diare kronis dan diare persisten

15
Diare kronis dan DIARE PERSISTEN Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama. Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh Walker-Smith et al. didefinisikan sebagai diare persisten. Di lain pihak, dasar etiologi diare kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya. Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini. epidemiologi

Upload: gekwahyu

Post on 21-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

TRANSCRIPT

Page 1: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

Diare kronis dan DIARE PERSISTEN

Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama. Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh Walker-Smith et al. didefinisikan sebagai diare persisten. Di lain pihak, dasar etiologi diare kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya. Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini.

epidemiologi

Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.

Page 2: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

Etiologi

Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perhatian global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Tabel 7.1 menunjukkan enteropatogen penyebab diare di Surabaya dari tahun 1984 hingga 1993, berdasarkan durasi diare. Sayangnya publikasi lain dari studi semacam ini di Indonesia tidak dapat diperoleh.

Page 3: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

PATOGENESIS

Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi.

Page 4: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

Gambar 7.2. menunjukkan perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan terapi diare

Page 5: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.

Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2) faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.

Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5) perubahan motilitas usus.

1. Sekretoris

Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.

2. Osmotik

Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.

3. Mutasi protein transport

Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan

Page 6: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagaidaerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+–protein pengangkut asam empedu.

4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus

Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain, diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.

5. Perubahan pada gerakan usus

Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjadinya diare.

Manifestasi Klinis (Komplikasi)

Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi merupakan gambaran umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya.

Diagnosis

Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:

1. Anamnesis

Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara lain berapa lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat dan adanya penyakit sistemik.

Page 7: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju enap darah, dan protein C-reaktif.

b. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5 atau adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten.

Terapi

Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan meliputi:

1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi

Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.

2. Pemberian nutrisi

a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis

Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar 100 kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1 kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi: diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet berbahan dasar ayam.

i. Diet elemental

Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa

Page 8: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

nasogastrik untuk mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya digunakan di negara maju.

ii. Diet berbahan dasar susu

Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI, pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung epidermial growth factors.

iii. Diet berbahan dasar daging ayam

Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa, hipoosmolar, dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa pemberian diet berbahan dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil perbaikan yang signifikan. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK UGM dengan single blind, randomized-controlled trial menunjukkan durasi diare yang lebih pendek secara bermakna pada anak dengan diare yang mendapat bubur ayam dibandingkan yang mendapat bubur tempe (1,92±0,66 vs 2,64±0,89, p 0,034). Namun demikian, mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.

b. Pemberian mikronutrien

Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi. Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA (Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.

Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.

c. Probiotik

Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-associated diarrhea.

Page 9: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

d. Tempe

Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah 2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33 hari). Sebuah studi uji klinis randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997) menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode diare akut.

3. Terapi Farmakologis

Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstraintestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua antibotik berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.

4. Follow up

Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana 50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari. Gambar 7.3 menjelaskan alur tata laksana diare persisten/kronis.

Page 10: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

Faktor Risiko dan Pencegahan

Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten.

Page 11: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan. Hal ini didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare persisten paling banyak pada anak usia ≤ 3 bulan.

Studi yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa rata-rata usia anak penderita diare persisten adalah 10,7 bulan. Baqui et al (1993) menyatakan bahwa kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah usia kurang dari 1 tahun. Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat dibandingkan kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran juga merupakan salah satu faktor risiko diare peristen. Pemberian makanan pendamping terlalu dini meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare persisten semakin tinggi. Oleh karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan manajemen yang tepat pada diare akut sehingga kejadian diare tidak berkepanjangan. Manajemen diare akut yang tepat meliputi pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.

Diare Persisten pada Kondisi Khusus

1. Diare persisten pada Infeksi HIV

Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap

Page 12: Diare Kronis Dan DIARE PERSISTEN

episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif.

Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.

Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997) mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.

2. Diare persisten pada keganasan

Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid yang mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin yang menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi asam lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim pencernaan dan menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan malabsorpsi zat nutrien. Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.

Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-agen kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan. 5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi, sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.

Diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di Indonesia dan dunia. Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Hubungan antara diare persisten dengan malnutrisi bagaikan lingkaran setan yang memerlukan penanganan yang integratif dan bertahap sehingga terapi yang dibutuhkan tidak hanya terapi medikamentosa akan tetapi dibutuhkan pula terapi nutrisi yang optimal.