesan meningkat, palpasi apeks teraba SIC V 2 cm pada lateral garis sub clavicularis kiri dan tidak kuat angkat serta tidak didapatkan thrill. Pada perkusi batas jantung kesan melebar kearah lateral, dengan auskultasi didapatkan S1 normal, S2 terdengar splitting fisiologis tidak mengeras dan terdengar bising jantung sistolik dengan punctum maximum di area parasternal kiri bawah dengan intensitas bising 2/6 menjalar hingga apeks serta bising pansistolik dengan punctum maximum di daerah apeks jantung dengan intensitas 3/6 menjalar kearah axila. Didapatkan suara dasar vesikuler dikedua lapang paru, dengan ronkhi basah halus pada 1/3 basal kedua lapang paru. Pemeriksaan abdomen didapatkan dinding perut sejajar dinding dada, bising usus (+) normal, perkusi timpani pada seluruh lapang perut dengan pekak pada area sub costae kanan, pada perabaan teraba supel dan tidak teraba hepar dan lien. Ektremitas atas dan bawah dalam kondisi hangat dan tidak didapatkan edema.Dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) (gambar 1) didapatkan sinus takikardia dengan laju QRS 124 kali per menit, QRS axis + 20 gelombang P, lebar dan bertakik, dengan P-R interval 0.16 detik, durasi QRS 0.10 detik, dan didapatkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri (HVKi), serta progresifitas gelombang R yang lambat pada v1 hingga v4. Kesan EKG : Dilatasi atrium kiri dan hipertrofi ventrikel kiri.

Gambar 1. EKG pasien menunjukkan gambaran Pembesaran atrium kiri, HVKi serta progresifitas gelombang R yang lambat di v1-v4Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8.0 / leukosit 11350 / eritrosit 3, 91 / trombosit 585 / MCV 71 / MCH 21 / MCHC 29 / CV 23, 3 / ureum 37 / creatinine 0,7 / BUN 17 / gula darah sewaktu 109 / natrium 136 / kalium 4, 0 / kalsium 1, 96 / klorida 103 / magnesium 2,5 / LED 31 / CRP 33 / ASTO -Foto ronsen toraks (gambar 2) menunjukkan gambaran kardiomegali dengan rasio kardiotoraks 64%, segmen aorta normal, segmen pulmonal menonjol, pinggang jatung mendatar, apeks jantung sulit dinilai, diafragma licin bentuk kubah, sudut kostofrenikus kiri tumpul, kesan efusi plaura kiri, Pada paru terdapat gambaran kongestif.dikedua lapang paru.

Gambar 2. Ronsen toraks menunjukkan gambaran kardiomegali dengan tanda-tanda kongestif dikedua lapang paru dan efusi pleura kiri.Pada pemeriksaan ekhokardiografi (gambar 3)didapatkan situs solitus, AV-VA concordance, IVC lebar, muara semua vena pulmonalis menuju atrium kiri. Dilatasi atrium kiri dan ventrikel kiri, dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 64% (Teich), fungsi ventrikel kanan TAPSE 2, 2cm, katup aorta 3 kuspis, tidak didapatkan stenosis dan regurgitasi katup. Katup mitral didapatkan ujung-ujung katup agak menebal, dengan restriktif daun katup mitral posterior (posterior mitral leaflet = PML) dan prolaps daun katup mitral anterior (anterior mitral leaflet = AML). Didapatkan regurgitasi mitral (mitral regurgitation = MR) berat dengan jet eksentrik. Pada katup tricuspid didapatkan regurgitasi tricuspid (tricuspid regurgitation = TR) sedang dengan gradien katup tricuspid 20 mmHg. Katup pulmonal baik, tidak didapatkan ASD, VSD, PDA dan koarktasio aorta, dengan arkus aorta dikiri.

Gambar 3. Ekhokardiografi menunjukkan dilatasi LA-LV, prolaps AML, TR moderate, MR severe.Pasien kemudian didiagnosis dengan gagal jantung kongestif kelas fungsional IV, reaktivasi rheuma, MR severe e/c prolapse AML, TR moderate dengan anemia mikrositik hipokromik. Pada perawatan diruang rawat anak pasien mendapatkan terapi inisial phenoxy methyl penicillin 2x500mg, furosemide drip 5mg/jam, spironolactone 1x25mg, Ramipril 1x 2.5mg, pasien juga mendapatkan transfusi PRC 250 cc, dengan perbaikan kadar hemoglobin menjadi 10,8 gr/dL. Pemeriksaan kultur usap tenggorok mendapatkan hasil (+) Klebsiella pneumoniae.Selama perawatan kondisi klinis pasien mengalami perbaikan, dosis furosemide diturunkan hingga pemberian intermiten 2x 40mg dan ramipril dititrasi 1 x 5 mg. Pasien kemudian dipulangkan dalam kondisi baik dan stabil pada perawatan hari ke 9, dengan sebelumnya dilakukan konferensi bedah Bagian Pediatrik dan direncanakan untuk penjadwalan ulang untuk dilakukan operasi katup jantung.DISKUSIPatofisiologiWalaupun patogenesis DRA dan PJR masih belum diketahui secara jelas, namun telah diketahui bahwa respon imun pejamu memegang peranan penting dalam infeksi grup A streptococcus (GAS) yang mendahului. Bukti penelitian terbaru mendukung fakta-fakta berikut.6a. Faringitis GAS yang terjadi pada pejamu yang rentan secara genetik menyebabkan pemecahan antigen dan produk Streptokokus yang bersifat crossreactive dengan protein jantung (mimikri molekular)b. Respon imun yang terjadi sebagai reaksi terhadap infeksi menyebabkan antibodi yang bersifat crossreactive dan produksi sitokinc. Antibodi berikatan dengan permukaan endothelial katup jantung menyebabkan cedera, infiltrasi seluler oleh sel inflamatori, dan upregulation vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), yang membantu perekrutan dan infiltrasi sel T dan makrofag, sehingga terjadi inflamasi dan kerusakan yang lebih lanjut. d. Cedera endothel menyebabkan paparan terhadap struktur dan protein subendothelial meliputi vimentin (ditemukan pada fibroblast jantung) dan laminin (protein matriks ekstraseluler yang terdapat pada membran basalis katup dan sekitar endothelium).e. Inflamasi menyebabkan neovaskularisasi, sehingga memudahkan perekrutan lebih lanjut sel T, yang mengakibatkan terjadinya inflamasi granulomatosa dan perubahan-perubahan lain yang didapatkan pada penyakit jantung rematik kronik.f. Infiltrasi seluler berperan dalam pembentukan badan Aschoffg. Limfosit B dan makrofag yang teraktivasi pada badan Aschoff mengekspresikan molekul HLA kelas II di permukaan selnya dalam jumlah besar dan kemungkinan berperan penting dalan presentasi antigen terhadap sel T, yang diketahui berperan sebagai efektor penting dalam penyakit jantung rematik.h. Sel T yang berinfiltrasi bersifat crossreactive dengan protein streptokokus M, miosin jantung, dan laminin (mimikri molekuler). Sel T CD4+ yang dikenal sebagai sitokin inflamatori mayor i. Sitokin inflamatori (Peningkatan jumlah TNF- dan interferon-, disertai penurunan jumlah interleukin-4), nampaknya berperan penting dalam persistensi dan progresivitas lesi katup rematik pada pejamu yang rentanj. Melalui proses yang disebut sebagai penyebaran epitop, sel T bereaksi terhadap protein jantung alpha-heliks lainnya, meliputi tropomiosin dan vimentin.

Gambar 4. Imunopatogenesis demam rematik dan penyakit jantung rematik. (1) dan (2) faringitis Rheumatogenic group A streptococcal (GAS). (3) antigen crossreactive pada GAS. (4) Mimikri molekuler antara antigen GAS dan jaringan pejamu diketahui berperan sebagai dasar reaktivitas silang patogen-pejamu, misalnya pada protein jantung alfa heliks, misalnya miosin, laminin, dan vimentin. (5) Vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1) mengalami upregulation pada katup dan membantu perekrutan serta infiltrasi sel T. (6) Inflamasi menyebabkan neovaskularisasi, sehingga terjadi perekrutan sel T yang lebih lanjur, mengakibatkan inflamasi granulomatosa dan terjadinya penyakit jantung rematik kronik.6

Perjalanan penyakitPrognosis dan perjalanan penyakit karditis rematik dan penyakit jantung rematik dipengaruhi oleh derajat keparahan karditis awal dan rekurensi demam rematik. Karditis ringan tanpa rekurensi nampaknya lebih mungkin mengalami resolusi daripada karditis awal yang berat dan/atau kasus dengan episode demam rematik yang rekuren. Hanya 30-40% pasien dengan regurgitasi mitral akut yang ditemukan bising persisten pada saat follow up, dengan kebanyakan perbaikan klinis terjadi dalam 6 bulan pertama setelah penyakit akut. Pasien dengan karditis yang lebih berat (gagal jantung dan/atau kardiomegali) cenderung mengalami penyakit jantung rematik yang persisten, dan regurgitasi aorta cenderung lebih sulit hilang dibandingkan regurgitasi mitral. Proporsi penderita dengan demam rematik yang mengalami penyakit jantung rematik menurun dari 60-90% pada era prepenicillin menjadi 35-65%. Usia dan jenis kelamin juga mempengaruhi prognosis, misalnya kelainan jantung rematik akut lebih sering membaik pada anak laki-laki, dan anak-anak yang terkena demam rematik pada usia di bawah 5 tahun seringkali mengalami kelainan jantung yang lebih berat dan lebih sering menderita penyakit jantung rematik kronik yang persisten.6Perubahan patologis yang terjadi pada demam rematik ditandai dengan inflamasi jaringan ikat pada jantung, sendi, dan jaringan ikat subkutan. Perubahan patologis pada karditis rematik terutama terjadi pada perivaskuler dan interstisial, tanpa bukti nekrosis miosit. Terdapat dua fase, yaitu fase eksudatif dan proliferatif/ granulomatous.6a. Fase eksudatifFase eksudatif terjadi pada dua hingga tiga minggu pertama setelah onset penyakit dan ditandai dengan edema interstisial, infiltrasi seluler (sel T, sel B, dan makrofag), fragmentasi kolagen, dan deposisi tersebar fibrinoid (zat granular eosinofilik).b. Fase proliferatif/ granulomatousTerjadi selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Nodul Aschoff, yang dianggap patognomonik, dan merupakan penanda morfologis penyakit jantung rematik, dapat ditemukan pada endokardium, subendokardium, aatau interstitial. Nodul Aschoff merupakan agregasi perivaskuler yang ditandai oleh adanya area sentral perubahan fibrinoid (kolagen yang berubah) dikelilingi atau diinfiltrasi oleh sel multinukleus besar (owl eye). Badan Aschoff tidak ditemukan pada pasien yang meninggal pada minggu pertama setelah onset demam rematik, tetapi ditemukan bertahun-tahun setelah awal penyakit dan tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Sel pada badan Aschoff yang terletak di dalamnya dan mengaktivasi endothel katup, nampaknya berperan penting dalam presentasi antigen terhadap sel T yang berinfiltrasi. Hal ini dikenal sebagai evolusi kritis pada penyakit jantung rematik kronik.

Tampilan Klinis dan Diagnosis Rekurensi Demam RematikTampilan klinis dari demam rematik dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan minor Klasifikasi ini berdasarkan pada kriteria Jones yang telah dimodifikasi (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria WHO 2002-2003 mengenai diagnosis demam rematik dan penyakit jantung rematik (berdasarkan revisi kriteria Jones)2

Menurut kriteria penegakan diagnosis WHO tentang demam rematik dan penyakit jantung rematik (berdasar pada revisi kriteria Jones) pada pasien ini ditegakkan diagnosis reaktivasi demam rematik, karena pasien memiliki riwayat dirawat dengan penyakit jantung rematik dan hasil laboratorium saat pasien masuk IGD menunjukkan adanya demam dan peningkatan marker inflamasi akut (Leukosit 11350, LED 31, dan CRP 33).

Diagnosis PJRSecara sederhana PJR dapat didiagnosis dengan auskultasi bising jantung pada pasien dengan riwayat DRA. Hingga dekade akhir, stetoskop merupakan satu-satunya alat diagnostik non invasif yang tersedia bagi para tenaga kesehatan dinegara-negara miskin dan juga pada daerah terpencil dimana DRA dan PJR paling banyak ditemui.7 Namun biasanya rerata deteksi biasanya rendah. Ekhokardiografi telah dapat membuktikan lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan auskultasi. PJR yang dideteksi tanpa adanya bising jantung yang patologis disebut sebagai PJR subklinis.8

Tampilan Klinis Mitral Regurgitasi RematikKeparahan dan kronisitas dari regurgitasi katup adalah faktor yang paling penting dalam menentukan gejala.9 Pasien-pasien dengan lesi ringan biasanya bersifat asimtomatis. Pada pasien dengan inkompetensi katup mitral yang sudah parah, terdapat gejala sesak napas saat aktivitas, mudah lelah, berat badan yang sulit naik, palpitasi saat aktivitas, terbangun tiba-tiba akibat sesak dan hingga berakhir menjadi gagal jantung kongestif.6, 9 Kemungkinan kejadian thromboemboli, dilain pihak tidak terlalu besar. Distensi vena jugularis juga tidak akan terlihat bila belum terjadi gagal jantung kongestif, dan biasanya dapat terjadi sedikit pelebaran pulse pressure pada tekanan darah. Impuls apical biasanya normal pada pasien dengan lesi yang ringanm dengan tanpa ditemukan pulsasi precordial yang bermakna. Pada MR yang signifikan, dapat ditemukan pulsasi ventrikel kiri yang hiperdinamik dan kuat angkat, yang biasanya terletak agak ke lateral bawah.9Secara umum, suara jantung satu biasanya memiliki intensitas normal. Bunyi jantung dua biasanya normal, namun dapat menjadi ganda pada lesi yang lebih parah karena adanya pemendekan fase sistolik ventrikel.9 Tanda klinis yang terpenting adalah adanya bising sistolik di apical. Bising dapat berupa pan- atau holosistolik, dimulai dari bunyi jantung satu, yang biasnaya menurun intensitasnya. Bising ini terdengar jelas di apeks dan menjalar ke aksilla kiri dan tepi sternal kiri, tidak dipengaruhi respirasi, tanpa adanya pengerasan bising pada mid- atau setelah sistolik.6Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien pada ilustrasi kasus juga mengeluhkan mengenai sesak napas saat aktivitas, mudah lelah dan berdebar. Dari auskultasi jantung didapatkan bising pansistolik yang paling jelas terdenganr di area apeks jantung menjalar sampai axilla.

Tampilan Ekhokardiografis Mitral Regurgitasi RematikDengan adanya kemajuan teknologi portable, ekhokardiografi sekarang dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah, bahkan pada area terpencil. Perkembangan ini dapat meningkatkan kemungkinan populasi dengan PJR yang tidak terdiagnosis sebelumnya, termasuk yang tidak diketahui riwayat DRA, dapat terdiagnosis dan profilaksis sekunder dapat segera dimulai pada tahap awal penyakit, hal ini pada akhirnya dipercaya akan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.7Temuan ekhokardiografi harus diinterpretasikan berdasar temuan klinis pasien dan dengan mempertimbangkan pretest probability individu terhadap PJR, yang bervariasi terhadap lokasi geografis,1 etnis,10 dan kondisi tempat tinggal.11 Riwayat penyakit individual, termasuk kemungkinan DRA, abnormalitas struktural dan fungsional katup jantung, harus dianggap sebagai representasi suatu PJR hingga terbukti bukan.7 Kriteria ekhokardiografi PJR definitive dan PJR borderline dapat dilihat pada tabel 2-4.Gambaran ekhokardiografis yang tercantum pada tabel 2-4 bukan merupakan suatu kekhususan yang hanya ditemukan pada PJR. Penyakit jantung kongenital, didapat dan degenerative harus selalu dapat disingkirkan sebagai etiologi abnormalitas katup mitral dan aorta sebelum berfikir kearah PJR. Penyakit jantung kongenital akan sangat mudah untuk dibedakan dengan PJR, dikarenakan biasanya memiliki gambaran identifikasi yang unik (sebagai contoh katup aorta bicuspid, atau cleft katup mitral). Sedang kondisi degenerative akan sangat jarang ditemukan pada usia muda, dan penyakit jantung didapat lainnya (sebagai contoh infektif endocarditis) dapat dibedakan dari PJR pada temuan klinis.7PJR biasanya mengenai katup-katup jantung sebelah kiri, dan menyebabkan regurgitasi, stenosis, ataupun campuran efek hemodinamik keduanya. Katup tricuspid dan (jarang) katup pulmonalis dapat juga terkena PJR, namun akan sangat jarang bila tidak disertai dengan keterlibatan katup mitral (99.3% pada temuan ekhokardiografi dan 100% pada pemerikasaan postmortem bersamaan dengan keterlibatan katup mitral).12 Definitif PJR menurut WHF (World Heart Federation) berdasarkan perubahan ekhokardiografi yang memenuhi kriteria untuk definitif PJR harus berasal dari demam rematik, dimana etiologi lain harus sudah disingkirkan dengan menggunakan pemeriksaan ekhokardiografi maupun secara klinis. Dalam menginterpretasi ekhokardiogram, harus mempertimbangkan secara individual pretest probability pasien.7 Definitif PJR apabila didapatkan kelainan mitral regurgitasi didefinisikan sebagai mitral regurgitasi patologis dan setidaknya didapatkan dua gambaran morfologis.7 PJR pada katup mitral. Subkategori ini memiliki rekomendasi grade B dalam menginklusi PJR pada usia muda. Penelitian ekhokardiografi, bedah dan anatomis postmortem telah menunjukkan bahwa kombinasi gambaran morfologis (tabel 3) tampak pada penyakit yang telah lanjut. Deskripsi deformitas katup mitral seperti dog leg, elbow, atau stik hockey juga menunjukkan kombinasi perubahan morfologis (penebalan dan gerakan restriksif AML).7

Tabel 2 Kriteria ekhokardiografi menurut WHF untuk diagnosis penyakit jantung Rematik.7

Tabel 3. Kriteria ekhokardiografi menurut WHF mengenai regurgitasi patologis.7Mitral regurgitasi patologis(seluruh 4 kriteria ekhokardiografis Doppler harus terpenuhi)

Terlihat di dua potongan Pada setidaknya satu potongan, panjang jet 2cm* Kecepatan 3m/s pada satu envelope komplit Jet pan-sistolik pada setidaknya satu envelope

Aortik regurgitasi patologis(seluruh 4 kriteria ekhokardiografis Doppler harus terpenuhi)

Terlihat di dua potongan Pada setidaknya satu potongan, panjang jet 1cm* Kecepatan 3m/s pada awal diastolic Jet pan-sistolik pada setidaknya satu envelope

*Panjang jet regurgitan harus diukur dari vena kontrakta hingga piksel terakhir warna regurgitan (biru atau merah)

Pada kasus ini, gambaran mitral regurgitasi dapat terlihat pada potongan parasternal long axis, dan apical 4 chambers. Panjang jet regurgitan pada potongan apical 4 chambers 2cm, dan terlihat selama fase sistolik, namun tidak diukur kecepatan dari jet regurgitan.Tabel 4. Gambaran morfologis PJR.7

Pada kasus ini ditemukan kriteria patologis MR berupa penebalan ujung-ujung katup mitral dengan pergerakan restriktif PML dan prolaps AML.

KesimpulanSeorang anak perempuan berusia 11 tahun 10 bulan datang ke IGD PJNHK dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat. Pasien memiliki riwayat dirawat dengan keluhan serupa dan saat itu didiagnosis dengan MR severe e/c PJR, serta sudah direncanakan untuk operasi katup pada pertengahan 2011, namun akibat suatu hal pasien tidak jadi dioperasi dan semenjak itu tidak pernah mengkontrol penyakitnya. Pemeriksaan fisik jantung menunjukkan adanya bising pansistolik pada katup mitral, dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan marker inflamasi. Pemeriksaan ekhokardiografi menunjukkan pembesaran dari atrium dan ventrikel kiri dengan penebalan pada katup-katup mitral serta pergerakan restriktif PML dan prolapse AML. Pemberian phenoxy methyl penicillin sebagai prevensi sekunder dan rencana operasi katup ditujukan untuk mengurangi resiko morbiditas dan mortalitas pasien dimasa yang akan datang.

Daftar Pustaka

1.Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber M. The global burden of group a streptococcal diseases. Lancet Infect. Dis. 2005;5:685-6942.Alan Bisno, Butchart EG, NK Ganguly, al. e. Who expert consultation on rheumatic fever and rheumatic heart disease. 20043.Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, M. W. The global burden of group a streptococcal disease. Lancet Infect Dis 2005;5:685-6944.Kumar RK, Tandon R. Rheumatic fever & rheumatic heart disease: The last 50 years. Indian J Med Res. 2013;137:643-6585.Kassem AS, el-Walili TM, Zaher SR, Ayman M. Reversibility of mitral regurgitation following rheumatic fever: Clinical profile and echocardiographic evaluation. Indian J. Pediatr. 1995;62:717-723 6.Tani LY. Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Moss and Adams' Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents. 2013;I:1303-13247.Bo Remnyi, Nigel Wilson, Andrew Steer, Beatriz Ferreira, Joseph Kado, Krishna Kumar, John Lawrenson, Graeme Maguire, Eloi Marijon, Mariana Mirabel, Mocumbi AO. World heart federation criteria for echocardiographic diagnosis of rheumatic heart diseasean evidence-based guideline. Nat. Rev. Cardiol. 2012;9,:297-3098.Marijon E, al e. Rheumatic heart disease screening by echocardiography: The inadequacy of world health organization criteria for optimizing the diagnosis of subclinical disease. Circulation. 2009;120:663-668 9.C C, Motai Aiello V, H.R A. Rheumatic fever and chronic rheumatic heart disease. Paediatric cardiology, 3rd edition. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2010:1064-1086.10.Jaine R, Baker M, Venugopal K. Epidemiology of acute rheumatic fever in new zealand 1996-2005. J. Paediatr. Child Health. 2008;44:564-571 11.Jaine R, Baker M, Venugopal K. Acute rheumatic fever associated with household crowding in a developed country. Pediatr. Infect. Dis. J. 2011;30:315-319 12.Sultan FA, al e. Rheumatic tricuspid valve disease: An evidence-based systematic overview. J. Heart Valve Dis. 2010;19:374-382

1