kesimpulan kti

31
Judul Abstrak

Upload: ivonsantoso

Post on 08-Jul-2016

240 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

k

TRANSCRIPT

Page 1: Kesimpulan KTI

Judul

Abstrak

Page 2: Kesimpulan KTI

PENDAHULUAN

Multi-Drugs Resisten Tuberkulosis (MDR TB) didefinisikan sebagai

resistensi terhadap dua agen anti TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazid

(INH), dan rimfapisin dengan atau tanpa obat anti tuberkulosis (OAT) lainnya. MDR

dalam pengobatan TB menjadi masalah kesehatan di sejumlah negara dan merupakan

hambatan terhadap program pengendalian TB secara global. Kekebalan TB terhadap

OAT sebenarnya muncul sejak lama, kekebalan ini mulai dari yang sederhana yaitu

monoresisten, poliresisten, sampai dengan MDR dan extensive drug resitence (XDR).

World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 melapokan di dunia lebih dari

400.000 kasus MDR TB terjadi setiap tahunnya akibat kurang baiknya penanganan

dasar kasus TB dan juga pengaruh kepatuhan minum obat pasien itu sendiri. Laporan

Page 3: Kesimpulan KTI

WHO tahun 2007 menyatakan telah terjadi monoresisten OAT 10,3%, poliresisten

OAT 17,0%, dan MDR TB 2,9%. Pada tahun 2010 WHO menyatakan insiden TB -

MDR meningkat secara merata 2 % pertahun.1

Data di Indonesia menyatakan pada TB kasus baru didapatkan TB-MDR 2%

dan kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%. Berdasarkan WHO, Indonesia

berada pada peringkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus TB-MDR terbanyak di

dunia.2

ISI

Definisi

Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) adalah resistensi yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis secara in vitro terhadap isoniazid (H)

Page 4: Kesimpulan KTI

dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus

resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya.3

Kasus baru resisten obat TB yaitu terdapatnya Mycobacterium

tuberculosis resisten pada kasus baru adalah pasien yang didiagnosis TB, dan

sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT); atau durasi terapi

kurang 1 bulan. TB yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer.3

TB resisten pada kasus yang telah diobati sebelumnya adalah pasien yang

mendapatkan terapi TB sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis yang masih sensitif obat, tetapi selama perjalanan terapi

timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired).3

Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini

membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan

dan berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan

galur Mycobacterium tuberculosis wild type tidak terpajan. Diantara populasi

Mycobacterium tuberculosis wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT.

Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil

penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan

Mycobacterium tuberculosis sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu

penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi

Mycobacterium tuberculosis berisi organisms resisten obat. Populasi Mycobacterium

tuberculosis resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi

TB yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi

Mycobacterium tuberculosis resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien

resistensi obat menyebabkan Mycobacterium tuberculosis lebih resisten terhadap obat

yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat

pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya

koinfeksi TB HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR TB menjadi penyakit

dan peningkatan penularan MDR Tb.3,4

Page 5: Kesimpulan KTI

Diagnosis

Diagnosis TB resisten obat ditegakkan berdasarkan uji kepekaan di

laboratorium dengan jaminan mutu eksternal. Semua pasien yang dicurigai mengidap

TB resisten obat wajib diperiksa sputumnya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan

biakan dan uji kepekaan. Diagnosis TB resisten obat, TB MDR, dan TB XDR

dilakukan dengan menggunakan tes cepat dengan metode PCR (Xpert MTB / RIF),

pemeriksaan biakan serta uji kepekaan kuman terhadap obat TB (Drugs Sensitivity

Test / DST).3 Jika hasil uji kepekaan memperlihatkan adanya M. tuberculosis yang

resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid, diagnosis MDR-TB dapat

ditegakkan.5

Respons pengobatan pada pasien TB paru (termasuk pasien yang didiagnosis

dengan menggunakan tes molekular cepat) harus dimonitor pada saat menyelesaikan

tahap awal pengobatan (dua bulan) dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopi

sputum. Jika hasilnya positif pada akhir fase awal pengobatan maka dilakukan

pemeriksaan sputum ulangan pada akhir bulan ketiga, dan jika masih positif, maka

pemeriksaan sensitifitas obat secara molekuler cepat (line probe assay atau Xpert

MTB/RIF) harus dilakukan. Pasien dengan sputum masih tetap positif pada akhir

bulan ketiga pengobatan, pasien dengan gagal pengobatan, pasien yang tidak terlacak

(putus pengobatan), atau kambuh harus selalu dicurigai sebagai resisten obat. Pada

pasien yang seperti ini, maka Xpert MTB/RIF merupakan tes diagnostik awal. Jika

terdeteksi resisten Rifampisin, maka kultur dan tes kepekaan harus segera dilakukan

untuk isoniazid, florokuinolon, dan obat-obat injeksi lini kedua. Pasien dengan atau

kemungkinan besar mengidap tuberculosis yang disebabkan oleh organisme yang

resisten obat (terutama MDR/XDR) harus diterapi dengan menggunakan rejimen obat

anti tuberculosis lini kedua yang terjamin efektifitasnya.6

Kriteria risiko resisten OAT adalah:6

1. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan dengan OAT kategori II,

Page 6: Kesimpulan KTI

2. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah bulan ketiga dengan

OAT kategori II,

3. Pasien yang pernah mendapat pengobatan TB, termasuk OAT lini kedua, seperti

kuinolon dan kanamisin,

4. Pasien yang gagal dalam pengobatan dengan OAT kategori I,

5. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah sisipan dengan

OAT kategori I,

6. Kasus TB kambuh,

7. Pasien yang kembali berobat setelah lalai pada pengobatan kategori I dan/atau

kategori II,

8. Pasien dengan keluhan yang dicurigai TB, pasien yang tinggal dekat pengidap TB

resisten obat ganda, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB

resisten obat ganda,

9. Pasien HIV

Metode Konvensional Uji Kepekaan Obat

WHO mendukung penggunaan metode biakan media cair dan identifikasi M.

tuberculosis cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih sensitif

mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus sebesar 10%

dibandingkan media padat, di samping lebih cepat memperoleh hasil sekitar 10 hari

dibandingkan 28-42 hari dengan media padat.7

Metode Diagnostik Molekuler Cepat yang Telah Disetujui WHO

Xpert assay dapat mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis dan

resistensi rifampisin dari sputum dalam beberapa jam. Akan tetapi, konfirmasi TB

Page 7: Kesimpulan KTI

resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku

emas. Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan akan metode

biakan dan uji kepekaan obat konvensional untuk menegakkan diagnosis definitif TB

pada pasien dengan apusan BTA negatif. Lagi pula, uji kepekaan obat dibutuhkan

untuk menentukan kepekaan OAT selain rifampisin.7

Patofisiologi

Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut

air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting

pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen

seperti reaksi katase peroksidase.8

Mycobacterium tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan

dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid

diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase

(katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense

atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.8

Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari streptomyces mediterranel,

yang bekerja sebagai bakterisidintraselular maupun ekstraselular. Obat ini

menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA

polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram

positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan pox virus.resistensi

mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi mikobakterium terjadi pada frekuensi

107 atau lebih.8

Page 8: Kesimpulan KTI

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas

barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin

menghambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan

menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak

pada perpanjangan rantai (chain elogation) , tetapi RNA polymerase manusia tidak

terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi

kromosomdengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaiut 10-7 sampai

10-3. Dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi

pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya

perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.8

Penatalaksanaan

Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti

TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi

dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :9

1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat

ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan

digunakan dalam dosis maksimal.

2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi

digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah

kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative

3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua

pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam

regimennya

4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),

ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik

obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.

Page 9: Kesimpulan KTI

5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan

makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan

tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.

Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat

TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di

suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana

yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan

regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu

penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang

sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.9

Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas

hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan

diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama. Pengobatan

dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST

individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama.

Selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia

dari pasien yang bersangkutan.9

Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari

hasil DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan

riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji

sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia.9

Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai berikut

(World Health Organization, 2008) :

Tahap 1 : Gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih

menunjukkan efikasi

Tahap 2 : Tambahkan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi

berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan

Page 10: Kesimpulan KTI

Tahap 3 : Tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan

fluorokuinolon

Tahap 4 : Tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat

golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin

efektif

Tahap 5 : Pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari

golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan

belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.

Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan

oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain:9

1. Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita.

2. Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan

obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut.

3. Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya.

4. Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan.

5. Obat diberikan sekurnag-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin

etambutol,pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena

konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.

6. Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi.

7. Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak

memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh.

8. Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila

dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki

keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam

dan pirazinamid bekerja aktif.

Page 11: Kesimpulan KTI

9. Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan

10. Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan.

Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB

bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat

Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif,

dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini

kedua yang dipakai pada tahap awal.

Pemantauan Selama Pengobatan

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap

pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB – batuk,

berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan

pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan.

Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan

biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan.

Evaluasi pada pasien MDR TB adalah :9

1. Penilaian klinis termasuk berat badan

2. Penilaian segera bila ada efek samping

3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase

lanjutan

4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan

5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan

kegagalan pengobatan

6. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan

(Kanamisin dan Kapreomisin)

7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

Page 12: Kesimpulan KTI

Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat

WHO merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Short-course

(DOTS) dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah,

strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat

terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian

regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang

sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.9

Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus

baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada

pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman

terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting,

pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah

memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan

kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS).

Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence

based” dan tes kepekaan kuman.9

PENUTUP

Kesimpulan

Multi-Drugs Resisten Tuberkulosis (MDR-TB) dimana terjadi resistensi minimal

terhadap obat isoniazid (inh) dan rifampicin kini tersebar luas diseluruh dunia.

Menurut WHO, Indonesia menempati perngkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus

MDR TB terbanyak di dunia. Pilihan teknik diagnostik, pemberian obat dan

kepatuhan penderita dalam minum obat adalah hal yang sangat penting dalam

tatalaksana TB dengan kasus MDR TB ini.

Page 13: Kesimpulan KTI

WHO guidelines membagi obat MDR TB menjadi 5 grup berdasarkan potensi

dan efikasinya. Pilihan obat yang diberikan kepada pasien MDR TB yaitu obat lini

pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedia berdasarkan aktivitas intrinsiknya

terhadap kuman Mycobacterium Tuberculosis. Pemberian nutrisi yang adekuatdan

modifikasi sistem imun (dengan vaksin M.vaccae dan sitokin) dapat menjadi kunci

keberhasilan terapi terhadap pasien MDR TB, namun hal ini masih diperlukan

penelitian dan pengkajian lebih lanjut.

Daftar Pustaka

1. Mc Dobald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L, et al (eds), Baum’s Textbook of pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William ada Wilkins Publisher. Boston: 2003.

2. Aditama TY, dkk. Tuberculosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI. Jakarta: 2006.

3. Riyanto BS,wilhan. Management of MDR TB current and future. Bandung: PERPARI; 2008.

4. Leitch GA management of tuberculosis in seaton , crofton and douglas,s respiratory diseases vol 1, 15th ed. Berlin: 2008.

5. Diunduh pada tanggal 16 April 2016 di http:// http://www.tbindonesia.or.id/tb-mdr/.

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.

7. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis: Emergency update 2011. Geneva: WHO Press; 2011.

8. Wallace RJ, Griffith DE. Antymicrobial agents in kasper DL, harrison’s principles of internal medicine, 16th ed. Mc Graw hill. New york: 2008.

Page 14: Kesimpulan KTI

9. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine ed.18. USA: McGraw Hill Professional; 2011.h.1340-53.