laporan pendahuluan cedera kepala

52
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA 1. Konsep Teori Cedera Kepala 1.1Definisi Cedera Kepala Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent (PERDOSSI, 2007). Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2006). Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010). Cedera kepala primer merupakan cedera mekanis pada otak dan terjadi pada saat benturan (yaitu, kontusio atau komusio). Sedangkan cedera kepala sekunder terjadi dalam waktu beberapa detik, jam atau hari setelah cedera primer. Penyebab cedera sekunder meliputi hipoksemia, hipotensi sistemik, dan tekanan intrakranial yang terus meningkat. Penyebab cedera mikroskopik mencakup radikal

Upload: husna-ardiana

Post on 09-Jul-2016

81 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA

1. Konsep Teori Cedera Kepala

1.1 Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi

neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent

(PERDOSSI, 2007).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

fungsi fisik (Snell, 2006).

Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau

tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas

otak (Hudak & Gallo, 2010).

Cedera kepala primer merupakan cedera mekanis pada otak dan terjadi pada saat

benturan (yaitu, kontusio atau komusio). Sedangkan cedera kepala sekunder terjadi

dalam waktu beberapa detik, jam atau hari setelah cedera primer. Penyebab cedera

sekunder meliputi hipoksemia, hipotensi sistemik, dan tekanan intrakranial yang terus

meningkat. Penyebab cedera mikroskopik mencakup radikal bebas dan reaksi

inflamasi (Oman, McLain, & Scheetz, 2002).

1.2 Etiologi

a. Trauma tajam

Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera

local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan

otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

b. Trauma tumpul

Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :

kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,

kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil, multiple

Page 2: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang

otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)

1.3 Klasifikasi

Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3kelompok

berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:

a. CKR (Cedera Kepala Ringan)

1) GCS > 13

2) Tidak ada fraktur tengkorak

3) Tidak ada kontusio serebri, hematom

4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit

5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak

6) Tidak memerlukan tindakan operasi

b. CKS (Cedera Kepala Sedang)

1) GCS 9-13

2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam

3) Muntah

4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)

5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak

6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial

7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam

c. CKB (Cedera Kepala Berat)

1) GCS 3-8

2) Hilang kesadaran > 24 jam

3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial

Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera kepala:

a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan

jaringan otak. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tenkorak atau

luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan

bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak

menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,

jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka

memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.

Page 3: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan

oedem serebral yang luas

Sedangkan menurut Morton, dkk (2012), Cedera kepala diklasifikasikan

menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah

akibat cedera awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan

listrik dari sel area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder

meliputi meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia

serebral, perubahan biokomia, dan perubahan hemodinamika serebral.

a. Cedera otak primer

1) Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar

karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain

pada tuang tengkorak dan jaringan otak.

2) Fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii)

Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan

mendistribusikan tekanan keluar, yang mengurangi dampak langsung pada

otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah menjalar sepanjang

lekukan tulang permukaan dalam tulang tengkorak. Fraktur yang langsung

mengenai pembuluh darah tersebut dapat mencederai pembuluh darah yang

mengakibatkan hematoma epidural. Fraktur basis kranii (fraktur dasar

tengkorak) dapat menimbulkan perembesan cairan serebrospinal lewat

duramater yang robek. Perembesan cairan serebrospinal yang terus-menerus

dapat mengakibatkan meningitis atau abses (Oman, McLain, & Scheetz,

2012).

Tanda-tanda dan gejala-gejala fraktur basis cranii (Oman, McLain, &

Scheetz, 2012):

a) Sakit kepala

b) Perubahan tingkat kesadaran

c) Ekimosisi

d) Rinore atau otore cairan serebrospinal

Penanganan fraktur basis cranii (Umar Kasan : 2000).

a) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah

batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.

Page 4: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

b) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu

dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody

otorrhea/otoliquorrhea.

c) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea

penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang

sehat

3) Komusio (Gegar otak)

Gegar otak dikalsifikasikan sebagai cedera otak traumatik ringan dan

didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebkan oleh

trauma yang dapat/ tidak dapat menimbulkan kehilangan kesadaran.

4) Kontusio (Memar otak)

Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya tergantung

pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusia terjadi akibat laserasi

pembuluh darah kecil.

5) Hematoma epidural

Hematoma epidural adalah akumulasi darah diantara dural dan strukutur

bagian dalam otak, yang biasanya disebakan oleh laserasi arteri ekstradural.

Hematoma epidural berasal dari perdarahan arteri yang terletak diantara

meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak

yang telah merobek arteri. Dara di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi

sehingga lebih cepat memancar.

6) Hematoma subdural

Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah dura dan diatas araknoid

yang menutupi otak. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di

sekeliling otak. Perdarahan bias terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala

berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadi cedera kepala yang lebih

ringan.

7) Hematoma intraserebral

Hematoma intraserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak.

Penyebabnya yaitu adanya ffraktur tulang terdepresi, cedera tembak, dan

akselerasi-deselerasi mendadak.

8) Hemoragi subaraknoid traumatic

Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek/ terpotongnya pembuluh

darah mikro pada lapisan araknoid.

Page 5: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

9) Cedera aksonal difus

Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/ terpotongnya akson secara

langsung, yang memburuk selama 12-24 jam pertama karena adanya edema

difus dan lokal.

10) Cedera serebrovaskular

Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan kedalam dinding

pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotelial paling

dalam (intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan pembentukan bekuan

darah/ flap intima, yang menyebabkan peyumbatan pembuluh darah sehingga

terjadi stroke.

b. Cedera otak sekunder

Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan

otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma.

1) Edema serebral

Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24-48 jam

setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema

serebral dapat memperburuk kondisi pasien sebelum kondisinya membaik.

2) Iskemia

Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan penyebab

utama morbiditas dan mortalitas. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi

aliran darah berkurang atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuha

metabolic. Akhir dari iskemia yang tidak teratasi adalah infark/ kematian

jaringan, yang mendorong terjadinya edema tambahan.

3) Sindrom herniasi

Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser

didalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing menggambarkan

tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan

frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.

Perbandingan hasil pemeriksaan TIK dan sindrom herniasi

Peningkatan TIK Sindrom herniasi

Tingkat respon terhadap

stimulus

Diperlukan peningkatan

stimulus

Tidak dapat distimulasi

Fungsi motoric Kelemahan motorik Kelemahan motorik nyata,

Page 6: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

samara tau penyimpangan

pronator

tidak ada respon

Respon pupil Respon pupil lembam Pupil dilatasi unilateral dan

terfiksasi

Tanda-tanda vital Dapat stabil atau labil Triad cushing

menggambarkan tiga tanda

akhir herniasi, peningkatan

tekanan darah sistolik,

penurunan frekuensi

jantung, dan pola napas

tidak teratur.

4) Koma

Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan hemisfer

otak/ batang otak. Koma terjadi akibat gangguan system yang mengaktivasi

retrikular (RAS). Koma dapat disebabkan oleh banyak hal seperti infeksi

system saraf pusat, gangguan elektrolit, hipertiroidisme, hipotiroidisme,

hipoksia, kejang, toksin. Kondisi koma dapat dibagi menjadi koma ringan,

koma, koma dalam.

5) Kondisi vegetative persisten

Kondisi vegetative persisten ditandai dengan periode koma seprti tidur yan

diikuti oleh kembali terjaga, tetapi disertai tidak adanya tingkat kognisi yang

jelas. Diagnosis kondisi vegetative persisten tidak dapat ditetapkan sebelum 4

minggu awitan cedera otak traumatic dan koma.

1.4 Mekanisme Cedera Kepala

Pemahaman mengenai cedera kepala disertai pemeriksaan diagnostic dan

pemeriksaan fisik, membantu dalam mendiagnosis cedera kepala secara tepat.

Mekanisme khas cedera meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselarasi,

coup-contre coup, cedera rotasional, dan cedera penetrasi.

a. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak

bergerak

b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,

seperti pada aksus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan

mobil. Cedera akselerasi-deselarasi sering kali terjadi dalamkasus kecelakaan

kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.

Page 7: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

c. Cedera coup-contre coup terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak

bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak

yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut

disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak

yang berlawanan.

d. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar

dalam rongga tengkorak, yang menyebabkan peregangan atau robeknya neuron

dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak

dengan bagian dalam rongga tengkorak.

e. Cedera Penetrasi

Cedera penetrasi dapat disebabkan oleh peluru, pecahan peluru, atau benda tajam

lain yang bergerak dengan kecepatan yang cukup besar yang mengenai kepala

dan dapat merusak integritas tengkorak.

1.5 Patofisiologi

Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap

jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar

tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada

cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil,

sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap

bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik

bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur

awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi

sebaliknya (contra coup).

Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan

otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan

otak dan pembuluh darah.

Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar pada otak 

menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut,

menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan

otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka

‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral dan

menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak

segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini

untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan  penyelamatan hidup.

Page 8: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal

CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan

vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)

menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan

bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala

akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini

dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak

otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena

vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami

cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.

Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan

mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit

dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi

profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.

Tekanan intracranial

Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat

jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu

komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-

masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu

kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF

memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi

bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena

otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan

hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal

ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian.

Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP).

Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika

meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25

mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi

serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP.

Tekanan perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak

atau terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan

tekanan perfusi akan menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan

(respons/refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam

Page 9: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik

meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin

kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang.

Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera

kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir dengan kematian

penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan memperburuk

keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang

membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg  pada penderita cedera kepala.

Sindroma herniasi

Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala,

peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat

mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan

tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam

hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi

koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi

kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh

berlawanan terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan

berikut ini) penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas

dan meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut.

Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi masih

merupakan indikasi.

Cedera otak anoksia

Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi

jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen

selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah

episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada

arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi

dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena

reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya

hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan

kasus pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam

1.6 Komplikasi

Page 10: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:

a. Edema Pulmonal

Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah

edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat

dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera

pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan

darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada

peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan

lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh

darah peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah

ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah

dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

b. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.

Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan

menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping

tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur

harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk

meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,

perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas

paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada

pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan

rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat

gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.

Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat.

Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara

perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi

dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa

lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau

fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.

c. Kebocoran Cairan Serebrospinal

Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur

tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat

Page 11: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur

tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.

1.7 Pemeriksaan Diagnostik

a. CT scan

Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat

dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu kelemahan CT

scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara adekuat menangkap

struktur fosa posterior.

b. MRI (Magnetic resonance imaging)

Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada dasar

tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan perubahan

neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi

cedera vascular serebral dengan cara noninvasive.

c. Angiografi serebral

Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak

adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian

batang otak.

Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke akibat debris

emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal akut akibat

pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan selubung

setelah infus dilepaskan.

d. Ultrasonografi Doppler Transkranial

Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme

autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah.

Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi

serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien

cedera kepala dimasa yang akan datang.

e. EEG (elektro ensefalogram)

Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam

mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal

dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam

mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum

pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada

area cedera.

Page 12: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

f. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP (somatosensory

evoked potential)

Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil

abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakkan

diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan

fungsional yang bermakna.

1.8 Penatalaksanaan

Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh Brain

Trauma Foundation dan American Association of Neurological Surgeons pada

tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseinasi rekomendasi ilmiah

yang yang paling terkini.

Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera

setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.

Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian

system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang

dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia

dan hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak

sekunder.

Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan

pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma

Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang optimal

maka pemulihan akan berfungsi kembali :

a. Penatalaksanaan jalan napas

Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera kepala

karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan kesadaran, dan

hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi pasien pada tahap awal

cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis dapat memperlihatkan

perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda herniasi serebral dan tidak

dapat dikontrol dengan terapi farmakologis awal, pemantauan lebih lanjut

aliran darah serebral.

b. Hiperventilasi

Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume

intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan agresif

Page 13: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg. PCO2 harus

dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2 <25mmHg hiperventilasi

harus dicegah.

Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan

perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan

vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk menurunkan tahanan

intracranial terhadap aliran darah.

c. Cairan

Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan agar

nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa penderita.

Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang mengandung

glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang berakibat buruk

pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang digunakan untuk

resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar Natrium

perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat menyebabkan odema otak

yang harus dihindari.

d. Obat

1) Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya

dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena

dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan

memperberat hipovolemi.

2) Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK,

kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5

mg/kg bb IV

3) Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak

memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan

4) Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi

tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan

pada resusitasi akut

5) Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma

kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya

berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang

berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.

Page 14: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

PENATALAKSANAAN CKR (GCS 13-15)

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS

- CT scan tidak ada- CT scan abnormal- Semua cedera tembus- Riwayat hilang kesadaran- Kesadaran menurun- Nyeri kepala sedang-berat- Intoksikasi alkohol/obat-obatan- Fraktur tulang- Kebocoran likuor: otorea atau

rinorea- Cedera penyerta yang bermakna- Tak ada keluarga di rumah- GCS <15- Defisit neurologis fokal

- Tidak memenuhi kriteria rawat- Diskusikan kemungkinan kembali

ke rumah sakit bila memburuk dan berikan kertas observasi

- Jadwalkan untuk kontrol ulang

Pemeriksaan neurologis terbatas

Pemeriksaan rontgen vertebra, servikal dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin

Pemeriksaan CT scan kepala merupakan indikasi bila memenuhi kriteria kecurigaan perlunya tindakan bedah saraf sangat tinggi

Definisi: Pasien sadar dan berorientasi (GCS 13-15)

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

- Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan

- Mekanisme cedera- Waktu cedera

- Tidak sadar segera setelah cedera- Tingkat kewaspadaan- Amnesia : Retrograde, antegrade- Sakit kepala: ringan, sedang, berat

Riwayat

Page 15: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi : GCS 9 - 12

Pemeriksaan Inisial

- Sama dengan pasien cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana

- Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus- Dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah saraf

Setelah dirawat inap

- Lakukan pemeriksaan neurologis periodik- Lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi pasien

memburuk dan bila pasien akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)

- Pulang bila memungkinkan- Kontrol di poliklinik

Bila pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan selanjutnya sesuai protokol cedera kepala berat

Page 16: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi: Pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan penatalaksanaan

- ABCDE- Primary Survey dan resusitasi- Secondary Survey dan riwayat AMPLE- Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf- Reevaluasi neurologis: GCS

Respon buka mata Respon motorik Respon verbal Refleks cahaya pupil

- Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf) Manitol Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg) Antikonvulsan

CT Scan

Page 17: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

CEDERA KEPALA BERAT

GCS 8 atau kurang

Diagnostik kedaruratan atau prosedur terapeutik sesuai indikasi

Evaluasi trauma ATLS

a. Intubasi endotrakealb. Resusitasi cairanc. Ventilasi (PAC02 – 35 mmHg)d. Oksigenasie. Sedasif. ± Blokade neuromuscular

(kerja singkat)

Herniasi?*Deteriorasi?

Resolus

±hiperventilasi

±manitol (1g/kg)

CT Scan

Lesi Bedah ?

Unit perawatan intensif

Kamar operasi

Obati hipertensi intrakranial

Pantau TIK

ALOGARITMA CEDERA KEPALA BERAT

Ya

Ya

YaTidak

Tidak

Tidak

Page 18: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

2. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala

2.1 Pengkajian

1) Primary Survey

Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)

sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk

penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang

mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).

1) Airway

Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia

otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu

pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini

meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan

benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur

laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan

trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus

melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga

setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat

menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala

dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada

penanganan airway.

Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan didalam

pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan

dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal

airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka

dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway

definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon

(cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu

pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan

ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive

didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain :

- Adanya apnea

- Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara

yang lain

Page 19: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

- Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah

atau vomitus

- Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple

fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan

- Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)

- Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan

pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi

pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind

nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas

spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.

Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina

chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.

Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi

didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan

ini dinamakan airway surgical.

2) Breathing

Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi. Penururnan

oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.

Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui

kualitas ventilasi dari penderita.

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas

yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan

mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi

yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus

di evaluasi secara cepat.

Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan

kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan

observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi

trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu

sisi (unilateral).

Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah

tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax,

massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan

Page 20: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan

kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus

dikenali pada saat melakukan secondary survey.

3) Circulation

Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang

mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit. Suatu

keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai

terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat

dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat

mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang

banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan

langsung.

Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh

kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian larutan

Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada

dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di

control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di

evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari

lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.

Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan

pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai

dengan pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau

sama sekali tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan

larutan ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn

transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O

negative. Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok

hipovolemik.

Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini

dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara lain :

- Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis dari

kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan

terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan

darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan transkapiler

Page 21: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam

24 jam.

- Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala

klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang

dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral

yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan, produksi

urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang

memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan

kristaloid pada mulanya.

- Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah); Akibat

kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang dewasa) dapat

sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan tanda klasik perfusi

yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan

penting oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik. Dalam

keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling

kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita

dengan kehilangan darah tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse

darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas respon

penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse dan oksigenasi

organ yang adekuat.

- Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan

kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya

meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang

cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic

yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas

menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini sering kali

memerlukan transfuse cepat dan intervensi pembedahan segera.

Keputusan tersebut didasarkan atas respon resusitasi cairan yang

diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita

mengaibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi, dan tekanan darah.

Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat. Fraktur

kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah did alam tungkai

sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan bidai yang

baik akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata dengan mengurangi

Page 22: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

pergerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur.

Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat

menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang agresif merupakan hal

yang penting disamping usaha menghentikan perdarahan.

4) Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan

neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta

ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran

adalah metode AVPU :

A : Alert (sadar)

V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)

P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)

U : Unresponsive (tidak ada respon)

GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana

dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan

sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada primary

survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan

neurologis

Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau

penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.

Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap oksigenasi,

ventilasi, dan perfusi.

5) Exposure

Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas

sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka

paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk

memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,

mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko

terjadiny komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi

jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat

digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah

kontaminasi lebih lanjut.

2) Secondary Survey

1) Riwayat Penyakit Sekarang

Page 23: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit kepala,

wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang

keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa

beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit

mencerna/menelan makanan.

2) Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan, riwayat trauma

masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan,

kardiovaskuler dan metabolik.

3) Riwayat Penyakit Keluarga

4) Kebutuhan Dasar

Eliminasi : Perubahan pada BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi, hematuria

Nutrisi: Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan, kaji bising

usus.

Istirahat: Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.

5) Psikososial

Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau

kepribadian.

6) Pengkajian social

Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi, afasia

motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia.

7) Nyeri/kenyamanan

Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons menarik

pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.

8) Pengkajian Fisik

a. fungsi kognitif

Fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga pertanyaan

orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi penting untuk

mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna memfasilitasi

pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu.

b. Pengkajian tingkat keterjagaan

Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera kepala,

stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat

untuk mendapatkan secara efektif respon terbaik/ maksimum pasien.

Page 24: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Langkah pertama upaya membangunkan pasien hanya dengan berbicara,

kemudian berteriak, lalu dengan menggoyangkan, dan selanjutnya dengan

memberikan rangsang nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini member

pasien kesempatan untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjagaan

atau respon sebaliknya.

c. Pengkajian mata

Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan ekstraokuler,

yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak. Pengujian saraf

cranial II (optikus) pada tempat perawatan akut mencakup pendeteksian

defek lapang pandang dan ketajaman penglihatan yang besar. Lapang

pandang dapat secara adekuat dikaji melalui kemampuan pasien untuk

mendeteksi gerakan jari pemeriksa pada setiap lapang pandang. Ketajaman

penglihatan dapat secara kasar dikaji dengan meminta pasien membaca

kalimat yang dicetak pada satu halaman atau menggunakan grafik mata

snellen. Jika terdapat kekhawatiran berkenaan dengan gangguan saraf

optic, evaluasi lengkap yang dilakukan oleh dokter spesialis mata

direkomendasikan.

Evaluasi saraf cranial III (okulomotorius) meliputi inspeksi pupil,

termasuk ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya.

Peningkatan TIK dapat menyebabkn ketidakteraturan bentuk, anisokor,

dan tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi terhadap cahaya.

Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis, abdusens)

seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan pengkajian karena saraf-

saraf tersebut menggerakkan mata. Pengkajian saraf-saraf tersebut

dilakukan dengan meminta pasien mengikuti jari pemeriksa ketika jari

tersebut digerakkan menurut pola huruf H. pengihatan ganda adalah tanda

kelemahan otot mata dengan gangguan saraf cranial.

d. Pengkajian respon batang otak

Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar

dengan menguji refeks corneal, batuk, dan gag. Reflex corneal

merefleksikan saraf cranial V dan VII (trigeminus dan fasialis). Reflex ini

diuji dengan mengusapkan gumpalan kapas pada konjungtiva bawah setiap

mata. Kedipan kelopak mata bawah mengindikasikan adanya reflex.

Sensasi stimulus yang mengiritasi menunjukkan fungsi utama satu cabang

Page 25: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

saraf trigeminus, dan gerakan kelopak mata bawah menujukkan fungsi

motorik saraf fasialis.

Saraf cranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) keluar pada

ketinggian medulla dan bertanggung jawab atas reflex batuk dan gag serta

melindungi jalan napas dari aspirasi. Reflex batuk dan gag harus

dievaluasi pada apsien yang terjaga dan tidak sadar.

e. Pengkajian fungsi motorik

Pengkajian motorik dilakukan pada pasien terjaga dan kooperatif

dengan meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya melawan gravitasi

dan dengan resistansi pasif, pergerakkan terssebut digolongkan

menggunakan skala 1-5.

Pasien yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan sikap tubuh

lokalisasi, menarik diri, atau fleksor/ ekstensor ebagai respon terhadap

stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri diamati sebagai suatu

respon yang bertujuan karena pasien mampu menunjukkan sumber nyeri

dan bergerak kearah sumber nyeri tersebut dengan satu atau kedua

ekstremitas melewati garis tengah tubuh.

f. Pengkajian fungsi pernapasan

Pengkajian fungsi dan pola pernapasan penting dalam mendeteksi

perburukan cedera neurologis dan kebutuhan dukungan mekanik. Banyak

bagian dari kedua hemisfer serebral yang mengatur kendali volunteer

terhadap otot yang dignakan dalam bernapas, dengan serebelum

menyesuaikan dan mengkoordinasikan usaha otot. Serebrum juga sedikit

mengendalikan frekuensi dan irama pernapasan.

Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla oblongata.

Setiap lesi intracranial yang berekpansi secara cepat, seperti perdarahan

serebelar, dapat mengompresi medulla, dan menghasilkan pernapasan

ataksik. Pernapasan tidak teratur tersebut terdiri dari napsa dalam dan

dangkal disertai jeda tidak teratur. Pola pernapasan tersebut menandakan

perlunya control jalan nafas definitive melalui intubasi endotrakeal.

g. Pengkajian system tubuh lain

Selain pengkajian system saraf pusat yang menyeluruh, pegkajian

komprehensif dari seluruh system tubuh lain sangat penting dalam

Page 26: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

mengindenifikasi secara dini komplikasi dan sekuela pada pasien cedera

otak.

1.2 Diagnosa Keperawatan

a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK

b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan

otak).

c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala

d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.

1.3 Rencana Intervensi Keperawatan

a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK Tujuan:

Mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.

Kriteria hasil:

- Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda PTIK

- Tingkat kesadaran membaik

Intervensi Rasional

Pantau /catat status

neurologis secara teratur

dan bandingkan dengan

nilai standar GCS.

Evaluasi keadaan pupil,

ukuran, kesamaan antara

kiri dan kanan, reaksi

terhadap cahaya.

Pantau tanda-tanda vital:

TD, nadi, frekuensi nafas,

suhu.

Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial

peningkatan TIK dan bermanfaat dalam

menentukan lokasi, perluasan dan

perkembangan kerusakan SSP.

Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial

okulomotor (III) berguna untuk menentukan

apakah batang otak masih baik. Ukuran/

kesamaan ditentukan oleh keseimbangan

antara persarafan simpatis dan parasimpatis.

Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi

yang terkombinasi dari saraf kranial optikus

(II) dan okulomotor (III).

Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh

penurunan TD diastolik (nadi yang membesar)

merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK,

Page 27: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Pantau intake dan output,

turgor kulit dan membran

mukosa.

Turunkan stimulasi

eksternal dan berikan

kenyamanan, seperti

lingkungan yang tenang.

Bantu pasien untuk

menghindari /membatasi

batuk, muntah, mengejan.

Tinggikan kepala pasien

15-45 derajat.

Batasi pemberian cairan

sesuai indikasi.

jika diikuti oleh penurunan kesadaran.

Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan

kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat

mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.

Peningkatan kebutuhan metabolisme dan

konsumsi oksigen terjadi (terutama saat

demam dan menggigil) yang selanjutnya

menyebabkan peningkatan TIK.

Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total

tubuh yang terintegrasi dengan perfusi

jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat

mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan

ini dapat mengarahkan pada masalah

hipotermia atau pelebaran pembuluh darah

yang akhirnya akan berpengaruh negatif

terhadap tekanan serebral.

Memberikan efek ketenangan, menurunkan

reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan

istirahat untuk mempertahankan atau

menurunkan TIK.

Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan

intrathorak dan intraabdomen yang dapat

meningkatkan TIK.

Meningkatkan aliran balik vena dari kepala

sehingga akan mengurangi kongesti dan

oedema atau resiko terjadinya peningkatan

TIK.

Pembatasan cairan diperlukan untuk

Page 28: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Berikan oksigen tambahan

sesuai indikasi.

Berikan obat:

Toradol 3 x 30 mg

iv

Phenitoin 3 x 1

amp iv

Cedantron 3 x 4

mg iv

Manitol 6 x 100

cc/drip

menurunkan edema serebral, meminimalkan

fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.

Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat

meningkatkan vasodilatasi dan volume darah

serebral yang meningkatkan TIK.

Manitol digunakan untuk menurunkan air dari

sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.

Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif

digunakan untuk mengendalikan kegelisahan,

agitasi.

b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan

otak).

Tujuan: Mempertahankan pola pernapasan efektif melalui ventilator.

Kriteria evaluasi: Tidak ada sianosis, Blood Gas dalam batas normal.

Intervensi Rasional

Pantau frekuensi, irama,

kedalaman pernapasan

setiap 1 jam. Catat

ketidakteraturan

pernapasan.

Pantau / cek pemasangan

tube, selang ventilator

sesering mungkin.

Siapkan ambu bag tetap

berada didekat pasien.

Perubahan dapat menandakan awitan

komplikasi pulmonal atau menandakan

lokasi/luasnya keterlibatan otak.

Adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak

adekuatnya pengaliran volume dan

menimbulkan penyebaran udara yang tidak

adekuat.

Membantu memberikan ventilasi yang adekuat

bila ada gangguan pada ventilator.

Page 29: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Lakukan penghisapan

dengan ekstra hati-hati,

jangan lebih dari 10-15

detik. Catat karakter,

warna dan kekeruhan dari

sekret.

Lakukan fisioterapi dada .

Auskultasi suara napas,

perhatikan daerah

hipoventilasi dan adanya

suara tambahan yang tidak

normal misal: ronkhi,

wheezing, krekel.

Pantau analisa gas darah,

tekanan oksimetri.

Lakukan ronsen thoraks

ulang.

Penghisapan pada trakhea dapat menyebabkan

atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan

vasokonstriksi yang pada akhirnya akan

berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.

Walaupun merupakan kontraindikasi pada

pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi

tindakan ini seringkali berguna pada fase akut

rehabilitasi untuk memobilisasi dan

membersihkan jalan napas dan menurunkan

resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru

seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan

napas yang membahayakan oksigenasi cerebral

dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.

Menentukan kecukupan pernapasan,

keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan

terapi.

Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-

tandakomplikasi yang berkembang misal:

atelektasi atau bronkopneumoni.

c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala

Tujuan: nyeri berkurang.

Kriteria evaluasi:

- Pasien mengatakan nyeri berkurang dan skala nyeri menurun.

Page 30: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

- Pasien dapat melakukan manajemen nyeri akut.

Intervensi Rasional

Observasi keadaan umum

dan tanda-tanda vital

pasien termasuk observasi

nyeri PQRST

Kaji ulang karakteristik

nyeri

Ajarkan teknik relaksasi

Berikan posisi yang

nyaman

Berikan analgetik sesuai

program dokter.

Mendapatkan pemahaman obyektif terhadap

pengalaman subyektif (Potter & Perry, 2006)

Mengetahui penyebab, kualitas, letak, skala, dan

waktu terjadinya nyeri.

Mengurangi sensasi nyeri

Meningkatkan relaksasi

Mengurangi nyeri secara farmakologik

1. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.

Tujuan: tidak terjadi infeksi.

Kriteria evaluasi:

- Tidak ada tanda-tanda infeksi.

- Mencapai penyembuhan luka tepat waktu

Intervensi Rasional

Berikan perawatan aseptik

dan antiseptik,

pertahankan tehnik cuci

tangan yang baik.

Observasi daerah kulit

yang mengalami

kerusakan, daerah yang

terpasang alat invasi, catat

karakteristik dari drainase

dan adanya inflamasi.

Pantau suhu tubuh secara

teratur, catat adanya

Cara pertama untuk menghindari terjadinya

infeksi nosokomial.

Deteksi dini perkembangan infeksi

memungkinkan untuk melakukan tindakan

dengan segera dan pencegahan terhadap

komplikasi selanjutnya.

Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis

yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau

Page 31: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

demam, menggigil,

diaforesis.

Berikan antibiotik sesuai

program dokter.

tindakan dengan segera.

Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien

yang mengalami trauma, atau setelah dilakukan

pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya

infeksi.

Page 32: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

WOC CEDERA KEPALA

Cedera kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot & Vaskuler

Terputusnya kontinuitas jaringan tulang

Cedera otak (kontusio, laserasi)

- Perdarahan - Hematoma

Gangguan suplai darah

Resiko infeksi

Nyeri

Perubahan sirkulasi CSS

PTIK

Iskemia

Hipoksia

Resiko ketikdaefektifan perfusi jaringan serebral

Girus medialis lobus temporalis tergeser

Herniasi unkus

Mesensefalon tertekan

Gangguan kesadaran

Resiko injury

Immobilisasi Cemas

Resiko gangguan integritas kulit

Defisit perawatan diri

Gangguan fungsi otak

- Perubahan autoregulasi

- Edema serebral

Kejang - Bersihan jalan napas

- Dispnea- Henti napas

Gangguan pola napas

Gangguan neurologis fokal

Lobus Frontal

Lobus oksipital

Lobus temporal

Lobus parietal

- Gangguan fungsi luhur- Perubahan perilaku- Gangguan fungsi motorik- Afasia

Gangguan fungsi penglihatan

Gangguan fungsi sensorik (anosmia,

hipestesi, parestesi, dll)

- Gangguan keseimbangan

- Gangguan memori

Page 33: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis

& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala. Bagian/SMF Ilmu

Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra

Grafind.

Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw Hill

Professional.

Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta:

EGC

Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012

Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC

Lumandung, Feibyg T, James F. Siwu, Johannis F. Mallo. (2013). Gambaran Korban

Meninggal Dengan Cedera Kepala Pada Kecelakaan Lalu Lintas Di Bagian

Forensik Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Tahun 2011-2012.

(online). http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/3608/3136

Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta:

EGC

NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.

Jakarta: EGC.

Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar Keperawatan

Emergensi. Jakarta: EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.

Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,

dan Praktik. Jakarta: EGC.

Page 34: Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Sugiharto L,

Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.

Jakarta: EGC

Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes.

Wijaya, Andra Saferi. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa Teori

dan Contoh Askep). Yogyakarta : Nuha Medika