hipertensi

90
LAPORAN PBL KLINIS HIPERTENSI DISUSUN OLEH : KELOMPOK B Angga Iswara W. E. 0910753006 Arindhitha K. S. 105070500111008 Yoga Angga S. 105070500111013 Indah Lestari 105070500111015 Yitania Sari 105070500111014 Ais Naziella F. 105070500111030 Adelina P. Sinaga 105070500111031 Moch. Rijal Hadi 105070500111004 Riska Rosida 105070501111011 Saskia R. 105070507111001 Ardina Pramesti P. 105070501111009 Erlina Yulianti 105070504111002 Rizqi Nur M. S. 105070501111004 Novita Fahrianti P. 105070507111012 Yasinta K. K. G. 105070500111020 Afrida R. 105070501111008 PROGRAM STUDI FARMASI

Upload: aliyah-adek-rahmah

Post on 25-Nov-2015

159 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Hipertensi atau tekanan darah tinggi

TRANSCRIPT

LAPORAN PBL KLINISHIPERTENSI

DISUSUN OLEH :KELOMPOK B

Angga Iswara W. E.0910753006Arindhitha K. S.105070500111008Yoga Angga S.105070500111013Indah Lestari105070500111015Yitania Sari105070500111014Ais Naziella F.105070500111030Adelina P. Sinaga105070500111031Moch. Rijal Hadi105070500111004Riska Rosida105070501111011Saskia R. 105070507111001Ardina Pramesti P.105070501111009Erlina Yulianti105070504111002Rizqi Nur M. S. 105070501111004Novita Fahrianti P. 105070507111012Yasinta K. K. G. 105070500111020Afrida R. 105070501111008

PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2013I. PENDAHULUAN

Hipertensi adalah penyakit dengan prevalensi tinggi dan signifikan dalam menyebabkan morbiditas dan mortalitas, dan biasanya pengobatannya juga mahal (Marie, 2008).

Hipertensi merupakan suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah (Sustrani, 2004).

Stage hipertensi (Marie, 2008) :

Hipertensi adalah penyakit yang mengalami peningkaan tekanan darah arterial secara persisten. Hipertensi yang tdk diketahui penyebabnya disebut hipertensi primer atau esensial : tidak bisa disembuhkan tetapi bisa di kontrol. Tekanan darah adalah tekanan yang diukur di dinding arterial dengan satuan mmHg. Terdiri dari 2 tipikal : BP sistolik dicapai selama kontraksi jantung dan mewakili nilai puncak. BP diastolik BP dicapai setelah kontraksi ketika ruang jantung terisi, and mewakili nilai nadi. Beberapa hal yang dapat meningkatkan cardiac output dan resistensi periperal (Dipiro, 2008) :

BP menurun pada malam hari sewaktu tidur karena kerja parasimpatis, sedang pada 3 jam pertama setelah bangun BP mulai meningkat dan semakin meningkat pada aktivita fisik dan stress (Dipiro, 2008).

Hipertensi PrimerKebanyakan dari pasien hipertensi, yang dialami adalah tipe hipertensi esesial (atau biasa disebut dengan hipertensi primer). Pada hipertensi tipe ini tidak dapat diidentifikasi penyebab utama dari gangguan hipertensi itu sendiri (Koda, 2009).Kemungkinan besar yang paling berperan dalam perkembangan penyakit hipertensi primer adalah faktor genetik. Terdapat beberapa gen yang memiliki ciri khusus berefek pada keseimbangan sodium, namun adanya mutasi gen menyebabkan berubahnya ekskresi kallikrein melalui urin, rilisnya nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal lain, dan angiotensin (Dipiro, 2008).

Hipertensi Sekunder Pasien dengan hipertensi sekunder memiliki penyebab spesifik dari kenaikan BP yang dialami. Oleh karena itu, diagnosis lebih lanjut perlu dilakukan pada pasien yang tidak merespon pada kenaikan dosis pengobatan antihipertensi atau pada pasien yang tiba-tiba mengalami kenaikan BP secara cepat dan membahayakan (Koda, 2009).Penyebab hipertensi sekunder adalah sebagai berikut (Koda, 2009) :1. Chronic Kidney Disease

2. Chronic Steroid Therapy and Cushing's Syndrome

3. Coarctation of the Aorta

4. Drug-Induced or Drug-Related Adrenal steroids Alcohol Amphetamines dan anorexiants (cont, phentermine, sibutramine) Cocaine dan obat- obatan narkotik yang lain Cyclosporine dan tacrolimus Erythropoietin Licorice (termasuk chewing tobacco) Nonsteroidal anti-inflammatory drugs dan COX-2 inhibitors Oral contraceptives Oral decongestants (cont, pseudoephedrine) Beberapa supplements over-the-counter (cont, ephedra, ma huang, bitter orange)

5. Pheochromocytoma

6. Primary Aldosteronism

7. Renovascular Disease

8. Sleep Apnea

9. Thyroid or Parathyroid Disease

II. ETIOLOGI

95% tidak diketahui, tetapi beberapa yang diketahui yaitu : Penyakit ginjal kronik (Marie, 2008). Coarctation of the aorta (Marie, 2008). Cushings syndrome (Marie, 2008). Drug induce (Marie, 2008). Meningkatnya aktivitas saraf simpatis, diakibatkan oleh paparan atau respon terhadap stress psikologi (Oparil, et al., 2003). Overproduksi sodium retaining hormone dan vasokonstriktor (Oparil, et al., 2003).

Genetik :Polimorfisme secara langsung atau tdk langsung mempengaruhi reabsorbsi renal sodium, atau yang dapat merubah membran sel sehingga menyebabkan vasokonstriksi dan hipertrofi struktural sehingga meningkatnya tahanan perifer atau PR (Marie, 2008). Salah satu gen yang berpengaruh adalah varian M235T, angiotensin gen, berhubungan dengan meningkatnya kadar angiotensin di sirkulasi dan tekanan darah (Oparil, et al., 2003). Hipertensi esensial terkait dengan gen dan faktor genetik. Gen yang berperan dalam patofisiologi hipertensi adalah gen simetrik yang mengandung promoter gen 11beta hidroksilase dan gen urutan selanjutnya untuk memberi kode pada gen aldosteron sintase, sehingga menghasilkan produk ektopik aldosteron (Aulia, 2008).

Rokok Rokok dapat menyebabkan hipertensi karena adanya zat kimia beracun dari dalam rokok yaitu nikotin dan karbonmonoksida yang dapat masuk ke aliran darah dan dapat menrusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan menyebabkan terjadinya stress oksidatif pada pembuluh darah yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Rahajeng, 2009).

AktivitasAktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuat dalam beraktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Amir, 2002).

ObesitasBerdasarkan laporan JNC 7 dan penelitian cohort oleh Tsiofus, et. al, 2011 di Hippokration Hospital di Athens menunjukkan bahwa pasien dengan BMI lebih dari 32 kg/m2 memiliki prevalensi yang cukup tinggi terjangkit resistant hypertension. Tanda dan gejalanya berupa dyspnea, sakit kepala, penglihatan kabur, HR meningkat (Marie, 2008).Obesitas dapat meningkatkan aktivitas simpatis, dengan salah satu mekanismenya adalah hyperleptinemia. Leptin adalah senyawa yang dihasilkan oleh adiposit, dan tingkat plasma puasa leptin meningkat sebanding dengan adipositas. Leptin mengatur keseimbangan energi dengan penurunan nafsu makan dan juga dengan merangsang thermogenesis melalui aktivasi simpatik. Efek hipertensi leptin hilang dengan blokade pada dan adrenergik. Studi pada tikus transgenik di mana leptin disekresikan ectopically oleh hati juga menunjukkan bahwa hyperleptinemia menyebabkan hipertensi ringan (Hall, 2003).

Obesitas Non HyperlipidemiaMenurut national institutes for health USA. Prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan indeks massa tubuh (IMT) >30 (obesitas) sebanyak 38% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita yang memiliki IMT 60 tahun TD akan otomatis meningkat, dinding arteri mengalami penebalan karena adanya kolagen pada lapisan otot sehingga pembuluh darah semakin menyempit dan kaku (Dipiro, 2008).

Cardiac Output :Elevate cardiac output dapat menyebabkan hipertensi primer karena meningkatnya preload (volume cairan) atau kontraksi jantung (Marie, 2008). Oral kontrasepsiPenggunaan oral kontrasepsi dapat memicu terjadinya hipertensi dimana pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral dengan kadar esterogen tinggi dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi. Oral kontrasepsi dengan estrogen mampu meningkatkan produksi hepatik di renin, sehingga terjadi pengaktifan RAAS dan menyebabkan terjadinya hipertensi (Woods and Lancet, 1967).

Regulasi Sodium :Intake sodium yang banyak dan ekskresinya yang menurun oleh ginjal akan mengakibatkan retensi sodium (karena reabsorsi proksimal ginjal meningkat, ultrafiltrasi glomerular menurun, afferent arteriolar vasokonstriksi sehingga cairan volume meningkat dan preload meningkat. Normal sodium yg dikonsumsi 175mmol (4,1 gram) untuk laki-laki dan 120mmol (2,7 gram) untuk perempuan (Marie, 2008). Aldosteron disekresi oleh Angiotensin II, fungsi utama dari aldosteron adalah mengatur keseimbangan natrium, kalium, dan air. Aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium dari tubulus distal, dan ekskresi kalium dan hidrogen. Renin meningkatkan sekresi aldosteron, yang menyebabkan retensi natrium yang mengakibatkan retensi air (Kee, 1997).

OSMOlARITAS NATRIUM PADA DARAHKeseimbangan NatriumNatrium merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi mengatur osmolaritas dan volume cairan tubuh. Natrium paling banyak terdapat pada cairan ekstrasel. Pengaturan konsentrasi cairan ekstrasel diatur oleh ADH dan aldosteron. Aldosteron dihasilkan oleh korteks suprarenal dan berfungsi mempertahankan keseimbangan konsentrasi natrium dalam plasma dan prosesnya dibantu oleh ADH. ADH mengatur sejumlah air yang diserap kembali ke dalam ginjal dari tubulus renalis. Aldosteron juga mengatur keseimbangan jumlah natrium yang diserap kembali oleh darah. Natrium tidak hanya bergerak ke dalam atau ke luar tubuh, tetapi juga mengatur keseimbangan cairan tubuh. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui ginjal atau sebagian kecil melalui feses, keringat, dan air mata (Silverthorn, 2004).Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah) (Silverthorn, 2004).Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini (Silverthorn, 2004).pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui (Silverthorn, 2004) : Perubahan osmolaritas di nefronDi sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).

Bradikinin adalah salah satu substansi vasodilator yang menyebabkan (Marie, 2008) : StresAktivitas simpatis berlebihan contractility, pelepasan renin angiotensin. Kerja simpatis berlebihanKerja simpatis meningkat meningkatkan retensi sodium (karena dapat mempengaruhi pelepasan renin), resistensi insulin, disfungsi dari baroreceptor. Resistensi periperalPengurangan ukuran lumen arteri sebagai akibat dari remodeling vaskuler yang dimodulasi substansi endothelium derived vasoactive, growth factor, dan citokinin menyebabkan tekanan periperal meningkat.

III. PATOFISIOLOGI Renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS)RAAS merupakan endogen compleks yang mengatur arterial BP. RAAS mempengaruhi vascular tone and kerja saraf simpatis dan paling utama untuk mempengaruhi regulasi homostatik BP. Juxtaglomerural ada di aferen arteriol ginjal yg berfungsi sebagai baroreceptor-sensing device. Pelepasan renin dipengaruhi oleh intrarenal factors (contoh, renal perfusion pressure, catecholamines, angiotensin II) dan ekstra renal (misal sodium, chloride, and potassium). Menurunnya tekanan arteri ginjal dan aliran darah ke ginjal menstimulasi pelepasan renin. Menurunnya kadar sodium dan chloride ke distal tubule menstimulasi pelepasan renin. Stimulasi simpatis di afferen arteriol melepaskan katekolamin sehingga menstimulasi pelepasan renin (Dipiro, 2008).Renin di produksi dan disimpan di juxtaglomerular ginjal dan renin akan direlease jika distimulasi oleh perfusi renal yang terganggu. Pelepasan renin akan mengubah angiotensi angiotensi I oleh ACE akan diubah menjadi angiotensin II berikatan dengan reseptor angiotensin II vasokontriksi, pengeluaran aldosterone, dan aktivasi kerja saraf simpatis (Marie, 2008).

Natriuretic HormoneNatriuretik hormone menghambat Na dan K- adenosine trifosfatase dan mengganggu transport Na melewati membran sel. Adanya gangguan ginjal dalam mengeliminasi Na dapat menyebabkan kadar Na meningkat dalam darah. Adanya natriuretic hormone menyebabkan peningkatan ekskresi Na dan air sebagai mekanisme kompensasi. Namun, hormone ini juga menghambat transpor aktif Na keluar dari sel otot polos. Peningkatan kadar Na intraseluler menyebabkan peningkatan tonus vascular dan tekanan darah (Dipiro, 2008).

Insulin ResistenKetika konsentrasi insulin didalam darah banyak, maka akan mengaktifkan kerja simpatis yang secara tidak langsung akan menstimulasi pengeluaran renin (Dipiro, 2008).

IV. TERAPI HIPERTENSI Loop Henle Diuretik Mekanisme kerja : loop diuretik bekerja dengan memblok kotransport Na+/K+/Cl- pada membran apikal dari loop Henle. Saluran ini merupakan reabsorpsi Na+ dan Cl-. Karena itu, loop diuretik meningkatkan jumlah urine, Na+,K+,Ca2+ dan Mg2+. Loop diuretik juga menyebabkan dilatasi dari sisi vena dan fase dilatasi ginjal yang dipengaruhi oleh prostaglandin (Sherwood, 2004).Farmakokinetik: semua loop diuretik bekerja dalam 20 menit dan t1/2 kira-kira 1-1,5 jam. Semua loop diureeetik diabsorpsi dengan cepat dari usus dan dapat diberikan i.v.. Golongan diuretik ini dapat memnyebabkan 20% lebih pengeluaran Na+. Angka absorpsi menurun di CHF (Sherwood, 2004).

Alpha Antagonist pada Hipertensi (Dipiro, 2008) : Selective : Prazosin (dosis 2-20 mg 2-3 kali sehari) Doxazosis(dosis 1-16 mg 1 kali sehari) Terazosin(dosis 1-10 mg 1-2 kali sehari) Non Selective: Phenoxybenzamine(dosis 20-120 mg 2-3 kali sehari)

Perbedaan CCB Dihidropiridine dan NondihidropiridineCCB (Calcium channel blocker) memiliki mekanisme kerja dengan memblok/menurunkan influx ion kalsium ke dalam sel miokard, sel sel dalam system konduksi jantung dan sel sel otot polos pembuluh darah. CCB dibagi menjadi 2 yaitu dihidropiridine dan nondihidropiridone.a. DihidropiridineDihidropiridine membloki influx kalsium di pembuluh darah sehingga mempunyai sifat vasodilator perifer, menimbulkan relaksasi arteriol (Gunawan, 2007). Hal ini kadang menyebabkan takikardi (peningkatan denyut jantung) dan vasokonstriksi. Contoh golongan dihidropiridiine adalah Nifedipin, Nikardipin, Amlodipine, Isradipin, Clevidipine dan Felodipin. Penggunaan golongan immediate release golongan dihidropiridine berisiko menimbulkan Miokard Infark dan Hipotensi parah misal SL Nifedipine (Gunawan, 2007 dan Gormer, 2007).

b. NondihidropiridineNondihidropiridine memiliki mekanisme kerja memblok influx kalsium di sel sel dalam system konduksi jantung dan sel sel miokardiak. Golongan nondihidropiridine tidak menimbulkan efek takhikardi karena memiliki efek kronotropik negative langsung pada jantung. Digunakan untuk menurunkan denyut jantung dan untuk pencegahan angina. Contoh golongan nondihidropiridine adalah Verapamil dan Diltiazem (Gunawan, 2007 dan Gormer, 2007). Pengobatan Hipertensi Berdasarkan Stage (Chobanian, 2003):

V. MANIFESTASI KLINISPada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Marliani, dkk, 2007).Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi, ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat, nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Marliani, dkk, 2007).

NocturiaNokturia adalah kondisi dimana pasien sering buang air kecil (urinasi) pada malam hari. Nokturia terjadi karen adanya peningkatan aliran darah ke ginjal dan filtrasi dari glomerulus. Pada pasien yang telah tua (elderly), nokturia lebih sering terjadi dikarenakan perubahan postur tubuh dari terlentang menjadi berdiri yang menyebabkan respon produksi renin berkurang, sehingga angiotensin dan aldosterone menjadi kurang aktif. Nokturia juga dapat diperparah kondisinya apabila penggunaan obat-obat antihipertensi yang digunakna kurang tepat. Tetapi masih belum banyak penelitian yang mengetahui secara pasti bagaimana nokturia dapat mengindikasikan terjadinya hipertensi (Carlos, 2013).

VI. EVIDENCE BASE TERAPI HIPERTENSI

a. DIURETIK

Metode : Kami membandingkan kemanjuran long-acting furosemide (60 mg/hari) dan hydrochlorothiazide ( 25 mg / hari ) dalam double-blind , crossover randomized trial di tujuh pasien dengan gagal ginjal berat dan hipertensi (tujuh laki-laki , 54 10 tahun). Titik akhir yang diukur adalah natrium dan klorida pecahan ekskresi setelah 1 bulan masing-masing diuretik dan kemudian setelah kombinasi mereka. Selama percobaan, perawatan lainnya dan diet dikendalikan (Dussol, et al., 2004).Hasil: Kecenderungan peningkatan pecahan ekskresi natrium dan klorida diamati dengan furosemide, tetapi perbedaannya tidak mencapai tingkat signifikansi statistik ( P NS ). Ekskresi fraksional natrium dan klorida hydrochlorothiazide meningkat secara signifikan dari 3,7 0,9-5,5 0,3 dan dari 3,9 0,19-6,5 0,3 , masing-masing ( P chlorthalidone > Hidroklorotiazid. Perkiraan dosis masing-masing obat diperkirakan akan mengurangi tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg adalah 1,4 , 8,6 , dan 26,4 mg, masing-masing, dan tidak ada bukti perbedaan dalam penurunan maksimum tekanan darah sistolik dengan dosis tinggi thiazides berbeda. Potensi seri untuk tekanan darah diastolik, kalium serum, dan urat adalah serupa dengan yang terlihat untuk tekanan darah sistolik. Hidroklorotiazid, chlorthalidone, dan bendroflumethiazide berpotensi sangat berbeda. Hal ini dapat menjelaskan perbedaan dalam efek antihipertensi antara hidroklorotiazid dan chlorthalidone menggunakan rentang dosis standar.

b. BETA BLOCKERBeta-blockers for hypertension.Wiysonge CS, Bradley HA, Volmink J, Mayosi BM, Mbewu A, Opie LH.SourceInstitute of Infectious Disease and Molecular Medicine & Division of Medical Microbiology, University of Cape Town, Anzio Road, Observatory, South Africa, 7925.

LATAR BELAKANG :Ulasan ini adalah update dari Review Cochrane diterbitkan pada tahun 2007 , yang menilai peran beta - blokade sebagai terapi lini pertama untuk hipertensi.TUJUAN :Untuk mengukur efektivitas dan keamanan beta-blocker pada morbiditas dan mortalitas endpoint pada orang dewasa dengan hipertensi .METODE :Pada Desember 2011 peneliti mencari Register Cochrane Central Register of Controlled Trials, Medline, Embase, dan daftar referensi dari tinjauan sebelumnya , karena studi yang memenuhi syarat diterbitkan sejak pencarian sebelumnya dilakukan pada bulan Mei 2006.KRITERIA SELEKSI :Percobaan terkontrol acak ( RCT ) minimal setahun lamanya , yang menilai efek dari beta - blocker dibandingkan dengan plasebo atau obat lain , sebagai terapi lini pertama untuk hipertensi , pada mortalitas dan morbiditas pada orang dewasa.

PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS :Peneliti memilih studi dan mengambil data dalam rangkap . Kami menyatakan hasil studi lain rasio risiko ( RR ) dengan interval kepercayaan 95 % ( CI ) dan menggabungkannya menggunakan fixed - efek atau metode acak-efek , yang sesuai.HASIL UTAMA :Penulis memasukkan 13 RCT yang membandingkan beta - blocker dengan plasebo ( 4 percobaan , N = 23.613 ) , diuretik ( 5 percobaan , N = 18.241 ) , calcium channel blockers ( CCB : 4 percobaan , N = 44.825 ) , dan sistem renin-angiotensin ( RAS ) inhibitor ( 3 percobaan , N = 10.828 ) . Tiga - perempat dari 40.245 peserta beta - blocker digunakan atenolol . Kebanyakan penelitian memiliki risiko tinggi bias , akibat berbagai keterbatasan dalam desain penelitian , perilaku , dan data kematian analysis.Total tidak berbeda secara signifikan antara beta - blocker dan plasebo ( RR 0,99 , 95 % CI 0,88-1,11 , saya ( 2 ) = 0 % ) , diuretik atau penghambat RAS , namun lebih tinggi untuk beta - blocker dibandingkan dengan CCB ( RR 1,07 , 95 % CI 1,00-1,14 , I ( 2 ) = 2 % ) . Jumlah penyakit kardiovaskular ( CVD ) adalah lebih rendah untuk beta - blocker dibandingkan dengan plasebo ( RR 0,88 , 95 % CI 0,79-0,97 , I ( 2 ) = 21 % ) . Hal ini terutama refleksi dari penurunan yang signifikan dalam stroke ( RR 0,80 , 95 % CI 0,66-0,96 , I ( 2 ) = 0 % ) , karena tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penyakit jantung koroner ( PJK ) antara beta - blocker dan plasebo . Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penarikan dari pengobatan diberikan karena efek samping antara beta - blocker dan plasebo ( RR 1,12 , 95 % CI 0,82-1,54 , I ( 2 ) = 66 % ) . Pengaruh beta-blocker pada CVD secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan CCB ( RR 1,18 , 95 % CI 1,08-1,29 , I ( 2 ) = 0 % ) , tetapi tidak berbeda dengan diuretik atau RAS inhibitor . Selain itu, ada peningkatan stroke pada beta - blocker dibandingkan dengan CCB ( RR 1,24 , 95 % CI 1,11-1,40 , I ( 2 ) = 0 % ) dan RAS inhibitor ( RR 1,30 , 95 % CI 1,11-1,53 ; I ( 2 ) = 29 % ) . Namun, PJK tidak berbeda secara signifikan antara beta - blocker dan diuretik , CCB atau penghambat RAS . Peserta pada beta - blocker lebih mungkin untuk menghentikan pengobatan karena efek samping dibandingkan pada RAS inhibitor ( RR 1,41 , 95 % CI 1,29-1,54 , I ( 2 ) = 12 % ) , tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dengan diuretik atau CCB .KESIMPULAN :Memulai pengobatan hipertensi dengan beta - blocker menyebabkan pengurangan resiko dalam penyakit kardiovaskular dan tidak ada efek yang signifikan pada kematian . Efek-efek dari beta - blocker lebih rendah dibanding obat antihipertensi lainnya . Kualitas GRADE ini rendah , menyiratkan bahwa efek sebenarnya dari beta - blocker mungkin jauh berbeda dari perkiraan efek yang ditemukan dalam ulasan ini . Penelitian lebih lanjut harus berkualitas tinggi dan harus menyelidiki apakah ada perbedaan antara berbagai sub - jenis beta -blocker atau apakah beta -blocker memiliki efek yang berbeda pada pasien yang lebih muda dan orang tua .

c. ACE INHIBITORCaptopril memiliki efek anti hipertensi lebih baik disbanding diuretic ataupun beta bloker, terutama hipertensi disertai metabolic decompensation (Niskanen et al, 2001). Terapi ACEI terbukti tidak preventif terhadap pencegahan hipertensi. Namun terbukti efektif terhadap komplikasi hipertensi berupa stroke. (Hansson, 2009). Penggunaan terapi ACEI atau ARB terbukti dapat menurunkan progresivitas hypertensi dan pencegahan terhdap penyakit cardiovascular lain dalam rentang percobaan terapi selama 24 jam (Hermida, 2010)

d. ARBMekanisme kerja ARB : Sintesis angiotensin 2 bertindak pada reseptor AT1, yang berhubungan dengan hipertrofi otot jantung. Sebaliknya, ARB secara khusus menghambat reseptor AT1. Dengan demikian, memberikan hambatan yang lebih besar untuk efek patologi dari angiotensin 2, dimana melalui mediasi reseptor AT1. Berdasarkan jurnal evidence-based efektivitas dari ARB menunjukkan bahwa penggunaan valsartan dan losartan dapat digunakan standart pengobatan pada pasien dengan gagal jantung yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Sedangkan irbesartan dapat digunakan untuk pasien hipertensi dan mengalami diabetes tipe 2 (Ball and White, 2003).

e. CCBMenurut consumer report health (2011) yang telah merangkum beberapa evidence secara meta-analisis menunjukkan bahwa CCB yang baik digunakan: Untuk pengobatan tekanan darah tinggi tanpa ada komplikasi adalah Amlodopine, karena berdasarkan evidence, biaya, dosing convenience, serta keamanan dari amlodipine yang ditunjukkan dari beberapa trial. Namun penurunan dari tekanan darah tidak begitu signifikan. Penggunaan CCB pada penurunan darah tinggi merupakan second line setelah diuretik. Untuk pengobatan angina adalah Amlodipine, karena dosing convenience, harga, dan keamanannya lebih baik dibanding CCB lainnya. Untuk pengobatan abnormal heart rhythms adalah diltiazem dan verapamil, karena tidak ada CCB lain yang memiliki tujuan terapi untuk abnormal heart rhythms selain kedua obat tersebut. Dipilih diltiazem SR, diltiazem CD, dan verapamil SR karena terbukti memiliki efektivitas, dosing convencience, dan biaya yang lebih baik.

CCB yang dapat digunakan untuk kondisi tertentu (Consumer Report, 2011) :PenyakitCCB DihidropiridinCCB Non Dihidropiridin

High Blood PressureAmlodipine, Felodipine, Isradipine, Nicardipine, Nisoldipine Diltiazem, Verapamil

AnginaAmlodipine, Nicardipine, Diltiazem, Verapamil

Fast irregular heart rhythmsDiltiazem, Verapamil

VII. KOMPLIKASI HIPERTENSI DAN TERAPINYAa. PENYAKIT JANTUNG KORONER BERDASARKAN JNC1. STEMIMenurut JNC 7, hubungan antara BP dengan resiko CVD berkelanjutan, konsisten dan bergantung pada factor risiko nya. BP yang tinggi berisiko besar mengakibatkan serangan jantung, HF, troke, dan kerusakan ginjal (JNC 7,2003).American College of Cardiology/American Heart Association dan European Society of Cardiology merekomendasikan dalam tata laksana pasien dengan STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker (Farissa,2012).Tatalaksan terapi umum pada STEMI (Farissa,2012):1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.Jantung iskemik merupakan kondisi yeng sering terjadi akibat kerusakan organ yang disebabkan oleh hipertensi.Pada pasien hipertensi dan stable angina pectoris, pilihan utama obat yang digunakan yaitu Beta blocker (BB). Selain BB, ada alternative terapi lain yaitu golongan long-acting CCB. Pada pasien hipertensi dengan Acute coronary Sindrome (ACS) seperti unstable angina atau Miokard Infark, bisa diberikan terapi awal yaitu golongan Beta blocker (BB) dan ACEI. Terapi tersebut harus ditambahkan lagi dengan obat lain untuk mengontrol tekanan darah.

pasien. Pada pasien dengan post-miokard infark, lebih diutamakan pemberian terapi golongan ACEI, BB, dan aldosterone antagonis. Disarankan juga untuk memberikan terapi aspirin dan manajemen kadar lipid (JNC 7,2003).

2. UNSTEMINon-ST-segmen elevasi MI, sebelumnya dikenal sebagai non gelombang Q atau non-transmural MI, terbatas pada bagian sub-endokardium miokardium. Pasien dengan NSTE MI biasanya tidak ditemukan gelombang Q pada pemeriksaan patologis EKG. NSTE MI lebih kecil dan tidak begitu luas dibandingkan dengan STE MI. Non-ST elevation MI berbeda dari unstable angina terutama pada tingkat iskemia yang cukup parah yang menghasilkan nekrosis miokard mengakibatkan rilis sejumlah penanda biokimia yang terdeteksi (makromolekul intraseluler dilepaskan ke dalam sirkulasi perifer dari nekrotik miosit sebagai akibat dari kematian sel miokard atau infark), terutama troponin T atau I atau creatine kinase (CK) Band miokard (MB) dari miosit nekrotik dalam peredaran darah (Chisholm-Burns et al, 2008).Non - ST - Segmen Elevation Myocardial Infark ( NSTEMI ) (Overbaugh, 2009) :Penyebab Trombus sebagian atau yang sedikit demi sedikit menyumbat arteri coroner.

Tanda dan Gejala Nyeri dengan atau tanpa radiasi di lengan, leher, punggung, atau daerah epigastrium Sesak napas, diaforesis, mual, pusing, takikardi, takipnea, hipotensi atau hipertens, penurunan saturasi oksigen arteri ( SaO2 ) dan kelainan ritme Terjadi pada saat istirahat atau aktivitas dengan tenaga ; aktivitas terbatas Terjadi dalam durasi yang lebih parah daripada unstable anginaTemuan diagnostik Depresi segmen ST atau inversi gelombang T pada elektrokardiografi Biomarker jantung yang meningkatPengobatan Oksigen untuk mempertahankan SaO2 level > 90 % Nitrogliserin atau morfin untuk mengontrol rasa sakit -blocker , angiotensin -converting enzyme inhibitor , statin ( mulai inisiasi dosis dan terus berlanjut jangka panjang ), clopidogrel ( \Plavix), heparin tak terpecah atau lowmolecular - heparin, dan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor Kateterisasi jantung dan kemungkinan intervensi koroner perkutan untuk pasien dengan nyeri dada yang sedang berlangsung, ketidakstabilan hemodinamik, atau peningkatan risiko kondisi klinis yang memburuk.

3. ANGINAAngina harus segera diterapi untuk mencegah miokard infark , kematian, dan mengurangi symptoms angina dan kejadian iskemik. Terapi inisiasi adalah BB. Kerja BB adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan cardiac output, heart rate dan AV conduction. Penurunan inotropy (inotropik negatif) dan heart rate menurunkan permintaan (demand) oksigen oleh tubuh. Jika tidak berefek atau efeknya kurang poten maka diberikan long-acting, dihydropyridine or nondihydropyridine-type CCBs karena CCB menurunkan total resistensi periperal menurunkan BP, menurunkan resistensi coronary dan meningkatkan poststenotic coronary perfusion. Tetapi, nondihydropyridine CCB juga dapat digunkan tp ketika dikombinasi denga BB bradikardi (hati-hati penggunaannya dengan penyakit lain yang bertambah parah jika pasien bradikardi). Jika kombinasi CCB dan BB tidak berefek juga maka dapat ditambahkan nitrat (Aram, et al., 2003).Jenis CCB non dihridopiridine yang mempunyai efek inotropik negatif dan kronotopik negatif yaitu : verapamil , diltiazem. Sedangkan jenis CCB dihidropiridine yang digunakan untuk angina adalah nipedipin (Aram, et al., 2003).

b. HIPERTENSI DENGAN ISCHEMI HEART DISEASESebab tunggal tersering dari kematian adalah penyakit jantung iskemik, yang disebabkan oleh insufisiensi aliran darah koroner (Guyton & Arthur 1990).1. Aterosklerosis Sebagai Penyebab Penyakit Jantung IskemikSebab tersering dari berkurangnya aliran darah koroner adalah skelerosis, dimana kolesterol dan lemak secara berangsur-angsur ditumpukkan di bawah lapisan intima pada banyak tempat di dalam arteri. Kemudian daerah penumpukan ini dimasuki oleh jaringan fibrosa, dan mereka juga sering mengalami kalsifikasi. Hasil akhirnya adalah timbulnya daerah-daerah ateroskelrotik dan dinding arteri sangat keras, tidakdapat berkonstriksi dan dilatasi.2. Penyumbatan Koroner AkutPenyumbatan akut arteri koronaria sering terjadi pada orang yang telah menderita penyakit jantung koroner arterosklerotik yang berat, tetapi hampir tidak pernah pada orang dengan sirkulasi koroner normal. Keadaan ini dapat disebabkan oleh salah satu dari beberapa macam efek, sebagai berikut:a. Daerah aterosklerotik dapat menyebabkan suatu bekuan darah setempat, disebut trombus, yang sebalikya menyumbat arterti tersebut.b. Sering suatu arteri nutrisia kecil dekat daerah arterosklerosis pecah dan mengeluarkan darah sehingga mengakibatkan penonjolan. Penonjolan ini dapat menurunkan aliran darah arteri.c. Spasme setempat suatu arteri koronaria dapat juga menyebabkan penyumbatan tibatiba.3. Infark MiokardiumSegera setelah penyumbatan koroner akut, aliran darah berhneti di dalam pembuluhpembuluh koroner di luar penyumbatan tersebtu, kecuali untuk sejumlah kecil aliran kolateral pembuluh-pembuluh sekitar. Daerah otot yang sama sekali tidak mempunyai aliran darah atau alirannya sedemikian kecil sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung dikatakan mengalami infark. Seluruh proses itu disebut suatu infark miokardium. Otot jantung memerlukan kira-kira 1,3 ml oksigen per 100 gram jaringan otot per 100 gram jaringan otot per menit hanya untuk mempertahankan kehidupannya saja.Oleh karena itu, bila masih ada 10 sampai 15 persen saja dari aliran darah koroner waktu istirahat normal, otot tersebut tidak akan mati. Tetapi, di bagia tengah dari suatu infark yang besar, aliran darah biasanya lebih sedikit sehingga ototnya benar-benar mati (Guyton & Arthur 1990).Sebab sebab kematian setelah penyumbatan coroner akut.1. Menurunnya Curah JantungBila beberapa serabut otot jantung tidak berfungsi sama sekali dan serabut-serabut lain terlalu lemah untuk berkontraksi dengan tenaga yang besar, seluruh kemampuan pompa ventrikel yang terkena juga berkurang.Bila jantung tidak dapat berkontraksi dengan kekuatan cukup untuk memompa darah kedalam percabangan arteri, terjadi kegagalan jantung dan kematian jaringan perifer sebagai akibat iskemia perifer. Keadaan ini disebut syok koroner, syok jantung, atau kegagalan dengan curah jantung rendah (Guyton & Arthur 1990).2. Pembendungan Darah di Dalam Sistem VenaBila jantung tidak memompa darah ke depan, harus ada darah yang terbendung di dalam sistem vena dari sirkualsi paru-paru atau sirkulasi sistemik. Bila bendungan tersebut menjadi sangat hebat, kematian sering disebabkan oleh udem paru-paru atau, kadangkadang oleh gejala-gejala bendungan sistemik.3. Rupturnya Daerah InfarkBeberapa hari setelah infark yang besar, serabut-serabut otot yang mati mulai mengalami degenerasi, dan otot jantung yang yang mati tersebut menjadi sangat tipis. Jika ini terjadi, tingkat regangan sistolik menjadi makin besar sampai akhirnya jantung tersebut ruptur.Bila suatu ventrikel ruptur, keluarnya darah ke dalam rongga perikardium cepat menyebabkan timbulnya tamponade jantung, yaitu penekanan jantung dari luar oleh darah yang terkumpul di dalam kavum perikardium. Karena jantung tertekan, darah tidak dapat mengalir ke dalam atrium kanan dengan mudah, dan penderita meninggal karena menurunnya curah jantung dengan tiba-tiba (Guyton & Arthur 1990).4. Fibrilasi ventrikel setelah infark MiokardiumKecenderungan terjadinya fibrilasi sangat besar setelah suatu infark yang besar, tetapi kadang-kadang fibrilasi terjadi setelah suatu penyumbatan kecil saja. TerapiBeberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya Penyakit Jantung Koroner antar lain : ECG, Treadmill, Echokardiografi dan Arteriorgrafi Koroner (yang sering dikenal sebagai Kateterisasi). Dengan pemeriksaan ECG dapat diketahui kemungkinan adanya kelainan pada jantung Anda dengan tingkat ketepatan 40%. Kemudian bila dianggap perlu, akan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Treadmill Echokardiografi.Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut kemungkinan akan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Arteriografi Koroner (Kateterisasi) yang mempunyai tingkat ketepatan paling tinggi (99 100%) untuk memastikan apakah Anda mempunyai Penyakit Jantung koroner. Kateterisasi Jantung merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk memeriksa struktur serta fungsi jantung, termasuk ruang jantung, katup jantung, otot jantung, sserta pembuluh darah jantung termasuk pembuluh darah koroner, terutama untuk mendeteksi adanya pembuluh darah jantung yang tersumbat (Rasidin, 2010).Bila hasil dari film tersebut diketahui adanya penyempitan pembuluh koroner, maka dokter akan memberitahukan tindakan pengobatan selanjutnya apakah cukup dengan obat atau dengan tindakan pelebaran bagian pembuluh darah jantung yang menyempit atau tersumbat dengan menggunakan alat alat tertentu atau ditiup, Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty, di singkat PTCA atau akhir akhir ini disebut Percutaneous Coronary intervention yang disingkat PCI; atau harus dilakukan Operasi Jantung Terbuka (Open Heart Surgery) untuk memasang pembuluh darah baru menggantikan pembuluh darah jantung yang tersumbat Coronary Artery Bypass Surgery disingkat CAB. Dengan semakin canggihnya peralatan Angiografi dan berkembangnya teknik teknik baru, pada umumnya tindakan kateterisasi secara praktis dianggap tidak ada resiko. Tindakan peniupan atau balonisasi atau Angioplasti bertujuan untuk melebarkan penyempitan pembuluh koroner dengan menggunakan kateter khusus yang ujungnya mempunyai balon. Balon dimasukkan dan dikembangkan tepat ditempat penyempitan pembuluh darah jantung. Dengan demikian penyempitan tersebut menjadi terbuka (Rasidin 2010).Untuk menyempurnakan hasil peniupan ini, kadang kadang diperlukan tindakan lain yang dilakukan dalam waktu yang sama, seperti pemasangan ring atau cincin penyanggah (Stent), pengeboran kerak di dalam pembuluh darah (Rotablation) atau pengerokan kerak pembuluh darah (Directional Atherectomy) (Rasidin 2010).

c. HIPERTENSI PADA IBU HAMILHarus dibedakan antara preeklampsia dari hipertensi kronis, sementara, dan gestasional. Preeklamsia dapat berubah menjadi komplikasi yang dapat merenggut nyawa baik ibu dan fetusnya. Diagnosa preeklampsia berdasarkan munculnya hipertensi (>160/110 mmHg) setelah minggu ke 20 gestasi dengan proteinuria. Hipertensi kronis sudah ada sebelum minggu ke 20 gestasi. Masih kontroversi apakah menguntungkan mengobati peningkatan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi kronik kehamilan. Perempuan dengan hipertensi kronik sebelum kehamilan dapat menderita preeklamsia (Depkes, 2006).Pengobatan yang jelas untuk preeklampsia adalah melahirkan. Terminasi kehamilan jelas diindikasikan apabila eklampsia terjadi (preeklampsia + kejang). Bila tidak, penatalaksanaannya terdiri dari restriksi aktifitas, istirahat (bed rest), dan monitoring. Pembatasan garam atau tindakan lain yang menurunkan volume darah tidak boleh dilakukan. Obat antihipertensi digunakan sebelum induksi melahirkan bila tekanan darah diastolic >105 atau 110 mmHg, dengan target 95 105 mmHg. Hidralazine intravena umumnya digunakan, dan intravena labetalol juga efektif. Nifedipine short acting juga digunakan tetapi tidak disetujui oleh FDA untuk hipertensi, karena efek samping terhadap fetus dan ibu (hipotensi dengan fetal distress) telah dilaporkan. Banyak obat dapat digunakan untuk mengobati hipertensi kronis pada perempuan hamil. Metildopa adalah obat pilihan. Data menunjukkan kalau aliran darah uteroplacenta dan hemodinamik fetus stabil dengan metildopa. Dan dianggap sangat aman berdasarkan data follow-up jangka panjang (7,5 tahun). Penyekat beta, labetalol, dan antagonis kalsium dapat digunakan sebagai alternative. ACE inhibitor dan ARB adalah absolute kontraindikasi (Depkes, 2006).

d. HIPERTENSI DENGAN HEART FAILUREHeart Failure atau gagal jantung adalah suatu kondisi saat pompa darah dari jantung (cardiac output) tidak mencukupi kebutuhan metabolic tubuh atau dapat dikatakan bahwa perfusi ke jaringan kurang. Hal ini terjadi karena cardiac output yang terlalu rendah (Gunawan, 2007).

Penyebab (Etiologi)

Salah satu penyebab dari Heart failure adalah hipertensi. Hipertensi dapat menyebabkan disfungsi systole dan diastole jadi banyak pasien hipertensi terkena HF sebagai hasil dari penurunan kontraksi otot jantung dan pengisian ventrikel yang abnormal (Dipiro, 2007).

Mekanisme Kompensasi (Dipiro, 2007) :1. Peningkatan Preload (Melalui retensi Na dan air) yang berfungsi untuk mengoptimalkan stroke volume malalui mekanisme Frank Starlink. Namun kompensasi ini dapat merugikan karena bisa menyebkan penyumbatan paru paru dan penyumbatan sistemik serta terjadi edema2. Vasokontriksi yang berguna untuk menjaga tekanan darah dan mengalirkan darah dari organ yang nonesensial menuju ke otak dan jantung. Kerugian dari mekanisme kompensasi ini adalah peningkatan after load, penurunan stroke volume dan lebih jaun dapat mengkatifasi respon kompensasi3. Takikardi dan peningkatan kontraksi jantung (karena aktifasi SNS) yang berguna untuk membantu menjaga CO namun dapat menimbulkan pemendekan waktu pengisian diastolic , downregulasi beta1 reseptor, menurunkan sensitifitas reseptor, presipitasi dari eritmia ventrikuler dan peningkatan resiko kematian sel otot jantung4. Hipertropi ventricular dan Remodelling jantung yang berguna untuk membantu menjaga CO, menurunkan stress dinding otot jantung namun dapat menyebabkan disfungsi diastolic, disfungsi sistolik, peningkatan resiko kematian sel otot jantung, peningkatan resiko iskemi otot jantung, peningkatan resiko aritmia, dan fibrosis pada jantung.

Klasifikasi Heart Failure (Dipiro, 2007) :1. Berdasarkan AHAStage A Pasien dengan resiko tinggi untuk perkembangan gagal jantungStage B Pasien dengan struktur heart disease tapi tidak muncul tanda dan gejala dari gagal jantungstage C Pasien dengan struktur heart disease dan muncul gejala gagal jantungStage D 2. Berdasarkan NYHA (New York Heart Association Classification)Class IPenderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan dyspnea atau kelelahan.Class IIPenderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari aktivitas fisik. Saat istirahat tidak ada keluhan. Aktivitas sehari-hari menimbulkan dyspnea atau kelelahan.Class IIIPenderita penyakit jantung disertai limitasi aktivitas fisik yang nyata. Saat istirahat tidak ada keluhan. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan dyspnea atau kelelahan.Class IVPenderita penyakit jantung yang tak mampu melakukan setiap aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan. Gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin sudah nampak saat istirahat. Setiap aktivitas fisik akan menambah beratnya keluhan.

Terapi Hipertensi dengan HF (Dipiro, 2007 dan Gunawan, 2007) :Terapi untuk pasien hipertensi dengan HF adalah1. First Line nya ACE inhibitor dan DiuretikACE inhibitor disarankan berdasarkan outcomenya terhadap penurunan morbiditas dan mortalitas berdasarkan studi klinikal trial. Ace inhibitor harus dimulai dari dosis rendah. Karena Heart Failure menginduksi mekanisme kompensasi mengaktivasi rennin (kadar rennin tinggi) dan penggunaan ACE inhibitor dapat menimbulkan efek pronounced-dose effect dan kemungkinan hipotensi ortostatik. Pada gagal jantung digunakan ACE inhibitor dengan dosis 6,25 mg yang berfungsi sebagai terapi untuk mencegah remodelling jantung.

Sedangkan untuk diuretic direkomendasikan sebagai first line karena dapat menghilangkan gejala berupa edema. Yang biasa digunakan adalah loop diuretic. Untuk pasien dengan disfungsi ventrikel kiri target BP adalah 120/80 mmHg. Jadi membutuhkan agen lain sebagai terapi HT.

2. BB BlokerSetelah memulai terapi dengan ACE I dan diuretic , Agen lain yang dpt digunakan adalah BB. BB sesuai untuk pasien HT dengan HF yang memiliki disfugsi ventrikel kiri. Namun dosis yang diberikan harus tepat yaitu harus dimulai dalam dosis yang sangat rendah (lebih rendah dari dosis yang digunakan untuk HT tanpa HF) dan dititrasi perlahan ke dosis tinggi berdasarkan toleransi nya. Karena BB dapat menyebabkan eksaserbasi akut gagal jantung. BB yang digunakan adalah Bisoprolol, Carvedilol, dan metoprolol.

3. ARBAgen lain yang bisa digunakan adalah ARB. ARB bisa digunakan sebagai alternative ketika pasien HT dengan ACEI.4. Aldosterone AntagonisAldosterone antagonis seperti Spironolakton dapat ditambahkan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Spironolakton dapat ditambahkan sebagai terapi bersama ACE I dan diuretic dan menunjukkan manfaat yang besar pada kelainan ventrikel kiri yang parah. Selain itu ada juga Eplerenone juga bisa digunakan. 5. Untuk terapi HF bisa menggunakan DigoxinPada terapi gagal jantung Digoksin memeiliki efek Inotropik positif dan kronotropik negative (mengurangi frekuensi denyut ventrikel) dan mengurangi aktivitas saraf simpatis. Digoksin hanya diindikasikan untuk pasien gaga; jantung dengan fibrilasi atrium, pasien gagal jantung dengan dengan ritme sinus yang masih simtomatik terutama yang disertai dengan takikardi. Dosis digoksin yang digunakan adalah 0,125 0,25 mg/hari jika fungsi ginjal normal.6. Tidak direkomendasikan penggunaan bersama Aldosterone antagonis dan ARB karena peningkatan resiko hiperkalemi.7. Pada pasien HT dengan HF harus dihindari penggunaan CCB yang memiliki efek inotropik negative seperti verapamil, diltiazem, dan beberapa golongan dihidropiridine kecuali dihidropiridine generasi 2 (amloidipine) masih boleh dipergunakan serta dihindari penggunaan vasodilator yang berefek langsung yaitu minoksidil yang dapat menyebabkan retensi natrium

e. HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUSHipertensi merupakan masalah umum yang sering terjadi pada pasien DM. Ini dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitasnya. Hypertension in Diabetes Study Group melaporkan jika prevalensi 39 % terjadinya hipertensi pada pasien yang baru didiagnosa ini setengahnya diawali dengan mikroalbuminuria dan terkait dengan obesitas. Pada diabetes tipe 2, hipertensi sering muncul sebagai gangguan dari sindrom metabolic. Hipertensi harus dideteksi dan diobati secara dini dalam perjalanan diabetes melitus untuk mencegah penyakit jantung dan untuk menunda perkembangan penyakit ginjal dan retinopati diabetik . diabetes pasien juga harus diskrining untuk proteinuria atau mikroalbuminuria (Clinical Practice Guideline Team, 2008).Penyebab hipertensi pada diabetes melitus ialah (Das, et al., 2001) :1. Tidak terkontrolnya metabolisme state2. Insulin resisten mungkin menyebabkan abnormalitas pada : Renal tubular ion exchange. Transmembrane ion exchange in vascular bed. Renin angiotensin system. Prostaglandin kallikrein/kinin system. Inter-relationship with Mg. Atrial natriuretic peptide. Diabetic nephropathy. Sympathetic nervous system involvement. Other endocrine syndromes/secondary causes.Tipe hipertensi pada diabetes melitus ialah (Das, et al., 2001):1. Essential hypertension hipertensi primer2. Hypertension consequent to nephropathy kerusakan ginjal kayak mikroalbuminuria3. Isolated systolic hypertension diastolenya normal4. Supine hypertension with orthostatic fall gak bias apa2 (dr telentang ke duduk)

Target terapi hipertensi dengan DMTerapi farmakologi perlu diinisiasikan pada pasien DM dengan BP >130/80 mmHg. Target BP harus kurang dari 130/80 mmHg. Bila pada pasien yang terdapat proteinuria maka < 125/75 mmHg (Das, et al., 2001).

Terapi nonfarmakologi HT dengan DMBerdasarkan Guideline Hypertension dari University of Cambridge 2009, terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan serta manfaatnya, yaitu :

Menurut Mancia, et al., 2013, terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

Terapi farmakologi HT dengan DM (Bakris, et al., 2008) :

1. ACEIBerdasarkan data yang luas, ACEI menunjukkan efek renal-protective dan juga pada kardiovaskular pasien DM. Selain itu juga tidak terlalu berefek pada lipid dan metabolisme karbohidrat. ACEI ini berperan dalam aksi bradikinin yang dapat mempotensiasi sensitivitas dari insulin yang menginduksi uptake glukosa. Namun jika Scr