imunoterapi pada rinitis alergi

42
IMUNOTERAPI PADA RINITIS ALERGI Dewi Sinaga , Jusri Mahyuddin Bagian IKTHT- KL FK Unsri/ Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) setelah terjadi paparan alergen pada mukosa hidung. Pengobatan rinitis alergi adalah penghindaran diri terhadap alergen, terapi medikamentosa, dan imunoterapi. Bila cara-cara konservatif tidak berhasil, maka suntikan alergen (imunoterapi) dapat diindikasikan. Prosedur ini berupa penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi. Kata kunci : Rinitis alergi, Alergen, Imunoterapi. Abstract Allergic rhinitis is an inflammatory disease of the nasal mucosa is mediated by immunoglobulin E (IgE) after exposure to allergens in the nasal mucosa. Treatment of allergic rhinitis is avoidance of the allergens, medical treatment, and immunotherapy. When conservative method fail, then injections of allergens (immunotherapy) may be indicated, this procedure of injecting the allergen causes gradually increasing doses in order to induce tolerance in people with allergies. Key word : Allergic rhinitis, Allergen, Immunotherapy 1

Upload: dewi-sinaga

Post on 04-Jan-2016

674 views

Category:

Documents


57 download

DESCRIPTION

ilmiah

TRANSCRIPT

Page 1: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

IMUNOTERAPI PADA RINITIS ALERGI

Dewi Sinaga, Jusri MahyuddinBagian IKTHT- KL FK Unsri/

Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) setelah terjadi paparan alergen pada mukosa hidung. Pengobatan rinitis alergi adalah penghindaran diri terhadap alergen, terapi medikamentosa, dan imunoterapi. Bila cara-cara konservatif tidak berhasil, maka suntikan alergen (imunoterapi) dapat diindikasikan. Prosedur ini berupa penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi.

Kata kunci : Rinitis alergi, Alergen, Imunoterapi.

Abstract

Allergic rhinitis is an inflammatory disease of the nasal mucosa is mediated by immunoglobulin E (IgE) after exposure to allergens in the nasal mucosa. Treatment of allergic rhinitis is avoidance of the allergens, medical treatment, and immunotherapy. When conservative method fail, then injections of allergens (immunotherapy) may be indicated, this procedure of injecting the allergen causes gradually increasing doses in order to induce tolerance in people with allergies.

Key word : Allergic rhinitis, Allergen, Immunotherapy

1

Page 2: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

PENDAHULUAN

Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan

alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang

dapat terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita

dengan puncak pada usia produktif. Prevalensi Rinitis alergi pada dekade terakhir

ini cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk dunia dan lebih dari

500 juta orang menderita penyakit ini yang merupakan salah satu penyebab

terbanyak seseorang mengunjungi dokter umum maupun dokter spesialis telinga

hidung tenggorok-bedah kepala leher.1,2,4

Rinitis alergi muncul ketika membran mukosa terpapar oleh alergen sehingga

memberikan respon yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE), respon ini

memacu pelepasan mediator inflamasi. Rinitis alergi ditandai dengan gejala

karakteristik seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore, rasa gatal, mata merah

dan berair. Rinitis alergi ini banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga,

antara lain asma, urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema, dan penyakit atopi

lainnya.1,2,3,4

Pendekatan terapi telah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah

imunoterapi. Imunoterapi atau desensitisasi atau allergy injection therapy adalah

suatu terapi yang memerlukan proses panjang dari suatu suntikan yang berulang dari

ekstrak alergen yang disuntikkan pada pasien dengan penyakit alergi, yang jelas

faktor alergen pencetusnya, dengan tujuan untuk mengurangi gejala penyakitnya.

Imunoterapi merubah perjalanan penyakit, dan mencegah terjadinya asma pada anak

dengan rinitis alergika. Efek imunoterapi memerlukan waktu lama, tetapi begitu

tercapai, memberikan perbaikan klinis yang berlangsung lama. Imunoterapi untuk

penyakit alergi disebut juga sebagai imunoterapi spesifik karena metode ini

memberikan ekstrak alergen yang sensitif pada penderita untuk merubah atau

mengurangi gejala alergi.6,7

2

Page 3: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

ANATOMI

Struktur bagian luar dari hidung terdiri dari kerangka piramida yang

didukung oleh struktur tulang dan tulang rawan yang memberikan proyeksi hidung

dari bidang wajah. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari

depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Pada dinding

lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior yang terbesar dan letaknya paling

bawah kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka

superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter.

Konka-konka ini, terutama konka inferior cepat merespon terhadap berbagai

rangsangan alergi, nonalergi, dan fisik, merespon mediator inflamasi seperti

histamin, jaringan mukosa cepat mengalami vasodilatasi yang menyebabkan

terjadinya edema konka dan menimbulkan hidung tersumbat.1,5

Lapisan mukosa bagian paling distal rongga hidung terdiri dari epitel, lapisan

tipis keratin, skuamosa berlapis yang membentang kebagian depan rongga hidung

bilateral. Epitel skuamosa ini berisi bulu-bulu halus yang dikenal sebagai vibrissae,

yang terlibat dalam penyaringan partikel-partikel yang lebih besar yang terbawa saat

proses inspirasi. Penyaringan partikel ini terjadi didalam hidung dan nasofaring.8

Bagian proksimal rongga hidung bagian depan adalah area katup hidung

yang merupakan bagian yang paling sempit dari traktus respiratorius. Resistensi

terhadap aliran udara adalah maksimum di daerah ini, sehingga bila ada resistensi

yang berkepanjangan sering terjadi pernafasan mulut sehingga fungsi pembersihan

udara dan fungsi “pengatur kondisi udara” hidung tidak dijalani. Resistensi saluran

udara bronkial akan meningkat bila selaput lendir hidung dan nasofaring mengalami

iritasi.5,8

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional

dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratorius ) dan mukosa penghidu

(mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga

hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai

silia (cilliated pseudostratified collumnar epithelium ), dan diantaranya terdapat sel-

sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan

3

Page 4: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan

normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi

oleh palut lendir (mucous blanket ) pada permukaannya. Dibawah epitel terdapat

tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan

jaringan limfoid.1,5

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas,

arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun

secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman

kapiler periglandular dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini

membuka ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya dilapisi oleh

jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter

otot selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih

dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai

jaringan kavernosa yang erektil yang mudah mengembang dan mengerut,

vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi saraf otonom.1

FISIOLOGI HIDUNG

Hidung mempunyai empat fungsi utama yaitu 1) Sebagai lokasi epitel

olfaktorius. 2) Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian

bawah. 3) Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan

permukaan paru. 4) Sebagai organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri.

Berarti hidung merupakan alat pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya

yang masuk bersama udara pernafasan. Hidung juga berperan sebagai resonator

dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang terserang selesma.1,2,5,8

PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri

dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat

(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya

4

Page 5: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang

berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1,19

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan

menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah diproses

antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul

HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Mayor

Histocompatibility Complex), yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th

0), kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang

akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL4 dan IL 13

dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B

menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi

darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel

mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini

disebut Sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa

yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka ke-2 rantai

IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah

terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain Prostaglandin D2 (PG D2),

Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, Platelet Activating

Factor (PAF) dan berbagai Sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte

macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1,4,19

Histamin akan merangsang reseptor H-1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal di hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

5

Page 6: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Intercellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).1,19

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini

akan berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak

6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan

jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di

mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte

Macrophage Colony Stimulating Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hipereaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat

peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic

Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Mayor Basic Protein

(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini , selain faktor spesifik

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap

rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang

tinggi.1,2,3,4,5

KEKERAPAN

Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 –

25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis

alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan

mempengaruhi 40% anak-anak. Di Amerika Serikat prevalensi rinitis alergi

meningkat setelah usia dekade ketiga berkisar antara 20%-30%.4,11

Di Indonesia angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui karena

sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rinitis

alergi perennial di Jakarta besarnya sekitar 20%, sedangkan menurut Sumarman dan

Haryanto tahun 1999, didaerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98%,

dimana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survey dari ISAAC

(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur

6

Page 7: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

13-14 tahun di semarang tahun 2001-2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18,6%.

Data dipoliklinik THT-KL RSU Dr.Soetomo Surabaya tahun 2006 didapatkan 654

(3,45%) dari 25.254 penderita yang datang berobat.4

KLASIFIKASI

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA (Allergic

Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi :1,4

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu.

2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu.

Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :1,4

1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

DIAGNOSIS

Rinitis alergi secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala-

gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan postnasal

drip ( ingus belakang hidung ) yang kadang-kadang disertai anosmia. Gejala

spesifik lain pada anak ialah adanya bayangan gelap didaerah bawah mata yang

terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic shiner ). Selain

itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan

punggung tangan (allergic salute ). Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan

akan mengakibatkan timbulnya garis melintang didorsum nasi bagian sepertiga

bawah yang disebut allergic crease.1,8,9

Pemeriksaan fisik memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sklera dan

konjungtiva yang merah, daerah gelap periorbita (mata biru alergi), pembengkakan

sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan,

7

Page 8: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

ditemukan juga gambaran klasik seperti edema konka inferior yang khas berwarna

kebiru-biruan. Sekret cair seperti air atau encer jernih. Temuan laboratorium yang

sesuai dengan reaksi imunologik termasuk eosinofil yang meninggi dalam sekret

hidung dan darah tepi, dan peningkatan kadar serum IgE.8,9

Antigen biasanya dapat dikenali dari dasar anamnesis, misalnya perubahan

musim atau gejala setelah paparan. Jika antigen tidak dikenali dengan cara ini dapat

dilakukan uji provokatif. Alergen yang digunakan umumnya berupa inhalan, namun

dapat pula berwujud ingestan atau injektan. Tes kulit dilakukan setelah melakukan

pemeriksaan THT dengan cermat dan teliti untuk menunjang diagnosis rinitis

alergi. Ada dua macam tes kulit yang sering dilakukan yaitu tes kulit cukit atau skin

prick test (SPT) dan tes kulit intradermal. Tes alergi lainnya yaitu pemeriksaan

immunoglobulin E spesifik dengan teknik radioallergosorbent test (RAST).2,3,4,9

Tes kulit Prick adalah tes kulit yang telah direkomendasikan oleh The

European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAAC) dan The US

Joint Council of Allergy Asthma and Immunology (JCCAI) sebagai tes pilihan

primer dan utama untuk menegakkan diagnosis alergi, karena tes kulit memiliki

sensitivitas yang lebih tinggi dari pemeriksaan serologi IgE spesifik, tetapi

pemeriksaan IgE spesifik dapat dikerjakan pada keadaan dimana tes kulit tidak bisa

dilakukan. Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST adalah obyektif dan

mudah diulang, tidak terpengaruh obat-obatan yang diminum maupun adanya

penyakit/ kelainan pada kulit juga sangat aman dilakukan pada penderita dengan

resiko anafilaksis besar, dapat dilakukan pada penderita dalam fase akut. Pada kasus

alergi makanan RAST memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan tes kulit.

Pemeriksaan RAST juga mempunyai kerugian dibandingkan tes kulit yaitu hasil

tidak dapat segera diketahui, kurang sensitif, konsentrasi IgE dalam plasma

bervariasi tergantung paparan alergen, ada kemungkinan hasil false negatif atau

false positif dan biaya pemeriksaan mahal.4

American Academy of Otolaryngologic Allergy (AAOA) 2003

merekomendasikan 4 dasar penentuan diagnosis alergi terhadap alergen inhalan

yaitu :4,19

8

Page 9: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

1. Tujuan dari tes alergi adalah untuk menentukan macam alergen dan juga

untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.

2. Metode tes alergi yang dianjurkan adalah:

- Metode in vivo yaitu Test kulit Prick dan intradermal test.

- Metode in vitro yaitu uji radioalergosorbent (RAST).

3. Pemeriksaan dilakukan oleh tenaga profesional yang telah terlatih

4. Dalam pelaksanaannya harus selalu memperhatikan etika dan biaya

pemeriksaan.

PENATALAKSANAAN

Secara umum ada 3 pilihan penanganan rinitis alergi, yaitu (1) Menghindari alergen

penyebab dan kontrol lingkungan, (2) Farmakoterapi, (3) Imunoterapi.2,5

1. Menghindari Alergen penyebab dan kontrol lingkungan

Terapi yang paling ideal adalah menghindari kontak dengan alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Cara yang ideal untuk meminimalkan

paparan alergen (misalkan serbuk sari ) adalah menghindari kegiatan diluar

rumah selama musim serbuk sari (misalnya saat memotong rumput atau

berkebun). Untuk mengontrol debu, tungau, spora jamur, dan bulu hewan

peliharaan, saran-saran berikut mungkin bisa digunakan yaitu, mengurangi

kelembaban udara dirumah dibawah 50%, misalnya dengan memasang AC,

melarang hewan peliharaan berkeliaran didalam rumah, memasang alat

penyaring udara, membungkus bantal, kasur dengan penutup hipoalergenik/

pelindung plastik (untuk perlindungan tungau dan debu), jika alergi terhadap

debu rumah, sebaiknya jangan menggunakan mebel, karpet, dan tirai yang

sifatnya menampung debu, dan menghisap debu sesering mungkin.2,5,12

2. Farmakoterapi.

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast

yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada

reseptornya di permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang

9

Page 10: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

berperan besar pada timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat,

sedangkan mediator lain yang tergolong newly formed mediator dan mediator

dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase lambat yang menyebabkan inflamasi

dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap berhari-hari. Tujuan

pengobatan rinitis alergi adalah mengurangi gejala akibat paparan alergen,

hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi, perbaikan kualitas hidup penderita

sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari, mengurangi efek samping

pengobatan, edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan

kewaspadaan terhadap penyakitnya, merubah jalannya penyakit dan pengobatan

kausal. Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi berikut ini ada beberapa

terapi untuk rinitis alergi :5

a. Antihistamin

Antihistamin sering digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pengobatan

rinitis alergi, antihistamin yang digunakan adalah antagonis histamin H-1 yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, antihistamin

efektif pada reaksi fase awal karena efeknya mengurangi bersin, rinore, dan

gatal-gatal, tetapi sedikit efeknya terhadap gejala obstruksi hidung pada fase

lambat.1,2,4,9,21

b. Kortikosteroid intranasal.

Kortikosteroid intranasal merupakan obat yang paling efektif meringankan

gejala rinitis alergi, dapat mengurangi gejala bersin, rinore, gatal dan hidung

tersumbat. Efek maksimal dapat berlangsung dari 1 hingga 2 minggu setelah

onset penggunaannya. Efektifitas terapi tergantung pada penggunaan yang teratur

dan aplikasi yang memadai pada rongga hidung. Obat ini mempunyai

penyerapan yang minimal secara sistemik dan tanpa efek samping sistemik, dan

dapat digunakan pada anak-anak, tidak mempengaruhi pertumbuhan tulang pada

anak-anak. Efek samping lokal seperti kekeringan, dan epistaksis. Contoh obat

ini adalah: triamsinolon, budesonide, flutikason, mometason.1,2,3,4,9,21

c. Kortikosteroid Sistemik.

10

Page 11: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

Kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan untuk kasus rinitis alergi yang

berat, dimana gejala yang timbul sulit teratasi, dapat diberikan secara oral

maupun intramuskular. Untuk pemberian jangka panjang, dosis tappering off

setelah pemberian 3-7 hari. Kortikosteroid sistemik mengatasi proses inflamasi

dan secara signifikan efektif mengatasi semua gejala rhinitis alergi.2,3,4,5,21

d. Dekongestan.

Dekongestan bekerja pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung yang

menghasilkan efek vasokonstriksi sehingga mengurangi gejala obstruksi hidung

(turbinate congestion), dapat mengurangi patensi hidung tetapi tidak

meringankan rinore, gatal dan bersin. Dekongestan intranasal misalnya

oxymetazoline, bila terlalu sering digunakan dapat menyebabkan berulangnya

obstruksi hidung (rebound nasal congestion) dan ada efek ketergantungan jika

digunakan lebih dari 3-4 hari (rinitis medikamentosa).2,3,4,5,9,21

e. Antikolinergik intranasal.

Obat ini cendrung hanya mengontrol gejala rinore, dan tidak memiliki efek

lain terhadap gejala alergi. Salah satu yang paling umum digunakan adalah

ipratropium bromide. Obat ini dapat dikombinasikan dengan obat anti alergi lain

untuk mengontrol rinore pada rinitis alergi perrenial.2,21

f. Kromolin intranasal.

Kromolin intranasal (misalnya Nasalcrom) efektif digunakan sebelum

timbulnya gejala rinitis alergi karena bekerja menstabilkan dan menghambat

degranulasi sel mast, bersifat profilaksis dan efektif pada rinitis alergi seasonal

dan biasanya diberikan pada pasien dengan keluhan ringan.2,21

g. Leukotrine inhibitor.

Obatnya adalah Montelukast, merupakan obat baru untuk pengobatan rinitis

alergi. Sampai saat ini, studi klinis telah menunjukkan keberhasilan yang lebih

besar dibandingkan placebo, tetapi kurang efektif dibandingkan antihistamin dan

steroid intranasal dalam pengobatan rinitis alergi.1,2,5,9,21

3. Imunoterapi

a. Sejarah Imunoterapi

11

Page 12: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

Noon dan Freeman melaporkan Imunoterapi Alergen untuk pertama kali pada

tahun 1910 dan melakukan pembuatan ekstrak grass polen dan disuntikkan

dengan dosis yang meningkat pada penderita rinitis alergi. Sejak itu digunakan

selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan

oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rinitis dan juga asma alergi, tetapi

tidak diindikasikan pada alergi makanan. Cooke dari Amerika Serikat tahun 1918

melaporkan suatu kondisi alergi seperti Hay fever dan asma yang berasal dari

antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Cooke pada tahun 1922

juga mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan

hal ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini. Cooke tahun 1935

mengemukakan konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat

pada pemberian imunoterapi.6,7

b. Mekanisme kerja Imunoterapi.

Prinsip pertama dari imunoterapi adalah bahwa efektifitas klinis tergantung

dosis, dosis minimal tertentu dari ekstrak alergen harus diberikan untuk

mendapatkan suatu kontrol gejala yang efektif. Ekstrak alergen ini dibuat dengan

proses yang khusus dengan mencampurkan sumber material alergen (pollen,

mold spores, dust mites, animal pelt) pada cairan buffer untuk mengekstraksi

komponen yang larut dalam air. Pada saat ini banyak ekstrak alergen komersial

dibawah lisensi FDA yang dijual dipasaran.7,13

Efek terapi meningkat bersamaan dengan lamanya pengobatan. Perbaikan

yang nyata biasanya baru tampak setelah terapi diberikan 6 bulan atau lebih.

Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menaikkan dosis alergen yang

terkecil yang ditoleransi sampai konsentrasi 10.000 kali untuk mencapai kadar

yang memberi efek klinis dan imunologis. Efek klinis terus meningkat sampai

beberapa tahun setelah penyuntikkan dihentikan. Lamanya penyuntikan ini perlu

dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum memulai terapi. Pemberian

dosis meningkat umumnya dilakukan tiap minggu, namun ada juga yang

memberikan dengan cara setiap hari dalam seminggu, dilanjutkan 1 minggu

istirahat kemudian disusul seminggu setiap hari. Cara ini disebut semi rush

12

Page 13: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

protocol. Ada juga yang memberikan semua peningkatan dosis sampai rumatan

dalam 1 hari. Cara ini disebut sebagai rush protocol. 7,13

Sebagian besar gejala pasien berkurang, dan imunoterapi hanya mengurangi

beratnya gejala tetapi tidak menghilangkannya. Reaksi anafilaksis yang bersifat

sistemik sering dilaporkan, tetapi biasanya ringan. Reaksi ini sangat mungkin

terjadi oleh karena pasien diberikan alergen yang berdasarkan pemeriksaan

RAST dan tes kulit memang sensitif, serta diberikan penyuntikan secara

berulang. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya reaksi anafilaksis pasien harus

menunggu 20-30 menit, baru boleh pulang. Penelitian sedang dilakukan dengan

penambahan ajuvan untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi, dan

memodifikasi alergen untuk mengurangi resiko reaksi anafilaksis yang berat

misalnya secara sublingual.7,13

Gambar: Mekanisme Imunoterapi, dikutip Allergology International Journal

Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui.

Beberapa mekanisme imunoterapi telah dikemukakan untuk menerangkan

keberhasilan imunoterapi yaitu, Induksi pembentukan IgG (blocking antibody),

penurunan produksi IgE, penurunan pengerahan sel efektor, perubahan

13

Page 14: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1), induksi terjadinya sel T

regulator, anergi sel T. Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil

peningkatan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum

seperti tungau, serbuk sari, atau bulu hewan. Pajanan berulang terhadap alergen

secara bermakna akan meningkatkan prevalensi asma. Imunoterapi bekerja pada

antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik meningkat sementara pada awal

pemberian imunoterapi, tetapi menurun setelah dosis rumatan. Reaksi cepat kulit

menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya dalam perbaikan klinis.

Dipihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara nyata setelah

imunoterapi. Imunoterapi juga menginduksi IgG spesifik terhadap alergen,

berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah

dengan perbaikan klinis. IgG terutama meningkat berkorelasi dengan

peningkatan dosis.3,7,14,18,20

Imunoterapi rupanya mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini

menerangkan mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan walaupun

penurunan antibodi tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini beberapa

formula baru imunoterapi telah dirancang dengan menggunakan peptide sel T

atau bentuk konjugasi alergen untuk menggeser sitokin kearah pola Th1.

Imunoterapi spesifik sangat efektif untuk rinitis alergi jika penyebabnya terbatas.

Seperti penggunaan untuk penyakit lain, sangat penting dilakukan pemilihan

pasien yang tepat. Efektifitas imunoterapi terhadap rinitis alergi musiman

(Seasonal Allergic Rhinitis) terutama yang gagal pengobatan konvensional, telah

banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang telah ada menunjukkan

bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada rinitis alergika cukup efektif

memberi penyembuhan, dan khasiatnya masih bertahan sampai 6 tahun setelah

imunoterapi dihentikan. Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional

yang biasanya berhenti khasiatnya begitu pengobatan dihentikan.7,14

Kegunaan imunoterapi untuk rinitis alergi perennial kurang memuaskan

dibanding rinitis alergi musiman. Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya

faktor penyebab rinitis alergi perennial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu

14

Page 15: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

instabilitas vasomotor, infeksi, dan, sensitifas terhadap aspirin. Beberapa

penelitian membuktikan adanya perbaikan toleransi terhadap paparan dengan

bulu kucing, baik melalui uji provokasi maupun klinis. Terdapat peningkatan

kadar IgG spesifik terhadap alergen dalam bulan-bulan pertama imunoterapi.

Diperkirakan alergen spesifik IgG ini berfungsi sebagai blocking antibodi dengan

menghalangi antigen berikatan dengan IgE. Imunoterapi juga berperan pada

keseimbangan aksis Th1/Th2, dengan bergeser kearah Th1. Seperti diketahui

fenotipe interleukin Th2 dihubungkan dengan peningkatan penyakit alergi, dan

produksi interleukin Th1 berpengaruh pada proteksi. Imunoterapi juga

mempunyai pengaruh pada sel mast, basofil dan eosinofil. Terdapat penurunan

yang sangat menyolok dari sel mast dan basofil, juga terjadi penurunan eosinofil

dari sekresi nasal dan spesimen bronkial.7

c. Indikasi Imunoterapi.

Imunoterapi pada rinitis alergi hanya diberikan bilamana telah dilakukan

penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian medikamentosa

secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya terapi. Imunoterapi pada

rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis alergi yang intermiten

maupun persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala

tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan. Imunoterapi tidak

dilakukan pada keadaan auto imun, kelainan jantung, ada riwayat anafilaksis

sebelum melakukan imunoterapi, keadaan klinis yang tidak adekuat untuk

melakukan imunoterapi, serta keterbatasan fasilitas dan kelengkapan untuk

melakukan resusitasi.3,4,5,13,18

Indikasi imunoterapi adalah untuk penyandang rinitis atau asma alergi yang

disebabkan oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah dijamin

efektifitas dan keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi juga di

indikasikan sebagai profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap alergen

selama musim pollen atau perrenial.17

Kontra indikasi relatif imunoterapi adalah sebagai berikut :3,7

1. Anak dibawah usia 5 tahun

15

Page 16: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

2. Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai imunoterapi, akan

tetapi bila imunoterapi telah dilakukan sebelum kehamilan

maka dapat diteruskan .

3. Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif

termasuk aspergilosis bronkopulmoner alergi

4. Keadaan imunodefisiensi yang berat

5. Keganasan

6. Kelainan psikiatri yang berat

7. Pengobatan dengan penyekat beta, karena reaksi anafilaksis

keadaan akan memberat dan sulit diatasi dengan cara

konvensional

8. Pasien tidak patuh

9. Pasien mengalami efek samping yang berat yang berulang

selama terapi

10. Asma berat yang tidak terkontrol dengan farmakoterapi

11. Penyakit kronik saluran pernafasan dengan volume ekspirasi

paksa detik- 1(VEP1) < 70% prediksi walaupun telah

mendapatkan farmakoterapi yang optimal

12. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler berat yang disebabkan

oleh efek anafilaksis terhadap miokardium. Hipotensi dan

vasokonstriksi pulmoner akan menambah beban jantung juga

perfusi miokardium sendiri akan berkurang.

d. Jenis Imunoterapi.

Jenis-jenis Imunoterapi Alergen Spesifik :13

a). Subcutaneous conventional immunotherapy

b). Subcutaneous cluster immunotherapy

c). Subcutaneous rush immunotherapy

d). Subcutaneous ultra rush immunotherapy

e). Immunotherapy Sublingual swallow

f). Intra nasal immunotherapy

16

Page 17: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

Cluster schedules immunotherapy (skedul tandan) ditandai dengan 2 atau

lebih penyuntikan diberikan pada satu kunjungan, sehingga untuk mencapai

dosis pemeliharaan waktu lebih cepat dapat dicapai dibanding skedul

konvensional (Summary).14

Rush immunotherapy (Imunoterapi sangat cepat) adalah rancangan

imunoterapi :

1) Dosis peningkatan dipercepat

2) Pemberian tambahan dosis alergen berulang bertingkat pada

setiap kunjungan dengan interval waktu suntikan bervariasi

antara 15 dan 60 menit.

3) Interval waktu kunjungan 1 sampai 3 hari sampai target dosis

terapeutik/ pemeliharaan dicapai.

4) Dosis pemeliharaan dimungkinkan tercapai dalam waktu 6 hari,

namun pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, karena

lebih sering diikuti reaksi sistemik.13

Ultra rush immunotherapy schedules telah dikerjakan pada hipersensitifitas

sengatan serangga untuk mencapai dosis pemeliharaan dalam waktu lebih

singkat (3,5 sampai 4 jam). Local nasal aeroallergen immunotherapy,

merupakan bentuk imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen

yang disemprotkan ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek

samping yang timbul berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada penelitian

yang merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu imunoterapi.3,5,7,13

Sublingual Immunotherapy, adalah cara lain imunoterapi.

Sebagai alternatif pemberian yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah

ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau

sublingual. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah respons

limfosit T terhadap alergen. Pemberian imunoterapi sublingual ternyata lebih

hemat, lebih aman, dan nyaman bagi pasien serta tidak memerlukan supervise

medis dalam pelaksanaan tetapi efektifitasnya lebih rendah daripada

imunoterapi suntikan.3,10,15,16

17

Page 18: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

e. Prosedur Pemberian.

Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan

pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis

yang telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang imunoterapi.

Untuk persiapan pasien dapat mengikuti petunjuk dibawah ini:7

1) Identifikasi pasien, kehadiran, memanggil nama lengkap dan

mencocokkan tanggal lahir atau nomor pasien.

2) Apakah ada riwayat terjadi reaksi pada pemberian terakhir.

3) Terapkan aturan “3 benar” yaitu: kartu (chart) yang benar,

antigen benar, pasien benar

4) Triple check antigen, yakni: label, nama pasien, isi

pengenceran, tanggal kadaluarsa, tanggal penyuntikan terakhir.

Sebelum melakukan imunoterapi, harus memahami sebagai berikut:

a. Cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi

b. Cara penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik

c. Telah mendapat pelatihan resusitasi jantung paru

d. Memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomanometer,

jarum suntik, epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral

airway, cairan intravena, set infuse, set trakeotomi, nebulizer,

dan obat bronkodilator inhalasi.

Langkah melakukan imunoterapi sebagai berikut:7,13

1. Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara

bergantian pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit

0,5-1,0 ml untuk pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk

dan jarum 27 G untuk kenyamanan pasien, Jarum disuntikkan dan

setelah masuk pada posisi subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah

teraspirasi maka semprit tersebut harus dibuang dan prosedur dimulai

lagi dari awal. Semprit yang digunakan harus berbeda untuk setiap

pasien untuk mencegah penularan penyakit infeksi. Setelah

penyuntikan pasien diminta menunggu selama 20-30 menit untuk

18

Page 19: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam periode

tersebut. Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus

diobservasi selama 30 menit atau lebih.

2. Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur

(idealnya kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini

akan mengencerkan kadar setiap alergen dan dapat mengurangi

respons terhadap imunoterapi.

3. Jenis alergen yang diberikan tergantung penilaian klinisi didasarkan

pada jenis alergen yang memberi hasil positif pada uji kulit dan yang

menimbulkan gejala klinis bila terpajan. Jenis alergen yang dapat

diberikan secara injeksi subkutan adalah bermacam jenis serbuk sari

(pollen), tungau debu rumah dan bulu kucing.

4. Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua kali seminggu dengan

dosis awal dimulai dengan 0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000

sampai 1:1.000.000 berat/volume (wt/vol) ditingkatkan sampai

tercapai dosis pemeliharaan yaitu 0,05 ml alergen konsentrasi 1:100.

Lama penyuntikan 6-10 bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan.

5. Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval 2-4 minggu selama 3-5

tahun dan berdasarkan penelitian, cukup untuk memberikan

perlindungan jangka panjang pada hampir semua pasien (cara

lambat).

6. Pemberian imunoterapi dengan cara cepat, dilakukan dengan

menyuntikkan alergen 4 kali sehari dengan interval ½ jam dan

diulang setelah 2 minggu. Respons antibodi yang diinginkan terjadi

setelah 5 kali kunjungan.

7. Cara Cluster merupakan modifikasi cara lambat dan cara cepat

dengan memberikan 2-4 kali suntikan dalam sehari, diulang setelah

1-2 minggu sampai dosis maksimal dan dipertahankan dengan dosis

pemeliharaan.

f. Dosis dan Cara pemberian

19

Page 20: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari

dosis yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi

sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang

masih ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan dengan

penyuntikan 1 minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau terjadi

reaksi sistemik, maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis maksimum yang

dapat ditoleransi. Sekali dosis pemeliharaan tercapai, biasanya terapi akan

dilanjutkan dalam 3 tahun atau lebih. Kalau seorang anak sudah dapat

mentoleransi paparan alergen tanpa menimbulkan serangan, maka imunoterapi

dapat dihentikan.7,13,17,18

Pasien yang menjalani dosis pemeliharaan imunoterapi perlu :13

1) Kontrol ulang sekurang-kurangnya 6 atau 12 bulan.

2) Kontrol periodik perlu meliputi pengukuran gejala, dan

penggunaan obat-obatan, riwayat penyakit sejak kontrol terakhir dan

evaluasi klinis imunoterapi.

3) Dipertimbangkan dosis dan rancangan imunoterapi, dicatat

riwayat reaksi imunoterapi dan ketaatan pasien.

4) Pada keadaan seperti adanya reaksi sistemik dan pasien kurang

taat, perlu mempertimbangkan kembali rancangan imunoterapi.

5) Belum ada petanda spesifik sebagai penduga siapa yang akan

tetap dalam kondisi remisi klinis setelah penghentian imunoterapi

yang efektif.

6) Beberapa pasien akan tetap dalam keadaan remisi seperti gejala-

gejala terakhir pada saat penghentian alergen imunoterapi.

7) Seperti halnya pada keputusan mulai menjalani imunoterapi,

keputusan untuk menghentikan imunoterapi juga harus bersifat

individualistic.

8) Memperhatikan faktor-faktor tingkat beratnya penyakit sebelum

pengobatan, manfaat pengobatan yang terus menerus (sustained), dan

penggangguan (inconvenience) dari imunoterapi pada pasien tertentu.

20

Page 21: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

9) Efek potensial kekambuhan klinis yang mungkin terjadi pada

pasien tersebut.

10) Lamanya imunoterapi harus individual berdasarkan : Respon

klinis pasien terhadap imunoterapi, beratnya penyakit terhadap

imunoterapi, riwayat respon klinis pasien, riwayat reaksi imunoterapi

dan tergantung keinginan maupun keputusan pasien.

g. Efek Samping.

Efek samping setelah imunoterapi bisa berupa reaksi lokal maupun

sistemik. Suatu penelitian melaporkan bahwa 3 sampai 7% pasien dapat

mengalami reaksi sistemik, dimana reaksi sistemik dapat ringan atau berat

(anafilaksis) dan dapat terjadi pada setiap 250 sampai 1600 penyuntikan,

umumnya reaksi berat sistemik terjadi dalam waktu 30 menit setelah

suntikan, tetapi dapat juga terjadi setelah 30 menit, sekitar 40-70% dapat

mengenai saluran pernafasan (stridor, rinitis, mengi) dan hampir 10%

disertai hipotensi. Reaksi yang fatal dapat terjadi pada 1:2 juta atau 1:3 juta

suntikan. Reaksi yang tersering terjadi pada waktu pemberian dosis

pemeliharaan. Reaksi lebih sering terjadi pada anak remaja dan pada waktu

pajanan terhadap alergen tinggi. Faktor resiko untuk terjadinya reaksi berat

antara lain asma berat, usia kurang dari 5 tahun dan penggunaan beta bloker.

Untuk alasan ini, penyuntikan harus dilakukan di fasilitas kesehatan dan oleh

orang yang mengetahui dan dapat mengenali dan mengatasi reaksi sistemik

anafilaksis. Harus tersedia fasilitas minimal untuk resusitasi. Setelah

penyuntikan, pasien harus menunggu selama 30 menit, dan diawasi bila

tampak tanda reaksi alergi. Penyuntikan sebaiknya tidak dilakukan

dirumah.3,7,13

Reaksi lokal yaitu kemerahan dan pembengkakan (urtikaria) pada

tempat suntikan yang menimbulkan sedikit keluhan. Pengobatan dengan

melakukan kompres dingin, pemberian antihistamin oral, steroid topikal dan

pengurangan dosis. Reaksi vasovagal meliputi penurunan tekanan darah

dengan perlambatan frekuensi nadi, kulit menjadi dingin atau hangat disertai

21

Page 22: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

pengeluaran keringat tanpa timbul urtikaria atau angioedema. Reaksi

vasovagal tidak memerlukan pengobatan dan modifikasi dosis karena segera

memberi respon dengan menelentangkan pasien. Adrenalin merupakan

pengobatan pilihan pada anafilaksis, lebih baik diberikan secara

intramuskular, walaupun suntikan subkutan juga dapat diterima.

Antihistamin dan kortikosteroid sistemik merupakan pengobatan sekunder,

yang mampu menolong memodifikasi reaksi sistemik, tetapi tidak boleh

menggantikan epinefrin pada pengobatan anafilaksis. Infus NaCl fisiologis

atau pemberian oksigen perlu diberikan pada kasus berat.13

Dosis imunoterapi dan tahapannya harus dievaluasi setelah terjadinya

reaksi sistemik terinduksi alergen spesifik imunoterapi. Setelah reaksi

sistemik, untuk beberapa pasien dosis pemeliharaan imunoterapi perlu

dikurangi karena dapat terjadi reaksi sistemik berulang akibat imunoterapi.

Bahkan setelah reaksi sistemik berat, pertimbangkan penghentian

imunoterapi.13

KESIMPULAN

1. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai

oleh Imunoglobulin E (IgE), dan biasanya berpengaruh pada kualitas hidup.

2. Diagnosis Rinitis Alergi melibatkan anamneses dan pemeriksaan klinis yang

cermat (pemeriksaan fisik THT-KL) dan pemeriksaan penunjang.

3. Imunoterapi merupakan pengobatan yang sangat efektif pada pasien Rinitis

Alergi.

22

Page 23: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

4. Mekanisme kerja imunoterapi adalah memberikan efek imunologi yaitu

menginduksi antibodi penghalang yang bersaing dengan IgE, menurunkan

IgE, memodulasi sel mast dan basofil dan peningkatan aktivitas limfosit T

supresor, sehingga terjadi penurunan respon alergi.

5. Imunoterapi alergen diberikan dengan cara suntikan subkutan tetapi

disamping itu ada cara lain yaitu lokal nasal dan sublingual oral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N ,Kasakeyan E, Rusmono N: Rinitis Alergi: Soepardi EA,Iskandar

N,Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-6, Jakarta: FK UI,2007,h.118-

22,128-34.

2. Shah SB.Nonallergik dan Allergic rhinitis in: Lalwani AK,editor:Current

Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd . McGraw-Hill 2008.p.264-72.

23

Page 24: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

3. Lee KJ. Immunology and Allergy in: Lee KJ,editor.Essential

Otolaryngology Head and Neck Surgery 8th. McGraw-Hill 2003.p 486-04.

4. Pawarti DR.Diagnosis Rinitis Alergi. Kumpulan Naskah Ilmiah Alergi

Imunologi-Rinologi,Surabaya 2009.h.1-11.

5. Krouse JH.Allergic and Non Allergic Rhinitis in: Bayle, Byron J.editor.Head

and Neck Surgery-Otolaryngology 4th. Lippincott William 2006.p.352-56.

6. Harsono A. Perkembangan Baru Imunoterapi, dalam: Divisi Alergi

Imunologi Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr Soetomo FK UNAIR/ RSU Dr

soetomo Surabaya.

7. Judarwanto W. Penggunaan Imunoterapi pada penderita Alergi.in:Children’s

Allergic Clinic. Available at: htpp://www.children allergy

clinic.wordpress.com.2010.

8. Ballenger JJ. Reaksi alergi : Bernstein JM,Ed. Penyakit THT Kepala dan

Leher jilid 1. edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1999.h.1-17,163-72.

9. Blumenthal MN. Kelainan Alergi pada pasien THT.dalam : Boies LR,Adam

GL,Higler PA,Ed. Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke-6, Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC,1997,h.190-98.

10. Wikipedia. Sublingual Immunotherapy. Available at :htpp : // en.wikipedia.

org./ wiki. article = D 003888, 2007.

11. Yahency, Movieta. Prevalensi dan Faktor resiko alergi pada anak usia 6-7

tahun di Semarang. Available at: http :// eprints.Undip.ac.id/ article = 12552,

2005.

12. Nurcahyo. Reaksi Alergi. Available at : htpp : // www. Indonesiaindonesia.

com. 2000.

13. Sumarman J. Update Guideline 2007 on Allergen Spesifik Immunotherapy in

Allergic Rhinitis. Kumpulan naskah ilmiah Alergi- Imunology-Rinologi,

Surabaya 2009. 23-37.

14. Jayaseker NP et all . Mechanism of Immunotherapy in Allergic Rhinitis.

Biomedicine and Pharmacotherapy 2007.

24

Page 25: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

15. Canonica GW, Passalacque G. Sublingual Immunotherapy in the treatment of

adult allergic rhinitis patient : A Review article.Journal Compilation .2006:

20-22.

16. Martinez AB et all. Sublingual immunotherapy in Seasonal Allergic rhinitis.

Acta Otorrinolaringology. Esp 2005;56; 112-15

17. Burton MJ, Krouse JH et all, Ekstract from the Cochrane Library :Allergen

Injection Immunotherapy for Seasonal allergic rhinitis. review:

otolaryngology head and Neck Surgery.2007.136; 511-14

18. Dhanasekar G,Izzat AB et all, Immunotherapy for allergic rhinitis. review:

The Journal of Laryngology and Otology.okt 2005;119;799-804.

19. Kim MY,Leong JL.Evidence –Based Practise. review article: J Singapore

Med.2010; 51;542-48.

20. Fujimura T,Okamoto Y. Antigen Spesifik Immunotherapy against Allergic

Rhinitis. J Allergology International. 2010;59;1-9

21. Lekman JM, Liebermen P. Office-Based Management of Allergic rhinitis in

Adult. The American Journal of medicine. 2007;120;659-663.

.

25

Page 26: Imunoterapi Pada Rinitis Alergi

26