pengaruh penyakit kronis terhadap kesehatan …
TRANSCRIPT
LAPORAN
PENELITIAN KOLABORASI DOSEN MAHASISWA
PENGARUH PENYAKIT KRONIS TERHADAP
KESEHATAN MENTAL EMOSIONAL
(Analisis Data Riskesdas 2018)
TIM PENGUSUL Ketua: Dr Sarah Handayani, SKM, M.Kes (NIDN 0307077107)
Anggota: Rizqiyani Khoiriyah (NIM 18091407024)
Fibra Milia (NIM 1809047007)
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA (UHAMKA)
JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Choose an item.
Judul Penelitian
PENGARUH PENYAKIT KRONIS
TERHADAP KESEHATAN MENTAL EMOSIONAL
(ANALISIS DATA RISKESDAS 2018) Jenis Penelitian :
Ketua Peneliti :Dr. Sarah Handayani M.Kes.
Link Profil simakip : Contoh link: http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/show/978
Fakultas : Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Anggota Peneliti :Rizqiyani Khoiriyah
Link Profil simakip : Contoh link: http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/show/978
Anggota Peneliti :Fibra Milia
Link Profil simakip : Contoh link: http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/show/978
Waktu Penelitian : 6 Bulan
Luaran Penelitian
Luaran Wajib :Jurnal Nasional Terakreditasi
Status Luaran Wajib : In review
Luaran Tambahan :Prosiding konferens
Status Luaran Tambahan:draft
Mengetahui, Jakarta, 13 April 2020
Ketua Program Studi Ketua Peneliti
Dr. Sarah Handayani M.Kes. Dr. Sarah Handayani M.Kes.
NIDN. 0307077107 NIDN. 0307077107
Menyetujui,
Dekan Direktur Sekolah Pascasarja Uhamka Ketua Lemlitbang UHAMKA
Prof. Dr. Ade Hikmat, M.Pd Prof. Dr. Suswandari, M.Pd
NIDN 0019066301 NIDN. 0020116601
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
i
Created by Lemlitbang UHAMKA │ simakip.uhamka.ac.id │lemlit.uhamka.ac.id
ABSTRAK
Hasil data Riset kesehatan dasar menunjukkan masalah gangguan kesehatan mental
emosional (depresi dan kecemasan) sebanyak 9,8%. Hal ini terlihat peningkatan jika
dibandingkan data Riskesdas tahun 2013 sebanyak 6%. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan penyakit kanker terhadap gangguan mental emosional. Penelitian
analitik dengan rancangan potong lintang atau Cross-sectional dan non-intervensi. Penelitian
ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2018. Responden penelitian ini merupakan
pada perempuan penderita kanker usia 15 tahun ke atas sebanyak 1051 orang. Indikator
penilaian seseorang gangguan mental emosional berdasarkan kuesioner Self Reporting
Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 pertanyaan, dinyatakan gangguan mental emosional
jika responden mempunyai minimal 6 dari 20 pertanyaan. Hasil univariat perempuan
penderita kanker yang mengalami gangguan mental emosional sebanyak 34%. Persentase
penderita kanker perempuan tertinggi adalah kategori dewasa tengah+lanjut (-65 tahun)
sebanyak 48,9%, dengan mayoritas berpendidikan rendah sebanyak 67%. Berdasarkan status
pekerjaan, perempuan yang menderita kanker tidak bekerja sebanyak 49,5% sedangkan
perempuan bekerja sebanyak 50,5%. Berdasarkan hasil bivariat terdapat hubungan yang
signifikan antara penderita kanker perempuan dengan kejadian kesehatan mental emosional
(OR=1,982; nilai p=0,0001). Berdasarkan usia (OR=0,846; nilai p=0,0001), tingkat
pendidikan (OR=1,483; nilai p=0,0001), status pekerjaan (OR=1,158; nilai p=0,0001) dan
tempat tinggal (OR=0,932; p value=0,0001) memiliki hubungan dengan gangguan
kesehatan mental emosional. Analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa
Perempuan berpendidikan rendah berisiko 1,442 kali mengalami gangguan mental daripada
perempuan berpendidikan tinggi.
Kata Kunci : Mental Emosional, Kanker, Perempuan
ii
Created by Lemlitbang UHAMKA │ simakip.uhamka.ac.id │lemlit.uhamka.ac.id
DAFTAR ISI
Cover
Halaman Pengesahan
Surat Kontrak Penelitian
Abstrak ………………………………………………………………………..………….i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………ii
Daftar Gambar ……………………………………………………………………………ii
Daftar Tabel ………………………………………………………………………………ii
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………….4
BAB 3. METODE PENELITIAN ………………………………………………………..10
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………….12
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….18
BAB 6 LUARAN YANG DICAPAI ……………………………………………………..19
BAB 7 RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI………………..21
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Diagram alir penelitian
Tabel 4.1. Gambaran Karakteristik dan 20 pertanyaan mental emosional berdasarkan self
reporting questionaire
Tabel 4.2. Kesehatan Mental Emosional Berdasarkan 20 Pertanyaan:
Tabel 4.3. Analisis Faktor Risiko Kesehatan Mental Emosional terhadap Penderita Kanker
Tabel 4.4.Model Akhir
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Roadmap penelitian dosen
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Gambar 4.1. Gambaran Kesehatan Mental Emosional
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Artikel 1
Lampiran 2 Artikel 2
1
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan kesehatan jiwa merupakan sindrom, pola perilaku atau kondisi psikologi
seseorang yang secara klinik cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala
(distress, impairment, atau disability) didalam satu atau lebih fungsinya dalam segi perilaku
psikologis. Setiap orang berpotensi mengalami gangguan kesehatan jiwa yang salah satu faktor
risikonya adalah penyakit fisik yang bersifat kronis sepanjang berinteraksi dengan lingkungan
(Maslim, 2003)1. Kesehatan jiwa menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan
didunia, termasuk di indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena
depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena
dimensia.
Prevalensi jumlah gangguan jiwa di Indonesia terus meningkat berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebanyak 9,8% dari seluruh populasi Indonesia dimana
adanya peningkatan yang signifikan dari data Riskesdas tahun 2013 yaitu 6%. Hasil Riskesdas
2013 dan 2018 menunjukkan bahwa Gangguan kesehatan mental yang tertinggi adalah di
Sulawesi Tengah sebanyak 12% dan 19.8% serta yang terendah adalah Lampung Jambi sebanyak
3.6% (Riskesdas, 2018)2.3. Berdasarkan profil kesehatan Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa
kunjungan Pasien jiwa dirumah sakit (2017)4 sebanyak 14 mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya dimana pada tahun 2016 sebanyak 10,3% orang.
Risiko gangguan mental emosional semakin tinggi bersamaan dengan semakin banyak
jumlah penyakit kronis yang di derita. Responden yang menderita satu penyakit kronis berisiko
2,6 kali lebih besar untuk mengalami gangguan mental emosional, yang menderita dua penyakit
kronis berisiko 4,6 kali, yang menderita tiga penyakit kronis atau lebih berisiko 11 kali
(Widakko, 2013)5. Sejalan dengan penelitian Revenson dan Hoyt (2016)6 bahwa seseorang
penderita penyakit kronis memiliki tantangan adaptasi dengan kesehatan interpersonalnya.
Riskesdas 2018 menunjukkan Prevalensi penyakit tidak menular mengalami kenaikan jika
dibandingkan dengan Riskesdas 2013, antara lain kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
mlitus, dan hipertensi. Prevalensi kanker naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%,
prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9%, dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi
3,8%. Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%; dan
hasil pengukuran tekanan darah, hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%.
Pada tahun 2020, WHO memprediksikan bahwa depresi akan menjadi beban penyakit
global pada peringkat kedua (WHO, 2013)7. Tercatat lebih dari delapan ratus ribu orang yang
meninggal dunia akibat bunuh diri setiap tahunnya. Sekitar 1,4% kematian didunia disebabkan
oleh bunuh diri , sehingga menempatkan bunuh diri pada posisi kelima sebagai kematian terbesar
(WHO, n.d). pada rentang usia lima belas sampai dua puluh tahun, bunuh diri berada pada posisi
kedua sebagai penyebab kematian terbesar (Artikel Kemenkes , 2016)8.
Berkaitan dengan berbagai data diatas peneliti berpendapat perlu melakukan penelitian
yang dapat membuktikan apakah penyakit kronis yaitu Diabetes Melitus memiliki pengaruh
kesehatan mental emosional.
1.2.1Urgensi Penelitian
Tingginya masalah Kesehatan mental emotional dari tahun 2013 sampai 2018 menunjukkan
peningkatan yang menghawatirkan sebanyak 6% menjadi 9,8% (Riskesdas, 2018). Banyaknya
faktor yang mempengaruhi kesehataan mental membuat peneliti ingin mengetahui apakah
Penyakit kronis menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan kesehatan mental
emotional seseorang. Penyakit kronis penyakit tidak menular yang berlangsung kronis (menahun)
karena kemunduran fungsi organ tubuh akibat proses penuaan. Setiap penyakit kronis yaitu yaitu
tuberculosis (TB) paru, hepatitis, jantung, diabetes, kanker, dan stroke menunjukkan gejala yang
hampir berbeda-beda (Handajani dkk, 2010). Beberapa faktor yang menunjukkan proses awal
terjadinya penyakit kronis, yaitu: Adanya hubungan antara transisi demografi, epidemiologi, dan
kesehatan. Penyakit stroke dan hipertensi di sebagian besar rumah sakit cenderung meningkat
dari tahun ke tahun dan selalu menempati urutan teratas (Dalam jangka panjang, prevalensi
penyakit jantung dan pembuluh darah diperkirakan akan semakin bertambah). Pergeseran dari
pola makan tradisional yang tinggi karbohidrat, tinggi serat, dan rendah lemak ke pola makan
modern yang tinggi lemak, tapi rendah serat dan karbohidrat. Kurangnya mengonsumsi buah-
3
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
buahan dan sayur-sayuran membuat tubuh kekurangan serat dan dapat berisiko meningkatkan
kadar kolesterol tubuh. Bila kondisi ini tidak segera diperbaiki dengan pola makan yang benar
dan baik, maka dapat berakibat timbulnya berbagai penyakit kronis. Sebagai seorang penderita
penyakir kronis perlu kesabaran untuk terus mengontrol diri tetap kondiri stabil, dimana dalam
proses ini perlu kesehatan mental emotional untuk melakukan pengobatan yang terus menerus.
4
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesehatan Mental Emosional
1. Pengertian Kesehatan Mental Emosional
Kesehatan mental adalah individu yang terbebas dari gejala psikiatri atau penyakit
mental, terwujudnya keharmonisan antar fungsi-fungsi jiwa. Serta sanggupan untuk
menghadapi problem dan merasakan secara positif kebahagiaan atas kemampuan dirinya,
kemampuan untuk menyesuaikan diri antar manusia dengan dirinya dan lingkungannya,
yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat (Bukhori, 2012)11. Gangguan kesehatan
mental tidak bisa kita remehkan, jumlah kasusnya saat ini masih cukup
mengkhawatirkan. Terdapat sekitar 450 juta orang menderita gangguan mental dan
perilaku di seluruh dunia. (WHO, 2003)12.
Menurut WHO regional Asia Pasifik (WHO SEARO) jumlah kasus gangguan
depresi terbanyak di India (56.675.969 kasus atau 4,5% dari jumlah populasi), terendah
di Maldives (12.739 kasus atau 3,7% dari populasi). Adapun di Indonesia sebanyak
9.162.886 kasus atau 3,7% dari populasi (WHO,2017)13.
2. Kategori Kesehatan Mental Emosional
Adapun kategori gangguan jiwa yang dinilai dalam data Riset Kesehatan Dasar
(Riskedas) 2013 diketahui terdiri dari gangguan mental emosional (depresi dan
kecemasan), dan gangguan jiwa berat (psikosis). Bentuk gangguan jiwa lainnya yaitu
postpartum depression dan bunuh diri (suicide).
3. Prinsip Dalam Kesehatan Mental
Menurut Schbeiders (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2017)14 ada beberapa prinsip
yang harus diperhatikan dalam memahami kesehatan mental. Meliputi:
1. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:
5
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari
kesehatan fisik dan integritas organisme.
b. Memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia sebagai
pribadi yang bermoral, intelektual, religius, emosional dan sosial.
c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang
meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilak
d. Dalam pencapaian khususnya dalam memelihara kesehatan dan penyesuaian kesehatan
mental, memperluas tentang pengetahuan diri .
2. Prinsip yang didasari atas hubungan manusia dengan lingkungannya,
a. Tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya didalam kehidupan
keluarga.
b. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam
kepuasa kerja.
c. Memerlukan sikap yang realistik yaitu menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.
3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
a. Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas realitas
terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang
fundamental.
b. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara
manusia dengan Tuhannya.
4. Gejala Kesehatan Mental Yang Terganggu
Gangguan mental yaitu semua perilaku dan keadaan emosi yang menyebabkan
seseorang menderita, atau perilaku merusak diri sendiri, dan akan memiliki dampak negatif
yang serius terhadap kinerja seseorang atau kemampuan berinteraksinya dengan orang lain
(Wade, Carole & Carol, 2008)15.
a. Banyak komflik batin. Dada rasa tersobek-sobek oleh pikiran dan emosi yang antagonistis
bertentangan. Hilangnya harga diri dan kepercayaan diri. Selalu merasa tidak aman dan
dikejar oleh suatu hingga merasa cemas dan takut. Menjadi agresif, suka menyerang
bahkan ada yang berusaha membunuh orang lain atau melekukan usaha bunuh diri.
6
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
b. Komunikasi sosial terputus dan adanya disorientasi sosial. Timbul delusi-delusi yang
menakutkan atau dihinggapi delusion of grandeur (merasa dirinya paling super). Selalu iri
hati dan curiga. Ada kalanya diinggapi delusion of persecution atau khayalan dikejar-kejar
sehingga menjadi sangat agresif, berusaha melakukan pengrusakan, atau melakukan
destruksi diri dan bunuh diri.
c. Ada gangguan intelektual dan gangguan emosional yang serius. Penderita mengalami ilusi,
halusinasi berat dan delusi. Selain itu, kurangnya pengendalian emosi dan selalu bereaksi
berlebihan. Selalu berusaha melarikan diri dari dalam dunia fantasi, yaitu dalam
masyarakat semu yang diciptakan dalam khayalan.
2.2. Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik yang menahun akibat pankreas
tidak memproduksi insulin yang selalu mengalami peningkatan penderita setiap tahun di
negara seluruh dunia (Nur Indah, 2016)16. Berdasarkan data International Diabetes
Foundation (IDF)17 pada tahun 2013 sebesar 382 kasus di berbagai penjuru dunia dan
diperkirakan meningkat pada tahun 2035 sebesar 55% (592 kasus) pada usia 40-59 tahun.
Indonesia merupakan peringkat ke-empat kasus DM paling tinggi.
Hal ini juga merupakan penyebab utama kematian. Masalah yang belum
terselesaikan adalah bahwa definisi dari ambang diagnostik untuk diabetes (Kumar,
2013)18. Diabetes adalah kompleks, penyakit kronis yang membutuhkan perawatan medis
terus-menerus dengan strategi pengurangan risiko multifaktorial di luar kendali glikemik
(ADA, 2016)19.
a. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA)20 meliputi
empat kelas klinis :
1) Diabetes Mellitus tipe 1
Hasil dari kehancuran sel β pankreas pada pulau-pulau langherhans, biasanya
menyebabkan defisiensi insulin yang absolut.
2) Diabetes Mellitus tipe 2
7
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar belakang
terjadinya resistensi insulin.
3) Diabetes gestasional
Melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin
yang tidak cukup. Jenis diabetes ini terjadi selama kehamilan dan bisa saja meningkat
atau lenyap.
4) Diabetes tipe spesifik lain
Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
b. Manifestasi Klinis
Berbagai gejala dapat ditemukan pada penderita diabetes melitus. Kecurigaan adanya
diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus atau
yang disebut dengan “TRIAS DM” (poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya), kadar glukosa darah pada waktu puasa ≥
126 mg/dl (puasa disini artinya selama 8 jam tidak ada masukan kalori), kadar glukosa
darah acak atau dua jam sesudah makan ≥ 200 mg/dl, serta AIC ≥ 6,5%.
c. Faktor Resiko Diabetes Melitus
Faktor resiko penyebab diabetes melitus tipe 2 adalah riwayat keluarga dengan diabetes
melitus, obesitas, wanita dengan riwayat diabetes melitus gestasional, hipertensi, kurang
aktivitas, suku/ras dan sindrom metabolic (Le Mone & Black, 2011)21. Faktor resiko
diabetes melitus timbul akibat dari gangguan sensitivitas jaringan hati dan otot terhadap
insulin, gangguan sekresi insulin oleh sel β pankreas, kurangnya produksi insulin, dan
ketidakmampuan menggunakan insulin atau keduanya (ADA, 2014; Lewis dkk; 2011)22.
Insufisiensi produk insulin dan penurunan kemampuan tubuh menggunakan insulin pada
penderita diabetes melitus mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah
(hiperglikemia) maupun penurunan jumlah insulin efektif.
8
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
9
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Roadmap Penelitian
dst.
Gambar 2.3. Roadmap penelitian
10
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah crossectional dengan menggunakan
pendekatan retrospektif. Penelitian crossectional merupakan penelitian epidemiologis dimana
semua pengukuran variabel (dependen dan independen).
3.2. Populasi dan Sample
Populasi dalam penelitia ini adalah seluruh penduduk diatas umur 15 tahun yang tercatat dalam
data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 (Riskesdas 2018). Sampel dalam penelitian ini adalah
responden yang mengalami gangguan kesehatan mental emotional yang memiliki 6 gangguan
dari 20 gangguan.
3.3. Pengolahan Dan Analisis Data
Pengolahan data menggunakan peangkat lunak Stata, analisis akan di lakukan secara univeriat,
bivariat dan multifariat. Data yang diperoleh terlebih dahulu di Cleaning untuk memastikan
kelengkapa data.
3.4. Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan
kuesioner. Kuesioner merupakan serangkaian atau daftar pernyataan yang disusun sistematis,
kuesioner diisi oleh responden, setelah disi, kuesioner dikembalikan kepada kepada peneliti.
Definisi Operational adalah suatu definisi yang ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel
diamati atau diteliti.
3.5. Diagram Alir Penelitian
Tabel 3.1 Diagram Alir Penelitian
FOKUS DESAIN PROSEDUR OUTPUT
Tahun 2019
Memperoleh data
tentang determinan
kesehatan mental
emosional
Desain penelitian
deskriptif analitik.
Dengan populasi dan
sampel responden
survey riset
kesehatan dasar
tahun 2018.
Peneliti akan
mengajukan
permohonan
penggunaan data
kepada Litbangkes
untuk dianalisis
lanjut. Peneliti
bersama tim
Penelitian ini akan
menghasilkan dua
buah tesis di
program studi S2
IKM SPs
UHAMKA.
Tesis ini lebih lanjut
11
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
mahasiswa akan
melakukan analisis
lanjut penelitian.
akan ditulis menjadi
artikel ilmiah.
Penelitian ini akan
menjadi baseline
untuk pembuatan
media intervensi
promosi kesehatan.
12
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil penelitian
Hasil penelitian menunjukkan gambaran sosiodemografi perempuan penderita kanker
dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan usia, penduduk Indonesia usia 15 tahun keatas
perempuan yang menderita kanker tertinggi adalah kategori dewasa tengah+lanjut (≥40 tahun)
sebanyak 48,9%.
Diikuti dengan kategori pendidikan mayoritas penderita kanker perempuan usia 15 tahun
keatas adalah berpendidikan rendah sebanyak 67%. Berdasarkan status pekerjaan, perempuan
yang menderita kanker usia 15 tahun keatas memiliki persentase yang tidak terpaut jauh yaitu
perempuan tidak bekerja sebanyak 49,5% sedangkan perempuan bekerja 50,5%. Jika dilihat
berdasarkan tempat tinggal penderita kanker perempuan usia 1 5 tahun keatas yang mene tap di
perkotaan dan pedesaan memiliki sedikit selisih persentase sebanyak 50,3% dan 49.7%.
Kesehatan mental emosional pada penderita kanker perempuan di ukur berdasarkan 20
pertanyaan.
Persentase tertinggi ditunjukkan pada pertanyaan “sering menderita sakit kepala”
sebanyak 64,4%. Pada pertanyaan “sulit tidur” pada kenyataannya perempuan penderita kanker
mengalami sulit tidur sebanyak 50,8%. Persentase sama terlihat pada pertanyaan “ tidak nafsu
makan” dan pertanyaan ”merasa cemas atau kuatir” pada penderita kanker perempuan sebanyak
35,4% dan 35,5%. Pertanyaan “sulit menikmati kegiatan sehari” juga dirasakan oleh penderita
kanker perempuan sebanyak 20,7%. Penderita kanker perempuan perempuan 15 tahun keatas
mersakan mudah takut sebanyak 23,3% serta sering menangis 19,5%. Diketahui persentase
penderita kanker perempuan ingin mengakhiri kegidupan sebanyak 3,3%. Setelah melakukan
kategori pada 20 pertanyaan gangguan mental emosional, penderita kanker perempuan pada umur
15 tahun keatas mengalami gangguan kesehatan mental emosional sebanyak 34% sedangka
penderita kanker perempuan yang tidak mengalami gangguan mental emosional sebanyak 66%.
13
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Tabel.4. 1. Gambaran Karakteristik dan 20 pertanyaan mental emosional berdasarkan self
reporting questionaire
Karakteristik n %
Usia Dewasa awal (<40 tahun) 108247 49.9
Dewasa tengah+lanjut (≥40 tahun) 108729 50.1
Pendidikan Rendah 680 67.0
Tinggi 335 33.0
Pekerjaan Tidak Bekerja 502 49.5
Bekerja 513 50.5
Tempat Tinggal Perkotaan 511 50.3
Pedesaan 504 49.7
Hasil analisis bivariat menemukan ada hubungan antara penderita kanker dengan
kesehatan mental emosional. seseorang yang menderita kanker memiliki risiko 1,9 kali
dibandingkan bukan penderita kanker. Berdasarkan tingkat pendidikan terlihat ada hubungan
antara tingkat pendidikan dengan gangguan kesehatan mental.Seseorang yang memiliki
pendidikan rendah memiliki risiko 1,4 kali untuk mengalami gangguan kesehatan mental
emosional.
Hasil menunjukkan terdapat hubungan antara faktor umur penderita kanker terhadap
gangguan mental emosional. Variabel pekerjaan menunjukan adanya hubungan antara pekerjaan
dengan terjadinya gangguan kesehatan mental. seseorang yang tidak memiliki pekerjaan
memiliki risiko 1,15 kali mengalami gangguan kesehenatan mental emosional. Berdasarkan
tempat tinggal juga memiliki hubungan dengan gangguan kesehatan mental emosional.
Seseorang yang tinggal di perkotaan memiliki risiko 0,9 kali mengalami gangguan kesehatan
mental sebanyak 2,5 persen.
14
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Sumber: Data Riskesdas, 2018
Gambar 4.1. Gambar kesehatan mental emosional responden
Tabel 4.2. Kesehatan Mental Emosional Berdasarkan 20 Pertanyaan:
Pertanyaan Ya Tidak
n % n %
Apakah anda sering menderita sakit kepala? 654 64.4 361 35.6
Apakah anda tidak nafsu makan? 359 35,4 656 64.6
Apakah anda sulit tidur? 516 50,8 499 49,2
Apakah anda mudah takut? 237 23,3 778 76,7
Apakah anda merasa tegang, cemas atau kuatir? 360 35,5 655 64,5
Apakah tangan anda gemetar 218 21,5 797 78,5
Apakah pencernaan anda terganggu/ buruk? 229 22,6 788 77,4
Apakah anda sulit untuk berpikir jernih? 188 16.5 627 81,5
Apakah anda merasa tidak bahagia? 184 16,1 831 81,9
Apakah anda menangis lebih sering? 198 19,5 817 80.5
Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan
sehari-hari?
210 20,7 805 79,3
Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan? 178 17,5 837 82,5
Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu? 182 17,9 833
Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang
bermanfaat dalam hidup
103 10,1 912 89,9
Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal? 144 14,2 871 85,8
Apakah anda merasa tidak berharga? 109 10,7 908 89,3
Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri
hidup?
33 3,3 962 96,7
Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu? 273 26,9 26,9 26,9
Apakah anda mengalami rasa tidak enak di perut? 299 29,5 716 70,5
Apakah anda mudah lelah? 498 49,1 517 50,9
15
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Tabel 4.3. Analisis Faktor Risiko Kesehatan Mental Emosional terhadap Penderita Kanker
Variabel Kesehatan Mental Emosional Total OR P
value Gangguan
mental
Tidak gangguan
mental
n % n % n %
Penderita Kanker
Ya 349 34.4 666 65,6 1015 100 1.982 0,001
Tidak 45159 20,9 170802 79,1 215961 100
Pendidikan
Rendah 34671 22,8 117160 77.2 151831 100 1,483 0,001
Tinggi 10837 16,6 54308 83.4 65145 100
Umur
Dewasa Awal 21204 19,6 73038 81,3 89832 100 0,846 0,001
Dewasa Tengah+Lanjut 24304 21,8 52326 78,2 66939 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 21862 22.3 76109 77.7 97971 100 1,158 0,001
Bekerja 23646 19,9 95359 80.1 119005 100
Tempat Tinggal
Desa 18492 20,3 72628 79.7 91120 100 0,932 0,001
Perkotaan 27016 21.5 98840 78.5 125856 100
Sumber: Data Riskesdas, 2018
Tabel 4.4. Model Akhir
Uraian B SE OR Nilai p Wald df
Pendidikan .366 .013 1.442 0.000 853.176 1
Pekerjaan .133 .011 1.143 0.000 158.376 1
Umur -.086 .011 .917 0.000 62.595 1
1.198 0.010 3.313 0.000 13022.231 1
Analisis multivariat dengan regresi logistik dilakukan dengan seleksi kandidat. Pada tahap
ini, semua variable independen masuk ke dalam model, karena nilai p kurang dari 0,25. Hasil
pemodelan menunjukkan hasil akhir pada table 3.Variabel yang paling dominan mempengaruhi
kondisi mental emosional penderita kanker adalah variable pendidikan. Perempuan
berpendidikan rendah berisiko 1,442 kali mengalami gangguan mental daripada yang
berpendidikan tinggi.
4.2. Pembahasan
Telah dilakukan analisa data pada penderita kanker pada perempuan di inonesia sebanyak
1015 orang (Riskesdas, 2018). Kanker merupakan penyakit fisik yang menjadi salah satu
16
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
manifestasi klinis terkemukaka dimana menimbulkan gangguan psikososial, mental yang alami.
Berdasarkan data Riskesdas (2013) prevalensi penderita kanker sebanyak 2,2%, sedangakan data
Riskesdas (2018) sebanyak 2,85% terliha adanya peningkatan persentase dalam 5 terakhir (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Tingginya persentase penyakit kanker diiringi
dengan tingginya persentase penduduk 15 tahun keatas yang memiliki gangguan kesehatan
mental emosional.
Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat hubungan penderita kanker dengan gangguan
mental emosional sebanyak 34,4%. Seorang perempuan lebih banyak memiliki peluang untuk
menderita kanker dibandingkan laki-laki. Setiap perempuan berpotensi menderita kanker
payudara dengan risiko 1,148 kali. Kebiasaan aktifitas fisik/olahraga <4 jam/minggu mempunyai
risiko 1,222 untuk terkena kanker payudara (Yulianti et al., 2016).
Ketika seseorang terdiagnosis menderita kanker akan mengalami tekanan besar yang dapat
mengakibatkan stress dan depresi. Status stadium kanker semakin lanjut kecemasan dan depresi
yang dialami dapat mengganggu aktifitas hidup (Varcarolis, E. M., Halter, 2010). Berdasarkan
penelitian İzci dkk (2016), prevalensi gangguan psikologis pada pasien kanker sekitar 29%
hingga 47%, diantaranya memiliki gangguan kejiwaan cenderung terlihat stress, dan gangguan
depresi (Izci et al., 2016). Dalam penelitian Widoyono (2018), kategori depresi mendominasi
adalah depresi tingkat ringan sebanyak 45%, diikuti depresi berat 28% (Widoyono S. et al.,
2018).
Berdasarkan WHO (2012), perasaan cemah dan depresi sering mulai pada usia muda dan
sering berulang (WHO, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian ini dimana umur memiliki
hubungan dengan gangguan kesehatan mental emosional. Seseorang yang sedang mengalami
cemas dan depresi bisa terjadi pada usia berapa saja, umumnya semakin tua usia, gangguan
psikologis semakin meningkat. Terlihat dari penderita kanker yang memiliki gangguan
kesehatan mental mayoritas adalah pada usia lansia akhir sebanyak 26,6%. Lansia yang
memiliki satu penyakit kronis serta lebih dari satu penyakit kronis memiliki tingat kecemasan
yang berbeda. Kemasan pada lansia dengan penyakit kronis disebabkan tidak adanya kepastian
akan kesembuhan penyakit. Penderita cenderung hidup dengan penyakit yang diderita (Bestari &
Wati, 2016).
17
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dipunyai. Penderita
kanker yang memiliki pendidikan rendah cenderung memiliki gangguan mental sebanyak 22,8%.
Penelitian yang sama oleh Suwistianisa dkk, 2015, menunjukkan bahwa pendidikan rendah
memiliki tinggal depresi lebih tinggi sebanyak 73% (Rizki Suwistianisa,Nurul Huda, 2015).
Sesorang menderita penyakit kanker menyebabkan keterbatasan dalam hal gaya hidup
serta pekerjaan (Turner & Kelly, 2000). Penderita kanker perempuan yang tidak bekerja dan
bekerja tergambar memiliki perbedaan persentasi yang tidak terlalu signifikan .
Ditinjau dari tempat tinggal, seseorang yang tinggal di perkotaan lebih banyak mengalami
gangguan mental emosional. Hal ini terkait dengan tekanan hidup di perkotaan lebih besar
dibandingkan di perdesaan (Dharmayanti, Tjandrarini, Sari Hidayangsih, 2018).
18
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesehatan mental emosional merupakan salah satu indikator seseorang disebut sehat.
Prevalensi gangguan mental emosional pada perempuan yang menderita kanker sebanyak 34%.
Gangguan mental emosional pada penderita kanker dipengaruhi beberapa hal, seperti: faktor
usia, pekerjaan, riwayat penyakit, penyakit yang diderita, lingkungan. Penderita penyakit kanker
terkhusus pada perempuan dapat mempengaruhi kesehatan mental emosional mereka disebagai
seorang yang menjadi istri atau ibu dalam suatu rumah tangga. Terlihat dalam data riskesdas
prevalensi perempuan yang menderita kanker sebanyak 74%.
Kesehatan mental emosional pada penderita kanker dapat didukungan dari berbagai pihak.
Keluarga menjadi suatu sumber kekuatan yang akan memberikan ketenangan dan kekuatan dalam
penyembuhan.
5.2. Saran
Peran fasilitas kesehatan dapat mengarahkan penderita kanker pada aktifitas individu dan
komunitas. Dukungan tenaga kesehatan/ perawat juga perlu dilakukan asuhan keperawatan mulai
dari pengkajian hingga melakukan evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang dilakukan
untuk mencegah rasa cemas semakin memburuk. Serta peran pemerintah untuk tetap melakukan
sosialisasi pentingnya melakukan deteksi dini terhadap penyakit-penyakit tidak menular
terkhusus pada penyakit kanker.
19
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB VI
LUARAN YANG DICAPAI
Luaran yang dicapai berisi Identitas luaran penelitian yang dicapai oleh peneliti sesuai dengan
skema penelitian yang dipilih.
Jurnal
IDENTITAS JURNAL
1 Nama Jurnal Jurnal Kesehatan Masyarakat Maritim
2 Website Jurnal http://journal.unhas.ac.id/index.php/jkmmunhas
3 Status Makalah Submitted
4 Jenis Jurnal Jurnal Nasional terakreditasi.
4 Tanggal Submit 22 April 2020
5 Bukti Screenshot submit
Jurnal
IDENTITAS JURNAL
1 Nama Jurnal Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
2 Website Jurnal https://jurnal.umj.ac.id/index.php/JKK
3 Status Makalah Submitted
4 Jenis Prosiding Jurnal Nasional Terakreditasi
20
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
4 Tanggal Submit 24 April 2020
5 Bukti Screenshot submit
21
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB VII
RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI
Rencana tindak lanjut dan proyeksi hilirisasi adalah sebagai berikut
Hasil Penelitian Hasil analisis lanjut data riskesdas 2018 menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara karakteristik responden dengan
kesehatan mental emosional pada perempuan penderita kanker.
Analisis lanjut lainnya juga menunjukkan bahwa makan/minuman
berisiko sserta perilaku tidak sehat pada lansia berhubungan erat
dengan diabetes tipe 2 pada lansia. Hasil penelitian ini menegaskan
bahwa secara permanen perilaku hidup sehat perlu dibentuk pada
masyarakat dengan intervensi yang sesuai dengan target audiens
masing-masing.
Rencana Tindak
Lanjut
Rencana tindak lanjut adalah dengan melakukan penelitian dengan
literasi kesehatan dan pengembangan aplikasi hidup sehat berbasis
komunikasi perubahan perilaku.
22
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim R. 2003.Buku saku diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas dari PPDGJ. 3rd ed.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC;
2. Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang. Kemenkes
RI
3. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang. Kemenkes
RI
4. Widakdo.G. dan Besral. 2013. Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental
Emosional. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 7, Februari
2013.
5. Revenson T.A., and Hoyt M.A., 2016. Chronic Illness and Mental Health. In: Howard S.
Friedman (Editor in Chief), Encyclopedia of Mental Health, 2nd edition, Vol 1, Waltham,
MA: Academic Press, 2016, pp. 284-292.
6. Profil Kesehatan Sulawesi Tengah. 2017. Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah.
7. WHO. 2013. Mental Health Action Plan 2013-2020. Geneva: World Health Organization.
8. Artikel Kemenkes. 2016. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa
Masyarakat. http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatan-jiwa-masyarakat.html.
9. Yuniarti, K. W., Dewi, C., Ningrum, R. P., Widiastuti, M., & Asril,
N. M. (2013). Llness Perception, Stress, Religiosity, Depression, Social Support, and Self
Management of Diabetes in Indonesia. International Journal of Research Studies in
PsychologyVolume 2, Number 1, 25-41
10. Kumar, R. 2013. Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Tangerang
Selatan:Binarupa Aksar
11. Bukhori. B. 2012. Hubungan Kebermaknaan Hidup Dan Dukungan
Sosial Keluarga Dengan Kesehatan Mental Narapidana. (Studi Kasus Nara Pidana Kota
Semarang). Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni.
12. World Health Organization,UNICEF. 2003. Global strategy for
infant and young child feeding. Geneva: World Health Organization;
13. World Health Organization (2017). Mental disorders fact sheets.
World Health Organization. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs396/en/
14. Notosoedirjo, M. & Latipun. (2017). Kesehatan Mental. Malang:
cetakan kedua. UMM Press
15. Wade. Carole dan Carol Tavris. 2008. Psikologi Jilid 1, Edisi 9.
Jakarta: Erlangga
16. Nur Indah, I.,S. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Depresi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di GRHA Diabetika Surakarta. Skripsi.
Publikasi Ilmiah.
17. IDF. 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International
Diabetes Federation 2013.http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf.
23
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
18. Kumar, R. 2013. Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Tangerang
Selatan:Binarupa Aksar
19. ADA (American Diabetes Association). 2016. Standards of Medical
Care in Diabetes 2016. Diabetes Care.
20. American Diabetes Association (2010). Diagnosis and Clasification of Diabetes, Diabetes
Care 1 Januari 2014 vol : 27.
21. Lemone, P., & Burke, M.K. (2011). Medical-Surgical Nursing:
Critical Thinking In Clien Care. New Jersey: Pearson education Inc.
22. American Diabetes Association (2014). Genetics of Diabetes. (online) http://www.diabete.org/diabetes.basics/genetics-of-diabetes.html,
24
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Lampiran 1
Jurnal 1
Jurnal Kesehatan Maritim
KESEHATAN MENTAL EMOSIONAL PEREMPUAN PENDERITA KANKER
DI INDONESIA
Rizqiyani Khoiriyah1, Sarah Handayani2.
1 Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Prof Dr Hamka (Uhamka); 2. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka)
Email korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Hasil data Riset kesehatan dasar menunjukkan masalah gangguan kesehatan mental
emosional (depresi dan kecemasan) sebanyak 9,8%. Hal ini terlihat peningkatan jika
dibandingkan data Riskesdas tahun 2013 sebanyak 6%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan penyakit kanker terhadap gangguan mental emosional. Penelitian analitik dengan
rancangan potong lintang atau Cross-sectional dan non-intervensi. Penelitian ini menggunakan
data sekunder hasil Riskesdas 2018. Responden penelitian ini merupakan pada perempuan
penderita kanker usia 15 tahun ke atas sebanyak 1051 orang. Indikator penilaian seseorang
gangguan mental emosional berdasarkan kuesioner Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang
terdiri dari 20 pertanyaan, dinyatakan gangguan mental emosional jika responden mempunyai
minimal 6 dari 20 pertanyaan. Hasil univariat perempuan penderita kanker yang mengalami
gangguan mental emosional sebanyak 34%. Persentase penderita kanker perempuan tertinggi
adalah kategori dewasa tengah+lanjut (-65 tahun) sebanyak 48,9%, dengan mayoritas
berpendidikan rendah sebanyak 67%. Berdasarkan status pekerjaan, perempuan yang menderita
kanker tidak bekerja sebanyak 49,5% sedangkan perempuan bekerja sebanyak 50,5%.
Berdasarkan hasil bivariat terdapat hubungan yang signifikan antara penderita kanker perempuan
dengan kejadian kesehatan mental emosional (OR=1,982; nilai p=0,0001). Berdasarkan usia
(OR=0,846; nilai p=0,0001), tingkat pendidikan (OR=1,483; nilai p=0,0001), status pekerjaan
(OR=1,158; nilai p=0,0001) dan tempat tinggal (OR=0,932; p value=0,0001) memiliki hubungan
dengan gangguan kesehatan mental emosional. Analisis multivariat dengan regresi logistik
menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan rendah berisiko 1,442 kali mengalami gangguan
mental daripada perempuan berpendidikan tinggi.
Kata Kunci : Mental Emosional, Kanker, Perempuan
25
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
PENDAHULUAN Kesehatan mental menurut WHO
adalah kondisi kesejahteraan (well-being)
seorang individu yang menyadari
kemampuannya sendiri, dapat mengatasi
tekanan kehidupan yang normal, dapat
bekerja secara produktif dan mampu
memberikan kontribusi kepada komunitasnya
(WHO, 2013). Masalah gangguan mental
menurut data WHO (2012) di Asia, dalam 12
tahun terakhir menunjukkan adanya kenaikan.
Menurut WHO regional Asia Pasifik, jumlah
kasus gangguan depresi terbanyak ada di
India (56.675.969 kasus atau 4.5% dari
jumlah populasi), terendah di Maldives
(12.739 kasus atau 3,7% dari populasi).
Adapun di Indonesia sebanyak 9.162.886
kasus atau 3.7% dari populasi (Riskesdas,
2018).
Prevalensi jumlah gangguan jiwa di
Indonesia semakin signifikan dilihat dari data
Riskesdas) tahun 2018. Riskesdas mendata
masalah gangguan kesehatan mental
emosional (depresi dan kecemasan) sebanyak
9,8%. Hal ini terlihat peningkatan jika
dibandingkan data Riskesdas tahun 2013
sebanyak 6%. Tingginya peningkatan
masalah kesehatan mental emosional
berdasarkan kelompok umur, persentase
tertinggi pada usia 65-75 tahun keatas
sebanyak 28,6%, disusul kelompok umur 55-
64 tahun sebanyak 11%, kemudian kelompok
umur 45-54 tahun dan 15-24 tahun memiliki
persentase yang sama sebanyak 10%
(Riskesdas, 2018).
Gangguan kesehatan mental dapat
terjadi pada semua umur serta menunjukkan
berbagai masalah dengan berbagai gejala.
Umumnya dicirikan gejala abnormal pada
pikiran, emosi, perilaku dan hubungan
dengan orang lain. Seseorang yang memiliki
penyakit yang tidak adanya kepastian akan
kesembuhan akan mempengaruhi kesehatan
mental emosional (depsesi atau kecemasan)(
Bestari et al., 2016).
Berdasarkan analisis situasi kesehatan
mental pada masyarakat yang dilakukan
(Ayuningtyas et al., 2018), terdapat asosiasi
(hubungan) yang bermakna secara statistik
antara disabilitas (keterbatasan diri) dan
gangguan mental emosional. Berdasarkan
analisis lanjut data riskesdas 2013, diketahui
responden yang menderita satu penyakit
kronis (tuberkulosis paru, diabetes militus,
penyakit jantung, hepatitis, kanker dan
stroke) berisiko 2,6 kali lebih besar untuk
mengalami gangguan mental emosional,
begitu juga yang menderita dua penyakit
kronis berisiko 4,6 kali, yang menderita tiga
penyakit kronis atau lebih berisiko 11 kali
(Widakdo & Besral, 2013).
Selain penyakit itu, penderita kanker
banyak mengalami peningkatan depresi dan
penurunan parsial sampai total gerakan dari
lengan atau tungkai. Berdasarkan penelitian
(Dinuriah, 2016) adanya gangguan mental
pada penderita kanker sebanyak 64,2%,
dimana yang terdiagnosa gangguan mental
emosional, 100% mengalami gejala ansietas
tetapi tidak menutup kemungkinan
mengalami gejala-gejala lain sepeti depresi,
somatik, kognitif, dan penurunan energi.
Penyakit kanker merupakan salah satu
penyakit kronis yang berawal dari
pertumbuhan sel jaringan secara tidak normal
yang berubah menjadi kanker (Kemenkes,
2015). Prevalensi penyakit kanker
berdasarkan data Globocan pada tahun 2018
terdapat 18,1 juta kasus dengan jumlah
kematian sebanyak 9,6 juta orang (WHO,
2018). Dimana perbandiangannya 1 dari 5
laki-laki dan 1 dari 6 perempuan di dunia
mengalami kejadian kanker atau 1 dari 8 laki-
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
laki dan 1 dari 11 perempuan meninggal
disebabkan kanker.
Diiringi dengan peningkatan
prevalensi penyakit kanker pada perempuan
pada usia 15 tahun keatas. Berkaitan dengan
itu peneliti berpendapat perlu dilakukan
penelitian yang dapat membuktikan apakah
ada hubungan penyakit kanker dengan
kesehatan mental emosional pada perempuan
usia 15 tahun keatas di Indonesia.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
analitik dengan rancangan potong lintang atau
Cross-sectional dan non-intervensi. Penelitian
ini menggunakan data sekunder hasil riset
kesehatan dasar (Riskesdas 2018). Sampel
riskesdas 2018 berasal dari 34 provinsi yang
tersebar di seluruh Indonesia. Populasi
penelitian ini adalah semua penduduk
perempuan berusia 15 tahun keatas di
Indonesia. Metode pengambilan sample
dilakukan PPS (probability proportional to
size) menggunakan linear systematic
sampling. Sedangkan sampel adalah seluruh
perempuan penderita kanker sebanyak
216976 berusia 15 tahun keatas. Kriteria
sampel dalam data Riskesdas 2018 tidak
sedang mengalami gangguan jiwa, mampu
berkomunikasi dan menjawab seluruh
pertanyaan pada kuesioner. Pengukuran
gangguan mental emosional menggunakan
kuesioner Self Reporting Questionnaire
(SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan.
Kuesioner ini dikembangkan oleh World
Health Organization (WHO) sebagai alat
skrining gangguan jiwa yang terutama
digunakan di negara berkembang. Ke-20 butir
pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban
"ya" dan "tidak". Pertanyaan SRQ yang
terdiri 20 butir pertanyaan, akan digunakan
seluruhnya. Penilaian pada kuesioner
menggunakan nilai batas pisah 5/6 yang
berarti apabila responden menjawab minimal
6 atau lebih jawaban "ya", maka responden
tersebut diindikasikan mengalami masalah
kesehatan jiwa neurosis. Nilai batas pisah 5/6
ini didapatkan sesuai penelitian uji validitas
yang telah dilakukan Iwan Gani Hartono,
peneliti pada Badan Litbang Depkes tahun
1995. Penderita penyakit kanker adalah
berdasarkan hasil wawancara responden
pernah didiangnosis oleh petugas kesehatan
menderita penyakit kanker selama 12 bulan
terakhir sebelum survey. Pengambilan data
dilakukan melalui wawancara menggunakan
2 instrumen yaitu: instrumen rumah tangga
dan instrumen individu. Pertanyaan
Kesehatan mental emosional dengan kode
RKD18.IND pertanyaan individu C12 sampai
C31, sedangkan pertanyaan penyakit kanker
dengan kode RKD18. IND.B04.
Analisis univariat dilakukan bertujuan
untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian dalam
bentuk tabel ditribusi frekuensi. Untuk
mengetahui hubungan lebih lanjut dari satu
variabel independen dengan satu variabel
dependen dengan melakukan analisi bivariat.
Dalam analisis bivariat dilakukan berbagai
langkah pembuatan model. Model terkahir
terjadi apabila semua variabel independen
dengan dependen bernilai p < 0,05 maka
dinyatakan berhubungan satu sama lain.
HASIL Hasil penelitian menunjukkan
gambaran sosiodemografi perempuan
penderita kanker dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan usia, penduduk Indonesia usia
15 tahun keatas perempuan yang menderita
kanker tertinggi adalah kategori dewasa
tengah+lanjut (≥40 tahun) sebanyak 48,9%.
Diikuti dengan kategori pendidikan
mayoritas penderita kanker perempuan usia
15 tahun keatas adalah berpendidikan rendah
sebanyak 67%. Berdasarkan status pekerjaan,
perempuan yang menderita kanker usia 15
tahun keatas memiliki persentase yang tidak
terpaut jauh yaitu perempuan tidak bekerja
3
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
sebanyak 49,5% sedangkan perempuan
bekerja 50,5%. Jika dilihat berdasarkan
tempat tinggal penderita kanker perempuan
usia 15 tahun keatas yang mene tap di
perkotaan dan pedesaan memiliki sedikit
selisih persentase sebanyak 50,3% dan
49.7%. Kesehatan mental emosional pada
penderita kanker perempuan di ukur
berdasarkan 20 pertanyaan. Persentase
tertinggi ditunjukkan pada pertanyaan “sering
menderita sakit kepala” sebanyak 64,4%.
Pada pertanyaan “sulit tidur” pada
kenyataannya perempuan penderita kanker
mengalami sulit tidur sebanyak 50,8%.
Persentase sama terlihat pada pertanyaan “
tidak nafsu makan” dan pertanyaan ”merasa
cemas atau kuatir” pada penderita kanker
perempuan sebanyak 35,4% dan 35,5%.
Pertanyaan “sulit menikmati kegiatan sehari”
juga dirasakan oleh penderita kanker
perempuan sebanyak 20,7%. Penderita kanker
perempuan perempuan 15 tahun keatas
mersakan mudah takut sebanyak 23,3% serta
sering menangis 19,5%. Diketahui persentase
penderita kanker perempuan ingin
mengakhiri kegidupan sebanyak 3,3%.
Setelah melakukan kategori pada 20
pertanyaan gangguan mental emosional,
penderita kanker perempuan pada umur 15
tahun keatas mengalami gangguan kesehatan
mental emosional sebanyak 34% sedangka
penderita kanker perempuan yang tidak
mengalami gangguan mental emosional
sebanyak 66%.
Hasil analisis bivariat menemukan
ada hubungan antara penderita kanker dengan
kesehatan mental emosional. seseorang yang
menderita kanker memiliki risiko 1,9 kali
dibandingkan bukan penderita kanker.
Berdasarkan tingkat pendidikan terlihat ada
hubungan antara tingkat pendidikan dengan
gangguan kesehatan mental. Seseorang yang
memiliki pendidikan rendah memiliki risiko
1,4 kali untuk mengalami gangguan
kesehatan mental emosional.
Faktor umur memiliki risiko
terjadinya gangguan mental emosional.
Tabel 1. Gambaran karakteristik dan 20 pertanyaan kesehatan mental emosional berdasarkan
Self Reporting Questionnaire
Karakteristik n %
Usia Dewasa awal (<40 tahun) 108247 49.9
Dewasa tengah+lanjut (≥40 tahun) 108729 50.1
Pendidikan Rendah 680 67.0
Tinggi 335 33.0
Pekerjaan Tidak Bekerja 502 49.5
Bekerja 513 50.5
Tempat Tinggal Perkotaan 511 50.3
Pedesaan 504 49.7
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Total 216976 100
Kesehatan Mental Emosional di Ukur Berdasarkan 20 Pertanyaan:
Pertanyaan Ya Tidak
n % n %
Apakah anda sering menderita sakit kepala? 654 64.4 361 35.6
Apakah anda tidak nafsu makan? 359 35,4 656 64.6
Apakah anda sulit tidur? 516 50,8 499 49,2
Apakah anda mudah takut? 237 23,3 778 76,7
Apakah anda merasa tegang, cemas atau kuatir? 360 35,5 655 64,5
Apakah tangan anda gemetar 218 21,5 797 78,5
Apakah pencernaan anda terganggu/ buruk? 229 22,6 788 77,4
Apakah anda sulit untuk berpikir jernih? 188 16.5 627 81,5
Apakah anda merasa tidak bahagia? 184 16,1 831 81,9
Apakah anda menangis lebih sering? 198 19,5 817 80.5
Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan
sehari-hari?
210 20,7 805 79,3
Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan? 178 17,5 837 82,5
Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu? 182 17,9 833
Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang
bermanfaat dalam hidup
103 10,1 912 89,9
Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal? 144 14,2 871 85,8
Apakah anda merasa tidak berharga? 109 10,7 908 89,3
Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri
hidup?
33 3,3 962 96,7
Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu? 273 26,9 26,9 26,9
Apakah anda mengalami rasa tidak enak di perut? 299 29,5 716 70,5
3
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Apakah anda mudah lelah? 498 49,1 517 50,9
Sumber: Data Riskesdas, 2018
Gambar 1. Distribusi Gangguan Kesehatan Mental Emosional
Hasil menunjukkan terdapat hubungan antara
faktor umur penderita kanker terhadap
gangguan mental emosional. Variabel
pekerjaan menunjukan adanya hubungan
antara pekerjaan dengan terjadinya gangguan
kesehatan mental. seseorang yang tidak
memiliki pekerjaan memiliki risiko 1,15 kali
mengalami gangguan kesehenatan mental
emosional. Berdasarkan tempat tinggal juga
memiliki hubungan dengan gangguan
kesehatan mental emosional. Seseorang yang
Tinggal di perkotaan memiliki risiko 0,9 kali
mengalami gangguan kesehatan mental
sebanyak 2,5 persen.
Analisis multivariat dengan regresi
logistik dilakukan dengan seleksi kandidat.
Pada tahap ini, semua variable independen
masuk ke dalam model, karena nilai p kurang
dari 0,25. Hasil pemodelan menunjukkan
hasil akhir pada table 3.
Tabel 3 Model Akhir
Uraian B SE OR Nila
i p
Pendidika .366 .013 1.44 0.00
n 2
Pekerjaan .133 .011
1.14
3
0.00
Umur -.086 .011 .917 0.00
1.19
8
0.01
0
3.31
3
0.00
Variabel yang paling dominan
mempengaruhi kondisi mental emosional
penderita kanker adalah variable pendidikan.
Perempuan berpendidikan rendah berisiko
1,442 kali mengalami gangguan mental
daripada yang berpendidikan tinggi.
PEMBAHASAN
Telah dilakukan analisa data pada
penderita kanker pada perempuan di inonesia
sebanyak 1015 orang (Riskesdas, 2018).
Kanker merupakan penyakit fisik yang
menjadi salah satu manifestasi klinis
terkemukaka dimana menimbulkan gangguan
psikososial, mental yang alami. Berdasarkan
data Riskesdas (2013) prevalensi penderita
kanker sebanyak 2,2%, sedangakan data
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Riskesdas (2018) sebanyak 2,85% terliha
adanya peningkatan persentase dalam 5
terakhir (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013). Tingginya
persentase penyakit kanker diiringi dengan
tingginya persentase penduduk 15 tahun
keatas yang memiliki gangguan kesehatan
mental emosional.
Berdasarkan hasil penelitian ini
terdapat hubungan penderita kanker dengan
gangguan mental emosional sebanyak
34,4%. Seorang perempuan lebih banyak
memiliki peluang untuk menderita kanker
dibandingkan laki-laki. Setiap perempuan
berpotensi menderita kanker payudara
dengan risiko 1,148 kali. Kebiasaan aktifitas
fisik/olahraga <4 jam/minggu mempunyai
risiko 1,222 untuk terkena kanker payudara
(Yulianti et al., 2016).
Ketika seseorang terdiagnosis
menderita kanker akan mengalami tekanan
besar yang dapat mengakibatkan stress dan
depresi. Status stadium kanker semakin
lanjut kecemasan dan depresi yang dialami
dapat mengganggu aktifitas hidup
(Varcarolis, E. M., Halter, 2010).
Berdasarkan penelitian İzci dkk (2016),
prevalensi gangguan psikologis pada pasien
kanker sekitar 29% hingga 47%, diantaranya
memiliki gangguan kejiwaan cenderung
terlihat stress, dan gangguan depresi (Izci et
al., 2016). Dalam penelitian Widoyono
(2018), kategori depresi mendominasi
adalah depresi tingkat ringan sebanyak 45%,
diikuti depresi berat 28% (Widoyono S. et
al., 2018).
Berdasarkan WHO (2012), perasaan
cemah dan depresi sering mulai pada usia
muda dan sering berulang (WHO, 2012). Hal
ini sejalan dengan penelitian ini dimana
umur memiliki hubungan dengan gangguan
kesehatan mental emosional. Seseorang yang
sedang mengalami cemas dan depresi bisa
terjadi pada usia berapa saja, umumnya
semakin tua usia, gangguan psikologis
semakin meningkat. Terlihat dari penderita
kanker yang memiliki gangguan kesehatan
mental mayoritas adalah pada usia lansia
akhir sebanyak 26,6%. Lansia yang memiliki
satu penyakit kronis serta lebih dari satu
penyakit kronis memiliki tingat kecemasan
yang berbeda. Kemasan pada lansia dengan
penyakit kronis disebabkan tidak adanya
kepastian akan kesembuhan penyakit.
Penderita cenderung hidup dengan penyakit
yang diderita (Bestari & Wati, 2016).
Pengetahuan seseorang dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan yang dipunyai.
Penderita kanker yang memiliki pendidikan
rendah cenderung memiliki gangguan mental
sebanyak 22,8%. Penelitian yang sama oleh
Suwistianisa dkk, 2015, menunjukkan bahwa
pendidikan rendah memiliki tinggal depresi
lebih tinggi sebanyak 73% (Rizki
Suwistianisa,Nurul Huda, 2015).
Sesorang menderita penyakit kanker
menyebabkan keterbatasan dalam hal gaya
hidup serta pekerjaan (Turner & Kelly,
2000). Penderita kanker perempuan yang
tidak bekerja dan bekerja tergambar
memiliki perbedaan persentasi yang tidak
terlalu signifikan .
Ditinjau dari tempat tinggal,
seseorang yang tinggal di perkotaan lebih
banyak mengalami gangguan mental
emosional. Hal ini terkait dengan tekanan
hidup di perkotaan lebih besar dibandingkan
di perdesaan (Dharmayanti, Tjandrarini, Sari
Hidayangsih, 2018).
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Tabel 2. Analisis Faktor Risiko Kesehatan Mental Emosional terhadap Penderita Kanker
Variabel Kesehatan Mental Emosional Total OR P
value Gangguan
mental
Tidak gangguan
mental
n % n % n %
Penderita Kanker
Ya 349 34.4 666 65,6 1015 100 1.982 0,001
Tidak 45159 20,9 170802 79,1 215961 100
Pendidikan
Rendah 34671 22,8 117160 77.2 151831 100 1,483 0,001
Tinggi 10837 16,6 54308 83.4 65145 100
Umur
Dewasa Awal 21204 19,6 73038 81,3 89832 100 0,846 0,001
Dewasa Tengah+Lanjut 24304 21,8 52326 78,2 66939 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 21862 22.3 76109 77.7 97971 100 1,158 0,001
Bekerja 23646 19,9 95359 80.1 119005 100
Tempat Tinggal
Desa 18492 20,3 72628 79.7 91120 100 0,932 0,001
Perkotaan 27016 21.5 98840 78.5 125856 100
Sumber: Data Riskesdas, 2018
Tabe; 3. Model Akhir
Uraian B SE OR Nilai p Wald df
Pendidikan .366 .013 1.442 0.000 853.176 1
Pekerjaan .133 .011 1.143 0.000 158.376 1
Umur -.086 .011 .917 0.000 62.595 1
1.198 0.010 3.313 0.000 13022.231 1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesehatan mental emosional merupakan salah satu indikator seseorang disebut sehat.
Prevalensi gangguan mental emosional pada perempuan yang menderita kanker sebanyak 34%.
Gangguan mental emosional pada penderita kanker dipengaruhi beberapa hal, seperti: faktor
usia, pekerjaan, riwayat penyakit, penyakit yang diderita, lingkungan. Penderita penyakit kanker
terkhusus pada perempuan dapat mempengaruhi kesehatan mental emosional mereka disebagai
seorang yang menjadi istri atau ibu dalam suatu rumah tangga. Terlihat dalam data riskesdas
prevalensi perempuan yang menderita kanker sebanyak 74%.
Kesehatan mental emosional pada penderita kanker dapat didukungan dari berbagai pihak.
Keluarga menjadi suatu sumber kekuatan yang akan memberikan ketenangan dan kekuatan dalam
penyembuhan. Peran fasilitas kesehatan dapat mengarahkan penderita kanker pada aktifitas
individu dan komunitas. Dukungan tenaga kesehatan/ perawat juga perlu dilakukan asuhan
keperawatan mulai dari pengkajian hingga melakukan evaluasi terhadap intervensi keperawatan
yang dilakukan untuk mencegah rasa cemas semakin memburuk. Serta peran pemerintah untuk
tetap melakukan sosialisasi pentingnya melakukan deteksi dini terhadap penyakit-penyakit tidak
menular terkhusus pada penyakit kanker.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Lembaga Pengembangan dan
Pengembangan (Lemlitbang) Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka yang telah
memberikan bantuan dana untuk kegiatan penelitian ini. Tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia (Litbangkes RI)
yang telah memberikan kesempatan untuk memanfaatkan data Riskesdas 2018. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada para pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan artikel
ini
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningtyas, D., Misnaniarti, M., & Rayhani, M. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental
Pada Masyarakat Di Indonesia Dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 9(1), 1–10. https://doi.org/10.26553/jikm.2018.9.1.1-10
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Laporan Nasional 2013. https://doi.org/1 Desember 2013
Bestari, B. K., & Wati, D. N. K. (2016). Penyakit Kronis Lebih dari Satu Menimbulkan
Peningkatan Perasaan Cemas pada Lansia Di Kecamatan Cibinong. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 19(1), 49–54. https://doi.org/10.7454/jki.v19i1.433
Dharmayanti, Tjandrarini, Sari Hidayangsih, N. (2018). Pengaruh Kondisi KESEHATAN
Lingkungan Dan Sosial Ekonomi Terhadap Kesehatan Mental Di Indonesia. Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 17 No(September 2018), 64–67.
Dinuriah, S. (2016). Gambaran Gangguan Mental Emosional Pada Penderita Kanker dalam
Masa Kemoterapi di RSU Kabupaten Tangerang.
Izci, F., Ilgun, A. S., Findikli, E., & Ozmen, V. (2016). Psychiatric Symptoms and Psychosocial
Problems in Patients with Breast Cancer. Journal of Breast Health.
https://doi.org/10.5152/tjbh.2016.3041
Kemenkes. (2015). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015. In Profil Kesehatan
Indonesia 2014.
Riskesdas. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 1–100. https://doi.org/1 Desember 2013
Rizki Suwistianisa,Nurul Huda, J. E. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat depresi
pada Pasien Kanker yang dirawat di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. JOM Vol 2 No 2,.
https://media.neliti.com/media/publications/188107-ID-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-
tingkat.pdf
Turner, J., & Kelly, B. (2000). Emosional dimensions of chronic disease. Western Journal of
Medicine. https://doi.org/10.1136/ewjm.172.2.124
Varcarolis, E. M., Halter, M. J. (2010). Foundations of Psychoterapy Mental Health Nursing: A
Clinical Approach 6th Edition. New York. Elsevier Inc.
WHO. (2012). Depression, a global public health concern.
WHO. (2013). Global action plan for the prevention and control of noncommunicable diseases
2013-2020. World Health Organization. https://doi.org/978 92 4 1506236
WHO. (2018). Globocan 2018 - Home. In Globocan 2018.
Widakdo, G., & Besral, B. (2013). Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental Emosional.
Kesmas: National Public Health Journal. https://doi.org/10.21109/kesmas.v7i7.29
Widoyono S., Setiyarni, S., & Effendy, C. (2018). Tingkat Depresi pada Pasien Kanker di RSUP
Dr. Sardjito, Yogyakarta, dan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto: Pilot Study.
Indonesian Journal of Cancer. https://doi.org/10.33371/IJOC.V11I4.535
Yulianti, I., Santoso, H., & Sutinigsih, D. (2016). FAKTOR-FAKTOR RISIKO KANKER
PAYUDARA (Studi Kasus Pada Rumah Sakit Ken Saras Semarang). Jurnal Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro.
Lampiran 2
Jurnal MKK
KEJADIAN DIABETES MELLITUS TIPE II PADA LANSIA DI
INDONESIA (ANALISIS RISKESDAS 2018)
1Fibra Milita 1, 2Sarah Handayani 1,
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Prof.Dr HAMKA
Alamat Jl. Warung Jati Barat, Blok Darul Muslimin No.17 RT.2/RW, RT.2/RW.5, Kalibata, Kec. Pancoran, Kota
Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12740
Email : [email protected]
Diterima : DD MM YYY Direvisi : DD MM YYY Disetujui : DD MM YYY
ABSTRAK
Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan ciri khas hiperglikemi yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. Diabetes tipe 2 merupakan 90%
dari seluruh kategori diabetes mellitus. Populasi lansia diprediksi terus mengalami peningkatan.
Lansia secara alami juga akan menghadapi masalah yaitu penurunan kesehatan. Salah satu
penyakit yang menyertai lansia adalah Diabetes Mellitus. Tujuan dari penelitian ini mengetahui
faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Penelitian ini bersifat analitik dengan disain studi cross sectional. Penelitian ini merupakan
analisis data sekunder dengan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar 2018. Hasil uji statistik
menunjukan variabel-variabel yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di
Indonesia antara lain karakteristik responden yang terdiri dari pendidikan (OR = 0,403, nilai p =
0,000) dan pekerjaan (OR = 3,010, nilai p = 0,000) kemudian aktivitas fisik (OR = 1,466, nilai p
= 0,000), kebiasaan merokok (OR = 0,764, nilai p = 0,000), konsumsi buah dan sayur (OR =
0,797, nilai p = 0,000) obesitas (OR = 1,896, nilai p= 0,000) dan riwayat hipertensi (OR = 1,960,
nilai p = 0,000). Sedangkan untuk variabel makanan/minuman yang berisiko yang berhubungan
dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia antara lain makanan manis (OR = 0,374,
nilai p = 0,000), minuman manis (OR = 0,217, nilai p = 0,000), makanan asin (OR = 0,744, nilai
p = 0,000), makanan berlemak (OR = 0,909, nilai p = 0,013), bumbu penyedap (OR = 0,744, nilai
p = 0,000), soft drink (OR = 0,804, nilai p = 0,021), minuman berenergi (OR = 0,728, nilai
p=0,004) dan mie instant (OR = 0,686, nilai p = 0,000)
.
Kata kunci: Diabetes Melitus, Lansia, Makan/minum Berisiko, Perilaku Sehat
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with symptomatic hyperglycemia that occurs
due to abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Type 2 diabetes is 90% of all
categories of diabetes mellitus. The elderly population is predicted to continue to increase. The
Elderly will also naturally face a problem that is a decrease in health. One of the diseases that
accompany the elderly is Diabetes Mellitus. The purpose of this study is to determine the risk
factors associated with the incidence of type 2 diabetes in the elderly in Indonesia. This research
is analytic with a cross-sectional study design. This study is a secondary data analysis using the
2018 Basic Health Research data. The results of statistical tests show variables related to the
incidence of type 2 diabetes in the elderly in Indonesia, including the characteristics of
respondents consisting of education (OR=0,403 and p-value=0,000) and employment (OR=3,010
and p-value=0,000) and then physical activity (OR=1,466 and p-value=0,000), smoking habits
(OR=0,764 and p-value=0,000), fruit and vegetables consumption (OR=0,797 and p-
value=0,000), obesity (OR=1,896 and p-value=0,000), and history of hypertension (OR=1,960
and p-value=0,000). Meanwhile, food and beverage intake at risk with type 2 diabetes mellitus
in the elderly in Indonesia, among others, sweety foods (OR=0,374, p-value=0,000), sweety
drinks (OR=0,217, p-value=0.000), salty foods (OR=0,744, p-value=0,000), fatty foods
(OR=0,909, p-value=0,013), seasonings (OR=0,744, p-value=0,000), soft drinks (OR=0,804, p-
value=0,021), drinks energized (OR=0,728, p-value = 0,004) and instant noodles (OR,=0.686, p-
value = 0,000.
Keywords: Diabetes mellitus, the elderly, high risk food and drink, healthy lifestyle
Pendahuluan
Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan ciri khas hiperglikemi
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. (1) Diabetes
mellitus adalah masalah kesehatan yang penting karena termasuk salah satu dari empat
penyakit tidak menular yang menjadi target tindak lanjut oleh para pemipin negara. Jumlah
kasus dan dan prevelansi dibetes mellitus terus meningkat sampai beberapa tahun yang akan
datang.(2)
Jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia semakin bertambah setiap tahunnya, hal ini
disebabkan peningkatan jumlah populasi, usia, prevalensi obesitas dan penurunan aktivitas
fisik.(3) Diperkirakan 422 juta penduduk dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014
dibandingkan 108 juta pada tahun 1980 dan pada tahun 2040 jumlahnya akan meningkat
menjadi 642 juta.(4) Prevalensi diabetes di dunia meningkat hampir dua kali lipat. Hal ini
menandakan peningkatan faktor risiko seperti kelebihan berat badan atau obesitas. Selama
dekade terakhir, prevalensi diabetes meningkat cepat di negara berpenghasilan rendah dan
menengah dibandingan negara berpenghasilan tinggi.(5)
WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.(2) Menurut
International Diabetes Federation (IDF) diperkirakan adanya peningkatan jumlah penderita DM
di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Laporan Riset
Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukan bahwa prevalensi DM di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun adalah 2%. Hal ini menunjukkan
bahwa ada peningkatan prevalensi DM di Indonesia dibandingkan hasil Riskesdas 2013 yaitu
1,5%. Berdasarkan kategori usia, penderita DM terbanyak berada pada rentang usia 55-64 tahun
dan 65-74 tahun.
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.(6) Populasi lansia
diprediksi terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah lansia dapat berdampak positif,
jika lansia indonesia berada dalam keadaan mandiri, sehat, dan produktif. Sedangkan dampak
negatif dari peningkatan jumlah lansia adalah meningkatnya beban penduduk usia produktif
terhadap penduduk usia nonproduktif, khususnya lansia.(7) Lansia secara alami juga akan
menghadapi masalah yaitu penurunan kesehatan. Salah satu penyakit yang menyertai lansia
adalah Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus merupakan silent killer disease, karena banyak tidak disadari oleh
penderitanya dan saat sudah diketahui sudah terjadi komplikasi. Terdapat dua kategori diabetes
mellitus antara lain diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Pada penelitian ini kategori yang akan
dibahas adalah diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 adalah disebut juga non-insulin dependent yang
disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif. Diabetes tipe 2 merupakan 90% dari
seluruh kategori diabetes mellitus. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain gangguan sistem
kardiovaskular seperti atherosklerosis, retinopati, gangguan fungsi ginjal dan kerusakan saraf.
Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia
sebesar 6,7%.
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia perlu dicegah. Salah satu cara
untuk mencegahnya adalah dengan mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya diabetes mellitus dimasyarakat. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu bahwa
faktor perilaku, sosiodemografi dan gaya hidup serta keadaan klinis atau mental dapat
mempengaruhi kejadian diabetes mellitus. Faktor sosiodemografi antara lain, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Faktor-faktor perilaku antara lain
konsumsi sayur dan buah, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan aktivitas fisik.
Lansia yang menderita DM yang cukup lama pada umumnya memiliki kualitas hidup yang
kurang baik karena memiliki pengaruh negatif terhadap fisik dan psikologis para penderita.
Penderita DM ini biasanya sudah tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan tidak dapat
beraktifitas sosial.(8)
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin meneliti tentang Kejadian Diabetes
Mellitus Tipe II Pada Lansia di Indonesia.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dengan menggunakan data Riset Kesehatan
Dasar 2018 (Riskesdas/RKD18). Riskesdas 2018 adalah sebuah survei yang dilakukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Riskesdas 2018 adalah survey yang dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penduduk lanjut usia (≥60 tahun) di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sampel pada penelitian ini adalah penduduk lanjut usia (≥ 60 tahun) yang tercatat pada data
Riskesdas 2018 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
(1) Kriteria inklusi yaitu mereka yang berada yang usia nya > 60 tahun dan dilibatkan dalam
wawancara langsung;
(2) Kriteria eksklusi yaitu mereka yang memiliki data hasil kuesioner dan wawancara yang tidak
lengkap pada semua variabel penelitian.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status
pekerjaan, riwayat hipertensi, makanan/minuman berisiko, konsumsi buah dan sayur, kebiasaan
merokok, aktifitas fisik, kebiasaan minum alkohol dan status gizi. Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2.
Hasil
Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik responden.
Karakteristik
Responden
Frekuen
si (n)
Persenta
se (%)
Umur
a. Usia Lanjut
Berisiko Tinggi (≥
65 tahun)
b. Usia Lanjut Dini
(60-64 tahun)
38695
19098
67
33
Jenis Kelamin
a. Laki-Laki
b. Perempuan
25795
31998
44,6
55,4
Pendidikan
Tertinggi
a. Rendah (tamat SD
– SMP)
b. Tinggi (tamat
SMA–Perguruan
tinggi)
48824
8969
84,5
15,5
Jenis Pekerjaan
a. Ringan - Sedang
b. Berat
37554
20239
65
35
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden pada penelitian ini, berusia di atas 65
tahun (usia lanjut berisiko tinggi) yaitu sebanyak 67%. Adapun untuk jenis kelamin mayoritas
responden adalah perempuan (55,4%). Berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi, sebagian besar
responden adalah lulusan SD hingga SMP (pendidikan rendah) yaitu sebanyak 84,5%. Sedangkan
jika dilihat dari jenis pekerjaan, mayoritas responden yaitu sebanyak 65% memiliki pekerjaan
dengan derajat ringan-sedang. Jenis-jenis pekerjaan dengan derajat ringan antara lain tidak
bekerja, ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, pegawai BUMN dan swasta. Jenis pekerjaan
dengan derajat sedang antara lain TNI, Polri, wiraswasta, pedagang dan pelayanan jasa.
Gambaran Riwayat Hipertensi
Gambar 1. Gambaran riwayat hipertensi
Gambar 1. Menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 68,4% tidak memiliki
riwayat hipertensi.
Tabel 2 menunjukkan mayoritas responden mengkonsumsi makanan/minuman berisiko
dengan frekuensi ≥ 1 kali/hari atau 1-6 kali/minggu (makanan manis, minuman manis, makanan
asin, makanan lemak dan bumbu penyedap). Sedangkan untuk jenis makanan bakar, makanan
pengawet, soft drink, minuman berenergi dan mie instant responden mengkonsumsi dengan
frekuensi ≤ 3 kali/bulan.
Tabel 2. Gambaran pola makan berisiko
Konsumsi
Makanan/Minuma
n Berisiko
Frekuen
si (n)
Persentase
(%)
Makanan Manis
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
45758
12035
79,2
20,8
Minuman Manis
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
49433
8360
85,5
14,5
Makanan Asin
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
34172
23621
59,1
40,9
Makanan Lemak
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
44584
13209
77,1
22,9
Makanan Bakar
a. ≥ 1 kali/hari
19534
33,8
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
38259
66,2
Makanan
Pengawet
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
7085
50708
12,3
87,7
Bumbu Penyedap
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
46276
11517
80,1
19,9
Soft Drink
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
2244
55549
3,9
96,1
Minuman
Berenergi
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
1178
56015
3,1
96,9
Mie Instant
a. ≥ 1 kali/hari
atau 1-6
kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
22011
35782
38,1
61,9
Total 100
Tabel 3 menggambarkan tentang perilaku responden tentang konsumsi makan buah dan sayur,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, status gizi dan aktivitas fisiknya. Mayoritas responden
sebanyak 86,8% kurang mengkonsumsi buah dan sayur setiap harinya, yaitu hanya mampu
mengkonsumsi buah dan sayur < 5 porsi per hari. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 65,8%
memiliki kebiasaan merokok atau riwayat merokok.
Responden pada penelitian ini hanya sebagian kecil yang memiliki kebiasaan minum alkohol
yaitu sebanyak 2%. Berdasarkan status gizi, hanya 27,8% responden yang mengalami kelebihan
berat badan, sedangkan 72,2% responden tidak mengalami kelebihan berat badan.
Tabel 3. Distribusi perilaku hidup sehat Konsumsi Buah dan
Sayur
Frekuensi (n) Persentase
(%)
a. Kurang (< 5 porsi
perhari)
b. Cukup (≥ 5 porsi
perhari)
50185
7608
86,8
13,2
Kebiasaan Merokok
a. Tidak Pernah
Merokok
b. Pernah Merokok
19756
38037
34,2
65,8
Alkohol
a. Ya
b. Tidak
1154
56639
2
98
Status Gizi
a. Kelebihan BB
b. Tidak Kelebihan BB
16039
41754
27,8
72,2
Aktivitas Fisik
a. Kurang (< 150 menit
per minggu)
b. Cukup (≥ 150 menit
per minggu)
43535
14258
75,3
24,7
Total 57793 100
Hasil analisis bivariat pada tabel 4 menunjukkan bahwa dari responden yang berumur 60-64
tahun, 8% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari responden yang berumur ≥ 65 tahun, 6,2%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan 0,000 (p>0,05). Hal tersebut
menunjukkan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada
lansia di Indonesia.
Tabel 4. Menunjukkan bahwa dari 25795 responden yang berjenis kelamin laki-laki, 6,2%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 31998 responden yang berjenis kelamin perempuan,
7,4% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p>0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia. Dari 48824 responden yang tergolong tergolong
pendidikan rendah, 5,7% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 8969 responden yang
tergolong pendidikan tinggi, 13% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p sebesar 0,000 (p<
0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Toal responden dengan jenis pekerjaan ringan-sedang, 8,8% diantaranya mengalami DM tipe
2. Sedangkan dari responden dengan jenis
pekerjaan berat hanya 3,1% yang mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai 0,000
(p<0,05). Artinya bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe
2 pada lansia di Indonesia. Responden dengan pekerjaan ringan-sedang memiliki peluang tiga
kali untuk terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan responden dengan derajat pekerjaan berat
(OR=3,010, 95% CI:2,759-3,283)
Tabel 4 menunjukkan dari 18262 responden yang memiliki riwayat hipertensi, 10%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Selanjutnya dari 39531 responden yang tidak memiliki
riwayat hipertensi, 5,4% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p sebesar 0,000 (p<0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa riwayat hipertensi memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Responden dengan riwayat hipertensi memiliki peluang hampir dua kali untuk terkena DM
tipe 2 dibandingkan dengan responden dengan derajat pekerjaan berat (OR=1,960, 95%
CI:1,837-2,092).
Tabel 4. Hubungan karakteristik responden dan riwayat hipertensi dengan kejadian DM tipe 2
Variabel
Kejadian DMT2
Nilai p
Ya
n (%)
Tidak
n (%)
OR
(95%
CI)
Umur
a. ≥ 65 tahun (usia lanjut berisiko
tinggi)
b. 60-64 tahun (usia lanjut dini)
Jenis Kelamin
a. Laki-Laki
b. Perempuan
Pendidikan
a. Rendah (tidak
sekolah, tamat SD – SMP)
b. Tinggi (tamat
SMA–Perguruan tinggi)
Pekerjaan
a. Ringan-Sedang
b. Berat
Riw.Hipertensi
a. Ya
b. Tidak
2420 (6,3)
1533 (8)
1598 (6,2)
2355
(7,4)
2783
(5,7)
1170
(13)
3321
(8,8)
632
(3,1)
1829
(10) 2124
(5,4)
36275 (93,7)
17565 (92)
24197 (93,8)
29643
(92,6)
46041
(94,3)
7799
(87)
34233
(91,2)
19607
(96,9)
16433
(90) 37407
(94,6)
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,764
0,831
0,403
3,010
1,960
Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis makanan/minuman yang berisiko yang memiliki hubungan
yang signifikan terhadap kejadian DM tipe 2 antara lain makanan manis, minuman manis,
makanan asin, makanan lemak, bumbu penyedap, soft drink, minuman berenergi dan mie instant.
Sedangkan jenis makanan bakar dan makanan pengawet tidak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap kejadian DM tipe 2.
Tabel 5. Hubungan makanan berisiko dengan kejadian DM tipe 2
Makanan/Minuman
Berisiko
Kejadian
DMT2 Nilai
p
OR
(95%
CI) Ya
n
(%)
Tidak
n (%)
Makanan Manis
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
2402
(5,2)
1551
(12,9)
43356
(94,8)
10484
(87,1)
0,000
0,374
Minuman Manis
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
2377
(4,8)
1576
(18,9)
47056
(95,2)
6784
(81,1)
0,000 0,217
Makanan Asin
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
2069
(6,1)
1884
(8)
32103
(93,9)
21737
(92)
0,000 0,744
Makanan Lemak
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
2986
(6,7)
41598
(93,3)
0,013 0,909
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
967
(7,3)
12242
(92,7)
Makanan Bakar
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
1355
(6,9)
2598
(6,8)
18179
(93,1)
35661
(93,2)
0,522 1,023
Makanan Pengawet
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
473
(6,7)
3480
(6,9)
6612
(93,3)
47228
(93,1)
0,577
0,971
Bumbu Penyedap
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
2978
(6,4)
975
(8,5)
43298
(93,6)
10542
(91,5)
0,000
0,744
Drink
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak pernah
126
(5,6)
3827
(6,9)
2118
(94,4)
51722
(93,1)
0,021
0,804
Min.Berenergi
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
91
(5,1)
3862
(6,9)
1687
(94,9)
52153
(93,1)
0,004
0,728
Mie Instant
a. ≥ 1 kali/hari atau
1-6 kali/minggu
b. ≤ 3 kali/bulan
atau tidak
pernah
1193
(5,4)
2760
(7,7)
20818
(94,6)
33022
(92,3)
0,000 0,686
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa dari 50185 responden yang mengkonsumsi buah dan
sayur sebanyak < 5 porsi per hari (kurang), 6,6% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 7608
responden yang mengkonsumsi buah dan sayur sebanyak ≥ 5 porsi per hari (cukup), 8,2%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p sebesar 0,000 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan
bahwa konsumsi buah dan sayur memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2
pada lansia di Indonesia.
Total responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok, 5,7% diantaranya mengalami DM
tipe 2. Dari 38037 responden yang memiliki kebiasaan merokok, 7,4% diantaranya mengalami
DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
kebiasaan merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di
Indonesia.
Berdasarkan tabel 6 . diketahui bahwa dari 43535 responden yang memiliki aktivitas fisik
kurang yaitu < 150 menit per minggu, 7,4% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 14258
responden yang memiliki aktivitas fisik cukup yaitu ≥ 150 menit per minggu, 5,2% di antaranya
mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p<0,05). Hal tersebut
menunjukkan bahwa aktifitas fisik memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe
2 pada lansia di Indonesia. Responden dengan aktifitas fisik kurang memiliki peluang hampir 1,4
kali untuk terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan responden dengan aktifitas fisik cukup
(OR=1,466, 95% CI:1,350-1,592).
Berdasarkan tabel 6. diketahui bahwa dari 1154 responden yang memiliki kebiasaan minum
alkohol, 3,6% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 56639 responden yang tidak memiliki
kebiasaan minum alkohol, 6,9% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai
sebesar 0,000 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan minum alkohol memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Tabel 6 Hubungan perilaku dengan kejadian DM tipe 2
Variabel
Kejadian DMT2 OR
(95%
CI)
Sig. Ya
n (%)
Tidak
n (%)
Konsumsi
sayur dan buah a. Kurang (< 5
porsi per hari)
b. Cukup (≥ 5
porsi per hari)
3330 (6,6)
623
(8,2)
46855 (93,4)
6985
(91,8)
0,797
0,000
Riw. Merokok
a. Merokok /
pernah
merokok
b. Tidak
pernah merokok
1137
(5,8)
2816
(7,4)
18619
(94,2)
35221
(92,6)
0,764
0,000
Aktifitas Fisik
a. Kurang
b. Cukup
3217 (7,4)
736
(5,2)
40318 (92,6)
13522
(94,8)
1,466
0,000
Konsumsi
Alkohol
a. Ya
b. Tidak
41 (3,6)
3912
(6,9)
1113 (96,4)
52727
(93,1)
0,497
0,000
Status Gizi
a. Kelebihan
BB
b. Tidak
kelebihan BB
1619 (10,1)
2334 (5,6)
14420 (89,9)
39420 (94,4)
1,896
0,000
Berdasarkan tabel 6. diketahui bahwa dari 16309 responden yang tidak mengalami kelebihan
berat badan, 10,1% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 41754 responden yang mengalami
kelebihan berat badan, 5,6% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai
sebesar 0,000 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kelebihan berat badan memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Pembahasan
Manusia mengalami perubahan secara fisiologis secara drastis menurun setelah mencapai usia
40 tahun. Diabetes mellitus sering muncul setelah seseorang memasuki rentang usia tersebut. Hasil
penelitian menyatakan dari 3953 responden yang menderita DM tipe 2 didapatkan rentang usia 60-
64 tahun sebesar 1533 responden (8%) sedangkan rentang usia ≥ 65 tahun sebesar 2420 responden
(6,3%). Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2014), umur lansia awal
memiliki risiko sebesar 2,28 kali lebih besar terkena DM tipe 2 dibandingkan umur manula. Hasil
uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara umur dan kejadian DM tipe 2 (p value
= 0,000).(9)
Berdasarkan hasil penelitian penderita DM tipe 2 pada lansia laki-laki sebesar 1598 responden
dan pada perempuan sebesar 2355 responden. Dari hasil uji statistik didapatkan p value = 0,000
artinya ada hubungan signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian DM tipe 2. Hal ini sejalan
dengan penelitian Allolerung (2018) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian DM tipe 2 dengan nilai p=0,044 dan OR= 2,777 hal ini menunjukkan bahwa
responden dengan jenis kelamin perempuan memiliki risiko untuk terkena DM tipe 2 2,777 kali
lebih besar dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki.
Tingginya kejadian diabetes melitus pada perempuan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan
komposisi tubuh dan perbedaan kadar hormon seksual antara perempuan dan laki-laki dewasa.
Perempuan memiliki jaringan adiposa lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat diketahui
dari perbedaan kadar lemak normal antara laki-laki dan perempuan dewasa, dimana pada laki-laki
berkisar antara 15–20% sedangkan pada perempuan berkisar antara 20–25% dari berat badan.
Penurunan konsentrasi hormon estrogen pada perempuan menopause menyebabkan peningkatan
cadangan lemak tubuh terutama di daerah abdomen yang akan meningkatkan pengeluaran asam
lemak bebas Kedua kondisi ini menyebabkan resistensi insulin.
Berdasarkan hasil peneltian, lansia yang berpendidikan rendah sebesar 2783 responden dan
yang berpendidikan tinggi sebesar 1170 responden. Dari hasil uji statistik didapatkan p value
0,000 artinya ada hubungan signifikan antara pendidikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di
Indonesia, dengan nilai OR sebesar 0,403. Artinya bahwa responden yang memiliki tingkat
pendidikan hingga tinggi memiliki risiko 0,403 kali lipat mengalami DM tipe 2 lebih besar
dibandingkan dengan pendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Ramadhan (2017) yaitu
ada hubungan signifikan antara tingkat pendidikan terhadap kejadian DM tipe 2 pada lansia di
indonesia dengan nilai p value 0,003.(10)
Pendidikan berkaitan dengan kesadaran khususnya dalam masalah kesehatan. Semakin
rendahnya tingkat pendidikan maka cenderung tidak mengetahui gejala-gejala terkait penyakit
diabetes melitus tipe 2 .(11)
Berdasarkan hasil penelitian, DM tipe 2 yang respondennya di kategorikan menjadi 2 yaitu,
ringan – sedang sebesar 3321 responden dan 632 responden dengan status pekerjaan berat. Data
dari hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0,000 yang artinya pada hubungan signifikan
antara status pekerjaan dan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia dengan nilai OR sebesar
3,010. Artinya bahwa responden yang memiliki pekerjaan ringan hingga sedang memiliki risiko
3,010 kali lipat lebih besar mengalami DM tipe 2 dibandingkan responden yang memiliki
pekerjaan berat. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2018) yaitu
tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian DM (p value = 0,558).(12)
Hasil analisis hubungan aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia diperoleh bahwa
responden dengan aktifitas fisik kurang yang mengalami DM tipe 2 sebesar 7,4% sedangkan
responden dengan aktifitas fisik cukup yang mengalami DM tipe 2 sebesar 5,2%. Hasil uji bivariat
menunjukan bahwa ada hubungan aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia dimana
nilai p=0,000 dengan nilai OR= 1,466 (95% CI : 1,350-1.592). Artinya lansia dengan aktifitas fisik
kurang memiliki peluang 1,466 kali mengalami DM tipe 2 dibandingkan dengan lansia dengan
aktifitas fisik cukup. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sembiring (2018) yaitu ada
hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe 2. (13)
Pada waktu melakukan aktivitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa daripada
waktu tidak melakukan aktivitas fisik, dengan demikian konsentrasi glukosa darah akan menurun.
Melalui aktivitas fisik, insulin akan bekerja lebih baik sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel
untuk dibakar menjadi tenaga.
Hubungan antara obesitas dengan kejadian DM tipe 2 lansia di Indonesia memiliki hubungan
yang bermakna (p=0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian Maharani dkk (2018) yaitu ada
hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian DM tipe 2 (nilai p= 0,001).(14) Semakin
banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan semakin resisten terhadap kerja insulin
(insulin resistance), terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul di daerah
sentral atau perut (central obesity). Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak
dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah. Tubuh yang cenderung gemuk
lebih banyak menyimpan lemak tubuh dan lemak tidak terbakar, terjadi kekurangan hormon
insulin untuk pembakaran karbohidrat, sehingga lebih berpeluang besar terjadinya DM tipe 2.
Kesimpulan dan Saran
Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini yang menjadi faktor risiko kejadian Diabetes
Melitus Tipe 2 pada lansia di Indonesia, di antaranya adalah karakteristik responden yang terdiri
dari pendidikan dan pekerjaan, kemudian aktivitas fisik, kebiasaan merokok, obesitas, konsumsi
alkohol, konsumsi buah dan sayur dan riwayat hipertensi, sedangkan faktor konsumsi
makanan/minuman berisiko seperti makanan bakar dan makanan pengawet bukan menjadi faktor
risiko kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia
Ucapan Terimakasih
Terima kasih atas bantuan Lembaga Pengembangan dan Penelitian Universitas
Muhammadiyah Prof Dr HAMKA atas dukungan pendanaan untuk penelitian dan Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia atas ijin penggunaan data untuk
penulisan manuskrip ini.
Daftar Pustaka
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia
2015. 2015.
2. World Health Organization. Global Report on Diabetes. Isbn [Internet]. 2016;978:88.
Available from:
http://www.who.int/about/licensing/%5Cnhttp://apps.who.int/iris/bitstream/10665/204871/
1/9789241565257_eng.pdf
3. Artanti P, Masdar H, Rosdiana D. Microsoft Word - Angka Kejadian Diabetes Melitus
Tidak Terdiagnosis pada Masyarakat Kota Pekanbaru.doc. Jom FK Vol 2 No 2 Oktober
2015. 2015;
4. IDF. IDF Diabetes Atlas 2015. Int Diabetes Fed. 2015;
5. Kementerian Kesehatan RI. Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018. Pus Data dan Inf
Kementrian Kesehat RI. 2018;1–8.
6. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG
KESEJAHTERAAN LANJUT USIA. 2013;
7. Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2018. 2018;286.
8. Anis C, Sekeon SA., D.Kandou G. Hubungan Antara Diabetes Melitus (Hiperglikemia)
Dengan Kualitas Hidup Pada Lansia Di Kelurahan Kolongan. 2017;(June 2017):1–8.
9. Amalia RF. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Pada Lansia di Puskesmas
Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan Tahun 2014. Naskah Publ Univ Indones
[Internet]. 2014;2:1–9. Available from: lib.ui.ac.id
10. Ramadhan M. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diabetes Mellitus Di RSUP
dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makasar Tahun 2017. 2017;1–
113.
11. Brown, K.W. & Ryan RM. Mindful Attention Awereness Scale. J Pers Soc Psychol. 2003;
12. Isnaini N, Ratnasari R. Faktor risiko mempengaruhi kejadian Diabetes mellitus tipe dua. J
Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah. 2018;14(1):59–68.
13. Nindya AS. Hubungan Faktor yang Dapat Dimodifikasi dan Tidak Dapat Dimodifikasi
dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II pada Wanita Lanjut Usia di Puskesmas Sering
Kecamatan Tembung Medan Tahun 2017. Univ Sumatera Utara. 2018;(X):1–5.
14. Ardiyanto NEMSBF. Hubungan obesitas dan aktivitas fisik dengan kejadian Diabetes
Mellitus tipe 2 di Puskesmas Wonogiri 1. J Manaj Inf dan Adm Kesehat. 2018;1(1):40–8.