bab ii kewarisan dalam islam a. pengertian hukum waris...

40
17 BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM A. Pengertian Hukum Waris Islam Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu waraa-yariu-mîrāṡan yang mempunyai makna berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. 1 Kata wara a ( ورث) adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al- Qur‟an. 2 Kata waridalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur‟an, yang antara lain: 3 1. Mengandung makna mengganti kedudukan(QS. an-Naml (27) : 16). Dan Sulaiman telah mewarisi Daud....”(al-Naml:16). 4 2. Mengandung makna memberi atau menganugerahkan(QS. az-Zumar (39) : 74). Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada Kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang Kami kehendaki. 5 1 Muhammad Ali as-abuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (al-Mawarifi al-Syari‟aty al-Islamiyyah), Terj. oleh A.M. Basalamah, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 33 2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 355 3 Ibid, h. 355 4 Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 378 5 Ibid, h. 466

Upload: phungthuy

Post on 19-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

KEWARISAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Hukum Waris Islam

Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu waraṡa-yariṡu-mîrāṡan yang

mempunyai makna berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau

dari suatu kaum kepada kaum lain.1

Kata wara ṡa adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam (ورث)

al-Qur‟an.2 Kata wariṡ dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita

temukan dalam al-Qur‟an, yang antara lain:3

1. Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml (27) : 16).

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud....”(al-Naml:16).4

2. Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar

(39) : 74).

Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi

janji-Nya kepada Kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini

sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana

saja yang Kami kehendaki.5

1Muhammad Ali as-Ṣabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (al-Mawariṡ fi al-Syari‟aty

al-Islamiyyah), Terj. oleh A.M. Basalamah, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 33 2Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2000), h. 355 3Ibid, h. 355

4Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 378

5Ibid, h. 466

18

3. Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-

Maryam (19) : 6).

“Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan

jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai".

Selain itu dapat ditemukan pula dalam sabda Nabi Muhammad Saw:

ببء بء انعه سثت ال 6

“Ulama adalah ahli waris para Nabi”

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian waris menurut

bahasa masih bersifat umum, artinya tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan

dengan harta, akan tetapi lebih luas dari itu, seperti mencakup arti harta benda

maupun non harta benda.

Selain itu, istilah waris dalam Islam juga dikenal dengan sebutan farāiḍ. Secara

bahasa farāiḍ adalah jamak dari kata farîḍah. Sedangkan kata farîḍah diambil dari

kata farḍ yag artinya takdir (ketentuan). Sedangkan farḍ secara Syar‟i adalah

bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris,7 yaitu sesuatu yang telah ditetapkan

bagiannya secara jelas. Jadi, penyebutan farāiḍ ini lebih didasarkan pada bagian

tertentu yang diterima oleh ahli waris.

Al-mîrāṡ (waris) menurut para Ulama diartikan sebagai berpindahnya hak

kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,

baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa

6al-Imam Jalāluddin „Abdurrahman bin Abî Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin as-

Suyûṭi, al-Jāmi‟u al-Ṣagir min Hadiṡ al-Basyîr al-Nazîr, Juz 2, (Beirut: Dārul Kutub, 1994) h. 11 7Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah, Juz III, (Beirut: Dārul Fikr, 2006), h. 1003

19

hak milik legal secara Syar‟i.8 Ilmu waris juga diartikan sebagai Ilmu yang

mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang

diterima oleh ahli waris dan cara pembagiannya.9

Secara hukum kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur

tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui

bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang

berhak menerimanya.10

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan definisi bahwa hukum kewarisan

adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan berapa bagian masing-masing (Pasal 171 huruf a KHI).11

Berikut penulis tampilkan beberapa pakar dalam mengartikan hukum

kewarisan, yaitu

a. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah:

Suatu ilmu yang dengan dialah dapat diketahui orang yang menerima

pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, kadar yang diterima tiap-

tiap waris dan cara membaginya.12

b. „Abdullah Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, ilmu farā‟iḍ ialah:

Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang

berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang

8Muhammad Ali as-Shabuni, Op. Cit., h. 33

9Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), (Semarang, tt), h. 1

10Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) h. 355

11Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Cet. I, (Bandung: Nuansa

Aulia, 2008), h. 53-54 12

Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 18

20

mendapatkannya agar masing-masing orang berhak mendapatkan

bagian harta warisan yang menjadi haknya.13

c. Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam yaitu:

Hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan

dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli

waris), berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana

cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk al-Qur‟an, hadiṡ dan

ijtihad para ahli.14

Berdasarkan definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu waris/ilmu farāiḍ

sebagai ilmu yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta

peninggalan dari seorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang

masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang

berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris maupun

cara penyelesaian pembagiannya. Hukum kewarisan pada dasarnya mencangkup

tiga aspek penting yang terdapat di dalamnya, yaitu orang yang meninggal

(pewaris), ahli waris (yang hidup), dan harta yang diwariskan.

B. Ayat dan Hadiṡ Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan Islam berfungsi sebagai pengatur peralihan harta dari

seseorang yang telah meninggal (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris).

Aturan tentang kewarisan dalam Islam bersumber dari nash atau teks yang

terdapat dalam al-Qur‟an dan hadiṡ.

13

Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ṣahîh Fiqih Sunnah (Penterjemah

Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), h. 682 14

Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam , (Pontianak : FH. Untan Pres, 2008), h. 148

21

Adapun ayat-ayat al-Qur‟an yang secara langsung mengatur tentang kewarisan

adalah sebagai berikut:

1. QS. an-Nisā‟ (4) ayat 11

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua

orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari

dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua

orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),

maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu

tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.15

Ayat tersebut mengatur tentang perolehan anak dengan ketentuan tiga

garis hukum dan menerangkan tentang wasiat dan hutang.16

Perolehan anak dengan tiga garis hukum tersebut, yaitu: pertama bagian anak

laki-laki sebanyak dua bagian seorang anak perempuan, kedua jika ahli waris

15

Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 78 16

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 4

22

hanya anak perempuan saja dan jumlahnya ada dua orang maka mendapat

duapertiga dan ketiga jika ahli waris hanya perempuan saja maka mendapat

seperdua.

Perolehan ibu dan bapak dengan tiga garis keturunan hukum yaitu pertama

ibu-bapak mendapat seperenam jika pewaris ada walad, kedua jika pewaris tidak

ada anak dan baginya tidak ada beberapa saudara atau seorang saudara perempuan

dan yang mewarisinya ibu-bapak maka bagian ibu sepertiga, ketiga jika pewaris

tidak ada anak tetapi ada beberapa saudara atau seorang saudara perempuan maka

bagian ibu adalah seperenam.

2. QS. an-Nisā‟ ayat 12

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai

anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

23

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua

jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar

hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari

Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.17

Ayat di atas mengatur perolehan duda dengan dua ketentuan hukum, yaitu

duda mendapat seperdua bagian bila istri tidak ada anak dan duda mendapat

seperempat bila istri ada anak. Selain itu dalam ayat ini juga mengatur tentang

perolehan janda dengan dua garis hukum, soal wasiat dan hutang dan perolehan

saudara-saudara dalam hal kalālah dengan dua garis hukum.

3. QS. an-Nisa‟ (4) ayat 176

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah). Katakanlah: "Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kala#lah (yaitu): jika seorang meninggal

dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,

maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta

saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri

dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara

laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah

menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat dan Allah

Maha mengetahui segala sesuatu.18

17

Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 79 18

Ibid, h. 106

24

Ayat tersebut menerangkan tentang arti kalālah mengatur mengenai

perolehan saudara-saudara dalam hal kalālah.

4. QS. an-Nisā`: 7

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bahagian yang telah ditetapkan (QS. an-Nisā‟: 7).19

5. QS. al-Anfal: 75

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta

berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab

Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu (QS. Al-

Anfal: 75).20

6. QS. al-Ahzab: 6

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri

mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-

orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak

(waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan

19

Ibid, h. 78 20

Ibid, h. 186

25

orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-

saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam

kitab (Allah).21

QS. al-Anfāl: 75 dan QS. al-Ahzāb: 6 memberikan keterangan bahwa kerabat

pewaris lebih berhak mendapatkan bagian dibandingkan yang bukan kerabat atau

yang tidak mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris. Jadi, dasar waris

mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan

keagamaan sebagaimana yang terjadi antara Muhajirin dan Anshar pada

permulaan Islam.

Pada QS. an-Nisā‟: 7 Allah mengatur dan menegaskan laki-laki dan

perempuan dapat mewarisi dan ditegaskan dengan sebutan yang sama. Ayat ini

menunjukkan bahwa Dia-lah yang Maha Bijaksana dan Maha Adil, yaitu dengan

memberikan hak waris pada laki-laki dan perempuan tanpa membedakan antara

laki-laki dan perempuan besar maupun kecil. Hal ini merupakan revolusi hukum

yang dibawa oleh Islam ke dalam kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu,

karena pada masa Jahiliyah kaum wanita termarginalkan dan hanya lak-laki yang

telah cakap berperanglah yang berhak mendapatkan harta warisan. Jika dalam

istilah ushul fiqh ayat-ayat di atas merupakan ayat yang bersifat mujmal,

sedangkan rinciannya terdapat pada QS. an-Nisā‟: 11-12 dan 176 yang mengatur

secara rinci tentang ahli waris dan bagian masing-masing.

Ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang berkenaan dengan warisan menunjukkan

bahwa Allah Ta‟ala membatasi pemberian warisan hanya kepada golongan atau

pihak yang disebutkan Allah. Dengan demikian tidak sepantasnya seseorang

21

Ibid, h. 418

26

menambahkan peruntukkan warisan kepada golongan atau pihak yang tidak

disebutkan Allah. 22

Selain itu, hadiṡ nabi Muhammad saw yang secara langsung mengatur

tentang hukum kewarisan adalah sebagai berikut:

a. Hadis Nabi dari Jabir bin „Abdullah tentang kasus kewarisan pertama dan

sebab turunnya QS. An-Nisa: 11-12:

ى ه ص للا ل س س نى إ ع ب انش ب ذ ع س ة شأ ي ا ث بء : ج بل ق ش بب ج ع

بح للا ل س بس ج بن ق , ف ذ ع س ب ي خ ب بب ى ه س ه ع للا ذ ع ب س خ اب ب

م خ ق ع ب انش ب ب أ ذ ش ذ ح أ فى ك ع ب ي ى ه ف بن ي ز خ ب أ ع أ ا

ل بل ب ي ن ع ذ كحب إل نب يبل. قبل: فقبل: "قض للا

ف رنك". قبل: فضنج آت انشاد، فأسسم سسل للا ملسو هيلع هللا ىلص إنى

، يب بق ف عب فقبل: "أعط ابخ سعذ انثهث، أي ب انث 23)سا انبخبسي( نك"

“Dari Jabir bin „Abdullah berkata: janda Sa‟ad datang kepada Rasulullah

Saw bersama dua anak perempuannya. Lalu ia berkata: “ya Rasulullah,

ini dua orang anak perempuan Sa‟ad yang telah gugur secara syahid

bersamamu di perang Uhud. Paman mereka mengambil harta

peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka.

Keduanya tidak dapat dinikahkan tanpa harta”‟Nabi berkata: Allah akan

menetapkan hukum atas kejadian ini. Kemudian turun ayat-ayat tentang

kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata: berikan duapertiga

untuk kedua anak perempuan Sa‟d, seperdelapan untuk istri Sa‟ad dan

selebihnya ambil untukmu”.

Hadiṡ ini mempunyai hubungan yang sangat-erat dengan QS. an-Nisā‟ ayat

11 dan 12, karena hadiṡ ini merupakan sababunnuzûl dari ayat tersebut. Dan

berawal dari hadiṡ inilah pelaksanaan waris menurut hukum Islam pertama kali

dilaksanakan oleh Nabi saw.

b. Hadiṡ tentang Waktu Turunnya QS. an-Nisā‟: 176

22

Imam Syafi‟i, Tafsir al-Imam asy-Syafi‟i, (almahira.....) 23

Ahmad bin „Ali Bin Hajar Abu al- Faḍl „Asqalāni As-Syāfî‟i, Op. Cit., h. 244

27

بءش أت ضنج خبحت سسة انسخع انبشاء سض للا ع قبل: أ

24سي(بانبخسا ) تقم للا فخكى فى انكالن سخفخك"

Dari Barra ra, ayat terakhir yang diturunkan sebagai penutup surat an-

Nisā‟ adalah yastaftûnaka qulillahu yuftîkum fil kalālah (Bukhari).

c. Hadis tentang hak „Aṣabah bi an-Nafs:

نى :ملسو هيلع هللا ىلص قب ل سسل للا ل ف ب بق ب ف ه ا انفشائض بأ أنحق

25)سا انبخبسي( سجم ركش

Berikanlah farāiḍ (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada

yang berhak dan yang selebihnya berikanlah untuk laki-laki turunan laki-

laki yang terdekat.

Hadiṡ di atas menerangkan tentang urutan pembagian warisan. Dalam hal ini

yang pertama berhak adalah aṣhābul furûḍ (bagian-bagian yang telah ditentukan)

yaitu 1

/2 , 1/3 ,

1/4,

1/6,

1/8,

2/3, dan sisanya diberikan kepada laki-laki yang terdekat

(„aṣabah).

d. Hadiṡ tentang hak saudara perempuan untuk menjadi ‟aṣabah ma‟a al-

ghair, yaitu:

يسى أب سئم ج ع ابت ب أخج اب ج :فقبل ، انصف نهب

نلخج أث ،انصف فسئم ،فسخببع يسعد اب يسعد اب

أخبش ل يب إر ا ضههج نقذ :فقبل .يسى أب بق أب ي خذ ،ان

ب أقض ب ف قضى ب صه ى ان ب للا سه ى عه انصف نالبت

لبت هت انسذط اب حك يب ،انثهث ب ،فهلخج بق أبب فأح

ل فأخبشب يسى بق زا داو يب حسأن ل :فقبل يسعد اب

فكى انحبش 26

24

Ibid, h. 205 25

Abu Hasan Nuruddin Muhammad bin „Abdul Hadi al-Sindi, Ṣahîh Bukhari Bihāsyiyah

al-Imam al-Sindi, Juz IV, (Dār al-Kitab al-„Ilmiyah, 2008), h. 316 26

Yahya bin Muhammad bin Hubairah al-Zāhali al-Syiyabani, Ifṣāh „An Ma‟ani al-Ṣihāh,

Juz II, (Maktabah Syāmilah: Dārul Waṭani, 1417 H), h. 93

28

Ditanyakan kepada Abu Musa tentang bagian seorang anak perempuan,

seorang cucu perempuan (melalui anak laki-laki yang telah meninggal) dan

seorang saudara perempuan kandung. Beliau menjawab, untuk anak

perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Pergilah

kepada ibnu Mas‟ud tentu dia pun akan mengikuti aku. Ketika diajukan

kepada ibnu Mas‟ud dia menjawab, kalau begitu saya telah sesat dan tidak

termasuk orang yang mendapat petunjuk. Saya akan menyelesaikannya

berdasarkan keputusan Nabi saw, untuk seorang anak perempuan seperdua,

untuk seorang cucu perempuan seperenam guna menggenapkan dua pertiga,

dan sisanya untuk saudara perempuan. Setelah itu kami (penanya) kembali

kepada Abu Musa dan menceritakan penjelasan ibnu Mas‟ud tersebut. Abu

Musa menjawab, jangan tanyai aku selama orang „alim itu masih ada.

C. Syarat dan Rukun Waris

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan

perpindahan kepemilikan suatu benda, hak dan tanggungjawab dari pewaris

kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan

didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya

menurut ketetapan Allah swt tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli

waris. 27

Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun mewarisi telah

terpenuhi dan tidak tidak terhalang mewarisi.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan.

Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukunnya, namun sebagiannya ada yang

berdiri sendiri.

Dalam hal ini, penulis menemukan tiga syarat warisan yang telah disepkati

oleh para „Ulama, yaitu:

1. Meninggalnya pewaris baik secara haqiqiy atau hukmy (misalnya

dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.

2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris

meninggal.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti bagiannya masing-masing.28

Adapun rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan.

Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga, yaitu:

27

Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990, h. 129. 28

Muhammad Ali aṣ-Ṣabûni, Op.cit, h. 40.

29

a. Muwarriṡ, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang

yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwarris benar-benar

telah meninggal dunia.

Kematian seorang muwaris itu menurut „Ulama dibedakan menjadi

tiga macam:

1) Mati Hakiki (mati sebenarnya).

Mati Hakiki (mati sebenarnya) adalah matinya muwarris yang

diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim karena kematian

tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan

dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.

2) Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis)

Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah

suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena

adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim

secara yuridis muwarris dinyatakan sudah meninggal meskipun

masih ada kemungkinan ia masih hidup. Menurut pendapat

Malikiyah dan Hanabilah, apabila seseorang meninggalkan suatu

tempat selama 4 tahun maka sudah dapat dinyatakan mati. Menurut

pendapat „Ulama mażhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam

melakukan pertimbangan dari berbagai macam kemungkinan.

3) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).

Mati Taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian

(muwarris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang

30

ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika

bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dugaan kerasnya kematian

itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya. 29

b. Wāris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan

kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau

perkawinan, atau karena memerdekakan budak. Syaratnya adalah pada

saat meninggalnya muwarris, ahli waris diketahui benar-benar dalam

keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam

kandungan. Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara

muwarriṡ dan ahli waris tidak ada halangan untuk saling mewarisi.

c. Maurus atau al-Mîrāṡ, yaitu harta peninggalan yang meninggal setelah

dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan

wasiat.30

D. Bagian-bagian Ahli Waris

Pada bagian ini, kita akan membicarakan tentang bagian-bagian ahli waris.

Namun ada baiknya terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa-siapa saja yang

termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, yaitu aṣhābul furûḍ, „aṣabah

dan żawil arhām serta meneliti lebih lanjut apakah terdapat penghalang di dalam

menerima harta warisan.

1. Ahli Waris dan Macam-Macamnya.

Adapun kriteria sebagai ahli waris tercantum di dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Pasal 171 huruf c, yang berbunyi:

29

Muslich Maruzi, Op. Cit, h. 21-22. 30

Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, op. Cit, h. 29.

31

“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” 31

Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang

dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah

(nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam

serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan dalam Pasal 173.

Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat

mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam Pasal

173 telah dipenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya

dengan si mayyit dan juga yang hubungannya lebih jauh dengan si

mayyit. Dalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya

masing-masing. Dan dalam urut-urutan penerimaan harta warisan

seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat

hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli

waris karena dari keturunan perempuan (żawil arhām).

Apabila dicermati, hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua

macam, yaitu:

a. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan

kekeluaragaannya timbul karena adanya hubungan darah. Maka

sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris

dengan ahli waris.

b. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul

karena sebab tertentu:

1) Perkawinan yang sah (al-Muṣoharah).

31

Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum

Islam, Departemen Agama RI, Jakarta, 1999/2000, h. 81.

32

2) Memerdekakan hamba sahaya (al-Walā‟) atau karena ada

perjanjian tolong-menolong. 32

Macam-macam ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan

yang ditinjau dari jenis kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Jika

ditinjau dari jenisnya, maka ahli waris terbagi menjadi dua golongan, yaitu ahli

waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Dan jika ditinjau dari segi hak atas harta

warisan, maka ahli waris terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: żawil furûḍ,

„aṣobah dan żawil arhām. 33

Para ahli waris perempuan dan laki-laki jika semua masih hidup jumlahnya

ada 25 orang. Sepuluh orang ahli waris perempuan dan lima orang ahli waris laki-

laki.

Jika ahli waris laki-laki semuanya ada, maka urut-urutannya sebagai

berikut:

a) Anak laki-laki

b) Bapak

c) Suami

d) Cucu laki-laki dari anak laki-laki

e) Kakek dari bapak

f) Saudara laki-laki sekandung

g) Saudara laki-laki

h) Saudara laki-laki seibu

i) Anak laki-laki dari saudara (keponakan) sekandung

32

Ahmad Rafiq, Fiqh Mawariṡ, op. cit, h. 59. 33

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Ed. Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2001, h.

34.

33

j) Anak laki-laki dari saudara (keponakan) sebapak

k) Saudara laki-laki bapak (paman) sekandung

l) Saudara laki-laki bapak (paman) sebapak

m) Sepupu (misan) laki-laki sekandung, yaitu anak laki-laki paman yang

sekandung

n) Sepupu (misan) laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki yang sebapak

o) Orang laki-laki yang memerdekakan budak. 34

Jika ahli waris semuanya ada dan tidak ada halangan mewarisi, maka

yang mendapat warisan dari mereka hanya tiga saja, yaitu:

A. Anak laki-laki

B. Bapak

C. Suami.35

Jika ahli waris perempuan (al-warisāt) semuanya ada, maka urutannya

adalah sebagai berikut:

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan dari anak laki-laki

3. Ibu

4. Istri

5. Saudara perempuan sekandung

6. Nenek dari garis ibu

7. Nenek dari garis bapak

8. Saudara seayah

34

Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, 2012, h. 41. 35

Ibid.

34

9. Saudara seibu

10. Orang yang memerdekakan budak.36

Apabila semua ahli waris yang berjumlah dua puluh lima orang (laki-laki

dan perempuan) semuanya ada, maka hanya lima orang saja yang berhak

mendapatkan bagian, mereka adalah:

a. Suami atau istri

b. Anak laki-laki

c. Anak perempuan

d. Bapak

e. Ibu. 37

2. Hājib dan Mahjȗb

Dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu ah li waris hājib dan mahjûb:

A. Ahli waris hājib secara bahasa hijāb artinya dinding atau penutup atau

penghalang dari mendapatkan bagian warisan menjadi tidak mendapatkan atau

berkurang karena masih ada ahli waris yang lebih dekat. 38

Maka ahli waris hājib

adalah ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya menghalangi hak waris

ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya. Perbuatan menutupnya disebut

hijāb. Contoh: bapak menjadi penghalang bagi saudara perempuan. Hijāb

(penghalang mendapatkan warisan) ada dua macam, yaitu:

1. Hijāb Nuqṣon, yaitu: mengurangi bagian ahli waris tertentu yang

seharusnya diterimanya karena adanya ahli waris lain yang lebih dekat.

36

Ibid, h. 43 37

Ibid. 38

Muslich Maruzi, op.cit, h. 43.

35

Contoh: Bagian suami menjadi berkurang karena ada anak. Suami

berhak mendapatkan setengah dari harta istrinya yang meninggal, akan

tetapi karena adanya anak yang ditinggalkan bersama, maka bagian

suami berkurang menjadi seperempat bagian saja.

2. Hijāb Hirmān (menghalangi secara total), yaitu: dinding yang

menyebabkan ahli waris tidak mendapat bagian sama sekali karena ada

ahli waris yang lebih dekat. Contoh: cucu laki-laki tidak mendapatkan

bagian sama sekali dari harta warisan karena ada anak laki-laki. 39

B. Ahli Waris Mahjûb, yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya

dan terhalang untuk mewarisi. 40

C. Bagian Masing-Masing Ahli Waris

Hukum kewarisan mengatur bagaimana pembagian harta warisan dengan

benar, namun masih ada juga menimbulkan perselisihan pada saat pembagiannya.

Karena tidak jarang pada saat pembagian itu mengakibatkan konflik antar anggota

keluarga yang berkepanjangan hingga putusnya tali silaturrahmi. Maka untuk

menghindarkan konflik antar anggota keluarga, hukum kewarisan Islam telah

memberikan pedoman-pedoman bagi pelaksanaan pembagian harta waris.

Keistimewaan hukum waris Islam bahwa bagian untuk seorang ahli waris

sering tidak tetap atau berubah-ubah menurut keadaan dan kedudukan ahli waris.

Maka dalam hal ini perlu diperhatikan dengan baik dan teliti agar tidak terjadi

kekeliruan dalam pembagian harta warisan. 41

39

Op.cit, h. 43. 40

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, op.cit, h. 385. 41

Ahmad Azhar Basyir, op.cit. h. 42.

36

Dalam hukum waris Islam, apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang

diterima, maka dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu: aṣhābul furûḍ, „aṣabah

dan żawil arhām.

Adapun yang dimaksud dengan aṣhābul furûḍ adalah ahli waris yang

bagiannya telah ditentukan dalam al-Qur`an, seperti bagian 1

/2, 1/4,

1/6,

1/8,

2/3

atau

1/3.

Ahli waris „aṣabah yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa

bagian setelah harta warisan dibagikan kepada aṣhābul furûḍ.

Ahli waris żawil arhām, yaitu yang sesungguhnya memiliki hubungan

famili dengan mayit (pewaris), akan tetapi menurut ketentuan al-Qur`an tidak

berhak menerima bagian warisan.42

Karena ahli waris żawil arhām tidak termasuk

golongan ahli waris aṣhābul furûḍ ataupun „aṣabah.

Ketentuan bagian masing-masing ahli waris aṣhābul furûḍ diperoleh dari al-

Qur`ān dan hadiṡ. Sebagaimana telah disebutkan dalam al-Qur`ān, ahli waris

aṣhābul furûḍ terdiri dari 12 orang, yaitu: suami, istri, anak perempuan, cucu

perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, bapak, ibu, nenek, kakek, saudara

perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak, saudara laki-laki dan

perempuan seibu.

Bagian masing-masing ahli waris aṣhābul furûḍ sebagai berikut ini:

1. Suami

QS. an-Nisā` ayat 12, yang menentukan bagian suami menjadi 2

macam, yaitu:

a. 1/2, jika tidak ada atau cucu dari anak laki-laki

42

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, op.cit, h. 60.

37

b. 1/4, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki.

2. Istri

QS. an-Nisā` ayat 12 menentukan bagian istri menjadi 2 macam, yaitu:

a. 1/4, jika tidak anak atau cucu dari anak laki-laki.

b. 1/8, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki.

3. Anak perempuan

a. 1/2, jika anak perempuan hanya seorang dan tidak bersama dengan

anak laki-laki yang menariknya menjadi „aṣobah.

b. 2/3, jika anak perempuan dua orang atau lebih dan tidak ada anak

laki-laki.

c. „Aṣobah, jika ada anak laki-laki.

4. Cucu Perempuan

Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki jika tidak mahjûb adalah:

a. 1/2, jika cucu perempuan hanya seorang dan tidak bersama dengan

cucu laki-laki dari anak laki-laki yang menariknya menjadi

„aṣobah.

b. 2/3, jika cucu perempuan dua orang atau lebih dan tidak ada cucu

laki-laki dari anak laki-laki.

c. 1/6, jika bersama dengan anak perempuan tunggal sebagai

pelengkap 2

/3 harta warisan.

d. „Aṣobah, jika ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.

e. Terhalang (mahjûb) oleh

- Anak laki-laki

38

- Dua orang atau lebih anak perempuan jika tidak ada yang

menariknya menjadi „aṣobah.

5. Bapak

QS. an-Nisā` ayat 11 menentukan bagian bapak menjadi 3 macam,

yaitu:

a. 1/6, jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki (dari

anak laki-laki).

b. 1/6 „aṣobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan dan

tidak ada far‟u wariṡ (keturunan) laki-laki.

c. „Aṣobah, jika tidak ada anak atau cucu yang menjadi ahli waris

6. Ibu

QS. an-Nisā` ayat 11 menentukan bagian ibu menjadi 2 macam, yaitu:

a. 1/6, jika ada anak atau cucu (ada far‟u wariṡ) atau lebih dari

seorang saudara.

b. 1/3, jika ada anak atau cucu (ada far‟u wariṡ) atau lebih dari

seorang saudara.

7. Kakek dan Nenek

Bagian kakek apabila tidak termahjub oleh bapak ialah seperti (bagian

bapak), yaitu:

a. 1/6, jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari

anak laki-laki.

b. 1/6 dan „aṣobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan dan

tidak ada far‟u wariṡ laki-laki.

39

c. „Aṣobah, jika tidak ada anak atau cucu (tidak ada far‟u wariṡ)

d. Muqasamah.

Adapun bagian nenek apabila tidak termahjub oleh ibu, yaitu:

mendapatkan 1

/6 jika nenek seorang diri.

8. Saudara Perempuan Sekandung

QS. an-Nisā` ayat 176 menentukan bagian saudara perempuan

sekandung, jika tidak mahjûb maka bagiannya adalah:

a. 1/2 jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan

saudara laki-laki sekandung yang menariknya menjadi „aṣobah.

b. 2/3 jika saudara perempuan sekandung dua orang atau lebih, tanpa

ada saudara laki-laki sekandung.

c. „Aṣobah, jika ada saudara sekandung laki-laki.

d. „Aṣobah ma‟a al-Ghoir, jika anak perempuan atau cucu

perempuan (dari anak laki-laki).

9. Saudara Sebapak

Kedudukan saudara sebapak adalah dibawah kedudukan saudara

sekandung (sebagaimana kedudukan cucu dibawah kedudukan anak) sehingga

bagiannya juga sama jika tidak termahjûb. Jika tidak termahjûb, maka bagiannya

adalah:

a. 1/2 jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan

saudara laki-laki sebapak yang menariknya menjadi „Aṣobah.

b. 2/3 jika saudara perempuan sebapak dua orang atau lebih, tanpa ada

saudara sebapak laki-laki.

40

c. „Aṣobah, jika ada saudara sebapak laki-laki.

d. „Aṣobah ma‟a al-Ghoir, jika ada anak perempuan atau cucu

perempuan (dari anak laki-laki).

e. Tanpa ada saudara laki-laki sebapak, saudara perempuan sebapak

mendapatkan 1

/6, jika ada seorang saudara perempuan sekandung

sebagai pelengkap 2

/3, sebagaimana cucu perempuan (dari anak

laki-laki) bersama dengan anak perempuan.

10. Saudara Seibu

Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan kedudukannya

adalah sama, jika tidak termahjûb maka bagian yang diterimanya adalah:

a. 1/6, jika hanya seorang.

b. 1/3, jika dua orang atau lebih baik laki-laki maupun perempuan,

bagiannya dibagi rata di antara mereka.

c. Merupakan pengecualian apabila ahli warisnya terdiri dari suami,

ibu, saudara-saudara sekandung dan saudara-saudara seibu. 43

Dari bagian-bagian ahli waris yang kami uraikan di atas, terdapat juga

bagian yang belum jelas ketentuannya yang sering disebut dengan „aṣobah.

Menurut bahasa „aṣobah berarti pembela, penolong atau pelindung. Sedangkan

secara istilah, „aṣobah ialah ahli waris yang berhak menerima harta warisan sisa

dengan tidak ditentukan bagiannya.44

Adapun macam-macam ahli waris „aṣobah ada 3 macam yaitu sebagai

berikut:

43

Fatchur Rahman, Op.cit. h. 263-267. 44

Muslich Maruzi, op.cit, h. 47.

41

a. „Aṣobah binafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya

sendiri berhak menerima bagian „aṣobah. „Aṣobah binafsih semuanya

terdiri dari 14 orang, yaitu:

1) Anak laki-laki

2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki

3) Bapak

4) Kakek dari bapak

5) Saudara laki-laki sekandung

6) Saudara laki-laki sebapak

7) Anak laki-laki dari saudara sekandung (keponakan)

8) Anak laki-laki dari saudara sebapak (keponakan)

9) Saudara laki-laki bapak (paman) sekandung

10) Saudara laki-laki bapak (paman) sebapak

11) Sepupu (misan) laki-laki sekandung, yaitu anak laki-laki paman

yang sekandung.

12) Sepupu (misan) laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki paman

yang sebapak

13) Mu‟tiq, yaitu orang laki-laki yang memerdekakan budak.

14) „Aṣobah dari mu‟tiq.45

b. „Aṣobah bil Ghaoir, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena

telah bersama-sama ahli waris yang menerima bagian sisa („aṣobah

binafsih). Jadi golongan ahli waris ini menjadi ahli waris „aṣobah

45

Ibid, h. 48.

42

karena ditarik oleh ahli waris „aṣobah lain. Apabila ahli waris penerima

bagian sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu sebagai

ahli waris. Ahli waris penerima „aṣobah bil Ghoiri itu adalah:

1) Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki.

2) Cucu perempuan dari anak laki-laki bersama dengan cucu laki-laki

dari anak laki-laki.

3) Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki

sekandung.

4) Saudara perempuan sebapak bersama dengan saudara laki-laki

sebapak.46

c. „Aṣobah ma‟al Ghoir, yaitu ahli waris yang menerima bagian „aṣobah

karena bersama-sama ahli waris lainnya yang bukan „aṣobah. Apabila

ahli waris lain tidak ada, maka bagian yang diterimanya adalah bagian

yang telah ditentukan (al-furûḍ al-muqaddarah). Ahli waris yang

mererima „aṣobah ma‟al Ghori hanya ada 2, yaitu:

1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama

dengan anak perempuan atau cucu perempuan (dari anak laki-laki)

seorang atau lebih.

2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan

anak perempuan atau cucu perempuan (dari anak laki-laki) seorang

atau lebih.47

E. Hal-hal Yang Menghalangi Waris

46

Ibid, h. 49. 47

Ibid, h. 51.

43

Adapun yang dimaksud penghalang mewarisi adalah hal-hal yang dapat

mengugurkan hak ahli waris untuk mewarisi harta warisan pewarisnya, orang

yang kehilangan hak mewarisi disebut dengan mahrûm, sedangkan

penghalangnya disebut hirmān. 48

Dalam hal ini, banyak perbedaan pendapat tentang hal-hal apa saja yang

dapat menghalangi seseorang mendapat hak mewarisi. Namun secara umum hal-

hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:

1. Pembunuhan.

Pembunuhan adalah suatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang

waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadiṡ Rasulullah saw, yaitu

ب أ ع ة ش ش للا ع بل ق ى ه س ه ع ى للا ه ص للا ل س س أ سض

."د ش ل م بح انق :"

“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: si pembunuh tidak

berhak mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadiṡ diriwayatkan an-

Tirmiżi dan Ibnu Mājah dengan sanad yang ṣohih)”.

Dari hadiṡ tersebut diketahui bahwa pembunuhan merupakan suatu

perbuatan yang menjadi penghalang untuk mewarisi. Namun kategori

pembunuhan itu sendiri bermacam-macam dan ada sebagian „Ulamā‟ yang

berpendapat bahwa tidak semua pembunuhan dapat menggugurkan hak waris.

Amir Syarifuddin mengkategorikan macam-macam pembunuhan itu

menjadi dua macam, yaitu:

a. Pembunuhan yang hak dan tidak berdosa.

48

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Dār al-Fikr

44

Yang termasuk pembunuhan yang hak dan tidak berdosa adalah

pembunuhan dalam peperangan, petugas qiṣoṣ (eksekutor), membunuh

untuk membela harta, jiwa dan kehormatannya.

b. Pembunuhan yang tidak hak dan berdosa.

Yang termasuk pembunuhan yang tidak hak dan berdosa adalah

pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan pembunuhan dengan

tidak sengaja.

Pada dasarnya seluruh fuqohā` menetapkan bahwasanya pembunuhan

adalah penghalang untuk mewarisi. Namun yang menjadi perbedaan di kalangan

fuqohā` adalah bentuk-bentuk pembunuhan yang mana saja yang dapat

dikategorikan sebagai penghalang mewarisi. Dalam masalah ini dapat kita

simpulkan sebagai berikut:

1) Menurut golongan Hanafiyah

Menurut golongan Hanafiyah, pembunuhan yang dapat

menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan secara langsung

(sengaja) karena dapat mengakibatkan qiṣoṣ, atau pembunuhan

yang serupa dengan sengaja atau tidak sengaja atau dianggap

sengaja yang semuanya diwajibkan membayar kaffarat atau

diyat, apabila pembunuhan itu dilakukan tanpa ada alasan yang

dapat membenarkan perbuatan tersebut dan yang melakukan

pembunuhan adalah orang yang berakal dan cukup umur atau

bukan orang gila. Jadi perbuatan yang tidak dikenai sanksi qiṣoṣ

45

dan masih mempunyai hak mewarisi, seperti pembunuhan yang

dilakukan oleh anak kecil (dibawah umur) dan lain sebagainya.49

2) Menurut golongan Syafi‟iyah.

Setiap pembunuhan secara mutlak dalam bentuk apapun menjadi

penghalang mewarisi, baik langsung maupun tidak langsung,

baik karena ada alasan maupun tidak dan dilakukan oleh orang

yang cakap bertindak maupun tidak. Oleh karena itu si

pembunuh harus diqiṣoṣ sehingga tidak dapat mewarisi harta

peninggalan orang yang dibunuh. Imam Syāfi‟i memberikan

contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi

sebagai berikut:

a) Hakim menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi

harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.

b) Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat

mewarisi harta orang peninggalan pesakitan yang

dibunuhnya.

c) Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu,

tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi

korban persaksian palsu. 50

Pendapat „Ulama pendukung syafi‟iyyah ini dikuatkan oleh sebuah

analisa bahwa pembunuhan dengan cara apapun dapat memutuskan tali perwalian

yang menjadi dasar saling mewarisi. 51

49

T.M. Hasby aṣ-Ṣiddîqy, Fiqhul Mawārîṡ, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, h.41. 50

Fatchur Rahman, op.cit. h. 91.

46

3) Menurut golongan Malikiyah.

Menurut golongan Malikiyah hanya pembunuhan yang disengaja

saja yang dapat menghalangi hak waris.

4) Menurut golongan Hanabilah.

Menurut golongan hanabilah, segala pembunuhan yang

berakibat qiṣoṣ atau yang berakibat kaffarat dapat menjadi

penghalang mewarisi. Adapun pembunuhan yang tidak

mengakibatkan sesuatu, seperti pembunuhan yang dapat

dibenarkan maka tidak menghalangi dalam menerima warisan. 52

2. Berbeda Agama.

Adapun yang dimaksud dengan berbeda agama adalah agama yang

dianut antara waris dan pewaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan

berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling

mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non muslim), orang islam tidak

mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda

Rasulullah saw:

ان بى ذ ع ص أسبيت ب ل انكبفش "قبل -ملسو هيلع هللا ىلص-ع سهى انكبفش ل شد ان

سهى ".ان

Dari Usamah bin Zaid dari Nabi saw berkata: Orang Islam tidak mewarisi

harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam.53

Dengan demikian secara mutlak para fuqohā` dalam masalah ini telah

bersepakat, karena tidak ada perdebatan yang menonjol dikalangan fuqohā`

51

Ibid. 52

T.M. Hasby ash-Shiddieqy, op.cit. h. 43. 53

Musnad Ahmad: 47/308. ....

47

tentang seorang yang berbeda agama tidak bisa saling mewarisi walaupun ada

sebab kekerabatan dan juga sebab perkawinan.

Demikian juga ditegaskan dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 172

yang berbunyi:

“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu

identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi

yang belum lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut

ayahnya atau lingkungannya.” (KHI BAB II Ahli Waris Pasal 172). 54

3. Perbudakan.

Dalam era millenium seperti pada masa sekarang, untuk membahas dan

berbicara tentang perbudakan tampaknya sudah tidak relevan. Perbudakan telah

lama dihapuskan dari muka bumi ini, bahkan Islam juga ikut andil dalam

penghapusan segala macam praktek perbudakan.

Karena pada dasarnya Islam sangat menganjurkan untuk

memerdekakan budak, karena perbudakan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai

humanisme dan kasih-sayang (rahmatan lil „alamin) yang keduanya merupakan

pokok dari ajaran Islam yang mencintai perdamaian dan kemerdekaan.

Firman Allah swt dalam QS. an-Nahl: 75 yang berbunyi:

“Allah telah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya

yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun...”55

54

Ditbinbapera Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, Departemen Agama, 1999/2000, h. 82. 55

Al-Qur`an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1980, h. 413.

48

Secara umum, mayoritas „Ulama sepakat bahwa sepakat bahwa seorang

budak terhalang menerima warisan, karena budak secara yuridis tidak cakap

dalam melakukan perbuatan hukum dan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya.

Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak

mewarisi; karena pada hakekatnya seorang budak juga merupakan harta dan

sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu sendiri bisa diwariskan.

4. Berlainan Negara

Perbedaan Negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara

jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:

a. Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing dibawah

komando yang berbeda.

b. Kepala negara yang berbeda.

c. Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama

diplomatik yang terjalin antar keduanya. 56

Namun dalam bab ini penulis tidak akan memfokuskan pada persoalan

beda negara, karena pada perkembangan berikutnya ternyata seorang muslim yang

berlainan negara bisa saling mewarisi. Hal ini dikarenakan Islam tidak membatasi

ajarannya pada suatu kaum saja, tapi juga untuk seluruh alam seperti firman Allah

QS. al-Anbiyā`: 107 selain tidak ada naṣ yang melarang seorang yang beda negara

untuk saling mewarisi.

Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) yaitu beda agama (Pasal 171 huruf c dan Pasal 172 KHI),

56

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia,

2002, h. 35.

49

membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan

memfitnah (Pasal 173 KHI).

Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada

penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini

juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua.

Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah beragama

Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam.

Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:

“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.57

Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah

dijelaskan dalam Pasal 172 KHI yang berbunyi:

“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu

identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi

yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya

atau lingkungannya.” 58

F. Filosofi Hukum Kewarisan

Seperti telah disebutkan bahwa ketentuan Kewarisan telah diatur sedemikian

rupa dalam al-Qur‟ān. Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya, ayat-ayat

hukum inilah yang paling tegas dan rinci isi kandungannya. Ini tentu ada hikmah

57

Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, op.cit, h. 81 58

Ibid, h. 82.

50

yang ingin di capai oleh al-Qur‟an tentang ketegasan hukum dalam hal

Kewarisan.

Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum

islam 59

:

1. Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifẓul Māl). Hal

ini sesuai dengan salah satu tujuan Syari‟ah (Maqasidus Syari‟ah) itu

sendiri yaitu memelihara harta.

2. Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.

3. Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar

tetap utuh.

4. Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung-jawab dari

seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah

Allah swt yang harus dipelihara dan tentunya harus

dipertanggungjawabkan kelak.

5. Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan

tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan

maupun kecemburuan sosial melalui sistem waris dalam lingkup keluarga.

6. Selain itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng

membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.

7. Mewujudkan kemaṣlahatan umat Islam.

8. Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran,

keadilan, dan kemaṣlahatan bagi umat manusia.

59

Ash-shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris : Hukum-hukum warisan dalam Syari‟at Islam, Bulan

Bintang (Jakarta : 1973), hal. 17.

51

9. Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak

merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam

bermasyarakat.

a. Filosofi Asas Pembagian 2:1

Asas pembagian 2:1 ini masih dianut hampir di semua kalangan umat islam.

Maksud dari asa 2:1 adalah kaum laki-laki mendapatkan 2 sedangkan kaum

perempuan mendapatkan 1 bagian atau dengan kata lain, separuh dari bagian

kaum laki-laki. Asas waris 2:1 ini dikritisi oleh sebagian kalangan, khususnya

dikalangan Feminis gender. Menurut mereka asas tersebut merupakan asas yang

cenderung diskriminatif kepada perempuan karena mengesampingkan asas

keadilan semata.

Dalam gagasan rektualisasi ajaran islam, Munawir Sadjali mengatakan bahwa:

“ketentuan pembagian waris 2:1 ini telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat

islam di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menyimpangan

terhadap Faraidh itu tidak selalu disebabkan oleh tipisnya keislaman, melainkan

juga dapat disebabkan oleh pertimbangan budaya dan struktural sosial, dan

budaya kita adalah sedemikian rupa sehingga pelaksanaan Faraidh secara utuh

kurang dapat diterima oleh rasa keadilan.4

Berawal dari sinilah muncul sebuah gagasan mengenai Reaktualisasi terhadap

pembambagian waris 2:1 yang jelas jelas menjadi asas hukum kewarisan islam.

Oleh karena itu, tidaklah heran bila kemudian sebagian orang menilai bahwa asas

2:1 ini cenderung tidak adil, Diskriminatif. Namun, ada juga sebagian orang yang

4 Munawwir Sadjali, Kontekstual Ajaran Islam, Paramadina (Jakarta : 1995), h. 90.

52

malah merasa ada unsur-unsur keadilan dalam asas pembagian mengenai 2:1 ini.

Oleh sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh mengenai pembahasan adil atau

tidak adilnya asas 2:1 ini. Alangkah baiknya bila kita menilik kembali prinsip

keadilan yang dikemukakan oleh filosof terkenal berkebangsaan Yunani,

Aristoteles. Menurutnya ada dua macam prinsip keadilan, keadilan distributif

maupun kumulatif secara definitif, keadilan distributif adalah keadilan yang

memberikan kepada tiap orang menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-

tiap orang mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan namun

kesetaraan. Sedangkan keadilan kumulatif adalah keadilan yang memberikan pada

tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangannya.

Oleh karena itu, bila kita mengukur dari ukuran keadilan yang ditawarkan

sang filosofis, maka hukum waris islam dinilai telah memenuhi rasa keadilan baik

keadilan distributif maupun keadilan kumulatif. Segi keadilan Distributifnya

terletak pada asas 2:1 itu, maksudnya kaum laki-laki mendapatkan 2 bagian yang

berarti lebih besar dari kaum perempuan yang hanya mendapatkan separuh dari

bagian kaum laki-laki. Sedangkan keadilan kumulatifnya terletak pada asas

pembagian yang tidak diskriminatif. Maksudnya selain kaum laki-laki, kaum

perempuan, bahkan anak-anak pun bisa mendapatkannya sesuai dengan ketentuan

yang berlaku dalam hukum waris.

Filosofi mengenai besarnya bagian laki-laki ini bisa jadi disebabkan karena

laki-laki mengemban tanggungjawab yang lebih besar dalam keluarga, bila ia

ingin menikah pun, laki-laki harus membayar mahar dalam perkawinan.

53

Sedangkan kaum perempuan secara umum tidak dibebani kewajiban untuk

membiayai kehidupan rumahtangganya apalagi membayar maskawin. 60

G. Asas-asas Hukum Kewarisan

Dalam hukum Islam terdapat asas-asas hukum yang diambil dari al-Qur‟an

dan Sunnah yang berkaitan dengan sifat peralihan harta pewarisan kepada

ahli waris, yaitu:

1. Asas ijbari

Kata ijbari secara leksikal berarti memaksa yaitu melakukan sesuatu

diluar kehendak sendiri. Dalam arti istilah ijbari adalah peralihan harta

orang yang meninggal dunia kepada ahli waris berlaku dengan sendiri

menurut kehendak Allah tanpa bergantung pada kehendak ahli waris atau

pewaris.61

Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid yang mengandung

arti bahwa harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada warisanya

berlaku dengan sendirinya menurut pewaris atau ahli warisnya. Asas

ijbari dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi peralihan harta,

maupun jumlah pembagian dan kepada siapa saja harta beralih,

sebagaimana tercantum dalam QS. an-Nisa: 7, 11, 12, 176.62

2. Bilateral

Seorang menerima harta waris dari kedua belah pihak, yaitu dari pihak

kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan.

60

Aripin, Jaenal, Filsafat Hukum Islam : Tasyri dan Syar‟i, UIN Jakarta Press (Jakarta : 2006), hal. 133. 61

Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,

1992), h. 119 62

Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa

Raya, 1993), h. 19

54

Asas ini dapat dijumpai dasar hukumnya dalam al-Qur‟an surat an-Nisa

ayat 7, 11 dan 176. Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat dikenal

adanya garis keturunan patrilineal, matrilineal, dan bilateral, sedangkan

hukum kewarisan Islam lebih menggunakan sistem kekerabatan bilateral

sebagai landasan dalam membagikan harta warisan.

3. Asas Individual

Asas individual adalah setiap ahli waris berhak secara individu untuk

memiliki bagian yang diterima tanpa terikat kepada ahli waris lain.63

Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai

tertentu kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak sesuai

dengan bagiannya masing-masing.

Asas individual ini dapat dilihat dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 7

yang secara garis besar menerangkan bahwa laki-laki maupun perempuan

berhak atas harta warisan dari orang tua dan kerabatnya masing-masing

sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur‟an.

4. Asas Keadilan Berimbang

Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat

keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh

seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Secara mendasar

perbedaan gender dalam Islam tidak menentukan hak kewarisan

seseorang. Hal ini disebutkan dalam QS. an-Nisa ayat 7 yang

63

Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,

1995), h. 37

55

menyamakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam haknya

untuk mendapatkan waris.

Ada perbedaan yang signifikan antara bagian laki-laki dan perempuan.

Walaupun berbeda bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam

pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah bagian yang didapat

akan tetapi juga dikaitkan dengan kepada kegunaan dan kebutuhan.

Tanggung jawab perempuan dan laki-laki sangat berbeda, tanggung jawab

perempuan tidak seberat tangung jawab laki-laki terhadap keluarganya.

Perempuan justru harus menerima infak, tempat tinggal, dan nafkah

lainnya dari suaminya. Dengan demikian, sesungguhnya manfaat yang

dirasakan oleh laki-laki dan perempuan dari harta peninggalan yang

mereka peroleh adalah sama. Dapatkah dipahami rasa keadilan hukum

Islam dalam kewarisan dimana bagian anak laki-laki dua kali bagian anak

perempuan itu didasarkan atas perbedaan tanggung jawab yang

hakikatnya masing-masing sama dari perbedaan pembagian tersebut.64

5. Asas Semata Akibat Kematian

Dalam hukum waris Islam dapat terjadi proses waris mewarisi apabila

akibat dari adanya kematian seseorang yang memiliiki harta atau BW

(Burgerlijk Wet Book) menyebutnya dengan istilah kewarisan ab

intestato.

64

Munawir Sjadjali, dkk, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Cet. I, (Jakarta: Pustaka

Punjimas, 1988), h. 125

56

Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari pengggunaan kata

waraṡa, dari keseluruhan pemakaian kata tersebut terlihat bahwa peralihan harta

berlaku setelah yang mempunyai harta itu telah meninggal dunia.65

65

Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 28