dk1-laporan pemicu 1
DESCRIPTION
mengenai reaksi hipersensitivitas tipe 1, dengan gejala rinitis alergi, dermatitis atopi, dan asma pada 1 keluargaTRANSCRIPT
LAPORAN HASIL DISKUSI
MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI
PEMICU 1
KELOMPOK DISKUSI 1
1. Bakri Bayquni Nasution I11110010
2. Ullis Mawardhani I11111046
3. Wenny rupina I11111067
4. Gusti Angri Angalan I11112004
5. Cindy Lidia I11111006
6. Jovi Pardomuan S I11110008
7. Gita Amalia Asikin I11112032
8. Khairun Nisa I11112033
9. Friedrich Kurniawan M I11112051
10.Aprindo Donatus I11112055
11.Putri Umagia Drilna I11112067
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Iwan, 6 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan sering bersin-bersin dengan ingus
encer bening tahun yang lalu. Keluhan ini sering disertai mata berair dan gatal. Ia
juga sering menggosok-gosokkan hidungnya yang gatal. Keluhan ini timbul terutama
pada pagi hari atau bila Iwan bermain di tempat yang berdebu. Ibu Iwan, Ny. Tati
sering mengalami serangan sesak nafas, terutama pada malam hari atau bila terlalu
capek. Keluhan sesak napas yang dialami Ny. Tati ini biasanya menghilang sesudah
menggunakan obat hirup. Adik Iwan, Asih, berusia 3 tahun, sering mengalami gatal-
gatal di kulit, bila makan udang. Ayah dan kakaknya tidak mempunyai keluhan yang
sama.
1.2 Klarifikasi dan Definisi Masalah
a. Obat hirup : Obat yang diberikan secara inhalasi
1.3 Kata Kunci
a. Sering bersin
b. Ingus encer
c. Mata dan hidung gatal
d. Mata berair
e. Sesak napas
f. Obat hirup
g. Gatal-gatal di kulit saat makan udang
1.4 Rumusan Masalah
Iwan 6 tahun mengalami reaksi alergi berupa rhinitis akibat debu atau udara
dingin dengan riwayat keluarga adiknyaAsih 3 tahun mengalami reaksi alergi
berupa dermatitis akibat makan udang dan Ny. Tati mengalami asma di
malam hari atau saat capek.
2
keluarga
Ny. Tati Iwan 6 th Ayah dan Kakak
Sesak napas terutama malam hari atau saat capek. Hilang setelah memakai obat hirup
Bersin-bersin denan ingus encer bening sejak 1 tahun lalu. Mata berarir dan gatal. Hidung gatal. Timbul gejala terutama di pagi hari atau tempat berdebu
Gatal-gatal di kulit jika makan udang
Tidak ada keluhan
Imunitas
AnatomiHistologiFisiologi
Innate
Determinan:Genetik
Reaksi Hipersensitivitas
Tipe 1
Penatalaksanaan
Imun Adekuat
Asma
Sistem limfatik
Acquired
Patologis
Rhinitis Alergi Dermatitis Atopi
1.5 Analisis Masalah
1.6 Hipotesis
Reaksi alergi dan asma yang terjadi pada Iwan, Asih, dan Ny. Tati merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe I, sedangkan Ayah dan Kakak tidak mengalami
keluhan yang sama karena memiliki sistem imun yang adekuat.
3
Asih 3 th
Respons Imun
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan mengenai imunitas!
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Determinan yang mempengaruhi
d. Sistem limfatik dan organ limfoid
2. Jelaskan mengenai respon imun!
a. Adekuat
b. Patologis
3. Faktor apa sajakah yan dapat memicu reaksi dari sistem imun?
4. Jelaskan mengenai reaksi hipersensitivitas
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Manifestasi Klinis
d. Diagnosis
e. Contoh Penyakit
5. Jelaskan efek imunitas yang tidak diinginkan selain hipersensitivitas!
6. Jelaskan mengenai rhinitis, dermatitis, dan asma dan hubungannya dengan
faktor genetic!
7. Jelaskan peran sistem imun pada patofisiologi rhinitis, dermatitis, dan asma!
8. Mengapa cuaca dingin dan tempat berdebu dapat memicu rhinitis alergi?
9. Mengapa makan udang dapat memicu reaksi alergi?
10. Mengapa udara malam hari dan kelelahan dapat memicu asma?
11. Bagaimana penatalaksanaan kasus?
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Jelaskan mengenai imunitas!
a. Definisi
Imunitas adalah mekanisme perlindungan yang bertindak untuk
mempertahankan integritas tubuh terhadap substansi agen asing.1
b. Klasifikasi1
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu sistem imun spesifik dan non
spesifik. Masing-masing klasifikasi tersebut dibagi lagi menjadi:
1. Sistem imun non spesifik
Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan
dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena
sistem imun spesifik memerlukan waktu sebelum dapat memberikan
responnya. Sistem tersebut disebut non-spesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
Komponen-komponen sistem imun non-spesifik terdiri atas:
a. Pertahanan fisis dan mekanis
Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk, dan bersin dapat
mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh. Kulit
yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang
rusak oleh asap rokok akan meningkatakan risiko infeksi.
b. Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus
kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen merupakan
5
bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam hidroklorik
dalam cairan lambung , lisosim dalam keringat, ludah, air mata,
dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman gram
positif dengan jalan menghancurkan dinding kuman tersebut. Air
susu ibu mengandung pula laktoferitin dan asam neurominik
yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E. coli dan
stafilokok.
Lisozim yang dilepa makrofag dapat menghancurkan kuman
gram negatif dengan bantuan komplemen. Lektoferitin dan
transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan
untuk kehidupan kuman pseudomonas.
c. Pertahanan Humoral
1. Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi
bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi.
Kejadian-kejadian tersebut diatas adalah fungsi sistem imun
nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respons
imun spesifik.
2. Interferon
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai
sel manusia yang mengandung nucleus dan dilepas sebagai
respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat
antivirus dengan jalan mengiduksi sel-sel sekitar sel yang
telah terserang virus tersebut. Disamping itu, interferon dapat
6
pula mengakibatkan natural killer cell / sel NK untuk
membunuh virus dan selneoplasma.
3. C- Reactive Protein (Crp)
CRP dibentuk tubuh pada keadaan infeksi. Perannya ialah
sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen.
d. Pertahanan selular
Pertahanan non spesifik yang termasuk selular ialah makrofag,
sel NK, sel dendritik dan sejenisnya.
2. Sistem imun spesifik
Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik
mmpunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing
bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang
segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitisasi sel-sel
imun tersebut. Bila sistem sel imun tersebut terpajan ulang dengan
benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan
dihancurkannya.Oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik.
Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan
benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya
terjalinkerja sama yang baik antara antibody, komplemen, fagosit
dan antara sel T-makrofag. Oleh karena komplemen turut diaktifkan,
repon imun yang terjadi sering disertai dengan reaksi inflamasi.
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit
B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Pada
unggas sel asal tersebut berdifferensiasi menjadi sel B didalam alat
yang disebut bursa fabricius yang letaknya dekat kloaka. Bila sel B
7
dirangsang benda asing, sel tersebuit akan berproliferasi dan
berdifferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody.
Antibodi yang dilepas dapat dimukan didalam serum. Serum fungsi
utama antibody ialah mempertahankan tubuh terhaadap infeksi
bakteri, virus dan netralisasi toksin.
c. Determinan yang mempengaruhi1
Berbagai faktor yang disebut determinan berpengaruh terhadap
sistem imun nonspesifik, yaitu sebagai berikut:
1. Spesies
Diantara berbagai spesies ada perbedaan kerentanan yang jelas
terhadap berbagai mikroba, misalnya tikus sangat resisten terhadap
difteri sedangkan manusia sangat rentan.
2. Keturunan dan usia
Peranan herediter yang menentukan resistensi terhadapa infeksi
terlihat dari studi tuberculosis pada pasangan kembar. Bila satu
sari kembar homozigot menderita tuberculosis, pasangan lainnya
menunjukkan resiko tinggi untuk menderita jugadibandingkan
pasangan kembar heterozigot. Infeksi juga lebih berast dan sering
terjadi pada anak yang usianya lebih muda dibandingkan dewasa.
Hal ini dikarenakan kematangan sistem imun yang belum matang
pada usia muda. Namun pada usia lanjut akan terjadi penurunan
sistem imun juga.
3. Hormon
Sebelum pubertas, sistem imun pada pria dan wanita adalah sama.
Sistem imun berkembang tanpa pengaruh hormone seks. Androgen
yang dilepas oleh pria bersifat imunosupresif, dilepas secara
menetap selama masa dewasa dan tidak berfluktuasi sampai usia
lanjut. Pada wanita, respon imun terintegrasi dengan sistem
8
endokrin yang tujuannya agar janin dalam kandungan tidak ditolak
selama hamil.
4. Suhu
Beberapa mikroba tidak dapat menginfeksi manusia oleh karena
tidak dapat hidup pada suhu 37o C.
5. Nutrisi
Nutrisi yang buruk sudah jelas menurunkan resistensi terhadap
infeksi. Di lain pihak, nutrisi yang kurang baik sering disertai
dengan sanitasi buruk yang dapat meningkatkan infeksi.
6. Flora bakteri normal
Flora normal di kulit dapat memproduksi senyawa antimicrobial
seperti bakteriosin dan asam. Pada waktu yang sama, flora normal
akan berkompetisi dengan patogen dalam mendapatkan nutrisi
esensial.
2.2. Sistem limfatik dan organ limfoid1
Sejumlah organ limfoid dan jaringan limfoid yang morfologis dan
fungsional berlainan berperan dalam respon imun. Organ limfoid tersebut
dibagi menjadi organ primer dan sekunder.
1. Organ Limfoid Primer
Organ limfoid primer atau sentral terdiri atas sumsum tulang dan
timus. Organ limfoid primer diperlukan untuk pematangan, diferensiasi, dan
proliferasi sel T dan sel B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal
antigen. Karena itu organ tersebut berisikan limfosit dalam berbagai fase
diferensiasi.
2. Organ Limfoid Sekunder
Limpa dan KGB adalah organ limfoid sekunder yang terorganisasi
tinggi. Jaringan limfoid sekunder yang kurang terorganisasi secara kolektif
9
disebut MALT yang ditemukan di berbagai tempat di tubuh. MALT meliputi
jaringan limfoid ekstranodul yang berhubungan dengan mukosa di berbagai
lokasi, seperti SALT di kulit, BALT di bronkus, GALT di saluran cerna
(meliputi Plak Peyer di usus kecil, apendiks, berbagai folikel limfoid dalam
lamina propia usus), mukosa hidung, tonsil, serviks uterus, membran mukosa
saluran napas atas, bronkus, dan saluran kemih. Organ limfoid sekunder
merupakan tempat sel dendritik mempresentasikan antigen yang
ditangkapnya di bagian lain tubuh ke sel T yang memacunya untuk
proliferasi dan diferensiasi limfosit.
Sistem limfatik-resirkulasi limfosit merupakan sistem pengembalian cairan
intertsisial yang tadinya membahasi jaringan saat respon imun terjadi ke
pembuluh darah. Hal ini untuk memastikan adanya keseimbangan cairan dalam
sistem sirkulasi.
2.3. Jelaskan mengenai respon imun!
a. Adekuat2
Imunitas merupakan kemampuan tubuh untuk Manahan atau
menghilangkan benda asing atau sel abnormal yang berpotensi
merugikan. Imunitas ini tidak lain diperankan oleh sistem imun yang
memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai berikut:
1. Mempertahankan tubuh dari pathogen invasive.
2. Menyingkitkan sel dan jaringan yang telah rusak oleh trauma maupun
penyakit.
3. Mengenali dan menghancurkan sel abnormal atau mutan yang berasal
dari tubuh yang berpotensi menjadi malignansi (immune surveillance).
4. Melakukan respons imun yang tidak pada tempatnya yang menyebabkan
alergi atau menyebabkan penyakit otoimun.
10
Sistem imun ini sendiri terdiri dari jaringan limfoid (membuang,
menyimpan, memproduksi, dan menambahkan leukosit) dan leukosit itu
sendiri yang berguna sebagai sel efektor sistem imun. Imunitas protektif
dihasilkan oleh kerja sama dua komponen sistem imun yang terpisah
tetapi saling berhubungan, yaitu sitem imun bawaan dan sistem imun
adaptif.
A. Sistem Imun Bawaan
Perlu dipahami bahwa untuk dapat mengenali benda asing dan
tubuh kita sendiri, sel-sel yang berperan dalam sistem imun memiliki
reseptor khusus yang disebut Toll-Like Receptor (TLR), yang bekerja
dengan mengenali dan mengikat penanda-penanda di bakteri. Aktivitas
dari TLR ini akan memicu fagositosis dari sel fagositik, serta
mengeluarkan bahan-bahan kimia, sebagian besar berperan dalam
peradangan dan penghubung sistem imun bawaan dan sistem imun
adaptif. Sistem imun bawaan ini mencakup:
1. Peradangan, suatu respon nonspesifik terhadap cedera jaringan dimana
sel-sel fagositik (neutrofil dan makrofag) berperan besar, bersama
dengan asupan suportif dari tipe sel imun lain.
2. Interferon, sekelompok protein yang mempertahankan sel dari infeksi
virus secara nonspesifik.
3. NK cells, suatu kelompok khusus sel mirip limfosit yang secara spontan
dan nonspesifik melisiskan dan menghancurkan sel pejamu yang
terinfeksi virus dan sel kanker.
4. Sistem komplemen, sekelompok protein plasma inaktif yang jika
diaktifkan secara berurutan, akan merusak sel-sel asing dengan
menyerang membran plasmanya.
11
A.1. Peradangan (Inflamasi)
Inflamasi merujuk kepada serangkaian proses bawaan
nonspesifik yang saling berkaitan yang diaktifkan sebagai respon
terhadap invasi benda asing, kerusakan jaringan, atau keduanya.
Tujuan akhir dari inflamasi adalah membawa fagosit dan protein
plasma ke tempat invasi atau kerusakan untuk (1) mengisolasi,
menghancurkan, atau menginaktifkan penyerangan; (2) membersihkan
debris; dan (3) mempersiapkan proses penyembuhan dan perbaikan.
Berikut proses yang biasanya terjadi selama inflamasi, yaitu:
1. Pertahanan oleh makrofag jaringan residen
2. Vasodilatasi lokal
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler
4. Edema lokal
5. Pembentengan daerah yang meradang
6. Emigrasi leukosit
7. Proliferasi leukosit
8. Menandai bakteri dengan opsonin untuk dihancurkan
9. Destruksi bakteri oleh leukosit
10. Bahan kimia yang dikeluarkan sel fagositik memerantai respons
inflamasi
11. Perbaikan jaringan.
A.2. Interferon
Ketika sebuah virus menginfeksi sel ditubuh kita, maka sel
yang telah terinfeksi tersebut akan mengeluarkan interferon sebagai
respon adanya asam nukleat virus tersebut. Interferon akan masuk ke
CES dan sampai sel disekitarnya bahkan sel-sel yang jauh melalui
aliran darah. Sel-sel yang telah menerima sinyal interferon akan
memproduksi enzim penghambat virus yang dapat mengurai mRNA
12
virus oleh sel pejamu potensial. Oleh karena itu, interferon tidak
memiliki efek antivirus langsung. Enzim-enzim inhibitorik yang
terbentuk bersifat jangka pendek dan hanya aktif apabila invasi virus
menyerang sel tersebut. Manfaat dari enzim ini adalah sebagai strategi
pertahanan umum dan cepat terhadap invasi virus sampai mekanisme
respon spesifik tetapi muncul lebih lambat beraksi. Selain itu,
interferon juga memiliki aktivitas memperkuat aktivitas sistem imun
lainnya, yaitu maningkatkan aktivitas fagositik makrofag, merangsang
pembentukan antibodi, dan meningkatkan kemampuan sel-sel
pemusnah.
Interferon memiliki efek antikanker selain antivirus. Bahan ini
sangat meningkatkan efek sel-sel pemusnah, sel NK dan sel T
sitotoksik yang menyerang dan menghancurkan sel yang terinfeksi
virus dan sel kanker, serta memperlambat pembelahan sel dan
menekan pertumbuhan tumor.
A.3. Natural Killer cells (Sel NK)
Sel NK merupakan sel alami mirip limfosit yang secara
nonspesifik menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker
dengan melisiskan secara langsung membrane sel tersebut saat
pertama kali bertemu.
A.4. Sistem Komplemen
Sistem komplemen adalah mekanisme pertahanan lain yang
beraksi secara nonspesifik sebagai respon terhadap invasi organism.
Sistem ini dapat diaktifkan melalui dua cara, yaitu:
1. Oleh pajanan ke rantai karbohidrat tertentu dari bakteri (lectin
pathways).
2. Oleh pajanan ke antibodi yang dihasilkan terhadap
mikroorganisme penginvasi spesifik.
13
Komplemen akan membentuk membrane attack comples
(MAC) yang melubangi sel patogen. Komplemen merupakan protein-
protein plasma inaktif yang diproduksi oleh organ hati. Apabila
komponen pertama C1, diaktifkan, maka komponen ini akan
mengaktifkan komponen berikutnya, C2, demikian seterusnya dalam
suatu rangkaian reaksi pengaktifan berjenjang. Lima komponen
terakhir, C5 sampai C6 lah yang akan membentuk MAC. Adanya
MAC mengakibatkan membrane sangat permeable (bocor); fluks
osmotic air yang terjadi ke dalam sel patogen menyebabkan sel
membengkak dan pecah. Aktivitas dari komplemen ini juga berguna
untuk memperkuat inflamasi melalui beberapa hal berikut ini:
1. Berfungsi sebagai kemotaksin
2. Bekerja sebagai opsonin
3. Meningkatkan vasodilatasi dan permeabilitas vascular
4. Merangsang pelepasan histamin
5. Mengaktifkan kini
B. Sistem Imun Adaptif
Respon sistem imun adaptif diperankan oleh limfosit B dan
limfosit T. Setiap sel B dan T dapat mengenal dan mempertahankan diri
terhadap hanya satu tipe benda asing, misalnya suatu jenis bakteri.
Terdapat dua kelas dalam respon imun adaptif, yaitu imunitas yang
diperantarai oleh antibodi atau imunitas humoral dan imunitas yang
diperantarai oleh sel atau imunitas seluler.
b. Patologis
Sistem imun memiliki kemampuan untuk mengenali self dan
nonself pada tubuh kita. Artinya respon imun diusahakan hanya
berespon terdahap invasi patogen dan melindungi tubuh kita. Hal ini
14
diperankan oleh reseptor-reseptor pada permukaan sel-sel yang ikut serta
dalam sistem imun tersebut. Pada sistem imun nonspesifik, membran
selnya memiliki Toll-Liked Receptor (TLR) yang berguna untuk
mengenali molekul-molekul patogen. Sedangkan pada sistem imun
adaptif memiliki kemampuan toleransi. Protein AIRE dan Protein B7
pada sel T yang mencegah responnya terhadap tubuh normal kita dan
menyebabkan apoptosis sel. Selain hal tersebut sel T juga akan
memproduksi sel T regulatorik yang mengontrol respon dari sel T dan
menjadikannya anergi, supresi, maupun apoptosis. Pada sel B memiliki
reseptor yang berguna untuk mengenali reseptor antigen dan reseptor
diri. Sel B tidak akan diaktifkan apabila pada sel normal yang hanya
memiliki reseptor diri, menyebabkan sel B menjadi anergi, delesi,
maupun apoptosis.2
Respon imun patologik terjadi apabila kesemua mekanisme di
atas mengalami gangguan. Gangguan tersebut dapat berupa hal-hal
berikut ini:7
1. Reaksi hipersensitivitas, akibat hiperaktivasi dari sistem imun.
2. Imunodefisiensi, terjadi akibat sistem imun spesifik tidak diproduksi
atau mengalami mutasi. Gangguan ini dibagi menjadi dua, yaitu
primer dan sekunder. Gangguan primer berupa gangguan congenital
yang bermanifestasi pada usia lebih dewasa, sedangkan sekunder
diakibatkan oleh adanya infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosupresi,
autoimun, dan kemoterapi.
3. Otoimun, terjadi apabila sistem imun gagal mengenali diri sendiri.
Sel-sel normal host akan dianggap benda asing oleh sistem imun.
Hal ini diakibatkan karena gagalnya mekanisme toleransi sistem
imun terhadap tubuh kita.
15
2.4. Faktor apa sajakah yang dapat memicu reaksi dari sistem imun?
Banyak faktor yang dapat memicu reaksi dari sistem imun, diantaranya:
a. Iritan
b. Allergen
c. Infeksi
d. Lingkungan
e. Berbagai patogen seperti bakteri, virus, jamur atau parasit mengandung
berbagai bahan yang disebut sebagai imunogen atau antigen yang dapat
menginduksi sejumlah respon imun.1
2.5. Jelaskan mengenai reaksi hipersensitivitas1
a. Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
16
b. Klasifikasi1
Gambar 2.1. Klasifikasi Hipersensitivitas
17
c. Patofisiologi1
1. Hipersensitivitas tipe 1
Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang
terjadi secara cepat (secarakhusus hanya dalam bilangan menit) stelah
terjadi interaksi antaraalergen dengan antibodyIgE yang sebelumnya
berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu
yangtersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas
tipe 1 dapat terjadi sebagaireaksi local yang benar-benar mengganggu
(misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat
berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).Urutan
kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:
1) Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
samapi diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast
dan basofil
2) Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mastmelepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
3) Fase efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediatoryang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua
tahap yang dapat ditentukan secara jelas.
Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang
dapat ditentukan secara jelas; 1) Respon awal, diatandai dengan
vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme ototpolos, yang biasanya
muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajanoleh
allergen dan menghilang setelah 60 menit. 2) Reaksi fase lambat, yang
muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selamabeberapa hari.
Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta selradang
18
akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga
ditandaidengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel
epitel mukosa.
1) Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula
sel mast dilepaskanuntuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas
tipe 1. Histamin, yang merupakan mediator praformasi terpenting,
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vascular,vasodilatasi,
bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang
segeradilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi
dan menghambat agregasitrombosit) serta factor kemotaksis untuk
neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukandalam matriks granula
dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya triptase).
Proteasemenghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk
menghasilkan factorkemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya,
C3a).
2) Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa: mediator lipid dan
sitokin. Mediator lipiddihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang
memecah fosolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam
arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan senyawa induk
untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.
a) Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam
arakhidonatdan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe
1. Leukotrien tipe C4 dan D4merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasarmolar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif
daripada histamin dalammeningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam
menyebabkankontraksi otot polosbronkus. Leukotrien B4sangat
kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.
19
b) Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh
jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan
bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
c) Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkanagregasi trombosit, pelepasan histamin, dan
bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan
eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasifosfolipase A2,
mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat.
d) Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6)
dan kemokinberperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1
melalui kemampuannya merekrutdan mengaktivasi berbagai macam sel
radang. TNF merupakan mediator yang sangatpoten dalam adhesi,
emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktorpertumbuhan
sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B1.
2. Hipersensitivitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan
untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan
lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi
yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
1) Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua
mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang
diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen
permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel
yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan
membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen
komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel
darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui
20
mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang
tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas.
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada
keadaan sebagai berikut.
Gambar 2.2
a) Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak
suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan
untuk melawan antigen darah donor.
b) Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus;
antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif
yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan
kerusakan sel darah merahnya sendiri.
21
Gambar 2.3
c) Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia
yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang
individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya
sendiri.
d) Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau
metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan
sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah
pemberian penisilin).
e) Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein
desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
2) Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan
melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG;
sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis
ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai
macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK.
Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm
kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh
eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.
3) Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi
22
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor
permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan
jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis,
antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot
rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.
Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit
Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH)
merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.
3. Hipersensitivitas tipe III
Gambar 2.4
Hipersensivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks
antigen-antibodi ( imun),diikuti dengan aktivasi komplemen dan
akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun dapat
melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus atau antigen
endogen seperti DNA. Penting untuk diperhatikan bahwa
pembentukan kompleks imun semata t idak sama dengan
hipersensivitas t ipe III , kompleks antigen-antibodi
23
terbentuk selama berlangsungnya berbagai respon imun dan
menunjukan mekanisme pembersihan antigen yang normal.
Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan
kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di
daerah ekstravaskuler tempat antigen tersebut tertanam (kompleks
imun in situ) Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat
sistemik j ika kompleks imun tersebut terbentuk dalam sirkulasi
mengendap dalam berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya ginjal ,sendi,atau kuli t ) j ika komplek imun tersebut
terbentuk dan mengendap pada tempat khusus.
1) Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Infeksi dapat berasal dari berbagai antigen dalam jumlah berlebihan
tetapi tanpa adanya respon antibodi yang efektif. Makrofag yang
diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag diransang terus menerus untuk melepas berbagai
bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan IgM atau
IgG3 diendapkan dimembran basal vaskular dan membran basal ginjal
yang menimbulkan reaksi lokal dan kronik
2) Kompleks imun mengendap dijaringan
Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan
adalah ukuran ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas
vascular yang meningkat, antara lain karena histamine yang
dikeluarkan oleh sel mast.
3) Bentuk reaksi
Reaksi tipe III memiliki dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik
a) Reaksi lokal atau fenomena arthus
Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan
yang disebabkan oleh vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini
24
dihasilkan secara eksperimental dengan menginjeksikan suatu
antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah
diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhjadap antigen yang telah
ada di dalam sirkulasi).
Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibodi, kompleks imun
terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding
pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan
memicu reaksi radang yang sama serta gambaran histologis seperti
pada penyakit kompleks imun sistemik. Lesi Arthus
berkembangselama beberapa jam dan mencapai puncaknya 4
hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada
tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadangdiikuti
ulserasi.
b) Reaksi tipe III sistemik – serum sickness
Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi
menjadi 3 tahap yaitu pembentukan komplek antigen-antibodi
dalam sirkulasi, pengendapan komplek imun di berbagai jaringan
dan mengawali reaksi radang diberbagai tempat diseluruh
tubuh.Serum sickness akut adalah bentuk dasar suatu penyakit
kompleks imun spesifik. Penyakit ini pertama kali digambarkan
terjadi pada manusia saat serum asing diberikan untuk imunisasi
pasif dalam jumlah besar (misalnya: serum antitetanus kuda), pada
saat ini, hal tersebut jarang terjadi (misalnya,penderita yang
diinjeksi dengan globulin anti timosit kuda untuk pengobatan
anemia anaplastik), kira-kira lima hari setelah protein asing
diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan, antibodi akan
bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk
membentuk komplek antigen-antibodi.
25
Pada tahap kedua kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam
sirkulasi mengendap di berbagai jaringan. Untuk komplek yaang
meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau
diluar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.
Pada tahap ketiga yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira
10 hari setelah pemberian antigen), muncul ganbaran klinis seperti
demam ,urtikaria ,artralgia ,pembesaran kelenjar getah bening dan
proteinuria .Dimana pun komplek imun mengendap,kerusakan
jaringannya serupa. Aktivasikomplemen oleh komplek imun
merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif
secara biologis seperti anafilaktoksin (C3a dan C5a), yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksik
untuk leokosit polimorfonuklear.Fagositosis komplek imun oleh
neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atauproduksi
sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk
prostaglandin,peptidavasodilator, dan substansi kemotaksis, serta
enzim lisosom yang mampu mencernamembran basalis, kolagen,
elastin, dan kartilago.
Kerusakan jaringan juga diperantaraioleh radikal bebas oksigen yang
dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imundapat pula
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;
keduareaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali
pembentukan mikrotrombusyang berperan pada jejas jaringan melalui
iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkandisebut dengan vaskulitis jika
terjadi dalam pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di
glomerulus ginjal,arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.
26
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM)
yang dapatmenginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula
mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang
mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan.Peran penting
komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh
adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara
eksperimental akansangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang
terjadi pada neutrofil.
4. Hipersensitivitas tipe IV
Sebagian alergen mencetuskan hipersensitivitas tipe lambat, suatu
respons imun yang diperantarai oleh sel T dan bukan oleh respons
antibodi IgE-sel B tipe cepat. Alergen-alergen tersebut antara lain adalah
toksin poison ivy dan zat kimia tertentu yang sering mengenai kulit,
misalnya kosmetik dan bahan pembersih rumah tangga. Biasanya respons
ditandai oleh erupsi kulit yang mencapai puncaknya satu sampai tiga hari
setelah kontak dengan alergen terhadap sistem T yang sudah tersensitisasi.
Sebagai ilustrasi, poison iy adalah suatu hapten yang dapat berikatan
dengan protein kulit yang berkontak dengannya. Toksin itu sendiri tidak
merugikan kulit sewaktu berkontak, tetapi mengaktifkan sel T spesifik
untuk toksin, termasuk pembentukan komponen pengingat. Pada pajanan
berikutnya ke toksin yang sama, sel-sel T yang sudah diaktifkan akan
berdifusi ke kulit dalam satu atau dua hari, berikatan dengan poison ivy
yang ada. Interaksi yang terjadi menyebabkan kerusakan jaringan dan rasa
tidak nyaman yang khas untuk penyakit ini. Pengobatan terbaik adalah
dengan memberikan sediaan anti-inflamasi, misalnya yang mengandung
turunan kortisol.
27
Gambar 2.5
d. ManifestasiKlinis
Gambar 2.6. Reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV menurut Gell dan
Combs
28
e. Diagnosis1
Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami
dan kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala
alergi yang tampak, dan apabila masih terdapat keraguan harus dilakukan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan
secara in vivo ataupun in vitro.
a. Pemeriksaan in vitro
1) Hitung eosinofil total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia
apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL.
Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan
persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan
hitung leukosit total.Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada
penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi
imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan
pada migrasi larva. Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan
korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis
kronis.Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan
pemberian kortikosteroid secara sistemik.
2) Hitung eosinofil dalam secret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan
indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan
dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain.
Meskipun demikian tidak dapat menentukan alergen penyebab yang
spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila ditemukan eosinofil lebih
dari 4% dalam apusan sekret hidung, sedangkan pada remaja dan
29
dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung juga dapat
memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung topikal.
Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus dan
konjungtiva.
3) Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit
alergi. Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan
pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis
alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih
tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih
kadar IgE pada populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai
diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total didapatkan normal pada
50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi
(infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).
4) Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat
dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan
metode RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked
Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode RAST
dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi
oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik
dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas RAST lebih
rendah.
b. Pemeriksaan in vivo
1) Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan
reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi.
Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan
30
alergen akan menimbulkan hubungan silang antara alergen dengan sel
mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast
dan melepaskan berbagai preformed dan newly generated mediator.
Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal,
gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi
kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20
menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan
edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar
kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24 jam (fase lambat).
Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji
tusuk (skin prick test/SPT), dan uji gores (scratch test).Uji kulit
intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke dalam
lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm.
Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu
ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga
berindurasi 5-15 mm. Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif
dibanding skin prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan untuk
alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.Uji
gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang akurat.
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen
hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik
adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari
lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam
gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit
ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk.
Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin,
efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi
reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit
paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas
31
SPT terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding alergen hirup.
Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih
rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang
lebih baik dengan gejala yang timbul.
2) Uji provokasi
Uji ini dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan alergen
dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna,
paru),maka dapat dilakukan uji provokasi.
a) Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan konsentrasi yang
makin tinggi dihirup melalui nebulizer untuk melihat obstruksi
jalan napas. Atkins1 dalam penelitian menunjukkan bahwa uji
provokasi bronkial berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji
alergi in vitro.
b) Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan
yang dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap
makanan tersebut. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka,
single-blind, double-blind, atau double-blind placebo-
controlled.Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap
makanan meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat
dilakukan setelah melakukan diet eliminasi selama tiga minggu.
Pada uji provokasi susu sapi dilakukan dengan memberikan susu
sapi mulai dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15 menit, dan bila
telah mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka pasien
dapat mengkonsumsi susu sapi.
c) Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen provocation
/COLAP), dilakukan melalui kolonoskopi dengan menyuntikkan
ekstrak alergen ke dalam mukosa sekum. Hasil positif berupa
pembentukan wheal dan kemerahan pada mukosa. Derajat alergi
ditentukan secara semikuantitatif, yaitu 0=tidak ada reaksi,
32
1=meragukan, 2=reaksi sedang (diameter <1 cm), 3=reaksi berat
(1-2 cm), dan 4=reaksi maksimal (>2 cm).10 Hasil COLAP sesuai
dengan riwayat alergi, namun tidak sesuai dengan hasil SPT dan
RAST. Kejadian kemungkinan karena IgE spesifik mukosa usus
tidak beredar secara sistemik, atau reaksi hipersensitivitas pada
usus bukan (bukan hanya) merupakan mekanisme yang IgE-
tergantung.
d) Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada kasus
dermatitis kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit
dan hasil positif berupa reaksi eksatema dalam 48-72 jam.Selain
pada dermatitis kontak, uji tempel juga dilakukan untuk
mendiagnosis alergi makanan pada anak dengan dermatitis atopi
dan esofagitis eosinofilik. Dijumpai 67% anak dengan uji
provokasi susu sapi yang positif menunjukkan hasil SPT (reaksi
alergi tipe cepat) yang positif, sedangkan uji tempel menunjukkan
hasil yang negatif. Sebaliknya, uji tempel positif pada 89% anak
dengan reaksi alergi tipe lambat (25-44 jam). Dikatakan bahwa
kombinasi uji tusuk dan uji tempel memiliki nilai prediksi positif
tertinggi dan dapat menggantikan uji provokasi makanan.
e) Immuno CAP Phadiatop Infant (PI), berguna untuk mendeteksi
IgE pada bayi hingga usia 2 tahun. Apabila dibandingkan dengan
skin prick test (SPT) dan RAST pada bayi dengan hasil SPT dan
RAST seluruhnya positif atau negatif, maka PI memiliki
sensitivitas 96%, spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 89%, dan
nilai prediktif negatif 99% namun pada bayi dengan hasil SPT atau
RAST positif, PI menunjukkan sensitivitas 82%, spesifisitas 98%,
nilai prediktif positif 94%, dan nilai prediktif negatif 95%.
Terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara eksim dan
hasil PI yang positif, namun korelasi dengan gejala asma dan
33
rinokonjungtivitis tidak meyakinkan karena di atas usia dua tahun
telah terdapat peran infeksi virus. Dengan demikian PI dapat
digunakan sebagai pemeriksaan alergi pada bayi karena dapat
menggantikan SPT dan tidak memerlukan seleksi antigen spesifik
baik pada SPT maupun RAST.
f) Microarrayed Allergen Molecules, dapat diketahui molekul
alergen penyebab sehingga dapat memberi informasi tentang profit
reaktivitas alergi dan dapat mengidentifikasi dengan tepat molekul
yang digunakan dalam imunoterapi.Beberapa dekade yang lampau
terdapat berbagai metode pemeriksaan alergi yang saat ini telah
ditinggalkan karena tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit
alergi, antara lain uji alergi sitotoksik (cytotoxic allergy testing),
uji provokasi, dan netralisasi (provocative and neutralization
testing) secara subkutan ataupun sublingual, imunoterapi dengan
titrasi kulit (skin titration method of inzinunotlwrapy), urine
autoinjection (autogenous urine immunization), dan pemeriksaan
kadar IgG serum terhadap makanan tertentu.
Selain berbagai pemeriksaan uji provokasi, akhir-akhir ini banyak
pula digunakan metode baru yang sebenarnya masih menjadi
perdebatan yaitu,
a) Uji elektrodermal (electrodermal testing), merupakan salah satu uji
alergi yang banyak digunakan dalam complementary and
alternative medicine (CAM) sebagai terapi homeopati. Dasar kerja
adalah perubahan kecil gelombang listrik pada kulit terjadi pada
titik akupunktur sebagai respons terhadap suatu bahan yang
diletakkan dalam sirkuit listrik. Dewasa ini penggunaan uji
elektrodermal semakin meningkat untuk menentukan status alergi
makanan dan alergi hirup, kemungkinan karena faktor
keamanannya, tidak invasif, dan sederhana. Namun suatu
34
penelitian buta ganda dengan kontrol dan lebih dari 1500 subjek
penelitian menunjukkan bahwa metode uji elektrodermal tidak
dapat membedakan antara individu dengan atopi dan non-atopi.
b) Terapi Bioresonans (bioresonance therapy), didasarkan pada teori
fenomena alergi dapat dijelaskan dengan konsep biofisika. Alergi
engram diperlukan untuk proses mekanisme alergi dalam tubuh
berlangsung. Alergi engram merupakan cetakan biofisika sebagai
dasar predisposisi herediter melalui kontak berulang dengan suatu
bahan yang mengiritasi tubuh. Bahan tersebut akan menjadi
alergen bagi seorang individu bila telah tercetak sebagai alergi
engram dan akan menjadi aktif hanya bila terjadi kontak dengan
suatu alergen. Diagnosis alergi dengan metode biofisika dilakukan
dengan meletakkan tuas tensor secara horisontal antara dada pasien
dan ekstrak alergen yang akan diperiksa. Bila tensor berayun
dengan arah vertikal, (atas-bawah) menandakan pasien alergi
terhadap alergen tersebut. Sebelum terapi dimulai, dilakukan
proses detoksifikasi dengan cara menggenggam dua logam
berbentuk tabung yang dihubungkan dengan kabel ke alat
BIOCOM®. Proses berlangsung selama 5-10 menit selama 2-3
hari.Langkah-langkah terapi adalah sebagai berikut, (1) Input cup
dihubungkan dengan alat BIOCOM® melalui dua kabel, (2) Pasien
menggenggam dua bola elektroda yang dihubungkan dengan
bagian output dari alat, (3) Alat BIOCOM® di-setting dengan
frekuensi tertentu sesuai jenis alergen. Terapi untuk satu jenis
alergen dilakukan satu kali selama 10 menit namun terapi dapat
diulang bila gejala alergi timbul kembali.Beberapa penelitian
dengan menggunakan kontrol menyatakan terapi bioresonans tidak
dapat mengenali, mempengaruhi, dan meniadakan allergen.
Namun meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh pada
35
popularitas terapi bioresonans yang sangat diminati di Jerman
sekitar tahun 1995.
f. Contoh Penyakit1,3
1. Hipersensitivitas tipe I: anfilaksis sistemik dan lokal seperti
rinitis, asma urtikaria, alergi makanan, dan ekzem.
2. Hipersensitivitas tipe II: reaksi transfusi, eritroblastosis, fetalis,
anemia, hemolitik autoimun.
3. Hipersensitivias tipe III: Arthus dan serum sickness, vaskulitis
dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.
4. Hipersensitivitas tipe IV: dermatitis kontak, lesi tuberkulosis, dan
penolakan tandur.
2.6. Jelaskan mengenai rhinitis, dermatitis, dan asma dan hubungannya
dengan faktor genetic!15
Rhinitis, dermatitis dan asma merupakan penyakit yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipengaruhi tingginya Ig E, pada
penelitianyang telah dilakukan membuktikan bahwa jika kedua orangtua
memiliki penyakit atopik, maka kadar ige dalam darah anak kemungkinan
lebih tinggi yang dipengaruhi faktor genetik.
2.7. Jelaskan peran sistem imun pada patofisiologi rhinitis, dermatitis, dan
asma!
Rhinitis alergi memiliki gejala yang khas berupa bersin-bersin, gatal-
gatal dan sekret bening dari hidung dan mata.4 Respon alergi ini disebabkan
oleh pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrin dan kinin.5
Pelepasan mediator-mediator ini menyebabkan peningkatan sekresi mukus,
kontraksi otot polos di bronkus, peningkatan permeabilitas kapiler dan
36
vasodilatasi.5 Peningkatan sekret mukus ini menyebabkan kelebihan mukus
mengalir keluar melalui hidung, dan gatal-gatal yang dirasakan diakibatkan
stimulasi ujung saraf bebas di hidung oleh bradykinin.5
Pada pasien dermatitis atopi, sel memori di dalam darah
mengekspresikan cutaneous lymphocyte antigen (CLA) yang mengakibatkan
limfosit bermigrasi ke kulit.6 Inflamasi berhubungan dengan aktivasi sel-sel
Th1 dan Th2 disertai pelepasan sitokin, kemokin, interferon-gamma dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor.6 Aktivasi sel mast,
eosinophil dan makrofag serta ekspresi IgE juga turut berperan dalam proses
inflamasi.6
Inflamasi yang terjadi pada kasus asma atopi dimediasi oleh rekasi
berlebihan sel Th2 terhadap antigen pencetus.7 Sitokin yang diproduksi oleh
sel Th2 berperan besar terhadap munculnya gejala-gejala asma (IL-4
menstimulasi produksi IgE; IL-5 mengaktifkan eosinofil; IL-13 menstimulasi
produksi mukus dan menstimulasi limfosit B untuk memproduksi IgE).6 IgE
akan melapisi sel mast di lapisan submukosa.7 Jika IgE ini terpapar alergen,
sel mast tersebut akan melepaskan granula-granulanya.7 Hal ini menyebabkan
terjadinya dua gelombang serangan: early phase dan late phase.7
Gejala yang timbul pada early phase antara lain adalah
bronkokonstriksi, peningkatan produksi mukus dan vasodilatasi sementara
pada late phase dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi seperti aktivasi
eosinofil, neutrofil dan limfosit T. 7 Selain itu, sel-sel epitel juga distimulasi
untuk memproduksi kemokin-kemokin yang dapat memanggil lebih banyak
sel Th2 dan eosinofil sehingga reaksi inflamasi menjadi semakin hebat. 7
2.8. Mengapa cuaca dingin dan tempat berdebu dapat memicu rhinitis
alergi?
37
Gejala awal, udara dingin menyerang daya tahan tubuh, yang
menstimulasi produksi lendir di saluran pernapasan. Selanjutnya, udara dingin
bisa menyerang jaringan di bagian hidung. Saluran di jaringan hidung pun
melebar. Akibatnya, jaringan dalam hidung pun membengkak, yang membuat
hidung tersumbat. Hal ini dapat memicu Rhinitis Alergi. Hawa yang sangat
dingin juga dapat memicu reaksi asma. Bagi penderita asma, ada baiknya
mengenakan baju hangat sebelum terpapar udara dingin
.
2.9. Mengapa makan udang dapat memicu reaksi alergi?
Kandungan makanan antara lain terdiri dari lemak, kabohidrat, dan
protein. Kandungan yang sering bersifat alergen adalah glikoprotein yang
larut dalam air dengan berat molekul antara 18.000-36.000 Dalton.8,9,10
Umumnya, alergen ini stabil terhadap pemanasan serta tahan terhadap asam
dan enzim protease.9 Meskipun dalam jumlah sedikit, alergen dapat
menimbulkan sensitisasi dan menimbulkan gejala pada individu atopik;
beberapa mikrogram alergen inhalan sudah dapat merangsang pembentukan
IgE. Dalam konteks alergi makanan, tidak dapat diduga berapa banyak protein
yang diserap, berapa lama kontak dengan sistem imun, dan berapa cepat
alergen yang dimakan dipecah untuk dapat diserap; diperkirakan 1 mikrogram
laktoglobulin sudah dapat menimbulkan sensitisasi.10 Hanya sebagian kecil
makanan yang dilaporkan bersifat alergen yang dapat memberikan reaksi
alergi; alergen utama pada susu sapi ialah laktoglobulin, kuning dan putih
telur mempunyai alergen utama ovomukoid, alergen utama pada kacang dan
soya adalah albumin, visilin, dan legumin, sementara alergen utama pada
udang terdapat pada ototnya (yang disebut tropomiosin).10 Susu sapi terdiri
dari kurang lebih 25 macam protein yang memproduksi antibodi spesifik pada
manusia. Antigen tersering pada susu sapi adalah kasein (80%) dan whey
(20%). Whey terdiri dari laktoglobulin, laktalbumin, bovine serum albumin
(BSA) dan bovine gammaglobulin.10 Bahan penyedap dan zat warna juga
38
dapat merupakan alergen, seperti aspartam, zat warna merah, kuning, dan
hijau, nitrit, serta monosodium glutamat.8,10
Patofisiologi Alergi Makanan
Reaksi simpang pada makanan (berakibat merugikan bagi manusia)
pada dasarnya dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu reaksi imunologik
(melalui mekanisme imun atau hipersensitivitas (alergi makanan)) dan reaksi
non-imunologik (tidak melalui mekanisme imun (intoleransi makanan).
Reaksi alergi makanan sendiri dibagi menjadi dua, dengan keterlibatan IgE
dan tanpa keterlibatan IgE.
Alergi makanan merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas
gastrointestinal umum, yakni hiperresponsivitas imunologik terhadap antigen
spesifik, yang dapat berasal dari makanan sehari-hari atau mikroorganisme
patogen maupun produknya atau terhadap antigen milik sendiri (self-antigen)
yang disajikan atau dipresentasikan tidak semestinya.11 Pada alergi makanan,
terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh, yang merangsang reaksi
imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen,
tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang
sama. Umumnya, pajanan ulang oleh substansi antigenik/alergen akan
meninggikan respons imun sekunder yang bersifat spesifik. Pada kasus
hipersensitivitas/alergi, terjadi reaksi imun berlebihan yang justru
menimbulkan kerusak an jar ingan atau gangguan fungsional di dalam tubuh.
Alergen makanan diabsorpsi dari mulut dan saluran cerna, tetapi jumlah
alergen yang diperlukan untuk dapat mencetuskan respons imun terutama
bergantung pada permeabilitas mukosa saluran cerna. Setiap kondisi yang
mengakibatkan peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna akan
memudahkan reaksi alergi yang lain untuk timbul. Target utamanya ialah pada
epitelium, yang akan menimbulkan perubahan sekresi asam lambung, transpor
ion, produksi mukus, dan fungsi sawar (barrier) fisik mukosa. Secara
struktural, kerusakan mukosa usus ditunjukkan dengan adanya edema,
39
disrupsi enterosit, dan perubahan enzimatik. Pada pemeriksaan endoskopi,
kemungkinan ditemuk an gambaran mukosa hiperemis, edema, bercak-bercak
kemerahan, dan kadangkadang ditemukan perdarahan submukosa.
Pajanan antigen/alergen di dalam lumen usus individu yang telah
tersensitisasi akan menimbulkan degranulasi sel mast, yang selanjutnya
melepaskan mediator-mediator kimia yang kemudian akan berpengaruh
langsung pada epitelium, endotelium, dan otot polos, atau memberi pengaruh
tidak langsung melalui serabut saraf. Keadaan ini merupakan manifestasi
reaksi hipersensitivitas tipe langsung atau cepat yang diperantarai oleh
antibodi IgE. Selain sel mast, sel lainnya (seperti neutrofil dan, khususnya,
eosinofil) ikut berperan dalam memodulasi reaksi hipersensitivitas, baik
secara langsung maupun tidak langsung (berinteraksi dengan sel mast).
Berdasarkan konsep penyakit alergi terbaru yang menyatakan bahwa
penyakit alergi adalah penyakit sistemik dengan menifestasi klinis pada organ
sasaran, tidak tertutup kemungk inan penyak it ini mempunyai manifestasi
klinis pada organ hidung, telinga, dan tenggorok. Gangguan akibat reaksi
hipersensitivitas terhadap makanan pada saluran napas bagian atas dapat
terjadi melalui 3 cara, yakni (1) alergen yang diserap di usus, atau mediator
kimia yang mencetuskan respons hipersensitivitas di usus, dibawa aliran darah
hingga mencapai saluran napas atas, (2) alergen terhirup ke dalam saluran
napas sewaktu makan dan minum, (3) kontak faring dengan alergen ketika
menelan. Keadaan ini membuat diagnosis reaksi alergi makanan pada saluran
napas atas sulit ditegakkan; di samping itu, terdapat reaksi silang antara
beberapa alergen makanan dengan alergen inhalan, yang juga mempersulit
penegakan diagnosis alergi makanan pada saluran napas atas.11,12,13 Reaksi
silang antara makanan dan alergen inhalan yang tersering adalah antara
tepung sari (alergen inhalan) dan molekul makanan yang homolog (seperti
profilin). Tingginya kasus alergi makanan pada bayi dan anak karena pada
40
bayi baru lahir dan anak, terdapat peningkatan permeabilitas mukosa saluran
cerna.9
2.10. Mengapa udara malam hari dan kelelahan dapat memicu asma?
Udara pada malam hari memiliki suhu yang rendah (dingin) yang
dapat memicu Ig E yang berlebihan sehingga terjadi asma alergika yang
ditandai dengan peningkatan Ig E yang merupakan bagian dari sistem
imunitas. Kelelahan juga bisa menurunkan daya tahan tubuh sehingga dengan
ditambah udara malam hari bisa menyebabkan asma alergikanya kambuh.14
2.11. Bagaimana penatalaksanaan kasus?
Gambar 2.7 menunjukkan algoritma tatalaksana rhinitis alergi.16 Hal
terpenting yang harus dilakukan pada penatalakasanaan pasien rhinitis alergi
seperti Iwan adalah menjauhkan pasien dari alergen pencetus. Berdasarkan
data yang didapat dari pemicu, dapat ditarik dugaan bahwa alergen pencetus
rhinitis Iwan adalah tungau debu rumah. Okubo et al. memaparkan beberapa
cara untuk meminimalisir kontak pasien dengan tungau debu rumah sebagai
berikut:17
1. Hindari penggunaan karpet ataupun sofa berbahan kain.
2. Lapisi bantal, matras dan kasur dengan kain anti-tungau
3. Jaga kelembapan ruangan pada 50% dan suhu ruangan pada 20-25oC.
Untuk terapi simtomatik dapat digunakan kortikosteroid intranasal sebagai lini
pertama.16 Scandale & Sur menyatakan bahwa tidak ada studi komparatif yang
menyatakan superioritas satu kortikosteroid intranasal dengan obat serupa
lainnya, namun perlu diperhatikan bahwa beberapa kortikosteroid intranasal
memiliki indikasi yang berbeda tergantung umur pasien. Untuk itu, Iwan
sebaiknya tidak memakai fluticasone propionate (Flonase) ataupun
triamsinolon (Nasacort) karena kedua obat itu diindikasikan untuk anak
berusia 12 tahun ke atas.16
41
Gambar 2.7. Algoritma penatalaksanaan rhinitis alergi.15
42
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hipotesis Diterima
“Reaksi alergi dan asma yang terjadi pada Iwan, Asih, dan Ny. Tati
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, sedangkan Ayah dan Kakak tidak
mengalami keluhan yang sama karena memiliki sistem imun yang adekuat. “
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Karnen GB, Iris R. Imunologi dasar: Antigen dan antibodi. Edisi 10. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI, 2012
2. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC. 2012.
3. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia:
Saunders, 2004.
4. Porth CM & Matfin G. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States.
8th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2009: p. 413.
5. Tortora GJ & Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology. 14 th
edition. John Wiley & Sons, Inc.; 2014: p. 800, 550, 834.
6. McCance KL, Huether SE, Brashers VL & Rote NS. Pathophysiology: The
Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 7th edition. Elsevier; 2014:
p. 1654.
7. Kumar V, Abbas AK & Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9 th edition.
Saunders; 2012.
8. Ring J, Brockow K, Behrend H. Adverse reactions to foods. J Chromatogr B.
2001; 756:3-10.
9. Sampson HA. Food allergy. J Allerg Clin Immunol. 2003; 111(2):540-7.
10. Sjawitri PS. Alergi makanan pada bayi dan anak. Proc. Symposium on
Allergy Clinical Immunology Update. Bekasi, 20-21 Desember 2001; hlm.
165-73.
11. Martinez GA, Castilo PD, Garcia FG, Luna PC, Garcia SJA, Nogales EC.
Prevalence of food allergy/intolerance in children: result from a population
survey. J Allerg Clin Immunol. 2000; 105(1):S130.
12. Mygind N, Dahln R, Pedersen S, Thestrup PK. Essential allergy. 2nd ed.
Oxford: Blackwell Science Ltd, 199; p.131-49.
44
13. Robert GC, Golder NDB, Lack G. Food as aeroallergen in childhood asthma.
J Allergy Clin Imunol. 1999; 103(1):S99.
14. Djojodibroto, D., 2009,Respirologi, EGC, Jakarta
15. Visness CM, London SJ, Daniels JL, Kaufan JS, Yeatts DC, Riz AMS, dkk.
Association of obesity with ige levels and allergy symptoms in children and
adolescent: result from the national health and nutrition examination survey
2005–2006. J Allergy Clin Immunol. 2009;123:1163–9.
16. Sur DK & Scandale S. “Treatment of Allergic Rhinitis”. Am Fam Physician.
2010; 81 (12): p. 1440-6.
17. Okubo K, Kurono Y, Fujieda S, Ogino S, Uchio E, Odajima H et al.
“Japanese Guideline for Allergic Rhinitis”. Allergoloy International vol. 60
no. 2; 2011: p. 171-89.
45