dk1-laporan pemicu 1

70
LAPORAN HASIL DISKUSI MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI PEMICU 1 KELOMPOK DISKUSI 1 1. Bakri Bayquni Nasution I11110010 2. Ullis Mawardhani I11111046 3. Wenny rupina I11111067 4. Gusti Angri Angalan I11112004 5. Cindy Lidia I11111006 6. Jovi Pardomuan S I11110008 7. Gita Amalia Asikin I11112032 8. Khairun Nisa I11112033 9. Friedrich Kurniawan M I11112051 10. Aprindo Donatus I11112055 11. Putri Umagia Drilna I11112067 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN 1

Upload: aprindodonatus

Post on 23-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

mengenai reaksi hipersensitivitas tipe 1, dengan gejala rinitis alergi, dermatitis atopi, dan asma pada 1 keluarga

TRANSCRIPT

Page 1: DK1-Laporan Pemicu 1

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI

PEMICU 1

KELOMPOK DISKUSI 1

1. Bakri Bayquni Nasution I11110010

2. Ullis Mawardhani I11111046

3. Wenny rupina I11111067

4. Gusti Angri Angalan I11112004

5. Cindy Lidia I11111006

6. Jovi Pardomuan S I11110008

7. Gita Amalia Asikin I11112032

8. Khairun Nisa I11112033

9. Friedrich Kurniawan M I11112051

10.Aprindo Donatus I11112055

11.Putri Umagia Drilna I11112067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2015

1

Page 2: DK1-Laporan Pemicu 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Iwan, 6 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan sering bersin-bersin dengan ingus

encer bening tahun yang lalu. Keluhan ini sering disertai mata berair dan gatal. Ia

juga sering menggosok-gosokkan hidungnya yang gatal. Keluhan ini timbul terutama

pada pagi hari atau bila Iwan bermain di tempat yang berdebu. Ibu Iwan, Ny. Tati

sering mengalami serangan sesak nafas, terutama pada malam hari atau bila terlalu

capek. Keluhan sesak napas yang dialami Ny. Tati ini biasanya menghilang sesudah

menggunakan obat hirup. Adik Iwan, Asih, berusia 3 tahun, sering mengalami gatal-

gatal di kulit, bila makan udang. Ayah dan kakaknya tidak mempunyai keluhan yang

sama.

1.2 Klarifikasi dan Definisi Masalah

a. Obat hirup : Obat yang diberikan secara inhalasi

1.3 Kata Kunci

a. Sering bersin

b. Ingus encer

c. Mata dan hidung gatal

d. Mata berair

e. Sesak napas

f. Obat hirup

g. Gatal-gatal di kulit saat makan udang

1.4 Rumusan Masalah

Iwan 6 tahun mengalami reaksi alergi berupa rhinitis akibat debu atau udara

dingin dengan riwayat keluarga adiknyaAsih 3 tahun mengalami reaksi alergi

berupa dermatitis akibat makan udang dan Ny. Tati mengalami asma di

malam hari atau saat capek.

2

Page 3: DK1-Laporan Pemicu 1

keluarga

Ny. Tati Iwan 6 th Ayah dan Kakak

Sesak napas terutama malam hari atau saat capek. Hilang setelah memakai obat hirup

Bersin-bersin denan ingus encer bening sejak 1 tahun lalu. Mata berarir dan gatal. Hidung gatal. Timbul gejala terutama di pagi hari atau tempat berdebu

Gatal-gatal di kulit jika makan udang

Tidak ada keluhan

Imunitas

AnatomiHistologiFisiologi

Innate

Determinan:Genetik

Reaksi Hipersensitivitas

Tipe 1

Penatalaksanaan

Imun Adekuat

Asma

Sistem limfatik

Acquired

Patologis

Rhinitis Alergi Dermatitis Atopi

1.5 Analisis Masalah

1.6 Hipotesis

Reaksi alergi dan asma yang terjadi pada Iwan, Asih, dan Ny. Tati merupakan

reaksi hipersensitivitas tipe I, sedangkan Ayah dan Kakak tidak mengalami

keluhan yang sama karena memiliki sistem imun yang adekuat.

3

Asih 3 th

Respons Imun

Page 4: DK1-Laporan Pemicu 1

1.7 Pertanyaan Diskusi

1. Jelaskan mengenai imunitas!

a. Definisi

b. Klasifikasi

c. Determinan yang mempengaruhi

d. Sistem limfatik dan organ limfoid

2. Jelaskan mengenai respon imun!

a. Adekuat

b. Patologis

3. Faktor apa sajakah yan dapat memicu reaksi dari sistem imun?

4. Jelaskan mengenai reaksi hipersensitivitas

a. Definisi

b. Klasifikasi

c. Manifestasi Klinis

d. Diagnosis

e. Contoh Penyakit

5. Jelaskan efek imunitas yang tidak diinginkan selain hipersensitivitas!

6. Jelaskan mengenai rhinitis, dermatitis, dan asma dan hubungannya dengan

faktor genetic!

7. Jelaskan peran sistem imun pada patofisiologi rhinitis, dermatitis, dan asma!

8. Mengapa cuaca dingin dan tempat berdebu dapat memicu rhinitis alergi?

9. Mengapa makan udang dapat memicu reaksi alergi?

10. Mengapa udara malam hari dan kelelahan dapat memicu asma?

11. Bagaimana penatalaksanaan kasus?

4

Page 5: DK1-Laporan Pemicu 1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Jelaskan mengenai imunitas!

a. Definisi

Imunitas adalah mekanisme perlindungan yang bertindak untuk

mempertahankan integritas tubuh terhadap substansi agen asing.1

b. Klasifikasi1

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu sistem imun spesifik dan non

spesifik. Masing-masing klasifikasi tersebut dibagi lagi menjadi:

1. Sistem imun non spesifik

Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan

dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena

sistem imun spesifik memerlukan waktu sebelum dapat memberikan

responnya. Sistem tersebut disebut non-spesifik karena tidak

ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.

Komponen-komponen sistem imun non-spesifik terdiri atas:

a. Pertahanan fisis dan mekanis

Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk, dan bersin dapat

mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh. Kulit

yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang

rusak oleh asap rokok akan meningkatakan risiko infeksi.

b. Pertahanan biokimia

Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus

kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen merupakan

5

Page 6: DK1-Laporan Pemicu 1

bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam hidroklorik

dalam cairan lambung , lisosim dalam keringat, ludah, air mata,

dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman gram

positif dengan jalan menghancurkan dinding kuman tersebut. Air

susu ibu mengandung pula laktoferitin dan asam neurominik

yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E. coli dan

stafilokok.

Lisozim yang dilepa makrofag dapat menghancurkan kuman

gram negatif dengan bantuan komplemen. Lektoferitin dan

transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan

untuk kehidupan kuman pseudomonas.

c. Pertahanan Humoral

1. Komplemen

Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi

bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi.

Kejadian-kejadian tersebut diatas adalah fungsi sistem imun

nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respons

imun spesifik.

2. Interferon

Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai

sel manusia yang mengandung nucleus dan dilepas sebagai

respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat

antivirus dengan jalan mengiduksi sel-sel sekitar sel yang

telah terserang virus tersebut. Disamping itu, interferon dapat

6

Page 7: DK1-Laporan Pemicu 1

pula mengakibatkan natural killer cell / sel NK untuk

membunuh virus dan selneoplasma.

3. C- Reactive Protein (Crp)

CRP dibentuk tubuh pada keadaan infeksi. Perannya ialah

sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen.

d. Pertahanan selular

Pertahanan non spesifik yang termasuk selular ialah makrofag,

sel NK, sel dendritik dan sejenisnya.

2. Sistem imun spesifik

Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik

mmpunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing

bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang

segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitisasi sel-sel

imun tersebut. Bila sistem sel imun tersebut terpajan ulang dengan

benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan

dihancurkannya.Oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik.

Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan

benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya

terjalinkerja sama yang baik antara antibody, komplemen, fagosit

dan antara sel T-makrofag. Oleh karena komplemen turut diaktifkan,

repon imun yang terjadi sering disertai dengan reaksi inflamasi.

Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit

B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Pada

unggas sel asal tersebut berdifferensiasi menjadi sel B didalam alat

yang disebut bursa fabricius yang letaknya dekat kloaka. Bila sel B

7

Page 8: DK1-Laporan Pemicu 1

dirangsang benda asing, sel tersebuit akan berproliferasi dan

berdifferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody.

Antibodi yang dilepas dapat dimukan didalam serum. Serum fungsi

utama antibody ialah mempertahankan tubuh terhaadap infeksi

bakteri, virus dan netralisasi toksin.

c. Determinan yang mempengaruhi1

Berbagai faktor yang disebut determinan berpengaruh terhadap

sistem imun nonspesifik, yaitu sebagai berikut:

1. Spesies

Diantara berbagai spesies ada perbedaan kerentanan yang jelas

terhadap berbagai mikroba, misalnya tikus sangat resisten terhadap

difteri sedangkan manusia sangat rentan.

2. Keturunan dan usia

Peranan herediter yang menentukan resistensi terhadapa infeksi

terlihat dari studi tuberculosis pada pasangan kembar. Bila satu

sari kembar homozigot menderita tuberculosis, pasangan lainnya

menunjukkan resiko tinggi untuk menderita jugadibandingkan

pasangan kembar heterozigot. Infeksi juga lebih berast dan sering

terjadi pada anak yang usianya lebih muda dibandingkan dewasa.

Hal ini dikarenakan kematangan sistem imun yang belum matang

pada usia muda. Namun pada usia lanjut akan terjadi penurunan

sistem imun juga.

3. Hormon

Sebelum pubertas, sistem imun pada pria dan wanita adalah sama.

Sistem imun berkembang tanpa pengaruh hormone seks. Androgen

yang dilepas oleh pria bersifat imunosupresif, dilepas secara

menetap selama masa dewasa dan tidak berfluktuasi sampai usia

lanjut. Pada wanita, respon imun terintegrasi dengan sistem

8

Page 9: DK1-Laporan Pemicu 1

endokrin yang tujuannya agar janin dalam kandungan tidak ditolak

selama hamil.

4. Suhu

Beberapa mikroba tidak dapat menginfeksi manusia oleh karena

tidak dapat hidup pada suhu 37o C.

5. Nutrisi

Nutrisi yang buruk sudah jelas menurunkan resistensi terhadap

infeksi. Di lain pihak, nutrisi yang kurang baik sering disertai

dengan sanitasi buruk yang dapat meningkatkan infeksi.

6. Flora bakteri normal

Flora normal di kulit dapat memproduksi senyawa antimicrobial

seperti bakteriosin dan asam. Pada waktu yang sama, flora normal

akan berkompetisi dengan patogen dalam mendapatkan nutrisi

esensial.

2.2. Sistem limfatik dan organ limfoid1

Sejumlah organ limfoid dan jaringan limfoid yang morfologis dan

fungsional berlainan berperan dalam respon imun. Organ limfoid tersebut

dibagi menjadi organ primer dan sekunder.

1. Organ Limfoid Primer

Organ limfoid primer atau sentral terdiri atas sumsum tulang dan

timus. Organ limfoid primer diperlukan untuk pematangan, diferensiasi, dan

proliferasi sel T dan sel B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal

antigen. Karena itu organ tersebut berisikan limfosit dalam berbagai fase

diferensiasi.

2. Organ Limfoid Sekunder

Limpa dan KGB adalah organ limfoid sekunder yang terorganisasi

tinggi. Jaringan limfoid sekunder yang kurang terorganisasi secara kolektif

9

Page 10: DK1-Laporan Pemicu 1

disebut MALT yang ditemukan di berbagai tempat di tubuh. MALT meliputi

jaringan limfoid ekstranodul yang berhubungan dengan mukosa di berbagai

lokasi, seperti SALT di kulit, BALT di bronkus, GALT di saluran cerna

(meliputi Plak Peyer di usus kecil, apendiks, berbagai folikel limfoid dalam

lamina propia usus), mukosa hidung, tonsil, serviks uterus, membran mukosa

saluran napas atas, bronkus, dan saluran kemih. Organ limfoid sekunder

merupakan tempat sel dendritik mempresentasikan antigen yang

ditangkapnya di bagian lain tubuh ke sel T yang memacunya untuk

proliferasi dan diferensiasi limfosit.

Sistem limfatik-resirkulasi limfosit merupakan sistem pengembalian cairan

intertsisial yang tadinya membahasi jaringan saat respon imun terjadi ke

pembuluh darah. Hal ini untuk memastikan adanya keseimbangan cairan dalam

sistem sirkulasi.

2.3. Jelaskan mengenai respon imun!

a. Adekuat2

Imunitas merupakan kemampuan tubuh untuk Manahan atau

menghilangkan benda asing atau sel abnormal yang berpotensi

merugikan. Imunitas ini tidak lain diperankan oleh sistem imun yang

memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai berikut:

1. Mempertahankan tubuh dari pathogen invasive.

2. Menyingkitkan sel dan jaringan yang telah rusak oleh trauma maupun

penyakit.

3. Mengenali dan menghancurkan sel abnormal atau mutan yang berasal

dari tubuh yang berpotensi menjadi malignansi (immune surveillance).

4. Melakukan respons imun yang tidak pada tempatnya yang menyebabkan

alergi atau menyebabkan penyakit otoimun.

10

Page 11: DK1-Laporan Pemicu 1

Sistem imun ini sendiri terdiri dari jaringan limfoid (membuang,

menyimpan, memproduksi, dan menambahkan leukosit) dan leukosit itu

sendiri yang berguna sebagai sel efektor sistem imun. Imunitas protektif

dihasilkan oleh kerja sama dua komponen sistem imun yang terpisah

tetapi saling berhubungan, yaitu sitem imun bawaan dan sistem imun

adaptif.

A. Sistem Imun Bawaan

Perlu dipahami bahwa untuk dapat mengenali benda asing dan

tubuh kita sendiri, sel-sel yang berperan dalam sistem imun memiliki

reseptor khusus yang disebut Toll-Like Receptor (TLR), yang bekerja

dengan mengenali dan mengikat penanda-penanda di bakteri. Aktivitas

dari TLR ini akan memicu fagositosis dari sel fagositik, serta

mengeluarkan bahan-bahan kimia, sebagian besar berperan dalam

peradangan dan penghubung sistem imun bawaan dan sistem imun

adaptif. Sistem imun bawaan ini mencakup:

1. Peradangan, suatu respon nonspesifik terhadap cedera jaringan dimana

sel-sel fagositik (neutrofil dan makrofag) berperan besar, bersama

dengan asupan suportif dari tipe sel imun lain.

2. Interferon, sekelompok protein yang mempertahankan sel dari infeksi

virus secara nonspesifik.

3. NK cells, suatu kelompok khusus sel mirip limfosit yang secara spontan

dan nonspesifik melisiskan dan menghancurkan sel pejamu yang

terinfeksi virus dan sel kanker.

4. Sistem komplemen, sekelompok protein plasma inaktif yang jika

diaktifkan secara berurutan, akan merusak sel-sel asing dengan

menyerang membran plasmanya.

11

Page 12: DK1-Laporan Pemicu 1

A.1. Peradangan (Inflamasi)

Inflamasi merujuk kepada serangkaian proses bawaan

nonspesifik yang saling berkaitan yang diaktifkan sebagai respon

terhadap invasi benda asing, kerusakan jaringan, atau keduanya.

Tujuan akhir dari inflamasi adalah membawa fagosit dan protein

plasma ke tempat invasi atau kerusakan untuk (1) mengisolasi,

menghancurkan, atau menginaktifkan penyerangan; (2) membersihkan

debris; dan (3) mempersiapkan proses penyembuhan dan perbaikan.

Berikut proses yang biasanya terjadi selama inflamasi, yaitu:

1. Pertahanan oleh makrofag jaringan residen

2. Vasodilatasi lokal

3. Meningkatnya permeabilitas kapiler

4. Edema lokal

5. Pembentengan daerah yang meradang

6. Emigrasi leukosit

7. Proliferasi leukosit

8. Menandai bakteri dengan opsonin untuk dihancurkan

9. Destruksi bakteri oleh leukosit

10. Bahan kimia yang dikeluarkan sel fagositik memerantai respons

inflamasi

11. Perbaikan jaringan.

A.2. Interferon

Ketika sebuah virus menginfeksi sel ditubuh kita, maka sel

yang telah terinfeksi tersebut akan mengeluarkan interferon sebagai

respon adanya asam nukleat virus tersebut. Interferon akan masuk ke

CES dan sampai sel disekitarnya bahkan sel-sel yang jauh melalui

aliran darah. Sel-sel yang telah menerima sinyal interferon akan

memproduksi enzim penghambat virus yang dapat mengurai mRNA

12

Page 13: DK1-Laporan Pemicu 1

virus oleh sel pejamu potensial. Oleh karena itu, interferon tidak

memiliki efek antivirus langsung. Enzim-enzim inhibitorik yang

terbentuk bersifat jangka pendek dan hanya aktif apabila invasi virus

menyerang sel tersebut. Manfaat dari enzim ini adalah sebagai strategi

pertahanan umum dan cepat terhadap invasi virus sampai mekanisme

respon spesifik tetapi muncul lebih lambat beraksi. Selain itu,

interferon juga memiliki aktivitas memperkuat aktivitas sistem imun

lainnya, yaitu maningkatkan aktivitas fagositik makrofag, merangsang

pembentukan antibodi, dan meningkatkan kemampuan sel-sel

pemusnah.

Interferon memiliki efek antikanker selain antivirus. Bahan ini

sangat meningkatkan efek sel-sel pemusnah, sel NK dan sel T

sitotoksik yang menyerang dan menghancurkan sel yang terinfeksi

virus dan sel kanker, serta memperlambat pembelahan sel dan

menekan pertumbuhan tumor.

A.3. Natural Killer cells (Sel NK)

Sel NK merupakan sel alami mirip limfosit yang secara

nonspesifik menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker

dengan melisiskan secara langsung membrane sel tersebut saat

pertama kali bertemu.

A.4. Sistem Komplemen

Sistem komplemen adalah mekanisme pertahanan lain yang

beraksi secara nonspesifik sebagai respon terhadap invasi organism.

Sistem ini dapat diaktifkan melalui dua cara, yaitu:

1. Oleh pajanan ke rantai karbohidrat tertentu dari bakteri (lectin

pathways).

2. Oleh pajanan ke antibodi yang dihasilkan terhadap

mikroorganisme penginvasi spesifik.

13

Page 14: DK1-Laporan Pemicu 1

Komplemen akan membentuk membrane attack comples

(MAC) yang melubangi sel patogen. Komplemen merupakan protein-

protein plasma inaktif yang diproduksi oleh organ hati. Apabila

komponen pertama C1, diaktifkan, maka komponen ini akan

mengaktifkan komponen berikutnya, C2, demikian seterusnya dalam

suatu rangkaian reaksi pengaktifan berjenjang. Lima komponen

terakhir, C5 sampai C6 lah yang akan membentuk MAC. Adanya

MAC mengakibatkan membrane sangat permeable (bocor); fluks

osmotic air yang terjadi ke dalam sel patogen menyebabkan sel

membengkak dan pecah. Aktivitas dari komplemen ini juga berguna

untuk memperkuat inflamasi melalui beberapa hal berikut ini:

1. Berfungsi sebagai kemotaksin

2. Bekerja sebagai opsonin

3. Meningkatkan vasodilatasi dan permeabilitas vascular

4. Merangsang pelepasan histamin

5. Mengaktifkan kini

B. Sistem Imun Adaptif

Respon sistem imun adaptif diperankan oleh limfosit B dan

limfosit T. Setiap sel B dan T dapat mengenal dan mempertahankan diri

terhadap hanya satu tipe benda asing, misalnya suatu jenis bakteri.

Terdapat dua kelas dalam respon imun adaptif, yaitu imunitas yang

diperantarai oleh antibodi atau imunitas humoral dan imunitas yang

diperantarai oleh sel atau imunitas seluler.

b. Patologis

Sistem imun memiliki kemampuan untuk mengenali self dan

nonself pada tubuh kita. Artinya respon imun diusahakan hanya

berespon terdahap invasi patogen dan melindungi tubuh kita. Hal ini

14

Page 15: DK1-Laporan Pemicu 1

diperankan oleh reseptor-reseptor pada permukaan sel-sel yang ikut serta

dalam sistem imun tersebut. Pada sistem imun nonspesifik, membran

selnya memiliki Toll-Liked Receptor (TLR) yang berguna untuk

mengenali molekul-molekul patogen. Sedangkan pada sistem imun

adaptif memiliki kemampuan toleransi. Protein AIRE dan Protein B7

pada sel T yang mencegah responnya terhadap tubuh normal kita dan

menyebabkan apoptosis sel. Selain hal tersebut sel T juga akan

memproduksi sel T regulatorik yang mengontrol respon dari sel T dan

menjadikannya anergi, supresi, maupun apoptosis. Pada sel B memiliki

reseptor yang berguna untuk mengenali reseptor antigen dan reseptor

diri. Sel B tidak akan diaktifkan apabila pada sel normal yang hanya

memiliki reseptor diri, menyebabkan sel B menjadi anergi, delesi,

maupun apoptosis.2

Respon imun patologik terjadi apabila kesemua mekanisme di

atas mengalami gangguan. Gangguan tersebut dapat berupa hal-hal

berikut ini:7

1. Reaksi hipersensitivitas, akibat hiperaktivasi dari sistem imun.

2. Imunodefisiensi, terjadi akibat sistem imun spesifik tidak diproduksi

atau mengalami mutasi. Gangguan ini dibagi menjadi dua, yaitu

primer dan sekunder. Gangguan primer berupa gangguan congenital

yang bermanifestasi pada usia lebih dewasa, sedangkan sekunder

diakibatkan oleh adanya infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosupresi,

autoimun, dan kemoterapi.

3. Otoimun, terjadi apabila sistem imun gagal mengenali diri sendiri.

Sel-sel normal host akan dianggap benda asing oleh sistem imun.

Hal ini diakibatkan karena gagalnya mekanisme toleransi sistem

imun terhadap tubuh kita.

15

Page 16: DK1-Laporan Pemicu 1

2.4. Faktor apa sajakah yang dapat memicu reaksi dari sistem imun?

Banyak faktor yang dapat memicu reaksi dari sistem imun, diantaranya:

a. Iritan

b. Allergen

c. Infeksi

d. Lingkungan

e. Berbagai patogen seperti bakteri, virus, jamur atau parasit mengandung

berbagai bahan yang disebut sebagai imunogen atau antigen yang dapat

menginduksi sejumlah respon imun.1

2.5. Jelaskan mengenai reaksi hipersensitivitas1

a. Definisi

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas

terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.

16

Page 17: DK1-Laporan Pemicu 1

b. Klasifikasi1

Gambar 2.1. Klasifikasi Hipersensitivitas

17

Page 18: DK1-Laporan Pemicu 1

c. Patofisiologi1

1. Hipersensitivitas tipe 1

Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang

terjadi secara cepat (secarakhusus hanya dalam bilangan menit) stelah

terjadi interaksi antaraalergen dengan antibodyIgE yang sebelumnya

berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu

yangtersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas

tipe 1 dapat terjadi sebagaireaksi local yang benar-benar mengganggu

(misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat

berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).Urutan

kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut: 

1) Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

samapi diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast

dan basofil

2) Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan

antigen yang spesifik dan sel mastmelepas isinya yang berisikan

granul yang menimbulkan reaksi.

3) Fase efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator-mediatoryang dilepas sel mast dengan aktivitas

farmakologik Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua

tahap yang dapat ditentukan secara jelas.

Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang

dapat ditentukan secara jelas; 1) Respon awal, diatandai dengan

vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme ototpolos, yang biasanya

muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajanoleh

allergen dan menghilang setelah 60 menit. 2) Reaksi fase lambat, yang

muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selamabeberapa hari.

Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta selradang

18

Page 19: DK1-Laporan Pemicu 1

akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga

ditandaidengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel

epitel mukosa.

1) Mediator Primer

Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula

sel mast dilepaskanuntuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas

tipe 1. Histamin, yang merupakan mediator praformasi terpenting,

menyebabkan meningkatnya permeabilitas vascular,vasodilatasi,

bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang

segeradilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi

dan menghambat agregasitrombosit) serta factor kemotaksis untuk

neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukandalam matriks granula

dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya triptase).

Proteasemenghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk

menghasilkan factorkemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya,

C3a).

2) Mediator Sekunder

Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa: mediator lipid dan

sitokin. Mediator lipiddihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang

memecah fosolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam

arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan senyawa induk

untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.

a) Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam

arakhidonatdan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe

1. Leukotrien tipe C4 dan D4merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal

paling poten; pada dasarmolar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif

daripada histamin dalammeningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam

menyebabkankontraksi otot polosbronkus. Leukotrien B4sangat

kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit. 

19

Page 20: DK1-Laporan Pemicu 1

b) Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh

jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan

bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.

c) Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,

mengakibatkanagregasi trombosit, pelepasan histamin, dan

bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan

eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasifosfolipase A2,

mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat.

d) Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6)

dan kemokinberperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1

melalui kemampuannya merekrutdan mengaktivasi berbagai macam sel

radang. TNF merupakan mediator yang sangatpoten dalam adhesi,

emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktorpertumbuhan

sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B1.

2. Hipersensitivitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan

untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan

lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi

yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

1) Respon yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua

mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang

diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen

permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel

yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan

membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen

komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel

darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui

20

Page 21: DK1-Laporan Pemicu 1

mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang

tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas.

Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada

keadaan sebagai berikut.

Gambar 2.2

a) Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak

suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan

untuk melawan antigen darah donor.

b) Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus;

antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif

yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan

kerusakan sel darah merahnya sendiri.

21

Page 22: DK1-Laporan Pemicu 1

Gambar 2.3

c) Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia

yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang

individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya

sendiri.

d) Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau

metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan

sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah

pemberian penisilin).

e) Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein

desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.

2) Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi

Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan

melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG;

sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis

ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai

macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK.

Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm

kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh

eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.

3) Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

22

Page 23: DK1-Laporan Pemicu 1

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor

permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan

jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis,

antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot

rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.

Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit

Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH)

merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.

3. Hipersensitivitas tipe III

Gambar 2.4

Hipersensivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks

antigen-antibodi ( imun),diikuti dengan aktivasi komplemen dan

akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun dapat

melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus atau antigen

endogen seperti DNA. Penting untuk diperhatikan bahwa

pembentukan kompleks imun semata t idak sama dengan

hipersensivitas t ipe III , kompleks antigen-antibodi

23

Page 24: DK1-Laporan Pemicu 1

terbentuk selama berlangsungnya berbagai respon imun dan

menunjukan mekanisme pembersihan antigen yang normal.

Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan

kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di

daerah ekstravaskuler tempat antigen tersebut tertanam (kompleks

imun in situ) Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat

sistemik j ika kompleks imun tersebut terbentuk dalam sirkulasi

mengendap dalam berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu

(misalnya ginjal ,sendi,atau kuli t ) j ika komplek imun tersebut

terbentuk dan mengendap pada tempat khusus.

1) Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah

Infeksi dapat berasal dari berbagai antigen dalam jumlah berlebihan

tetapi tanpa adanya respon antibodi yang efektif. Makrofag yang

diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun

sehingga makrofag diransang terus menerus untuk melepas berbagai

bahan yang dapat merusak jaringan.

Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan IgM atau

IgG3 diendapkan dimembran basal vaskular dan membran basal ginjal

yang menimbulkan reaksi lokal dan kronik

2) Kompleks imun mengendap dijaringan

Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan

adalah ukuran ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas

vascular yang meningkat, antara lain karena histamine yang

dikeluarkan oleh sel mast.

3) Bentuk reaksi

Reaksi tipe III memiliki dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik

a) Reaksi lokal atau fenomena arthus

Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan

yang disebabkan oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini

24

Page 25: DK1-Laporan Pemicu 1

dihasilkan secara eksperimental dengan menginjeksikan suatu

antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah

diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhjadap antigen yang telah

ada di dalam sirkulasi).

Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibodi, kompleks imun

terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding

pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan

memicu reaksi radang yang sama serta gambaran histologis seperti

pada penyakit kompleks imun sistemik. Lesi Arthus

berkembangselama beberapa jam dan mencapai puncaknya 4

hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada

tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadangdiikuti

ulserasi.

b) Reaksi tipe III sistemik – serum sickness

Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi

menjadi 3 tahap yaitu pembentukan komplek antigen-antibodi

dalam sirkulasi, pengendapan komplek imun di berbagai jaringan

dan mengawali reaksi radang diberbagai tempat diseluruh

tubuh.Serum sickness akut adalah bentuk dasar suatu penyakit

kompleks imun spesifik. Penyakit ini pertama kali digambarkan

terjadi pada manusia saat serum asing diberikan untuk imunisasi

pasif dalam jumlah besar (misalnya: serum antitetanus kuda), pada

saat ini, hal tersebut jarang terjadi (misalnya,penderita yang

diinjeksi dengan globulin anti timosit kuda untuk pengobatan

anemia anaplastik), kira-kira lima hari setelah protein asing

diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan, antibodi akan

bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk

membentuk komplek antigen-antibodi.

25

Page 26: DK1-Laporan Pemicu 1

Pada tahap kedua kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam

sirkulasi mengendap di berbagai jaringan. Untuk komplek yaang

meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau

diluar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan

permeabilitas pembuluh darah.

Pada tahap ketiga yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira

10 hari setelah pemberian antigen), muncul ganbaran klinis seperti

demam ,urtikaria ,artralgia ,pembesaran kelenjar getah bening dan

proteinuria .Dimana pun komplek imun mengendap,kerusakan

jaringannya serupa. Aktivasikomplemen oleh komplek imun

merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif

secara biologis seperti anafilaktoksin (C3a dan C5a), yang

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksik

untuk leokosit polimorfonuklear.Fagositosis komplek imun oleh

neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atauproduksi

sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk

prostaglandin,peptidavasodilator, dan substansi kemotaksis, serta

enzim lisosom yang mampu mencernamembran basalis, kolagen,

elastin, dan kartilago.

Kerusakan jaringan juga diperantaraioleh radikal bebas oksigen yang

dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imundapat pula

menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;

keduareaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali

pembentukan mikrotrombusyang berperan pada jejas jaringan melalui

iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkandisebut dengan vaskulitis jika

terjadi dalam pembuluh darah,  glomerulonefritis jika terjadi di

glomerulus ginjal,arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.

26

Page 27: DK1-Laporan Pemicu 1

Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM)

yang dapatmenginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula

mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang

mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan.Peran penting

komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh

adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara

eksperimental akansangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang

terjadi pada neutrofil.

4. Hipersensitivitas tipe IV

Sebagian alergen mencetuskan hipersensitivitas tipe lambat, suatu

respons imun yang diperantarai oleh sel T dan bukan oleh respons

antibodi IgE-sel B tipe cepat. Alergen-alergen tersebut antara lain adalah

toksin poison ivy dan zat kimia tertentu yang sering mengenai kulit,

misalnya kosmetik dan bahan pembersih rumah tangga. Biasanya respons

ditandai oleh erupsi kulit yang mencapai puncaknya satu sampai tiga hari

setelah kontak dengan alergen terhadap sistem T yang sudah tersensitisasi.

Sebagai ilustrasi, poison iy adalah suatu hapten yang dapat berikatan

dengan protein kulit yang berkontak dengannya. Toksin itu sendiri tidak

merugikan kulit sewaktu berkontak, tetapi mengaktifkan sel T spesifik

untuk toksin, termasuk pembentukan komponen pengingat. Pada pajanan

berikutnya ke toksin yang sama, sel-sel T yang sudah diaktifkan akan

berdifusi ke kulit dalam satu atau dua hari, berikatan dengan poison ivy

yang ada. Interaksi yang terjadi menyebabkan kerusakan jaringan dan rasa

tidak nyaman yang khas untuk penyakit ini. Pengobatan terbaik adalah

dengan memberikan sediaan anti-inflamasi, misalnya yang mengandung

turunan kortisol.

27

Page 28: DK1-Laporan Pemicu 1

Gambar 2.5

d. ManifestasiKlinis

Gambar 2.6. Reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV menurut Gell dan

Combs

28

Page 29: DK1-Laporan Pemicu 1

e. Diagnosis1

Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami

dan kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala

alergi yang tampak, dan apabila masih terdapat keraguan harus dilakukan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan

secara in vivo ataupun in vitro.

a. Pemeriksaan in vitro

1) Hitung eosinofil total

Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang

diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia

apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL.

Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan

persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan

hitung leukosit total.Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada

penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi

imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan

pada migrasi larva. Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan

korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis

kronis.Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan

pemberian kortikosteroid secara sistemik.

2) Hitung eosinofil dalam secret

Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan

indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan

dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain.

Meskipun demikian tidak dapat menentukan alergen penyebab yang

spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila ditemukan eosinofil lebih

dari 4% dalam apusan sekret hidung, sedangkan pada remaja dan

29

Page 30: DK1-Laporan Pemicu 1

dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung juga dapat

memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung topikal.

Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus dan

konjungtiva.

3) Kadar serum IgE total

Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi

sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit

alergi. Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan

pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis

alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih

tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih

kadar IgE pada populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai

diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total didapatkan normal pada

50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi

(infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).

4) Kadar IgE spesifik

Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat

dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan

metode RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked

Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode RAST

dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi

oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik

dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas RAST lebih

rendah.

b. Pemeriksaan in vivo

1) Uji kulit

Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan

reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi.

Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan

30

Page 31: DK1-Laporan Pemicu 1

alergen akan menimbulkan hubungan silang antara alergen dengan sel

mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast

dan melepaskan berbagai preformed dan newly generated mediator.

Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal,

gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi

kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20

menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan

edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar

kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24 jam (fase lambat).

Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji

tusuk (skin prick test/SPT), dan uji gores (scratch test).Uji kulit

intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke dalam

lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm.

Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu

ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga

berindurasi 5-15 mm. Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif

dibanding skin prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan untuk

alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.Uji

gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang akurat.

Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen

hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik

adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari

lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam

gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit

ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk.

Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin,

efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi

reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit

paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas

31

Page 32: DK1-Laporan Pemicu 1

SPT terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding alergen hirup.

Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih

rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang

lebih baik dengan gejala yang timbul.

2) Uji provokasi

Uji ini dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan alergen

dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna,

paru),maka dapat dilakukan uji provokasi.

a) Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan konsentrasi yang

makin tinggi dihirup melalui nebulizer untuk melihat obstruksi

jalan napas. Atkins1 dalam penelitian menunjukkan bahwa uji

provokasi bronkial berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji

alergi in vitro.

b) Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan

yang dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap

makanan tersebut. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka,

single-blind, double-blind, atau double-blind placebo-

controlled.Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap

makanan meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat

dilakukan setelah melakukan diet eliminasi selama tiga minggu.

Pada uji provokasi susu sapi dilakukan dengan memberikan susu

sapi mulai dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15 menit, dan bila

telah mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka pasien

dapat mengkonsumsi susu sapi.

c) Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen provocation

/COLAP), dilakukan melalui kolonoskopi dengan menyuntikkan

ekstrak alergen ke dalam mukosa sekum. Hasil positif berupa

pembentukan wheal dan kemerahan pada mukosa. Derajat alergi

ditentukan secara semikuantitatif, yaitu 0=tidak ada reaksi,

32

Page 33: DK1-Laporan Pemicu 1

1=meragukan, 2=reaksi sedang (diameter <1 cm), 3=reaksi berat

(1-2 cm), dan 4=reaksi maksimal (>2 cm).10 Hasil COLAP sesuai

dengan riwayat alergi, namun tidak sesuai dengan hasil SPT dan

RAST. Kejadian kemungkinan karena IgE spesifik mukosa usus

tidak beredar secara sistemik, atau reaksi hipersensitivitas pada

usus bukan (bukan hanya) merupakan mekanisme yang IgE-

tergantung.

d) Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada kasus

dermatitis kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit

dan hasil positif berupa reaksi eksatema dalam 48-72 jam.Selain

pada dermatitis kontak, uji tempel juga dilakukan untuk

mendiagnosis alergi makanan pada anak dengan dermatitis atopi

dan esofagitis eosinofilik. Dijumpai 67% anak dengan uji

provokasi susu sapi yang positif menunjukkan hasil SPT (reaksi

alergi tipe cepat) yang positif, sedangkan uji tempel menunjukkan

hasil yang negatif. Sebaliknya, uji tempel positif pada 89% anak

dengan reaksi alergi tipe lambat (25-44 jam). Dikatakan bahwa

kombinasi uji tusuk dan uji tempel memiliki nilai prediksi positif

tertinggi dan dapat menggantikan uji provokasi makanan.

e) Immuno CAP Phadiatop Infant (PI), berguna untuk mendeteksi

IgE pada bayi hingga usia 2 tahun. Apabila dibandingkan dengan

skin prick test (SPT) dan RAST pada bayi dengan hasil SPT dan

RAST seluruhnya positif atau negatif, maka PI memiliki

sensitivitas 96%, spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 89%, dan

nilai prediktif negatif 99% namun pada bayi dengan hasil SPT atau

RAST positif, PI menunjukkan sensitivitas 82%, spesifisitas 98%,

nilai prediktif positif 94%, dan nilai prediktif negatif 95%.

Terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara eksim dan

hasil PI yang positif, namun korelasi dengan gejala asma dan

33

Page 34: DK1-Laporan Pemicu 1

rinokonjungtivitis tidak meyakinkan karena di atas usia dua tahun

telah terdapat peran infeksi virus. Dengan demikian PI dapat

digunakan sebagai pemeriksaan alergi pada bayi karena dapat

menggantikan SPT dan tidak memerlukan seleksi antigen spesifik

baik pada SPT maupun RAST.

f) Microarrayed Allergen Molecules, dapat diketahui molekul

alergen penyebab sehingga dapat memberi informasi tentang profit

reaktivitas alergi dan dapat mengidentifikasi dengan tepat molekul

yang digunakan dalam imunoterapi.Beberapa dekade yang lampau

terdapat berbagai metode pemeriksaan alergi yang saat ini telah

ditinggalkan karena tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit

alergi, antara lain uji alergi sitotoksik (cytotoxic allergy testing),

uji provokasi, dan netralisasi (provocative and neutralization

testing) secara subkutan ataupun sublingual, imunoterapi dengan

titrasi kulit (skin titration method of inzinunotlwrapy), urine

autoinjection (autogenous urine immunization), dan pemeriksaan

kadar IgG serum terhadap makanan tertentu.

Selain berbagai pemeriksaan uji provokasi, akhir-akhir ini banyak

pula digunakan metode baru yang sebenarnya masih menjadi

perdebatan yaitu,

a) Uji elektrodermal (electrodermal testing), merupakan salah satu uji

alergi yang banyak digunakan dalam complementary and

alternative medicine (CAM) sebagai terapi homeopati. Dasar kerja

adalah perubahan kecil gelombang listrik pada kulit terjadi pada

titik akupunktur sebagai respons terhadap suatu bahan yang

diletakkan dalam sirkuit listrik. Dewasa ini penggunaan uji

elektrodermal semakin meningkat untuk menentukan status alergi

makanan dan alergi hirup, kemungkinan karena faktor

keamanannya, tidak invasif, dan sederhana. Namun suatu

34

Page 35: DK1-Laporan Pemicu 1

penelitian buta ganda dengan kontrol dan lebih dari 1500 subjek

penelitian menunjukkan bahwa metode uji elektrodermal tidak

dapat membedakan antara individu dengan atopi dan non-atopi.

b) Terapi Bioresonans (bioresonance therapy), didasarkan pada teori

fenomena alergi dapat dijelaskan dengan konsep biofisika. Alergi

engram diperlukan untuk proses mekanisme alergi dalam tubuh

berlangsung. Alergi engram merupakan cetakan biofisika sebagai

dasar predisposisi herediter melalui kontak berulang dengan suatu

bahan yang mengiritasi tubuh. Bahan tersebut akan menjadi

alergen bagi seorang individu bila telah tercetak sebagai alergi

engram dan akan menjadi aktif hanya bila terjadi kontak dengan

suatu alergen. Diagnosis alergi dengan metode biofisika dilakukan

dengan meletakkan tuas tensor secara horisontal antara dada pasien

dan ekstrak alergen yang akan diperiksa. Bila tensor berayun

dengan arah vertikal, (atas-bawah) menandakan pasien alergi

terhadap alergen tersebut. Sebelum terapi dimulai, dilakukan

proses detoksifikasi dengan cara menggenggam dua logam

berbentuk tabung yang dihubungkan dengan kabel ke alat

BIOCOM®. Proses berlangsung selama 5-10 menit selama 2-3

hari.Langkah-langkah terapi adalah sebagai berikut, (1) Input cup

dihubungkan dengan alat BIOCOM® melalui dua kabel, (2) Pasien

menggenggam dua bola elektroda yang dihubungkan dengan

bagian output dari alat, (3) Alat BIOCOM® di-setting dengan

frekuensi tertentu sesuai jenis alergen. Terapi untuk satu jenis

alergen dilakukan satu kali selama 10 menit namun terapi dapat

diulang bila gejala alergi timbul kembali.Beberapa penelitian

dengan menggunakan kontrol menyatakan terapi bioresonans tidak

dapat mengenali, mempengaruhi, dan meniadakan allergen.

Namun meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh pada

35

Page 36: DK1-Laporan Pemicu 1

popularitas terapi bioresonans yang sangat diminati di Jerman

sekitar tahun 1995.

f. Contoh Penyakit1,3

1. Hipersensitivitas tipe I: anfilaksis sistemik dan lokal seperti

rinitis, asma urtikaria, alergi makanan, dan ekzem.

2. Hipersensitivitas tipe II: reaksi transfusi, eritroblastosis, fetalis,

anemia, hemolitik autoimun.

3. Hipersensitivias tipe III: Arthus dan serum sickness, vaskulitis

dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.

4. Hipersensitivitas tipe IV: dermatitis kontak, lesi tuberkulosis, dan

penolakan tandur.

2.6. Jelaskan mengenai rhinitis, dermatitis, dan asma dan hubungannya

dengan faktor genetic!15

Rhinitis, dermatitis dan asma merupakan penyakit yang disebabkan oleh

reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipengaruhi tingginya Ig E, pada

penelitianyang telah dilakukan membuktikan bahwa jika kedua orangtua

memiliki penyakit atopik, maka kadar ige dalam darah anak kemungkinan

lebih tinggi yang dipengaruhi faktor genetik.

2.7. Jelaskan peran sistem imun pada patofisiologi rhinitis, dermatitis, dan

asma!

Rhinitis alergi memiliki gejala yang khas berupa bersin-bersin, gatal-

gatal dan sekret bening dari hidung dan mata.4 Respon alergi ini disebabkan

oleh pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrin dan kinin.5

Pelepasan mediator-mediator ini menyebabkan peningkatan sekresi mukus,

kontraksi otot polos di bronkus, peningkatan permeabilitas kapiler dan

36

Page 37: DK1-Laporan Pemicu 1

vasodilatasi.5 Peningkatan sekret mukus ini menyebabkan kelebihan mukus

mengalir keluar melalui hidung, dan gatal-gatal yang dirasakan diakibatkan

stimulasi ujung saraf bebas di hidung oleh bradykinin.5

Pada pasien dermatitis atopi, sel memori di dalam darah

mengekspresikan cutaneous lymphocyte antigen (CLA) yang mengakibatkan

limfosit bermigrasi ke kulit.6 Inflamasi berhubungan dengan aktivasi sel-sel

Th1 dan Th2 disertai pelepasan sitokin, kemokin, interferon-gamma dan

granulocyte-macrophage colony-stimulating factor.6 Aktivasi sel mast,

eosinophil dan makrofag serta ekspresi IgE juga turut berperan dalam proses

inflamasi.6

Inflamasi yang terjadi pada kasus asma atopi dimediasi oleh rekasi

berlebihan sel Th2 terhadap antigen pencetus.7 Sitokin yang diproduksi oleh

sel Th2 berperan besar terhadap munculnya gejala-gejala asma (IL-4

menstimulasi produksi IgE; IL-5 mengaktifkan eosinofil; IL-13 menstimulasi

produksi mukus dan menstimulasi limfosit B untuk memproduksi IgE).6 IgE

akan melapisi sel mast di lapisan submukosa.7 Jika IgE ini terpapar alergen,

sel mast tersebut akan melepaskan granula-granulanya.7 Hal ini menyebabkan

terjadinya dua gelombang serangan: early phase dan late phase.7

Gejala yang timbul pada early phase antara lain adalah

bronkokonstriksi, peningkatan produksi mukus dan vasodilatasi sementara

pada late phase dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi seperti aktivasi

eosinofil, neutrofil dan limfosit T. 7 Selain itu, sel-sel epitel juga distimulasi

untuk memproduksi kemokin-kemokin yang dapat memanggil lebih banyak

sel Th2 dan eosinofil sehingga reaksi inflamasi menjadi semakin hebat. 7

2.8. Mengapa cuaca dingin dan tempat berdebu dapat memicu rhinitis

alergi?

37

Page 38: DK1-Laporan Pemicu 1

Gejala awal, udara dingin menyerang daya tahan tubuh, yang

menstimulasi produksi lendir di saluran pernapasan. Selanjutnya, udara dingin

bisa menyerang jaringan di bagian hidung. Saluran di jaringan hidung pun

melebar. Akibatnya, jaringan dalam hidung pun membengkak, yang membuat

hidung tersumbat. Hal ini dapat memicu Rhinitis Alergi. Hawa yang sangat

dingin juga dapat memicu reaksi asma. Bagi penderita asma, ada baiknya

mengenakan baju hangat sebelum terpapar udara dingin

.

2.9. Mengapa makan udang dapat memicu reaksi alergi?

Kandungan makanan antara lain terdiri dari lemak, kabohidrat, dan

protein. Kandungan yang sering bersifat alergen adalah glikoprotein yang

larut dalam air dengan berat molekul antara 18.000-36.000 Dalton.8,9,10

Umumnya, alergen ini stabil terhadap pemanasan serta tahan terhadap asam

dan enzim protease.9 Meskipun dalam jumlah sedikit, alergen dapat

menimbulkan sensitisasi dan menimbulkan gejala pada individu atopik;

beberapa mikrogram alergen inhalan sudah dapat merangsang pembentukan

IgE. Dalam konteks alergi makanan, tidak dapat diduga berapa banyak protein

yang diserap, berapa lama kontak dengan sistem imun, dan berapa cepat

alergen yang dimakan dipecah untuk dapat diserap; diperkirakan 1 mikrogram

laktoglobulin sudah dapat menimbulkan sensitisasi.10 Hanya sebagian kecil

makanan yang dilaporkan bersifat alergen yang dapat memberikan reaksi

alergi; alergen utama pada susu sapi ialah laktoglobulin, kuning dan putih

telur mempunyai alergen utama ovomukoid, alergen utama pada kacang dan

soya adalah albumin, visilin, dan legumin, sementara alergen utama pada

udang terdapat pada ototnya (yang disebut tropomiosin).10 Susu sapi terdiri

dari kurang lebih 25 macam protein yang memproduksi antibodi spesifik pada

manusia. Antigen tersering pada susu sapi adalah kasein (80%) dan whey

(20%). Whey terdiri dari laktoglobulin, laktalbumin, bovine serum albumin

(BSA) dan bovine gammaglobulin.10 Bahan penyedap dan zat warna juga

38

Page 39: DK1-Laporan Pemicu 1

dapat merupakan alergen, seperti aspartam, zat warna merah, kuning, dan

hijau, nitrit, serta monosodium glutamat.8,10

Patofisiologi Alergi Makanan

Reaksi simpang pada makanan (berakibat merugikan bagi manusia)

pada dasarnya dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu reaksi imunologik

(melalui mekanisme imun atau hipersensitivitas (alergi makanan)) dan reaksi

non-imunologik (tidak melalui mekanisme imun (intoleransi makanan).

Reaksi alergi makanan sendiri dibagi menjadi dua, dengan keterlibatan IgE

dan tanpa keterlibatan IgE.

Alergi makanan merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas

gastrointestinal umum, yakni hiperresponsivitas imunologik terhadap antigen

spesifik, yang dapat berasal dari makanan sehari-hari atau mikroorganisme

patogen maupun produknya atau terhadap antigen milik sendiri (self-antigen)

yang disajikan atau dipresentasikan tidak semestinya.11 Pada alergi makanan,

terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh, yang merangsang reaksi

imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen,

tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang

sama. Umumnya, pajanan ulang oleh substansi antigenik/alergen akan

meninggikan respons imun sekunder yang bersifat spesifik. Pada kasus

hipersensitivitas/alergi, terjadi reaksi imun berlebihan yang justru

menimbulkan kerusak an jar ingan atau gangguan fungsional di dalam tubuh.

Alergen makanan diabsorpsi dari mulut dan saluran cerna, tetapi jumlah

alergen yang diperlukan untuk dapat mencetuskan respons imun terutama

bergantung pada permeabilitas mukosa saluran cerna. Setiap kondisi yang

mengakibatkan peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna akan

memudahkan reaksi alergi yang lain untuk timbul. Target utamanya ialah pada

epitelium, yang akan menimbulkan perubahan sekresi asam lambung, transpor

ion, produksi mukus, dan fungsi sawar (barrier) fisik mukosa. Secara

struktural, kerusakan mukosa usus ditunjukkan dengan adanya edema,

39

Page 40: DK1-Laporan Pemicu 1

disrupsi enterosit, dan perubahan enzimatik. Pada pemeriksaan endoskopi,

kemungkinan ditemuk an gambaran mukosa hiperemis, edema, bercak-bercak

kemerahan, dan kadangkadang ditemukan perdarahan submukosa.

Pajanan antigen/alergen di dalam lumen usus individu yang telah

tersensitisasi akan menimbulkan degranulasi sel mast, yang selanjutnya

melepaskan mediator-mediator kimia yang kemudian akan berpengaruh

langsung pada epitelium, endotelium, dan otot polos, atau memberi pengaruh

tidak langsung melalui serabut saraf. Keadaan ini merupakan manifestasi

reaksi hipersensitivitas tipe langsung atau cepat yang diperantarai oleh

antibodi IgE. Selain sel mast, sel lainnya (seperti neutrofil dan, khususnya,

eosinofil) ikut berperan dalam memodulasi reaksi hipersensitivitas, baik

secara langsung maupun tidak langsung (berinteraksi dengan sel mast).

Berdasarkan konsep penyakit alergi terbaru yang menyatakan bahwa

penyakit alergi adalah penyakit sistemik dengan menifestasi klinis pada organ

sasaran, tidak tertutup kemungk inan penyak it ini mempunyai manifestasi

klinis pada organ hidung, telinga, dan tenggorok. Gangguan akibat reaksi

hipersensitivitas terhadap makanan pada saluran napas bagian atas dapat

terjadi melalui 3 cara, yakni (1) alergen yang diserap di usus, atau mediator

kimia yang mencetuskan respons hipersensitivitas di usus, dibawa aliran darah

hingga mencapai saluran napas atas, (2) alergen terhirup ke dalam saluran

napas sewaktu makan dan minum, (3) kontak faring dengan alergen ketika

menelan. Keadaan ini membuat diagnosis reaksi alergi makanan pada saluran

napas atas sulit ditegakkan; di samping itu, terdapat reaksi silang antara

beberapa alergen makanan dengan alergen inhalan, yang juga mempersulit

penegakan diagnosis alergi makanan pada saluran napas atas.11,12,13 Reaksi

silang antara makanan dan alergen inhalan yang tersering adalah antara

tepung sari (alergen inhalan) dan molekul makanan yang homolog (seperti

profilin). Tingginya kasus alergi makanan pada bayi dan anak karena pada

40

Page 41: DK1-Laporan Pemicu 1

bayi baru lahir dan anak, terdapat peningkatan permeabilitas mukosa saluran

cerna.9

2.10. Mengapa udara malam hari dan kelelahan dapat memicu asma?

Udara pada malam hari memiliki suhu yang rendah (dingin) yang

dapat memicu Ig E yang berlebihan sehingga terjadi asma alergika yang

ditandai dengan peningkatan Ig E yang merupakan bagian dari sistem

imunitas. Kelelahan juga bisa menurunkan daya tahan tubuh sehingga dengan

ditambah udara malam hari bisa menyebabkan asma alergikanya kambuh.14

2.11. Bagaimana penatalaksanaan kasus?

Gambar 2.7 menunjukkan algoritma tatalaksana rhinitis alergi.16 Hal

terpenting yang harus dilakukan pada penatalakasanaan pasien rhinitis alergi

seperti Iwan adalah menjauhkan pasien dari alergen pencetus. Berdasarkan

data yang didapat dari pemicu, dapat ditarik dugaan bahwa alergen pencetus

rhinitis Iwan adalah tungau debu rumah. Okubo et al. memaparkan beberapa

cara untuk meminimalisir kontak pasien dengan tungau debu rumah sebagai

berikut:17

1. Hindari penggunaan karpet ataupun sofa berbahan kain.

2. Lapisi bantal, matras dan kasur dengan kain anti-tungau

3. Jaga kelembapan ruangan pada 50% dan suhu ruangan pada 20-25oC.

Untuk terapi simtomatik dapat digunakan kortikosteroid intranasal sebagai lini

pertama.16 Scandale & Sur menyatakan bahwa tidak ada studi komparatif yang

menyatakan superioritas satu kortikosteroid intranasal dengan obat serupa

lainnya, namun perlu diperhatikan bahwa beberapa kortikosteroid intranasal

memiliki indikasi yang berbeda tergantung umur pasien. Untuk itu, Iwan

sebaiknya tidak memakai fluticasone propionate (Flonase) ataupun

triamsinolon (Nasacort) karena kedua obat itu diindikasikan untuk anak

berusia 12 tahun ke atas.16

41

Page 42: DK1-Laporan Pemicu 1

Gambar 2.7. Algoritma penatalaksanaan rhinitis alergi.15

42

Page 43: DK1-Laporan Pemicu 1

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hipotesis Diterima

“Reaksi alergi dan asma yang terjadi pada Iwan, Asih, dan Ny. Tati

merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, sedangkan Ayah dan Kakak tidak

mengalami keluhan yang sama karena memiliki sistem imun yang adekuat. “

43

Page 44: DK1-Laporan Pemicu 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Karnen GB, Iris R. Imunologi dasar: Antigen dan antibodi. Edisi 10. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI, 2012

2. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:

EGC. 2012.

3. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia:

Saunders, 2004.

4. Porth CM & Matfin G. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States.

8th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2009: p. 413.

5. Tortora GJ & Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology. 14 th

edition. John Wiley & Sons, Inc.; 2014: p. 800, 550, 834.

6. McCance KL, Huether SE, Brashers VL & Rote NS. Pathophysiology: The

Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 7th edition. Elsevier; 2014:

p. 1654.

7. Kumar V, Abbas AK & Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9 th edition.

Saunders; 2012.

8. Ring J, Brockow K, Behrend H. Adverse reactions to foods. J Chromatogr B.

2001; 756:3-10.

9. Sampson HA. Food allergy. J Allerg Clin Immunol. 2003; 111(2):540-7.

10. Sjawitri PS. Alergi makanan pada bayi dan anak. Proc. Symposium on

Allergy Clinical Immunology Update. Bekasi, 20-21 Desember 2001; hlm.

165-73.

11. Martinez GA, Castilo PD, Garcia FG, Luna PC, Garcia SJA, Nogales EC.

Prevalence of food allergy/intolerance in children: result from a population

survey. J Allerg Clin Immunol. 2000; 105(1):S130.

12. Mygind N, Dahln R, Pedersen S, Thestrup PK. Essential allergy. 2nd ed.

Oxford: Blackwell Science Ltd, 199; p.131-49.

44

Page 45: DK1-Laporan Pemicu 1

13. Robert GC, Golder NDB, Lack G. Food as aeroallergen in childhood asthma.

J Allergy Clin Imunol. 1999; 103(1):S99.

14. Djojodibroto, D., 2009,Respirologi, EGC, Jakarta

15. Visness CM, London SJ, Daniels JL, Kaufan JS, Yeatts DC, Riz AMS, dkk.

Association of obesity with ige levels and allergy symptoms in children and

adolescent: result from the national health and nutrition examination survey

2005–2006. J Allergy Clin Immunol. 2009;123:1163–9.

16. Sur DK & Scandale S. “Treatment of Allergic Rhinitis”. Am Fam Physician.

2010; 81 (12): p. 1440-6.

17. Okubo K, Kurono Y, Fujieda S, Ogino S, Uchio E, Odajima H et al.

“Japanese Guideline for Allergic Rhinitis”. Allergoloy International vol. 60

no. 2; 2011: p. 171-89.

45