bab ii kti laksansia

30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Akar kelembak (Rhei radix) 2.1.1 Klasifikasi Botani Klasifikasi tanaman Akar kelembak berdasarkan taksonomi botani adalah sebagai berikut : Kerajaan : Planta Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Famili : Polygonaceae Bangsa : Polygonales Jenis : Rheum officinale Baill. 2.1.2 Morfologi Deskripsi dari tanaman Akar kelembak adalah sebagai berikut, terdiri atas bagian dibawah tanah (rimpang dan akar) dari tanaman rheum officinale Bailon atau R.palmatum familia polygonaceae.Bau khas aromatic dan bersifat agak pahit ,agak kelat.Warna kuning kecoklatan.Potongan padat, keras, berat, bentuk hampir siindris, serupa kerucut atau bentuk kubus cekung,pipih

Upload: amelito2212

Post on 17-Jan-2016

515 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

Farmakologi, obat-obatan, efek laksansia, tinjauan pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KTI laksansia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman Akar kelembak (Rhei radix)

2.1.1 Klasifikasi Botani

Klasifikasi tanaman Akar kelembak berdasarkan taksonomi botani adalah sebagai

berikut :

Kerajaan : Planta

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Famili : Polygonaceae

Bangsa : Polygonales

Jenis : Rheum officinale Baill.

2.1.2 Morfologi

Deskripsi dari tanaman Akar kelembak adalah sebagai berikut, terdiri atas bagian

dibawah tanah (rimpang dan akar) dari tanaman rheum officinale Bailon atau

R.palmatum familia polygonaceae.Bau khas aromatic dan bersifat agak pahit ,agak

kelat.Warna kuning kecoklatan.Potongan padat, keras, berat, bentuk hampir siindris,

serupa kerucut atau bentuk kubus cekung,pipih atau tidak beraturan, kadang

berlubang , panjang 5cm sampai 15cm, lebar 3cm sampai 10cm; permukaan yang

terkupas agak tersudut sudut, umumnya diliputi serbuk berwarna kuning kecoklatan

terang, bagian dalam berwarna putih keabuan dengan garis-garis coklat kemerahan

(Acuan Sediaan Herbal, 2000).

Page 2: BAB II KTI laksansia

Gambar 2.1 Akar Kelembak sumber :

(http://sehatharmoni.com/resep-segala-penyakit.html)

2.1.3 Kandungan Kimia

Kandungan Senyawa antrakuinon di dalam kelembak sangat kompleks.

Antrakuinon bebas yang sudah di isolasi diantaranya krisofanol, aloe emoidin, rhein,

emodin, dan emodin monometileter atau fision adalah komponen yang sudah

ditemukan tahun 1844-1905. Komponen Antrakuinon pada akar kelembak

digolongkan sebagai berikut :

1. Antrakuinon tanpa gugus karboksil, Glikosida, diglukosida fision dan 8-0-β-

D gentibiosidanya dari akar R. Palmatum

2. Antrakuinon dengan gugus karboksil

3. Antron atau diantron dari gugus krisofanol atauemodin atau aloe-emoidin atau

fision.

4. Heterodiantron yang diturunkan dari kedua macam antron. Sebagai contoh

Palmidin A dari antron aloe-emodin dan antron krisofanol; palmidin B dari

antron aloeemodin dan antron krisofanol; palmidin C dari antron emodin dan

antron krisofanol

Selain komponen senyawa yang berefek Purgatif tersebut, kelembak juga

mengandung senyawa Astringen seperti glukogalin, asam galat bebas,epitatekin galat

dan katekin. Akar kelembak juga mengandung pati dan kalsium oksalat (Sumali W,

2008).

Page 3: BAB II KTI laksansia

2.1.4 Penggunaan Akar Kelembak (rhei radix )

Tumbuhan kelembak memiliki banyak khasiat antara lain mampu berfungsi

sebagai Hepatoproteksi dengan cara menurunkan produksi ALT, Proteksi Mukosa

lambung dengan menambah produksi PGE di mukosa lambung, anti pancreatitis,anti

mikroba, anti radang dan sebagai Imunomudulator .Akar kelembak juga terkenal

mampu memperbaiki fungsi ginjal, dan sebagai diuretik (Willie Japaries, 2010).

2.1.5 Penggunaan Akar kelembak (rhei radix) Sebagai Laksansia

2.1.5.1 Efek Farmakologi

Akar kelembak mengandung antrakuinon yang sangat kompleks seperti

krisofanol, sennosida A-F, rheinosida A-D, aloe emodin, rhein, dan emodin (Sumali

Wiryowidagdo, 2008). Antrakinon termasuk golongan pencahar rangsang dengan

mekanisme kerja sebagai berikut: 1. Menghasilkan aglikon yang mengiritasi mukosa

dan pleksus syaraf dalam lapisan otot dinding usus memacuu gerakan usus hingga

timbul efek Purgatif 2. Sifat mirip kolin dapat mengeksitasi reseptor kolin M pada

otot polos,memacu peristataltis (Willie Japaries, 2010). 3. Merangsang saraf

intramural dari otot polos usus sehingga meningkatkan gerakan peristaltik. 4.

Menghambat pompa natrium (Na-K-ATPase) pada epitel kolon sehingga

menghambat absorpsi air dan natrium ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007)

2.1.5.2 Kontra Indikasi

Akar kelembak sebaiknya tidak dikonsumsi pada penderita yang mengalami ileus,

peradangan pada rongga perut, kehamilan dan masa menyusui (Acuan Sediaan

Herbal, 2000). Semua pencahar tidak boleh digunakan paada pasien dengan mual,

muntah, spasme, kolik, dugaan appendicitis dan sakit perut yang tidak diketahui

sebabnya ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007).

Page 4: BAB II KTI laksansia

2.2 Obat Tradisional

Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, penggunaan pengobatan komplementer

dan alternatif (complementary and alternative medicine, CAM) dalam 20 tahun

terakhir semakin meningkat tajam, tidak hanya sekedar karena trend back to nature

namun juga karena CAM merupakan sumber layanan kesehatan yang mudah

diperoleh dan terjangkau oleh masyarakat luas. Selain itu, bukti-bukti empiris dan

dukungan ilmiah yang semakin banyak menyebabkan CAM semakin populer di

kalangan masyarakat dunia. Saat ini pasar global CAM bernilai sekitar US$ 60

milyar/tahun dan terus meningkat setiap tahun (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).

Pengobatan tradisional sudah sejak tahun 1992 diatur melalui Undang-Undang RI

No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, kemudian melalui SK Menteri Kesehatan no

1076 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional. Bahkan di tingkat

ASEAN pada tanggal 22 April 2004 di Penang-Malaysia telah dikeluarkan

“Declaration of the 7th ASEAN Health Ministers Meeting” yang salah satu babnya

mendeklarasikan tentang kerangka kerja kerjasama untuk mengintegrasikan

pengobatan tradisional/CAM ke dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, terutama

yang berkenaan dengan penggunaan CAM yang aman, efektif dan rasional yang

mencakup antara lain penelitian dan pengembangan untuk mendukung bukti-bukti

empiris, perlindungan kekayaan intelektual dan perlindungan terhadap pencurian

sumber daya genetik (biopiracy) (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).

Saat ini penggunaan herbal dalam pengobatan komplementer dan alternatif di

Indonesia semakin populer, terutama sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi yang

berkepanjangan sekitar tahun 1997. Obat herbal Indonesia selama ini lebih dikenal

dengan nama jamu dan ijin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM)

RI juga digolongkan dalam jamu. Sedangkan jamu sendiri identik dengan serbuk

yang harus diseduh dan terasa pahit, sehingga membayangkan minum jamu sebagian

masyarakat modern terasa tidak nyaman dan bahkan berkesan kuno. Menyadari hal

ini maka produsen jamu mulai membuat inovasi dengan memproduksi jamu dalam

Page 5: BAB II KTI laksansia

bentuk kapsul atau tablet dan sekarang dikenal dengan obat herbal (Ning H dan M.

Ahkam S, 2006).

2.2.1 Penggolongan Obat Tradisional

Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM RI No.00.05.4.2411 Tahun 2004,

berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian

khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:

1) Jamu, yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang,

2) Obat herbal terstandar, yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah

dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku,

3) Fitofarmaka, yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi bahan

baku dan sudah bisa diresepkan dokter.

2.2.2 Jamu

Masyarakat Indonesia secara turun temurun mengenal obat dari alam dibuat

ramuan dalam bentuk jamu. Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang dibuat dari

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari

bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman. Bahan-bahan yang digunakan tidak menggunakan bahan

kimia sintetik. Jamu biasanya diresepkan oleh pengobat tradisional (BATRA). Jamu

Page 6: BAB II KTI laksansia

yang diresepkan bisa buatan pabrik, buatan BATRA atau harus dicari dan dibuat

sendiri (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).

Jamu bisa dimanfaatkan untuk obat luar dan obat dalam yang harus diminum.

Obat luar bisa dioles, digosok, direndam, atau ditempel. Bahan jamu yang digunakan

bisa berasal dari bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan maupun hewan tertentu.

Image jamu biasanya bau yang tidak enak dan rasanya pahit. Khasiat jamu dipercaya

sejak jaman dulu. Selanjutnya seiring dengan berjalannya waktu, negara Indonesia

dijajah Belanda masuklah budaya barat yang memperkenalkan obat medis yang

praktis, kecil, tidak berbau dan tinggal telan (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).

Jamu menggunakan bermacam-macam tumbuhan yang diambil langsung dari

alam dan efek sampingnya relatif lebih kecil dibanding obat medis. Namun karena

masyarakat sudah dijejali dengan informasi pengobatan yang serba praktis maka tidak

mudah meyakinkan kalangan medis meresepkan jamu atau obat herbal yang belum

dilakukan penelitian ilmiah atau uji klinis. Meski pada kenyataannya jamu atau obat

herbal sudah digunakan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu secara turun temurun

sebelum farmakologi modern masuk Indonesia (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamu

Perkembangan jamu dan obat herbal di Indonesia sering terhambat karena

kendala-kendala sebagai berikut.:

1) Pengolahan bahan jamu/herbal yang belum terstandar, terutama mutu.

2) Industri jamu/obat herbal juga sering tidak jujur dengan menambahkan bahan-

bahan kimia ke dalam produknya sehingga sering menimbulkan efek samping

yang tidak dikehendaki.

3) Kurangnya penelitian ilmiah dan dukungan pemerintah terus-menerus.

4) Sebagian masyarakat tidak tahan dengan rasa pahit dan aroma tidak enak.

5) Masyarakat terbiasa mengkonsumsi sesuatu yang bisa dirasakan secara instan

(seketika).

Page 7: BAB II KTI laksansia

6) Tidak semua bahan baku obat herbal dibudidayakan secara serius sehingga

seringkali bahan obat herbal tertentu hilang di pasaran karena kesulitan bahan

baku.

7) Sulitnya meraih kepercayaan msyarakat karena belum dilakukan penelitian

ilmiah secara menyeluruh.

8) Biaya penelitian untuk uji pra klinis dan uji klinis sangat mahal sehingga

menjadi kendala utama bagi industri jamu yang kebanyakan merupakan

industri kecil dan menengah (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).

2.3 Saluran Pencernaan Manusia

2.3.1 Bagian-Bagian Saluran Pencernaan dan Fungsinya

Saluran pencernaan memberi tubuh persediaan akan air, elektrolit, dan makanan,

yang terus-menerus. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan suatu sistem yang kompleks,

yaitu (1) pergerakan makanan melalui saluran cerna, (2) sekresi getah pencernaan dan

percernaan makanan, (3) absorpsi hasil pencernaan, air, dan berbagai elektrolit, (4)

sirkulasi darah melalui organ-organ intestinal untuk membawa zat-zat yang

diabsorpsi dan (5) pengaturan semua fungsi ini oleh sistem saraf dan hormonal

(Guyton, 2008) . Secara berurutan, penjelasan mengenai saluran pencernaan adalah

sebagai berikut:

Mulut

Pada mulut terjadi proses fisika (mengunyah) dan proses kimiawi (enzimatik)

terhadap makanan. Proses mengunyah makanan dilakukan oleh gigi yang terdapat

dalam mulut, yang berfungsi memecahkan partikel makanan besar dan mencampur

makanan dengan sekret kalenjar saliva. Proses kimiawi dalam mulut terjadi karena

adanya saliva dalam mulut, dimana saliva mengandung 2 enzim pencernaan: lipase

lingual, disekresi oleh kalenjar pada lidah, dan alfa amilase saliva, disekresi oleh

kalenjar- kalenjar saliva. Kedua enzim tersebut berfungsi untuk mencerna

karbohidrat. Selain berfungsi dalam proses pencernaan kimiawi di dalam mulut,

Page 8: BAB II KTI laksansia

saliva juga mempunyai fungsi antara lain memudahkan proses menelan, dan

mempertahankan mulut tetap lembab (Ganong, 2002). Lidah berfungsi membolak-

balikkan makanan agar proses pencernaan merata.

Esofagus

Menelan adalah suatu respon refleks yang dicetuskan oleh impuls aferen n.

trigeminus, glossofaringeus, dan vagus (Ganong, 2002). Pada umumnya menelan

dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap

faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke

dalam esophagus dan (3) tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah

jalannya makanan dari faring ke lambung. Esofagus terutama berfungsi untuk

menyalurkan makanan dari faring ke lambung (Guyton, 2008).

Lambung

Fungsi motorik dari lambung ada tiga: (1) penyimpanan sejumlah besar makanan

sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, (2) pencampuran makanan ini

dengan sekresi dari lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang

disebut kimus, (3) pengosongan makanan dengan lambat dari lambung ke dalam usus

halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus

halus (Guyton, 2008). Makanan disimpan dalam lambung, dicampur dengan asam,

mukus, dan pepsin, kemudian disalurkan ke dalam duodenum dengan kecepatan yang

terkontrol dan tetap (Ganong, 2002). Di lambung terjadi pencernaan awal protein oleh

pepsinogen, pencernaan lemak serta karbohidrat.

Usus halus

Usus halus terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Di dalam usus halus,

terjadi pencernaan terhadap karbohidrat, protein, dan lemak, dengan bantuan dari

sekresi enzim pankreas (Guyton, 2008). Di usus halus, isi usus dicampur dengan

sekresi sel mukosa, pankreas serta cairan empedu. Pencernaan yang dimulai di mulut

Page 9: BAB II KTI laksansia

dan lambung, diselesaikan di lumen dan sel-sel mukosa usus halus, kemudian hasil

proses pencernaan diserap bersama dengan sebagian besar vitamin dan cairan

(Ganong, 2002).

Usus besar

Terbagi menjadi caecum, colon acendent, colon transversum, colon decendent,

dan colon sigmoid. Fungsi utama usus besar adalah (1) absorpsi air dan elektrolit dari

kimus dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan.

Rektum

Berfungsi sebagai tempat penampungan feses yang terakhir sebelum dikeluarkan

dari tubuh melalui proses defekasi, yang terjadi apabila ada pergerakan massa,

kemudian mendorong feses masuk ke dalam rektum (Guyton, 2008).

Gambar 2.2 Anatomi Usus Besar (A) beserta Lokasinya pada Regio Sembilan (B)

(Sumber: Drake et al., 2005)

Page 10: BAB II KTI laksansia

2.3.2 Prinsip-Prinsip Umum Motilitas Gastrointestinal

Lapisan dinding usus dari permukaan luar sampai ke dalam: (1) lapisan serosa, (2)

lapisan otot longitudinal, (3) lapisan otot sirkuler, (4) lapisan submukosa, dan (5)

lapisan mukosa. Fungsi motorik dari usus diselanggarakan oleh berbagai lapisan otot

tadi. Dalam setiap berkas, serat otot dihubungkan secara elektrik satu terhadap yang

lain melalui sejumlah besar taut celah (gap junction), yang menimbulkan gerakan ion

yang bertahanan rendah dari satu sel ke sel berikutnya. Oleh karena itu, sinyal-sinyal

listrik dapat segera berjalan dari satu serat ke serat berikutnya dalam setiap berkas,

tetapi penjalaran ini berlangsung secara lebih cepat di sepanjang berkas daripada sisi

berkas. Lapisan otot berfungsi sebagai sinsitium, yaitu bila terbentuk sebuah potensial

aksi di sembarang tempat dalam massa otot, potensial aksi biasanya berjalan ke

semua arah dalam otot. Kontraksi otot terjadi sebagai respon terhadap masuknya

kalsium ke dalam serat otot, dimana ion-ion kalsium bekerja melalui mekanisme

kontrol kalmodulin, yang akan mengaktifkan filamen-filamen miosin dalam serat,

serta menimbulkan gaya tarik-menarik antara filamen miosin dan filamen aktin,

sehingga mengakibatkan otot berkontraksi.Traktus Gastrointestinal memiliki sistem

persarafan sendiri yang disebut sistem saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di

dinding usus, mulai dari esophagus dan memanjang sampai ke anus. Sistem ini

terutama mengatur pergerakan dan sekresi gastrointestinal. Terdiri atas dua pleksus,

yaitu: (1) satu pleksus bagian luar yang terletak di antara lapisan otot longitudinal dan

sirkular, disebut pleksus mienterikus atau pleksus Auerbach, dan (2) satu pleksus

bagian dalam, disebut pleksus submukosa atau pleksus meissner, yang terletak di

dalam submukosa. Pleksus mienterikus terutama mengatur pergerakan

gastrointestinal, sedangkan pleksus submukosa mengatur sekresi gastrointestinal dan

aliran darah lokal. Walaupun sistem saraf enterik dapat berfungsi dengan sendirinya,

tidak bergantung dari saraf ekstrinsik parasimpatis dan simpatis, namun saraf simpatis

dan parasimpatis dapat menghambat atau mengaktifkan fungsi gastrointestinal.Pada

umumnya perangsangan saraf parasimpatis menimbulkan peningkatan umum dari

Page 11: BAB II KTI laksansia

seluruh aktivitas sistem saraf enterik, sedangkan perangsangan saraf simpatis

menghambat aktivitas dari traktus gastrointestinal melalui dua cara: (1) pada tahap

yang kecil melalui pengaruh langsung norepinefrin pada otot polos untuk

menghambat otot polos, dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik

dari norepinefrin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi perangsangan yang

kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus

gastrointestinal. Pengaturan anatomis sistem saraf enterik serta hubungannya dengan

sistem saraf simpatis dan parasimpatis mendukung tiga jenis refleks gastrointestinal

yang sangat berguna untuk pengaturan gastrointestinal. Pengaturan tersebut adalah:

(1) refleks-refleks yang seluruhnya terjadi di dalam sistem saraf enterik. Refleks ini

mengatur sekresi gastrointestinal, peristaltik, kontraksi campuran, efek penghambatan

lokal, (2) refleks dari usus ke ganglia simpatis prevertebral dan kemudian kembali ke

traktus gastrointestinal. Refleks ini menyebabkan pengosongan colon, menghambat

motilitas lambung dan sekresi lambung, (3) refleks dari usus ke medulla spinalis atau

batang otak dan kemudian kembali ke traktus gastrointestinal. Refleks ini meliputi (a)

refleks yang berasal dari lambung dan duodenum ke batang otak dan kembali ke

lambung berfungsi untuk mengatur aktivitas motorik dan sekretorik lambung, (b)

refleks nyeri yang menimbulkan hambatan umum pada seluruh traktus

gastrointestinal, dan (c) refleks defekasi yang berjalan ke medulla spinalis lalu

kembali lagi untuk menimbulkan kontraksi yang kuat pada colon, rektum, dan

abdomen yang diperlukan untuk defekasi. Terdapat dua jenis gerakan di dalam

traktus gastrointestinal: (1) gerakan propulsive, yang menyebabkan makanan

bergerak maju sepanjang saluran dengan kecepatan yang sesuai untuk terjadinya

pencernaan dan absorpsi, dan (2) gerakan mencampur yang menjaga agar isi usus

sungguh-sungguh tercampur setiap waktu (Guyton, 2008).

Page 12: BAB II KTI laksansia

2.3.3 Proses Defekasi

Defekasi adalah suatu proses untuk mengeluarkan sisa-sisa pencernaan dari dalam

tubuh melalui anus. Feses mengandung zat anorganik, serat tumbuhan yang tidak

tercerna, bakteri dan air. Peregangan rektum oleh feses akan mencetuskan kontraksi

refleks otot-otot rektum dan keinginan untuk defekasi (Ganong, 2002). Biasanya,

defekasi ditimbulkan oleh refleks defekasi. Satu dari refleks-refleks ini adalah refleks

intrinsik yang diperantai oleh sistem saraf enterik keempat. Hal ini dapat dijelaskan

sebagai berikut, bila feses memasuki rektum, peregangan dinding rektum

menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus mienterikus untuk

menimbulkan gelombang peristaltik di dalam colon decendent, sigmoid, dan rektum,

sehingga mendorong feses ke arah anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati

anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus

mienterikus, jika sfingter ani eksternus berelaksasi pada waktu bersamaan, maka

akan terjadi defekasi. Akan tetapi, refleks defekasi intrinsik yang berfungsi dengan

sendirinya bersifat relatif lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi,

refleks biasanya harus diperkuat oleh refleks defekasi jenis lain, sebuah refleks

defekasi parasimpatis yang melibatkan segmen sacral medulla spinalis. Bila ujung-

ujung saraf dalam rektum dirangsang, sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam

medulla spinalis dan kemudian secara refleks kembali ke colon decendent, sigmoid,

rektum, dan anus melalui serat-serat saraf parasimpatis dalam nevus pelvikus . Sinyal-

sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan juga

merelaksasikan sfingter ani internus, dengan demikian mengubah refleks defekasi

intrinsik dari suatu gerakan yang lemah menjadi suatu proses defekasi yang kuat,

yang kadang-kadang efektif dalam pengosongan usus besar dari fleksura splenikus

colon sampai ke anus.Sinyal-sinyal aferen yang masuk ke medulla spinalis

menimbulkan efek-efek lain, seperti mengambil nafas dalam, penutupan glottis, dan

kontraksi otot-otot dinding perut untuk mendorong isi feses dari colon turun ke

bawah dan pada saat yang bersamaan menyebabkan dasar pelvis terdorong ke bawah

dan menarik keluar cincin anus untuk mengeluarkan feses. Bila keadaan

Page 13: BAB II KTI laksansia

memungkinkan untuk defekasi, refleks defekasi kadang-kadang dapat ditimbulkan

dengan mengambil nafas dalam untuk menggerakkan diafragma turun ke bawah dan

kemudian mengkontraksikan otot-otot abdomen untuk meningkatkan tekanan intra-

abdominal, sehingga mendorong isi feses ke arah rektum (Guyton, 2008).

2.3.4 Konstipasi

Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu

keluhan terdapat variasi berlainan antar individu. Penggunaan istilah konstipasi

secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya

hal ini. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya

frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/ lampiasnya buang air besar, terdapat

rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yg keras. Disepakati bahwa buang air

besar yang normal frekuensinya 3 kali sehari sampai 3 hari sekali (Djojoningrat,

2009). Konstipasi berarti pelannya pergerakan feses melalui usus besar, dan sering

berhubungan dengan sejumlah besar feses yang kering, keras pada colon decendent

yang menumpuk karena penyerapan cairan berlangsung lama (Guyton, 2008). Suatu

batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit dua dari

keluhan dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a). konsistensi feses yang keras, b).

mengejan dengan keras saat BAB, c). rasa tidak tuntas saat BAB, d). frekuensi BAB

2 kali seminggu atau kurang. International Workshop on Constipation berusaha lebih

jelas memberi batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi

dikategorikan dalam dua golongan: 1). konstipasi fungsional yang disebabkan waktu

perjalanan yang lambat dari feses, dengan kriteria dua atau lebih dari keluhan ini dan

ada paling sedikit dalam 12 bulan yaitu, a). mengedan keras, b). feses yang keras, c).

rasa tidak tuntas, d). BAB kurang dari dua kali per minggu, 2). konstipasi karena

penundaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid, dengan kriteria antara lain a).

hambatan pada anus, b). waktu untuk BAB lebih lama, c). perlu bantuan jari-jari

Page 14: BAB II KTI laksansia

untuk mengeluarkan feses (Kris Panarka, Rejeki Andayani R, 2006). Konstipasi

merupakan suatu keluhan bukan penyakit. Jenis-jenis penyebab konstipasi antara lain

(1) konstipasi sederhana, (2) gangguan fungsional . Berdasarkankan etiologinya

konstipasi dapat dibagi seperti pada tabel dibawah ini :

Table 15–3. Causes of constipation in adults.

Most common 

  Inadequate fiber or fluid intake

  Poor bowel habits

Systemic disease 

  Endocrine: hypothyroidism, hyperparathyroidism, diabetes mellitus

  Metabolic: hypokalemia, hypercalcemia, uremia, porphyria

  Neurologic: Parkinson disease, multiple sclerosis, sacral nerve damage (prior pelvic surgery,

tumor), paraplegia, autonomic neuropathy

Medications 

  Opioids

  Diuretics

  Calcium channel blockers

  Anticholinergics

  Psychotropics

  Calcium and iron supplements

  NSAIDs

  Clonidine

  Cholestyramine

Structural abnormalities 

Page 15: BAB II KTI laksansia

  Anorectal: rectal prolapse, rectocoele, rectal intussusception, anorectal stricture, anal fissure,

solitary rectal ulcer syndrome

  Perineal descent

  Colonic mass with obstruction: adenocarcinoma

  Colonic stricture: radiation, ischemia, diverticulosis

  Hirschsprung disease

  Idiopathic megarectum

Slow colonic transit 

  Idiopathic: isolated to colon

  Psychogenic

  Eating disorders

  Chronic intestinal pseudo-obstruction

Pelvic floor dyssynergia 

Irritable bowel syndrome 

(CURRENT Medical Diagnosis & Treatment 2010 Ed 49 th)

Pada orang muda, penyebab fungsional konstipasi yang sering adalah kebiasaan

buang air besar yang tidak teratur, yang berkembang selama masa kehidupan akibat

penghambatan refleks defekasi yang normal. Pengalaman klinis menggambarkan

bahwa jika seseorang gagal membiarkan defekasi terjadi pada saat refleks defekasi

dicetuskan atau jika seseorang menggunakan laksatif secara berlebihan untuk

menggantikan fungsi defekasi yang alami, refleks itu secara progresif akan berkurang

selama suatu periode waktu dan colon menjadi atonik. Karena alasan ini, jika

seseorang mempunyai kebiasaan buang air besar yang teratur pada usia dini,

terjadinya konstipasi pada usia lanjut dapat dicegah (Guyton, 2008).Strategi

pengobatan konstipasi dapat dibagi menjadi: 1) pengobatan non farmakologik yang

meliputi (a) latihan usus besar, melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan

perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.

Page 16: BAB II KTI laksansia

Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat

memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB, (b) diet, peran diet penting untuk

mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis

menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian

konstipasi, dimana serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat

waktu transit di usus, (c) olahraga, dimana olahraga akan menggiatkan sirkulasi dan

meningkatkan tonus otot usus. 2) pengobatan farmakologis, yaitu penggunaan obat

pencahar dengan 4 tipe golongan: (a) memperbesar dan melunakkan massa feses,

antara lain: Cereal, Methyl selulose, psilium, (b) melunakkan massa feses, obat ini

bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah

penyerapan air. Contohnya antara lain: Oleum ricini, golongan docusate, (c) golongan

osmotik yang tidak diserap, antara lain: sorbitol, Lactulose, dan Glycerin, (d)

merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini

banyak dipakai, contohnya: sorbitol, bisakodil, dan antrakinon (Kris Panarka, Rejeki

Andayani R, 2006).

2.4 Uraian Tentang Laksatif

2.4.1 Definisi Laksatif

Laksatif merupakan Zat –zat yang dapat menstimulasi gerakan peristaltik usus

sebagai reflek dari rangsangan langsung terhadap dinding usus dan dengan demikian

menyebabkan atau mempermudah buang air besar ( defekasi) dan meredakan

sembelit (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007)

2.4.2 Mekanisme Kerja Laksatif

Mekanisme kerja pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan,

karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi colon, transpor air dan

elektrolit. Secara umum dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut : (1) sifat

hidrofilik dan osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat massa,

konsistensi dan transit feses bertambah, (2) pencahar bekerja langsung ataupun tidak

langsung terhadap mukosa colon dalam menurunkan absorpsi air dan NaCl, mungkin

Page 17: BAB II KTI laksansia

dengan mekanisme seperti pada sifat hidrofilik dan osmotiknya, (3) pencahar dapat

meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorpsi NaCl dan air serta

mengurangi waktu transit ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007).

2.4.3 Jenis-Jenis laksatif

2.4.3.1 Laksatif Pembentuk Massa

Semua senyawa polisakarida ini sukar dipecah dalam usus dan tidak diserap a.l.

serat serat alamiah: selulosa, hemiselulosa, pektin, linin. Zat ini berdaya menahan air

sambil mengembang. Disamping itu pada perombakan oleh kuman kuman usus

terbentuklah asam organik sedangkan massa bakteri juga meningkat; semua ini turut

memperbesar volume chymus (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007) dan zat ini

mampu meregangkan usus dan memperbaiki peristaltik (Gery et all, 2010) Obat

golongan pencahar pembentuk massa dapat berasal dari alam atau dibuat secara

semisintetik, golongan ini bekerja dengan mengikat air dan ion dalam lumen colon,

dengan demikian feses akan menjadi lebih banyak dan lunak, sehingga akan

merangsang motilitas usus, meningkatkan massa transit isi lumen usus, dan

meningkatkan berat feses (Arif Azalia dan Eri Estuningtyas, 2007). Efek sampingnya

seperti kembung, flatulen, obstruksi usus halus, dan menurunkan absorpsi obat

(Brunton, 1996).

2.4.3.2 Laksatif Osmotik dan Salin

Obat golongan ini bekerja meningkatkan peristaltik usus karena adanya pengaruh

tidak langsung dari daya osmotiknya. Air akan ditarik ke dalam lumen usus dan akan

mengakibatkan feses menjadi lembek serta peristaltik usus akan meningkat ( Ari

Estuningtyas & Azalia Arif , 2007) ,Pengaruh laktulosa mengakibatkan bakteri kolon

memetabolisme gula yang menghasilkan asam laktat dan asam asetat yang berefek

osmosis menyebabkan peristaltik meningkat (Michael Heinrich, 2010). Laksatif salin

seperti magnesium sulfat, magnesium hidroksida, natrium fosfat, magnesium sitrat,

natrium sulfat, dan natrium kalium tartrat. Sedangkan laksatif osmotik seperti

laktulosa, gliserin, sorbitol, dan manitol. Efek samping seperti dehidrasi, kembung,

Page 18: BAB II KTI laksansia

flatulen, payah jantung, intoksikasi magnesium, hiperfosfatemia, hipokalsemia (Tan

Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007).

2.4.3.3 Laksatif Stimulan

Agen ini memiliki efek langsung pada epitel, saraf, dan sel otot polos, dengan

merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga meningkatkan

peristaltik dan sekresi lendir usus, menghambat Na-K-ATPase, meningkatkan sintesis

prostaglandin dan aktivitas siklik AMP ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007).

Laksatif Stimulan seperti Sennae foliolum, Rhei radix, Bisadokil, Natrium pikosulfat,

Fenolftalein dan Oleum ricini (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007).Efek

sampingnya berupa mual muntah, bersifat genotoksik, mutagenik dan karsinoma

kolon (Michael Heinrich, 2010).

2.4.3.4 Minyak Mineral

Merupakan campuran dari hidrokarbon halifatik dari minyak tanah. Minyak ini

dicerna dan diabsorpsi secara terbatas. Agen ini melunakkan feses dan juga

mempengaruhi absorpsi air. Efek sampingnya kebocoran anal, penurunan absorpsi

vitamin yang larut dalam lemak, dan reaksi benda asing (Friedman, 1997).

2.4.4 Laksatif Antrakinon

Agen ini termasuk laksatif stimulan, dan mengandung antranoid bekerja secara

langsung pada mukosa usus dengan cara mempengaruhi beberapa target

farmakologis, efek laksatif disebabkan oleh peningkatan peristaltis kolon. Hasilnya

penurunan waktu transit dan mengakibatkan penurunan reabsorbsi air dari kolon.

Selain itu perangsangn sekresi klorida aktif menyebabkan pembalikan kondisi

fisiologis normal dan kemudian terjadi peningkatan eksresi air (Michael Heinrich,

2010)

2.4.5. Minyak Jarak (Castor oil = Oleum ricini)

Agen ini termasuk dari bagian laksatif stimulan. Berasal dari biji Ricinus

communis, yang mengandung protein, ricin, dan suatu trigliserid asam risinoleat (12-

asam-hidroksioleat). Di dalam usus halus Oleum ricini dihidrolisis oleh enzim lipase

menjadi gliserol dan asam risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan

Page 19: BAB II KTI laksansia

aktif (Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007). Risinoleat mengurangi absorpsi dari

cairan dan elektrolit serta meningkatkan peristaltik usus halus (Brunton, 1996).

Oleum ricini menyebabkan kolik, dan dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit.

Obat ini merupakan bahan induksi diare secara eksperimental (Ari Estuningtyas &

Azalia Arif , 2007).

Gambar 2.13 Oleum ricini

(http://rahasiawanitathebest.blogspot.com/2010/12/perawatan-kulit-menggunakan-bahan-

alami.html)

Dosis minyak jarak sebagai pencahar adalah sebagai berikut.

Dewasa: 15 – 60 ml/hari Anak: 5 – 15 ml/hari Minyak jarak dianjurkan untuk diberikan

pada pagi hari sebelum makan. Efek pencahar akan terlihat setelah 3 jam. (Ari

Estuningtyas, Azalia Arif, 2007)

2.4.6 Indikasi Penggunaan Laksatif

Laksatif diindikasikan pada keadaan sebagai berikut, (1) untuk mengurangi nyeri

pada pasien dengan luka episiotomi, fissura anal atau abses peri anal, (2) untuk

mengurangi tekanan intra-abdominal yang berlebihan pada orang yang menderita

hernia, anorektal stenosis atau aneurisma, (3) untuk mengurangi gejala konstipasi

sewaktu hamil dan masa nifas, (4) pada persiapan sebelum operasi dan pemeriksaan

radiologis, (5) pada pasien dengan penyakit neuromuskular berat, (6) pada anak-anak

dengan kelainan megacolon congenital maupun didapat, (7) pada pergerakan usus

yang telah dipengaruhi obat-obatan, seperti opioid, (8) untuk mengatasi penyakit

divertikular colon dan irritable colon syndrome (Brunton, 1996 ; Tan Hoan Tjay &

Kirana Rahardja, 2007).