bab ii kti laksansia
DESCRIPTION
Farmakologi, obat-obatan, efek laksansia, tinjauan pustakaTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman Akar kelembak (Rhei radix)
2.1.1 Klasifikasi Botani
Klasifikasi tanaman Akar kelembak berdasarkan taksonomi botani adalah sebagai
berikut :
Kerajaan : Planta
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Famili : Polygonaceae
Bangsa : Polygonales
Jenis : Rheum officinale Baill.
2.1.2 Morfologi
Deskripsi dari tanaman Akar kelembak adalah sebagai berikut, terdiri atas bagian
dibawah tanah (rimpang dan akar) dari tanaman rheum officinale Bailon atau
R.palmatum familia polygonaceae.Bau khas aromatic dan bersifat agak pahit ,agak
kelat.Warna kuning kecoklatan.Potongan padat, keras, berat, bentuk hampir siindris,
serupa kerucut atau bentuk kubus cekung,pipih atau tidak beraturan, kadang
berlubang , panjang 5cm sampai 15cm, lebar 3cm sampai 10cm; permukaan yang
terkupas agak tersudut sudut, umumnya diliputi serbuk berwarna kuning kecoklatan
terang, bagian dalam berwarna putih keabuan dengan garis-garis coklat kemerahan
(Acuan Sediaan Herbal, 2000).
Gambar 2.1 Akar Kelembak sumber :
(http://sehatharmoni.com/resep-segala-penyakit.html)
2.1.3 Kandungan Kimia
Kandungan Senyawa antrakuinon di dalam kelembak sangat kompleks.
Antrakuinon bebas yang sudah di isolasi diantaranya krisofanol, aloe emoidin, rhein,
emodin, dan emodin monometileter atau fision adalah komponen yang sudah
ditemukan tahun 1844-1905. Komponen Antrakuinon pada akar kelembak
digolongkan sebagai berikut :
1. Antrakuinon tanpa gugus karboksil, Glikosida, diglukosida fision dan 8-0-β-
D gentibiosidanya dari akar R. Palmatum
2. Antrakuinon dengan gugus karboksil
3. Antron atau diantron dari gugus krisofanol atauemodin atau aloe-emoidin atau
fision.
4. Heterodiantron yang diturunkan dari kedua macam antron. Sebagai contoh
Palmidin A dari antron aloe-emodin dan antron krisofanol; palmidin B dari
antron aloeemodin dan antron krisofanol; palmidin C dari antron emodin dan
antron krisofanol
Selain komponen senyawa yang berefek Purgatif tersebut, kelembak juga
mengandung senyawa Astringen seperti glukogalin, asam galat bebas,epitatekin galat
dan katekin. Akar kelembak juga mengandung pati dan kalsium oksalat (Sumali W,
2008).
2.1.4 Penggunaan Akar Kelembak (rhei radix )
Tumbuhan kelembak memiliki banyak khasiat antara lain mampu berfungsi
sebagai Hepatoproteksi dengan cara menurunkan produksi ALT, Proteksi Mukosa
lambung dengan menambah produksi PGE di mukosa lambung, anti pancreatitis,anti
mikroba, anti radang dan sebagai Imunomudulator .Akar kelembak juga terkenal
mampu memperbaiki fungsi ginjal, dan sebagai diuretik (Willie Japaries, 2010).
2.1.5 Penggunaan Akar kelembak (rhei radix) Sebagai Laksansia
2.1.5.1 Efek Farmakologi
Akar kelembak mengandung antrakuinon yang sangat kompleks seperti
krisofanol, sennosida A-F, rheinosida A-D, aloe emodin, rhein, dan emodin (Sumali
Wiryowidagdo, 2008). Antrakinon termasuk golongan pencahar rangsang dengan
mekanisme kerja sebagai berikut: 1. Menghasilkan aglikon yang mengiritasi mukosa
dan pleksus syaraf dalam lapisan otot dinding usus memacuu gerakan usus hingga
timbul efek Purgatif 2. Sifat mirip kolin dapat mengeksitasi reseptor kolin M pada
otot polos,memacu peristataltis (Willie Japaries, 2010). 3. Merangsang saraf
intramural dari otot polos usus sehingga meningkatkan gerakan peristaltik. 4.
Menghambat pompa natrium (Na-K-ATPase) pada epitel kolon sehingga
menghambat absorpsi air dan natrium ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007)
2.1.5.2 Kontra Indikasi
Akar kelembak sebaiknya tidak dikonsumsi pada penderita yang mengalami ileus,
peradangan pada rongga perut, kehamilan dan masa menyusui (Acuan Sediaan
Herbal, 2000). Semua pencahar tidak boleh digunakan paada pasien dengan mual,
muntah, spasme, kolik, dugaan appendicitis dan sakit perut yang tidak diketahui
sebabnya ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007).
2.2 Obat Tradisional
Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, penggunaan pengobatan komplementer
dan alternatif (complementary and alternative medicine, CAM) dalam 20 tahun
terakhir semakin meningkat tajam, tidak hanya sekedar karena trend back to nature
namun juga karena CAM merupakan sumber layanan kesehatan yang mudah
diperoleh dan terjangkau oleh masyarakat luas. Selain itu, bukti-bukti empiris dan
dukungan ilmiah yang semakin banyak menyebabkan CAM semakin populer di
kalangan masyarakat dunia. Saat ini pasar global CAM bernilai sekitar US$ 60
milyar/tahun dan terus meningkat setiap tahun (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).
Pengobatan tradisional sudah sejak tahun 1992 diatur melalui Undang-Undang RI
No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, kemudian melalui SK Menteri Kesehatan no
1076 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional. Bahkan di tingkat
ASEAN pada tanggal 22 April 2004 di Penang-Malaysia telah dikeluarkan
“Declaration of the 7th ASEAN Health Ministers Meeting” yang salah satu babnya
mendeklarasikan tentang kerangka kerja kerjasama untuk mengintegrasikan
pengobatan tradisional/CAM ke dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, terutama
yang berkenaan dengan penggunaan CAM yang aman, efektif dan rasional yang
mencakup antara lain penelitian dan pengembangan untuk mendukung bukti-bukti
empiris, perlindungan kekayaan intelektual dan perlindungan terhadap pencurian
sumber daya genetik (biopiracy) (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).
Saat ini penggunaan herbal dalam pengobatan komplementer dan alternatif di
Indonesia semakin populer, terutama sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi yang
berkepanjangan sekitar tahun 1997. Obat herbal Indonesia selama ini lebih dikenal
dengan nama jamu dan ijin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM)
RI juga digolongkan dalam jamu. Sedangkan jamu sendiri identik dengan serbuk
yang harus diseduh dan terasa pahit, sehingga membayangkan minum jamu sebagian
masyarakat modern terasa tidak nyaman dan bahkan berkesan kuno. Menyadari hal
ini maka produsen jamu mulai membuat inovasi dengan memproduksi jamu dalam
bentuk kapsul atau tablet dan sekarang dikenal dengan obat herbal (Ning H dan M.
Ahkam S, 2006).
2.2.1 Penggolongan Obat Tradisional
Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM RI No.00.05.4.2411 Tahun 2004,
berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian
khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:
1) Jamu, yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang,
2) Obat herbal terstandar, yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah
dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku,
3) Fitofarmaka, yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi bahan
baku dan sudah bisa diresepkan dokter.
2.2.2 Jamu
Masyarakat Indonesia secara turun temurun mengenal obat dari alam dibuat
ramuan dalam bentuk jamu. Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang dibuat dari
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Bahan-bahan yang digunakan tidak menggunakan bahan
kimia sintetik. Jamu biasanya diresepkan oleh pengobat tradisional (BATRA). Jamu
yang diresepkan bisa buatan pabrik, buatan BATRA atau harus dicari dan dibuat
sendiri (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).
Jamu bisa dimanfaatkan untuk obat luar dan obat dalam yang harus diminum.
Obat luar bisa dioles, digosok, direndam, atau ditempel. Bahan jamu yang digunakan
bisa berasal dari bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan maupun hewan tertentu.
Image jamu biasanya bau yang tidak enak dan rasanya pahit. Khasiat jamu dipercaya
sejak jaman dulu. Selanjutnya seiring dengan berjalannya waktu, negara Indonesia
dijajah Belanda masuklah budaya barat yang memperkenalkan obat medis yang
praktis, kecil, tidak berbau dan tinggal telan (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).
Jamu menggunakan bermacam-macam tumbuhan yang diambil langsung dari
alam dan efek sampingnya relatif lebih kecil dibanding obat medis. Namun karena
masyarakat sudah dijejali dengan informasi pengobatan yang serba praktis maka tidak
mudah meyakinkan kalangan medis meresepkan jamu atau obat herbal yang belum
dilakukan penelitian ilmiah atau uji klinis. Meski pada kenyataannya jamu atau obat
herbal sudah digunakan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu secara turun temurun
sebelum farmakologi modern masuk Indonesia (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamu
Perkembangan jamu dan obat herbal di Indonesia sering terhambat karena
kendala-kendala sebagai berikut.:
1) Pengolahan bahan jamu/herbal yang belum terstandar, terutama mutu.
2) Industri jamu/obat herbal juga sering tidak jujur dengan menambahkan bahan-
bahan kimia ke dalam produknya sehingga sering menimbulkan efek samping
yang tidak dikehendaki.
3) Kurangnya penelitian ilmiah dan dukungan pemerintah terus-menerus.
4) Sebagian masyarakat tidak tahan dengan rasa pahit dan aroma tidak enak.
5) Masyarakat terbiasa mengkonsumsi sesuatu yang bisa dirasakan secara instan
(seketika).
6) Tidak semua bahan baku obat herbal dibudidayakan secara serius sehingga
seringkali bahan obat herbal tertentu hilang di pasaran karena kesulitan bahan
baku.
7) Sulitnya meraih kepercayaan msyarakat karena belum dilakukan penelitian
ilmiah secara menyeluruh.
8) Biaya penelitian untuk uji pra klinis dan uji klinis sangat mahal sehingga
menjadi kendala utama bagi industri jamu yang kebanyakan merupakan
industri kecil dan menengah (Ning H dan M. Ahkam S, 2006).
2.3 Saluran Pencernaan Manusia
2.3.1 Bagian-Bagian Saluran Pencernaan dan Fungsinya
Saluran pencernaan memberi tubuh persediaan akan air, elektrolit, dan makanan,
yang terus-menerus. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan suatu sistem yang kompleks,
yaitu (1) pergerakan makanan melalui saluran cerna, (2) sekresi getah pencernaan dan
percernaan makanan, (3) absorpsi hasil pencernaan, air, dan berbagai elektrolit, (4)
sirkulasi darah melalui organ-organ intestinal untuk membawa zat-zat yang
diabsorpsi dan (5) pengaturan semua fungsi ini oleh sistem saraf dan hormonal
(Guyton, 2008) . Secara berurutan, penjelasan mengenai saluran pencernaan adalah
sebagai berikut:
Mulut
Pada mulut terjadi proses fisika (mengunyah) dan proses kimiawi (enzimatik)
terhadap makanan. Proses mengunyah makanan dilakukan oleh gigi yang terdapat
dalam mulut, yang berfungsi memecahkan partikel makanan besar dan mencampur
makanan dengan sekret kalenjar saliva. Proses kimiawi dalam mulut terjadi karena
adanya saliva dalam mulut, dimana saliva mengandung 2 enzim pencernaan: lipase
lingual, disekresi oleh kalenjar pada lidah, dan alfa amilase saliva, disekresi oleh
kalenjar- kalenjar saliva. Kedua enzim tersebut berfungsi untuk mencerna
karbohidrat. Selain berfungsi dalam proses pencernaan kimiawi di dalam mulut,
saliva juga mempunyai fungsi antara lain memudahkan proses menelan, dan
mempertahankan mulut tetap lembab (Ganong, 2002). Lidah berfungsi membolak-
balikkan makanan agar proses pencernaan merata.
Esofagus
Menelan adalah suatu respon refleks yang dicetuskan oleh impuls aferen n.
trigeminus, glossofaringeus, dan vagus (Ganong, 2002). Pada umumnya menelan
dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap
faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke
dalam esophagus dan (3) tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah
jalannya makanan dari faring ke lambung. Esofagus terutama berfungsi untuk
menyalurkan makanan dari faring ke lambung (Guyton, 2008).
Lambung
Fungsi motorik dari lambung ada tiga: (1) penyimpanan sejumlah besar makanan
sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, (2) pencampuran makanan ini
dengan sekresi dari lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang
disebut kimus, (3) pengosongan makanan dengan lambat dari lambung ke dalam usus
halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus
halus (Guyton, 2008). Makanan disimpan dalam lambung, dicampur dengan asam,
mukus, dan pepsin, kemudian disalurkan ke dalam duodenum dengan kecepatan yang
terkontrol dan tetap (Ganong, 2002). Di lambung terjadi pencernaan awal protein oleh
pepsinogen, pencernaan lemak serta karbohidrat.
Usus halus
Usus halus terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Di dalam usus halus,
terjadi pencernaan terhadap karbohidrat, protein, dan lemak, dengan bantuan dari
sekresi enzim pankreas (Guyton, 2008). Di usus halus, isi usus dicampur dengan
sekresi sel mukosa, pankreas serta cairan empedu. Pencernaan yang dimulai di mulut
dan lambung, diselesaikan di lumen dan sel-sel mukosa usus halus, kemudian hasil
proses pencernaan diserap bersama dengan sebagian besar vitamin dan cairan
(Ganong, 2002).
Usus besar
Terbagi menjadi caecum, colon acendent, colon transversum, colon decendent,
dan colon sigmoid. Fungsi utama usus besar adalah (1) absorpsi air dan elektrolit dari
kimus dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan.
Rektum
Berfungsi sebagai tempat penampungan feses yang terakhir sebelum dikeluarkan
dari tubuh melalui proses defekasi, yang terjadi apabila ada pergerakan massa,
kemudian mendorong feses masuk ke dalam rektum (Guyton, 2008).
Gambar 2.2 Anatomi Usus Besar (A) beserta Lokasinya pada Regio Sembilan (B)
(Sumber: Drake et al., 2005)
2.3.2 Prinsip-Prinsip Umum Motilitas Gastrointestinal
Lapisan dinding usus dari permukaan luar sampai ke dalam: (1) lapisan serosa, (2)
lapisan otot longitudinal, (3) lapisan otot sirkuler, (4) lapisan submukosa, dan (5)
lapisan mukosa. Fungsi motorik dari usus diselanggarakan oleh berbagai lapisan otot
tadi. Dalam setiap berkas, serat otot dihubungkan secara elektrik satu terhadap yang
lain melalui sejumlah besar taut celah (gap junction), yang menimbulkan gerakan ion
yang bertahanan rendah dari satu sel ke sel berikutnya. Oleh karena itu, sinyal-sinyal
listrik dapat segera berjalan dari satu serat ke serat berikutnya dalam setiap berkas,
tetapi penjalaran ini berlangsung secara lebih cepat di sepanjang berkas daripada sisi
berkas. Lapisan otot berfungsi sebagai sinsitium, yaitu bila terbentuk sebuah potensial
aksi di sembarang tempat dalam massa otot, potensial aksi biasanya berjalan ke
semua arah dalam otot. Kontraksi otot terjadi sebagai respon terhadap masuknya
kalsium ke dalam serat otot, dimana ion-ion kalsium bekerja melalui mekanisme
kontrol kalmodulin, yang akan mengaktifkan filamen-filamen miosin dalam serat,
serta menimbulkan gaya tarik-menarik antara filamen miosin dan filamen aktin,
sehingga mengakibatkan otot berkontraksi.Traktus Gastrointestinal memiliki sistem
persarafan sendiri yang disebut sistem saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di
dinding usus, mulai dari esophagus dan memanjang sampai ke anus. Sistem ini
terutama mengatur pergerakan dan sekresi gastrointestinal. Terdiri atas dua pleksus,
yaitu: (1) satu pleksus bagian luar yang terletak di antara lapisan otot longitudinal dan
sirkular, disebut pleksus mienterikus atau pleksus Auerbach, dan (2) satu pleksus
bagian dalam, disebut pleksus submukosa atau pleksus meissner, yang terletak di
dalam submukosa. Pleksus mienterikus terutama mengatur pergerakan
gastrointestinal, sedangkan pleksus submukosa mengatur sekresi gastrointestinal dan
aliran darah lokal. Walaupun sistem saraf enterik dapat berfungsi dengan sendirinya,
tidak bergantung dari saraf ekstrinsik parasimpatis dan simpatis, namun saraf simpatis
dan parasimpatis dapat menghambat atau mengaktifkan fungsi gastrointestinal.Pada
umumnya perangsangan saraf parasimpatis menimbulkan peningkatan umum dari
seluruh aktivitas sistem saraf enterik, sedangkan perangsangan saraf simpatis
menghambat aktivitas dari traktus gastrointestinal melalui dua cara: (1) pada tahap
yang kecil melalui pengaruh langsung norepinefrin pada otot polos untuk
menghambat otot polos, dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik
dari norepinefrin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi perangsangan yang
kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus
gastrointestinal. Pengaturan anatomis sistem saraf enterik serta hubungannya dengan
sistem saraf simpatis dan parasimpatis mendukung tiga jenis refleks gastrointestinal
yang sangat berguna untuk pengaturan gastrointestinal. Pengaturan tersebut adalah:
(1) refleks-refleks yang seluruhnya terjadi di dalam sistem saraf enterik. Refleks ini
mengatur sekresi gastrointestinal, peristaltik, kontraksi campuran, efek penghambatan
lokal, (2) refleks dari usus ke ganglia simpatis prevertebral dan kemudian kembali ke
traktus gastrointestinal. Refleks ini menyebabkan pengosongan colon, menghambat
motilitas lambung dan sekresi lambung, (3) refleks dari usus ke medulla spinalis atau
batang otak dan kemudian kembali ke traktus gastrointestinal. Refleks ini meliputi (a)
refleks yang berasal dari lambung dan duodenum ke batang otak dan kembali ke
lambung berfungsi untuk mengatur aktivitas motorik dan sekretorik lambung, (b)
refleks nyeri yang menimbulkan hambatan umum pada seluruh traktus
gastrointestinal, dan (c) refleks defekasi yang berjalan ke medulla spinalis lalu
kembali lagi untuk menimbulkan kontraksi yang kuat pada colon, rektum, dan
abdomen yang diperlukan untuk defekasi. Terdapat dua jenis gerakan di dalam
traktus gastrointestinal: (1) gerakan propulsive, yang menyebabkan makanan
bergerak maju sepanjang saluran dengan kecepatan yang sesuai untuk terjadinya
pencernaan dan absorpsi, dan (2) gerakan mencampur yang menjaga agar isi usus
sungguh-sungguh tercampur setiap waktu (Guyton, 2008).
2.3.3 Proses Defekasi
Defekasi adalah suatu proses untuk mengeluarkan sisa-sisa pencernaan dari dalam
tubuh melalui anus. Feses mengandung zat anorganik, serat tumbuhan yang tidak
tercerna, bakteri dan air. Peregangan rektum oleh feses akan mencetuskan kontraksi
refleks otot-otot rektum dan keinginan untuk defekasi (Ganong, 2002). Biasanya,
defekasi ditimbulkan oleh refleks defekasi. Satu dari refleks-refleks ini adalah refleks
intrinsik yang diperantai oleh sistem saraf enterik keempat. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut, bila feses memasuki rektum, peregangan dinding rektum
menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus mienterikus untuk
menimbulkan gelombang peristaltik di dalam colon decendent, sigmoid, dan rektum,
sehingga mendorong feses ke arah anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati
anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus
mienterikus, jika sfingter ani eksternus berelaksasi pada waktu bersamaan, maka
akan terjadi defekasi. Akan tetapi, refleks defekasi intrinsik yang berfungsi dengan
sendirinya bersifat relatif lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi,
refleks biasanya harus diperkuat oleh refleks defekasi jenis lain, sebuah refleks
defekasi parasimpatis yang melibatkan segmen sacral medulla spinalis. Bila ujung-
ujung saraf dalam rektum dirangsang, sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam
medulla spinalis dan kemudian secara refleks kembali ke colon decendent, sigmoid,
rektum, dan anus melalui serat-serat saraf parasimpatis dalam nevus pelvikus . Sinyal-
sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan juga
merelaksasikan sfingter ani internus, dengan demikian mengubah refleks defekasi
intrinsik dari suatu gerakan yang lemah menjadi suatu proses defekasi yang kuat,
yang kadang-kadang efektif dalam pengosongan usus besar dari fleksura splenikus
colon sampai ke anus.Sinyal-sinyal aferen yang masuk ke medulla spinalis
menimbulkan efek-efek lain, seperti mengambil nafas dalam, penutupan glottis, dan
kontraksi otot-otot dinding perut untuk mendorong isi feses dari colon turun ke
bawah dan pada saat yang bersamaan menyebabkan dasar pelvis terdorong ke bawah
dan menarik keluar cincin anus untuk mengeluarkan feses. Bila keadaan
memungkinkan untuk defekasi, refleks defekasi kadang-kadang dapat ditimbulkan
dengan mengambil nafas dalam untuk menggerakkan diafragma turun ke bawah dan
kemudian mengkontraksikan otot-otot abdomen untuk meningkatkan tekanan intra-
abdominal, sehingga mendorong isi feses ke arah rektum (Guyton, 2008).
2.3.4 Konstipasi
Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu
keluhan terdapat variasi berlainan antar individu. Penggunaan istilah konstipasi
secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya
hal ini. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya
frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/ lampiasnya buang air besar, terdapat
rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yg keras. Disepakati bahwa buang air
besar yang normal frekuensinya 3 kali sehari sampai 3 hari sekali (Djojoningrat,
2009). Konstipasi berarti pelannya pergerakan feses melalui usus besar, dan sering
berhubungan dengan sejumlah besar feses yang kering, keras pada colon decendent
yang menumpuk karena penyerapan cairan berlangsung lama (Guyton, 2008). Suatu
batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit dua dari
keluhan dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a). konsistensi feses yang keras, b).
mengejan dengan keras saat BAB, c). rasa tidak tuntas saat BAB, d). frekuensi BAB
2 kali seminggu atau kurang. International Workshop on Constipation berusaha lebih
jelas memberi batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi
dikategorikan dalam dua golongan: 1). konstipasi fungsional yang disebabkan waktu
perjalanan yang lambat dari feses, dengan kriteria dua atau lebih dari keluhan ini dan
ada paling sedikit dalam 12 bulan yaitu, a). mengedan keras, b). feses yang keras, c).
rasa tidak tuntas, d). BAB kurang dari dua kali per minggu, 2). konstipasi karena
penundaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid, dengan kriteria antara lain a).
hambatan pada anus, b). waktu untuk BAB lebih lama, c). perlu bantuan jari-jari
untuk mengeluarkan feses (Kris Panarka, Rejeki Andayani R, 2006). Konstipasi
merupakan suatu keluhan bukan penyakit. Jenis-jenis penyebab konstipasi antara lain
(1) konstipasi sederhana, (2) gangguan fungsional . Berdasarkankan etiologinya
konstipasi dapat dibagi seperti pada tabel dibawah ini :
Table 15–3. Causes of constipation in adults.
Most common
Inadequate fiber or fluid intake
Poor bowel habits
Systemic disease
Endocrine: hypothyroidism, hyperparathyroidism, diabetes mellitus
Metabolic: hypokalemia, hypercalcemia, uremia, porphyria
Neurologic: Parkinson disease, multiple sclerosis, sacral nerve damage (prior pelvic surgery,
tumor), paraplegia, autonomic neuropathy
Medications
Opioids
Diuretics
Calcium channel blockers
Anticholinergics
Psychotropics
Calcium and iron supplements
NSAIDs
Clonidine
Cholestyramine
Structural abnormalities
Anorectal: rectal prolapse, rectocoele, rectal intussusception, anorectal stricture, anal fissure,
solitary rectal ulcer syndrome
Perineal descent
Colonic mass with obstruction: adenocarcinoma
Colonic stricture: radiation, ischemia, diverticulosis
Hirschsprung disease
Idiopathic megarectum
Slow colonic transit
Idiopathic: isolated to colon
Psychogenic
Eating disorders
Chronic intestinal pseudo-obstruction
Pelvic floor dyssynergia
Irritable bowel syndrome
(CURRENT Medical Diagnosis & Treatment 2010 Ed 49 th)
Pada orang muda, penyebab fungsional konstipasi yang sering adalah kebiasaan
buang air besar yang tidak teratur, yang berkembang selama masa kehidupan akibat
penghambatan refleks defekasi yang normal. Pengalaman klinis menggambarkan
bahwa jika seseorang gagal membiarkan defekasi terjadi pada saat refleks defekasi
dicetuskan atau jika seseorang menggunakan laksatif secara berlebihan untuk
menggantikan fungsi defekasi yang alami, refleks itu secara progresif akan berkurang
selama suatu periode waktu dan colon menjadi atonik. Karena alasan ini, jika
seseorang mempunyai kebiasaan buang air besar yang teratur pada usia dini,
terjadinya konstipasi pada usia lanjut dapat dicegah (Guyton, 2008).Strategi
pengobatan konstipasi dapat dibagi menjadi: 1) pengobatan non farmakologik yang
meliputi (a) latihan usus besar, melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan
perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.
Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB, (b) diet, peran diet penting untuk
mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian
konstipasi, dimana serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat
waktu transit di usus, (c) olahraga, dimana olahraga akan menggiatkan sirkulasi dan
meningkatkan tonus otot usus. 2) pengobatan farmakologis, yaitu penggunaan obat
pencahar dengan 4 tipe golongan: (a) memperbesar dan melunakkan massa feses,
antara lain: Cereal, Methyl selulose, psilium, (b) melunakkan massa feses, obat ini
bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah
penyerapan air. Contohnya antara lain: Oleum ricini, golongan docusate, (c) golongan
osmotik yang tidak diserap, antara lain: sorbitol, Lactulose, dan Glycerin, (d)
merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
banyak dipakai, contohnya: sorbitol, bisakodil, dan antrakinon (Kris Panarka, Rejeki
Andayani R, 2006).
2.4 Uraian Tentang Laksatif
2.4.1 Definisi Laksatif
Laksatif merupakan Zat –zat yang dapat menstimulasi gerakan peristaltik usus
sebagai reflek dari rangsangan langsung terhadap dinding usus dan dengan demikian
menyebabkan atau mempermudah buang air besar ( defekasi) dan meredakan
sembelit (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007)
2.4.2 Mekanisme Kerja Laksatif
Mekanisme kerja pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan,
karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi colon, transpor air dan
elektrolit. Secara umum dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut : (1) sifat
hidrofilik dan osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat massa,
konsistensi dan transit feses bertambah, (2) pencahar bekerja langsung ataupun tidak
langsung terhadap mukosa colon dalam menurunkan absorpsi air dan NaCl, mungkin
dengan mekanisme seperti pada sifat hidrofilik dan osmotiknya, (3) pencahar dapat
meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorpsi NaCl dan air serta
mengurangi waktu transit ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007).
2.4.3 Jenis-Jenis laksatif
2.4.3.1 Laksatif Pembentuk Massa
Semua senyawa polisakarida ini sukar dipecah dalam usus dan tidak diserap a.l.
serat serat alamiah: selulosa, hemiselulosa, pektin, linin. Zat ini berdaya menahan air
sambil mengembang. Disamping itu pada perombakan oleh kuman kuman usus
terbentuklah asam organik sedangkan massa bakteri juga meningkat; semua ini turut
memperbesar volume chymus (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007) dan zat ini
mampu meregangkan usus dan memperbaiki peristaltik (Gery et all, 2010) Obat
golongan pencahar pembentuk massa dapat berasal dari alam atau dibuat secara
semisintetik, golongan ini bekerja dengan mengikat air dan ion dalam lumen colon,
dengan demikian feses akan menjadi lebih banyak dan lunak, sehingga akan
merangsang motilitas usus, meningkatkan massa transit isi lumen usus, dan
meningkatkan berat feses (Arif Azalia dan Eri Estuningtyas, 2007). Efek sampingnya
seperti kembung, flatulen, obstruksi usus halus, dan menurunkan absorpsi obat
(Brunton, 1996).
2.4.3.2 Laksatif Osmotik dan Salin
Obat golongan ini bekerja meningkatkan peristaltik usus karena adanya pengaruh
tidak langsung dari daya osmotiknya. Air akan ditarik ke dalam lumen usus dan akan
mengakibatkan feses menjadi lembek serta peristaltik usus akan meningkat ( Ari
Estuningtyas & Azalia Arif , 2007) ,Pengaruh laktulosa mengakibatkan bakteri kolon
memetabolisme gula yang menghasilkan asam laktat dan asam asetat yang berefek
osmosis menyebabkan peristaltik meningkat (Michael Heinrich, 2010). Laksatif salin
seperti magnesium sulfat, magnesium hidroksida, natrium fosfat, magnesium sitrat,
natrium sulfat, dan natrium kalium tartrat. Sedangkan laksatif osmotik seperti
laktulosa, gliserin, sorbitol, dan manitol. Efek samping seperti dehidrasi, kembung,
flatulen, payah jantung, intoksikasi magnesium, hiperfosfatemia, hipokalsemia (Tan
Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007).
2.4.3.3 Laksatif Stimulan
Agen ini memiliki efek langsung pada epitel, saraf, dan sel otot polos, dengan
merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga meningkatkan
peristaltik dan sekresi lendir usus, menghambat Na-K-ATPase, meningkatkan sintesis
prostaglandin dan aktivitas siklik AMP ( Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007).
Laksatif Stimulan seperti Sennae foliolum, Rhei radix, Bisadokil, Natrium pikosulfat,
Fenolftalein dan Oleum ricini (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007).Efek
sampingnya berupa mual muntah, bersifat genotoksik, mutagenik dan karsinoma
kolon (Michael Heinrich, 2010).
2.4.3.4 Minyak Mineral
Merupakan campuran dari hidrokarbon halifatik dari minyak tanah. Minyak ini
dicerna dan diabsorpsi secara terbatas. Agen ini melunakkan feses dan juga
mempengaruhi absorpsi air. Efek sampingnya kebocoran anal, penurunan absorpsi
vitamin yang larut dalam lemak, dan reaksi benda asing (Friedman, 1997).
2.4.4 Laksatif Antrakinon
Agen ini termasuk laksatif stimulan, dan mengandung antranoid bekerja secara
langsung pada mukosa usus dengan cara mempengaruhi beberapa target
farmakologis, efek laksatif disebabkan oleh peningkatan peristaltis kolon. Hasilnya
penurunan waktu transit dan mengakibatkan penurunan reabsorbsi air dari kolon.
Selain itu perangsangn sekresi klorida aktif menyebabkan pembalikan kondisi
fisiologis normal dan kemudian terjadi peningkatan eksresi air (Michael Heinrich,
2010)
2.4.5. Minyak Jarak (Castor oil = Oleum ricini)
Agen ini termasuk dari bagian laksatif stimulan. Berasal dari biji Ricinus
communis, yang mengandung protein, ricin, dan suatu trigliserid asam risinoleat (12-
asam-hidroksioleat). Di dalam usus halus Oleum ricini dihidrolisis oleh enzim lipase
menjadi gliserol dan asam risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan
aktif (Ari Estuningtyas & Azalia Arif , 2007). Risinoleat mengurangi absorpsi dari
cairan dan elektrolit serta meningkatkan peristaltik usus halus (Brunton, 1996).
Oleum ricini menyebabkan kolik, dan dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit.
Obat ini merupakan bahan induksi diare secara eksperimental (Ari Estuningtyas &
Azalia Arif , 2007).
Gambar 2.13 Oleum ricini
(http://rahasiawanitathebest.blogspot.com/2010/12/perawatan-kulit-menggunakan-bahan-
alami.html)
Dosis minyak jarak sebagai pencahar adalah sebagai berikut.
Dewasa: 15 – 60 ml/hari Anak: 5 – 15 ml/hari Minyak jarak dianjurkan untuk diberikan
pada pagi hari sebelum makan. Efek pencahar akan terlihat setelah 3 jam. (Ari
Estuningtyas, Azalia Arif, 2007)
2.4.6 Indikasi Penggunaan Laksatif
Laksatif diindikasikan pada keadaan sebagai berikut, (1) untuk mengurangi nyeri
pada pasien dengan luka episiotomi, fissura anal atau abses peri anal, (2) untuk
mengurangi tekanan intra-abdominal yang berlebihan pada orang yang menderita
hernia, anorektal stenosis atau aneurisma, (3) untuk mengurangi gejala konstipasi
sewaktu hamil dan masa nifas, (4) pada persiapan sebelum operasi dan pemeriksaan
radiologis, (5) pada pasien dengan penyakit neuromuskular berat, (6) pada anak-anak
dengan kelainan megacolon congenital maupun didapat, (7) pada pergerakan usus
yang telah dipengaruhi obat-obatan, seperti opioid, (8) untuk mengatasi penyakit
divertikular colon dan irritable colon syndrome (Brunton, 1996 ; Tan Hoan Tjay &
Kirana Rahardja, 2007).