askep cedera kepala

Upload: ab-jailmarewo

Post on 30-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

vbcv

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik lainnya.

Di negara berkembang seperti Indonesia dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi cedera kepala cenderung makin meningkat. Cedera kepala hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma mengingat bahwa kepala bagian yang tersering dan rentan terlibat terhadap suatu kecelakaan.

Penyebab cedera kepala terdiri dari kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan indusri, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga. Dilihat dari penyebabnya distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan usia produktif yaitu antara usia 15 44 tahun dan lebih didominasi kaum laki-laki disbandingkan kaum perempuan lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemia pada pasien cedera kepala biasanya cedera pada bagian tubuh lainnya risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.

Untuk menghindari komplikasi lebih lanjut pada kasus cedera kepala maka peran perawat professional sangat dibutuhkan terutama untuk membantu meringankan beban pasien.

Berdasarkan pemikiran tersebut diatas maka kami merasa sangat tertarik untuk mengangkat kasus ini sebagai bahan seminar yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

B. Tujuan Penulisan

1. Menambah khasanah, wawasan dan pengetahuan tenteng asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma kapitis.

2. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan progran profesi Ners khususnya Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah I.

3. Sebagai bahan yang disajikan dalam seminar askep di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo.

C. Ruang Lingkup

Dari sekian banyak kasus bedah saraf, maka dalam makalah ini kami membatasi pada askep klien dengan trauma kapitis yang dirawat di Ruang Intermediet Bedah Saraf Lontara 3 Bawah RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 20 April sampai dengan 24 April 2004.

D. Sistematika Penulisan

1. Tinjauan teoritis, yaitu mempelajari literature yang berhubungan dengan topik yang dibahas.

2. Tinjauan kasus, yaitu melakukan proses keperawatan langsung pada pasien.

3. Studi dokumentasi, yaitu mempelajari catatan medis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi

Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

B. Mekanisme Cedera

Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

C. Klasifikasi Cedera Kepala

1. Klasifikasi Patologi Cedera Kepala

a. Cedera kepala primer

Cedera kepal primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik.

1) Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kecacatan neurologis.

2) Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.

3) Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di mana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedar ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.

b. Kerusakan otak sekunder

Cedera kepala berat seringkali menampilkan abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder . hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemusian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.

Hipoksia dapat merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.

Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupaka tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral.

c. Edema serebral

Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.

Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu kontusi atau perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah serebral traumayika yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah swelling hipodens difus.

d. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak

Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar dari kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada.

2. Klasifikasi Klinis Cedera Kepala

Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu :

Tingkat I: bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik, dan tidak ada deficit neurologist.

Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.

Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara , namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi.

Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma Scale(GCS).

Penentuan keparahanDeskripsiFrekuensi

Minor

Sedang

Berat

GCS 13 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.

Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, hematoma

GCS 9 12

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

Dapat mengalami fraktur tengkorak

GCS 3 8

Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam

Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.55 %

24 %

21 %

D. Manifestasi Klinis

Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera multisistem.

E. Evaluasi Diagnostik

F. Penanganan Cedera Kepala

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap 6 B, yakni :

1. Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri.

2. Blood

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak)dan memerlukan tindakan transfusi.

3. Brain

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam mengenai keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.

4. Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.

5. Bowel

Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan TIK.

6. Bone

Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

Data Demografi :

Tanggal pengkajian : 20 April 2004

Nama klien : Sukarno Hatta

Alamat : Jl. Baso Kolaka Sinjai

Kontak : keluarga(ayah dan ibu)

Alamat kontak : Jl. Baso Kolaka Sinjai

Umur :19 thn

Jenis kelamin : laki-laki

Suku : Bugis

Pendidikan : SMU

Agama : Islam

Satatus perkawinan : belum kawin

Pekerjaan : pelajar

Sumber informasi : klien, keluarga klien, dan status

1. Riwayat Keperawatan Untuk Divisi Aktivitas :

Klien mengatakan bahwa klien adalah pelajar SMU kelas 3 di Sinjai. Aktivitas sehari-hari adalah sekolah dari hari senin sampai sabtu, hari minggu di isi dengan kegiatan ekstrakurikuler yaitu olahraga. Klien biasanya tidur 6-8 jam tiap hari.

Pemeriksaan Fisik : Tonus otot menurun, kesadaran stupor, tidak berorientasi terhadap waktu, tempat dan orang, ptosis kelopak mata tidak ada. ROM pasif.

2. Riwayat Keperawatan Untuk Divisi Sirkulasi

Pemeriksaan Fisik : Tekanan darah 130/70 mmHg posisi baring, nadi 90 x/menit. Pernafasan 30 x/menit, teratur, tidak ada edema papil, ronchi (+), tidak ada distensi vena jugularis, capillary refill time 2 detik. Konjugtiva anemis, sclera tidak ikterus, ekstremitas hangat bila disentuh, ictus cordis tidak nampak.

Pemeriksaan diagnostik : bunyi jantung S1 dan S2 terdengar normal, tidak ada bunyio tambahan. Hb 7,0 gr/dl (Tgl.12 April 2004)

3. Riwayat Keperawatan Untuk Divisi Eliminasi

Menurut keluarga sejak pindah tgl.19 April 2004 klien tidak pernah BAB, sebelum sakit frekwensinya 1 kali/hari.

Pemeriksaan Fisik : abdomen tidak ada nyeri tekan. Tidak ada distensi abdomen. Bising usus normal. Tidak ada massa yang teraba. Ginjal dan kandung kemih teraba. Produksi urine 155 cc/jam. Warna urine jernih.

4. Divisi Emosional

Keluarga klien sedih dengan keadaan anaknya, sering bertanya tentang tindakan yang akan dilakukan pada klien, sering bertanya tentang kondisi dan pengobatan klien.

Pemeriksaan Fisik : Ibu klien menangis melihat keadaan anaknya, ibu klien kadang nampak termenung, klien kehilangan kontrol verbal, ekspresi wajah klien datar.

5. Divisi Makanan dan Cairan

Intake Parenteral 1440 cc/hari dan perenteral 1500 cc/hari

Pemeriksaan Fisik :

Tinggi badan 170 cm, berat badan 60 kg, perawakan kecil, turgor kulit normal, terdapat kerusakan kulit dibgaian paha, pertumbuhan rambut bagus, tekstur kulit kepala berambut. Dasar kuku merah jambu. Jumlah gigi lengkap. Mukosa bibir kering. Tidak ada kesulitan menelan, kesulitan mengunyah karena fraktur mandibula.

Pemeriksaan diagnostik :

Laboratoium (Tgl.14 April 2004) :

WBC : 10,8/mm3RBC 2,30 L/mm3

Hb 7,0 L g/dl

HT 19,2 L%

PLT 87 L x 103

6. Divisi Hygiene

Keluarga mengatakan klien mandi 2 kali sehari, mencuci rambut 3 kali seminggu, sikat gigi 2 kali sehari, (sebelum sakit ).

Pemeriksaan Fisik : badan tidak berbau, rambut dan kuku bersih.

Tingkat Fungsi :

Makan : 4

Eliminasi

: 4

Berpakaian : 4

Mobilitas di tempat tidur : 4

Mandi : 4

Pemeiharaan rumah

: 4

Berhias : 4

Mobilitas umum

: 4

Kode /tingkat Fungsi :

0 : Perawatan diri secara penuh

1 : Memerlukan penggunaan alat atau peralatan

2 : Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain

3 : Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain dan peralatan atau alat.

4 : Tergantung dan tidak dapat berpartisipasi

7. Divisi Neurologis :

Keluarga mengatakan klien tidak pernah berbicara setelah mengalami kecelakaan, kesadaran stupor.

Pemeriksaan Fisik : GCS : 11 (E 4, M 5, V 2), pupil isokor, reaksi terhadap cahaya miosis, genggaman tangan lemah, erangan (+), mendengar dengan suara keras, tidak ada orientasi terhadap waktu, tempat dan orang, penginderaan tidak bisa dikaji, hiperfleksi, sensasi terhadap nyeri menurun. Pemeriksaan refleks normal (bisep, trisep, brachioradialis achiles dan patella).

8. Divisi Nyeri

Respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat.

9. Divisi perubahan hubungan

Tidak dikaji.

10. Divisi Keamanan

Pemeriksaan Fisik : Terdapat fraktur Femur 1/3 medial dekstra, fraktur mandibula dekstra sinistra. Vulnus laserasi pada patella dekstra. Terdapat luka lecet pada femur dekstra 1/3 proximal.

11. Divisi Sexual

Tidak dikaji

12. Divisi Penyuluhan Pembelajaran

Keluarga klien berharap anaknya cepat sembuh dan kembali mengikuti proses belajar.

13. Divisi Ventilasi

Pemeriksaan Fisik : Pernafasan 30 x/menit, frekwensi teratur, tidak ada cuping hidung, tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, keluar air mata (++), auskultasi ronchi basah (+), tidak ada kebiasaan merokok.

B. Analisa Data

ANALISA DATA

NO.DATAPENYEBABMASALAH

1.

2.

3.

4

5.

6.

7.

8.DS :

orang tua klien mengatakan klien batuk disertai lender

DO :

klien batuk produktif disertai sputum berwarna putih, klien tidak mampu mengeluarkan secret.

Pergerakan dada simetris kiri dan kanan, pernafasan 30x/m, frekuensi teratur, tdk ada pernafasan cuping hidung.

DS : -

DO : -

DS : -

DO :

TB =170 cm,

BB = 50 kg.

Klien tdk mampu mengunyah, krn fraktur mandibula

Pembukaan mulut 2 cm

Hb = 7,0 g/dL

DS : -

DO :

ADL klien tergantung dan tdk dapat berpartisipasi

Kesadaran menurun

GCS 11 (E4M5V2)

DS : -

DO : -

DS : -

DO : -

DS :

Keluarga klien mengatakan sangat sedih melihat keadaan anaknya

DO :

Keluarga klien sering bertanya tentang tindakan yang dilakukan

Sering bertanya kondisi dan pengobatan klien

Ibu klien nampak termenung dan menangis

DS :

DO :Fraktur femur fraktur mandibula

Imobilisasi kemampuan

mengeluarkan

secret

komplians paru

tdk adekuat akumulasi

sekret

Fraktur mandibula

kemampuan mengunyah menurun

intake per oral tdk bisa

asupan nutrisi tdk adekuat

fraktur penurunan kesadaran

imobilisasi

deficit perawatan diri

tindakan invasive

merusak pertahan primer tubuh

risiko masuknya mikroorganisme

risiko infeksi

tirah baring lama

penekanan pada area yang menonjol

sirkulasi ke area tersebut tdk adekuat

suplai O2&nutrisi

iskemia local

nekrosis

perubahan status kesehatan pada klien

stressor bagi keluarga klien

koping tak efektif

kecemasan

Akumulasi secret di jalan nafas

Media yg baik untuk pertumbuhan mikroorganisme

Invasi kuman

Terjadi inflamsi sbg respon pertahanan tubuh

Pelepasan mediator kimia

Perubahan termoregulator

demamBERSIHAN JALAN NAPAS TIDAK EFEKTIF.

RISIKO GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN TUBUH

PERUBAHAN NUTRISI KURANG DARI KEBUTUHAN TUBUH

DEFISIT PERAWATAN DIRI

RISIKO INFEKSI

RISIKO KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT

KECEMASAN KELUARGA

HIPERTERMIA

C. Prioritas masalah

D. Rencana Keperawatan

E. Implementasi dan Hasil

F. Evaluasi

BAB.IV

PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN

Data pada pengkajian diperoleh dari hasil observasi langsung pada klien, hasil pencatatan tentang medik serta melalui wawancara langsung dengan keluarga klien. Dari hasil pengkajian tersebut didapatkan bahwa semua data-data yang ada pada klien Tn.SH sesuai dengan teori yang telah diuraikan sebelumnya. Tetapi tidak semua data-data yang ditemukan secara teoritis pada klien kasus trauma kapitis dimanifestasikan oleh klien Tn.SH.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan diangkat berdasarkan data-data yang menunjang baik data subjektif maupun data objektif dari klien serta dari data rekam medik. Dari sembilan diagnosa keperawatan yang secara teoritis dapat muncul pada klien dengan trauma kapitis, hanya enam diagnosa keperawatan yang sesuai berdasarkan data-data yang ditemukan pada klien, sedangkan dua diagnosa lainnya muncul karena ada penyakit lain yang menyertai (komplikasi).

C. IMPLEMENTASI

Implementasi yang diberikan pada klien Tn.SH berdasarakan intervensi yang sudah direncanakan. Dari kedelapan diagnosa keperawatan yang ada semua intervensinya diimplementasikan.

BAB.V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam pelaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien Tn.SH dengan Trauma Kapitis selama 5 hari kami dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam penerapan Asuhan Keperawatan secara sistematis dari pengkajian sampai evaluasi pada Tn SH dengan Trauma Kapitis ditemukan delapan diagnosa keperawatan, lima diagnosa keperawatan teratasi dan tiga diagnosa keperawatan teratasi karena klien masih lemah dan masih dalam perawatan Bedah Ortopedi (Pemasangan skin traksi).

2. Sesuai dengan teori, pada kasus trauma kapitis terdapat sembilan diagnosa tetapi pada praktek hanya ditemukan enam diagnosa sesuai dengan respon klien, sedangkan dua diagnosa lainnya ditemukan karena adanya komplikasi..

3. Kesuksesan praktek Profesi Ners Kelompok III di ruang Perawatan Bedah Saraf Lontara 3 Bawah RSUP DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO khususnya dalam penerapan Asuhan Keperawatan pada klien Tn.SH tidak lepas dari bimbingan C.I Institusi dan C.I Ruangan Perawatan.

B. SARAN

1. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antara sesama perawat, tim medis dan tenaga kesehatan lainnya, karena itu hendaknya kerjasama yang baik ini perlu ditingkatkan.

2. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan Asuhan Keperawatan sebaiknya interaksi perawat dengan klien lebih ditingkatkan dan implementasi yang diberikan tidak hanya terfokus pada instruksi medis, tetapi perawat harus berinisiatif untuk melaksanakan tindakan mandiri perawat.