ajaran kepanditaan dalam lontar bubuksah oleh i made jaya …

12
12 AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMAHAMI HAKIKAT DAN TUJUAN HIDUP (SUATU TINJAUAN FILOSOFIS) I Made Jaya Negara S.P 1 ; Dian Syanita Utami Dewi2; Untung Suhardi 3 STAH Dharma Nusantara Jakarta 1;2;3 Email: [email protected]; [email protected]; [email protected] ABSTRACT Lontar Bubuksah as a creation or the heritage of Hindu culture contains a story about the moral preaching of priests, philosophy of life and syncretism between the preaching of Shiva and Budha thus it is clear that the manuscript contents of the Lontar Bubuksah are about religion. Through the two main figures of Gagakaking and Bubuksah brothers each chose a different path in realizing their ideals.Even the way carried out each seemed very contradictory. However, both of them hold one concept that is successfully believed and implemented consistently and consequently The value of holiness is played by the character of Gagakaking with all his behavior based on spiritual purity. While the value of lascarya is played by Bubuksah in his tyaga pati and all manner of behavior in carrying out his brata bherawa. Different behaviors have a connecting line that can be drawn is the value of a satya; loyalty to the choice of beliefs that are considered true with all the consequences, as well as being faithful to both achieve the realm of freedom (moksa). This research uses a qualitative research method about the Bubhuksah lontar text. Therefore, from the research standpoint it is an exploratory research (explotrative research) in this case the research and study of the Bubuksah lontar text with primary data namely the Bubuksah lontar and secondary data of this study were obtained from two sources namely documents and through discussions with informants and in the form of literature, references and books. Keywords: Phylosophy, preaching of priests, Lontar Bubuksah and Gagakaking, goal of life. I. PENDAHULUAN Masyarakat Nusantara sejak lama sudah dikenal oleh masyarakat internasional terutama tentang kreativitas menuangkan ide atau pikiran melalui tulisan-tulisan tangan baik di atas kertas, batu, tembaga maupun daun lontar. Melalui tulisan- tulisan tersebut mereka mengungkapan ide-ide atau pemikiran yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia baik mengenai bahasa, seni, agama, maupun mata pencaharian dan lain- lain. Semua hasil pemikiran yang dituangkan melalui tulisan-tulisan tersebut sampai sekarang masih dijumpai dibeberapa tempat atau daerah seperti Jawa, Sumatra, Bali, Sunda, Sasak dan lain-lain dalam bentuk naskah-naskah lama (manuscripts). Naskah-naskah ini telah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia yang

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....

Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )

12

AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH

SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMAHAMI

HAKIKAT DAN TUJUAN HIDUP

(SUATU TINJAUAN FILOSOFIS)

I Made Jaya Negara S.P1; Dian Syanita Utami Dewi2; Untung Suhardi3

STAH Dharma Nusantara Jakarta1;2;3

Email: [email protected]; [email protected];

[email protected]

ABSTRACT

Lontar Bubuksah as a creation or the heritage of Hindu culture contains a

story about the moral preaching of priests, philosophy of life and syncretism

between the preaching of Shiva and Budha thus it is clear that the manuscript

contents of the Lontar Bubuksah are about religion. Through the two main figures

of Gagakaking and Bubuksah brothers each chose a different path in realizing

their ideals.Even the way carried out each seemed very contradictory. However,

both of them hold one concept that is successfully believed and implemented

consistently and consequently The value of holiness is played by the character of

Gagakaking with all his behavior based on spiritual purity. While the value of

lascarya is played by Bubuksah in his tyaga pati and all manner of behavior in

carrying out his brata bherawa. Different behaviors have a connecting line that

can be drawn is the value of a satya; loyalty to the choice of beliefs that are

considered true with all the consequences, as well as being faithful to both

achieve the realm of freedom (moksa). This research uses a qualitative research

method about the Bubhuksah lontar text. Therefore, from the research standpoint

it is an exploratory research (explotrative research) in this case the research and

study of the Bubuksah lontar text with primary data namely the Bubuksah lontar

and secondary data of this study were obtained from two sources namely

documents and through discussions with informants and in the form of literature,

references and books.

Keywords: Phylosophy, preaching of priests, Lontar Bubuksah and

Gagakaking, goal of life.

I. PENDAHULUAN

Masyarakat Nusantara sejak

lama sudah dikenal oleh masyarakat

internasional terutama tentang

kreativitas menuangkan ide atau

pikiran melalui tulisan-tulisan tangan

baik di atas kertas, batu, tembaga

maupun daun lontar. Melalui tulisan-

tulisan tersebut mereka

mengungkapan ide-ide atau

pemikiran yang terkait dengan

berbagai aspek kehidupan manusia

baik mengenai bahasa, seni, agama,

maupun mata pencaharian dan lain-

lain. Semua hasil pemikiran yang

dituangkan melalui tulisan-tulisan

tersebut sampai sekarang masih

dijumpai dibeberapa tempat atau

daerah seperti Jawa, Sumatra, Bali,

Sunda, Sasak dan lain-lain dalam

bentuk naskah-naskah lama

(manuscripts). Naskah-naskah ini

telah menjadi bagian dari

kebudayaan bangsa Indonesia yang

Page 2: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

Volume 5, No. 1, April 2021

13

ISSN : (p) 2598-0203

(e) 2746-7066

mampu memberi warna atau ciri

khas suatu bangsa yang mengenal

peradaban pada masa silam. Bagi

daerah-daerah di Indonesia yang

masih menyimpan peninggalan-

peninggalan kebudayaan dalam

bentuk naskah seperti ini telah

mampu memperkaya khazanah

kebudayaan daerah.

Agama Hindu sebagai agama

tertua di dunia yang telah mengalami

rentang sejarah yang panjang serta

peradaban kehidupan umat,

senantiasa bisa menerima ragam

budaya dan perkembangan kemajuan

ilmu pengetahuan, hingga kini

memasuki era informasi. Dengan

ketersediaan teknologi, jaringan

internet, percepatan aliran informasi

dan ketersediaan sumber informasi

menjadikan ilmu pengetahuan dapat

disebarkan dengan mudah, cepat dan

murah. Bayangkan saja, seorang

pandita memberikan dharma wacana

di pelataran/wantilan pura yang

diliput menggunakan media televisi

dan disiarkan secara langsung, dapat

disaksikan oleh ratusan hingga

ribuan umat sampai dipelosok desa

yang masih terjangkau siaran televisi

tersebut. Penggunaan Jaringan

internet, kita bisa menggali beragam

informasi, mendalami ilmu

pengetahuan (science) dan

mengekplorasi kemampuan yang ada

pada diri kita untuk ikut berbagi dan

menyumbangkan pemikiran yang

positif, inspiratif, inovatif, kreatif

dan berwawasan yang didasarkan

atas dharma dari ajaran-ajaran

agama Hindu. Sehingga kecerdasan

yang terbentuk pada pribadi masing-

masing umat merupakan hasil

intelektualitas diri yang bermoral,

dibentengi oleh norma-norma yang

berlaku dan dilingkupi oleh satu

kebenaran tertingi yaitu dharma.

Sebagaimana diketahui,

perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang terjadi seperti

sekarang ini yang didukung oleh

teknologi komunikasi dan informasi

secara tidak disadari telah membawa

pengaruh yang sangat besar bagi

kehidupan masyarakat. Perubahan

yang terjadi akibat pengaruh ini

begitu cepat dan kompleks.

Perubahan tersebut telah

mempengaruhi persepsi, wawasan,

serta sikap masyarakat terhadap

berbagai hal termasuk di antaranya

pada kesadaran dan kecintaan

masyarakat terhadap kebudayaan

daerah seperti bahasa dan sastra

daerah sebagai salah satu

perwujudan identitas bangsa. Tidak

menunup kemungkinan juga bahwa

dengan berkembangnya teknologi

membuat lemahnya keinginan

manusia untuk menjaga warisan

yang sudah diturunkan oleh

leluhurnya. Karena itulah sekarang

ini diperlukan sumber daya manusia

yang memiliki jati diri yang kokoh.

Jati diri seperti ini dapat tumbuh dari

pewarisan dan pengembangan

terhadap nilai-nilai luhur bangsa

sebagaimana banyak terdapat pada

sumber-sumber tertulis dalam bentuk

naskah-naskah lama.

Sejauh ini naskah-naskah

sebagai peninggalan kebudayaan

bangsa banyak ditemukan di

beberapa daerah di Indonesia.

Keberadaan naskah-naskah tersebut

di tengah-tengah masyarakat

tentunya perlu mendapatkan

perhatian yang khusus. Sekarang ini

masyarakat belum menyadari

sepenuhnya betapa pentingnya

kedudukan naskah-naskah tersebut

dalam masyarakat. Mempelajari atau

meneliti naskah lama memang bukan

pekerjaan mudah (Robson, 1978).

Selain faktor teknis menyangkut

Page 3: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....

Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )

14

bahasa dan aksara yang digunakan di

dalam naskah juga karena faktor lain

yang berhubungan dengan sistem

budaya. Untuk mengetahui isi sebuah

naskah, kita pertama kali dihadapkan

pada bahasa dan aksara yang kadang-

kadang sangat sulit dipahami karena

bahasa naskah sebagian besar adalah

bahasa yang sudah mati dalam arti

bahasa yang sudah tidak dipakai

sebagai media komunikasi sehari-

hari oleh masyarakat. Dalam naskah

juga tidak sedikit juga adanya idiom-

idiom yang digunakan untuk

mengacu pada sistem atau kode

budaya tertentu. Hambatan-hambatan

seperti ini kadang-kadang menuntut

kesabaran dan ketekunan dari

seorang pembaca naskah.

Data yang pasti di Bali

mengenai jumlah naskah yang ada

sampai sekarang sudah mulai

tersedia. Hal ini barang kali

disebabkan mengingat tradisi

menulis atau menyalin di atas daun

lontar di kalangan masyarakat masih

hidup. Mereka tidak hanya menyalin

dan menyadur tetapi juga banyak

menciptakan karya baru. Tradisi

nyastra seperti ini berlangsung

secara turun-temurun di kalangan

masyarakat Bali yang hingga saat ini

masih banyak dilakukan masyarakat.

Lontar Tutur Bubuksah

merupakan salah satu kesusastraan

populer yang berkembang sekitar

pertengahan abad ke-14 di zaman

Majapahit dan berkembang sampai

ke Bali. Naskah Tutur Bubuksah

sebagai satu karya atau peninggalan

kebudayaan berisi cerita tentang

sinkretisme antara agama Siwa dan

Budha (Anonim, 1979). Dengan

demikian bahwa naskah ini isinya

bersifat keagamaan yang

mengandung ajaran filosofis yang

mendalam. Gambaran adanya

sinkretisme agama Siwa dan Budha

seperti ini menjadi pertimbangan

penting penelitian ini dilakukan

apalagi bila dikaitkan dengan

keberadaan kedua paham tersebut di

dalam masyarakat Hindu khususnya

yang hingga kini masih tetap kuat

tercermin dari Pendeta Hindu yang

memakai gelar Siwa dan Budha

dalam pelaksanaan proses upacara

keagamaan. Berdasarkan latar

belakang di atas, maka ada beberapa

pokok permasalahan yang akan

dibahas pada penelitian ini yaitu,

sinopsis Lontar Bubuksah, Ajaran

Kepanditaan dalam Lontar Tutur

Bubuksah dan Filosofis Ajaran

Bubuksah Untuk Memahami Hakikat

dan Tujuan Hidup.

II. PEMBAHASAN

2.1 Sinopsis Lontar Bubuksah

Cerita ini menjadikan

dualisme pandangan di kalangan

masyarakat bahwa cerita kehidupan

Bubuksah dan Gagaking tersebut

benar terjadi dan disisi lain ada yang

berpandangan bahwa cerita tersebut

merupakan imajinatif karya sastra

keagamaan yang sarat akan nilai-

nilai dan tuntunan untuk

menjalankan kewajiban

(swadharma) di dalam suatu

kehidupan. Hal tersebut sebenarnya

sah saja karena cara pandang setiap

orang berbeda-beda.

Soebandi dalam bukunya

yang berjudul “Babad Warga

Brahmana : Pandita Sakti Wawu

Rawuh” menerangkan bahwa

Bubuksah dan Gagaking adalah dua

bersaudara (kakak adik) mereka

berdua merupakan putra dari Mpu

Dwijendra (Soebandi, 2004: 4). Di

dalam Kajian Naskah yang

diterjemahkan oleh tim pengkajian

Naskah Lontar Bubuksah Dinas

Kebudayaan Propinsi Bali, dalam

buku Kajian Lontar Bubuksah itu di

Page 4: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

Volume 5, No. 1, April 2021

15

ISSN : (p) 2598-0203

(e) 2746-7066

jelaskan mengenai kisah dua orang

laki-laki bersaudara, kakak beradik,

kakaknya bernama Kebwamilir dan

adiknya Kebwakraweg (Sura, 2002:

3). Kedua kakak beradik ini sejak

kecil telah ditinggal mati oleh kedua

orang tuanya. Berkat belas kasihan

tetangganya, keduanya lalu dipungut

dan dibesarkan. Tidak sebagaimana

halnya dengan teman sebayanya,

kedua anak ini menunjukkan

perilaku yang berbeda, tidak suka

bermain. Tidak suka kepada hal-hal

keindahan keduniawian. Sudah

sifatnya sejak kecil suka mempelajari

tentang kebenaran, maka setelah

remaja pun keinginan untuk mencari

kebenaran itu semakin menjadi-jadi.

Itulah sebabnya orang-orang

sekitarnya menjadi tidak suka

bahkan tidak segan mengusirnya.

Oleh karena keadaan ini, maka

keduanya memutuskan untuk

mencari seorang guru dan

selanjutnya ingin menjalani

kehidupan layaknya seorang pendeta.

Usahanya mencari seorang

guru agar berhasil sesuai dengan

harapannya, mereka menuju ke

pertapaan Mandhalangu. Atas

penjelasan Ulukembang, seorang

siswa dari pertapaan tersebut,

akhirnya mereka berdua berketetapan

hati untuk tidak memilih guru yang

lain. Singkat kata, mereka akhirnya

diterima sebagai muridnya.

Keduanya lalu diganti namanya, sang

kakak, Kebwailir namanya menjadi

Gagakaking, dan sang adik,

Kebwaraweg diganti namanya

menjadi Bubhuksah. Setelah

dirasakan cukup menuntut ilmu,

mereka berdua memutuskan untuk

pergi bertapa di sebuah gunung.

Akhirnya mereka tiba di sebuah

gunung lalu membuat pertapaan.

Sang kakak, Gagakaking, mengambil

tempat di sebelah Barat menghadap

ke Timur, sedangkan adiknya,

Bubhuksah mengambil tempat

sebelah Timur menghadap ke Barat.

Di tengah-tengan dibangun sebuah

balai tempat bercengkerama dan

berdiskusi.

Kedua kakak beradik ini

dalam hidupnya mengambil jalan

yang berbeda. Sang Gagakaking

menjalankan tapanya dengan

memakan makanan yang tidak

bernyawa (paham Sudha Sridanta)

dan memuja langit. Di lain pihak,

Sang Bubhuksah menjalankan

tapanya dengan cara bherawa, yakni

memakan makanan yang bernyawa

termasuk binatang-binatang yang

paling menjijikkan sekali pun. Tidak

terkecuali, binatang apa pun yang

masuk di dalam perangkapnya pasti

disembelihnya. Perbedaan cara hidup

ini menyebabkan Gagakaking gelisah

dan diyakini bahwa apa yang

dilakukan oleh Bubhuksah ini telah

melanggar cara seorang pertapa.

Berkali-kali Gagakaking

menasihatinya namun tidak berhasil.

Bubuksah yakin bahwa apa yang

dilakukannya itu adalah tapa juga.

Bubuksah memahami bahwa jiwa itu

adalah tunggal dan bersama tapanya

itu berharap jiwa itu segera menyatu

kembali ke asalnya. Bubuksah yakin

benar bahwa banyak cara yang dapat

dilakukan untuk mencapai alam

sorga. Keduanya selalu berdebat dan

bersikukuh bahwa apa yang

dilakukannya itu adalah yang terbaik.

Pada puncak tapanya,

membuat keadaan di sorga terusik.

Dewa Indra lalu melaporkan kepada

Dewa Siwa (Bhatara Guru) bahwa

ada dua orang pertapa yang sama-

sama sakti ingin berebut sorga. Dewa

Siwa lalu mengutus Kala Wijaya

untuk menyamar sebagai harimau

putih untuk mengujinya. Siapa salah

satu dari mereka yang tyaga pati,

Page 5: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....

Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )

16

dialah yang berhak masuk sorga.

Dalam mengujinya itu, harimau putih

mendatangi Gagakaking dengan

mengatakan ingin memakannya

karena telah berjanji untuk

memangsa seorang pertapa. Ternyata

Gagakaking tidak tyaga pati, tidak

mau dimangsa oleh harimau bahkan

menyuruh harimau putih mendatangi

adiknya, Bubuksah. Oleh harimau

putih dikatakannya bahwa

Gagakaking hanya pandai berbicara.

Selanjutnya, harimau putih

mendatangi Bubuksah. Bubuksah

lalu mohon waktu sebentar untuk

mengambil binatang yang masuk

perangkapnya. Setelah itu

Bubhuksah menyerahkan diri kepada

harimau putih untuk segera

memangsa dirinya. Ternyata

Bubuksah tyaga pati. Lalu, harimau

putih menjelaskan bahwa dirinya

adalah utusan Dewa Siwa untuk

mengujinya. Kemudian harimau

putih mengajak Bubuksah pergi ke

sorga untuk menghadap kepada

Dewa Siwa. Oleh karena Gagakaking

dan Bubuksah sebelumnya sudah

berjanji seia sekata, baik suka

maupun duka, maka Gagakaking pun

diikutkan ke sorga. Bubuksah duduk

di punggung harimau sedangkang

Gagakaking bergelantungan

memegang ekor harimau. Dalam hati

Bubuksah merasa kasihan melihat

Gagakaking seperti itu dan

mengingatkan untuk terus

berpegangan kuat-kuat.

Sesampainya di sorga,

mereka disambut oleh para dewa.

Lalu, mereka masing-masing diberi

tempat sesuai dengan tapanya. Oleh

karena Bubuksah tyaga pati, dia

berhak mendapatkan sorga yang

terbaik dan tertinggi (sorga ketujuh).

Sedangkan, Gagakaking diberikan

sorga tingkat kelima (meru agung

tumpang lima) lengkap dengan

abdinya sebagai pahala atas tapanya

yang juga sangat taat welas asih

terhadap semua makhluk. Dewa

Siwa mengingatkan bahwa segala

sesuatu yang dilakukan pasti akan

mendapatkan pahala sesuai dengan

perbuatannya karena semua

perbuatan itu telah tercatat.

2.2 Ajaran Kepanditaan dalam

Lontar Bubuksah

Lontar Bubuksah yang

diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan

Propinsi Bali tahun 2002 pada nomor

halaman lontar /40.a/ menyatakan

yaitu “lah kaki asih wuwusnya dhana

punya pakaryyaning ngawikon tan

pangucap alaning wong, asih ring

sarwa tumuwuh angiupi dharmma

pitutur awek pangan ring ta sesi

amuturuni muddha miskin ring

ngong mahutang winehan legan

manah ujarnya sor iku ta tirunen

ingong.” Artinya: perkataannya

lemah lembut. Kewajiban seorang

pendeta adalah memberi sedekah,

tidak suka membicarakan keburukan

orang lain, mengasihi sesamanya,

menghayati ajaran dharma, memberi

makan pada semua pengemis

menasihati orang bodoh, fakir

miskin, membantu sesamanya,

menyenangkan pikiran dan tutur

katanya sopan. Diuraikan juga

dalam Lontar Bubuksah nomor

/42.a./ “ayo tan eling ring awiku

pikekesing pati den wruh mati ling

kalaning maurip norana hyun lawan

ilik manggeh ta sira lwir muda hning

ira niskarana mangkana ulah

awiwikon tuhu sira yen tekeng done

mangkana dening awiwiku pati awas

ring paruput wruha ring pakekesing

pati den wruha hana piranti ring

atma.” Artinya: hendaknya selalu

ingat akan kewajiban seorang

pendeta, tentang rahasia kematian

dan agar mengetahui jalan menuju

Page 6: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

Volume 5, No. 1, April 2021

17

ISSN : (p) 2598-0203

(e) 2746-7066

kematian, tak ada yang disayangkan

dan dibenci, berpendirian teguh.

Bukan karena sesuatu hal yang

menyebabkan menjalankan tugas

kependetaan. Orang yang demikian

sebenarnya yang akan mencapai

tujuan.

Pemahaman isi lontar di atas

itu menguraikan bahwa menjadi

seorang pandita tidaklah muda

karena harus selalu menjaga pikiran

yang baik, perkataan yang baik dan

tingkah laku yang baik, tetapi

tidaklah juga sulit kalau dilakukan

secara tulus dan konsisten. Deskripsi

dari kedua tokoh utama di atas

mengisyaratkan bahwa harus

konsekuen, teguh, taat, terhadap

kebenaran yang diyakini. Dalam

ajaran agama Hindu keadaan

semacam ini disebut dengan istilah

satya. Satya merupakan salah satu

ajaran dalam Dasa Niyama Brata

(yaitu sepuluh aturan kerohanian

berupa landasan dijadikan pedoman

pertama dalam bertingkah laku baik

lahir maupun batin). Satya artinya

benar, setia, jujur mempunyai

peranan yang sangat penting sebagai

landasan dalam mencapai

kesempurnaan rohani terutama bagi

para pendeta yang melakoni

kehidupan spiritual (rohani). Selain

itu satya juga berarti suatu norma

kesusilaan yang patut dilaksanakan

sehingga mulialah orang yang satya

baik setia pada perkataan (satya

wacana) maupun terhadap brata

yaitu pantangan terhadap makanan

dan minuman (Suci, 1985: 65).

Bubuksah satya terhadap

bratanya sampai harus memakan

daging apa saja yang masuk

keperangkapnya dan Gagakaking

satya terhadap bratanya hanya

makan dedaunan yang serba suci

(paham Sudha Sridanta). Selain itu,

ditunjukkan juga satya sebagai

sumber utama mendapatkan sorga.

Dalam pandang yang lebih luas,

satya juga berarti janji. Bagi yang

mengetahui arti kata “janji” terlahir

untuk melakukan kewajiban. Janji

adalah ketetapan hati dari seorang

pemuja kepada dewanya.

Sebagaimana dalam uraian di atas

bahwa cita-cita akhir kedua paham

itu adalah pembebasan jiwa atau

moksa. Keduanya mengejar cita-cita

ini dengan caranya sendiri.

Kahyangan akhirnya menguji

kemurnian jiwanya dengan menguji

keberanian dan ketulusan jiwa raga

melalui seekor harimau putih. Ujian

inilah nantinya akan membuktikan

tingkat kemurnian jiwa yang telah

dicapai. Dasar pijakannya adalah

seorang yang telah mencapai

keadaan rohani tanpa kejahatan serta

kekotoran logika tentunya tak

tersedia tempat bagi rasa takut. Hal

inilah yang dikaitkan dengan tyaga

pati. Hal ini dimenangkan oleh

Bubuksah. Ia membunuh tetapi

bukan atas dasar kejahatan

melainkan berdasarkan pada paham

pembebasan dan peningkatan harkat

dari makhluk hidup. Dengan latar ini

sesungguhnya Bubuksah telah

menanam pengabdian kepada

makhluk hidup karena itulah kalau

ada makhluk lain yang pantas

menyebabkan kematiannya ia pun

menyambutnya dengan ikhlas. Di

sinilah makna sebuah keberanian dan

pemahaman tentang hukum evolusi

roh.

Seperti yang dijelaskan dalam

sloka Bhagavadgita II.55 tentang

karakteristik dari orang suci yang

sempurna merupakan penunjang dari

ajaran kepanditaan dalam Lontar

Bubhuksah yaitu:

prajahati yada kaman sarvan

parthamano-gatan,

Page 7: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....

Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )

18

atmany evatmana tustah sthita-

prajnas tadocyate.

Terjemahan:

Bila seorang menyampaikan semua

keinginan-keinginan dari pikiran, O

Partha (Arjuna), dan bila jiwanya

puas menikmati kebenaran dirinya

yang sejati maka ia disebut orang

yang bijaksana (Mantra, 2018: 55).

Hal ini juga dipertegas dalam

Bhagavadgita II.56 bahwa:

duhkhesv anudvigna-manah sukhesu

vigata-sprhah

vita-raga-bhaya-krodhah sthita-dhir

munir ucyate.

Terjemahan:

Ia yang pikirannya tidak

digoncangkan di dalam keadaan

duka cita dan bebas dari keinginan-

keinginan di tengah-tengah

kesukacitaan, ia yang dapat

mengatasi nafsu, kesesatan dan

kemarahan, ia disebut orang yang

bijaksana (Mantra, 2018: 51).

Jadi hendaknya orang yang

disebut baik dan bijaksana itu

haruslah dapat menguasai nafsu atau

keinginan yang tidak perlu, sehingga

menumbuhkan jiwa sepiritualnya

atau jiwa kepanditaannya. Sebagian

peneliti menyebutkan bahwa

Bubuksah mewakili ideal pendeta

Buddha. Sedangkan Gagakaking

mewakili pendeta Siwa.

Argumentasinya didasari

pemahaman bahwa Bubuksah adalah

adik dari Gagakaking. Agama Siwa

lebih dahulu masuk ke nusantara,

karena itu dianggap sebagai “kakak”.

Kemudian agama Buddha menyusul

kemudian, karena itu dianggap

“adik”. Dari kisah tersebut nampak

bahwa Bubuksah lebih unggul, lalu

disimpulkan bahwa Buddha lebih

unggul daripada Siwa. Kemungkinan

kisah ini dibuat oleh kalangan

Buddha atau memang untuk

menghormati Rajapatni yang

beragama Buddha. Bagian

menariknya, yang menguji Bubuksah

dan Gagakaking adalah Bathara

Guru, tidak lain, Siwa sendiri. Hal ini

semacam legitimasi bahwa agama

Siwa juga menerima agama Buddha.

Walaupun Rajapatni adalah pengikut

Buddha namun tetap menghormati

penganut Siwa.

Kaitan teks Tutur Bubuksah

sebagai karya sastra sekaligus

sebagai sebuah institusi sosial yang

mencerminkan realitas budaya

dengan pengarang sebagai

subordinasi dari suatu kelompok

masyarakat yang lebih besar

menunjuk pada suatu kelompok

masyarakat tertentu yakni

masyarakat Budhis Wajrayana atau

sering pula disebut Kasogatan.

Secara keseluruhan episode-

episode dalam teks Tutur Bubhuksah

lebih menekankan pada suatu ajaran

atau doktrin. Ikhtisar cerita tersebut

di atas mengisyaratkan pengesahan

terhadap suatu doktrin tertentu dalam

hal ini ajaran Siwaisme dan

Budhisme. Kedua ajaran ini masing-

masing dilaksanakan oleh para

pendeta Siwa dan pendeta Budha.

Kedua pendeta ini (Siwa dan Budha)

sama-sama digolongkan ke dalam

wangsa brahmana (Goris, 1986:

100)

Para pendeta Buddha (bukan

bhiksu) yang digolongkan dalam

kaum brahmana yang diafirmasikan

lewat teks Bubuksah yang menganut

konsep ajaran Bhatara Guru

(Guruistik). Dalam konsep ini

Bhatara Guru (Siwa) adalah dewa

yang tertinggi seperti yang terdapat

dalam bagian teks (33.b). Ketika

menyinggung masalah Siwa dan

Budha bahwa ada perbedaan konsep

dalam ajaran Budha (umumnya)

Page 8: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

Volume 5, No. 1, April 2021

19

ISSN : (p) 2598-0203

(e) 2746-7066

dengan Wajrayana yang mana

Bubuksah sebagai representasi dari

para pedanda Buddha di Bali yang

bersumber dari ajaran Bhatara Guru

(Guruistick sources). Pada akhirnya

Gagangaking dan Bubuksah

mewakili Pedanda Sewa Sogata

yang dihormati sebagai manifestasi

Bhatara Guru. Inilah yang

membedakannya dengan ajaran

Buddha yang lain. Memang terlihat

bahwa Bubuksah adalah seorang

bhairawa tanpa ragu-ragu memakan

apa saja yang masuk ke dalam

perangkapnya. Namun, Bubuksah

lebih bersifat Siwaistis seperti halnya

juga terdapat dalam Tantu

Panggelaran. Kenyataannya jelas

bahwa dalam konsep bhairawa

Bubhuksah di sini tidak

menghancurkan atau dipertentangkan

dengan tokoh yang lain hanya

berbeda cara dalam menempuh

tujuan hidup. Salah satu ciri

perbedaan seorang bhairawa adalah

perilakunya dalam menjalankan

tapanya pada sebuah tempat. Sifat

bhairawa yang dilakoni oleh

Bubuksah dilakukannya dengan

penuh kesadaran semata-mata untuk

memperbaiki jiwa makhluk yang

dimakannya itu agar lebih baik atau

segera bertemu dengan Siwa sebagai

yang paling berhak menerimanya

kembali dan bukan menghancurkan

(Liem, 2014).

Sampai abad ke-14 Siwa dan

Budha masih berbeda satu dengan

yang lain. Ini berarti bahwa setelah

abad ke-14 (setelah runtuhnya

kerajaan Majapahit) pengertian Siwa

dan Budha menuju ke arah tujuan

yang sama yakni menuju alam Siwa

sebagaimana yang tersirat dalam teks

yakni mengambil sumber dari agama

Hindu. Kondisi ini sangat berbeda

dengan keadaan Buddha awal di

India dan hanya berlaku khusus di

Indonesia khususnya Bali

(Hooykaas, 1973). Dengan demikian

kesimpulannya adalah bahwa

Buddha Mahayana dalam hal ini

Wajrayana menganut konsep

Siwaistik yakni ajarannya bersumber

dari ajaran Siwa (Bhatara Guru).

Siwa juga berarti Yang Maha Esa

yang di dalamnya terdapat seluruh

ciptaan. Karena menurut agama

Hindu adalah Tuhan yang sama yang

menciptakan, memelihara dan

menarik kembali alam semesta ke

dalam diri-Nya (Suhardi & Biasa,

2015: 48).

2.3 Filosofis Ajaran Bubuksah

Untuk Memahami Hakikat

dan Tujuan Hidup

Teks Lontar Tutur Bubuksah

dalam pandangan Soewito Santoso

ditempatkan sezaman dengan Tantu

pagelaran atau lebih tua dari

Korawasrama. Dengan mengamati

penggunaan bahasa dan kosakata

nampak teks ini usianya muda.

Dalam perkembangannya sebagai

naskah keagamaan yang bercorak

Siwa-Buddha, naskah yang

digolongkan ke dalam gendre tutur

ini telah disadur ke dalam bentuk

parikan, yakni dari bentuk semula

yang lebih tua (prosa) menjadi

bentuk puisi. Bubuksah dan

Gagakaking adalah dua tokoh yang

digambarkan di dalam teks ini

(Suamba, 2007: 208).

Teks Lontar Tutur Bubuksah

cenderung bersifat Guruistik yang

mengambil sumber dari doktrin Siwa

(Bhatara Guru) sebagai dewa

tertinggi. Gagakaking mewakili

doktrin Siwa sedangkan Bubuksah

mewakili doktrin Buddha.

Sebagaimana dapat dipahami

bersama bahwa aliran Siwa dan

Buddha di Indonesia walaupun

berasal dari sumber yang sama tetapi

Page 9: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....

Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )

20

masing-masing menampakkan pula

karakter yang berbeda. Namun

demikian, keduanya mempunyai

cita-cita yang sama yakni dalam

usaha mencapai pembebasan jiwa

yang sempurna dengan memakai

jalan yang berbeda. Demikianlah

yang disiratkan dalam Lontar

Bubuksah.

Bubuksah Gagakaking dalam

cerita ini memiliki perbedaan

karakter yang nampak jelas

digambarkan melalui dua tokoh

utama tersebut di atas. Keduanya

bersaudara kandung mengalami

problema hidup bersama, berguru

pada guru yang sama kemudian

bertapa pada tempat yang sama pula.

Perbedaan karakter barulah tampak

jelas digambarkan setelah mereka

mandiri dan mendirikan “pasraman”

sebagai tempat untuk bertapa dan

memahami hakikat hidupnya. Sang

kakak, Gagakaking, memilih tempat

di barat menghadap ke timur seolah-

olah menyongsong dan memuja

matahari. Sedangkan sang adik,

Bubuksah, memilih tempat di timur

menghadap ke barat seolah-olah

menyongsong dan memuja bulan.

Gagakaking adalah sebuah

nama yang diberikan oleh gurunya

setelah diangkat sebagai murid. Yang

mengandung pemahaman sebatang

tangkai kayu yang kurus kering. Di

balik nama tersebut terkandung

makna tattwa atau paham yang

dilakoninya secara konsisten.

Gagakaking melakukan tattwa brata

kesucian yang disebut paham Sudha

Sridanta. Paham ini selalu

berlandaskan pada kesucian lahir

batin yang mendasarkan darmanya

pada tat wam asi. Ia berkewajiban

membersihkan dan menyucikan

(nyudha) mikrokosmos maupun

makrokosmos. Oleh karena itu, ia

merasa wajib “ngurip” atau

menghidupkan dan atau memelihara

apa yang ada dan tumbuh hidup di

alam ini. sebagaimana hakikat

matahari yang senantiasa dipuja,

terbit dengan sinar yang indah,

menerangi dan memberi kehidupan

di dunia ini. Karakter ini

ditampakkan oleh Gagakaking dalam

kebiasaannya sehari-hari mulai dari

pemilihan tempat tinggal di puncak

gunung yang sepi dengan membuat

taman bunga yang indah dengan

kehidupan satwa yang harmonis serta

melakukan brata hanya memakan

dedaunan untuk menyambung

hidupnya sehingga tubuhnya kurus

kering (aking). Kebiasaan-kebiasaan

ini menyiratkan bahwa karakternya

yang menonjol adalah menghidupkan

dan memelihara serta kesucian yang

diasahnya secara konsisten dalam

usaha mencapai tingkat hakiki dan

mulia yakni mencapai adining

suwung atau Moksa (kebebasan yang

abadi).

Tentang arti Moksa dalam

purana yaitu Moksa berarti tiada

keterikatan atma dan bersatu dengan

Brahman. Dalam Brahmanda Purana

(3.4.3.58-60) disebutkan 3 tingkatan

Moksa oleh orang yang melihat

kebenaran, yaitu: pertama adalah

kelepasan dari keterikatan Ajnana.

Kedua adalah keselamatan lepas dari

Raga-Samksaya (hancurnya

keterikatan yang sangat

mendalam/kemelekatan). Ketiga

Trsnaksaya (menghancurkan

kehausan, seperti sangat terikat

dengan keduniawian/kemelekatan

indrawi). Ketika Jivatman kembali

untuk menyatu dengan Paramatman,

Jivatman meninggalkan kesenangan

atau kebahagiaan itu. Ia tidak

memerlukan badan. Jivatman

memperoleh kebebasan dari satu

badan dan badan baru yang lain dan

Jivatman dapat memasuki ribuan

Page 10: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

Volume 5, No. 1, April 2021

21

ISSN : (p) 2598-0203

(e) 2746-7066

badan setiap waktu tanpa

pengetahuan yang mutlak (Titib,

2004: 280).

Gagakaking sesungguhnya

adalah seorang pendeta yang sangat

saleh. Perasaan Gagakaking tidak

terbiasa dengan kekerasan, kematian

dan pembunuhan. Oleh karena itu, ia

sempat kebingungan dalam

menghadapi kedatangan maut ketika

mau dimangsa oleh harimau. Ia

terbiasa dengan tresna yakni suatu

perasan cinta kasih yang berlebihan

baik terhadap lingkungannya

maupun pada dirinya sendiri. Dengan

perasaan mengayomi, lalu

memusatkan perhatiannya atas

imajinasi semacam itu sampai-

sampai mengorbankan kenikmatan

hidupnya hingga badannya kurus

kering. Membunuh baginya adalah

penghalang besar untuk mencapai

alam murni. Ia harus menekuni brata

itu dengan susah payah sambil

memupuk cinta kasih pada

lingkungannya. Di mata rohaniawan

ini, dunia ini penuh dengan fantasi

kemewahan yang menjanjikan

kenikmatan-kenikmatan hidup. Ia

berusaha menghindarinya dan

berusaha meninggalkan dunia maya

ini. Hingga suatu ketika ia ingin

menyadarkan Bubuksah, adiknya,

bahwa yang dinikmatinya itu adalah

maya adanya. Bila ia renungkan

perilaku yang demikian, maka satu-

satunya tanggapannya adalah rasa

kasihan terhadap Bubuksah yang

dianggap masih tinggal di dunia

palsu dan masih terguncang-guncang

dalam gelombang kenikmatan

jasmaniah. Bagi Gagakaking,

perjuangan batin melawan kebutuhan

jasmaniah menyebabkan ia

berpendapat bahwa dengan paham

Sudha Sridanta ia dapat mencapai

tujuan hidupnya dan untuk

menaklukannya itu ia bersandar pada

kekuatan spiritual. Gagakaking yang

suka berpantangan serba suci

ternyata keliru menganggap

kedatangan harimau ganas itu

sebagai penghalang yang

mengganggu ibadahnya.

Setelah mengamati karakter

Sang Gagakaking, berikut karakter

Sang Bubuksah yang juga sangat

penting diapresiasikan untuk

menyimak nilai filosofis yang

terkandung di dalamnya. Bubuksah

adalah nama yang diberikan oleh

gurunya setelah diangkat menjadi

murid dan menjadi pendeta. Ia juga

mengikuti kakaknya bertapa untuk

mencapai cita-citanya yang terakhir

yakni mencapai kebebasan atau

Moksa. Berbeda dengan kakaknya,

Gagakaking, ia mengambil tempat di

sebelah timur menghadap ke barat

seakan-akan menyongsong peredaran

bulan dari pananggal pisan sampai

purnama. Nama “Bubuksah”

mengandung arti si rakus atau si

pelahap yang berasal dari bahasa

Sanskerta, Bubukṣaḥ yang berarti

nafsu makan, selera makan yang

besar, lapar. Makna yang terkandung

di balik nama tersebut adalah

kebebasan terhadap perilakunya

sehari-hari yang mengisyaratkan

bahwa ia selalu berusaha

menghindarkan keterikatan. Ia lebih

mengutamakan kebebasan yang

dalam tatwa Buddha disebut

Samyadnyana. Karakter ini lebih

menonjolkan lascarya, yakni tentang

keberanian dan keikhlasan dalam

menghadapi segala persoalan hidup.

Yang menjadi dasar adalah

keseimbangan, tenang dalam segala

kondisi. Ia tak pernah takut

menghadapi kematian tetapi juga ia

sangat menghargai hidupnya karena

itu ia melakukan brata bherawa yang

sangat taat. Salah satu kebiasaannya

adalah memakan apa saja yang

Page 11: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....

Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )

22

masuk ke dalam jerat yang

dipasangnya.

Sang Bubuksah berpendapat

bahwa bila ingin mencapai hasil

yang sempurna dalam melakukan

kewajiban di kehidupan ini haruslah

didasari oleh keadaan jasmani yang

sehat seimbang. Konsep lascarya

yang ditunjukkannya yakni saat

mengalami ujian dari harimau.

Bubuksah pasrah, rela, sedikit pun

tidak merasa takut akan kematian,

siap mati suatu saat (tyaga pati)

walaupun sang harimau

memperlihatkan gigi dan cakarnya

yang tajam, suaranya yang

mengaum. Kematian baginya adalah

pembebasan dari cengkeraman waktu

(kala) dan siklus kehidupan. Dengan

kata lain, bahwa Bubuksah rela

mengorbankan dirinya sendiri

sebagai pengorbanan suci terhadap

sesuatu yang memerlukan, terutama

mengorbankan jiwanya, darah dan

daging yang berifat jasmaniah yang

mana sebelumnya harimau berkata

bahwa dia (harimau) mau memakan

daging manusia dalam menjalankan

brata-nya. Itulah inti ajaran mahati

dana atau sarira dana (Suci, 1985:

60).

Melalui latar tersebut di atas,

maka kajian filosofis terhadap cerita

Bubuksah ini sudah tentu berangkat

dari peristiwa kedua perilaku yang

ditimbulkan oleh kedua tokoh

tersebut di atas. Dari filosofis cerita

tersebut mengilhami dan

memberikan inspirasi bagi manusia

yang akan menjalankan suatu

kehidupan di dunia ini, bahwa segala

sesuatu perbuatan (Karma) pasti

akan ada hasilnya (Phala). Maka dari

itu hendaknya selalu memupuk

perbuatan-perbuatan yang baik

semasa hidup tidak hanya dari

tingkah laku saja tetapi dimulai dari

pikiran positif sehingga tidak sampai

merugikan orang lain. Selalu

memupuk rasa cintakasih terhadap

sesama mahluk (mencontoh dari

Gagakaking) dan selalu memupuk

rasa keikhlasa dan kebesaran jiwa

(mencontoh dari Bubuksah) sehingga

dapat menghasilkan keharmonisan,

kedamaian dan kesejahteraan dalam

kaitannya menjalankan kehidupan

dunia jasmani dan rohani.

III. PENUTUP

Cerita Bubhuksah dan

Gagakaking merupakan sebuah karya

sastra keagamaan. Sebagai sebuah

cerita yang bernafaskan religius

mengutarakan tentang cita-cita dan

hakikat pembebasan jiwa menuju

alam murni yakni Moksa. Melalui

kedua tokoh utamanya sang kakak,

Gagakaking dan sang adik,

Bubuksah adalah dua orang

bersaudara masing-masing memilih

jalan yang berbeda dalam

mewujudkan cita-citanya itu. Bahkan

cara yang dilakoninya itu masing-

masing terkesan sangat kontradiktif.

Namun demikian, keduanya

memegang satu paham yang

diyakininya dan dilaksanakannya

secara konsisten dan konsekuen.

Ada dua nilai yang paling

menonjol dalam cerita tersebut. Yang

pertama adalah nilai sebuah kesucian

dari paham Sudha Sridanta dan nilai

lascarya dari paham bherawa

Samyadnyana. Nilai kesucian itu

diperankan oleh tokoh Gagakaking

dengan segala perilakunya yang

berlandaskan kesucian rohani.

Sedangkan nilai lascarya diperankan

oleh Bubhuksah dengan tyaga

patinya dan segala macam

perilakunya dalam melaksanakan

brata bherawanya. Dari kedua

perilaku yang sangat berbeda itu

terdapat benang merah yang dapat

ditarik yakni nilai sebuah satya;

Page 12: AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH Oleh I Made Jaya …

Volume 5, No. 1, April 2021

23

ISSN : (p) 2598-0203

(e) 2746-7066

kesetian terhadap pilihan keyakinan

yang dianggap benar dengan segala

konsekuensinya, serta setianya dua

bersaudara tersebut untuk sama-sama

mencapai alam kebebasan/ moksa.

Selain nilai tersebut di atas,

Tutur Bubuksah berfungsi sebagai

acuan dalam menapaki jalan

kerohanian khususnya yang akan

menjadi seorang pandita/pendeta

untuk melakukan swadharmanya

hingga menjadi seorang pandita yang

baik dan benar, dan sebagai contoh

kepasrahan diri, tidak terikat

terhadap materi yang berlebihan,

serta menjaga kesucian lahir dan

batin untuk mencapai kemurnian

rohani yang sejati.

Penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada sastrawan Hindu

atas karya sastranya yang merupakan

hasil karya yang sangat luar biasa

untuk kemajuan/menapaki jalan

kerohanian dalam kehidupan ini.

Harapan untuk generasi penerus agar

selalu membuka diri dan wawasan

untuk mengkaji dan peduli terhadap

susastra-susastra Hindu yang bersifat

membangun karakter seperti karya

sastra Lontar Bubuksah dan susastra

lainnya. Melalui hasil susastra-

susastra sebelumnya seseorang akan

tahu bahwa sejauh mana tingkat

perjalanan pengetahuan yang

dimiliki. Jadi hal semacam itu perlu

dijadikan bahan renungan untuk

memahami jati diri sehingga

nantinya mendapatkan kebahagiaan

yang sejati.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (1979). Laporan Penelitian

Lontar Pelaksana Proyek

Institut Hindu Dharma

Denpasar. Kesra II/c/16/79.'

Goris, R. (1986). Sekte-Sekte di Bali

(P. Kusumo (ed.)). Bhratara

Karya Aksara.

Hooykaas, C. (1973). Balinese

Bauddha Brahmans. North-

Holand Publishing Company.

Liem, V. A. (2014). Memahami

ajaran di balik kisah

bubuksah dan gagakaking.

Https://Www.Facebook.Com.

Mantra, P. D. I. . (2018).

Bhagawadgita Naskah

Sanskerta, Alih Bahasa &

Penjelasan. ESBE Buku.

Robson, S. O. (1978). “Pengkajian

Sastra-Sastra Tradisional

Indonesia” dalam Bahasa

dan Sastra. Tahun IV No. 6.

Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Soebandi, J. M. G. K. (2004). Babad

Warga Brahmana Pandita

Sakti Wawu Rawuh Asal-

usul, Peninggalan, dan

Keturunan Danghyang

Nirartha. PT Pustaka

Manikgeni.

Suamba, I. B. P. (2007). Siwa-

Buddha di Indonesia Ajaran

dan Perkembangannya.

Widya Dharma.

Suci, N. K. dkk. (1985). Pola

kehidupan Pendeta Siwa dan

Budha di bali.

Suhardi, U., & Biasa, I. M. (2015).

Manajemen & Komunikasi

Dalam Pembinaan Umat.

Pasupati, IV(1).

Sura, I. G. (2002). Kajian Lontar

Bubuksah (I). Dinas

Kebudayaan Propinsi Bali.

Titib, I. M. (2004). Purana (Sumber

ajaran Hindu

Komprehensip). Paramita.