modul jalan berkeselamatan_fstpt_bab 2
DESCRIPTION
Modul Jalan Berkeselamatan_FSTPT_Bab 2TRANSCRIPT
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-1
Bab 2. KONSEP KESELAMATAN LALULINTAS JALAN: TINJAUAN SISI INFRASTRUKTUR JALAN
2.1. FENOMENA GUNUNG ES KECELAKAAN LALULINTAS
Secara tradisional, kecelakaan dipandang sebagai suatu insiden yang secara statistik
jarang terjadi, dan kalaupun terjadi, kejadiannya bersifat acak (random), tidak disangka-
sangka dan dapat terjadi di mana pun dan kapan pun. Berpegang pada pandangan ini,
kecelakaan dianggap sebagai sebuah takdir yang tidak terelakkan sehingga
permasalahan yang terkait dengan jumlah dan dampak negatifnya yang kian membesar
seolah tidak dapat dicari solusinya.
Pandangan di atas kini sudah mulai ditinggalkan. Kecelakaan kini dipandang sebagai
sebuah fenomena gunung es (Gambar 2.1). Hal yang tampak di permukaan dan tercatat
pada laporan-laporan statistik tentunya adalah insiden tabrakan berikut jumlah korban
dan kerugiannya. Namun pada dasarnya kecelakaan hanyalah merupakan suatu bagian
dari insiden-insiden berlalulintas yang tidak dapat lagi dikendalikan oleh pengguna jalan
sehingga berujung pada insiden tabrakan (crash). Konflik-konflik lain yang lebih banyak
jumlah kejadiannya dan dapat dikoreksi serta diatasi oleh pengguna jalan tidak berbuah
kecelakaan. Kompetensi pengguna jalan yang baik, kendaraan yang laik fungsi, serta
jalan dan lingkungan jalan yang berkeselamatan dapat mencegah berbagai insiden
berlalulintas dari berakhir menjadi suatu bencana.
Sumber: Gryson dan Hakkert (1987); Maycock (1997)
Gambar 2.1. Kontinum keselamatan dalam model gunung es
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-2
2.2. PENGERTIAN JALAN BERKESELAMATAN
Keselamatan lalu lintas jalan tercipta melalui interaksi yang berimbang antara pengguna
jalan, kendaraan, dan infrasturktur jalan dan lingkungannya. Infrastruktur jalan yang
berkeselamatan dapat diwujudkan dengan desain yang mengadaptasi karakteristik
pengguna jalan pada seluruh bagian lingkungan jalan, meliputi aspek geometrik, marka
dan perambuan, penerangan, perlengkapan jalan, vegetasi, kemantapan permukaan
jalan, penggunaan teknologi informasi, manajemen kecepatan dan lalulintas, peraturan
lalu lintas dan peraturan/pedoman pengoperasian infrastruktur.
Jalan yang berkeselamatan dibangun dengan visi self-explaining roads, self regulating
roads, dan forgiving road environment. Dengan visi self-explaining roads dikandung
maksud bahwa infrastruktur jalan harus dibangun dan diselenggarakan dengan jelas,
sederhana, seragam, tidak mengandung ambiguitas, mudah dipahami, dibaca, dan
dikenali tanpa adanya banyak gangguan dan overload informasi yang membingungkan
sehingga pengguna jalan yakin dengan tingkat kecepatan yang aman untuk digunakan,
pembagian ruang jalan, serta lokasi dan pergerakan pengguna jalan lain di sekitarnya.
Ruas-ruas jalan dengan kondisi ekstrim yang menuntut pengguna jalan untuk ekstra
hati-hati dan sigap dalam berkendara harus diperlengkapi dengan sarana pendukung
yang lengkap, seperti rambu, marka, penerangan, guard rail, dan pengarah, untuk
mengkomunikasikan kondisi tersebut sejak dini agar pengguna jalan bersiap dan tidak
menerima beban psikologis berkendara yang berat dan tiba-tiba. Dengan demikian,
kealpaan, salah interpretasi, dan kebingungan pengguna jalan yang dapat berujung
pada insiden kecelakaan dapat ditekan serendah-rendahnya. Jelaslah bahwa visi ini
mengedepankan kesederhanaan dan kejelasan, bukannya kompleksitas dan kerumitan
desain.
Terselenggaranya jalan dan lingkungannya dengan visi self-explaining akan memberikan
dukungan bagi pengguna jalan untuk senantiasa menaati berbagai aturan berlalulintas
dan berada di dalam keteraturan pergerakan lalulintas. Kondisi semacam ini mendukung
terciptanya jalan yang bersifat self-regulating.
Di sisi lain, visi forgiving road environment memberikan pengakuan bahwa kesalahan
dan kealpaan pengguna jalan adalah manusiawi dan sewaktu-waktu mungkin terjadi.
Oleh karena itu semaksimal mungkin jalan dan lingkungan perlu didesain dengan
konsep-konsep desain modern yang lebih adaptatif terhadap beban kerja pengendara.
Lebih jauh, berbagai insiden yang mungkin terjadi harus dapat diantisipasi dan diberikan
ruang koreksi. Ketika suatu insiden terjadi, pengguna jalan harus tetap memiliki ruang
dan kesempatan untuk memperbaiki kelalaiannya tanpa harus menghadapi konsekuensi
yang fatal. Visi jalan berkeselamatan jelas-jelas menempatkan pengguna jalan sebagai
titik pusat dalam kebijakan pengembangan infrastruktur jalan sebagai upaya untuk
memberikan pelayanan yang baik kepadanya.
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-3
2.3. JALAN DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PENYEBAB
KECELAKAAN LALU LINTAS
Selama ini, berbagai laporan selalu menyebutkan bahwa lebih dari 90% kasus
kecelakaan lalulintas disebabkan oleh faktor manusia. Penekanan yang terus-menerus
pada faktor manusia seolah telah melupakan aspek jalan dan lingkungannya sebagai
faktor penyebab lain yang cukup penting. Sementara itu, fakta yang diungkap dalam
berbagai penelitian ilmiah menunjukkan meski faktor manusia memang dominan,
kontribusi faktor lain, khususnya jalan dan lingkungan, tidak dapat ditiadakan begitu saja.
Treat dkk., misalnya, (Treat dkk, 1997) telah meneliti faktor penyebab lebih dari 2000
kecelakaan lalu lintas di lapangan atas dukungan dari NHTSA National Highway and
Transportation Safety Administration di Amerika Serikat. Di antara kesimpulan yang
didapatkan, meski faktor kesalahan manusia terlibat pada lebih dari 95% kasus, hanya
sekitar 48% yang murni kesalahan manusia. Sementara itu, faktor penyebab pada
sekitar 35% kasus kecelakaan adalah interaksi (yang buruk) antara manusia dan
jalan/lingkungan (Gambar 2.2). Penelitian serupa di Australia (Austroads, 2002) juga
menghasilkan kesimpulan yang senada. Interaksi antara manusia dan jalan/lingkungan
bertanggung jawab pada sekitar 26% kasus kecelakaan lalu lintas (Gambar 2.3).
Sumber: Treat, et al (1977)
Gambar 2.2. Faktor penyebab kecelakaan berkendaraan
Riset Inti bagi Pengembangan Keselamatan Jalan di Eropa (RIPCORD-ISEREST) pada
tahun 2006 juga menyimpulkan bahwa meski secara statistik faktor jalan jarang
dipersalahkan sebagai penyebab kecelakaan, analisis berbasis lapangan menunjukkan
bahwa kesalahan pengemudi lebih banyak terjadi pada lokasi-lokasi tertentu dibanding
lokasi-lokasi lain. Disimpulkan pula bahwa faktor kecepatan terlalu tinggi yang kerap kali
dianggap sebagai penyebab langsung terjadinya kecelakaan ternyata dipicu oleh tipe-
tipe atau situasi lingkungan jalan tertentu.
47,8%
1,6% 2,6%
6,4%
6,4%
0,4%
34,8%
Faktor Manusia 95,4 (%)
Faktor Jalan dan Lingkungan (44,2%)
Faktor Kendaraan (14,8%)
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-4
Sumber: Austroads (2002)
Gambar. 2.3. Faktor penyebab kecelakaan di Australia
Penelitian kecelakaan yang dilakukan di Inggris tahun 1970-an dan 1980-an juga
berkesimpulan bahwa faktor manusia memegang peranan penting dan mendominasi
dalam kecelakaan di jalan raya, walaupun hal ini tidak terlepas dari bagaimana respon
manusia dapat mengelola interaksinya dengan kondisi infrastruktur jalan (Roberts dan
Tuner, 2008). Penelitian Carsten (1989) atas berbagai kasus kecelakaan di daerah
perkotaan menunjukkan bahwa faktor kesalahan manusia banyak dipicu oleh
keterbatasan jarak pandang ketika mengemudikan kendaraan. Hasil penelitian tersebut
juga didukung oleh Reason (1990) yang menyimpulkan bahwa kesalahan yang terjadi
lebih banyak bersifat ketidaksengajaan dan kealpaan, bukan pelanggaran. Kesalahan-
kesalahan yang kerap berakibat fatal ini dipicu oleh lingkungan berkendaraan yang
‟kejam‟ dan „sangat tidak pemaaf‟ atas terjadinya kesalahan pengemudi. Sementara itu,
untuk jalan luar kota Organisasi internasional untuk ekonomi dan pembangunan (OECD,
1999) juga telah menyimpulkan bahwa sebagian sistem jalan luar kota saat ini banyak
mengandung karakteristik inheren yang secara signifikan berkontribusi terhadap
tingginya resiko dan angka kecelakaan.
Weller dkk (2006) di dalam penelitiannya menyebutkan bahwa di dalam berbagai
laporan analisis statistik jalan jarang disalahkan sebagai sebuah faktor penyebab
kecelakaan. Namun sebaliknya, berbagai analisis atas anatomi dan lokasi kejadian
kecelakaan menunjukkan bahwa kesalahan manusia lebih sering terjadi pada tipe-tipe
geometrik jalan tertentu di ruas-ruas jalan yang tertentu pula (Weller,et al.,2006).
Berkenaan dengan hal ini Rasmussen (1987) di dalam penelitiannya telah mengusulkan
bahwa untuk meningkatkan keselamatan maka insiden ketidaksesuaian antara manusia
dan mesin kendaraan atau antara manusia dan beban berkendaranya perlu dicermati.
Apabila ketidaksesuaian ini sering terjadi atau terjadi secara sistematik, maka
kemungkinan besar penyebabnya adalah kesalahan desain jalan. Lebih jauh dikatakan,
“Analisis terhadap laporan kecelakaan menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan tertentu
yang diambil oleh manusia dianggap sebagai suatu „kesalahan‟ karena dilakukan di
dalam lingkungan yang ‟tidak ramah‟ atau ‟kejam‟. Kondisi lingkungan disebut ‟tidak
ramah‟ karena hampir tidak tersedia alternatif kemungkinan bagi pengemudi untuk
memperbaiki efek dari kekurangsesuaian kinerjanya sebelum dia menerima dampak
buruk yang tidak diinginkan (Rasmussen, 1987).
Manusia (95%)
Lingkungan jalan (28%)
Kendaraan (8%)
67%
4%
24%
4%
4%
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-5
Negara-negara maju yang sangat menghargai keselamatan warga negaranya dalam
berkendara di jalan telah menyadari sepenuhnya kontribusi jalan dan lingkungan dalam
mewujudkan keselamatan lalu lintas jalan. Otoritas Jalan di Swedia (negara dengan
sistem jalan raya berkeselamatan terbaik di dunia), misalnya, menyatakan:
Perencana Sistem (Penyelenggara Jalan) bertanggung jawab terhadap
perancangan, pengoperasian, dan penggunaan sistem transportasi; dan oleh
karena itu bertanggung jawab pula atas tingkat keselamatan pada seluruh sistem
Pengguna jalan berkewajiban mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
Perencana Sistem (Penyelenggara Jalan) selama mempergunakan sistem jalan
dan transportasi
Untuk mengantisipasi berbagai insiden di mana pengguna jalan tidak dapat
menaati aturan karena kurangnya pengetahuan, penerimaan, maupun
kemampuan, Perencana Sistem (Penyelenggara Jalan) harus mengambil langkah-
langkah untuk mencegah pengguna jalan terbunuh ataupun terluka
Lembaga pemeringkat jalan di Eropa (EuroRAP, 2007) menyatakan bahwa di negara-
negara yang pengguna jalannya menghormati peraturan lalu lintas, meski tidak sangat
sempurna, riset-riset di negara-negara tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa
jalan yang lebih berkeselamatan ternyata lebih banyak menyelamatkan nyawa manusia
dibandingkan dengan cara mengemudi yang lebih aman ataupun kendaraan yang lebih
aman. Dikatakan pula bahwa kebutuhan tentang cara mengemudi yang berkeselamatan
dan kendaraan yang lebih berkeselamatan telah sangat dipahami, namun sayangnya
kebutuhan terhadap jalan yang lebih berkeselamatan belum banyak dimengerti.
Uraian di atas mengajak kita untuk tidak lagi menjadikan faktor manusia sebagai
penyebab utama kecelakaan dan berhenti di sini, tetapi lebih jauh perlu dilihat apakah
ada unsur-unsur kesalahan pada sistem lalu lintas (termasuk infrastruktur jalan) yang
memicu terjadinya kesalahan-kesalahan manusia tersebut. Pemerintah Indonesia pada
saat ini telah mulai mengakui peranan jalan dan lingkungan secara hukum dalam
mendukung keselamatan lalulintas jalan. Hal ini tercermin dari pembahasan pada Bab
Pendahuluan di atas yang mengetengahkan aspek legal bagi penyelenggaraan jalan
berkeselamatan.
Untuk melanjutkan semangat Undang-Undang No. 22 tahun 2009 dalam
penyelenggaraan jalan berkeselamatan, maka Mulyono,et al.(2008) dalam penelitiannya
mendorong bahwa para penyelenggara jalan (perencana sistem jalan raya dan pengatur
sistem lalu lintas) harus mampu menciptakan indikator kuantitatif dalam monitoring dan
evaluasi defisisensi keselamatan jalan akibat penyimpangan standar teknis (geometrik,
kinerja perkerasan dan harmonisasi fasilitas perlengkapan keselamatan jalan seperti
rambu, marka dan sinyal). Ditjen Bina Marga (2010) juga telah menerbitkan buku
panduan mewujudkan jalan berkeselamatan di Indonesia. Intinya panduan tersebut
mengajak para perekayasa jalan agar menggabungkan pemahaman rekayasa jalan,
desain jalan, serta faktor psikologi-fisiologi manusia dengan logika dan penilaian yang
masuk akal. Sebagai contoh, para perekayasa harus dapat mengidentifikasi apa yang
menyebabkan atau mungkin menyebabkan masalah tabrakan lalu lintas, memutuskan
apakah masalah tersebut dikarenakan desain jalan, kesalahan manusia atau kombinasi
keduanya, dan mencari strategi yang akan mengatasi semua masalah tersebut. Dengan
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-6
mengetahui peran kondisi jalan dalam kaitan dengan jumlah tabrakan lalu lintas dan
tingkat keparahannya, para perekayasa ingin mengurangi resiko yang ada dalam desain
jalan. Karena kesalahan manusia juga merupakan faktor penyumbang dalam angka
tabrakan lalu lintas, para perekayasa menciptakan kondisi jalan dengan
memperhitungkan faktor ini untuk mengurangi dampak kesalahan manusia yang
berpotensi mengundang bencana
.
2.4. FAKTOR MANUSIA DALAM PERANCANGAN JALAN
2.4.1. Interaksi Manusia Terhadap Kendaraan dan Jalan
Beragam tipe dan sifat pengguna jalan menggunakan jalan untuk keperluan yang
berbeda-beda. Pengguna jalan dapat berupa pejalan kaki, pengguna sepeda,
penumpang ataupun pengendara kendaraan. Namun demikian terdapat kelompok
pengguna yang secara aktif mempengaruhi tingkat keselamatan melalui aktivitas yang
mereka lakukan. Kelompok ini adalah seluruh pengguna jalan, kecuali penumpang.
Pengemudi salah satu pengguna aktif yang perlu mendapat perhatian dan pemahaman
khusus, mengingat secara statistik aktivitas mereka merupakan faktor yang sangat
signifikan berperan dalam kecelakaan di jalan raya.
Fuller (2000) menggambarkan bahwa setiap saat aktivitas mengemudi mengharuskan
seorang pengemudi untuk memenuhi suatu tuntutan sekaligus dari faktor-faktor
lingkungan (kondisi fisik jalan, adhesi permukaan, visibilitas), pengguna jalan lain (yang
kemungkinan berpotensi untuk berinteraksi), kendaraan (“display” informasi, karakteristik
operasional dan pengendalian), dan posisi jalan serta kecepatan berkendaraan. Untuk
memenuhi berbagai tuntutan tersebut seorang pengemudi mengandalkan
kemampuannya yang diwujudkan dalam sebentuk kinerja. Faktor-faktor kemampuan
biologis (seperti batas-batas stimulus1, kecepatan pengolahan informasi, waktu reaksi,
dan visual yang bervariasi bergantung pada umur), pendidikan dan pelatihan, serta
pengalaman menentukan tingkat kompetensi seseorang. Tingkat kompetensi ini tidak
setiap saat sama karena manusia dipengaruhi oleh berbagai hal seperti lelah dan
kantuk, emosi, tekanan, gangguan, obat-obatan, dan sebagainya (faktor manusia).
Pendapat Fuller (2000) ini disajikan dalam Gambar 2.4.
Jika kinerjanya pada saat itu (K) melebihi besarnya tuntutan (T) mengemudi, maka
pengemudi dapat berkendara dengan selamat. Jika sebaliknya, maka tabrakan akan
terjadi karena kehilangan kendali. Kondisi berbahaya ini terkadang dapat dihindari jika
pengguna jalan lain melakukan aksi defensif atau menghindar, yang menurunkan tingkat
tuntutan mengemudi pada saat-saat yang kritis. Fuller mengajukan hipotesis (Fuller,
2000) bahwa hampir sepanjang waktu berkendara, pengemudi mengendalikan
kendaraannya sedemikian rupa sehingga dia dapat mencapai tujuan perjalanannya
sembari memastikan bahwa tingkat kesulitan mengemudi yang harus diatasinya tetap
berada dalam batas-batas yang dapat diterimanya. Jika suatu saat tingkat kesulitan
mengemudi dipandang terlalu tinggi, maka pengemudi akan memperlambat laju
1 Batas-batas stimulus (“stimulus thresholds”) adalah jumlah energi minimum dalam suatu rangsangan yang
diperlukan untuk mendeteksi keberadaan rangsangan tersebut.
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-7
kendaraannya, demikian pula sebaliknya jika dianggap terlalu mudah dan menjemukan
maka pengemudi tertuntut untuk memacu kendaraannya agar terasa lebih menantang.
Sumber :Fuller (2000)
Gambar 2.4. Interaksi antara tuntutan mengemudi – kinerja
Dalam proses berkendara ini (disebut sebagai proses task-difficulty homeostasis,
Gambar 2.5), perasaan pengemudi tentang kemampuannya serta motivasi untuk
menempatkan diri dalam suatu tingkat kesulitan tertentu secara bersama-sama
menentukan rentang tingkat kesulitan yang ditargetkan. Interaksi dinamis antara
pengemudi dengan kondisi jalan yang secara terbuka dan tahap demi tahap
diketahuinya serta dengan kondisi lalu lintas di sekitarnya membentuk tingkat kesulitan
yang obyektif. Persepsi atas tingkat kesulitan obyektif inilah yang dibandingkan dengan
target tingkat kesulitan pengemudi. Jika dipandang melampaui target (terlalu sulit),
pengemudi akan mengambil tindakan untuk mengurangi tingkat kesulitan tersebut
(misalnya dengan memperlambat laju kendaraannya), demikian pula sebaliknya. Konsep
yang dijelaskan di atas memiliki tiga buah implikasi yang relevansinya sangat erat
dengan rekayasa jalan raya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.1.
Sumber :Fuller (2000)
Gambar 2.5. Proses “task-difficulty homeostasis”
Faktor-faktor biologis
Pendidikan & pelatihan
Pengalaman
Kompetensi Faktor
manusia KINERJA (K)
TUNTUTAN MENGEMUDI (T)
Posisi jalan & trayektori
Kecepatan Kendaraan
Pengguna jalan
lainnya
Lingkungan
TABRAKAN
PENGENDALIAN
Aksi imbangan oleh pihak-pihak lain
KESELAMATAN
K > T
K < T
Kompetensi, motivasi, tekanan waktu, kekuatan-kekuatan sosial, faktor manusia, kesadaran
(awareness)
Rentang tingkat kesulitan
mengemudi yang
dapat diterima
Pembanding Keputusan dan
tanggapan
Dampak pada kecepatan dan posisi kendaraan serta pada
pengguna jalan lainnya
Tingkat kesulitan obyektif
Tingkat kesulitan
yang dirasakan
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-8
Tabel 2.1. Keterkaitan antara dinamika mengemudi dan merekayasa teknik jalan
No. Dampak cara mengemudi Keterkaitan dengan bidang rekayasa teknik jalan
raya
1 Resiko atas keselamatan muncul bila
terdapat perbedaan antara tingkat
kesulitan yang dipersepsikan dengan
tingkat kesulitan yang sesungguhnya,
yang membuat pengemudi
menganggap remeh kondisi yang
sebenarnya.
Pentingnya penyediaan informasi yang jelas dan
dapat diandalkan oleh pengemudi, informasi tentang
batas-batas kecepatan yang tepat, alinemen yang
konsisten, adhesi dengan permukaan jalan, dan
tentang tiap kemungkinan adanya bahaya (obyek
konflik) yang dapat muncul dengan segera
2 Memperpendek waktu perjalanan
dianggap berharga. Jika pengemudi
merasa dapat meningkatkan
kecepatannya tanpa mengakibatkan
meningkatnya tingkat kesulitan
mengemudi sesuai persepsinya, maka
ia akan melakukan hal tersebut.
Menjelaskan mengapa kasus-kasus intervensi
keselamatan yang membuat tugas mengemudi lebih
mudah (seperti meluruskan bagian tikungan) justru
berakibat pada meningkatnya kecepatan.
Menjelaskan pula mengapa teknik-teknik traffic
calming yang membuat tugas mengemudi menjadi
lebih sulit (misalnya penyempitan lajur, pemasangan
portal, tikungan ganda) berdampak pada
menurunnya kecepatan.
Kemungkinan strategi-strategi potensial dapat
dikembangkan dengan prinsip membuat tingkat
kesulitan mengemudi tampak lebih sulit
dibandingkan tingkat kesulitan objektifnya.
3 Dalam kondisi-kondisi mengemudi
menjadi sangat menantang dan tingkat
kesulitannya melebihi kapabilitas
pengemudi, dia akan memilih untuk
menghindari kondisi-kondisi tersebut
Menjelaskan mengapa para pengemudi (misalnya
mereka yang berusia tua) berupaya menghidari rute-
rute atau waktu-waktu tertentu, atau bahkan memilih
berhenti mengemudi dan berpindah ke moda
transportasi yang lain
Sumber : Fuller (2000)
Representasi dinamika mengemudi dapat pula dijelaskan dengan teori “risk
homeostasis” (Wilde, 1994) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.6. Dalam teori
ini, pengemudi digambarkan berkendara sembari merasakan adanya resiko tabrakan
(peluang mengalami kecelakaan > 0), namun dia bersedia menerima resiko tersebut.
Misalnya, pengemudi dapat merasakan bahwa tingkat kecepatan yang dipilihnya bisa
berakibat fatal jika tiba-tiba saja dia menjumpai penyeberang jalan ataupun sebuah
tikungan tajam tepat di depannya. Pengemudi sering memilih menempuh resiko ini
karena dia dapat merasakan adanya semacam nilai lebih (“rewards”) pada kecepatan
tinggi yang jauh melebihi konsekuensi hukuman yang belum tentu dan jarang terjadi.
Dalam hal ini pengemudi seperti bertaruh bahwa tabrakan atau kehilangan kendali atas
kendaraan tidak akan terjadi.
Sumber : Wilde (1994)
Gambar 2.6. Ilustrasi risk-homeostasis
Nilai manfaat (net utility) atas kesengajaan menempuh
suatu resiko Resiko yang ditargetkan
Pembanding Keputusan dan tanggapan
Dampak pada kecepatan dan posisi kendaraan serta pada
pengguna jalan lainnya
Resiko yang dirasakan
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-9
2.4.2. Psikologi Beban Kerja dan Keselamatan Jalan
Konsep beban kerja memiliki sejarah yang cukup panjang dalam bidang psikologi.
Aplikasinya dalam konteks mengemudikan kendaraan telah melahirkan konsep evaluasi
keselamatan jalan berbasis psikologi. Beban kerja secara sederhana diartikan sebagai
”jumlah reaksi terhadap kebutuhan untuk memenuhi tuntutan” (de Waard, 1996). Terkait
dengan keselamatan lalu lintas, terdapat paling tidak tiga macam beban kerja yang
relevan, yaitu: (1) beban kerja visual, (2) beban kerja mental, dan (3) beban kerja fisik.
Dalam mengemudi, aspek beban visual dianggap sebagai beban kerja yang terpenting.
Hubungan antara tuntutan kerja, beban kerja dan kinerja mengemudi menurut de Waard
(1996) ditunjukkan dalam Gambar 2.7.
Secara umum, berbagai tingkatan tuntutan kerja akan menyebabkan perbedaan tingkat
kinerja dan beban kerja. Pada kondisi tuntutan kerja yang tinggi, beban kerja juga
bergerak meninggi. Penambahan tuntutan kerja berikutnya tidak dapat diimbangi oleh
penambahan usaha-usaha (kinerja) untuk memenuhinya karena beban kerja sudah
tinggi. Kondisi beban kerja yang tinggi apabila dipikul terlalu lama akan mengakibatkan
efek-efek yang negatif. Kinerja seseorang akan berada pada level terbaiknya pada saat
tuntutan kerja bersifat medium. Pada kondisi ini beban kerja berada pada level rendah.
Pengemudi tidak pasif dalam mentoleransi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh berbagai
tingkatan tuntutan kerja, namun sebaliknya cukup aktif dalam mengatur dirinya sehingga
memperoleh beban kerja yang dianggap sesuai. Hal ini terutama dilakukan dengan
mengurangi kecepatan.
Sumber : de Waard (1996)
Gambar 2.7. Hubungan antara kinerja dan beban kerja pada berbagai tingkatan
tuntutan kerja
Berdasarkan model ini, nilai tuntutan kerja objektif dapat diubah dengan mengubah laju
kecepatan kendaraan. Interaksi terus-menerus antara tuntutan kerja dan kemampuan
pengemudi dapat berujung pada keselamatan mengemudi selama nilai kemampuan
melebihi tuntutan. Desain jalan yang tepat dapat dibedakan dari desain jalan yang buruk
berdasarkan perubahan nilai beban kerja yang dialami pengemudi (Fuller, 2005)
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.8. Pada jalan dengan desain baik (gambar
sebelah kiri), beban kerja lebih kurang memiliki nilai yang sama, baik pada bagian lurus
Rendah Tinggi, berlebih
Rendah
Tinggi
Kinerja optimal
Kinerja
Beban kerja
Tuntutan Kerja
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-10
maupun lengkung (horizontal/vertikal). Desain jalan yang tidak konsisten atau
karakteristik tikungan yang terlambat dipahami oleh pengemudi (karena ketidakadaan
rambu isyarat, ata kesulitan memperhatikan) akan mengakibatkan perlambatan
kecepatan yang terlambat dan mendadak, serta naiknya nilai beban kerja yang tiba-tiba
(gambar sebelah kanan). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengukur beban
kerja seseorang saat mengemudi. Metode teknik-teknik tersebut adalah: teknik
pelaporan mandiri, teknik evaluasi tugas utama, teknik evaluasi tugas sekunder, teknik
evaluasi psikologis, dan teknik evaluasi oklusi visual. Parameter tuntutan kerja yang
diukur dalam tugas mengemudi meliputi semua situasi jalan dan lingkungan, serta lalu
lintas yang statis maupun dinamis, antara lain: (1) alinemen vertikal dan horisontal; (2)
parameter deduktif seperti konsistensi dan kurvatur jalan; (3) perlengkapan jalan
termasuk marka, lalu lintas, dan kondisi lingkungan pada saat evaluasi dilakukan
(Bennett,et al., 2006).
Sumber : Fuller (2005)
Gambar 2.8. Kinerja perubahan kecepatan dan beban kerja antara desain jalan yang
“baik” dan “buruk”
2.5. MEMAHAMI ASPEK PSIKOLOGIS-FISIOLOGIS PENGGUNA
JALAN MENUJU TERSELENGGARANYA JALAN YANG
BERKESELAMATAN
Sistem lalu lintas jalan raya yang kita warisi saat ini adalah sebuah sistem yang sangat
kompleks, dinamis dan secara fundamental tidak stabil (Fuller & Santos, 2002). Hal ini
tercermin dari berbagai karakteristik subsistem yang menyusunnya. Sebagai contoh, sub
sistem infrastruktur tersusun dari kombinasi berbagai tipe/kelas jalan mulai dari jalan-
jalan sempit, jalan dalam kota yang kurang teratur, hingga jalan bebas hambatan yang
Desain jalan yang baik
Stasion [m]
Beban kerja pengemudi
Kecepatan
1/R
Stasion [m]
Stasion [m]
Stasion [m]
Beban kerja pengemudi
Kecepatan
1/R
Stasion [m]
Stasion [m]
Awal kurva
Akhir kurva
Awal kurva
Akhir kurva
Desain jalan yang buruk
Penyelenggaraan Jalan Nasional Berkeselamatan untuk Antisipasi Pemberlakuan UU 22/2009 Simposium XIV Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Pekanbaru, Riau
II-11
menyediakan kecepatan yang sangat tinggi. Para pengguna jalan juga merupakan
sebuah subsistem yang independen dan memiliki otonomi serta sifat-sifat yang berbeda
satu sama lain secara radikal, mulai dari pejalan kaki hingga pengendara truk berat
dengan beban berton-ton, usia yang bervariasi, dan sebagainya. Selain itu, dalam
sistem ini terdapat berbagai sarana yang berbeda-beda untuk mengkomunikasikan
berbagai karakter sistem kepada penggunanya. Sarana ini meliputi rambu, sinyal, marka
jalan, hingga tampilan visual dan pesan suara di dalam kendaraan.
Konsekuensi dari pengoperasian sistem yang secara inheren tidak stabil ini dapat
berdampak negatif dan bersifat merusak bagi banyak orang. Selama ini, para insinyur
perancang jalan lebih banyak bermain sebagai parapsikolog, dengan membuat dugaan-
dugaan berdasarkan intuisi tentang bagaimana pengguna jalan akan merespon berbagai
bentuk desain jalan yang diusulkan, kerap menempatkan diri mereka sebagai referensi
yang mewakili seluruh pengguna jalan, serta secara coba-coba menghasilkan berbagai
solusi perubahan bentuk desain berdasarkan pengalaman.
Pemahaman tentang aspek-aspek psikologis dan faktor manusia yang melekat pada
pengguna jalan sebagai pemakai akhir dari sistem yang mereka rancang tidak banyak
dipahami. Sifat alamiah bahwa manusia dapat berbuat kesalahan dengan berbagai
macam alasan yang melatarbelakanginya amat jarang dipertimbangkan dalam desain
jalan. Prinsip-prinsip rekayasa yang kadang bertentangan dengan persepsi dan perilaku
manusia digunakan tanpa disesuaikan. Asumsi dasar yang secara tidak sadar selalu
digunakan adalah: “manusia tidak boleh berbuat salah ketika menggunakan sistem jalan
raya”. Akibatnya, sistem transportasi jalan raya yang dibangun tercipta sebagai sebuah
sistem yang terlalu kejam, dalam banyak hal tidak mengenal toleransi dan kurang
mampu mengakomodasi kesalahan-kesalahan manusiawi penggunanya.
Potensi permasalahan terkait dengan faktor manusia muncul pula dari sisi lain. Di masa
yang akan datang, populasi pengguna jalan berusia tua diperkirakan akan meningkat
secara signifikan, berdasarkan jumlah dan tingkat mobilitas manusia saat ini.
Peningkatan ini dikhawatirkan akan diikuti pula oleh peningkatan keterlibatan kelompok
usia tua dalam berbagai kasus kecelakaan lalu lintas, mengingat desain jalan dan
kendaraan saat ini dibuat berdasarkan tingkat kinerja orang-orang muda yang jauh lebih
cakap.
Estimasi dalam 30 tahun mendatang menyebutkan bahwa tingkat keterlibatan
pengemudi berusia tua dalam kasus kecelakaan akan meningkat 3 hingga 4 kali lipat
dibandingkan dengan kondisi saat ini (Fildes, 2001). Generasi tua yang secara alamiah
akan menderita penurunan kinerja terkait aspek visual, kognitif, dan fisik tentu akan
terperangkap dalam kelompok pengguna yang rawan kecelakaan (Simões & Marin-
Lamellet, 2002). Sayangnya perhatian bagi hal ini belum banyak diberikan. Secara
teknis, perancang sistem jalan semestinya dapat memperhatikannya misalkan dalam
menentukan waktu reaksi yang cukup, kejelasan dan delineasi jalan, perambuan jalan,
kompleksitas simpang, tempat-tempat menyeberang jalan, dan cepatnya respon untuk
perbaikan kerusakan jalan yang berpotensi bahaya. Semua ini adalah pengetahuan
yang penting bagi terciptanya suatu sistem yang responsif atas berbagai karakter
psikologis penggunanya, sehingga pada gilirannya akan menyediakan suatu tingkat
mobilitas dengan tingkat keselamatan yang lebih baik.