draft iii pklp tnlw_mdk

155
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) yang terletak di Pulau Sumba mempunyai wilayah berhutan seluas 47.014 hektar merupakan 20,4% dari seluruh kawasan hutan di Sumba Timur yang luas totalnya sekitar 230.502 hektar. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sendiri secara geografis memiliki topografi yang berbukit dengan 15 gunung yang merupakan bagian ekosistem dataran tinggi Pulau Sumba. Salah satu gunung di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wangggameti yang bernama Gunung Wanggameti dengan ketinggian 1225 mdpl merupakan gunung yang tertinggi di Pulau Sumba. Beberapa gunung yang lain yaitu G. Nggiku (1.150 mdpl), G.Tabau (1.100 mdpl), G.Wairunu (1.072 mdpl) dan masih ada beberapa gunung lain dan perbukitan yang membentang di dalam kawasan taman nasional. Keberadaan kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti yang kaya akan potensi kenaekaragaman hayati serta fungsinya sebagai menara air, kawasan wisata alam dan budaya masyarakat, membuat lokasi ini penting untuk dipelajari lebih dalam. Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) merupakan mata kuliah yang dikembangkan oleh Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) untuk mencapai visi, misi dan tujuan DKSHE dalam menghasilkan sarjana profesional. Mata kuliah ini 1

Upload: gigihekaparatama

Post on 03-Jul-2015

593 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Draft III Pklp Tnlw_mdk

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) yang terletak

di Pulau Sumba mempunyai wilayah berhutan seluas 47.014 hektar merupakan

20,4% dari seluruh kawasan hutan di Sumba Timur yang luas totalnya sekitar

230.502 hektar. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sendiri secara geografis

memiliki topografi yang berbukit dengan 15 gunung yang merupakan bagian

ekosistem dataran tinggi Pulau Sumba. Salah satu gunung di kawasan Taman

Nasional Laiwangi Wangggameti yang bernama Gunung Wanggameti dengan

ketinggian 1225 mdpl merupakan gunung yang tertinggi di Pulau Sumba.

Beberapa gunung yang lain yaitu G. Nggiku (1.150 mdpl), G.Tabau (1.100 mdpl),

G.Wairunu (1.072 mdpl) dan masih ada beberapa gunung lain dan perbukitan

yang membentang di dalam kawasan taman nasional.

Keberadaan kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti yang kaya

akan potensi kenaekaragaman hayati serta fungsinya sebagai menara air, kawasan

wisata alam dan budaya masyarakat, membuat lokasi ini penting untuk dipelajari

lebih dalam. Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) merupakan mata kuliah yang

dikembangkan oleh Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

(DKSHE) untuk mencapai visi, misi dan tujuan DKSHE dalam menghasilkan

sarjana profesional. Mata kuliah ini merupakan sarana untuk

mengimplementasikan, menambah pengetahuan dan menambah pengalaman

lapang bagi mahasiswa DKSHE. PKLP yang dilaksanakan di Taman Nasional

Laiwangi Wanggameti dilakukan untuk mengkaji aspek-aspek pengelolaan taman

nasional secara umum selain kegiatan untuk inventarisasi keanekaragaman hayati

(flora dan fauna), potensi ekowisata, serta jasa lingkungan, sosial, dan budaya

masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Hasil

akhir dari kegiatan ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak pengelola sebagai

data tambahan guna pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.

1.2 Tujuan

Tujuan dilaksanakannya Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) yaitu

untuk memenuhi kompetensi dalam rangka meningkatkan kemampuan praktik

1

Page 2: Draft III Pklp Tnlw_mdk

lapang di bidang konservasi. Namun selain itu juga PKLP yang dilaksanakan di

Taman nasional Laiwangi wanggameti ini memiliki tujuan antara lain yaitu :

1. Mendapatkan data potensi kawasan Taman Nasional Laiwangi-

wanggameti yang meliputi potensi flora dan fauna.

2. Mengidentifikasi potensi ekowisata serta kondisi fisik lingkungan Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti.

3. Mempelajari pengelolaan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

1.3 Manfaat

Kegiatan praktik kerja lapang yang dilakukan oleh mahasiswa

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata mempunyai manfaat

baik untuk manajemen pengelola kawasan maupun bagi mahasiswa sendiri.

Adapun manfaat bagi pengelolaan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah

data dan informasi yang didapatkan dari hasil kegiatan ini akan menjadi data awal

dalam mendukung perlindungan terhadap nilai-nilai Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti dan pengelolaan lestarinya.

Sedangkan manfaat bagi mahasiswa Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata adalah :

1. Memberikan pengalaman survei dan pengetahuan mengenai metodologi

survei pada mahasiswa.

2. Meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam mengeksplorasi dan

menganalisis potensi dari keanekaragaman hayati dan ekosistem di Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti.

2

Page 3: Draft III Pklp Tnlw_mdk

BAB II

KEADAAN UMUM LOKASI

2.1 Letak dan Luas

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) terletak di Pulau

Sumba yaitu di barat daya Propinsi NTT, tepatnya sekitar 96 km di sebelah

selatan P. Flores, 295 km di sebelah barat daya P. Timor dan 1.125 km di sebelah

barat laut Darwin Australia; dan secara geografis terletak diantara 120˚03’-

120˚19΄ BT dan 9˚57΄- 10˚11΄ LS. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan

dan Perkebunan No.576/Kpts-II/1998 tanggal 3 Agustus 1998, luas kawasan

TNLW adalah 47.014,00 ha. Secara administratif kawasan ini terletak di 4

(empat) wilayah kecamatan, yakni: Kecamatan Tabundung, Pinu Pahar, Karera,

dan Matawai Lapau. Kawasan TNLW berbatasan langsung dengan wilayah

pemukiman dan budidaya dari 16 (enam belas) desa pada empat wilayah

kecamatan tersebut. Dari ke-16 desa yang berada di sekitar kawasan TNLW, di

dalamnya termasuk dua desa di dalam kawasan, yakni adalah Desa Ramuk,

Kecamatan Pinu Pahar dan Desa Katikuwai Kecamatan Matawai Lapau. Kedua

wilayah desa tersebut berstatus enclave pada kawasan Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti.

Gambar 1 Letak dan batas kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

3

Page 4: Draft III Pklp Tnlw_mdk

2.2 Kondisi Fisik

2.2.1 Topografi

Pada umumnya keadaan topografi di TNLW berbukit, sampai dengan

keadaan bergunung dengan memiliki lereng-lereng agak curam sampai sangat

curam. Topografi yang agak datar sampai bergelombang terdapat di bagian

tenggara dan selatan dari Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, sedangkan

yang lainnya memiliki topografi berbukit sampai bergunung dengan memiliki

lereng-lereng agak curam sampai dengan lereng yang curam. Sedangkan untuk

kelompok hutan, Taman Nasional Laiwangi Wanggameti termasuk dalam kelas

lereng 3 yaitu agak curam (15%-25%), kelas lereng 4 yaitu curam (25%-45%) dan

kelas lereng 5 yaitu sangat curam (≥ 45%).

2.2.2 Geologi dan Tanah

Sumba adalah pulau karang terangkat yang datarannya rendah seluas

11.057 km2. Bagian utaranya berupa dataran tinggi yang relatif rata, diselingi oleh

jurang sempit yang curam. Dataran pesisir dipenuhi oleh cekungan-cekungan

dangkal berupa rawa-rawa yang hanya berair sementara (Coates dan Bishop

2000). Profil Pulau Sumba yang merupakan pulau karang ini mengakibatkan

wilayah ini relatif kurang subur dibandingkan pulau-pulau lain seperti Sumatra,

Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya. Hal ini dikarenakan proses pelapukan

bebatuan karang yang belum sampai menjadi tanah mengakibatkan kesuburan

rendah yang hanya bisa ditumbuhi oleh rerumputan. Proses tersebut yang

membuat sebagian besar kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

didominasi oleh padang rumput yang rawan kebakaran saat musim kemarau.

Untuk kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti formasi geologi

terdiri dari endapan permukaan aluvium, batuan sedimen (Formasi Kananggar,

Formasi Paumbapa dan Formasi Tanahroong), batuan gunung api (Formasi Masu

dan Formasi Jawila) serta batuan terobosan granit (Balai TNLW 2010).

2.2.3 Iklim

Menurut peta curah hujan Pulau Sumba Skala 1 : 2.000.000

(Verhandelingen No.42 Map.II Tahun 1951), tipe iklim di Pulau Sumba bervariasi

dari C sampai dengan F. Untuk kawasan TNLW keadaan curah hujan berkisar

antara 100-1500 mm. Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidth-Ferguson kawasan

4

Page 5: Draft III Pklp Tnlw_mdk

hutan Wanggameti termasuk daerah beriklim basah dengan kelembaban sekitar

71%.

Berdasarkan data curah hujan pada wilayah kecamatan sekitar kawasan

TNLW yang bersumber pada data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur

Tahun 2008, diketahui bulan basah (intensitas hari hujan >15 hari) berkisar 2-5

bulan, sedangkan bulan kering berkisar 2-7 bulan. Berikut adalah data hari hujan

dan curah hujan tiap kecamatan di sekitar kawasan TNLW :

Tabel 1 Data curah hujan dan hari hujan kawasan TNLW

No. BulanTabundung Pinu pahar Matawai lapau Karera

Hari Hujan

Curah Hujan

Hari Hujan

Curah Hujan

Hari Hujan

Curah Hujan

Hari Hujan

Curah Hujan

1 Januari 16 416 6 1810 15 350 9 1872 Februari 20 596 11 2110 - - 14 5053 Maret 23 520 15 2751 31 1070 5 754 April 7 77 9 1510 - - 1 355 Mei 5 51 1 120 - - - -6 Juni - - 6 323 - - - -7 Juli - - - - - - - -8 Agustus - - - - - - 3 209 September - - 2 75 - - - -10 Oktober 1 29 2 105 3 170 - -11 November 17 515 18 5085 19 441 17 45212 Desember 22 377 8 1690 20 449 8 181

Rata - Rata 14 323 8 1558 88 2480 6 156 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur Tahun 2008

2.2.4 Hidrologi

Di Pulau Sumba terdapat 7 (tujuh) Daerah Aliran Sungai (DAS) yang

enam diantaranya berada di dalam kawasan TNLW, yaitu : DAS Nggongi, DAS

Lailunggi, DAS Linggit, DAS Kambaniru, DAS Tondu dan DAS Wahang.

Setidaknya terdapat 12 sungai yang berhulu di dalam kawasan Taman Nasional

Laiwangi wanggameti, kedua belas sungai ini tidak pernah kering sepanjang

tahun. Hanya debitnya yang berkurang pada musim kemarau.

Tabel 2 Sungai-sungai yang berhulu di dalam kawasan TNLW

No Nama Sungai Panjang (km) Desa Yang Dilalui1 Praimundi 11 Tarimbang2 Tapil 6 Tapil3 Laputi 17 Praing Kareha4 Laiponju 8 Wahang5 Prambahajala 7 Tawui6 Hambai/Kahalatu 10 Lailunggi

5

Page 6: Draft III Pklp Tnlw_mdk

7 Hambai/Kahalatu 5 Wangga Bewa8 Apu Uru/Warinding 16 Ramuk9 Tamuji 15 Billa10 Wara 13 Karita11 Kanapa Wai 22 Waikanabu12 Lumbung 32 Maidang

Sumber : Laporan Hasil Pembuatan Batas Definitif oleh BPKH Tahun 2006

2.3 Kondisi Biologi

2.3.1 Ekosistem

Tipe ekosistem kawasan TNLW cukup beragam yakni: ekosistem hutan

hujan, ekosistem savana dan ekosistem hutan musim, yang mewakili tipe-tipe

ekosistem utama Pulau Sumba, kecuali ekosistem mangrove. Tipe-tipe ekosistem

kawasan TNLW tersebut dicirikan oleh perbedaan kondisi vegetasi penyusunnya.

2.3.2 Flora

Hasil penelitian Darma dan Peneng (2007) mencatat berbagai jenis pohon

antara lain jambu hutan (Eugenia jamboloides), pulai (Alstonia scholaris), taduk

(Sterculia foetida), beringin (Ficus benjamina), kenari (Canarium asperum),

pandan (Pandanus sp.). Johar (Glochidion rubrum), Kayarak (Magnolia sp.),

Watangga (Elaeocarpus shaericus), Takumaka aweata (Nauclea spp.), Wangga

(Ficus spp.), Aik Papa (Harmsiopanax aculeatus), Aik Tibu (Lindera polyantha),

Labung (jambu-jambuan) (Syzygium spp.), Laru (Garcinia celebica). Kalauki

(Calophyllum sulattri), Bakuhan (Podocarpus imbricarus), Podocarpus

neriifolius), Wata Kamambi (Rauvolfia sp.) yang merupakan salah satu jenis

tumbuhan langka, Kanduru ara baik kayu putih (Palaquium foetida) atau merah

(Palaquium ferox), Lebung (Syzygium anticepticum), Suria (Dysoxylum sp.), Tada

Malara (Euodia latifolia), Bischofia javanica, Engelhardia spicata, Weinmannia

blumei, Polyosma integrifolia, Pandan (Pandanus tectorius), Aik uwu (Trema

orientalis), Maka Wada (Ehretia javanica) Enau (Arenga pinnata). Tumbuhan

yang klimberpemanjat antara lain rotan (Calamus ciliaris), Oru bata

(Daemonorop sp), Raphidopora sp., Pandanus linearis, Ficus spp., Piper spp.,

Rubus muluccanum, Rubus resifolius, Dinochloa sp. dan Passiflora sp. (Darma

dan Peneng 2007).

2.3.3 Fauna

6

Page 7: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Menurut Ditjen PHKA (2007), potensi fauna yang terdapat di Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti terdiri dari 77 jenis burung. Llima diantara enam

burung endemik hidup dan berkembangbiak di kawasan ini, salah satunya yaitu

burung Walik Rawa Manu. Tercatat 43 jenis kupu-kupu termasuk 3 jenis kupu-

kupu endemik Nusa Tenggara.

Berdasarkan data IBA yang dikeluarkan oleh Burung Indonesia (2004),

ada beberapa jenis burung yang dapat ditemukan di Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti, jenis-jenis tersebut antara lain: Julang Sumba (Aceros everetti),

Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea), Kepodang Sungu Sumba (Coracina

dohertyi), Sikatan Sumba (Ficedula harterti), Raja Udang Timor (Halcyon

australasia), Madu Sumba (Nectarinia buettikoferi), Pungguk Wengi (Ninox

rudolfi), Walik Rawa Manu (Pthilinopus roherty), Sikatan Rimba Ayun

(Rhinomyias oscillans), Punai Sumba (Treron tyesmannii), Anis Macan (Zoothera

dohertyi), dan Kacamata Wallacea (Zosterops wallacei). Taman Nasional ini juga

merupakan habitat dari mamalia seperti Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis),

Babi Hutan (Sus sp.), Biawak (Varanus salvator), dan Ular Sanca Timor (Phyton

timorensis) (Ditjen PHKA 2007).

2.4 Kondisi Budaya

Masyarakat sekitar kawasan TNLW merupakan masyarakat Sumba

Timur yang dahulu menganut kepercayaan Marapu. Sekarang, kepercayaan

Marapu tidak lagi dijalankan sebagai kepercayaan melainkan hanya sebagai adat

istiadat. Terdapat beberapa upacara adat yang masih dijalankan, antara lain :

a. Upacara 4 Bulan Kehamilan

Dilaksanakan Hamayang (sembahyang) di pohon kesambi di depan rumah

Umbu. Upacara ini dilakukan untuk mendoakan janin yang ada di rahim agar

diberi kekuatan.

b. Upacara Pemberian Nama

Dilaksanakan pada hari ke-4, 8, 16 sejak kelahiran bayi. Upacara ini

dilakukan dengan membersihkan bale-bale dan memberikan nama kepada bayi

yang baru lahir. Selain itu, dilakukan juga pemotongan seekor babi dan 20 ekor

ayam.

c. Upacara Perkawinan

7

Page 8: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Upacara perkawinan merupakan suatu rangkaian tahapan menuju

perkawinan. Tahapan tersebut antara lain:

1. Lihat Padang

Tahapan ini disebut juga tahap perkenalan. Tahapan ini dilakukan

calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk meminta izin

kepada keluarga pihak wanita untuk melakukan pendekatan kepada

calon mempelai wanita. Dalam tahapan ini calon mempelai pria

membawa 2 ekor kuda (jantan dan betina).

1. Mei Pakarai (lamaran)

Tahapan ini merupakan tahapan dimana calon mempelai pria

sudah meminta izin untuk menikahi calon mempelai wanita. Dalam

tahapan ini, calon mempelai pria membawakan sejumlah 5 ekor kuda

dan 10-15 ekor.

2. Upacara Perkawinan

Dalam upacara adat perkawinan, calon mempelai pria

memberikan sejumlah hewan ternak kepada calon mempelai wanita

sebagai mas kawin. Jumlah hewan yang ditetapkan sesuai dengan

kesepakatan/ musyawarah keluarga.

d. Upacara Kematian

Upacara ini dilakukan sejak seseorang tersebut meninggal sampai waktu

menguburkan tiba. Sejak hari kematian hingga upacara kematiannya (setahun

setelah kematian), setiap harinya dilakukan upacara pukul gong. Ritual tersebut

dilakukan setiap hari untuk memberitahukan bahwa ada kematian di keluarga

yang melakukan ritual pukul gong. Ritual pukul gong dilakukan selama 3-6 bulan.

Upacara tarik batu dilakukan sebagai upacara penguburan kalangan raja

Sumba. Persiapan yang dilakukan antara lain pemilihan batu untuk kubur batu,

persiapan hewan ternak untuk diberikan kepada sanak saudara, serta persiapan

lainnya. Hewan ternak yang diberikan antara lain kuda, kerbau, dan babi. Hewan

ternak tersebut diberikan kepada keluarga perempuan dari pihak raja maupun

Mama. Penguburan raja dilakukan di halaman depan rumah. Terdapat beberapa

simbol di atas makam raja, diantaranya buaya, penyu, ayam dan bebek merupakan

simbol raja. Simbol lainnya disesuaikan dengan karakter raja yang dimakamkan.

8

Page 9: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Selain upacara-upacara adat tersebut adapula upacara adat lain yang ada

di masyarakat Sumba Timur khususnya desa Wahang, yaitu karaki. Karaki

merupakan suatu rangkaian upacara adat sebagai ucapan rasa syukur kepada

pencipta atas hasil panen yang didapat pada musim sebelumnya. Disamping

upacara-upacara adat yang menjadi budaya khas Sumba, bangunan seperti rumah

adat dan kubur batu merupakan daya tarik tersendiri yang dimiliki masyarakat

Sumba. Selain itu, hasil kerajinan seperi kain tenun serta beragam aksesoris juga

menjadi daya tarik tambahan bagi kebudayaan Sumba khususnya Sumba Timur.

Hasil kerajinan masyarakat juga dapat menjadi salah satu upaya pemberdayaan

masyarakat dan akan menghasilkan penghasilan tambahan bagi masyarakat.

2.5 Aksesibilitas

Perjalanan menuju kawasan TNLW dari kota Waingapu dapat ditempuh

menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua melalui dua pintu masuk. Pintu

masuk menuju kawasan TNLW adalah melalui Tabundung (SPTN I) dan Matawai

Lapau (SPTN II). Perjalanan menuju Tabundung dilakukan selama ± 4 jam

dengan kondisi jalan yang beraspal namun keadaannya kurang baik.

Perjalanan menuju Matawai Lapau ditempuih selama ± 3 jam dengan

kondisi jalan cukup baik. Namun, perjalanan menuju kawasan melalui jalur ini

memerlukan kehati-hatian yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan kodisi jalan

yang hanya memiliki lebar 5-7 meter dan terletak di tepi jurang. Selain itu, banyak

terdapat lubang di sepanjang jalan yang digenangi air jika musim hujan. Kondisi

jalan juga berlumpur dan licin untuk dilalui.

9

Page 10: Draft III Pklp Tnlw_mdk

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) yang diselenggarakan

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dilaksanakan selama 1

bulan yaitu mulai tanggal 21 Februari 2011 sampai dengan 21 Maret 2011.

Lokasi praktik kerja lapang ini dilaksanakan di Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan pengamatan dilaksanakan di dua

Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) yaitu di SPTN I Tabundung, jalur

Praingkareha, Billa dan Wudi pandak mulai tanggal 9 sampai dengan 12 Maret

2011 serta SPTN II Matawai Lapau, jalur Hutan Wanggameti, Wundut dan

Katikuai/Hutan Ampupu mulai tanggal 2 sampai dengan 6 Maret 2010.

3.1.1 Kondisi Jalur Pengamatan

3.1.1.1 Jalur Billa

Jalur Billa merupakan habitat riparian yang memiliki kondisi jalur yang

berbatasan dengan sungai. Topografi kawasan ini tidak terlalu berat karena

kisaran ketinggian yang tidak jauh.Ketinggian lokasi penelitian adalah 300-400 m

dpl.

Hutan Billa merupakan perwakilan hutan dataran rendah dengan jenis

tumbuhan yang banyak ditemukan sepanjang jalur pengamatan yaitu Kanjilu

(Ficus fistulosa Reinw. ex Bl.), Manjangi (Kleinhovia hospita Linn.), Karunding

(Pterocymbium javanicum R.Br.), dan Ewai (Pisonia sp.). Hutan Billa awalnya

merupakan areal pemukiman penduduk, namun setelah dibentuk taman nasional

areal pemukiman tersebut direlokasi. Namun sekarang masih terdapat rumah

penduduk yang masih tinggal di dalam hutan Billa. Oleh karena itu di hutan Billa

masih banyak diemukan satwa domestik peliharaan penduduk yang tinggal di

sekitar hutan Billa, satwa domestik tersebut di antaranya yaitu kerbau, sapi, babi,

kuda dan anjing. Di hutan Billa terdapat pula padang rumput yang cukup luas,

lokasi ini dijadikan areal grazing untuk satwa domestik seperti kuda dan kerbau.

Hutan Billa mempunyai sejarah yang penting bagi keberadaan mamalia,

berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola diketahui bahwa hutan Billa

pernah menjadi habitat bagi rusa timor, namun saat ini sudah tidak ditemukan lagi

10

Page 11: Draft III Pklp Tnlw_mdk

adanya rusa timor di wilayah ini. Padang Billa juga banyak ditemukan spesies

burung kirik-kirik Australia. (Gambar 2)

Gambar 2 Tipe habitat jalur Billa.

3.1.1.2 Jalur Praingkareha

Jalur Praingkareha merupakan tipe hutan primer yang memiliki jalan

raya yang membelah hutan ke arah desa Ppraingkareha. Pada kawasan hutan

primer ini yang masih terdapat banyak pohon yang berdiameter besar. Kondisi

topografi secara keseluruhan adalah bukit. Ditengah hutan ditemukan sungai yang

berada di pinggir jalan raya, aliran sungai ini mengalir menuju air terjun laputi.

vegetasi yang ditemukan didominasi oleh pohon – pohon dengan formasi rapat,

jenis-jenis pohon yang ada antara lain Kalumbang (Bombax sp.), Manjangi

(Kleinhovia hospita Linn.), Halai, Wangga(Ficus sp.), dan Kanjilu (Ficus fistulosa

Reinw. ex Bl.).

Semak belukar yang terdapat dijalur ini memiliki ketinggian mencapai 1

meter pada lokasi di pinggir hutan yang dilakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

(RHL) yang dilakukan 2010. Kondisi seperti ini berkorelasi dengan satwa yang

dapat ditemukan (Gambar 3).

Gambar 3 Tipe habitat jalur Praingkareha.

3.1.1.3 Jalur Wundut

Jalur pengamatan berdasarkan fisiognomi hutan kawasan Wundut

merupakan hutan liana yang hijau sepanjang musim dan terdiri atas komunitas

11

Page 12: Draft III Pklp Tnlw_mdk

hutan primer dan hutan sekunder. Ketinggian pada lokasi pengamatan yaitu 1008

mdpl. Hasil analisis vegetasi ditemukan bahwa tingkat pertumbuhan yaitu

pancang cukup mendominasi. Strata bawah dipadati oleh tumbuhan semak yang

yang dapat tumbuh hingga 1-1,5 meter dengan topografi berbukit.jenis vegetasi

dominan yang ditemukan adalah Manjangi (Kleinhovia hospita Linn.), Kanjilu

(Ficus fistulosa Reinw. ex Bl.), Halai, Karunding (Pterocymbium javanicum

R.Br.), dan Wangga (Ficus sp.).

Pada umumnya tinggi pohon rata-rata 15 meter. Pada pohon kedondong

hutan merupakan tempat makan burung Bondol Pancawana. semak yang terdapat

di Wundut merupakan tempat makan burung Madu Sumba. Pada hutan wundut

banyak didapatkan lumut menempel pada pohon .jalur pengamatan mengikuti

jalan setapak yang lebarnya 1-2 meter yang menjadi akses menuju desa

transmigran. Lokasi ini dekat dengan tempat camping ground.(Gambar 4)

Gambar 4 Tipe habitat jalur Wundut.

3.1.1.4 Jalur Katikuai (hutan Aampupu)

Hutan Ampupu yang menjadi lokasi pengamatan merupakan hutan

tanaman Ampupu (Eucalyptus urophylla). Hutan tanaman ini memiliki tajuk

pohon yang rimbun dan rapat. Topografi di hutan tanaman ampupu adalah relatif

datar dan menanjak, dengan kondisi tanah dipenuhi rumput-rumput liar. Jalan raya

yang membelah hutan ampupu menjadi jalur pengambilan titik pengamatan. Pada

pohon ampupu yang sedang berbunga banyak didapatkan kawanan burung perkici

orange yang sedang mencari makan. Jalur Katikuai ini juga merupakan area

untuk gembala warga seperti kerbau, sapi, dan kuda. Strata bawah dipadati oleh

tumbuhan semak yang dapat tumbuh hingga 0- 1 meter dengan topografi berbukit.

Jalur Katikuai ini juga merupakan area untuk gembala warga seperti kerbau, sapi

dan kuda. (Gambar 5)

12

Page 13: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 5 Tipe habitat jalur Katikuai.

3.1.1.5 Jalur Wanggameti

Kondisi jalur ini merupakan hutan hujan campuran yang terdiri dari

komunitas hutan sekunder. Kondisi topografi secara keseluruhan adalah bukit-

bukit dan terdapat pula aliran air berupa sungai kecil di dalam hutan. Berdasarkan

hasil analisis vegetasi di ketahui diameter pohon berukuran kecil dan pada tingkat

pertumbuhannya banyak ditemukan tingkat pancang. Jenis yang terdapat adalah

Manjangi (Kleinhovia hospita Linn.), Halai, Karunding (Pterocymbium javanicum

R.Br.), dan Wangga (Ficus sp.). Di jalur ini juga ditemukan sungai kecil yang

dapat menjadi sumber minum mamalia dan menjadi konsentrasi berkumpulnya

primata monyet ekor panjang. Tinggi rata-rata pohon 15 meter . Kondisi jalur

Wanggameti berupa jalan raya yang menghubungkan dengan Desa Wanggameti.

(Gambar 6)

Gambar 6 Tipe habitat jalur Wanggameti.

13

Page 14: Draft III Pklp Tnlw_mdk

3.2 Metode Pengambilan Data

3.2.1 Inventarisasi Keanekaragaman Hayati

3.2.1.1 Metode Inventarisasi Mamalia

Inventarisasi mamalia yang dilakukan dalam kegiatan praktik kerja

lapang profesi ini menggunakan beberapa metode antara alain yaitu metode

transek jalur (Strip transect), Perangkap, dan Pengamatan Cepat (Rapid

assesment). Alat yang digunakan dalam pengamatan mamalia antara lain yaitu

binokuler, kamera, tally sheet, plastik, perangkap (trap) mamalia, GPS, buku

panduan mamalia , gunting, pinset, dan senter. Sedangkan bahan yang digunakan

antara lain yaitu alkohol dan gypsum.

Metode transek jalur (Strip transect) mempunyai panjang dan lebar jalur

yang digunakan disesuaikan dengan kondisi topografi dan kerapatan tegakan

pada lokasi pengamatan (Gambar 7). Data yang dikumpulkan berdasarkan pada

perjumpaan langsung dengan satwa mamalia yang berada pada lebar jalur

pengamatan. Jumlah jalur yang digunakan dalam pengamatan berjumlah empat

jalur yang terdiri dari jalur pengamatan Billa, Praingkareha, Wanggameti dan

Katikuai yang terdapat dalam SPTN I dan II. Pengamatan pada satu jalur terdiri

dari dua kali pengulangan, yaitu pada periode pagi hari (pukul 05.30-08.00 WIB),

sore hari (pukul 16.00-18.00 WIB) dan malam hari (pukul 21.00-23.00).

Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan yaitu

kurang lebih 25 meter/menit.

Keterangan : To = titik awal jalur pengamatan, Ta = titik akhir jalur pengamatan, P = posisi pengamat, r = jarak

antara pengamat dengan tempat terdeteksinya satwa liar, S = posisi satwa liar.

Gambar 7 Inventarisasi Mamalia dengan metode jalur.

Metode perangkap ini digunakan untuk menginventarisasi mamalia kecil

di lantai hutan, seperti tikus dan jenis-jenis rodentia lain. Selain untuk

14

S1

To P1

S2

Arah lintasan

pengamat

T

1

Page 15: Draft III Pklp Tnlw_mdk

menginventarisasi, satwa yang telah tertangkap dapat digunakan untuk melakukan

studi mengenai morfologi satwa. Perangkap dipasang secara Purposive pada

habitat tertentu yang diduga merupakan habitat utama bagi berbagai mamalia

kecil, misalnya cerukan gua, lubang di pohon, bekas lubang di tanah, bekas

sampah dan sejenisnya. Untuk menarik satwa untuk masuk ke dalam perangkap

digunakan umpan yang berupa kelapa yang telah dibakar agar aroma kelapa dapat

tercium oleh rodentia tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peluang penangkapan

semakin besar. Perangkap ini membuat satwa satwa yang tertangkap tidak akan

mati.

Gambar 8 Pemasangan perangkap Mamalia

Metode ketiga ini yaitu pengamatan cepat (Rapid assement) digunakan

untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan.

Pengamatan tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi khusus.

Pengamat cukup mencatat jenis-jenis mamalia yang ditemukan, misalnya pada

saat melakukan survei lokasi, berjalan diluar waktu pengamatan, dan sebagianya.

Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang berada di

lokasi pengamatan, tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung pendugaan

populasi.

3.2.1.2 Metode Inventarisasi Burung

Metode inventarisasi burung yang digunakan pada pengamatan ini yaitu

metode titik hitung atau IPA (Indices Ponctuel d’Abondance) dan metode Daftar

Jenis MacKinnon atau yang dikenal juga dengan metode Daftar 20 Jenis

MacKinnon (Twenty Spesies List). Metode titik hitung atau IPA (Indices Ponctuel

d’Abondance) digunakan untuk mendapatkan nilai kelimpahan relatif dari jenis-

jenis burung di habitat-habitat yang diamati. Pengamatan dilakukan pada lima

lokasi pengamatan yaitu Wundut, Katikuai, Wanggameti, Billa, dan Praingkareha.

Pada kelima lokasi pengamatan tersebut dibuat 10 titik dengan radius pengamatan

15

Page 16: Draft III Pklp Tnlw_mdk

25 meter dan jarak minimal antar titik 100 meter (Gambar 9). Setiap jenis burung

yang dijumpai pada setiap titik di dalam jalur pengamatan dicatat. Pengamatan

pada setiap titik dilakukan selama 10 menit.

Gambaran tentang kekayaan jenis burung digunakan metode Daftar Jenis

MacKinnon atau yang dikenal juga dengan metode Daftar 20 Jenis MacKinnon

(Twenty Spesies List). Menurut Mackinnon (1990) setiap daftar berisikan 20 jenis

burung. Jenis yang sama dapat dicatat lagi pada daftar yang baru. Robertson dan

Liley (2000) mengemukakan bahwa daftar yang berisi kurang dari 20 jenis dapat

digunakan, tergantung pada kekayaan burung di suatu habitat. Mengingat relatif

singkatnya waktu pengamatan dan cakupan areal pengamatan yang tidak terlau

lama, maka di dalam pengamatan ini digunakan daftar yang berisi 10 jenis.

Pengamatan burung ini dilakukan oleh empat orang, dimana dua orang

bertugas untuk mengamati burung dengan bantuan binokuler Nikon Action 10x50

dan buku panduan lapang (Fieldguide Burung-burung di Kawasan Wallacea

Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara), satu orang bertugas untuk mencatat

setiap jenis burung yang ditemukan, dan sisanya bertugas untuk mengambil

gambar burung dengan kamera digital. Tugas-tugas dalam kegiatan pengamatan

burung ini dilakukan secara bergantian untuk tiap orangnya.

Gambar 9 Penempatan titik-titik hitung di sepanjang jalur pengamatan

3.2.1.3 Metode Inventarisasi Kupu-kupu

Metode yang dilakukan untuk pengamatan kupu-kupu adalah metode

time search. Time search merupakan salah satu metode inventarisasi dengan

menggunakan batasan waktu (menit) tertentu yang ditetapkan dengan konsisten,

yang ditujukan sebagai alternatif pengganti plot yang pada umumnya

menggunakan batasan jarak (luasan tertentu). Pengamatan dilakukan rata-rata

16

1 km

200 m

Page 17: Draft III Pklp Tnlw_mdk

mulai dari pukul 08.00 s.d. 14.00 WITA. Waktu tersebut disesuaikan dengan

waktu aktif kupu-kupu antara pukul 08.00-16.00 WITA.

Pengamatan kupu-kupu dilakukan di empat lokasi, yaitu Praingkareha

dan Billa di SPTN I serta Hutan Wanggameti dan Katikuai/Hutan Ampupu di

SPTN II. Kegiatan pengamatan ini dilakukan dengan sumberdaya tiga orang

dimana dua orang bertugas untuk menangkap kupu dengan menggunakan jarring

kupu dan satu orang sisanya bertugas untuk menyuntikkan kupu tersebut dengan

alkohol 70% pada bagian toraks dan kemudian memasukkan kupu dalam papilot

serta mencatat waktu, plot dan lokasi penangkapan di papilot tersebut.

Metode yang digunakan adalah metode time search. Pada metode ini

pengamat berjalan bebas sepanjang jalur pengamatan. Saat penangkapan kupu

pertama, maka sudah mulai dihitung plot pertama. Kupu yang tertangkap pada 15

menit pertama setelah penangkapan kupu pertama, semuanya masuk dalam

hitungan plot satu. Setelah itu dimulai lagi pencarian kupu-kupu. Apabila ada

penangkapan kupu setelah 15 menit pertama, maka sudah termasuk dalam plot

kedua sampai dengan 15 menit berikutnya dan begitu seterusnya.

Gambar 10 Simulasi pelaksanaan metode time search

Kegiatan identifikasi jenis dilakukan diluar waktu pengamatan.

Identifikasi kupu dilakukan dengan cara merentangkan sayap kupu dengan

17

Plot 15 menit pertama

Plot 15 menit kedua

Plot 15 menit ketiga Plot 15

menit seterusnya

Keterangan

Arah perjalanan (jalur utama) pada habitat yang sama

Inventarisasi pada plot (selama 15 menit)

Page 18: Draft III Pklp Tnlw_mdk

bantuan pinset karena sayap kupu tidak boleh dipegang langsung oleh tangan. Hal

ini dikarenakan sisik dari sayap kupu mudah pudar apabila terlalu sering tersentuh

tangan. Setelah direntangkan, kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian

dengan melihat pola dari corak kupu serta jumlah titik yang ada. Proses identikasi

dilakukan dengan menggunakan bantuan beberapa buku panduan, diantaranya

Identification guide for butterflies of West Java Christian (2001), Practical Guide

to The Butterflies of Bogor Botanic Garden Peggie dan Mohammad (2006), The

Butterflies of Sulawesi: annoted for a critical island fauna dan Catalogue of

Swallowtail Butterflies (Lepidoptera: Papilionidae) at Borneensis. Dalam

pengidentifikasian data yang dicari adalah nama spesies dan famili.

3.2.1.4 Metode Inventarisasi Flora

Inventarisasi tumbuhan dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis dan

struktur hutan. Kegiatan inventarisasi keanekaragaman tumbuhan dilakukan di

tiga lokasi yang termasuk ke dalam jenis hutan musim semi luruh dan hutan hujan

tropis. Lokasi-lokasi tersebut antara lain Wudi pandak, Billa, dan Wanggameti.

Wudi pandak dan Billa termasuk ke dalam tipe hutan hujan tropis dengan

ketinggian 341-417 m dpl, sedangkan Wanggameti termasuk ke dalam tipe hutan

musim semi luruh dengan ketinggian 1008 m dpl.

Dari keseluruhan jumlah jenis yang didapat, jenis-jenis tersebut

digolongkan berdasarkan pertumbuhannya, yaitu semai, pancang, tiang, dan

pohon Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara dan Indrawan (2008). Jenis data

yang diambil adalah nama jenis dan jumlah untuk tingkat semai dan pancang dan

nama jenis dan diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Pengambilan data

diameter pohon dilakukan dengan bantuan alat pita ukur berukuran 1,5 m. Untuk

setiap jenis tumbuhan yang belum diketahui jenisnya, diambil contoh

spesimennya untuk kemudian diidentifikasi lebih lanjut. Inventarisasi tumbuhan

dilakukan dengan metode transek berpetak. Jumlah petak pengamatan yang

diambil adalah sebanyak 15 petak di Wudipandak, 15 petak di Billa, dan 25 petak

di Wanggameti. Dalam petak tersebut masih dibagi lagi dengan ukuran 2x2 meter

untuk tingkat semai, 5x5 meter untuk pancang, dan 10 x 10 meter untuk tingkat

tiang serta 20x20 meter untuk tingkat pohon. Adapun kriteria pertumbuhan pohon

yaitu :

18

Page 19: Draft III Pklp Tnlw_mdk

a. Semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai setinggi <1.5

meter.

b. Pancang adalah anakan pohon yang tingginya > 1.5 meter dengan

diameter <10 cm.

c. Tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 cm sampai <20 cm.

d. Pohon adalah pohon dewasa berdiameter > 20 cm.

Gambar 11 Bentuk petak ukur pada metode jalur berpetak.

3.2.2 Inventarisasi Potensi Ekowisata

Data yang dikumpulkan meliputi obyek-obyek yang menarik di kawasan

TNLW dan sekitarnya. Obyek tersebut terbagi menjadi obyek berupa flora, fauna,

serta tapak yang menarik di terdapat di lokasi inventarisasi. Selain obyek menarik,

data yang diambil adalah kondisi sekitar jalur inventarisasi serta aksesibilitas

menuju obyek-obyek menarik tersebut. Selain itu, data yang diambil juga meliputi

kebudayaan masyarakat pulau Sumba pada umumnya dan masyarakat Sumba

Timur yang banyak tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti serta pengelolaan ekowisata yang ada di Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti.

Data tersebut dikumpulkan dengan melakukan observasi lapang maupun

wawancara. Observasi lapang dilakukan untuk memperoleh data mengenai obyek-

obyek yang menarik di kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti dan

sekitarnya. Obyek tersebut meliputi flora, fauna, serta tapak menarik yang

berpotensi untuk pengembangan ekowisata. Observasi lapang dilakukan dengan

cara menyusuri jalur pengamatan dan mencatat obyek menarik yang terdapat di

kiri-kanan jalur inventarisasi. Selain itu, obyek-obyek menarik di sepanjang jalur

tersebut kemudian didokumentasikan dan ditandai pada GPS. Pada jalur-jalur

pengamatan juga dilakukan tracking dan ditandai pada GPS. Wawancara

dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kebudayaan masyarakat yang

19

Page 20: Draft III Pklp Tnlw_mdk

ada di sekitar kawasan serta pengelolaan ekowisata di kawasan Taman Nasional

Laiwangi Wanggameti. Wawancara dilakukan dengan langsung mendatangi

narasumber dan menanyakan hal-hal terkait data yang diambil. Narasumber yang

terlibat dalam wawancara ini antara lain 9 orang pengelola Balai Taman Nasional

Laiwangi Wanggameti, 2 orang pemuka adat, serta 1 orang ketua organisasi

masyarakat sekitar kawasan.

Selain itu, data potensi kawasan menurut penelitian sebelumnya, serta

data lain yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata kawasan Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti juga dikumpulkan. Data tersebut dikumpulkan

melalui studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan mencari data pada pihak

pengelola, laporan-laporan maupun penelitian terdahulu, serta sumber lain untuk

menunjang data primer yang diperoleh.

3.2.3 Pengamatan Kondisi Fisik Kawasan

Kondisi fisik kawasan yang diamati dalam kegiatan praktek kerja lapang

profesi meliputi pengamatan suhu dan kelembaban udara, debit dan kualitas air

serta kondisi tanah di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Pengamatan suhu dan kelembaban udara menggunakan termometer dry wet, kain

kassa atau kapas, benang, dan tiang penyangga (tinggi 1.5 m), aquadest/air

mineral, pengukur waktu serta tabel kelembaban udara. Lokasi pengukuran suhu

dan kelembaban udara dilakukan di dua lokasi pengamatan terutama di SPTN I

Praingkareha dan SPTN II di Wanggameti.

Pengukuruan debit air sungai dilakukan di 3 sungai antara lain yaitu

sungai Katikuai, sungai Laputi dan sungai Laironja. Debit air sungai adalah tinggi

permukaan air sungai yang terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai.

Pengukurannya dilakukan tiap hari, atau dengan pengertian yang lain debit atau

aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu

penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya

debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt). Perlu diingat bahwa

distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak sama arah horisontal maupun arah

vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran pada tepi alur tidak sama dengan

tengah alur, dan kecepatan aliran dekat permukaan air tidak sama dengan

kecepatan pada dasar alur.

20

Page 21: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Untuk mengukur luas penampang aliran sungai yaitu dengan mengukur

luas sungai per seksi, dimana panjang perseksi disesuaikan dengan kondisi sungai

yang diukur. Pada kondisi sungai yang mempunyai aliran yang cukup deras maka

panjang perseksinya yaitu 2 meter. (Gambar 12)

Sedangkan untuk mengukur kecepatan aliran sungai dengan

menggunakan metode apung yaitu dengan menggunakan bola pimpong yang

dialirkan mengikuti arus sungai untuk diukur waktunya hingga mencapai jarak

tertentu.

Gambar 12 Pengukuran Luas Penampang Sungai Per-Seksi

Parameter bau dan warna diamati langsung dilapang yang diukur secara

organoleptik, sedangkan pH menggunakan pH meter serta yang terakhir untuk

parameter suhu diukur dengan alat termometer.

Tabel 3 Parameter Kualitas Air

No Parameter Satuan Metode Analisis Alat1 pH - Analisis kuantitatif pH meter2 Bau - Organoleptik -3 Warna - Organoleptik -

4 Debit Air m3/dt Rapid AssistmentMeteran, tambang, bola, pingpong, stopwatch.

Kondisi fisik kawasan yang diamati yaitu jenis tanah, sifat fisik dan sifat

kimia tanah. Sampel tanah diambil di setiap lokasi pengamatan untuk dianalisis.

Jenis tanah dianalisis dengan menggunakan buku identifikasi tanah. Sedangkan

sifat fisik tanah yang diamati yaitu tekstur tanah. Sifat kimia tanah yang diamati

yaitu pH dan KTK tanah yang berguna untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah

yang berada di kawasan taman nasional.

3.2.4 Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti

21

Page 22: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Pengambilan data tentang manajemen pengelolaan dilakukan dengan

menggunakan metode wawancara tidak terstruktur dan studi literatur. Maka data

yang diambil adalah hasil wawancara yang dilakukan hampir disetiap waktu

selama satu bulan dan menyadur literatur manajemen pengelolaan sebagai data

dasar atau data tambahan yang diperlukan.

3.3 Analisis Data

3.3.1 Inventarisasi Keanekaragaman Hayati

3.3.1.1 Kekayaan Jenis Burung Menggunakan Daftar Jenis MacKinnon

Daftar jenis ini disajikan dalam bentuk grafik, sumbu X adalah jumlah

daftar dan sumbu Y adalah jumlah jenis burung. Peningkatan jumlah burung

sejalan dengan peningkatan jumlah daftar, dan pada suatu titik kurva tersebut akan

mendatar (Robertson dan Liley 2000). Pendugaan kekayaan jenis ditentukan

secara visual, yaitu ketika kurva mulai mendatar.

3.3.1.2 Kelimpahan Satwa (Pi)

Kelimpahan Satwa didapat dari perhitungan jumlah dari setiap jenis

satwa yang ada dengan menggunakan rumus menurut (Van Balen 1984).

Penentuan nilai kelimpahan ini untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis

satwa yang melimpah atau tidak.

Pi =Jumlah satwa spesies ke-i

Jumlah total satwa

Keterangan : Pi = indeks kelimpahan satwa

3.3.1.3 Indeks keanekaragaman jenis (H’)

Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Maguran 2004) digunakan

untuk menghitung keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan:

H’ = - ∑ pi ln pi

Keterangan:

H’ = indeks keanekaragaman jenis

Pi = proporsi nilai penting

Ln = logaritma natural

Tabel 4 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener untuk mamalia,

burung, kupu-kupu, dan flora (Krebs 1978)

22

Page 23: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Nilai IndeksShanon-Wiener

Kategori

>3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi

1-3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang

< 1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah

3.3.1.4 Indeks kemerataan jenis (E’)

Ludwig dan Reynold (1998) menyatakan bahwa proporsi kelimpahan

jenis satwa dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan yaitu :

Kelimpahan E’ =

Keterangan :

J’ = Indeks kemerataan

H’ = Indeks keanekaragaman jenis

S = jumlah jenis

Penentuan indeks kemerataan ini berfungsi untuk mengetahui kemerataan

setiap jenis mamalia dalam areal pengamatan yang ditentukan, sehingga dapat

diketahui keberadaan dominansi jenis satwa.

3.3.1.5 Indeks Kesamaan Jenis (IS)

Indeks ini digunakan untuk melihat kesamaan komunitas jenis

satwa antar lokasi penelitian. Indeks yang digunakan adalah indeks

kesamaan jenis Jaccard (1901) (van Balen 1984; Krebs 1985).

IS =C

a + b + c

Keterangan: a = Jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 1

b = Jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 2

c = Jumlah jenis yang terdapat di lokasi 1 dan 2

Untuk melihat tingkat kesamaannya, digunakan dendogram dari

komunitas satwa antar lokasi. Penggunaan dendrogram ini akan mempermudah

dalam melihat hubungan antar lokasi.

3.3.1.6 Dominansi

23

Hp, 2011-05-01,
Lupa nanya sebelumnya? Anda buat dendogramnya pakai Minitab atau SPSS? Pakai Ward, single linkage atau lainnya? Tolong sebutkan!
Page 24: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Jenis satwa yang dominan di dalam kawasan penelitian, ditentukan

dengan menggunakan rumus menurut van Helvoort (1981), yaitu:

Di =Ni

X 100%N

Keterangan:

Di = indeks dominansi suatu jenis satwa

Ni = jumlah individu suatu jenis

N = jumlah individu dari seluruh jenis

Kriteria:Di = 0 - 2% jenis tidak dominan

Di = 2% - 5% jenis subdominan

Di = > 5% jenis dominan

Penentuan nilai dominansi ini berfungi untuk mengetahui atau

menetapkan jenis-jenis satwa yang dominan atau bukan. Hal ini berkaitan dengan

jenis satwa yang paling banyak ditemukan di lokasi penelitian.

3.3.1.7 Analisis Data Flora

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan strruktur

dari suatu lokasi. Untuk itu digunakan beberapa rumus berikut untuk mengetahui

informasi tersebut:

Kerapatan

Kerapatan Relatif

Frekuensi

Frekuensi relatif =

Dominansi =

24

Page 25: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Dominansi relatif =

INP = KR+FR (untuk tingkat semai dan pancang)

INP = KR+FR+DR (untuk tingkat tiang dan pohon)

3.3.1.8 Indeks Kesamaan Komunitas (IS)

Kesamaan tipe komunitas antar fragmen hutan ditentukan dengan

menggunakan indeks Sorensen (Meuller-Dombois & Ellenberg 1974 dalam

Poleng & Witono 2004) sebagai berikut :

Keterangan:

W = jumlah nilai penting terkecil suatu jenis di kedua komunitas

yang diperbandingkan

a = jumlah nilai penting semua jenis di salah satu komunitas

b = jumlah nilai penting semua jenis di komunitas lain yang

diperbandingkan.

3.3.2 Analisis Data Potensi Ekowisata

Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif. Analisis

tersebut akan menghasilkan kaitan antara potensi wisata yang ada di kawasan

TNLW dengan menajemen pengelolaan yang ada di TNLW serta pengembangan

ekowisata yang diharapkan di masa mendatang. Selain itu, data kebudayaan

masyarakat serta pengembangan ekowisata yang telah dilakukan oleh pengelola

juga dianalis secara deskriptif.

3.3.3 Analisis Data Kondisi Fisik Kawasan

Debit air sungai diukur dengan menggunakan Velocity method. Prinsip

metode ini yaitu dengan mengukur luas penampang sungai dan mengukur

kecepatan arus sungai. Pada prinsipnya adalah pengukuran luas penampang basah

dan kecepatan aliran. Penampang basah (A) diperoleh dengan pengukuran lebar

permukaan air dan pengukuran kedalaman dengan tongkat pengukur atau kabel

pengukur. Sedangkan untuk mengukur kecepatan aliran sungai dengan

menggunakan metode apung.

25

Page 26: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Formula untuk menghitung Debit air dengan Velocity Method yaitu

Q = V . A

3.3.4 Analisis Data Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional

Laiwangi Wanggameti

Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif dan studi

literatur. Hasil dari wawancara mengenai pengelolaan dan studi literatur yang

telah dilakukan kemudian dianalisis untuk kemudian dijabarkan secara deskriptif

dan diajukan beberapa rekomendasi mengenai permasalahan pengelolaan yang

ada dan rekomendasi arah pengembangan pengelolaan Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti.

26

Ket :Q = Debit air (m3/s)V= Kecepatan aliran sungai (m/s)A = Luas Penampang

Page 27: Draft III Pklp Tnlw_mdk

BAB IV

HASIL

4.1 Keanekaragaman Hayati

4.1.1 Mamalia

Sebanyak 9 jenis mamalia berhasil terinventarisasi yang terbagi ke dalam

6 famili pada seluruh areal penelitian yang terbagi menjadi empat jalur

pengamatan dan beberapa areal diluar jalur pengamatan. Daftar jenis dan

penyebaran mamalia yang ditemukan di lokasi penelitian tersaji pada tabel 5.

Tabel 5 Jenis dan Penyebaran mamalia di lokasi pengamatan

No Family Nama Lokal Nama IlmiahJalur

Ditemukan Luar Jalur

Ket.1 2 3 4

1 Pteropodidae Codot Cynopterus sp √ √ ST    Codot Kecil-Kelabu Penthetor lucasii √ ST2 Muridae Tikus Belukar Rattus sp √ ST3  Suidae Babi hutan Sus scrofa √ J

4 Viverridae Musang luwak Paradoxurus

hermaphroditus - - √ √ - ST, F

    Musang Galing Paguma larvata - - - - - W, J    Musang Akar Artogalidia trivigata - - - - - W5 Cervidae Rusa Timor Cervus timorensis - - - - - W, J6 Cercopithecidae Monyet ekor panjang Macaca fascicularis √ √ √ √ √ ST

Keterangan : ST = Strip Transect, W = Wawancara, J = Jejak (jejak kaki, cakaran, rambut, duri, dan sebagainya, F = Feses, LT = Life trap,

RA = Rapid Assesment, LS = Life Speciment, 1 = jalur Billa, 2 = jalur Praingkareha, 3 = jalur Katikuai dan 4 = jalur wW anggameti.

Berdasarkan hasil pengamatan lapang, keanekaragaman jenis mamalia

relatif rendah yaitu kurang dari 1 (Tabel 6). Sementara bila dilihat dari

kelimpahan jenis, maka jenis yang paling melimpah adalah monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis), sementara jalur yang memiliki kelimpahan mamalia

terbanyak yaitu di jalur Wwanggameti. (Tabel 7).

Tabel 6 Indeks Keanekaragaman dan kemerataan jenis mamalia

NoJalur

pengamatan Nama Lokal Nama ilmiah H’ E’

1

Jalur 1

Codot Cynopterus sp 4

0,89 0,782 Babi hutan Sus scrofa 13 Monyet ekor

panjangMacaca fascicularis 4

4

Jalur 2

Codot Kecil-Kelabu

Penthetor lucasii 6

0,76 0,895 Monyet ekor

panjang Macaca fascicularis 5

6 Jalur 3 Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 2 0,74 0,76

27

Page 28: Draft III Pklp Tnlw_mdk

7 Monyet ekor panjang

Macaca fascicularis 6

8

Jalur 4

Codot Cynopterus sp 2

0,97 0,639 Tikus Belukar Rattus sp 110 Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 211 Monyet ekor

panjang Macaca fascicularis

8

Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman jenis, E’ = Indeks kesamaan jenis.

Berikut disajikan kondisi kelimpahan setiap jenis mamalia pada lokasi

pengamatan (Tabel 7).

Tabel 7 Kelimpahan relatif setiap jenis pada tiap jalur pengamatan

No Jalur pengamatan Nama Lokal Nama ilmiah KR (%)

1Jalur 1

Codot Cynopterus sp 4 44,42 Babi hutan Sus scrofa 1 11,23 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 4 44,4

jumlah 9 1004

Jalur 2Codot Kecil-Kelabu Penthetor lucasii 6 54,55

5 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 5 46,45Jumlah 11 100

6Jalur 3

Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 2 0,257 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 6 0,75

Jumlah 8 1008

Jalur 4

Codot Cynopterus sp 2 15,389 Tikus Belukar Rattus sp 1 7,6910 Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 2 15,3811 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 8 61,53

Jumlah 13 100Keterangan : KR = Kelimpahan relatif mamalia tiap jalur

Dari 9 jenis mamalia yang ditemukan maka hanya satu jenis yang masuk

dalam kategori dilindungi oleh Pemerintah Indonesia yaitu Rusa Timor (Tabel 8),

sementara 3 jenis masuk kategori appendix II CITES yaitu Musang akar

(Artogalidia trivigatra), Rusa timor (Cervus Timorensis) dan Monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis). Sedangkan 4 jenis mamalia masuk dalam kategori

daftar merah CITES yang berstatus Vurnerable yaitu babi hutan (Sus scrofa),

musang luwak (Paradoxurus hermaporditus), rusa timor (Cervus timorensis) dan

musang akar (Artogalidia trivigatra). (tabel 8).

28

Page 29: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Tabel 8 Jenis – jenis mamalia di TNLW yang termasuk dalam kategori daftar

merah IUCN, serta appendiks CITES dan perlindungan RI berdasarkan PP

Nomor 7 Tahun 1999

No Family Nama Lokal Nama Ilmiah IUCN CITES PP No.7 1 Pteropodidae Codot Cynopterus sp Lc - -    Codot Kecil-Kelabu Penthetor lucasii - - -2 Muridae Tikus Belukar Rattus sp - - -3 Suidae Babi hutan Sus scrofa Vu - -4 Viverridae Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus Vu - -    Musang Galing Paguma larvata Lc - -    Musang Akar Artogalidia trivigata Vu II -5 Cervidae Rusa Timor Cervus timorensis Vu II P

6 Cercopithecidae Monyet ekor panjang

Macaca fascicularis Lc II -

Keterangan :

CITES : Appendiks CITES, IUCN : daftar merah IUCN, PP no 7 : Dilindungi PP No.7 tahun 1999

tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, VU : Vulnerable, , LC : Least concern, I :

Appendix I, II : Appendix II, 1 :

4.1.2 Burung

Total jenis burung yang dijumpai selama penelitian adalah 57 jenis,

terdiri atas 28 suku yang dihasilkan dari 18 daftar jenis MacKinnon. Berikut

adalah kurva penemuan jenis burung yang diperoleh dengan menggunakan

metode daftar jenis MacKinnon dari jalur pengamatan (Gambar 13).

Gambar 13 Kurva penemuan jenis burung dengan Metode Daftar Jenis MacKinnon.

29

Page 30: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Suku yang memiliki jenis paling banyak yaitu Psittacidae sebanyak 6

jenis. Sisanya terdiri dari satu hingga tiga jenis setiap suku (Gambar 14).

Gambar 14 Grafik kekayaan jumlah suku burung.

Jumlah jenis burung yang paling banyak ditemukan yaitu pada jalur

pengamatan Praingkareha dengan jumlah 18 jenis, sedangkan jenis yang paling

sedikit dijumpai pada jalur pengamatan Katikuai dengan jumlah 8 jenis. (Tabel 9)

Tabel 9 Penemuan jenis burung per lokasi pengamatan

Jalur Suku Jenis Individu

Wundut 11 15 66

Katikuai 8 8 93

Wanggameti 9 10 63

Billa 14 16 88

Praingkareha 12 18 101Setiap jenis burung yang teramati menunjukkan jumlah yang bervariasi.

Jumlah individu yang ditemukan adalah 411 individu. Pada setiap lokasi

penelitian didapat nilai kelimpahan jenis burung yang berbeda. Kelimpahan relatif

jenis burung pada seluruh lokasi penelitian berkisar antara 0.01-0.65. Nilai

terendah 0,01 ditemukan di jalur praingkareha, sedangkan nilai tertinggi 0,65

(Tabel 10).

Tabel 10 Kisaran nilai kelimpahan jenis burung

No Lokasi Nilai Kelimpahan

1 Wundut 0,02 - 0,26

2 Katikuai 0,01 - 0,65

3 Wanggameti 0,02 - 0,25

30

Page 31: Draft III Pklp Tnlw_mdk

4 Billa 0,01 - 0,30

5 Praingkareha 0,01 - 0,16

Dari 44 jenis burung yang di jumpai terdapat lima jenis burung yang

termasuk kategori dominan, enam jenis termasuk kategori sub-dominan dan 33

jenis termasuk kategori tidak dominan. Nilai dominasi yang didapat berkisar

antara 0,24-21,17%. jenis burung yang paling mendominasi adalah Collocalia

esculenta yaitu sebesar 21,17% (Tabel 11).

Tabel 11 Nilai dominansi jenis burung

NoKategori dominansi

Nilai dominansi Jenis burung

1 Dominan 21,17 Collocalia esculenta17,27 Trichoglossus capistratus fortis10,226,60

Trichoglossus haematodusPhilemon buceroides

6,33 Zosterops citrinellus2 Sub dominan 3,89 Rhyticeros everetti

3,89 Lonchura quinticolor3,65 Corvus macrorhynchos2,43 Tanygnathus megalorynchos2,43 Terpsiphone paradisi2,19 Dicrurus densus

3 tidak dominan 1,94 Ducula aenea1,70 Rhipidura rufifrons squamata1,46 Oriolus chinensis1,22 Merops ornatus1,22 Anthus gustavi0,97 Eclectus roratus0,97 Nectarinia buettikoferi0,73 Gallus gallus0,73 Macropygia ruficeps0,73 Geoffrovus geoffroyi0,73 Cacomantis variolosus0,49 Haliastur indus0,49 Gallus varius0,49 Ducula concinna0,49 Trichoglossus euteles0,49 Cacatua sulphurea citrinocristata0,49 Centropus bengalensis0,49 Coracina dohertyi0,49 Rhipdura fusco rufa

31

Page 32: Draft III Pklp Tnlw_mdk

0,49 Pachycephala pectoralis0,24 Milvus migrans0,24 Cacomantis sepulcralis0,24 Anthus novaeseelandiae0,24 Brachypteryx leucophrys0,24 Orthotomus sepium0,24 Ficedula harterti0,24 Rhipidura javanica0,24 Aplonis minor0,24 Nectarinia jugularis0,24 Nectarinia solaris0,24 Dicaeum trochileum0,24 Lonchura punctulata0,24 Megapodius reintwardtii

Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis burung (H’) di TNLW sebesar 2,83.

Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis burung (H’) tertinggi adalah di jalur

Praingkareha yaitu sebesar 2,50. Sedangkan Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis

burung (H’) terendah adalah di jalur Katikuai yaitu sebesar 1,13. Nilai Indeks

Kemerataan Jenis burung (E’) di TNLW yaitu sebesar 0,75. Nilai Indeks

Kemerataan Jenis burung (E’) yang tertinggi yaitu di jalur Praingkareha sebesar

0,86 (Tabel 12).

Tabel 12 Nilai indeks keanekaragaman jenis burung dan indeks kemerataan pada

tiap lokasi pengamatan.

No LokasiKetinggian(mdpl

) H' E1 Praingkareha 300-400 2.50 0.862 Billa 300-400 2.10 0.763 Katikuai 900-1000 1.13 0.544 Wundut 1001-1100 2.15 0.795 Wanggameti 1001-1100 1.9 0.82Jenis burung yang tercatat pada setiap tipe habitat memiliki kesamaan

jenis dengan burung yang ditemukan di habitat lain. Indeks kesamaan jenis

burung dan dendrogram menunjukkan seberapa besar kesamaan antar komunitas

burung di lokasi penelitian. Lokasi yang memiliki indeks kesamaan paling tinggi

adalah jalur pengamatan Katikuai dan Wanggameti sebesar 16% (Tabel 13).

32

Page 33: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Tabel 13 Indeks kesamaan jenis burung pada setiap lokasi pengamatan

Wundut Katikuai Wanggameti Billa PraingkarehaWundut 1 0,08 0,10 0,14 0,11Katikuai 1 0,17 0,07 0,16Wanggameti 1 0,13 0,13Billa 1 0,13praingkareha 1

Untuk memudahkan dalam ilustrasi tingkat kesamaan jenis burung antar

lokasi, maka disajikan dalam bentuk dendogram di bawah ini: (Gambar 15).

Gambar 15 Dendrogam kesamaan jenis burung antar lokasi.Pada lokasi penelitian ditemukan 5 jenis merupakan endemik kawasan

Sumba dan 19 jenis merupakan subendemik kawasan Sumba (Tabel I4). Jenis

yang merupakan endemik Sumba adalah burung-madu Sumba (Nectarinia

buettikoferi), julang Sumba (Rhyticeros everetti), kakatua kecil jambul jingga

(Cacatua sulphurea citrinocristata), myzomela kepala merah (Myzomela

dammermani), dan sikatan Sumba (Ficedula harterti).

Burung-burung yang termasuk subendemik kawasan Sumba diantaranya

adalah Betet-kelapa paruh-besar (Tanygnathus megalorynchossumbanensis),

Bondol peking (Lonchura punctulata sumbae), danCikukua Tanduk (Philemon

buceroides neglactus) (Tabel 14).

33

Hp, 2011-05-01,
Dendogramnya pakai metoda apa? Ward, single linkage?
Page 34: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Tabel 14 Jenis-jenis burung endemik dan subendemik Sumba di TNLW

Nama jenis Endemisitas Nama jenis EndemisitasBetet-kelapa paruh-besar Es Kancilan emas EsBondol peking Es Kepudang kuduk-hitam EsBubut alang-alang Es Myzomela kepala merah EBurung-madu sumba E Nuri bayan EsCikukua tanduk Es Nuri pipi-merah EsDecu belang Es Pergam hijau EsElang bondol Es Perkici pelangi EsElang paria Es Seriwang asia EsGagak kampung Es Sikatan sumba EJulang sumba E Srigunting wallacea EsKacamata limau Es Uncal kouran EsKakatua kecil jambul jingga E Wiwik uncuing Es

Keterangan : E (Endemik), Es (Sub Endemik)

Terdapat 12 jenis burung yang dilindungi menurut UU No. 5 Tahun 1990

, 15 jenis dilindungi menurut PP No. 7 Tahun 1999, 11 jenis termasuk ke dalam

daftar CITES (Appendix I & Appendix II) dan 3 jenis termasuk dalam kategori

kriteria kelangkaan IUCN (Tabel 15)

Tabel 15 Jenis-jenis burung yang ditemui di TNLW dan masuk kategori daftar

merah IUCN, appendiks CITES dan dilindungi oleh perundangan Indonesia

No Nama jenisKategori

IUCN App Indonesia1 Betet-kelapa paruh-besar II2 Burung-madu matari B3 Burung-madu sriganti AB4 Burung-madu sumba B5 Cikukua tanduk AB6 Cikukua timor AB7 Elang bondol II AB8 Elang paria II AB9 Gagak kampung AB10 Gelatik jawa VU II11 Julang sumba VU II AB12 Kakatua kecil jambul jingga CR I AB13 Kipasan belang AB14 Myzomela kepala merah AB15 Nuri bayan II AB

34

Page 35: Draft III Pklp Tnlw_mdk

16 Nuri pipi-merah II17 Perkici orange II18 Perkici pelangi II19 Perkici timor II20 Perling kecil AB21 Burung gosong kaki merah B

Keterangan : CITES: Appendix I dan II, IUCN : rentan (Vulnerable; VU), kritis (Critically Endangered; CR), A (UU No. 5 Tahun 1990), B

(PP No. 7 Tahun 1999).

4.1.3 Kupu-Kupu

Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil inventarisasi kupu-kupu di

Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti ditemukan sekitar 40 jenis kupu-kupu

dengan rincian 21 jenis ditemukan di SPTN I dan 25 jenis di SPTN II.

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan keanekaragaman jumlah jenis tiap-tiap

jalur yaitu 17 jenis di Praingkareha, 7 jenis di Billa, 16 jenis di Hutan

Wanggameti dan 14 jenis di Desa Katikuai/Hutan Ampupu (Tabel 16).

Jumlah jenis yang didapatkan ini terbagi menjadi 7 jenis termasuk ke

dalam famili Pieridae (27 individu), 24 jenis dalam famili Nymphalidae (38

individu), 6 jenis dalam famili Papilionidae (15 individu) dan 3 jenis tak

teridentifikasi (3 individu). Selama pengamatan ditemukan satu spesies kupu-

kupu endemik, yaitu Papilio neumoegenii dan merupakan jenis papilio yang

jumlahnya paling dominan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Tabel 16 Jenis kupu-kupu yang terdapat di Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti

No. Nama SpesiesJalur Pengamatan

JumlahHutan Wanggameti

Katikuai Praingkareha Billa

Famili Pieridae1 Eurema hecabe 4 3 5 2 142 Eurema sari sari 3 2 53 Appias paulina 1 14 Appias albino 1 15 Catopsilia pyranthe 1 1 26 Catopsilia Pomona 2 27 Catopsilia Scylla 1 1 2

Famili Nymphalidae1 Neptis clinioides 2 22 Parantica agleoides 2 2

35

Page 36: Draft III Pklp Tnlw_mdk

3 Ypthima baldus horsfieldi

1 1 2

4 Parantica sp. 1 15 Parantica sp.* 2 26 Cirrochroa erymanthis 2 27 Junonia iphita 1 18 Neptis miah 1 19 Euploea sp. 2 2 410 Athyma perius 1 111 Junonia hedonia 1 112 Mycalesis fuscum 1 1 2

1314

Famili NymphalidaeCethosia penthesileaParantica limniace

11 1 1

13

15 Orsotriaena medus 1 116 Danaus sp. 1 117 Ideopsis sp. 3 318 Ideopsis sp.* 1 119 Cethosia hypsea 1 120 Euploea sp.* 1 121 Euploea sp.** 1 122 Euploea Eunice 2 223 Danaus chrysippus 1 124 Junonia atlites 1 1

Famili Papilionidae1 Papilio memnon 1 12 Papilio neumoegenii 2 2 3 73 Papilio helenus 2 1 34 Papilio polytes 2 25 Papilio Acheron 1 16 Pachliopta

aristolochiae1 1

Tak teridentifikasi1 X 1 12 Y 1 13 Z 1 1

Total individu 27 19 29 8 83Total jenis 16 14 17 7

Berdasarkan hasil pengamatan dan rekapitulasi data, ditemukan bahwa

jumlah jenis kupu-kupu di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti banyak

tergolong dalam family Nymphalidae. Jumlah jenis yang ditemukan untuk famili

Nymphalidae adalah 24 jenis kupu-kupu (Gambar 16).

36

Page 37: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 16 Perbandingan jumlah jenis tiap famili.

Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai indeks

keanekaragaman jenis kupu-kupu pada empat jalur pengamatan. Nilai indeks

keanekaragaman yang paling tinggi didapatkan di jalur Praingkareha dengan nilai

2.67 dan nilai paling rendah terdapat di jalur Billa yaitu 1.91 (Tabel 17).

Tabel 17 Nilai indeks keanekaragaman kupu-kupu

No. JalurNilai Indeks

Keanekaragaman1. Praingkareha 2.672. Billa 1.913. Hutan Wanggameti 2.664. Katikuai/Hutan Ampupu 2.55

Nilai indeks keanekaragaman yang didapatkan di tiap jalur

mengindikasikan bahwa tingkat keanekaragaman kupu pada jalur-jalur tersebut

tergolong sedang. Namun, untuk indeks keanekaragaman dalam satu kawasan

Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti didapatkan nilai sebesar 3,34. Sedangkan

untuk hasil perhitungan indeks kemerataan (Evenness) didapatkan hasil yang

hampir sama di lokasi Praingkareha, Billa, Wanggameti dan Katikuai/Hutan

Ampupu (Gambar 17). Menurut hasil nilai indeks yang didapatkan ini berarti

bahwa setiap jenis memiliki jumlah individu yang tidak berbeda jauh dengan

jumlah yang hampir merata tiap jenisnya.

37

Page 38: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 17. Nilai Indeks Kemerataan

Berdasarkan data keanekaragaman jenis kupu yang didapatkan, terdapat

dua jenis kupu-kupu yang termasuk ke dalam status keterancaman IUCN Red List

of Butterfly. Kupu-kupu tersebut diantaranya adalah Papilio Acheron yang

termasuk dalam kategori Least concern (LC) dan Papilio neumoegenii yang

termasuk dalam kategori Vulnerable (V). Jenis Papilio neumoegenii ini

merupakan salah satu jenis kupu-kupu endemik Sumba yang populasi masih dapat

digolongkan banyak di alam.

4.1.4 Flora

Berdasarkan hasil analisis vegetasi secara keseluruhan dari tiga lokasi

pengamatan, ditemukan sebanyak 120 jenis tumbuhan, 40 famili dengan 32 jenis

yang belum teridentifikasi. Jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah

laru (Garcinia dulcis Kurz.) (47,76%), pada tingkat pancang juga didominasi oleh

laru (Garcinia dulcis Kurz.) (12,91%), pada tingkat tiang didominasi oleh wata

kamambi (Psychotria sp.) (24,14%), dan pada tingkat pohon didominasi oleh

manjangi (Kleinhovia hospita Linn.) (38,44%). Sedangkan pada taraf famili,

didominasi oleh famili Euphorbiaceae dengan jumlah jenis ditemukan sebanyak

12 jenis, kemudian Rubiaceae sebanyak 7 jenis dan Meliaceae sebanyak 6 jenis.

Berikut adalah sebaran jumlah jenis pada tiap famili yang ditemukan selama

pengamatan (Gambar 18).

38

Page 39: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 18 Sebaran jumlah jenis tumbuhan berdasarkan famili.Untuk hasil analisis vegetasi pada tiap lokasi pengamatan, jenis-jenis

dengan INP tertinggi pada tiap tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Jenis-jenis tumbuhan dengan INP terbesar pada tiap tingkat

pertumbuhan di tiap lokasi pengamatan

Tingkat pertumb

uhanNama Lokal Nama Ilmiah

INP (%) Tiap Lokasi Pengamatan

Wudi pandak

BillaWanggam

etiSemai Wata kamambi Psychotria sp. 52,91 - -

Langaha Planchonia valida Blume - 27,75 -Laru Garcinia dulcis Kurz. - - 77,18

Pancang Kiru Dysoxylum arborescens Miq. 23,17 - -Karakaka Aphanamixis polystachya

(Wall.) R.N. Parker/grandiflora Blume

- 19,23 -

Laru Garcinia dulcis Kurz. - - 22,35Tiang Karunding Pterocymbium javanicum

R.Br.30,50 - -

Wata kamambi Psychotria sp. - 77,91 -Murungiha Ternstroemia elongata

(Korth.) Koord.- - 29,71

Pohon Halai - 52,13 - -Manjangi Kleinhovia hospita Linn. - 92,86 -Murungiha Ternstroemia elongata

(Korth.) Koord.- - 26,68

Sebaran jumlah jenis dan famili dari tiap tingkat pertumbuhan pohon

secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 19 dan jumlah jenis dan famili dari

tiap tingkat pertumbuhan pohon pada tiap lokasi pengamatan dapat dilihat pada

Gambar 20.

39

Page 40: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 19 Sebaran jumlah jenis dan famili dari tiap tingkat pertumbuhan pohon secara keseluruhan

Gambar 20 Sebaran jumlah jenis dan famili dari tiap tingkat pertumbuhan pohon pada tiap lokasi pengamatan.

Jumlah jenis dan famili terbanyak ditemukan pada tingkat pancang

sebanyak 82 jenis tumbuhan dari 35 famili, sedangkan jumlah jenis dan famili

yang paling sedikit ditemukan pada tingkat tiang sebanyak 53 jenis tumbuhan dari

27 famili.

Jumlah jenis dan famili terbanyak dari tiap tingkat pertumbuhan terdapat

di lokasi Wanggameti. Untuk tingkat pancang terutama pada lokasi Wanggameti

terdiri dari jumlah jenis da famili yang jauh lebih tinggi dibanding lokasi lain dan

tingkat pertumbuhan pohon lainnya. Sedangkan tingkat tiang terutama pada lokasi

Billa terdiri dari jumlah jenis dan famili yang jauh lebih sedikit dibanding lokasi

lain dan tingkat pertumbuhan pohon lainnya.

40

Page 41: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Berikut ini adalah tabel sebaran jumlah pohon berdasarkan distribusi

kelas diameter (Tabel 19) dan grafik perbandingannya pada tiap lokasi

pengamatan (Gambar 21).

Tabel 19 Sebaran jumlah pohon berdasarkan distribusi kelas diameter

No.Kelas

diameter (cm)

Wudi pandak Billa Wanggametikerapatan (ind/ha)

% kerapatan (ind/ha)

% kerapatan (ind/ha)

%

1 10-19 353,33 76,81 133,33 37,24 264,00 54,892 20-29 45,00 9,78 55,00 15,36 129,00 26,823 30-39 38,33 8,33 63,33 17,69 50,00 10,404 40-49 10,00 2,17 23,00 6,42 20,00 4,165 50-59 3,33 0,72 31,67 8,85 8,00 1,666 60-69 3,33 0,72 16,67 4,66 3,00 0,627 70-79 1,67 0,36 6,67 1,86 2,00 0,428 80-89 0,00 0,00 13,33 3,72 1,00 0,219 90-99 0,00 0,00 6,67 1,86 4,00 0,8310 >100 5,00 1,09 8,33 2,33 0,00 0,00

Total 460 100 358 100 481 100

Gambar 21 Sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas diameter pada tiga lokasi pengamatan

Pada Gambar 21 terlihat bahwa pada lokasi Wudi pandak dan

Wanggameti susunan grafik sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas diameter,

memiliki bentuk seperti huruf “J” terbalik atau jumlah terbanyak ditemui pada

kelas diameter rendah (10-19 cm) dan jumlahnya terus menurun sebanding

dengan pertambahan kelas diameter. Sedangkan pada lokasi Billa sebaran jumlah

pohon berdasarkan kelas diameter memiliki bentuk yang tidak seperti huruf “J”

terbalik.

41

Page 42: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Berdasarkan hasil analisis vegetasi dan perhitungan keanekaragaman

jenis menurut indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’), diketahui secara

keseluruhan indeks keanekaragaman jenis tumbuhan di Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti relatif tinggi yaitu bernilai diatas 2,89 (Gambar 22). Dan Sementara

itu berdasarkan perhitungan indeks kemerataan jenis (E), diketahui secara

keseluruhannilai indeks kemerataan jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan

lebih dari 0,5 sampai mendekati 1, seperti yang dapat terlihat pada Gambar 23.

Gambar 22 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada tiap tipe pertumbuhan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Gambar 23 Indeks kemerataan jenis tumbuhan pada tiap tipe pertumbuhan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Pada Gambar 22 terlihat bahwa tingkat keanekaragaman pada tingkat

semai tergolong sedang (2,89), tingkat keanekaragaman pada tingkat pancang

tergolong tinggi (3,96), tingkat keanekaragaman pada tingkat tiang tergolong

tinggi (3,74), dan tingkat keanekaragaman pada tingkat pohon tergolong tinggi

(3,72). Pada Gambar 23 terlihat bahwa nilai kemerataan tertinggi terdapat pada

tingkat tiang (0,94) sedangkan nilai kemerataan terendah terdapat pada tingkat

semai (0,71).

42

Hp, 2011-05-01,
Ini buang aja, masukkan dalam tabel di bawahnya
Hp, 2011-05-01,
Ini buang aja, masukkan dalam tabel di bawahnya
Page 43: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Selain secara keseluruhan, indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan

jenis juga dapat dipisahkan berdasarkan lokasi pengamatan. Berikut adalah indeks

keanekaragaman dan kemerataan jenis pada tiap lokasi pengamatan (Tabel 20).

Tabel 20 Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis pada tiap lokasi

pengamatan

Tingkat pertumbuhanH' E

Wudi pandak

Billa Wanggameti

Keseluran Wudi pandak

Billa Wanggameti

Keseluruhan

Semai 2,35 2,9 2 0,83 0,88 0,58Pancang 3,1 3,14 3,4 0,93 0,93 0,86Tiang 3,01 2,29 3,2 0,9 0,92 0,95Pohon 2,79 2,37 3,3 0,88 0,71 0,91

Ket: H’= indeks keanekaragaman jenis, E= Indeks kemerataan jenis

Pada Tabel 21 terlihat bahwa keanekaragaman jenis tertinggi terdapat di

lokasi Wanggameti pada tingkat pancang sebesar 3,4 (keanekaragaman tinggi),

sedangkan keanekaragaman jenis terendah juga terdapat pada lokasi Wanggameti

namun pada tingkat semai sebesar 2 (keanekaragaman sedang). Untuk nilai

kemerataan tertinggi terdapat pada tigkat tiang di Wanggameti (0,95) dan nilai

kemerataan terendah juga terdapat di Wanggameti pada tingkat semai (0,58).

Sehingga secara umum, nilai kemerataan di Wanggameti cenderung lebih rendah

dibandingkan dua lokasi lainnya.

Berdasarkan analisis data terhadap jenis-jenis yang ditemukan pada tiga

lokasi pengamatan dan keterkaitan dari tiga lokasi tersebut terhadap jenis-jenis

yang sama, dapat diketahui indeks kesamaan komunitas (IS) dari tiap lokasi pada

tiap tingkat pertumbuhan. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa secara

keseluruhan tidak ada indeks diatas 50%. Nilai tertinggi hanya sebesar 47,64%

pada tingkat semai antara lokasi Billa dan Wudi pandak. Sedangkan nilai terendah

sebesar 2,92% pada tingkat pohon antara lokasi Billa dan Wanggameti.

4.2 Kondisi fisik kawasan

Berdasarkan hasil pengamatan kondisi fisik kawasan Taman Nasional

Laiwangi wanggameti diketahui bahwa hasil pengukuran terhadap suhu udara di

lokasi sampel didapatkan data suhu udara berkisar 22o-28o C (tabel 22). Sementara

itu pengamatan debit dan kualitas air sungai dapat diketahui bahwa debit air

sungai yang terbesar adalah sungai Katikuai yang berada di SPTN II TNLW.

43

Page 44: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Tabel 21 Hasil pengamatan suhu (0C) dan kelembaban udara (%) di TNLW

Tabel 22 Hasil Pengukuran Debit Air di Sungai Laironja, Sungai Katikuai dan

Sungai Laputi Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

Sungai (m3/s) (m3/jam) (m3/hari) (m3/tahun)

Laironja 1,03 3697,56 88741,44 31946918,4Katikuai 6,54 23555,19 565324,79 203516924,5Laputi 6,15 22132,63 531183,17 191225940,5

Selain debit air, dilakukan pula pengukuran kualitas air di ketiga sungai

di atas. Kualitas air yang diukur antara lain yaitu pH, kejernihan, bau, rasa air.

Hasil dari pengukuran kualitas air tersebut yaitu :

Tabel 23 Kualitas Air Sungai Katikuai, Sungai Laironja dan Sungai Laputi

NoNama Sungai

Kondisi cuaca

Debit (m3

detik -1) pHKejernihan air

Bau airWarna air

Rasa air

1Sungai Laironja

Cerah 1,027 6 JernihTidak berbau

Bening tawar

2Sungai Katikuai

Cerah 6,54311 6 JernihTidak berbau

Bening tawar

3Sungai Laputi

Cerah 6,1479 7 JernihTidak berbau

Bening tawar

Sementara itu pengamatan biofisik yang dilakukan di kawasan Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti antara lain yaitu sifat fisik dan kimia tanah. Dari

pengamatan ini diketahui bahwa jenis tanah TNLW yaitu Grumosol (tabel 24)

Tabel 24 Pengamatan sifat fisik dan kimia tanah

No Sifat Tanah Hasil Pengamatan1 Jenis tanah Grumosol2 Struktur tanah Granuler 4 Tekstur tanah Lempung pasiran5 Sifat kimia tanah

a. Ph 6,8b. KTK Tinggi

44

Lokasi Di Bawah Tegakan Tanpa NaunganKelembaban udara

rata-rata

Wanggameti 84,17 80,33 82, 20

Praingkareha 90,45 89,33 89, 89

Page 45: Draft III Pklp Tnlw_mdk

4.3 Potensi Ekowisata

Keindahan alam TNLW didominasi oleh perbukitan dengan padang

rumputnya yang luas serta adanya hutan yang tergolong masih lebat di bagian

lainnya. Panorama padang rumput dipadukan dengan banyaknya ternak yang

mencari pakan juga menjadi hal yang menarik. Selain itu, perpaduan substrat

antara tanah dan batu karang yang belum mengalami pelapukan membuat suatu

keunikan yang ada di TNLW. Selain itu, hutan pegunungan bawah yang rindang

dan sejuk menjadi sisi lain kawasan TNLW. Keindahan alam tersebut dapat juga

dinikmati sebelum memasuki kawasan.

a) b)

Gambar 24 Topografi yang bergelombang menjadi daya tarik wisata yang

menarik di TNLW

Berdasarkan hasil observasi, paling tidak dapat diidentifikasi 6 obyek

dalam kawasan yang bisa menjadi daya tarik wisata yaitu air terjun Laputi, danau

Laputi, goa, situs makam nenek moyang, puncak Wanggameti, dan Watu

Munggu-Leimbona.

4.3.1 Air Terjun Laputi

Air terjun Laputi terletak di dalam kawasan Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti. Namun, untuk mencapai lokasi ini, pengunjung harus melalui desa

Praingkareha yang berbatasan dengan kawasan. Laputi berasal dari bahasa Sumba

yang berarti air yang terputar. Air terjun ini memiliki beberapa tingkat dengan

ketinggian lebih dari 100 m. Air terjun ini juga dapat terlihat dari luar kawasan

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (gambar 24).

45

Page 46: Draft III Pklp Tnlw_mdk

a) b)Gambar 25 a) Air terjun Laputi, b) Salah satu tingkat dari air terjun Laputi.

Air terjun ini, menurut cerita, berasal dari dua mata air yang kemudian

melewati danau Laputi. Sejarah terbentuknya mata air yang menjadi asal dari

danau dan air terjun Laputi merupakan cerita turun-temurun masyarakat Desa

Praingkareha.

Dahulu kala, dua orang yang berasal dari suku Tabundung dan suku

Tidas berburu babi di wilayah yang sekarang menjadi kawasan taman nasional.

Namun, perburuan itu tidak berhasil. Mereka tidak mendapatkan buruan berupa

babi yang mereka inginkan. Mereka kelelahan dan akhirnya beristirahat di batu

karang.

Pada saat itulah, hinggap burung dara di sekitar mereka. Burung dara

tersebut kemudian dilempar dengan batu, dibakar lalu dimakan. Setelahnya

mereka merasa kehausan. Karena tidak ada air, mereka kemudian melakukan

Hamayang (sembahyang) seraya menancapkan tongkat yang mereka bawa ke arah

batu karang. Kemudian muncul dua buah mata air dari batu karang tersebut. Mata

air yang keluar menghadap arah utara dan selatan.

Mata air melambangkan mata burung dara. Air yang mengalir menuju

Danau Laputi melambangkan leher burung dara. Danau Laputi melambangkan

badan burung dara. Air terjun Laputi melambangkan ekor burung dara dan

kotoran burung dara yang jatuh ke bawah..

4.3.2 Danau Llaputi

Danau Laputi terletak tidak jauh dari air terjun Laputi. Danau ini

memiliki warna yang indah, yaitu biru kehijauan. Danau ini memiliki sejarah yang

tidak terlepas dari sejarah air terjun Laputi. Danau ini memiliki keunikan lain,

46

Page 47: Draft III Pklp Tnlw_mdk

yaitu terdapat Apu, sejenis belut yang dikeramatkan masyarakat sekitar kawasan

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, terutama masyarakat kecamatan

Tabundung (Gambar 26). Menurut bahasa setempat, apu berarti nenek.

Keberadaannya di danau Laputi, menurut cerita dilepaskan secara sengaja oleh

nenek moyang untuk menjaga agar mata air tetap terjaga. Apu dapat muncul

apabila dipanggil dengan memberikan makanan berupa biskuit atau nasi kedalam

air seraya memanggil “apuuuuuu.....”.

Apu tidak boleh disebut secara sembarangan apalagi dimakan. Apabila

ada yang memanggil apu secara sengaja maka akan terjadi bencana atau musibah

bagi orang yang memanggil tersebut. Begitu pula apabila ada yang memakan apu.

Ada cerita yang menyebutkan masyarakat diperbolehkan memakan apu, apabila

apu tersebut telah turun dari air terjun Laputi. Namun, masyarakat sekitar

terutama masyarakat desa Praingkareha tidak akan memakan apu, karena menurut

cerita apu yang dimakan akan berubah rasa seperti rasa darah manusia.

a) b)

Gambar 26 a) Danau Laputi, b) Apu (belut raksasa di danau Laputi)

4.3.3 Goa

Goa ini berada tidak jauh dari lokasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan

(RHL) yang berjarak sekitar ± 500 m. Akses untuk menuju goa tersebut cukup

sulit karena belum terdapat jalur khusus yang dibuat. Artinya, jalur yang dilalui

masih hutan dan tidak ada sama sekali jalur setapak. Selain itu, lokasinya yang

dibalik bukit, cukup menguras stamina untuk mencapainya. Goa ini memiliki

keunikan yang tidak dapat ditemukan ditempat lain. Keunikan tersebut

diantaranya goa ini lebih cenderung seperti ceruk namun alami. Ceruk yang

47

Page 48: Draft III Pklp Tnlw_mdk

sangat besar memiliki diameter ceruk ± 300 m dan substratnya yang lembab dan

berpasir laut menjadi nilai tambah goa tersebut.

Gambar 27 Luas ceruk

Keunikan lainnya adalah terdapat beberapa stalagmit yang menurut orang

sekitar dulunya sangat mirip dengan bunda maria dan hingga saat ini stalagmit

tersebut masih ada namun dengan terjadinya proses alami yang mengakibatkan

keroposnya Stalagmit tersebut pendapat masyarakat tersebut sudah mulai hilang

(Gambar 28).

a) b)

Gambar 28 a) deretan stalagmit yang menyerupai bunda maria, b) Mulut Goa

Goa ini menurut penduduk sekitar konon dahulunya digunakan untuk

tempat tinggal nenek moyangnya. Dengan bentukan ceruk yang dapat melindungi

manusia dari hujan dari panasnya matahari maka dapat dimungkinkan ceruk ini

digunakan oleh orang dulu sebagai tempat tinggal.

48

Page 49: Draft III Pklp Tnlw_mdk

4.3.4 Situs Makam Nenek Moyang (RHL)

Situs makam nenek moyang terletak di dalam kawasan Taman Nasional

Laiwangi Wanggameti. Situs ini terlihat hanya berupa tumpukan batu yang

terdapat di areal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Namun, tempat ini

merupakan salah satu peninggalan kebudayaan masyarakat sekitar kawasan

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Gambar 29 Makam nenek moyang di areal RHL.

Balai TNLW memasukkan lokasi ini menjadi zona religi. Peruntukan

zona ini adalah untuk melindungi nilai-nilai hasil karya budaya, sejarah, dan

keagamaan masyarakat Sumba. Zona ini, dahulu merupakan bekas pemukiman

suku Tidas. Suku Ttidas kini mendiami desa Praingkareha dan desa Wudi pandak.

Keduanya merupakan desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNLW.

4.3.5 Puncak Wanggameti

Puncak Wanggameti merupakan titik teringgi yang ada di wilayah Taman

Nasional Laiwangi-Wanggameti, yaitu 1225 mdpl. Terdapat tiga jalur yang dapat

digunakan untuk mencapai puncak Wanggameti. Jalur pertama yaitu melewati

Tamma, jalur kedua melalui kampung Pahulu Bandil, serta jalur ketiga melalui

kampung Laironja. Tempat-tempat yang harus dilalui sebelum sampai di puncak

Wanggameti tersaji pada Gambar 30.

49

Page 50: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 30 Bagan Jalur-jalur menuju puncak Wanggameti.

Danau Paberiwai yang merupakan salah satu jalan menuju puncak

Wanggameti memiliki sejarah yang menarik. Dahulu kala, ada dua orang nenek

yang akan berburu. Salah satu diantara mereka kehausan dan tidak membawa air

minum. Nenek tersebut minum tanpa seizin nenek yang membawa air. Kemudian

terjadi pertengkaran diantara keduanya yang menghasilkan kesepakatan.

Keduanya bersepakat untuk menumpahkan sebagian air dan kemudian menjadi

danau. Danau tersebut diberi nama Paberiwai.

Selain itu juga terdapat cerita mengenai tata cara mendaki puncak

Wanggameti. Di lokasi yang bernama 7 tangga Wanggameti, pendaki tidak

diperbolehkan untuk beristirahat karena terdapat pantangan untuk tidak berteriak.

Apabila pantangan tersebut dilanggar, maka akan terjadi malapetaka disepanjang

perjalanan menuju puncak Wangameti. Untuk menghindari kelelahan, umumnya

50

Puncak Wanggameti

7 Tangga Wanggameti

Jalur 1 : Tamma

Wangga

Parai Bukul

Kambatawangga

Panggalenggiku

Anamanu Leimbolang

Landajangga Danau Paberiwai

Watudeli

Jalur 3 : LaironjaJalur 2 : Pahulu Bandil

Page 51: Draft III Pklp Tnlw_mdk

para pendaki beristrahat di Kambatawangga. Di tempat ini terdapat pohon

beringin besar yang kemudian dijadikan sebagai tempat istirahat.

4.3.6 Watu Munggu-Laimbona

Watu Munggu merupakan pal batas yang dibuat oleh pemerintah

Belanda. Watu munggu ditetapkan oleh pemerintah Belanda sekitar tahun 1937

sebagai batas antara kawasan hutan dan lahan pertanian masyrarakat. Watu

Munggu merupakan tumpukan batu yang terletak di atas bukit. Watu Munggu

terletak pada ketinggian 1092 mdpl. Dari tempat ini sampai di bukit Laimbona

yang memiliki ketinggian 1079 mdpl, pengunjung dapat melihat perpaduan antara

pemandangan perbukitan khas Sumba dan desa-desa Enclave di kawasan Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti.

4.4 Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti

4.4.1 Mandat Pengelolaan

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti memiliki luas wilayah 47.014,00

ha dan ditunjuk berdasarkan SK Menhutbun No. 576/Kpts-II/1998 yang

merupakan alih fungsi dari register tanah kehutanan 50 dengan fungsi awal Hutan

Lindung Laiwangi dan Hutan Lindung Wanggameti. Mandat tersebut berdasarkan

oleh pertimbangan kawasan tersebut memiliki keanekaragaman burung yang

cukup tinggi terutama burung endemik yang salah satunya ialah burung Kakatua

Jambul Jingga yang merupakan simbol dari logo Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti.

4.4.2 Organisasi

4.4.2.1 Struktur Organisasi

Struktur organisasi Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sesuai

dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts/II/2002 yang menjadi dasar

struktur ialah :

51

Page 52: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 31 Bagan Organisasi Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (tahun

2011)

4.4.2.2 Sumberdaya Manusia

Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti memiliki sumberdaya

manusia atau pegawai TN sebanyak 38 orang yang diantaranya 1 kepala balai, 1

kepala bagian tata usaha, 2 kepala seksi, 7 PEH, 19 Polhut, 3 penyuluh kehutanan,

3 staff bidang keuangan, 1 penata usaha kepegawaian, dan 1 penyaji evaluasi

laporan. Sumberdaya manusia lain yang membantu taman nasional ialah dari

kemitraan dengan masyarakat. Seperti halnya Model Desa Konsevasi (MDK)

yang dibentuk oleh taman nasional.

4.4.2.3 Mitra Kerja

Kerangka koordinasi atau kemitaraan pengelolaan dengan instansi

lingkup departemen lebih diarahkan pada bagian-bagian dimana secara tupoksi

52

Kepala Balai Taman Nasional Laiwangi WanggametiIr. Hart Lamer Susetyo

Kepala Sub Bagian Tata Usaha

Aswan Sambari, S.Hut, M.Si

Kasi Konservasi Wilayah IIJudy Aries Mulik, STP

Kasi Konservasi Wilayah I Oman Rohman, BA

Kelompok Jabatan Fungsional

Page 53: Draft III Pklp Tnlw_mdk

tidak dapat dilakukan oleh unit pengelola taman nasional. Kemitaraan tersebut

antara lain :

a. BPKH dalam bidang penataan hutan bekerjasama dan berkoordinasi

didalam proses pengukuhan kawasan taman nasional.

b. Balai DAS bekerjasama dalam bidang rehabilitasi kawasan.

c. Dinas kehutanan dan dinas lain di Kabupaten dalam bidang pengamanan

dan perlindungan hutan, pembinaan masyarakat, pelestarian alam,

pengembangan wisata alam serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

serta perencanaan kehutanan di daerah.

d. Lembaga non pemerintah bergerak didalam pengukuhan kawasan,

pengkajian sumberdaya hayati, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

untuk meningkatkan taraf ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap

pelestarian alam.

4.4.2.4 Program kerja taman nasional dalam 2011-2014

Taman Nasional Laiwangi Wanggemeti (TNLW) memiliki program kerja

yang terhitung tahun 2010-2014. Program kerja tersebut terangkum dalam

beberapa hal sebagai berikut :

1. Terwujudnya kemantapan kawasan TNLW

2. Terkumpulnya data potensi SDA kawasan TNLW yang dikelola dalam

satu sistem database yang memberikan basis pengambilan kebijakan

pengelolaan.

3. Terjaganya keanekaragaman hayati TNLW

4. Terwujudnya pemanfaatan SDA TNLW secara optimal dan berkelanjutan

5. Meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan

pendidikan di dalam kawasan yang mendukung pengelolaan TNLW

6. Terwujudnya peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM pengelolaan

TNLW

7. Terwujudnya sistem penanggulangan bencana/ gangguan di TNLW

8. Terwujudnya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat dan para

pihak terkait dalam pengelolaan TNLW

9. Terwujudnya peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan.

53

Page 54: Draft III Pklp Tnlw_mdk

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati secara keseluruhan bervariasi tergantung taksa

yang diamati. Tabel 25 menunjukkan variasi jumlah jenis yang ditemukan dan

nilai indeks ekologi yang meliputi kekayaan jenis, Indeks keanekaragaman jenis

(H) dan indeks kemerataan (E).

Tabel 25 Rekapitulasi data Indeks Keanekaragaman Fauna di Taman Nasional

Laiwangi Wanggameti

LokasiKeanekaragaman

Jenis (H)Kemerataan (E)

B M K B M KBilla 2,10 0,89 1,91 0,76 0,78 0,98Praingkareha 2,50 0,76 2,67 0,86 0,89 0,94Wanggameti 1,93 0,97 2,66 0,81 0,63 0,95Ampupu 1,15 0,74 2,55 0,52 0,76 0,96Wundut 2,15 0,79

Keterangan : B = burung; M = Mamalia; K = Kupu-kupu

Dilihat dari indeks keanekaragaman satwa terlihat bahwa burung

mempunyai indeks keanekaragaman yang tertinggi di kelima lokasi pengamatan

dibandingkan dengan mamalia dan kupu-kupu. Hal tersebut kemungkinan

dikarenakan burung mempunyai kemampuan untuk terbang menuju pulau-pulau

di sekitarnya, sedangkan mamalia dan kupu-kupu mempunyai keterbatasan

wilayah jelajah yang dibatasi lautan oleh karena itu keanekaragaman burung

tertinggi dibanding taksa yang lainnya (Coates dan Bishop 2000).

Dari tabel 24 terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaan mamalia di

keempat jalur kurang dari 1. Berdasarkan indeks Shannon Wiener nilai ini

menyatakan bahwa keanekaragaman mamalia rendah, penyebaran jumlah individu

tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. Rendahnya nilai

keanekaragaman mamalia yang ada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

dipengaruhi oleh faktor geografis wilayah yang berada di zoogeografi Wallace.

Berdasarkan Coates dan Bishop (2000) pulau Sumba merupakan dataran yang

terbentuk karena terangkatnya daratan dari dasar laut, kondisi ini menyebabkan

kondisi tanah yang kurang subur karena masih banyaknya wilayah yang

merupakan bebatuan karang. Sumba merupakan pulau terbesar ketiga yang di

54

Page 55: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Propinsi Nusa Tenggara Timur, wilayahnya yang berupa kepulauan menyebabkan

perpindahan satwa antar pulau terhambat karena laut yang membatasi antar pulau

tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada keanekaragaman jenis mamalia yang

ditemukan di Pulau Sumba karena sebagian besar mamalia merupakan satwa

terestrial.

Nilai keanekaragaman yang didapatkan sebesar 2,83 dengan jumlah 50

plot dapat dikatakan lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil kegiatan UP

DATING DATA POTENSI 2010 TNLW dengan keanekaragaman 3.18 dengan

jumlah 99 plot (BTNLW 2010). Rendahnya nilai indeks keanekaragaman yang

diperoleh dalam penelitian ini disebabkan oleh ukuran sampel yang kecil dan

waktu penelitian. Perbedaan sampel yang diambil mempengaruhi indeks

keanekaragaman, bila ukuran sampel yang diambil besar maka nilai

keanekaragaman cenderung semakin tinggi (Rahayuningsih, 2009).

Indeks keanekaragaman tertinggi pada jalur pengamatan Praingakereha

dengan nilai 2.50. Tingginya nilai keanekaragaman pada jalur Praingkareha

dikarenakan tersedianya kebutuhan hidup bagi burung dan jalur tersebut memiliki

areal hutan yang paling luas. Sesuai pendapat Bibby (2000) bahwa hutan alam

merupakan sumber keanekaragaman jenis burung yang memiliki biodiversitas

yang tinggi, Sedangkan nilai keanekaragaman terendah ditemukan pada jalur

Katikuai dengan nilai 1.15. Rendahnya nilai keanekaragaman pada jalur Katikuai

diduga karena memiliki areal yang sempit, sehingga tidak mampu menampung

keanekaragaman jenis burung yang tinggi dan ketersedian kebutuhan hidup

burung juga terbatas karena jalur Katikuai merupakan hutan tanaman Ampupu

(Eucalyptus urophylla) Lokasi pengamatan Billa dan Praingkareha yang terletak

pada dataran rendah memiliki keanekaragam yang tinggi dibandingkan Katikuai,

Wundut dan Wanggameti yang terletak di dataran tinggi Sumba. Menurut Blake et

al. (2000) dalam Darmawan (2006) mengatakan keanekaragaman jenis burung

akan semakin berubah dengan perubahan ketinggian, dimana semakin

rendah ,keanekaragaman jenis burung semakin tinggi.

Nilai kemerataan (E) jenis burung yang diperoleh dalam penelitian ini

bernilai 0.75. Nilai Indeks Kemerataan jenis burung (E’) yang tertinggi yaitu jalur

pengamatan Praingkareha sebesar 0,86. Angka ini relatif tinggi karena mendekati

55

Page 56: Draft III Pklp Tnlw_mdk

1. Menurut Mac Arthur (1972) Jika indeks kemerataan (E) mendekati 1, maka

menunjukkan bahwa komposisi jenis burung yang ada disetiap lokasi memiliki

penyebaran yang merata, sebaliknya semakin mendekati 0, maka penyebaran

semakin tidak merata dan terdapat jenis yang sangat dominan. Indeks kemerataan

terendah dengan nilai 0.52 terdapat pada habitat hutan tanaman Ampupu

(Eucalyptus urophylla). Menurut Odum (1971) nilai indeks kemerataan yang

rendah menunjukkan terjadinya pengelompokan individu-individu suatu jenis

tertentu. Hal ini terjadi dihutan tanaman Katikuai, diantaranya Perkici orange

(Trichoglossus capistratus fortis) yang ditemukan mengelompok di hutan

tanaman Ampupu (Eucalyptus urophylla).

Indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu dengan kriteria sedang pada

seluruh tipe habitat yang terdapat di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

mengisyaratkan potensi keanekaragaman yang cukup baik. Hal ini diduga karena

masih alaminya kondisi dari kedua lokasi tersebut dimana lokasi tersebut

memiliki semua komponen habitat yang paling disukai kupu-kupu yaitu adanya

sumber air berupa sungai-sungai, tumbuhan inang yang menjadi sumber pakan

untuk ulat seperti jeruk hutan, sirih hutan, kayu manis serta tumbuhan berbunga

sebagai penghasil nektar untuk pakan kupu-kupu diantaranya tumbuhan pagoda.

Terdapat pula banyak vegetasi bertajuk tebal atau rimbun lainnya sebagai tempat

berlindung kupu-kupu baik dari predator maupun faktor alam seperti hujan dan

angin kencang.

Selain itu, pada lokasi ini kondisi fisik atau faktor lingkungannya masih

sangat baik dimana udaranya masih segar, bersih dan bebas polusi serta suhu dan

kelembabannya pun masih stabil (Tabel 26). Keanekaragaman yang cukup baik

ini juga dipengaruhi karena belum banyaknya gangguan dari luar seperti

penebangan liar, pembangunan, penangkapan liar dan gangguan lainnya, sehingga

kondisi habitat serta populasinya masih terjaga.

Tabel 26 Hasil pengukuran kondisi fisik lingkungan

No Faktor Lingkungan SPTN I SPTN II1. Suhu 22-28oC 21-25 oC2. Kelembaban 80,33-84,17 89,333. Ketinggian 341-417 mdpl 1000-1100 mdpl

56

Page 57: Draft III Pklp Tnlw_mdk

5.1.1 Mamalia

Jumlah jenis mamalia yang berhasil didapatkan di Taman Nasional

Laiwangi Wanggameti tersebut termasuk sedikit bila dibandingkan dengan jumlah

jenis mamalia yang ditemukan di taman nasional di pulau Jawa, Sumatera maupun

Kalimantan, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni faktor geografis

kawasan, gangguan habitat maupun kemampuan dari pengamat. Faktor geografis

kawasan yang mempengaruhi penemuan jenis mamalia yaitu letak gografis

kawasan yang berada di daerah zoogeografi Wallace. Pulau sumba yang terletak

di kawasan zoogeografi Wallace merupakan daratan pulau karang yang baru

terbentuk dibandingkan kepulauan lain yang ada di Nusa Tenggara Timur.

Wilayahnya yang berupa kepulauan dengan laut yang membatasi antar pulau

menjadi faktor utama yang mempengaruhi persebaran mamalia. Oleh karena itu

endimisitas satwa tergolong tinggi di kawasan Wallace.

Faktor gangguan habitat berpengaruh pula terhadap penemuan jenis

mamalia yang ditemukan selama kegiatan praktek kerja lapang profesi ini

dilakukan. Adanya gangguan habitat menyebabkan mamalia berpindah menuju

lokasi dengan habitat yang lebih baik yaitu berada di pedalam hutan. Berdasarkan

hasil wawancara terhadap pengelola kawasan dan penduduk di sekitar kawasan,

pada tahun 1990-an di sekitar lokasi yang dijadikan lokasi pengamatan mamalia

yaitu desa billa merupakan habitat bagi rusa timor (Cervus timorensis). Namun

sekarang, akibat dari gangguan habitat berupa perladangan berpindah, perburuan,

invasi ternak warga sekitar kawasan menjadikan rusa timor tidak ada lagi di

sekitar kawasan hutan billa tersebut dan berpindah menuju lokasi hutan yang

relatif tidak terganggu oleh kegiatan manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Alikodra (2010) yang menyatakan bahwa ancaman terhadap satwa dikarenakan

jumlah manusia yang semakin bertambah dalam pemanfaatan lahan. Oleh karena

itu saat ini rusa timor (Cervus timorensis) hanya dapat ditemukan di padang Pahar

yang terletak di desa Pinupahar yang masuk ke dalam seksi pengelolaan I Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti.

Selain kedua faktor di atas, faktor yang mempengaruhi perjumpaan jenis

mamalia tersebut yaitu keterbatasan kemampuan pengamat. Mamalia kecil seperti

ordo rodentia merupakan salah satu mamalia yang sulit diamati dan dijumpai,

57

Page 58: Draft III Pklp Tnlw_mdk

selain itu pula jenis-jenis kelelawar juga sulit diamati secara langsung.

Keterbatasan pengamat dan terbatasnya waktu pengamatan menjadi salah satu

faktor pembatas pula penemuan mamalia selama kegiatan Praktik Kerja Lapang

Profesi (PKLP) dilaksanakan.

Berdasarkan hasil pengamatan mamalia yang dilakukan di 4 jalur

pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa lokasi yang paling banyak ditemukan

jenis mamalia yaitu di jalur 4 yaitu di blok hutan Wanggameti yang berada di

SPTN II TNLW. Sebanyak 4 jenis mamalia di temukan di lokasi ini yaitu Codot

(Cynopterus sp), Tikus Belukar (Rattus sp), Musang Luwak (Pradoxurus

hermaproditus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Lokasi ini paling

banyak ditemukan jenis mamalia dikarenakan faktor ketersediaan pakan yang ada

di hutan Wanggameti.

Berdasarkan hasil hasil analisis habitat diketahui bahwa terdapat

beberapa jenis tumbuhan yang diduga menjadi sumber pakan bagi mamalia antara

lain yaitu mangga hutan yang dalam bahasa Sumba Timur Pau omang (Mangifera

laurina Blume), jeruk hutan, kayu manis (Cinnamomum burmanni Blume), dan

beberapa jenis tumbuhan buah lain yang belum teridentifikasi. Alikodra (1997)

menyatakan bahwa kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan

komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Habitat yang mempunyai

kualitas yang tinggi nilainya diharapkan pula akan menghasilkan kehidupan

satwaliar yang berkualitas tinggi. Sebaliknya, habitat yang rendah kualitasnya

akan menghasilkan kondisi populasi satwaliar yang rapuh (daya reproduksi

rendah dan mudah terserang penyakit). Selain itu keberadaan sumber air di sekitar

hutan Wanggameti menjadi salah satu faktor juga ditemukan mamalia di lokasi

ini. Mamalia termasuk ke dalam water dependent yang berarti membutuhkan air

untuk hidup. Di hutan Wanggameti yang menjadi konsentrasi penemuan mamalia

yaitu di sekitar sungai yang berada di hutan Wanggameti. Mamalia yang sering

ditemui di sekitar aliran air ini yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Dari data yang telah disajikan, kondisi habitat mamalia di Wanggameti masih

cukup baik. Seluruh kebutuhan mamalia baik makan, minum, udara bersih, tempat

berlindung, berkembangbiak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya

secara umum tersedia dengan baik.

58

Page 59: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 32 Monyet Ekor Panjang (Macacafascicularis)

Sedangkan mamalia yang paling sering ditemui selama pengamatan yaitu

monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ditemui di semua jalur pengamatan.

Macaca fascicularis merupakan mamalia yang toleran terhadap berbagai macam

kondisi habitat. Monyet ekor panjang dapat dengan mudah beradaptasi dengan

kondisi habitat yang baru. Mamalia dapat tinggal di berbagai kondisi habitat, oleh

karena itu monyet ekor panjang ini dapat ditemukan di semua lokasi pengamatan.

Sementara itu berdasarkan hasil pengamatan mamalia yang dilakukan di

empat jalur pengamatan didapatkan hasil bahwa nilai indeks keanekaragaan

mamalia di keempat jalur kurang dari 1. Berdasarkan indeks Shannon Wiener

nilai ini menyatakan bahwa keanekaragaman mamalia rendah, penyebaran jumlah

individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah.

Bila ditinjau dari statusnya, dari hasil pengamatan yang telah dilakukan,

terdapat 7 jenis mamalia yang masuk dalam daftar merah IUCN maupun oleh

Appendiks CITES dan PP no 7 . Dari 7 jenis tersebut yang masuk dalam daftar

merah IUCN hanya 3 jenis masuk dalam daftar appendiks CITES. Namun hanya

ada 1 jenis yang dilindungi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7

Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.

Jenis mamalia yang termasuk daftar CITES adalah Musang

akar(Artogalidia trivigata), Rusa timor (Cervus timorensis) dan Monyet Ekor

Panjang (Macaca fascicularis). Ketiganya termasuk dalam Appendix II CITES,

yaitu tidak dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi dapat menjadi terancam

59

Page 60: Draft III Pklp Tnlw_mdk

jika perdagangan terhadap jenis tersebut dikenai suatu peraturan yang ketat dalam

rangka menghindari pemanfaatan yang tidak sepadan dengan daya kemampuan

hidupnya.

Sedangkan berdasarkan Redlist IUCN sebanyak 4 jenis mamalia yang

masuk dalam kategori vurnerable (rentan), hal ini ditetapkan pada jenis yang

mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. dengan

status yang berbeda. Jenis mamalia di TNLW dengan status VU (Vurnerable)

yaitu babi hutan (Sus scrofa), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus),

musang akar (Atogalidia trivigata) dan rusa timor (Cervus timorensis).

Spesies-spesies seperti yang masuk daftar appediks CITES maupun

daftar merah IUCN dan daftar perlindungan UU 7 1999 merupakan spesies-

spesies dalam keadaan yang terus diperhatikan untuk dipantau terus keadaannya

di alam. Banyak faktor yang menyebabka tingginya ancaman kepunahan, terutama

karena penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak terkendali, dan

pencemaran lingkungan. Berbagai negara, termasuk Indonesia, giat melakukan

upaya-upaya mencegah terjadinya kepunahan spesies. Program konservasi di

Indonesia, misalnya, bukan hanya melestarikan spesies yang terancam kepunahan,

tetapi juga sekaligus melestarikan habitatnya (Alikodra 1997).

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah taman nasional dengan

sebagian besar vegetasinya adalah padang savana. Dengan kondisi seperti ini,

Taman Nasional Manupeu Laiwangi Wanggameti sangat rawan dengan kebakaran

terutama pada saat musim kemarau. Alikodra (2002) menyatakan bahwa api

merupakan bagian penting dari habitat savana yaitu savana mengalami klimaks

karena api. Jenis pohon dan rumput di daerah savana mempunyai sifat tahan api

dan kekeringan sehingga dengan terjadinya kebakaran akan menyebabkan rumput

dan pohon mengalami regenerasi dan menyediakan pakan segar bagi para

herbivora yang ada di habitat tersebut. Selain itu, kebakaran juga dapat

mengurangi material yang kurang berguna bagi satwaliar dan mencegah

penyebaran penyakit. Namun, terkadang adanya kebakaran dapat membahayakan

kehidupan satwaliar, terutama dapat menyebabkan kematian satwa secara

langsung maupun secara tak langsung yaitu dengan terbakarnya sumber makanan

yang berupa rerumputan.

60

Page 61: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Kasus kebakaran hutan berdasarkan informasi dari pihak petugas

pemadam kebakaran Taman Nasional Laiwangi Wanggameti tergolong sering,

hampir tiap tahun kebarakan hutan selalu terjadi terutama di musim kemarau yang

menyebabkan rerumputan kering. Api sekecil apapun dapat memicu terjadinya

kebakaran hutan. Kasus kebakaran hutan pernah juga terjadi di padang Pahar yang

merupakan habitat bagi rusa timor (Cervus timorensis) yang keberadaannya sudah

jarang ditemui di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Adanya kebakaran

hutan ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar reruputan sumber pakan rusa,

bahkan akibat kebakaran hutan ini juga mengakibatkan rusa mati karena terbakar.

Selain ancaman dari kebakaran hutan, ancaman terhadap kelestarian

mamalia di TNLW yaitu ancaman dari keberadaan ternak warga yang masuk ke

dalam kawasan taman nasional. Keberadaan ternak warga yang masuk ke dalam

kawasan taman nasional menginvasi rerumputan yang menjadi sumber pakan

satwa taman nasional seperti rusa timor. Keberadaan satwa-satwa ternak ini juga

mengganggu permudaan tanaman yang ditanam dalam program rehabilitasi hutan

yang dilakukan BTNLW. Kasus ancaman dari adanya ternak warga yang masuk

ke kawasan taman nasional terjadi di desa Billa, kawasan hutan di desa Billa

terdapat padang rumput yang menjadi habitat rusa timor pada tahun 1990-an.

Sebelum adanya ternak warga yang masuk ke dalam kawasan taman nasional,

rusa timor dapat dengan mudah ditemui di kawasan hutan Billa. Kondisi saat ini

berbeda jauh dengan apa yang diceritakan oleh pihak pengelola yang dulunya rusa

sangat mudah dijumpai, saat ini kawasan hutan billa sudah tidak dapat dijumpai

adanya rusa timor. Hal ini diakibatkan banyaknya ternak masyarakat seperti

kerbau, kuda, sapi yang banyak digembalakan di dalam kawasan. Oleh karena itu

perlu diadakan kebijakan khusus yang mengatur keberadaan ternak warga yang

masuk ke dalam kawasan taman nasional agar tidak mengganggu kelestarian

habitat satwa.

61

Page 62: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Gambar 33 Satwa ternak warga yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional

Salah satu kegiatan yang perlu dilakukan guna mengatasi permasalahan

ancaman kelestarian mamalia yaitu adanya pembinaan habitat mamalia. Mamalia

yang ditemukan umumnya berada pada kondisi habitat yang dapat dikatakan

cukup memenuhi kebutuhan satwa. Habitat tersebut dianggap dapat menyediakan

berbagai komponen penghidupan bagi satwa. Keadaan ini sesuai dengan

pernyataan Alikodra (2002) bahwa untuk mendukung kehidupan satwaliar

diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan

hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung,

berkembangbiak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya. Komponen-

komponen pendukung kehidupan satwaliar tersebut menjadi faktor pembatas

dalam kehidupan satwaliar terutama mamalia.

Dalam pembinaan habitat, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan

fluktuasinya dan dipantau untuk menetapkan program-program pengelolaan yang

tepat (Alikodra 1983). Habitat mamalia yang ditemukan dahulunya berupa hutan

yang luas. Namun setelah terjadi gangguan dan alam mengalami perubahan

kondisi, habitat mamalia didominasi oleh savana. Perubahan yang terjadi pada

habitat tersebut berdampak pada perubahan komponen-komponen pendukung

kehidupan satwaliar khususnya mamalia sehingga dapat mengubah daya dukung

lingkungannya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu sebelum

dilakukan kegiatan pembinaan habitat perlu dilakukan pula penelitian mengenai

asal mula lokasi yang akan dilakukan pembinaan habitat tersebut. Misalnya saja

harus diketahui karakteristik kawasan yang akan dilakukan pembinaan habitat

tersebut serta sejarah asal mula kawasan apakah dulunya merupakan hutan

ataukah padang savana atau jenis ekosistem lainnya. Sehingga dari kegiatan ini

62

Page 63: Draft III Pklp Tnlw_mdk

diharapkan dapat terus menjaga kelestarian mamalia yang ada di Taman Nasional

Laiwangi-Wanggameti.

Selain itu, salah satu yang mengancam kelestarian mamalia di alam yaitu

dengan adanya pemanfaatan mamalia untuk mencukupi kebutuhan manusia.

Kebutuhan yang dimaksud tidak hanya kebutuhan untuk makan saja, melainkan

untuk mencukupi kebutuhan lainnya juga seperti kebutuhan akan obat-obatan

tradisional maupun untuk kepentingan adat pun dapat mengancam keberadaan

mamalia di alam. Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat di desa

Praingkareha, masyarakat memanfaatkan mamalia hanya pada jenis-jenis tertentu

saja, yaitu musang luwak (Paradoxurus hermaproditus) dan musang galing

(Paguma larvata). Kedua jenis musang ini ditangkap oleh warga untuk dijadikan

sumber makanan tambahan, obat dan ada pula yang dijual kepada orang yang

membutuhkan.

Gambar 34 Musang galing (Paguma larvata)

Menurut masyarakat desa Praingkareha, musang yang mempunyai

khasiat obat yaitu musang galing (Paguma larvata) yang mempunyai ciri-ciri fisik

berupa ekor yang belang dan badan bertotol-totol hitam. Musang galing

dimanfaatkan masyarakat untuk obat asma, obat sakit step atau kejang-kejang.

Bagian yang dimanfaatkan yaitu bagian ekor musang yang belang tersebut, cara

penggunaannya yaitu dengan cara membakar ekor musang tersebut dan asap dari

pembakarannya dihirup oleh orang yang mempunyai masalah kesehatan dengan

kesehatan tersebut. Selain dimanfaatkan sebagai obat, ekor musang galling juga

dipercaya dapat dijadikan jimat untuk mengikat wanita, dengan cara mengantongi

63

Page 64: Draft III Pklp Tnlw_mdk

rambut musang galing di celana dipercaya wanita akan menjadi dekat kepada

orang yang mempunyai jimat tersebut.

5.1.2 Burung

Hasil penelitian di lima lokasi pengamatan menunjukkan dijumpainya 57

jenis dari 28 suku. Terdapat lima jenis yang merupakan endemik Sumba yaitu

Burung-madu Sumba (Nectarinia buettikoferi), Julang Sumba (Rhyticeros

everetti), Kakatua kecil jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocristata),

Myzomela kepala merah (Myzomela dammermani), dan Sikatan Sumba (Ficedula

harterti).

Jenis burung yang dijumpai menggunakan metode daftar jenis

MacKinnon yaitu sebanyak 57 jenis burung dari 28 suku. Kurva penemuan jenis

burung menunjukkan bahwa grafik terus naik dengan curam. Grafik yang terus

naik dengan curam menunjukkan bahwa kawasan TNLW merupakan habitat yang

kaya akan jenis burung. Selain itu, grafik yang semakin naik curam

mengindikasikan bahwa pada kawasan TNLW kemungkinan masih terdapat jenis-

jenis baru yang belum tercatat dalam pengamatan.

Pengamatan dengan menggunakan metode daftar jenis Mackinnon

menghasilkan 57 jenis dan metode IPA menghasilkan 44 jenis. Perbedaan ini

disebabkan karena dalam menggunakan metode daftar jenis MacKinnon pengamat

tidak hanya mencatat jenis-jenis yang dijumpai didalam jalur pengamatan, tetapi

juga mencatat jenis burung yang ditemui di luar jalur. Waktu pencatatan yang

meliputi pagi, siang, sore, dan malam hari. Untuk metode IPA pengamatan

terbatas pada jalur-jalur pengamatan sepanjang satu kilometer pada hutan primer,

hutan sekunder, riparian, dan padang. Selain itu dalam metode ini pencatatan juga

hanya dilakukan waktu pagi hari .

Lokasi dengan penemuan jenis burung paling banyak adalah pada jalur

Praingkareha dengan 18 jenis (101 individu). Lokasi dengan penemuan paling

sedikit pada jalur Katikuai dengan 8 jenis (93 individu). Jalur Praingkareha yang

merupakan habitat hutan primer dan padang adalah tempat penemuan jenis burung

terbanyak.. Tingginya jumlah jenis yang disebabkan tersedianya sumberdaya alam

yang bisa memenuhi kehidupan burung. Heddy dan Kurniati (1996)

menambahkan bahwa semakin banyak jumlah jenis burung yang membentuk

64

Page 65: Draft III Pklp Tnlw_mdk

suatu komunitas, semakin tinggi keanekaragamannya. Hutan primer merupakan

tipe habitat yang memiliki kekayaan jenis yang tinggi, hal ini ini disebabkan

karena struktur dan komposisi vegetasi pada hutan primer lebih komplek.

Jenis burung yang dijumpai pada jalur Wundut yang merupakan tipe

habitat hutan sekunder yaitu sebanyak 15 jenis dari 11 suku. Penelitian ini

tergolong sedikit bila dibandingkan dengan penelitian Takandjandji & Sutrisno

(1996) yang mendapatkan 52 jenis dari 30 suku dihutan Wundut. Terjadinya

penurunan jenis pada hutan Wundut disebabkan tingginya aktivitas penangkapan

burung dan juga habitatnya semakin terganggu oleh perladangan dan penebangan

hutan, di samping itu hutan Wundut terletak berdekatan dengan jalan raya yang

menghubungkan Sumba Timur dan Sumba Barat. Kondisi ini menimbulkan

kebisingan bagi burung dan memudahkan para pemburu untuk menjangkau

kawasan wundut. Menurut Gaol (1998) penurunan jumlah jenis burung

dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan

ketersedianan sumberdaya. Selain itu, Jarvis (1993) menyatakan bahwa kondisi

spasial habitat yaitu berupa fragmentasi habitat dan tersedia tidaknya koridor

penghubung merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan keanekaragaman

jenis.

Bila dibandingkan dengan 4 lokasi habitat lainnya, tipe habitat hutan

tanaman Katikuai merupakan lokasi pengamatan yang paling sedikit dijumpai

jenis burungnya yaitu 8 jenis. Hal ini disebabkan komposisi penyedia kehidupan

bagi burung di habitat ini terbatas pada jenis Ampupu (Eucalyptus urophylla)

sehingga jenis-jenis yang terdapat di habitat ini terbatas. Jenis burung yang

banyak ditemukan berkelompok pada hutan tanaman jenis Ampupu (Eucalyptus

urophylla) adalah Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis) yang mencari

makan pada Ampupu (Eucalyptus urophylla) yang sedang berbunga.

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, jenis burung yang paling

dominan yaitu Walet sapi (Collocalia esculenta) yaitu sebesar 21,17%. Collocalia

esculenta ditemukan paling dominan karena jenis burung ini mudah terlihat dan

dalam jumlah yang cukup banyak. Jenis burung Walet sapi ini terbang di semua

tipe hutan dan lahan pertanian dan merupakan jenis burung yang terdapat di

semua tipe habitat (MacKinnon et al. 1998).

65

Page 66: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Secara umum dapat diketahui bahwa terdapat 5 jenis burung yang

dominan dari keseluruhan jalur pengamatan. Jenis burung tersebut yaitu Perkici

pelangi (Trichoglossus haematodus), Walet sapi (Collocalia esculenta), Kacamata

limau (Zosterops citrinellus), Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis),

dan Cikuakua Tanduk (Philemon buceroides neglactus). Jenis burung yang

mendominasi lokasi jalur pengamatan merupakan jenis burung pemakan serangga

dan buah. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya pakan pada

habitat yang ditempati burung. Jenis burung yang dijumpai dalam jumlah yang

banyak serta dapat mendominasi suatu habitat merupakan jenis burung yang dapat

beradaptasi dan dapat memanfaatkan sumberdaya habitat, seperti sumberdaya

pakan untuk mendukung kehidupannya (Dewi 2006).

Kelimpahan jenis burung yang tertinggi yaitu di jalur Katikuai 0,6451

yaitu jenis burung Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis). Tingginya

kelimpahan burung Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis) di jalur

Katikuai dikarenakan kemampuan habitatnya dalam menyediakan kebutuhan

hidup, seperti pemenuhan terhadap kebutuhan ruang dan pakan. Pada jalur

Katikuai yang merupakan lahan penanaman pohon Ampupu merupakan salah satu

pohon pakan dan tempat bermain bagi burung Perkici orange. Tingginya

kelimpahan burung pada suatu habitat juga menandakan keadaan habitat tersebut

sesuai dengan kebutuhan jenis burung akan makanan, tempat berlindung, dan

sumber air. Semakin tinggi kelimpahan burung menandakan jumlah burung yang

terdapat di habitat tersebut banyak. Sehingga dapat dikatakan burung tersebut

mampu menyesuaikan dengan keadaan habitat tersebut (Susanto 1995). Akan

tetapi jika kondisi kurang baik untuk mendukung habitatnya maka kelimpahan

burung akan berkurang (Hernowo 1989).

Nilai indeks kesamaan burung-burung di Wundut dan Wanggameti

adalah 10%, Wundut dan Katikuai adalah 7%, Wundut dan Billa adalah 14%,

Wundut dan Praingkareha adalah 11%, Katikuai dan Wanggameti adalah 10%,

Katikuai dan Billa adalah 7%, Katikuai dan Praingkareha adalah 16%,

Wanggameti dan Billa adalah 13%, Wanggameti dan Prainkareha adalah 13%,

Billa dan Praingkareha adalah 13%. Hasil tersebut menunjukan bahwa jenis-jenis

66

Page 67: Draft III Pklp Tnlw_mdk

burung yang ditemukan di lima lokasi pengamatan berbeda. Hal ini dapat dilihat

dari nilai indeks kesamaan yang hasilnya kurang dari 50%.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 7 hari maka hanya

ditemukan 5 spesies endemik sumba yaitu Burung-madu Sumba (Nectarinia

buettikoferi) yang ditemukan di jalur Wundut dan Praingkareha, Julang Sumba

(Rhyticeros everetti) yang ditemukan di jalur Billa dan Praingkareha, Kakatua

kecil jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocristata) yang hanya ditemukan di

jalur Billa, Myzomela kepala merah (Myzomela dammermani) yang ditemukan di

jalur Praingkareha, dan Sikatan sumba (Ficedula harterti) yang ditemukan di jalur

Wanggameti.

Salah satu burung endemik yang ditemukan yaitu Kakatua kecil jambul-

jingga, burung ini merupakan sub jenis burung endemik Sumba yang menjadikan

hutan Sumba sebagai tempat hidupnya. Kakatua Sumba merupakan satu dari

empat sub jenis kakatua-kecil jambul-kuning yang dikategorikan sebagai jenis

terancam punah secara global dengan status kritis (BirdLife International 2004).

Menurut O’Brien dkk (1997), Kakatua Sumba menyukai hutan primer yang belum

terganggu. Namun bukan berarti kakatua tidak mampu bertahan dan beradaptasi di

dalam kawasan yang terbuka. Populasi Kakatua Sumba saat ini telah mengalami

penurunan. Hal ini diakibatkan oleh perubahan fungsi hutan, penebangan pohon

besar yang menjadi sarang burung kakatua ini, dan penangkapan burung untuk

dijual. Burung ini dikategorikan sebagai burung terancam punah dengan status

kritis (CR) (Kategori terancam IUCN) dan dimasukkan kedalam jenis yang

dilindungi berdasarkan UU No 5 tahun 1990 dan PP No 7 tahun 1999, serta dalam

kriteria CITES dimasukkan kedalam kategori Appendix I yang jenis dan

jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah serta

pedagangan komersial untuk jenis yang termasuk kedalam Apendiks I ini sama

sekali tidak diperbolehkan. Status jenis burung ini berhubungan dengan berbagai

aspek yang bertujuan untuk kelestarian jenis burung, yang diantaranya berkaitan

dengan penyebaran di alam (keendemikan jenis), perlindungan dan status

kelangkaan.

Keberadaan jenis-jenis burung endemik seringkali terancam baik oleh

kegiatan manusia maupun perubahan lingkungan. Di TNLW penyebabnya yaitu

67

Page 68: Draft III Pklp Tnlw_mdk

karena adanya perubahan fungsi hutan menjadi ladang, penebangan liar,

pembakaran hutan, dan adanya penangkapan burung untuk dijual. Penebangan

pohon-pohon besar yang menjadi tempat bersarang kakatua-kecil jambul-jingga

dan julang sumba sangat berdampak buruk bagi populasi kedua burung endemik

tersebut.

5.1.3 Kupu-Kupu

Kupu-kupu mempunyai daerah penyebaran yang luas dari dataran rendah

hingga hutan pegunungan tinggi dari 0-2.000 mdpl (Sihombing 1999).

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di empat lokasi jalur pengamatan

tersebut, semua lokasi teridentifikasi digunakan oleh kupu-kupu sebagai

habitatnya. Kupu-kupu yang didapatkan berdasarkan hasil inventarisasi yaitu

sebanyak 40 jenis kupu-kupu. Data tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil

inventarisasi kupu-kupu di Taman Nasional Manupeu Tandaru (TNMT) yaitu

sebanyak 41 jenis kupu-kupu (HIMAKOVA 2010). Biarpun jumlah jenis yang

didapatkan tidak terlalu berbeda, namun jenis-jenis yang didapatkan banyak

memiliki perbedaan. Hal ini dikarenakan kondisi fisik lingkungan yang cukup

berbeda. Jumlah jenis yang didapatkan pada inventarisasi ini bukan merupakan

jumlah jenis yang pasti, karena masih besar kemungkinan untuk adanya

penambahan jumlah jenis baru. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala

yang didapatkan di lapangan, yaitu akibat kurangnya sumberdaya manusia untuk

tugas menangkap kupu-kupu, terbatasnya keterampilan dalam penangkapan, dan

kondisi cuaca yang tidak stabil serta seringnya terjadi hujan mengakibatkan kupu-

kupu tidak keluar.

Setiap habitat pada jalur-jalur pengamatan memiliki karakteristik

vegetasi dan kondisi fisik yang berbeda, seperti halnya pada jalur Billa. Jalur ini

merupakan jalur hutan riparian. Habitat riparian umumnya mempunyai potensi

yang cukup besar untuk menemukan kupu-kupu karena pada habitat riparian,

intensitas mataharinya cukup dan adanya ketersediaan air. Namun pada jalur ini

tidak ditemukan banyak jumlah jenis kupu-kupu yaitu hanya 7 jenis kupu-kupu

dengan total 8 individu. Hal ini dikarenakan pada jalur ini, hutan di sekitar sungai

mempunyai tajuk yang cukup rapat sehingga sinar matahari hanya sedikit yang

dapat masuk menembus lantai hutan. Selain itu di sepanjang sungai dan di dalam

68

Page 69: Draft III Pklp Tnlw_mdk

hutan tidak ditemukan banyak tumbuhan berbunga yang menjadi sumber pakan

kupu-kupu. Tetapi pada jalur ini tetap ditemukan pakan larva kupu seperti jenis

jeruk-jerukan (Citrus sp.) yang menjadi pakan ulat jenis kupu-kupu Troides

haliphron yang terlihat berada pada jalur ini serta sirih hutan (Piper betle

Linn.)yang menjadi pakan ulat jenis kupu-kupu Pachliopta aristolochiae yang

tertangkap saat pengamatan.

Jalur kedua adalah jalur pengamatan Praingkareha. Jalur pengamatan ini

bercirikan pohon-pohon yang tinggi dan berbatasan dengan kawasan tempat RHL

(Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Pada jalur pengamatan ini ditemukan paling

banyak jumlah jenis kupu-kupu yaitu 17 jenis kupu-kupu dengan jumlah 29

individu. Hal ini dikarenakan pada jalur ini intensitas sinar matahari yang sangat

cukup, selain itu Praingkareha didominasi oleh hutan primer dimana terdapat

banyak vegetasi pakan seperti jeruk-jerukan (Citrus sp.) yang menjadi vegetasi

pakan beberapa jenis larva kupu-kupu yang ditemukan seperti Papilio

neumoegenii, Papilio polytes dan Papilio acheron serta vegetasi berupa

pepohonan rindang yang menjadi tempat berlindung. Selain itu, pada jalur ini

ditemukan pula banyak tumbuhan berbunga yang terdapat di sepanjang tepian

hutan dekat lahan terbuka yang menjadi sumber pakan kupu-kupu. Pada jalur

Praingkareha juga ditemukan banyak sumber air berupa sungai-sungai besar dan

kecil di dalam hutan serta terdapat pula sumber air yaitu air terjun Laputi.

Jalur berikutnya adalah jalur Hutan Wanggameti dan Katikuai/Hutan

Ampupu. Potensi kupu-kupu pada kedua jalur ini teridentifikasi cukup tinggi

dengan penemuan jumlah jenis sebanyak 16 jenis 27 individu pada jalur Hutan

Wanggameti dan 14 jenis 19 individu pada jalur Katikuai/Hutan Ampupu. Potensi

kupu yang cukup baik dikarenakan komponen habitat secara umum sama dengan

jalur Praingkareha. Seperti yang dinyatakan Clark et al. (1966) bahwa, komponen

habitat yang penting bagi kehidupan kupu-kupu adalah tersedianya vegetasi bagi

sumber pakan dan tempat berlindung. Apabila tidak ada vegetasi sebagai sumber

makanan, maka dapat menyebabkan kematian. Demikian pula halnya dengan

vegetasi yang digunakan sebagai tempat untung berlindung dari serangan-

serangan predator dan sebagai tempat berkembangbiak. Selain itu komponen lain

yang penting adalah cahaya yang cukup, udara yang bersih atau tidak terpolusi

69

Page 70: Draft III Pklp Tnlw_mdk

dan air sebagai materi yang dibutuhkan untuk kelembaban lingkungan dimana

kupu-kupu tersebut hidup (Mattimu et al.(1977) dalam Aidid (2001)).

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti mempunyai keanekaragaman

kupu-kupu yang cukup tinggi. Beberapa jenis kupu-kupu yang ada di taman

nasional ini termasuk ke dalam kupu-kupu yang mendapat perhatian Nasional

maupun Internasional. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan dan ditemukannya

jenis kupu-kupu endemik seperti Papilio neumoegenii dan Papilio acheron.

Papilio neumoegenii ini merupakan jenis kupu-kupu endemik Sumba yang

temasuk dalam dengan kategori Vulnerable (V) menurut Daftar Merah IUCN

(Gambar 35 (a)). Papilio neumoegenii mempunyai ciri ukuran tubuh dan sayap

berukuran sedang. Pada sayap bawah didominasi dengan warna hijau muda

menyala sedangkann bagian sayap atasnya didominasi warna hitam. Warna hijau

pada sayap bagian atas hanya ada pada pada bagian atas sayap atas dan hanya

berupa bercak-bercak hijau dengan corak tidak beraturan serta terdapat di pinggir

sayap mulai dari sayap atas sampai sayap bawah. Jenis kupu endemik ini paling

banyak ditemui di jalur pengamatan Praingkareha (SPTN I). Jenis kupu lainnya

adalah Papilio acheron termasuk ke dalam kategori Least Concern (LC) (Gambar

35 (b)). Namun, untuk kategori LC mengartikan bahwa jenis kupu ini masih aman

populasinya di alam sehingga tidak perlu dikhawatirkan dan belum memerlukan

perhatian khusus dalam pengelolaannya. Jenis kupu-kupu ini juga ditemukan pada

jalur pengamatan Praingkareha.

a b

Gambar 35 (a) Papilio neumoegenii Gambar 35 (b) Papilio Acheron

70

Page 71: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Selain itu, terdapat satu jenis kupu-kupu yang merupakan jenis kupu-

kupu yang dilindungi yaitu Troides Haliphron. Kupu-kupu terlihat ada di tiap

jalur pengamatan baik di SPTN I maupun SPTN II tetapi tidak dapat tertangkap

dikarenakan jarak yang terlalu jauh untuk penangkapan akibat kupu-kupu yang

terbang terlalu tinggi sehingga sulit untuk dijangkau. Triodes Haliphron

merupakan jenis kupu-kupu yang termasuk ke dalam famili Papilionidae dan

merupakan salah satu kupu-kupu yang jenisnya dilindungi PP No. 7 tahun 1999

dan termasuk jenis kupu yang kuota perdagangannya diatur dalam CITES dan

termasuk Appendix II (Gambar 36).

(Sumber: http://www.nagypal.net/images/zzhaliph.htm)

Gambar 36 Troides haliphron.

Disamping ketiga jenis kupu-kupu tersebut, terdapat pula beberapa jenis

kupu-kupu lain yang menarik dilihat dari segi bentuk, ukuran dan warna serta

berpotensi tinggi untuk wisata maupun penangkaran. Beberapa jenis kupu-kupu

tersebut diantaranya adalah Papilio polytes, Papilio helenus, Pachliopta

aristolochiae, Papilio memnon, jenis-jenis Ideopsis serta yang termasuk jenis

Euploea.

Berdasarkan pengamatan selama di lapang, terdapat beberapa masalah

dalam pengelolaan kupu-kupu ini. Pertama, kurangnya informasi mengenai jenis

kupu-kupu apa saja yang terdapat di TNLW berdasarkan hasil inventarisasi kupu-

kupu. Berikutnya, dikarenakan kurangnya informasi data jenis kupu-kupu maka

sulit pula untuk dilakukan pengelolaan lebih dalam baik untuk jangka pendek

maupun jangka panjang. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi habitat kupu-

kupu yang ada disini. Misalnya saja, menurut hasil inventarisasi flora yang

71

Page 72: Draft III Pklp Tnlw_mdk

dilakukan di TNLW diketahui bahwa jumlah tanaman jenis jeruk-jerukan mulai

jarang dan tidak terlihat anakan-anakannya. Kecilnya jumlah jenis jeruk-jerukan

ini berpengaruh terhadap eksistensi kupu-kupu khususnya yang termasuk dalam

jenis-jenis Papilio karena jenis kupu-kupu ini membutuhkan tanaman jenis jeruk-

jerukan sebagai tumbuhan inang dan sumber pakan bagi larva kupu-kupu tersebut.

5.1.4 Flora

Jika dilihat dari sebaran jumlah jenis pada tiap tingkat pertumbuhan

secara keseluruhan (Gambar 19), terlihat bahwa jumlah jenis terbanyak terdapat

pada tingkat pancang (82 jenis). Jenis-jenis yang banyak pada tingkat pancang

merupakan komponen permudaan yang sangat penting karena menurut Sidiyasa et

al. (2006), kunci sukses tidaknya proses permudaan tersebut berlangsung dapat

dilihat pada fase pancang sedangkan banyak jenis pohon sangat sukses dalam

memproduksi semai namun secara lambat-laun semai tersebut akan mati karena

kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Seperti yang terlihat pada jumlah jenis

semai yang hanya didapat sebanyak 58 jenis, hal tersebut kemungkinan

disebabkan oleh jenis-jenis yang intoleran terhadap naungan sedangkan jumlah

jenis dari tingkat pohon yang ada cukup besar. Menurut Soerianegara dan

Indrawan (2008), jika keadaan hutan terlalu rapat dan gelap, maka ada

kemungkinan cahaya atau bayangan di dalam hutan banyak mengandung cahaya

infra merah yaitu kandungan cahaya yang diteruskan setelah tersaring melalui

daun-daun hijau pada tingkat pohon yang tidak baik bagi perkecambahan jenis-

jenis pohon tertentu. Untuk itu jenis-jenis pada tingkat semai perlu diperhatikan

terutama jenis dengan nilai INP dan kerapatan yang rendah seperti alak, kapehu

(Bridelia monoica Merrill), lindi kalau (Mallotus philippinensis (Lam.)

Muell.Arg.), johar (Cassia siamea Lam.), pahura (Breynia microphylla Muell.

Arg.), karakubu (Litsea resinosa Blume), tambura (Litsea timoriana Span.),

hanjokar taki (Leea aequata Linn.), lamo (Melia azedarach Blanco), kayamik

(Pavetta montana Reinw.ex Bl.), kahingga kaba (Allophylus cobbe Blume), witi

malau (Elattostachys verrucosa Radlk.), mandan (Melochia umbellata Stapf), dll.

Menurut Whittaker (1974) dalam Muhdi (2009), asumsi dasar dalam analisis

struktur tegakan adalah untuk memperkirakan kecenderungan komposisi hutan

72

Page 73: Draft III Pklp Tnlw_mdk

dimana suatu jenis pancang dan semai yang kerapatannya rendah (atau dapat

diabaikan) pada akhirnya akan hilang dari tegakan.

Jumlah jenis pada tingkat tiang secara keseluruhan pada tiga lokasi yang

hanya 53 jenis kemungkinan disebabkan oleh faktor manusia seperti kegiatan

pencurian kayu untuk membangun rumah walaupun intensitasnya tidak terlalu

besar. Jumlah tingkat tiang yang sedikit tersebut secara nyata terlihat pada lokasi

Billa. Seperti yang terlihat pada Gambar 21, sebaran jumlah pohon berdasarkan

kelas diameter pada lokasi Billa memiliki bentuk yang sedikit tidak seperti huruf

“J” terbalik sehingga menunjukkan komunitas hutan pada lokasi tersebut

mengalami sedikit gangguan. Menurut Kusumoantono (1996) dalam Poleng dan

Witono (2004), distribusi kelas diameter batang yang membentuk kurva huruf “J”

terbalik mencerminkan komunitas hutan yang relatif tidak terganggu.Untuk itu

dapat dikatakan lokasi Wudi pandak dan Wanggameti merupakan komunitas

hutan yang relatif tidak terganggu, sedangkan pada lokasi Billa, kemungkinan

terdapat sedikit gangguan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada tiga lokasi pengamatan, rentang

indeks keanekaragaman yang didapat berkisar antara 2,0-3,4 yang berarti

keanekaragaman tergolong sedang sampai tinggi (Krebs 1978 dalam Tobing

2009). Sedangkan untuk rentang keanekaragaman secara keseluruhan, berkisar

antara 2,89-3,96 yang berarti keanekaragaman tergolong sedang sampai tinggi

dengan keanekaragaman terendah pada tingkat semai dan keanekaragaman

tertinggi pada tingkat pancang. Jika dibandingkan dengan Taman Nasional

Manupeu Tanadaru (TNMT) yang merupakan taman nasional yang juga berada di

Pulau Sumba, keanekaragaman jenis tumbuhan di Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti (TNLW) cenderung lebih tinggi, karena berdasarkan hasil ekspedisi

HIMAKOVA (2009) di TNMT, rentang indeks keanekaragaman jenis tumbuhan

di sana berkisar antara 0,41-1,79 yang berarti tingkat keanekaragaman jenisnya

tergolong rendah sampai sedang walaupun jumlah jenis yang didapat pada TNMT

lebih besar dari TNLW yaitu 155 jenis pada TNMT dan 120 jenis pada TNLW.

Hal tersebut kemungkinan dikarenakan INP dari tiap jenis pada TNMT yang

tergolong tinggi. Menurut Muhdi (2009), semakin tinggi INP menyebabkan

73

Page 74: Draft III Pklp Tnlw_mdk

keanekaragaman semakin kecil karena berkurangnya jenis tertentu dan

menyebabkan jenis lain yang mendominasi (INP tinggi).

Kondisi keanekaragaman flora ini tentunya berkaitan dengan agen

pemencar biji, seperti burung. Tingkat keanekaragaman flora pada rentang sedang

hingga tinggi kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat keanekaragaman burung

yang tergolong sedang berdasarkan hasil inventarisasi burung yang telah

dilakukan di TNLW dan berpotensi untuk jumlah jenis yang lebih banyak lagi

pada lokasi-lokasi pengamatan. Menurut Jati (1998), Keanekaragaman jenis

vegetasi terkait dengan keanekaragaman jenis burung sebagai pemencar biji dan

ketergantungan burung terhadap pohon sebgai sumber pakan, tempat bersarang,

dan tempat berlindung. Dengan kondisi tingkat keanekaragaman yang tinggi,

menurut Whitemore (1990) dalam Sidiyasa (2006), tingkat keanekaragaman

hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi

tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan

suatu komunitas. Kemudian dikatakan pula oleh Sidiyasa (2006), kestabilan yang

tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi pula. Hal ini disebabkan

oleh terjadinya interaksi yang tinggi sehingga akan mempunyai kemampuan yang

lebih tinggi dalam menghadapi gangguan-gangguan yang terjadi. Sehingga dapat

dikatakan kondisi hutan tempat dilakukannya pengamatan cenderung cukup stabil

dan mempunyai kemampuan yang cukup dalam menghadapi gangguan-gangguan

yang terjadi.

Untuk nilai kemerataan, kemerataan jenis tertinggi terdapat pada tigkat

tiang di Wanggameti (0,95) dan nilai kemerataan terendah juga terdapat di

Wanggameti pada tingkat semai (0,58). Sedangkan secara keseluruhan

kemerataan tertinggi ada pada tingkat tiang sebesar 0,94 sedangkan kemerataan

terendah ada pada tingkat semai sebesar 0,71. Menurut Sidiyasa (2006), Indeks

kemerataan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa distribusi (penyebaran)

individu-individu jenisnya lebih merata begitu pula sebaliknya. Menurut

penelitian Sularso (1996) dan Elias (1995) dalam Muhdi (2009), pada tingkat

semai pola penyebaran anakan di hutan alam memiliki pola penyebaran

berkelompok yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya individu-

individu masing-masing jenis tumbuh dan bersaing untuk hidup dalam areal yang

74

Page 75: Draft III Pklp Tnlw_mdk

rapat, seringkali terjadi varian-varian yang disebabkan oleh adanya jenis-jenis

pohon lebih berkuasa (dominan) dengan lainnya. Hal tersebut juga kemungkinan

terkait dengan jenis-jenis toleran dan intoleran dan kebutuhannya akan cahaya,

sehingga untuk jenis intoleran tentunya akan lebih terkonsentrasi pada daerah

terbuka, yang menyebabkan penyebaran pada tingkat semai tidak merata.

Berdasarkan perhitungan nilai indeks kesamaan dari tiga lokasi

pengamatan. Indeks kesamaan ketiga lokasi tersebut memiliki nilai dibawah 50 %.

Sedangkan menurut Kusumoantono (1996) dalam Poleng dan Witono (2004), jika

IS>50% menunjukkan tipe komunitas hutan yang relatif sama. Dan menurut

Djufri (2002), tingkat kemiripan vegetasi tergolong rendah jika IS<50% yang

kemungkinan disebabkan adanya variasi kondisi lingkungan fisik, kimia, maupun

interaksi antar-jenis di sepanjang areal kajian, yang memungkinkan frekuensi dan

densitas setiap jenis juga bervariasi. Sehingga dapat dikatan bahwa diantara tiga

lokasi pengamatan tersebut memiliki kesamaan tipe vegetasi yang rendah. Hal

tersebut kemungkinan berkaitan dengan nilai keanekaragaman dari tiap lokasi

yang tergolong sedang-tinggi, dimana menurut Djufri (1996) dalam Djufri (2002),

indeks keragaman yang tinggi akan menghasilkan indeks kemiripan yang rendah.

Dari 120 jenis yang telah ditemukan, diketahui sebanyak empat jenis

yang masuk ke dalam daftar IUCN, jenis-jenis tersebut antara lain karakaka

(Aphanamixis polystachya (Wall.) R.N. Parker/grandiflora Blume), tada katambi

(Prunus arborea (Blume) Kalkm), mbukuhau (Podocarpus neriifolius D.Don)

yang tergolong dalam kategori Least Concern (LC), dan maniara (Aglaia edulis

A.Gray) yang tergolong dalam kategori Near Threatened (NT). Selain itu,

mbukuhau (Podocarpus neriifolius D.Don) termasuk ke dalam daftar CITES yang

masuk ke dalam kategori Appendiks III.

5.2 Potensi Jasa Lingkungan

Kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti merupakan salah satu

perwakilan ekosistem dataran tinggi di pulau Sumba. Gunung Wanggameti yang

mempunyai ketinggian 1225 mdpl merupakan gunung yang tertinggi di pulau

Sumba. Letaknya yang berada di bagian selatan pulau Sumba dan topografi yang

curam serta sulitnya jangkauan menuju wilayah ini menjadikan daerah kawasan

Wanggameti cenderung terlindungi dari kerusakan dibandingkan wilayah-wilayah

75

Page 76: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Sumba lainnya. Kondisi hutan yang cenderung masih bagus diduga

mempengaruhi suhu, kelembaban udara serta kualitas udara serta kualitas air yang

bersumber dari dalam kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Hasil pengukuran menunjukkan suhu dan kelembaban udara di kedua

SPTN ini menunjukkan bahwa suhu di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

tidak terlalu panas yaitu hanya berkisar 22-28oC. Suhu yang diukur ini merupakan

suhu optimum pada saat musim penghujan. Suhu udara yang ada di Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti tidak terlalu panas atau masih tergolong sejuk

walaupun berada di daerah yang tergolong kering. Hal ini lebih cenderung

dipengaruhi oleh musim saat dilakukan pengukuran. Musim penghujan di Nusa

Tenggara Timur terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Maret dengan intensitas

hujan yang tergolong sering.

Sementara itu, kondisi kelembaban udara dikedua lokasi pengukuran juga

tidak terlalu berbeda. Kelembaban udara di SPTN II yang diukur di Wairunu

menunjukkan kelembaban udara tanpa naungan mencapai 78% sedangkan di

bawah tegakan sebesar 84%. Hasil pengukuran ini berarti kelembaban udara di

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti termasuk tingggi. Perbedaan kelembaban

ini disebabkan faktor vegetasi yang bertajuk rapat sehingga menghasilkan uap air

dari proses fotosintesis yang menambah jumlah uap air di udara. Tajuk yang rapat

memegang peranan yang penting dalam mengatur kelembaban udara. Pepohonan

yang melakukan proses fotosintesis akan menghasilkan produk berupa H2O atau

uap air. Semakin rapat tajuk pohon maka akan semakin banyak pula yang

menghasilkan uap air dan akan menyebabkan uap air yang ada di udara akan

semakin tinggi.

Salah satu manfaat keberadaan kawasan hutan selain menjaga kestabilan

suhu dan kelembaban, hutan juga berfungsi menjaga ketersediaan air di sekitar

kawasan Taman Nasional/ Taman Nasional Laiwangi Wanggameti mempunyai

peranan yang sangat penting dalam menjaga ketersediaan air yang ada di pulau

sumba. Keberadaan taman nasional laiwangi yang mempunyai 7 DAS besar yang

merupakan sumber air yang mengalirkan air di 12 sungai besar yang terus

mengalir sepanjang tahun dan menjadi sumber air utama bagi Kabupaten Sumba

76

Page 77: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Timur hingga Sumba Barat. Tentunya keberadaan air ini tidak lepas dengan

adanya fungsi hutan sebagai pengatur siklus hidrologi.

Adanya aliran air sungai yang bersumber di dalam kawasan Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti mempunyai peran yang sangat strategis bagi

pengelolaan kawasan. Oleh karena itu monitoring terhadap kuantitas dan kualitas

air yang mengalir dari dalam kawasan ini perlu terus dilakukan sebagai upaya

penjagaan terhadap jasa lingkungan yang memmpunyai nilai strategis yang tinggi

ini dimaksud dengan nilai strategis disini yang dapat bernilai ekonomi, sosial

kemasyarakatan dapat juga menjadi penguat keberadaan dan mempertinggi nilai

manfaat bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan dengan adanya taman

nasional.

Sungai yang bersumber dari dalam kawasan sangatlah banyak, namun

dari sekian banyak sungai hanya ada 12 sungai yang terus mengalir sepanjang

tahun dimana debit air berubah mengikuti perubahan musim hujan dan musim

kemarau. Kegiatan pengukuran debit air sungai ini hanya dilakukan di tiga sungai

yaitu sungai Laironja, sungai Katikuai dan sungai Laputi. Hal ini dikarenakan

sulitnya untuk menjangkau sungai-sungai yang lain.

Sungai Katikuai merupakan sungai yang mempunyai sumber mata air

dari gunung Wanggameti yang merupakan gunung tertinggi di pulau Sumba.

Sungai Katikuai terletak di enclave TNLW tepatnya di desa Katikuai SPTN II.

Sungai Katikuai ini mempunyai aliran air yang masuk ke dalam DAS Kambaniru,

sungai Katikuai ini mengalir hingga ke wilayah pantai yang berada di bagian

timur Sumba Timur yang menyatu dengan aliran sungai lainnya membentuk

sungai Kambaniru. Debit sungai Katikuai 6,5431 m3/s termasuk besar, atau dalam

sehari mampu mengalirkan air sebanyak 565324,79 m3. Besarnya debit sungai ini

dikarenakan pasokan air dari sungai Wanggameti yang besar. Hal ini dipengaruhi

dengan kondisi hutan yang masih terjaga di kawasan gunung Wanggameti.

Gunung Wanggameti merupakan gunung yang dianggap keramat bagi masyarakat

sekitar desa di sekitar kawasan, gunung ini menjadi tempat ritual bagi

kepercayaan marapu. Oleh karena itu hutan yang ada di sekitar gunung

Wanggameti tidak terusik oleh gangguan penebangan liar sehingga kemampuan

hutan untuk menjaga debit air di SPTN II khususnya yang mengalir ke sungai

77

Page 78: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Katikuai masih berfungsi dengan baik. Dasarnya yang berbatu membuat aliran

sungai Katikuai ini menjadi deras, dengan dasar berbatu ini juga menjadikan

sungai Katikuai mempunyai air yang jernih karena air tidak mengikis dasar tanah

sungai.

Berbeda dengan sungai Katikuai, sungai Laputi yang ada di SPTN I

kondisinya masih sangat bagus, mempunyai debit air yang besar yaitu 6,1479

m3/s. Meskipun sungai Laputi ini lebarnya tidak selebar sungai Katikuai, namun

sungai ini mempunyai debit air yang hampir sama dengan sungai Katikuai. Lebar

sungai Laputi hanya 4-6 meter saja, namun aliran air sungai Laputi deras dan

dalam. Hal inilah yang membuat debit sungai Laputi menjadi besar. Keberadaan

mata air ini tentu tidak lepas dengan kondisi hutan yang masih terjaga dengan

baik. Sungai Laputi merupakan sungai yang mempunyai mata air di sekitar hutan

Praingkareha, hutan yang ditetapkan oleh masyarakat sekitar sebagai hutan

keramat. Oleh karena itu kondisi hutannya masih terjaga dengan tutupan tajuk

yang rapat menutupi atap hutan.

Keberadaan hutan yang dianggap sakral ini memang memberikan

manfaat yang besar dalam penjagaan kelestarian hutan yang ada di Taman

Nasional Laiwangi Wanggameti. Kearifan lokal adat merapu yang memiliki

keterkaitan terhadap ekosistem hutan memegang peranan penting, adanya

larangan menebang hutan di hutan adat, larangan berburu ikut serta dalam

menjaga keseimbangan ekosistem hutan di Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti.

Kondisi sungai Laironja mungkin berbeda dengan sungai Katikuai dan

sungai Laputi. Debit air sungai Laironja tergolong kecil, yaitu hanya 1,0271 m3/s

atau 88741,4 m3/hari. Meskipun debit air Laironja ini paling kecil dibandingkan

dengan kedua sungai sebelumnya, namun keberadaan sungai Laironja ini

memegang peranan penting bagi masyarakat di sekitar desa Wanggameti yang

memanfaatkan sungai Laironja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keberadaan sungai Laironja yang tidak pernah kering di musim kemarau memiliki

nilai strategis bagi pengelolaan taman nasional karena mengingat masyarakat

sekitar kawasan sangat tergantung dengan keberadaan sungai Laironja ini,

meskipun sungai Laironja sulit untuk dijangkau namun pemanfaatan terhadap

78

Page 79: Draft III Pklp Tnlw_mdk

sungai Laironja ini cukup tinggi. Bahkan pemanfaatan sungai Laironja pernah

terjadi konflik dengan masyarakat desa Wanggameti. Konflik ini terjadi karena

adanya pembangunan bak penampungan air yang berada di dalam kawasan tanpa

seizin pengelola taman nasional. Pembangunan bak penampungan air dibangun

masyarakat bekerja sama dengan PNPM mandiri, tentu saja bak pembangunan air

ini tidak bermasalah untuk dibangun di dalam kawasan, namun yang bermasalah

yaitu tidak adanya izin sebelumnya yang menjadikan proyek ini menjadi

bermasalah. Dari beberapa kondisi tersebut hal ini mengindikasikan bahwa

sumberdaya air di dalam kawasan mempunyai peranan yang sangat penting dalam

pengelolaan.

Tanah hutan merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem-

ekosistem alami yang berkembang di kawasan hutan dengan fungsi dasar sebagai

penyedia aneka kebutuhan hidup komponen-komponen biotisnya. Fungsi-fungsi

dasar tanah hutan tersebut adalah a) penyedia ruang berjalarnya dan

berkembangnya akar tumbuhan, b) penyedia oksigen, air dan unsur hara dan c)

sebagai media yang memungkinkan tumbuh-tumbuhan berinteraksi dengan jasad

tanah.

Jenis tanah di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah tanah

grumosol. Tanah grumosol atau margalith adalah tanah yang terbentuk dari

material halus berlempung. Tanah grumosol merupakan jenis tanah yang tersebar

hampir di semua wilayah Nusa Tenggara baik Nusa Tenggara Timur sampai Nusa

Tenggara Barat (Purwowidodo 1998). Ditinjau dari kesuburannya, tanah

grumosol mempunyai kesuburan yang cukup tinggi. Kesuburan tanah ditentukan

oleh sifat kimia, fisika dan biologis tanah (Setiadi et al, 1992). Berdasarkan hasil

analisis sifat fisik tanah yang berupa struktur tanahnya, tanah di TNLW

berstruktur granuler dengan KTK tinggi. Hal ini lah yang membuat tanah di

kawasan TNLW menjadi subur. Kesuburan tanah merupakan kekuatan di dalam

budidaya hutan tanaman, kesuburan tanah inilah yang menentukan biji tanaman

mudah atau tidak untuk bertunas membentuk individu-individu pohon yang baru

di dalam hutan. Persebaran tanah grumosol di dalam kawasan hanya terbatas di

lokasi-lokasi tertentu saja, sebagian besar kawasan ditutupi oleh bebatuan karang

yang belum lapuk sehingga hanya dapat ditumbuhi rerumputan saja.

79

Page 80: Draft III Pklp Tnlw_mdk

5.3 Ekowisata

Berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti (TNLW), dapat dilakukan suatu pengembangan potensi wisata.

Pengembangan potensi wisata yang ada dikawasan TNLW didasarkan pada

potensi fisik dan biologi. Pengembangan potensi wisata yang ada di kawasan

TNLW lebih ditekankan pada dua aspek utama, yaitu pengembangan Obyek dan

Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) dan pemberdayaan masyarakat di sekitar

kawasan TNLW. Selain itu, pengembangan potensi wisata tersebut harus

disesuaikan dengan daya dukung wisata yang dimiliki kawasan TNLW. Ketiga

hal tersebut harus berjalan beriringan sehingga ekowisata yang kemudian berjalan

di kawasan TNLW merupakan ekowisata yang berkelanjutan dengan tetap

memperhatikan kelestarian lingkungan.

Selain obyek wisata berupa pemandangan alam serta obyek fisik lain

yang telah diidentifikasi sebelumnya, maka dapat pula dikembangkan obyek

wisata lain berupa obyek biologi. Obyek biologi dapat dikembangkan melalui

kegiatan pengamatan hidupan liar di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Berdasarkan hasil pengamatan keanekaragaman hayati di kawasan taman

nasional, terdapat tiga jalur pengamatan yang berpotensi sebagai obyek biologi,

yaitu jalur Billa, jalur Praingkareha, dan jalur Ampupu.

Jalur pertama yaitu jalur pengamatan Billa yang terletak di desa Billa

hingga memasuki kawasan TNLW. Desa Billa merupakan desa yang berbatasan

langsung dengan kawasan TNLW. Jalur pengamatan ini berupa padang rumput

dengan substrat tanah berlumpur dan hutan dengan vegetasi yang cukup rapat.

Di jalur ini ditemui 2 jenis mamalia, 16 jenis burung, 7 jenis kupu-kupu,

27 jenis semai, 29 jenis pancang, 12 jenis tiang, dan 29 jenis pohon. Jenis

mamalia yang ditemui di lokasi ini adalah codot (Cynopterus sp.) dan babi hutan

(Sus scrafa). Jenis-jenis burung yang dapat ditemui di lokasi ini adalah kakatua

kecil jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocristata), julang Sumba

(Rhyticeros everetti), Trichoglossus haematudus, Trichoglossus euteles,

Collacalia esculenta, Merops ornatus, Coracina dohertyi, Dicrurus densus,

Brachypteryx leucophrys, Orthotomus sepium, Terpsiphone paradisi, Rhipdura

fuscorufa, Rhipdura rufifrons squamata, Pachycephala pectoralis, Aplonis minor,

80

Page 81: Draft III Pklp Tnlw_mdk

dan Philemon inornatus. Kakatua kecil jambul jingga dan julang Sumba

merupakan jenis burung endemik P. Sumba. Disamping itu, ditemukan pula jenis

kupu-kupu seperti Danaus chrysippus dan Pachliopta aristolochiae. Danaus

chrysippus merupakan jenis kupu-kupu yang memiliki warna menarik, sedangkan

Pachliopta aristolochiae merupakan satu-satunya genus Pachliopta dari suku

Papilionidae. Jenis tumbuhan menarik yang dapat dijumpai di lokasi ini antara

lain mara dan sarang semut. Mara (Acalypha caturus Blume) merupakan jenis

pohon yang dimanfaatkan oleh kakatua kecil jambul jingga untuk bersarang,

sedangkan sarang semut dikenal sebagai salah satu jenis tumbuhan obat.

Tumbuhan ini merupakan tumbuhan epifit yang hidup menempel pada tumbuhan

lainnya. Sarang semut merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang memiliki

berbagai khasiat. Khasiat sarang semut diantaranya, untuk mengobati asam urat,

lever, jantung, kanker payudara, serta khasiat lainnya (Hikmat 2010).

Jalur pengamatan Praingkareha terletak di kawasan TNLW yang

berbatasan dengan desa Praingkareha. Di sepanjang jalur ini ditemui 1 jenis

mamalia, 18 jenis burung, serta 17 jenis kupu-kupu. Di lokasi ini tidak dilakukan

analisis vegetasi sehingga tidak diketahui jenis vegetasi yang terdapat di jalur ini.

Jenis mamalia yang ditemui adalah codot kecil kelabu (Penthetor lucasii). Jenis

burung yang ditemukan di lokasi ini adalah Gallus gallus, Gallus varius,

Macropygia ruficeps, Ducula aenea, Ducula concinna, Trichoglossus

haematudus, Tanygnathus megalorynchos, Cacomantis sepulcralis, Cacomantis

variolosus, Centropus bengalensis, Collacalia esculenta, Rhyticeros everetti,

Dicrurus densus, Oriolus chinensis, Corvus macrorhynchos, Philemon inornatus,

Nectarinia buettikoferi, dan Megalaima armillaris. Di lokasi ini ditemukan 15

ekor julang Sumba (Rhyticeros everetti) yang sedang bertengger di sebatang

pohon. Jenis kupu-kupu yang dijumpai pada lokasi ini Eurema hecabe, Appias

albina, Catopsilia pomona, Catopsilia scylla, Euploea sp., Mycalesis fuscum,

Parantica limniace, Ideopsis sp., Ideopsis sp.*, Cethosia hypsea, Euploea sp.*,

Euploea sp.**, Euploea eunice, Papilio sp., Papilio polytes, Papilio acheron, dan

jenis Z yang tidak teridentifikasi. Jenis kupu-kupu yang ditemui beberapa

daintaranya termasuk kedalam suku Papilionidae. Jenis-jenis tersebut memiliki

ukuran yang cukup besar dan warna yang menarik.

81

Page 82: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Jalur pengamatan Ampupu terletak di sepanjang jalan menuju hutan

Ampupu yang terletak di kawasan TNLW. Hutan ampupu merupakan hutan

tanaman yang ditanam untuk kepentingan reboisasi. Hutan ini hanya memiliki

vegetasi berupa ampupu (Eucalyptus urophylla). Di jalur ini ditemui 9 jenis

burung dan 14 jenis kupu-kupu. Jenis burung menarik yang dijumpai di lokasi ini

antara lain perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis). Perkici orange

merupakan burung yang sering dijumpai di lokasi ini. Burung ini ditemui

sejumlah 16 ekor sedang hinggap dan terbang. Selain burung, jenis kupu-kupu

yang ditemukan antara lain Eurema hecabe, Eurema sari sari, Catopsilia

pyranthe, Ypthima baldus horsfieldi, Junonia iphita, Neptis miah, Euploea sp.,

Athyma perius, Junonia hedonia, Mycalesis fuscum, Orsotriaena medus, Danaus

sp., Papilio sp., Papilio helenus.

Pengembangan ODTWA yang ada di kawasan TNLW dilakukan setelah

tahapan inventarisasi potensi wisata yang ada di kawasan TNLW selesai

dilaksanakan. Pengembangan ODTWA tersebut dapat dilakukan dengan beberapa

cara, antara lain mengembangkan program-program alternatif wisata yang

kemudian dapat dirangkaikan menjadi suatu paket wisata di kawasan TNLW;

mengembangkan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekowisata di TNLW;

serta merancang bentuk, media interpretasi, dan media promosi wisata di kawasan

TNLW. Pengembangan sarana dan prasarana pendukung wisata di kawasan

TNLW tersaji pada Tabel 27.

Tabel 27 Pengembangan sarana dan prasarana pendukung wisata di kawasan

TNLW

No. Lokasi Pengembangan Sarpras1 Air terjun Laputi a. perbaikan track menuju air terjun

b. perbaikan shelter dan kamar mandi di sekitar air terjunc. penambahan papan interpretasi dan papan penunjuk arahd. pembuatan sarana tambahan untuk menuju lokasi untuk melihat air terjun lebih dekat seperti jembatan gantunge. pemandu yang dapat mengiterpretasikan sejarah Laputi

2 Danau Laputi a. perbaikan track menuju danaub. pembuatan papan interpretasi dan papan penunjuk arah yang ditempatkan di sekitar danau

82

Page 83: Draft III Pklp Tnlw_mdk

3 Goa a. pembuatan track menuju goa yang aman untuk dilaluib. pembuatan pagar pengaman di sepanjang jalan menuju goa karena jalan yang harus dilalui merupaan tebing berbatuc. pembuatan papan interpretasi dan papan penunjuk arahd. pemandu dan tim pendamping untuk penelusuran goa

4 Situs makam nenek moyang (RHL)

a. pembuatan pagar pembatas untuk menandai situs makam nenek moyang di areal RHLb. pembuatan papan interpretasi yang berisi informasi mengenai situs makam ini

5 Puncak Wanggameti

a. pemantauan secara berkala track yang digunakan untuk menuju puncak Wanggametib. pemandu dan tim pendamping untuk mendaki puncak Wanggameti

6 Watu munggu- Laimbona

a. pembuatan pagar pembatas untuk menandai watu munggub. pembuatan papan interpretasi yang berisi informasi mengenai tempat ini

7 Jalur pengamatan Billa

a. perbaikan pondok kerja yang terdapat di padang Billab. pemandu untuk pengamatan satwac. pembuatan papan interpretasi di sekitar obyek yang menarik, misalnya : pohon tempat bersarang kakatuad. penyediaan prasarana pendukung pengamatan seperti binokuler, jaring, dan fieldguide

8 Jalur pengamatan Praingkareha

a. pemandu untuk pengamatan satwab. pembuatan papan interpretasi di sekitar obyek yang menarikc. penyediaan prasarana pendukung pengamatan seperti binokuler, jaring, dan fieldguide

10 Jalur pengamatan Ampupu

a. pembuatan shelter untuk pengamatan satwa dan melihat panorama alam sekitar Ampupub. pembuatan papan interpretasi di sekitar obyek yang menarikc. penyediaan prasarana pendukung pengamatan seperti binokuler, jaring, dan fieldguide

Menurut Dirjen PHPA (1988) dalam Sopiyudin (2003), bentuk

interpretasi dibagi menjadi dua bagian, yaitu interpretasi langsung dan interpretasi

tidak langsung. Interpretasi langsung merupakan bentuk interpretasi yang secara

langsung membawa pengunjung pada obyek interpretasi yang ditawarkan,

sedangkan interpretasi tidak langsung merupakan bentuk interpretsi dengan

menggunakan media interpretasi. Bentuk interpretasi yang dapat digunakan pada

obyek-obyek wisata yang ada di kawasan TNLW sebagian besar adalah

83

Page 84: Draft III Pklp Tnlw_mdk

interpretasi langsung. Pengunjung dibawa langsung menjumpai obyek-obyek

wisata yang ada di kawasan TNLW. Hal ini dikarenakan sebagian besar obyek

wisata yang terdapat di kawasan TNLW merupakan obyek yang memiliki

aksesibilitas cukup mudah dan memiliki tingkat keamanan pengunjung cukup

tinggi. Selain itu, obyek-obyek wisata yang terdapat di kawasan TNLW sebagian

besar berupa obyek fisik yang membutuhkan interpretasi langsung untuk melihat

keindahannya.

Bentuk interpretasi langsung yang dikembangkan dapat menggunakan

bantuan pemandu wisata atau tidak. Pemandu wisata dibutuhkan untuk

menyampaikan informasi kepada pengunjung mengenai obyek yang dikunjungi.

Namun, hal ini disesuaikan dengan obyek yang dikunjungi maupun sasaran

pengunjung. Obyek-obyek yang membutuhkan pemandu wisata untuk

menginterpretasikannya adalah obyek-obyek yang memiliki cerita atau sejarah

yang berhubungan dengan masyarakat setempat, misalnya obyek Laputi (air

terjun, danau, hutan Laputi), puncak Wanggameti, situs makam nenek moyang

(RHL), serta jalur pengamatan satwa.

Media interpretasi dibutuhkan juga untuk memberikan informasi yang

lebih rinci kepada pengunjung mengenai obyek wisata yang ada di TNLW. Selain

itu, media interpretasi juga berperan untuk menjelaskan obyek yang tidak

mungkin dijangkau pengunjung karena aksesnya yang sulit. Media interpretasi

yang dapat digunakan untuk pengembangan wisata di TNLW antara lain papan

informasi yang berisi peta sebaran obyek, papan interpretasi yang berisi informasi

mengenai obyek, film dokumenter mengenai obyek wisata yang ada di kawasan

TNLW, dan sebagainya.

Pengembangan ODTWA tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat

sekitar kawasan. Menurut Balai Taman nasional Laiwangi Wanggameti (2010),

kondisi ekonomi desa-desa di sekitar kawasan relatif pada level sedang-kurang

mampu. Budidaya pertanian dan berternak telah mengalami perubahan dan

perbaikan terutama dari ragam komoditi yang dibudidayakan. Produktifitas

masyarakat desa sekitar dalam melakukan budidaya masih tergolong rendah. Hal

ini dikarenakan masih rendahnya sinergitas proyek-proyek pemerintah/swasta di

sekitar kawasan.

84

Page 85: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Potensi budidaya pertanian skala kecil (kutu lak dan jambu mete) masih

belum intensif, terutama pada pemanfaatan luas lahan tanaman, belum adanya

benih yang berkualitas, serta belum adanya akses petani terhadap pemanfaatan

modal dari bank. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNLW dilakukan

sebagai upaya untuk mendukung kegiatan ekowisata di TNLW dan untuk

mengatasi keadaan ekonomi masyarakat yang masih tergolong rendah. Selain itu,

pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan juga bertujuan untuk melstarikan

budaya yang ada serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui kegiatan

ekowisata yang berjalan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terdapat di

sekitar kawasan TNLW dapat dilakukan melalui produk kerajinan serta atraksi

budaya masyarakat.

Potensi kebudayaan masyarakat sekitar taman nasional dirasa belum

mendapatkan perhatian lebih, baik dari taman nasional maupun dari pemerintah

daerah Sumba Timur. Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata baru menginisiasi adanya kegiatan pelestarian budaya dengan

mengadakan event budaya setiap tahunnya. Namun, event budaya yang diusulkan

dinas pariwisata setempat hanya mengakomodasi kegiatan adat berupa upacara

adat karaki. Hasil budaya lainnya berupa kain tenun masih kurang mendapat

perhatian. Menurut hasil wawancara, beberapa tahun terakhir, para penenun sudah

mulai jarang memproduksi kain tenun. Selain itu, motif yang dihasilkan tidak

sebagus beberapa tahun yang lalu. Motif tenun yang dihasilkan penenun Sumba

Timur lebih bervariasi dibandingkan dengan motif tenun Sumba Barat. Namun,

hal yang harus dijadikan perhatian adalah penenun di Sumba Barat sekarang telah

banyak melakukan inovasi dari motif tenun Sumba Timur. Pelestarian motif tenun

Sumba Timur sangat diperlukan agar di masa mendatang motif kain tenun dapat

terus ada. Adanya pengembangan ekowisata yang dilaksanakan TNLW

diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang ada untuk mensejahterakan

masyarakat sekitar.

Pengembangan potensi wisata yang akan dilakukan juga harus

memperhatikan daya dukung kawasan. Daya dukung tapak terdiri dari dua

komponen, yaitu daya dukung fisik dan daya dukung sosial (Rahman, 2006).

Daya dukung fisik terdiri dari komponen-komponen biofisik seperti luas lahan

85

Page 86: Draft III Pklp Tnlw_mdk

yang digunakan, jenis tanah, hidrologi, kemiringan serta kepekaan vegetasi dan

satwa. Komponen daya dukung sosial dilihat dari pola-pola kunjungan serta

tingkat penggunaan aktivitas. Daya dukung kawasan untuk kepentingan wisata di

TNLW perlu dihitung untuk menyesuaikan nilai kerentanan obyek yang ada

dengan jumlah kunjungan pada obyek tersebut sehingga kelestarian obyek dapat

terus dipertahankan.

5.4 Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi

Wanggameti

5.4.1 Kelembagaan Taman Nasional Laiwangi Wanggemeti

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) merupakan salah satu

taman nasional yang baru, mengingat penetapan kawasan pun terhitung baru pada

tahun 2006. Namun apabila disesuaikan dengan mandat sebuah taman nasional,

maka TNLW diberikan mandat yang serupa dengan taman nasional lain yang

telah lebih dahulu berdiri. Selanjutnya pada tahun 2006 tersebut taman nasional

melakukan penataan batas kawasan sebagai langkah awal pembangunan taman

nasional, walaupun hingga saat ini penataan tata batas masih belum temu gelang.

Disamping itu terdapat perbedaan pemahaman masyarakat umum dengan taman

nasional mengenai tata batas tersebut. Pada tahun 1985 BPKH Denpasar

melakukan penataan tata batas yang pada saat itu masih berstatus kawasan

lindung, dan tata batas tersebut yang diakui oleh masyarakat. Maka taman

nasional mengambil kebijakan untuk melakukan rekonstruksi penataan batas

kawasan pada tahun 2010 hingga 2011 dan sosialisasinya termasuk dengan zonasi

hingga tahun 2014. Permasalahan tersebut berlarut-larut hingga saat ini, maka

perlu rasanya dibuat strategi pengelolaan yang efektif, karena tidak dipungkiri

bahwa dalam pengelolaan TNLW tersebut, balai taman nasional masih terdapat

kekurangan.

Permasalahan yang paling mendasar disamping masalah-masalah lain

yang dihadapi balai ialah kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang

dimiliki balai masihlah lemah dan tidak representatif. Secara kuantitas, dengan

luasan taman nasional yang mencapai 47.014 ha ternyata jumlah pegawai hanya

38 orang. Apabila merujuk pada standar kepegawaian taman nasional, untuk

86

Page 87: Draft III Pklp Tnlw_mdk

mendapatkan kekuatan dalam pengelolaan taman nasional setidaknya taman

nasional memiliki 55 orang pegawai taman nasional yang diantaranya 1 orang

kepala balai, 1 orang kepala bagian tata usaha, 2 orang kepala seksi, dan 51 orang

tanaga non struktural.

Terkait dengan kualitas SDM, balai pun sadar akan kelemahan tersebut

maka dari itu balai sering mengirimkan perwakilannya dalam pelatihan-pelatihan.

Namun yang perlu disadari adalah bagaimana menyikapi persyaratan menjadi

pegawai taman nasional yang perlu memiliki kompetensi konservasi itu sendiri,

artinya peningkatan kualitas SDM dalam hal ini adalah peningkatan dalam hal

kompetensi dasar mengenai ilmu konservasi. Hal tersebut berdasarkan fakta

bahwa yang menjadi pegawai taman nasional memiliki latar belakang keilmuan

yang beragam sedangkan dalam mengelola taman nasional sangat berkaitan

dengan konservasi. Perlu dipahami lebih lanjut bahwa hal tersebut bukan menjadi

suatu batasan terkait penerimaan pegawai taman nasional kedepannya, namun

perlu disadari bahwa dengan beragamnya latar belakang keilmuan tersebut dapat

saja menjadi faktor menguntungkan dalam pengelolaan taman nasional.

Telah disebutkan bahwa perlu adanya strategi pengelolaan dalam

mengelola taman nasional baru seperti TNLW ini. Namun sebelum menjabarkan

strategi pengelolaan, terlebih dahulu perlu adanya identifikasi masalah-masalah

yang ada terkait pengelolaan TNLW. Bahasan terkait permasalahan-permasalahan

yang ada pada taman nasional telah dibicarakan pada tingkat Kabupaten Sumba

Timur yang diikuti oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta instansi-

instansi pemerintah yang terkait. Dalam bahasan tersebut telah sepakat bahwa

akan adanya pengelolaan kolaboratif yang membentuk suatu Badan Taman

Nasional yang menjembatani antara taman nasional itu sendiri dengan pihak-pihak

terkait. Selanjutnya arah kebijakan pun dibuat melalui kesepakatan bersama

tersebut dan diharapkan dapat memenuhi beberapa aspek sebagai berikut :

a. Keanekaragaman hayati dari TNLW dapat tetap dipertahankan

b. Sumberdaya alam yang ada dapat digunakan secara berkelanjutan pada

zona-zona pemanfaatan tradisional.

c. Masyarakat dapat mendukung penerapan peraturan yang ada mengenai

taman nasional.

87

Page 88: Draft III Pklp Tnlw_mdk

d. Menurunnya penyerobotan lahan/kawasan hutan taman nasional oleh

masyarakat.

Beberapa aspek tersebut merangkum dari banyak masalah yang dihadapi

taman nasional seperti, penyerobotan lahan taman nasional yang menurut

masyarakat dimiliki sejak nenek moyang, seperti adanya enclave, perburuan liar

terhadap burung endemik dan dilindungi seperti Kakatua kecil jambul jingga,

pembakaran lahan untuk perladangan, masuknya hewan-hewan ternak kedalam

kawasan untuk mencari pakan ternak, ketergantungan masyarakat terhadap hutan

terutama kayu, serta permasalahan tambang yang sengketa karena permasalahan

pal batas.

Melihat dari permasalahan yang telah dipaparkan dapat ditarik satu

kesimpulan bahwa permasalahan yang dihadapi taman nasional pada dasarnya

ialah dengan masyarakat. Hal tersebut telah disadari oleh pihak balai, dan pihak

balai pun menindaklanjuti hal tersebut dengan menginisiasi berbagai kegiatan

masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah pengadaan benih ikan dan

pembentukan kelompok desa di Praingkareha. Pembentukan kegiatan-kegiatan

tersebut cukup efektif dilakukan untuk menekan tingkat ketergantungan

masyarakat terhadap hutan.

Beberapa permasalahan tersebut secara prinsip telah disebutkan

sebelumnya terdapat 4 hal arah kebijakan. Selanjutnya secara teknis strategi

pengelolaan perlu dikembangkan menjadi sebuah langkah atau strategi taktis yang

realistis untuk dilakukan. Langkah-langkah tersebut dapat dipaparkan sebagai

berikut :

1. Penetapan batas kawasan beserta zonasinya yang diakui oleh berbagai

pihak terkait seperti masyarakat, LSM terkait, dan instansi pemerintah. Hal

ini menjadi langkah dasar taman nasional sebab dengan batas dan zona

yang melibatkan berbagai pihak taman nasional dapat menegakan aturan

taman nasional sesuai dengan hukum yang berlaku dan hal tersebut akan

sangat efektif.

2. Menetapkan kebijakan dalam suatu kegiatan atau struktur pengelolaan

yang kolaboratif antara masyarakat dan taman nasional itu sendiri. Aspek

ini berarti segala kegiatan taman nasional selain memprioritaskan

88

Page 89: Draft III Pklp Tnlw_mdk

kelestarian hutan namun juga tetap mementingkan aspek sosial masyarakat

sekitarnya, karena justru masyarakatlah yang menjadi ujung tombak

penjagaan kawasan taman nasional mengingat secara kuantitas taman

nasional tidak memiliki personil yang cukup. Di desa sekitar taman

nasional ataupun enclave telah membentuk KPMH yang memang

diinisiasi oleh masyarakat itu sendiri. Maka taman nasional hendaknya

mengakui keberadaan KMPH tersebut dengan melibatkannya dalam

kegiatan-kegiatan taman nasional.

3. Melakukan pengembangan SDM untuk menunjang keberhasilan

pengelolaan SDA TNLW. Telah disebutkan hal-hal yang perlu dilakukan

untuk merekonstruksi kelemahan yang ada diluar, maka perlu juga

semacam upgrading yang bertujuan meng-upgrade SDM dari pihak dalam

(taman nasional). Kegiatan ini perlu dilakukan untuk mendukung

kesuksesan suatu pengelolaan agar dapat diimbangi dengan target yang

telah ditetapkan.

Penetapan batas partisipatif yang artinya diakui dan dilakukan oleh

berbagai pihak perlu secepatnya dilakukan, karena hal tesebut yang menjadi dasar

kekuatan hukum taman nasional dalam praktiknya. Taman nasional masih belum

mencapai targetnya yaitu tamu gelang batas kawasan, dan hal itu perlu menjadi

prioritas utama sebab permasalahan yang dihadapi taman nasional bermula dari

batas kawasan yang tidak jelas.

Berbagai pengembangan yang dilakukan pada dasarnya memang

berpusat pada masyarakat, namun pengembangan ke arah lain pun diharapkan

menjadi nilai tambah taman nasional. TNLW memiliki potensi dari resapan air

yang cukup tinggi, sumber air bagi daerah Sumba Timur, daerah hijau dan lain-

lain. Hal tersebut dapat dimanfaatkan apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi.

Taman nasional dapat bekerjasama dengan berbagai perusahaan atau instansi

pemerintah terkait menyangkut dengan penggunanaan air dan udara (carbon

stock). Namun yang paling realistis untuk dikembangkan adalah sumberdaya air

yang melimpah. Taman nasional dapat mengembangkan kerjasama dengan PLTA

setempat untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan kelestarian hutan. Selain

itu taman nasional pun dapat merangsang adanya perusahaan yang

89

Page 90: Draft III Pklp Tnlw_mdk

mengembangakan pembangkit listrik tenaga angin dan surya. Terdapat di SPTN II

potensi pembangkit listrik tenaga angin tersebut. Posisi SPTN II yang terdapat di

puncak bukit-bukit, memberikan tenaga angin yang cukup besar, dengan kincir

yang dapat dirancang sedemikian rupa, pembangkit listrik tenaga angin dapat

diwujudkan.

5.4.2 Arah Pengembangan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi

Wanggemeti

Taman nasional Laiwangi Wanggemeti (TNLW) telah dipaparkan

sebelumnya merupakan taman nasional yang tergolong baru dan masih dalam

taraf pembangunan dasar-dasar pengelolaan taman nasional. Maka perlu adanya

dasar arah pengembangan taman nasional dengan mempertimbangkan berbagai

potensi yang ada di taman nasional tersebut. TNLW memiliki berbagai potensi

yang dapat dikembangkan. Potensi tersebut secara garis besar ialah potensi

keanekaragaman baik flora maupun faunanya dan potensi bentang alam yang

dapat diproyeksikan menjadi ekowisata.

Pengembangan taman nasional lebih jauh mempertimbangkan aspek yang

lebih spesifik. Pertimbangan pertama ialah dari aspek satwanya. Burung

merupakan salah satu jenis satwa yang memiliki keanekaragaman yang sangat

tinggi, terlebih berdasarkan informasi dari burung indonesia terdapat 9 jenis

burung endemik yang terdapat di TNLW. Pengamatan yang dilakukan tim PKLP

IPB 2011 selama 10 hari di kawasan taman nasional menghasilkan data

keanekaragaman jenis burung sebanyak 58 jenis. Dengan waktu yang terbatas

jenis yang didapat cukup banyak artinya peluang perjumpaan dengan burung

masih sangatlah tinggi. Selain itu kurva penemuan jenis MacKinnon menunjukan

bahwa peluang penemuan jenis-jenis baru masih sangatlah tinggi. Maka pengelola

dalam hal ini taman nasional perlu melakukan inventarisasi secara menyeluruh,

yang artinya inventarisasi dilakukan tidak hanya dipinggir kawasan namun masuk

ke dalam kawasan. Sehingga dengan begitu hasil data yang akan didapat akan

mewakili taman nasional secara keseluruhan.

Taman nasional sangat menyadari bahwa data yang diperoleh perlu

dilakukan evaluasi monitoring hingga pengambilan data ulang dalam rangka

pembaharuan data. Hal tersebut telah dilakukan pada tahun 2010 oleh taman

90

Page 91: Draft III Pklp Tnlw_mdk

nasional. Namun seperti halnya yang telah dipaparkan dalam kaitannya dengan

burung, bahwa pengambilan data ulang perlu dilakukan secara menyeluruh

kawasan dan hal ini tidak terbatas pada kajian burung. Tim PKLP IPB 2011

menyimpulkan dari hasil kajian pada burung, kupu-kupu, mamalia maupun flora,

bahwa dengan data yang telah didapat oleh tim masih sangat dimungkinkan untuk

terus bertambah keanekaragamannya. Hal ini didasarkan pada hasil pengolahan

data dari seluruh kajian baik dari kurva penemuan jenis MacKinnon untuk burung

ataupun kurva spesies area untuk flora.

Inventarisasi menjadi sangat penting untuk pengelolaan TNLW saat ini

karena hal tersebut merupakan salah satu dasar pengelolaan taman nasional

kedepan disamping masalah tata batas. Secara khusus inventarisasi flora yang

dilakukan tim menunjukan bahwa pada tingkat semai dan tiang cukup rendah.

Hipotesis tim PKLP IPB 2011 untuk flora menunjukan bahwa rendahnya tingkat

semai dimungkinkan oleh ternak yang masuk ke dalam kawasan yang memakan

tumbuhan tingkat bawah tersebut, selanjutnya untuk tingkat tiang dimungkinkan

akibat pencurian oleh masyarakat yang digunakan untuk bahan bangunan. Hal ini

bisa menjadi ancaman yang serius apabila taman nasional tidak tanggap untuk

mengambil kebijakan. Permasalahan ternak yang masuk kawasan pada dasarnya

dilakukan asumsi sementara bahwa masyarakat tidak mempunyai lahan ternak dan

pakan ternak. Hal tersebut telah berlangsung lama bahkan sebelum TNLW berdiri.

Maka berdasarkan pada hipotesis tersebut dihasilkan beberapa rekomendasi

terkait pengelolaan untuk aspek flora.

Peraturan Menteri Kehutanan P.56/2006 memungkinkan penetapan

sampai 7 zona berdasarkan fungsi konservasi dan pemanfaatan. Untuk

mempermudah pengelolaan, proses penetapan dan pengaturan tata batas,

sebaiknya penataan ruang taman nasional disederhanakan dengan membagi ruang

taman nasional menjadi hanya dua zona yakni zona pemanfaatan (zona khusus)

dan zona bukan pemanfaatan (zona inti). Zona khusus seharusnya merupakan

hasil kesepakatan antar pihak yang dikelola secara kolaboratif sebagai satu

kesatuan dengan taman nasional. Tujuannya untuk menyatukan pembangunan

masyarakat dengan konservasi (Mulyana et al. 2010). Zona khusus dapat

dibentuk oleh taman nasional dengan pertimbangan hewan ternak yang masuk ke

91

Page 92: Draft III Pklp Tnlw_mdk

dalam kawasan telah mengakar pada masyarakat sekitar bahkan telah

membudaya bahwa hewan ternak dalam jumlah besar tidak digembalakan.

Selanjutnya dengan pencurian kayu khususnya untuk tingkat tiang, hal yang perlu

dilakukan selain sosialisasi mengenai penyadartahuan terhadap pentingnya

kelestarian namun perlu juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa

sekitar kawasan. Peningkatan kesejahteraan dapat dilakukan dengan menlibatkan

masyarakat dalam berbagai kegiatan taman nasional seperti partoli kawasan

ataupun didalam kelompok kerja atau kelompok tani yang sudah ada seperti

KMPH atau pun Model Desa Konservasi (MDK) yang telah didirikan taman

nasional.

Secara keseluruhan langkah pengelolaan yang perlu disegerakan ialah

rehabilitasi habitat. Hal tersebut melihat kondisi taman nasional dalam hal ini

lokasi yang dijadikan tim PKLP praktek Billa, Praingkareha, Wundut dan

sekitarnya sedikit banyaknya mengalami gangguan. Terutama di Billa yang

sebelumnya terdapat Rusa dan hingga kini hilang, hanya di Padang Pahar yang

masih banyak populasi Rusanya. Baik di daerah Billa ataupun skala seluruh

kawasan taman nasional yang mengalami gangguan habitat yang berakibat pada

menurunnya tingkat keanekaragaman satwa liar ataupun menurunnya populasi

satwa liar, maka Rehabilitasi habitat kebijakan yang efektif. Sejalan dengan

pernyataan Alikodra (2002) bahwa untuk mendukung kehidupan satwaliar

diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan

hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung,

berkembangbiak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya. Komponen-

komponen pendukung kehidupan satwaliar tersebut menjadi faktor pembatas

dalam kehidupan satwaliar terutama mamalia.

Dalam pembinaan habitat, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan

fluktuasinya dan dipantau untuk menetapkan program-program pengelolaan yang

tepat (Alikodra 1983). Habitat mamalia yang ditemukan dahulunya berupa hutan

yang luas. Namun setelah terjadi gangguan dan alam mengalami perubahan

kondisi, habitat mamalia didominasi oleh savana. Perubahan yang terjadi pada

habitat tersebut berdampak pada perubahan komponen-komponen pendukung

kehidupan satwaliar sehingga dapat mengubah daya dukung lingkungannya baik

92

Page 93: Draft III Pklp Tnlw_mdk

dari segi kualitas maupun kuantitas secara keseluruhan, karena keseimbangan

alampun ikut terganggu. Oleh karena itu sebelum dilakukan kegiatan pembinaan

habitat perlu dilakukan pula penelitian mengenai asal mula lokasi yang akan

dilakukan pembinaan habitat tersebut. Misalnya saja harus diketahui karakteristik

kawasan yang akan dilakukan pembinaan habitat tersebut serta sejarah asal mula

kawasan apakah dulunya merupakan hutan ataukah padang savana atau jenis

ekosistem lainnya. Sehingga dari kegiatan ini diharapkan dapat terus menjaga

kelestarian satwa liar yang ada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Pertimbangan selanjutnya dalam arah pengembangan pengelolaan

TNLW ialah kaitannya dengan jasa lingkungan terutama ekowisata. Potensi

ekowisata baik yang terdapat di SPTN I maupun SPTN II. Potensi tersebut

meliputi Air Terjun Laputi, Danau Laputi, dan lainnya untuk di SPTN I dan

bentang alam seperti perbukitan yang membentang sepanjang jalur menuju SPTN

II yang sangat menarik serta unik. Potensi-potensi tersebut sangat berpeluang

untuk dijadikan salah satu pengembangan TNLW menjadi ekowisata. Namun

potensi tersebut kurang didukung oleh sarana pendukung lainnya seperti akses

menuju lokasi yang mengalami kerusakan jalan serta transportasi umum yang

sangat terbatas dan sulit, kemudian sarana prasarana yang terdapat dilokasi masih

sangat minim. SPTN I telah mengarahkan potensi tersebut dengan membangun

sarana prasarana pendukung ekowisata seperti papan interpretasi, shelter, serta

toilet umum. Namun tidak halnya dengan SPTN II, arah pengembangan ekowisata

tidak menjadi prioritas utama disana. Secara keseluruhan pengelolaan TNLW

untuk ekowisata memang lebih diprioritaskan untuk SPTN I, namun dengan

pertimbangan potensi-potensi yang ada baiknya pengelolaan terhadap ekowisata

haruslah berimbang. Sebab masing-masing SPTN memiliki potensi yang berbeda

dan unik. Maka dengan perbedaan tersebut jelas bahwa kaitannya dengan aspek

pasar pengunjung akan memiliki pasarnya masing-masing.

Berbagai pertimbangan arah pengembangan pengelolaan TNLW secara

prinsip harus berdasarkan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati serta

ekosistem yang ada di TNLW. Melihat berbagai pertimbangan yang telah

dipaparkan terkait dengan keanekaragaman hayati baik untuk satwa liar ataupun

flora serta pengembangan ekowisata, maka langkah pengelolaan untuk saat ini

93

Page 94: Draft III Pklp Tnlw_mdk

baiknya diarahkan pada pembinaan habitat hingga rehabilitasi habitat yang telah

dilakukan di Billa untuk SPTN I dan Hutan Ampupu di SPTN II. Pembinaan

habitat akan berkorelasi langsung dengan pembinaan satwa liar seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya terkait dengan keseimbangan ekosistem. Dengan begitu

pengelolaan TNLW akan berjalan secara bertahap dan alami, serta faktor

pendukung ekowisata aspek biologi akan berjalan dengan baik pula. Sehingga

setelah pembinaan habitat telah berjalan dengan baik maka pengembangan

ekowisata pun dapat meminimalisir dampak yang terjadi dari kegiatan tersebut.

5.4.3 Rekomendasi

Kegiatan Praktek Kerja Lapang dan Profesi (PKLP) IPB 2011 di TNLW

salah satunya menghasilkan data awal mengenai keanekaragaman jenis yang

terdapat di taman nasional ini. Pengelolaan taman nasional pada dasarnya perlu

mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek keanekaragaman dan

aspek ekowisata. Beberapa rekomendasi terkait pertimbangan tersebut dapat

dijabarkan dalam beberapa hal seperti berikut :

a. Peningkatan Kualitas SDM

Pengelolaan lebih lanjut taman nasional haruslah bertolak dari kesiapan

SDM taman nasional itu sendiri. Peningkatan SDM baik kualitas maupun

kuantitas dapat dilakukan dengan cara yang bernama capacity building. Kdengan

berbagi kegiatan ini dapat baik berupa sosialisasi dan atau pelatihan. Sosialisasi

terkait dengan kelestarian hutan yang berisikan mengenai pembelajaran segala

aspek mengenai kehutanan konservasi dalam kaitannya perlindungan, pemanfaat

yang berkelanjutan, dan pengawetan plasma nutfah. Hal tersebut menjadi dasar

karena kompetensi dasar bagi pegawai taman nasional. Selanjutnya yang menjadi

dasar bagi kompetensi pegawai taman nasional (dalam hal ini POLHUT dan PEH)

ialah metode inventarisasi baik flora maupun fauna. Sebab keterwakilan data dari

inventarisasi menjadi suatu dasar untuk pengelolaan yang berkelanjutan.

b. Pengelolaan Habitat

Melanjutkan pelaksanaan kegiatan penelitian-penelitian di Taman

Nasional, baik yang dilakukan oleh peneliti lokal maupun peneliti asing. Hal

tersebut berarti taman nasional dapat melihat fluktuasi atau kecenderungan hasil-

hasil penelitian yang telah dilakukan dalam kaitannya dampak dari perubahan

94

Page 95: Draft III Pklp Tnlw_mdk

habitat yang terjadi. Tim PKLP IPB 2011 melihat bahwa terdapat dampak yang

cukup jelas dari perubahan habitat yang terjadi. Seperti menurunnya populasi

burung kakatua jambul jingga ataupun permasalahan rendahnya tingkat semai dan

tiang di beberapa lokasi di TNLW. Maka Berdasarkan temuan tersebut pembinaan

habitat dan rehabilitasi habitat menjadi sangat penting sebelum dampaksuntuk

menekan dampak negatif terhadap keanekaragaman flora fauna lebih jelas. Bila

kegiatan Setelah pembinaan habitat dapat dilakukan dengan kesiapan yang baik

maka pembinaan dan rehabilitasi jenis atau pemanfaatan kawasan kearah

ekowisata dapat dilakukan pula dengan baik.

c. Inventarisasi Keanekaragaman Secara Menyeluruh

Pengelolaan yang berkelanjutan memerlukan banyak data dasar yang lebih

lanjut digunakan sebagai pedoman arah pengelolaan. TNLW telah melakukan

inventarisasi keanekaragaman namun sejauh ini masih terbatas pada lokasi-lokasi

yang mudah terjangkau atau masih di pinggir kawasan. Hal tersebut dapat

dipahami bahwa mengingat keterbatasan jumlah SDM yang dimiliki taman

nasional memang masih sangat terbatas dengansementara harus menjangkau

luasan kawasan yang begitu luasbesar. Namun ke depan hal tersebut tetap harus

dilakukan walau dengan jangka waktu yang lama, inventarisasi hingga ke arah

bagian dalam kawasan menjadi catatan mendasar bagi pengelolaan yang

berkelanjutan.

d. Pembuatan rancangan Zona Khusus

Mempertimbangkan berbagai permasalahan yang dihadapi taman nasional

khususnya dengan masyarakat terkait dengan isu pencurian kayu dan serta

masalah masuknya ternak masuk ke dalam kawasan yang telah mengakar bahkan

menjadi sebuah adat, . Mmaka perlu dipertimbangkan pembuatan rancangan zona

khusus pun pada dasarnya dapat dilakukan. Menurut Mulyana et al. (2010) zona

khusus diharapkan menjadi sarana mengatasi konflik antara masyarakat dengan

TN. Zona khusus menawarkan ruang negosiasi terbatas yang hasilnya diharapkan

berupa penetapan zona khusus dan kesepakatan mengenai pengelolaannya.

e. Arah pengembangan pengelolaan

Arah pengembangan pengelolaan telah dipaparkan sebelumnya yang dapat

disimpulkan bahwa pengembangan untuk jangka waktu setidaknya 5 tahun

95

Page 96: Draft III Pklp Tnlw_mdk

kedepan ialah pada kelestarian hutan beserta keanekaragaman flora faunanya.

Terkait dengan pengembangan Ekowisata tetap dapat dilakukan beriringan namun

tidak menjadi satu prioritas utama pada jenjang saat ini. Hal tersebut mengingat

berbagai pertimbangan terkait kesiapan ekowisata itu sendiri.

f. Kemitraan dengan Maskapai penerbangan

HAsil wawancara yang menyebutkan Bbanyaknya burung yang dikirim

ke luar pulau NTT dengan pesawat domestik, maka diperlukan upaya untuk

membentuk sebuah persetujuan dengan perusahaan maskapai penerbangan

domestik untuk melarang transportasi burung khususnya burung yang dilindungi

dalam pesawat tersebut. Selanjutnya hal yang perlu dilakukan ialah memberikan

pelatihan kepada staf maskapai penerbangan tersebut untuk mengenali dapat

mengenali spesies burung yang dilindungi.

g. Penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan jumlah populasi burung.

Penelitian lebih lanjut terhadap faktor peningkatan populasi burung dapat

menjadi salah satu strategi pengelolaan kedepan dalam rangka kelestarian satwa di

TNlW. Seperti halnya penambahan lubang sarang dengan menggunakan kotak

sarang bagi kakatua dan rangkong. Jika lubang sarang terbatas untuk spesies

tersebut, maka dapat dirancang kotak sarang buatan yang dapat meningkatkan

hasil reproduksi dan juga berpengaruh positif pada jumlah populasi. Penelitian-

penelitian sejenis yang taman nasional perlukan dalam mempertahankan dan

meningkatkan kelestarian satwa.

h. Kampanye penyadartahuan masyarakat Ssumba terhadap avifauna

endemik.

Kampanye tersebut dapat membangkitkan kebanggaan masyarakat

terhadap avifauna endemik Sumba. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan

berupa program “Mengadopsi Sarang” yang telah dilakukan di Negara Thailand .

Cara tersebut dilakukan dengan jalan, penduduk lokal dibayar oleh donor atau

pengadopsi sarang yang bertujuan untuk melindungi lubang sarang dari pemburu.

Metode ini bersifat berkelanjutan karena penduduk lokal mengawasi dan

melaporkan keberhasilan bersarang secara berkala tiap tahunnya dan pendekatan

ini mempunyai menfaat tambahan yakni memberikan peluang penelitian lanjutan

tentang ekologi bersarang dan mencari makan bagi burung-burung Sumba.

96

Page 97: Draft III Pklp Tnlw_mdk

i. Pemantauan debit air sungai

Kawasan TNLW yang merupakan sumber air bagi pulau sumba

mempunyai 12 DAS dengan air yang tidak kering sepanjang tahun perlu terus

dilakukan pemantauan. Keterbatasan waktu kegiatan PKLP menyebabkan hanya

dapat melakukan pengukuran debit air sungai di musim penghujan saja, maka

perlu dilakukan pengukuran debit air di musim kemarau. Pemantauan debit air

sungai ini dapat dijadikan indikator bagi kondisi hutan yang ada di kawasan

TNLW. Selain itu juga dengan adanya pemantauan debit air sungai ini juga dapat

dijadikan dasar bagi arahan pembuatan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya

air yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar kawasan.

97

Page 98: Draft III Pklp Tnlw_mdk

BAB VI

KESIMPULAN

Kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional

Laiwangi-Wanggameti menghasilkan data potensi kawasan meliputi potensi flora

dan fauna, data potensi keanekaragaman mamalia dan kupu-kupu merupakan data

baru bagi pengelola Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti. Berdasarkan hasil

inventarisasi di dua lokasi pengamatan yang terletak di SPTN I dan SPTN II

TNLW diketahui keanekaragaman satwa yang tertinggi yaitu burung dengan 57

jenis dari 28 famili yang berhasil ditemukan. Keanekaragaman mamalia yang

ditemukan sebanyak 9 jenis dari 6 famili. Sedangkan keanekaragaman kupu-kupu

ditemukan 40 jenis. Sementara itu keanekaragaman tumbuhan berdasarkan hasil

analisis vegetasi ditemukan 120 jenis tumbuhan dari 40 famili.

Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti merupakan Taman Nasional yang

baru dibentuk pada tahun 2006 saat ini masih dalam taraf pembangunan dasar-

dasar pengelolaan taman nasional yang arah pengembangannya

mempertimbangkan potensi yang ada di kawasan TNLW. Kawasan TNLW

dengan bentang alam berupa perbukitan dan keanekaragaman flora dan faunanya

serta kebudayaan masyarakat lokal mempunyai potensi yang tinggi dikembangkan

untuk kegiatan ekowisata. Selain itu juga kawasan TNLW yang menjadi sumber

air bagi kawasan pulau sumba mempunyai nilai strategis tinggi bagi pengelolaan

kawasan.

98

Page 99: Draft III Pklp Tnlw_mdk

DAFTAR PUSTAKA

[BTNLW]. Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. 2010. Laporan Updating 2010. Waingapu : BTNLW.

[HIMAKOVA]. Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 2009. Studi Konservasi Lingkungan Taman Nasional Manupeu Tanadaru : Warna-Warni Khasanah Budaya dan hidupan Liar Langit Sumba. Bogor : HIMAKOVA.

Achmad A. 2002. Potensi dan Sebaran Kupu-kupu di Kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung.

Aidid L. 1991. Studi penangkaran kupu-kupu di Bantimurung Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Amir M, Noerdjito WA. 1990. Kupu yang Terancam Punah dan Pelestariannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI.

Bibby C, Jones M, Arsen SM. 2000. Teknik Ekspedisi Lapang : Survey burung. Bogor: SKMG Mardi Yuana.

Birdlife International. 2004. Menyelamatkan Burung-burung Asia yang Terancam Punah. Waikabubak: Birdlife.

Clark LR, Geigera PW, Hugles RD, Morris. 1966. The Ecology of Insect Population in Theory and Practice. Cambera: The English Language Book Society and Campman and Hall.

Coates BJ, Bishop KD. 2000. Panduan burung-burung di kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Bogor: BirdLife International-Indonesia Program & Dove Publication.

Darma IDP, Peneng IN. 2007. Inventarisasi Tumbuhan Paku di Kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti Sumba Timur,Waingapu, NTT. Biodiversitas 8 (3) : 242-248.

Dewi RS. 2006. Keanekaragaman jenis Burung Pada Berbagai Tipe Habitat di Taman Nasional Gunung Ciremai [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Djufri. 2002. Analisis vegetasi spermatophyta di Taman Hutan Raya (TAHURA) Seulawah Aceh Besar. Biodiversitas Vol 4 (1) : 30-34.

Gaol SEL. 1998. Studi variasi tingkat keanekaragaman jenis burung pada berbagai tipe penggunaan lahan di Provinsi Lampung. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Heddy S, Kurniati M. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi dan Penerapannya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Hernowo JB. 1989. Suatu Tinjauan Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung dan Peranannya di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Media Konservasi Vol (2): 19-32.

99

Hp, 2011-05-01,
Ingat ya, jangan ditulis Vol – langsung angkanya!
Page 100: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Hikmat A. 2010. Pengenalan Tumbuhan Obat Penting. Bogor: Laboratorium Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.

Jati A. 1998. Kelimpahan dan distribusi jenis-jenis burung berdasarkan fragmentasi dan stratifikasi habitat hutan Cagar Alam Langgaliru, Sumba. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jepson P, Rais S, Ora BA, Raharjaningtrah W. 1996. Telaah Jaringan kawasan Konservasi Untuk Pelestarian Nilai-nilai Hutan di Pulau Sumba NTT. Bogor: Birdlife International,

Krebs. 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance Third Edition. New Yyork : Harper and Row Publisher

Ludwiq JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology A Primer on Methods and Camputing. New York: John Wiley & Sons.

Mac Arthur RH. 1972. Geographical Ecology : Patterns in Distribution of Species. New York: Harper & Row Publisher.

MacKinnon J, Phillips K, Van Balen B. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI-Birdlife International Indonesia Programme.

Magurran AE. 1998. Ecological Diversity and Its Measurement. London: CromHelm Limited.

Muhdi. 2009. Struktur dan komposisi jenis permudaan hutan alam tropika akibat pemanenan kayu dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia. Jurnal Bionatura Vol 11 (1) : 68-79.

Mulyana A, Moeliono M, Minnigh P, Indriatmoko Y, Limberg G, Utomo NA, Iwan R, Sapruddin dan Hamzah. 2010. Kebijakan Pengelolaan Zona Khusus . Brief 1:1-6.

Novak I. 1999. A Fieldguide In Colour to Butterflies and Moths. Czech Republic: Aventium Publishing House, Prague.

O’Brien TG, Kinnaird MF, Jepson P, Dwiyahreni AA. 1997. Evaluation of Habitat Quality for Sumba Island Wreathed Hornbill an Citron-crested Cockatoo on Sumba, East Nusa Tenggara.

Odum E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Penerjemah: T. Samingan dan B. Srigandono. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Peggie dan Amir M. 2009. Practial Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden. Bogor: LIPI.

PHPA/Wildlife Conservation Society-Indonesia Programme Memorandum Teknis No. 2. Bogor.Wiens JA. 1989. The Ecology of Bird Communities, Volume 2: Processes and Variations. Cambridge: Cambridge University Press.

Poleng A, Witono JR. 2004. Analisis vegetasi beberapa fragmen hutan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Biota Vol IX (1): 25-36.

100

Page 101: Draft III Pklp Tnlw_mdk

Purwowidodo, 1998. Pengenalan Struktur Tanah Pegunugan. Pustaka Sedia : Jakarta

Rahman AL. 2006. Daya dukung tapak Danau Kelimutu untuk kegiatan ekowisata di zona pemanfaatan Taman Nasional Kelimutu. [tugas akhir]. Bogor: Program Diploma III Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Renjito LM. 2001. Effect of Natural Anthropogenic Landscape Matrices on the Abundance of SubAndean Bird Species. Ecological Application 11: 14-31.

Sidiyasa K, Zakaria, Iwan R. 2006. Hutan desa Setulang dan Sengayan Malinau, Kalimantan Timur: potensi dan identifikasi langkah-langkah perlindungan dalam rangka pengelolaannya secara lestari. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I: Pengantar Ilmu dan Tehnologi Budidaya. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.

Smart P. 1975. The Illustrated Encyclopedia of The Butterfly World. London: Salamander Books Ltd

Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I. 1996. Ekologisme Dalam Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari Dalam Ekologi dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor,

Sopiyudin E. 2003. Perencanaan interpretasi lingkungan di Wana Wisata Gunung Bunder KPH Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Susanto Z. 1995. Keanekaragaman dan Pola Penggunaan Habitat Burung di Loh Liang, Pulau Komodo Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Takandjandji M dan Sutrisno E. 1996. Inventarisasi burung bayan (Eclectus roratus cornelia) dan jenis burung lainnya di Pulau Sumba. Kupang: litbang kehutanan no.8. Bbalai penelitian kehutanan.

Tobing ISL. 2009. Kondisi perairan pantai sekitar Merak, Banten berdasarkan indeks keanekaragaman jenis benthos. Vis Vitalis Vol 02 (02): 31-40.

101