lapkas rhinitis alergi
DESCRIPTION
rhinitisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anatomi
Sistem respirasi adalah pengangkutan gas ke dan dari sel-sel. Dalam pengangkutan gas
ini melewati alat-alat pernapasan. Alat-alat pernapasan terdiri dari rongga hidung, faring, laring,
dan trakea.dari paru-paru yang akan terjadi pertukaran gas secara langsung antara udara dan
darah. Sebagian besar saluran pernapasan bronkus, terdapat didalam paru-paru. Laring juga
berfungsi sebagai produksi suara. Alat penghidu (hidung) mengontrol udara penarikan napas.1
Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Dari sudut klinik,
rongga mulut sering kali juga diikut sertakan dalam struktur saluran pernapasan bagian atas.
Bagian yang kedua adalah saluran napas bagian bawah yang terletak di leher dan batang
badan(trakea, bronkus, dan paru-paru).1
Hidung
Gambar 1. Anatomi Hidung 2
1
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) Pangkal
hidung (bridge), 2) Batang hidung (dorsum nasi), 3) Puncak hidung (hip), 4) Ala nasi, 5)
kolumela dan 6) Lubang hidung (nares anterior). Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 4) tepi anterior kartilago
septum.2
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunuyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise.2
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.2
Batas rongga hidung2
Dinding inferior adalah dasar dari rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan
lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) dan
tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sfenoid.2
Kompleks OstioMeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulm etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi
dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan
drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan
frontal.Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis
yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.2
Gambar 2 Perdarahan Hidung2
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.1,2
3
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.
labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.2,3
Gambar 3 Persarafan Hidung 2
Vena-vena hidung mempunyai nama sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.2
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. Oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion
sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf
sensoris dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari n. ofaktorius. Saraf ini
turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.2,3
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
A. Status Pasien
1. Identitas Pasien
Nama : An. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 12 tahun
Alamat : Haurwangi
Tanggal ke RS : 7 April 2016
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Bersin-bersin terus-menerus sejak 7 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Os dating ke poli THT RSUD Cianjur dengan keluhan bersin-bersin terus-menerus
sejak 7 bulan yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin timbul pada
waktu yang tidak menentu, baik pagi, siang, maupun malam. Bersin meningkat
apabila terpapar debu dan cuaca dingin. Bersin 3-4 kali dalam seminggu. Keluhan
disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan
cairan berwarna bening, encer dan banyak, tidak berbau. Keluhan tidak disertai
dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.
Riwayat Penyakit Dahulu :
OS belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Di dalam keluarga tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama
6
Riwayat Alergi :
OS memiliki alergi terhadap debu dan udara yang dingin. Alergi terhadap makanan
dan obat-obatan disangkal.
Riwayat Pengobatan :
OS belum pernah berobat ke dokter maupun minum obat apapun.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Berat badan : 14 kg
Tanda – tanda vital : TD = tidak dilakukan
RR = 32x/mnt
N = 100x/mnt, reguler, isi cukup
S = 36,60C
STATUS GENERALIS
Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata
Konjungtiva tidak anemis, ikterik (-/-).
Thoraks
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris dextra-sinistra
7
Palpasi : fokal fremitus dextra-sinistra sama
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : vesikuler dextra-sinistra, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V sinistra, kuat angkat
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung I–II, murni, regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, asites hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas
- Atas : hangat (+/+), udema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)
- Bawah : hangat (+/+), udema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)
STATUS LOKALIS THT
TELINGA
8
AD TELINGA AS
Normotia,
helix sign (-),
tragus sign (-)
Aurikula Normotia,
helix sign (-),
tragus sign (-)
Peradangan (-),
pus (-),
nyeri tekan (-),
fistula (-),
pembesaran KGB (-)
Preaurikula Peradangan (-),
pus (-),
nyeri tekan (-),
fistula (-),
pembesaran KGB (-)
Tenang,
edema(-),
fistel(-),
sikatriks(-),
nyeri tekan(-)
Retroaurikula Tenang,
edema(-),
fistel(-),
sikatriks(-),
nyeri tekan(-)
Hiperemis(-),
edema(-),
sekret(-),
serumen (-),
MAE
Hiperemis(-),
edema(-),
serumen(-),
sekret(-),
9
massa(-) massa(-)
Hiperemis (-),
edema(-),
serumen(-),
sekret (-),
massa(-)
KAE Hiperemis (-),
edema(-),
serumen(-),
sekret (-),
massa(-)
Intak,
refleks cahaya (+) di
jam 5,
hiperemis (-),
retraksi (-)
Membran timpani Intak,
refleks cahaya (+) di
jam 7,
hiperemis (-),
retraksi (-)
+ Uji Rinne +
Lateralisasi (-) Uji Weber Lateralisasi (-)
Sama dengan
pemeriksa
Uji Schwabach Sama dengan
pemeriksa
10
Interpretasi: AD/AS dalam batas normal
HIDUNG
Rhinoskopi anterior
Dekstra Rinoskopi anterior Sinistra
Hiperemis (-) Mukosa Hiperemis (+)
+ Sekret +
Eutrofi Konka inferior Hipertrofi
Deviasi (-) Septum Deviasi (-)
(-) Massa (-)
(+) Passase udara (+)
Sinus paranasal
• Inspeksi : Pembengkakan kedua pipi (-), kemerahan kelopak mata bawah (-),
pembengkakan kelopak mata atas (-)
• Palpasi : Nyeri tekan pipi (-), nyeri ketuk pipi (-), nyeri tekan medial atap orbita (-), nyeri
tekan kantus medius (-)
11
Tes penciuman
• Kanan : 5 cm (kopi)
• Kiri : 5 cm (kopi)
• Kesan : Hiposmia
Transiluminasi
• Sinus maksilaris : terang/terang, bulan sabit
• Sinus frontalis : terang/terang, sarang tawon
TENGGOROK
Nasofaring (Rinoskopi posterior)
Konka superior tidak dilakukan
Torus tubarius tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller tidak dilakukan
Plika tidak dilakukan
12
salfingofaringeal
Orofaring
Dekstra Pemeriksaan
Orofaring
Sinistra
Mulut
Hiperemis (-) Mukosa mulut Hiperemis (-)
Simetris (normal)
bersih, basah
Lidah Simetris (normal)
bersih, basah
Simetris (normal)
tenang
Palatum molle Simetris (normal)
tenang
Karies (-) Gigi geligi Karies (-)
Simetris (normal)
bersih
Uvula Simetris (normal)
bersih
Tonsil
Tenang Mukosa Tenang
13
T1 Besar T1
Tidak melebar Kripta Tidak melebar
- Detritus -
- Perlengketan -
Faring
Tenang Mukosa Tenang
+ Granula +
- Post nasal drip -
TES PENGECAPAN
Manis Normal
Asam Normal
Asin Normal
Pahit Normal
14
Laringofaring (Laringoskopi indirect)
Epiglotis tidak dilakukan
Plika
ariepiglotika
tidak dilakukan
Plika
ventrikularis
tidak dilakukan
Plika vokalis tidak dilakukan
Rima glotis tidak dilakukan
MAKSILOFASIAL
Dekstra Nervus Sinistra
(+)
I. Olfaktorius
Penciuman
(-)
15
(+)
(+)
II. Optikus
Daya penglihatan
Refleks pupil
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
III. Okulomotorius
Membuka kelopak mata
Gerakan bola mata ke superior
Gerakan bola mata ke inferior
Gerakan bola mata ke medial
Gerakan bola mata ke laterosuperior
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
IV. Troklearis
Gerakan bola mata ke lateroinferior
(+)
(+)
(+)
(+)
V. Trigeminal
Tes sensoris
– Cabang oftalmikus (V1)
– Cabang maksila (V2)
– Cabang mandibula (V3)
(+)
(+)
(+)
16
(+)
VI. Abdusen
Gerakan bola mata ke lateral
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
VII. Fasialis
Mengangkat alis
Kerutan dahi
Menunjukkan gigi
Daya kecap lidah 2/3 anterior
(+)
(+)
(+)
(+)
Normal
VIII. Akustikus
Tes garpu tala
Normal
(+)
(+)
IX. Glossofaringeal
Refleks muntah
Daya kecap lidah 1/3 posterior
(+)
(+)
(+)
(-)
Simetris
X. Vagus
Refleks muntah dan menelan
Deviasi uvula
Pergerakan palatum
(+)
(-)
Simetris
17
(+)
(+)
XI. Assesorius
Memalingkan kepala
Kekuatan bahu
(+)
(+)
(-)
(-)
XII. Hipoglossus
Tremor lidah
Deviasi lidah
(-)
(-)
LEHER
Dekstra Pemeriksaan Sinistra
Pembesaran (-) Tiroid Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis Pembesaran (+)
18
superior
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar
supraklavikularis
Pembesaran (-)
Resume:
Pasien anak perempuan usia 12 tahun datang ke poli THT Cianjur dengan keluhan bersin
terus-menerus. Bersin meningkat apabila terpapar debu dan udara dingin. Keluhan disertai
dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan cairan berwarna
bening, encer, banyak, tidak berbau. Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri
kepala dan penurunan fungsi pendengaran.
Pemeriksaan Penunjang:
Hematologi lengkap
Diagnosis Banding :
1. Rhinitis Alergi
2. Rhinitis Vasomotor
19
Diagnosis Kerja :
Rhinitis Alergi
Terapi :
1. Menghindari allergen penyebab
2. Nasacort nasal spray
3. Cetirizine 2 x 5mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
RINITIS ALERGI
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu
20
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Priquet,
1986).
Definisi menurut WHO ARIA (allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh Ig E.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti
dengan tahap provokasi /reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaituImmediate Phase
Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel Limfosit B, sehingga Limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
Imunoglobulin E (Ig E). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan
mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan oleh Newly Formed Mediators antara lain
21
Prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor), dll). Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase
Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang
ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengikatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5
dan GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresposif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulanya seperti
Eosinophillic Cationic Protein (ECP), Eosinophillic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophillic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik
(allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
22
merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.
Gambar 3.1. Mekanisme imunologi yang terkait dalam rhinitis alergi
23
Gambar 3.2. Mekanisme Alergi
Cara Masuk Alergen
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah (
D.pteronyssinus, D. farina, B. tropikalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,
anjing), rerumputan (Bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosametik dan perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga member
gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memeberi gejala asma bronkial dan
rinitis alergi.
24
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respons Primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respon sekuder.
2. Respons Sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah imunitas selular
atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari system imunologik,
maka reaksi ini akan berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respons Tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini menjadi 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi anafilasis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sititoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rhinitis alergi.
Klasifikasi Rinitis Alergi
Berdasarkan sifat berlangsungnya
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal dengan
rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama
yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah
gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
25
paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi lebih persisten karena komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu menurut sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermittent atau kadang-kadang : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu
2. Persistent atau menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu
Berat ringan penyakit
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-Berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Hamir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Unsur penting meliputi
evaluasi sifat, durasi, dan waktu saja gejala; mungkin pemicu gejala; respons terhadap obat-
obatan; kondisi komorbiditas; riwayat keluarga penyakit alergi; eksposur lingkungan; kerja
eksposur dan efek terhadap kualitas hidup. Anamnesis menyeluruh dapat membantu
mengidentifikasi memicu tertentu, menunjukkan adanya etiologi untuk alergi rhinitis.
26
Melihat gejala dan kekambuhan
o Menentukan usia munculnya gejala pertama kali dan apakah gejala terus-menerus
ada. Serangan rinitis alergi dapat terjadi hingga usia dewasa, bahkan sebagian besar pasien
baru menunjukkan gejala pada umur 20 tahun.
o Menentukan pola gejala dan apakah gejala-gejala muncul pada tingkat yang
konsisten sepanjang tahun (rhinitis persisten), hanya terjadi pada musim tertentu (rinitis
musiman), atau kombinasi dari keduanya. Selama periode eksaserbasi, menentukan apakah
gejala-gejala muncul setiap hari atau hanya pada episode tertentu saja. Tentukan apakah
gejala hadir sepanjang hari atau hanya pada waktu tertentu di siang hari. Informasi ini dapat
membantu menunjukkan diagnosis dan menentukan mungkin pemicu.
o Menentukan sistem organ yang terkena dan gejala spesifik. Beberapa pasien
memiliki keterlibatan eksklusif hidung, sementara yang lain keterlibatan berbagai organ.
Keluhan pada beberapa pasien bersin, gatal, lakrimasi, dan hidung berair, sedangkan yang
lain mungkin hanya mengeluh hidung mampet. Keluhan mampet, terutama jika satu sisi,
mungkin merupakan obstruksi struktural, seperti polip, benda asing, atau septum deviasi.
Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
(self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC fan kadang pada
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
Faktor-faktor pemicu
o Tentukan apakah gejala terkait faktor pemicu tertentu. Ini mungkin mencakup
pemaparan serbuk sari, jamur spora sambil melakukan pekerjaan halaman, binatang tertentu,
atau debu ketika membersihkan rumah.
27
o Iritan seperti asap, polusi, dan bau kuat dapat memperburuk gejala pada pasien
dengan rhinitis alergi. Ini juga pemicu rhinitis vasomotor. Banyak pasien memiliki
keduanya.
o Pasien lain mungkin menggambarkan kondisi rhinitis sepanjang tahun dengan
gejala yang tidak berhubungan dengan pemicu tertentu. Hal ini bisa konsisten dengan rinitis
nonallergi, tapi dengan allergen abadi, seperti tungau debu atau binatang eksposur, juga harus
dipertimbangkan dalam situasi ini. Jika terjadi pemaparan kronis dan gejala yang kronis,
pasien mungkin tidak lagi dapat menghubungkan gejala yang dimiliki dengan pemicu
tertentu.
Terhadap pengobatan
o Respon untuk pengobatan dengan antihistamin mendukung diagnosa rhinitis
alergi, meskipun bersin, gatal, dan rinore berhubungan dengan rhinitis nonallergic juga dapat
mdihilangkan dengan antihistamin.
Respon terhadap intranasal kortikosteroid
Respon terhadap kortikosteroid intranasal mendukung diagnosa rhinitis alergi, meskipun
beberapa kasus rhinitis juga berespon baik terhadap kortikosteroid.
Kondisi komorbiditas
o Pasien dengan rhinitis alergi atopik lain mungkin memiliki kondisi seperti asma
atau atopic dermatitis. Dari pasien dengan rhinitis alergi, 20% juga memiliki gejala asma.
Rhinitis alergi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan asma memburuk atau bahkan
dermatitis atopic
o Menyelidiki riwayat medis dahulu, termasuk kondisi medis saat ini kondisi-
kondisi medis lainnya. Penyakit-penyakit seperti hipotiroidisme atau sarcoidosis dapat
menyebabkan rhinitis nonallergic.
28
Riwayat keluarga
Pada kenyataannya, risiko rinitis alergi meningkat jika kedua orang tua memiliki riwayat
atopik daripada jika salah satu orangtua yang atopik. Namun, penyebab rhinitis alergi
multifaktor, sehingga orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga sekalipun masih dapat
memiliki rhinitis alergi.
Pajanan dari lingkungan dan pekerjaan
o Anamnesis menyeluruh terhadap paparan dari lingkungan membantu untuk
mengidentifikasi pemicu alergi tertentu. Ini harus mencakup pemeriksaan faktor risiko abadi
paparan alergen (misalnya, debu tungau, jamur, hewan peliharaan). Kelembaban yang tinggi
dalam rumah adalah faktor risiko untuk eksposur cetakan alergen. Anamnesis mengenai hobi
dan kegiatan rekreasi membantu menentukan risiko.
o Kita juga harus menyelidiki tentang lingkungan tempat kerja atau sekolah. Ini
mungkin mencakup pemaparan alergen abadi biasa (misalnya, tungau, jamur, binatang
peliharaan ketombe) atau allergen di tempat kerja (misalnya, laboratorium hewan, produk-
produk hewani, biji-bijian dan bahan organik, debu kayu, lateks, enzim).
Efek terhadap kualitas hidup
o Penilaian yang akurat dari morbiditas rhinitis alergi tidak dapat diperoleh tanpa
mengetahui efek terhadap kualitas hidup pasien. Kuesioner spesifik tersedia untuk membantu
menentukan efek terhadap kualitas hidup.
o Tentukan adanya gejala seperti kelelahan, malaise, mengantuk dan sakit kepala.
o Selidikilah kualitas tidur dan kemampuan untuk beraktivitas di tempat kerja.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus fokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah, mata, telinga,
oropharynx, leher, paru-paru, dan kulit juga penting. Cari temuan fisik yang mungkin konsisten
dengan penyakit sistemik yang berhubungan dengan rhinitis.
29
Wajah
o Bayangan gelap di bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic
crease.
Hidung
o Pemeriksaan hidung terbaik dengan memakai spekulum hidung (rinoskopi
anterior). Spesialis THT dapat menggunakan nasolaringoskop yang kaku atau fleksibel.
o Mukosa dan konka hidung dapat tampak bengkak dan pucat, dengan warna abu-
abu kebiruan. Ini merupakan gejala yang khas pada rinitis alergi. Namun tidak dapat
membedakan antara alergi dan penyebab rhinitis nonallergi Beberapa pasien mungkin
memiliki mukosa kemerahan, yang mirip pada rhinitis infeksi, atau rhinitis vasomotor
o Menilai karakter dan jumlah lendir hidung. Tipis dan sekresi berair sering
dikaitkan dengan rinitis alergi, sedangkan sekresi purulen tebal dan biasanya terkait dengan
sinusitis, namun lebih tebal, bernanah, lendir berwarna juga dapat terjadi dengan rhinitis
alergi.
o Septum nasal diperiksa untuk mencari setiap deviasi atau perforasi septum, yang
dapat hadir karena rhinitis kronis, penyakit granulomatosa, penyalahgunaan kokain,
dekongestan topikal atau topikal steroid berlebihan.
o Memeriksa rongga hidung, apakah terdapat massa seperti polip atau tumor. Polip
adalah massa abu-abu yang sering bertangkai, yang mungkin sulit terlihat. Setelah
penyemprotan dekongestan topikal, polip tidak mengecil, sementara mukosa hidung
sekitarnya menyusut
30
Telinga, mata, dan orofaring
o Menggunakan otoskop untuk melihat dan menilai membran timpani. Penggunaan
otoskop pneumatik dapat dipertimbangkan untuk mencari pergerakan normal membran
timpani. Temuan ini dapat dikaitkan dengan rhinitis alergi, terutama jika terjadi sumbatan
tuba estachius atau otitis media sekunder.
o Pemeriksaan injeksi dan pembengkakan palpebral conjunctivae, dengan kelebihan
produksi air mata. Garis Dennie-Morgan (penonjolan lipatan di bawah kelopak mata inferior)
yang berhubungan dengan rinitis alergi.
o Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance)
yang menggambarkan jaringan limfoid berkas pada faring posterior), serta dinding lateral
faring menebal. Hipertrofi tonsil juga dapat diamati. Malocclusion (overbite) dan langit-
langit melengkung tinggi dapat diamati pada pasien yang bernapas dari mulut mereka secara
berlebihan. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Lidah seperti gambaran
peta (geographical tongue).
Leher: Mencari adanya limfadenopati atau penyakit tiroid.
Paru-paru: Mencari karakteristik temuan asma.
Kulit: Evaluasi untuk kemungkinan dermatitis atopi.
Lain: Cari bukti penyakit sistemik yang dapat menyebabkan rhinitis (misalnya, sarcoidosis,
hipotiroidisme, immunodeficiency, ciliary dyskinesia sindrom, penyakit jaringan ikat lainnya).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tes Alergi: Pengujian untuk reaksi terhadap alergen yang spesifik dapat membantu untuk
mengkonfirmasikan diagnosis rhinitis alergi, juga untuk menentukan pemicu terjadinya alergi.
Jika pemicu terjadinya alergi diketahui, maka langkah-langkah pencegahan yang tepat dapat
31
direkomendasikan. Penting untuk mengetahui alergen yang tepat untuk dilakukan
immunotherapy (desensitisasi perawatan). Pengujian memberikan pengetahuan dari tingkat
sensitivitas terhadap alergi tertentu. Yang paling sering digunakan metode untuk menentukan
alergi terhadap zat tertentu adalah uji kulit alergi (tes reaksi hipersensitivitas langsung) dan in
vitro diagnostik tes, seperti tes radioallergosorbent (RAST), yang secara tidak langsung
mengukur jumlah IgE spesifik untuk antigen tertentu.
o Skin test allergy (tes hipersensitivitas langsung) adalah metode dalam menentukan
vivo segera (IgE-mediated) hipersensitivitas alergen tertentu. Kepekaan terhadap hampir
semua alergen yang menyebabkan rinitis alergi dapat ditentukan dengan tes kulit.
Dengan memperkenalkan suatu ekstrak alergen yang dicurigai
percutaneously, segera (awal-fase) wheal-dan-suar reaksi dapat dihasilkan.
Pengantar perkutan dapat dilakukan dengan menempatkan setetes ekstrak
pada kulit dan menggaruk atau menusuk jarum melalui epidermis bawah
tetesan ekstrak alergen. Tergantung pada teknik yang tepat digunakan,
pengujian ini disebut Skin Prick test.
Antigen dalam ekstrak mengikat IgE pada sel mast kulit, menuju ke fase
awal (langsung-type) reaksi, yang menyebabkan pelepasan mediator
seperti histamine. Hal ini biasanya terjadi dalam waktu 15-20 menit.
Histamin yang dilepaskan menyebabkan reaksi ruam atau kemerahan
(dihasilkan oleh infiltrasi cairan, dan sekitarnya eritema dihasilkan karena
vasodilasi, dengan seiring gatal.). Ukuran reaksi ruam berkorelasi dengan
tingkat sensitivitas terhadap alergi.
Ekstrak juga dapat diberikan secara intradermal (yaitu, disuntikkan ke
dalam dermis dengan jarum intradermal). Dengan teknik ini, ekstrak dapat
memasuki jaringan dermal, termasuk sel mast kulit. Pengujian intradermal
sekitar 1000-kali lipat lebih sensitif daripada pengujian perkutan. Namun
hal ini harus dilakukan dengan hati-hati oleh orang yang memang ahli
dibidangnya. Namun harus tetap diingat bahwa hasil positif palsu tinggi.
32
o In vitro. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan Ig E total (prist-paper radioimmuno sorbent test) seringkali menunjukan nilai
normal kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan Ig E spesifik dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan
kemungkinan alergi inhalan. Juka basofil (>5 sel/Lap) mungkin disebabkan oleh alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. Tes ini
memungkinkan penentuan IgE spesifik ke sejumlah alergen yang berbeda dari satu sampel
darah, tetapi sensitivitas dan spesifisitas tidak selalu sebaik akurat tes kulit (tergantung pada
uji laboratorium dan digunakan untuk RAST). Seperti pada pengujian kulit, hampir semua
alergen yang menyebabkan alergi rhinitis dapat ditentukan dengan menggunakan RAST,
walaupun tes untuk beberapa alergen kurang mapan dibandingkan dengan orang lain.
Total serum IgE:
Ini adalah pengukuran tingkat total IgE dalam darah. Sementara pasien dengan rinitis
alergi lebih cenderung memiliki tingkat IgE total tinggi daripada populasi normal, tes ini tidak
sensitif maupun spesifik untuk alergi rhinitis. Sebanyak 50% dari pasien dengan rhinitis alergi
memiliki tingkat normal dari total IgE, sementara 20% dari nonaffected individu dapat
mengalami peningkatan kadar IgE total. Oleh karena itu, tes ini biasanya tidak digunakan sendiri
untuk menetapkan diagnosis alergi rhinitis, tetapi hasilnya dapat membantu dalam beberapa
kasus ketika digabungkan dengan faktor-faktor lain.
Total hitung eosinophil darah:
33
Seperti dengan total serum IgE, yang ditinggikan menghitung eosinophil mendukung
diagnosis alergi rhinitis, tetapi tidak sensitif maupun spesifik untuk diagnosis. Hasilnya kadang-
kadang dapat membantu ketika digabungkan dengan faktor-faktor lain.
Pencitraan
Radiography: Meskipun tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis alergi rhinitis,
mereka dapat membantu untuk mengevaluasi kemungkinan kelainan struktural atau untuk
membantu mendeteksi komplikasi atau kondisi komorbiditas, seperti sinusitis atau adenoide
hipertrofi.
o Sinus film: 3 posisi (PA, Waters, dan lateral) dapat membantu dalam
mengevaluasi untuk sinusitis yang berkenaan dgn sinus maksila, sinus frontal, dan sinus
sphenoid. Ethmoid sinus yang sulit untuk memvisualisasikan dengan jelas pada foto polos.
Rontgen sinus ini dapat membantu untuk mendiagnosa sinusitis akut, tapi CT scan sinus
lebih sensitif dan spesifik. Untuk sinusitis kronis, rontgen sering tidak meyakinkan, dan CT
scan jauh lebih disukai.
o Rotgen lateral leher dapat membantu ketika mengevaluasi untuk kelainan jaringan
lunak pada nasofaring, seperti hipertrofi adenoid.
CT scan:
CT scan koronal dari sinus gambar bisa sangat membantu untuk mengevaluasi sinusitis akut
atau kronis. Secara khusus, terhalangnya kompleks ostiomeatal (sebuah pertemuan saluran
drainase dari sinus) dapat dilihat dengan cukup jelas. CT scan juga dapat membantu
menggambarkan polip, konka yang membesar, kelainan septum (misalnya, deviasi), dan lainnya.
MRI:
Untuk mengevaluasi sinusitis, gambar MRI umumnya kurang membantu daripada CT
scan gambar, terutama karena struktur tulang tidak dilihat dengan jelas pada gambar MRI.
Namun, jaringan lunak yang divisualisasikan dengan cukup baik, membuat gambar MRI
bermanfaat untuk mendiagnosis keganasan saluran udara bagian atas. 34
Tes lain
Sitologi hidung: Sebuah sampel cairan dan sel dikorek dari permukaan mukosa hidung
dengan menggunakan probe sampling khusus. Sekresi yang ditiup dari hidung tidak
memadai. Hasil yang tidak sensitif maupun spesifik untuk alergi rhinitis dan tidak boleh
digunakan secara eksklusif untuk menetapkan diagnosis.
Penatalaksanaan
Pengelolaan rhinitis alergi terdiri dari 3 kategori utama perawatan, (1) lingkungan
pengendalian dan penghindaran penyebab alergi, (2) farmakologis manajemen, dan (3)
immunotherapy.
Penghindaran penyebab alergi
Pengendalian lingkungan dan penghindaran penyebab alergi:
Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari alergen atau iritasi, pemicu.
Mempertimbangkan tindakan pengendalian lingkungan, cukup baik dalam semua kasus rhinitis
alergi.
o Serbuk sari : Tersebar luas di udara bebas, sehingga sangat sulit untuk dihindari.
Secara umum, serbuk sari pohon hadir di musim semi, rumput serbuk sari dari akhir musim
semi menuju musim panas, dan gulma serbuk sari dari akhir musim panas sampai musim
gugur. Cenderung lebih tinggi pada kering, cerah, berangin. Paparan terhadap udara bebas
dapat dibatasi selama ini, tapi ini mungkin tidak dapat diandalkan karena dianggap dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Menjaga jendela dan pintu rumah dan mobil tertutup
sebanyak mungkin selama musim tepung sari (dengan AC, jika perlu, pada modus sirkulasi)
dapat membantu. Mandi setelah dari luar ruangan dapat membantu dengan membuang serbuk
sari yang menempel di rambut dan kulit.
35
Alergen indoor: Tergantung pada penyebab alergi, pengendalian
lingkungan untuk alergen dalam ruangan bisa sangat membantu. Untuk
tungau debu, menutupi kasur dan bantal dengan penutup yang rapat dapat
membantu Penutup tempat tidur harus dicuci setiap 2 minggu di tempat
yang panas (paling tidak 130 ° F) air untuk membunuh tungau hadir. juga
melakukan pembersihan karpet dengan vakum. Karpet dapat diberi zat
kimia yang membunuh tungau atau mengubah sifat sesuatu benda protein,
tetapi kemanjuran agen ini tidak muncul secara tiba-tiba. Tungau debu
berkembang dengan baik jika kelembaban di dalam ruangan di atas 50%.
Alergi hewan peliharaan, penghindaran total merupakan pilihan terbaik.
Bagi pasien yang tidak bisa, atau yang tidak mau untuk benar-benar
menghindari binatang atau hewan peliharaan, maka dapat dilakukan
dengan memindahkan hewan ke sebuah ruangan dan menjaga noncarpeted
seluruhnya keluar dari kamar tidur dapat sangat menguntungkan. 18 Cat
dengan tingkat alergen tinggi dalam rumah dapat dikurangi dengan filter
partikulat udara (HEPA) dan dengan memandikan kucing setiap minggu
(walaupun ini mungkin tidak praktis).
o Pekerjaan berhubungan dengan alergen: Seperti halnya dengan alergen dalam
ruangan, penghindaran adalah ukuran terbaik. Bila hal ini tidak mungkin, masker atau
respirator mungkin dibutuhkan.
Pemicu yang nonspesifik: Paparan dari rokok, parfum dan aroma yang
kuat, asap, perubahan suhu yang cepat, dan polusi udara terbuka dapat
memicu pada pasien dengan rinitis alergi. Pertimbangkan untuk
menghindari situasi ini atau pemicu jika tampaknya dapat memperburuk
gejala.
Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secar inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
36
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)
dan generasi 2 (non sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga slit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif
menghambat reseptor H1 perifer dan tidak mempunyai sifat antikolinergik, antiadrenergik dan
efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat seperti
rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruktif hidung pada fase
lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi dalam dua golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan oleh karena repolarisasi jantung yang tertunda
dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin,
levoseterisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari rinitis medikamentosa.
Preparat Kortikosteroid dipilih jika gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofik, mengurangi aktivitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak responsive terhadap
rangsangan alergen (baik yang bekerja pada respon fase cepat maupun lambat). Preparat sodium
kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium)
sehiingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat
37
proses inflamasi dengan menghambat aktivasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik
dicapai dengan pemberian sebagai profilaksis.
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau Triklor Asetat.
Imunoterapi
o Definisi Sebuah penelitian klinis telah menetapkan efektivitas suntikan alergi
dosis tinggi dalam mengurangi gejala dan pengobatan alergi, yang telah dibuktikan
sensitivitasnya hingga 80-90% untuk alergen tertentu. Ini adalah proses jangka panjang;
pantau perbaikannya dalam 6-12 bulan, dan, jika bermanfaat, terapi harus dilanjutkan selama
3-5 tahun. Imunoterapi bukan berarti terbebas dari risiko karena reaksi alergi sistemik yang
parah kadang-kadang dapat terjadi. Untuk alasan ini, maka hasruslah berhati-hati dalam
mempertimbangkan risiko dan manfaat immunotherapy.
o Indikasi: Imunoterapi dianggap dapat bekerja lebih kuat pada pasien dengan
penyakit alergi yang cukup parah dan pilihan-pilihan terhadap pengelolaan lainnya sangat
minimal maupun adanya kondisi komorbiditas atau komplikasi. Immunotherapy sering
dikombinasikan dengan obat-obatan dan pengendalian lingkungan.
o Kondisi imunoterapi: Nilai immunotherapy untuk serbuk sari, debu tungau, dan
kucing sudah terbentuk dengan baik. , Nilai immunotherapy untuk anjing masih dirasa kurang
baik.
o Kontraindikasi: Immunotherapy hanya boleh dilakukan oleh individu-individu
yang telah terlatih oleh lembaga pencegahan yang sesuai, dan yang dilengkapi dengan
profilaksis jika sampai terjadi alergi sistemik.
Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah:
38
1. Polip Hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu factor penyebab
terbentuknya polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
Rinitis yang berlangsung terus menerus mengakibatkan hipertrofi konka yang berakibat
pada sumbatan hidung. Kondisi sumbatan ini juga dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan
pada muara tuba eustachius yang berakibat peningkatan tekanan pada telinga tengah dan
penumpukan cairan pada telinga tengah yang berakhir pada infeksi pada telinga tengah
karena cairan pada telinga tengah menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman.
3. Sinusitis paranasal.
Konka yang hipertrofi dapat membuat meatus media menjadi lebih sempit, serta kondisi
peradangan yang terus menerus dapat menjadi factor pemicu terjadinya polip yang akan ikut
menjadi penyebab ostium sinus menjadi sempit. Sirkulasi pembuangan sekret yang tidak lancar
akan mengakibatkan terbendungnya sekret serta terjadinya infeksi, karena sekretadalah tempat
yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
39
Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi
menurut WHO Initiative ARIA 2001 (dewasa)1
40
Penghindaran alergen
Diagnosis Rinitis Alergi(Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Tes Kulit)
intermittent Persisten/menetap
ringan Sedang/berat ringan Sedang/berat
-AH oral/topical, atau-AH + dekongestarn oral
KS topikal-AH oral/topikal atau-AH + dekongestan oral atau -KS topikal atau -(Na kromoglikat)
Evaluasi setelah 2-4 minggu
Gejala persisten
Evaluasi setelah 2-4 minggu
-Bila gagal: maju 1 langkah-Bila th/berhasil: lanjutkan 1 bln
membaik Tidak ada
Th/ mundur 1 langkah dan th/
diteruskan untuk 1 bulan
-salah diagnosis-nilai kepatuhan pasien-komlikasi/infeksi-faktor kelainan anatomis
Pertimbangkan imunoterapi
Sumbatan hidung menetap
KS topikal ditingkatkan
Gatal hidung rinore
Dekongestan (3-5 hari), atauKS oral (jangka pendek)
gagal
Kaustika konka/konkotomi
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.
2. Bosquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N, Bachert C, Durham SR, Lund V, Mygind N.
Management of Allergic Rhinitis and its impact on Asthma (ARIA). ARIA Workshop
Report. J All Clin Immunol (Suppl) 108; 5: 2001
3. Peter H. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Effendi H, editor. BOIES:
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Keenam. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1997.
Hal 173-89.
41