referat 2 - cedera kepala

51
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara yang merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar, serta rujukan yang terlambat. Terdapat 4 juta orang yang mengalami cedera kepala setiap tahunnya dan cedera kepala berat adalah penyebab kematian terbanyak dengan mortalitas 75 – 80 %. Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari 1

Upload: angelinasiauta

Post on 18-Dec-2015

60 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

referat cedera kepala

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

I. Latar BelakangCedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara yang merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar, serta rujukan yang terlambat.Terdapat 4 juta orang yang mengalami cedera kepala setiap tahunnya dan cedera kepala berat adalah penyebab kematian terbanyak dengan mortalitas 75 80 %. Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera sedang dan dan 10% termasuk cedera kepala berat.Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. Cedera kepala juga dapat terjadi pada populasi yang berisiko seperti pria usia 15 24 tahun, bayi-balita, remaja hingga dewasa bahkan orang tua.Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% - 5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusio cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture. Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat. Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB IIPEMBAHASAN

I. DefinisiCedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

II. Anatomi Kepala1. Kulit kepalaKulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:a. Skin atau kulitb. Connective tissue atau jaringan penyambungc. Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan tengkorakd. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgare. PerikraniumJaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).2. Tulang TengkorakTerdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fossa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).3. MeningsSelaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:a. Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa temporalis (fossa media).b. Selaput ArakhnoidSelaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon, 1997).c. PiamaterPiamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.4. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).5. Cairan serebrospinalCairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.6. TentoriumTentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).7. Vaskularisasi OtakOtak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

III. Aspek Fisiologis Cedera Kepala1. Tekanan intracranial Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon, 1997).2. Hukum Monroe-KellieKonsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon, 1997).3. Tekanan Perfusi otakTekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita (American college of surgeon, 1997).4. Aliran darah otak (ADO)ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of surgeon, 1997).

IV. Patofisiologi Cedera KepalaPatofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidural Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

Gambar 1. Tipe dari mekanisme cedera kepala4

V. Klasifikasi Cedera KepalaCedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.1. Mekanisme cedera kepalaBerdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.

2. Beratnya cederaCedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut: Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15Glasgow Glasgow Coma Scale nilai:Respon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

3. Morfologi cederaSecara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial.a. Fraktur CraniumFraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis.Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktur tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktur tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.b. Lesi IntrakranialLesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusio (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis. Epidural hematomEpidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas. Subdural hematomHematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktur tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997).Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.1) SDH AkutPada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.2) SDH KronisPada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.

A subdural hematoma (SDH) below the duramater on patients right side. An epidural hematoma (EDH), above the duramater, is shown on the patients left with a skull fracture and scalp hematoma overlying

c. Kontusio dan hematom intraserebralKontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.d. Cedera difusCedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itu pun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan (American college of surgeon, 1997).

VI. Klasifikasi menurut Le Fort1. Lefort 1Fraktur melintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum, dicirikan oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum, maloklusi gigi biasanya bisa terjadi.2. Lefort IIFraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran palatum kebelakang. Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga tengah wajah termasuk hidung.3. Lefort IIIMerupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus. Seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser.

Gambar 2. Garis fraktur menurut LeFort5

Gambar 3. Fraktur Wajah menurut LeFort5VII. Pemeriksaan Penunjang1. Foto polos kepala Indikasi foto polos kepala, tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Indikasi CT Scan adalah : a. Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.b. Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.c. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).d. Adanya lateralisasi.e. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.f. Luka tembus akibat benda tajam dan pelurug. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.h. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).i. Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan: Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.3. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.4. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.5. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis6. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.7. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.8. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.9. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.10. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial11. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial12. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

VIII. PenatalaksanaanPenatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain: Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) Penurunan tingkat kesadaran Nyeri kepala sedang hingga berat Intoksikasi alkohol atau obat Fraktur tengkorak Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea Cedera penyerta yang jelas Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan CT scan abnormal

Tujuan utama protokol perawtaan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka sel dapat mengalami kematian. Terapi medikamentosa adalah sebagai berikut:1. Cairan intravena Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringers Lactate. Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan gtimbulnya edema otak yang harus dicegah.2. HiperventilasiPada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCO2 dibiarkan turun sampai kurang dari 30 mmHg (4,0 kPa).Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg) dapat diterima jika diperlukan pada keadaan deteriorasi neurologis akut.3. ManitolManitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia biasanya cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi penggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam keadaan observasi. Pada keadaan ini pemberian manitol bolus (1 g/kg) harus diberikan secara cepat dalam waktu 5 menit, dan penderita harus segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengan CT scan.4. FurosemidObat ini digunakan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,3 0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan pada pasien hipovolemik.5. SteroidBerbagai penelitian tidak menunjukkan manfaat sterois untuk mengendalikan peningkatan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat. Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera kepala tidak dianjurkan.6. BarbituratBarbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau hipovolemia. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Karena itu, barbiturat tidak diindikasikan untuk fase akut resusitasi.7. Antikonvulsan Epilepsi pasca trauma terjadi pada sekitar 5% penderita dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insidensi epilepsi: Kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama Perdarahan intrakranial Fraktur depresiPenelitian menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan dalam fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya 1 gr yang diberikan secara intravena dengan kecepaatn pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100mg/8 jam. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus diperlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang yang berlangsung lama (30 60 menit) harus dihentikan karena dapat menyebabkan cedera otak sekunder.

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut: volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis tanda fokal neurologis semakin berat terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan terjadi gejala akan terjadi herniasi otak terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

Managemen Peningkatan Tekanan Intrakranial pada Cedera Kepala Berat

Pertimbangan non-operatif vs operatif terhadap managemen epidural hematoma (EDH), MLS (midline shift), GCS (Glasgow Coma Scale).

Pertimbangan non-operatif vs operatif terhadap managemen subdural hematomas (SDH), MLS (midline shift), GCS (Glasgow Coma Scale).

IX. PrognosisApabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB IIIKESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokkan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC; 2005.2. Advanced Trauma Life Support. America: American College of Surgeons; 2004.3. Norton JA, Barie PS, Bollinger R, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence. Second edition. United States: Spinger; 2008.4. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. British Journal of Anaethesia. 2007. 99(1):4-9.5. Grace PA, Borley NR. Surgery at a glance. Second edition. UK: Blackwell Science; 2002.6. Knoop KJ, Birinyi FB, Birnbaumer DM, Bondesson JD, Buckley RG, et all. In: Atlas of Emergency Medicine. Second edition. America: The McGraw-Hill; 2002.7. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Eight edition. Philadelphia: Saunders Elseiver; 2010.8. Stevenson JH. Traumatic Brain Injury. In: Mark Steenbergen, Jill Grimes, Karen Maugham, editors. The 5-Minute Clinical Consult 2008. 16th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.25