ajaran kepanditaan dalam lontar bubuksah oleh i made jaya …
TRANSCRIPT
AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....
Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )
12
AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH
SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMAHAMI
HAKIKAT DAN TUJUAN HIDUP
(SUATU TINJAUAN FILOSOFIS)
I Made Jaya Negara S.P1; Dian Syanita Utami Dewi2; Untung Suhardi3
STAH Dharma Nusantara Jakarta1;2;3
Email: [email protected]; [email protected];
ABSTRACT
Lontar Bubuksah as a creation or the heritage of Hindu culture contains a
story about the moral preaching of priests, philosophy of life and syncretism
between the preaching of Shiva and Budha thus it is clear that the manuscript
contents of the Lontar Bubuksah are about religion. Through the two main figures
of Gagakaking and Bubuksah brothers each chose a different path in realizing
their ideals.Even the way carried out each seemed very contradictory. However,
both of them hold one concept that is successfully believed and implemented
consistently and consequently The value of holiness is played by the character of
Gagakaking with all his behavior based on spiritual purity. While the value of
lascarya is played by Bubuksah in his tyaga pati and all manner of behavior in
carrying out his brata bherawa. Different behaviors have a connecting line that
can be drawn is the value of a satya; loyalty to the choice of beliefs that are
considered true with all the consequences, as well as being faithful to both
achieve the realm of freedom (moksa). This research uses a qualitative research
method about the Bubhuksah lontar text. Therefore, from the research standpoint
it is an exploratory research (explotrative research) in this case the research and
study of the Bubuksah lontar text with primary data namely the Bubuksah lontar
and secondary data of this study were obtained from two sources namely
documents and through discussions with informants and in the form of literature,
references and books.
Keywords: Phylosophy, preaching of priests, Lontar Bubuksah and
Gagakaking, goal of life.
I. PENDAHULUAN
Masyarakat Nusantara sejak
lama sudah dikenal oleh masyarakat
internasional terutama tentang
kreativitas menuangkan ide atau
pikiran melalui tulisan-tulisan tangan
baik di atas kertas, batu, tembaga
maupun daun lontar. Melalui tulisan-
tulisan tersebut mereka
mengungkapan ide-ide atau
pemikiran yang terkait dengan
berbagai aspek kehidupan manusia
baik mengenai bahasa, seni, agama,
maupun mata pencaharian dan lain-
lain. Semua hasil pemikiran yang
dituangkan melalui tulisan-tulisan
tersebut sampai sekarang masih
dijumpai dibeberapa tempat atau
daerah seperti Jawa, Sumatra, Bali,
Sunda, Sasak dan lain-lain dalam
bentuk naskah-naskah lama
(manuscripts). Naskah-naskah ini
telah menjadi bagian dari
kebudayaan bangsa Indonesia yang
Volume 5, No. 1, April 2021
13
ISSN : (p) 2598-0203
(e) 2746-7066
mampu memberi warna atau ciri
khas suatu bangsa yang mengenal
peradaban pada masa silam. Bagi
daerah-daerah di Indonesia yang
masih menyimpan peninggalan-
peninggalan kebudayaan dalam
bentuk naskah seperti ini telah
mampu memperkaya khazanah
kebudayaan daerah.
Agama Hindu sebagai agama
tertua di dunia yang telah mengalami
rentang sejarah yang panjang serta
peradaban kehidupan umat,
senantiasa bisa menerima ragam
budaya dan perkembangan kemajuan
ilmu pengetahuan, hingga kini
memasuki era informasi. Dengan
ketersediaan teknologi, jaringan
internet, percepatan aliran informasi
dan ketersediaan sumber informasi
menjadikan ilmu pengetahuan dapat
disebarkan dengan mudah, cepat dan
murah. Bayangkan saja, seorang
pandita memberikan dharma wacana
di pelataran/wantilan pura yang
diliput menggunakan media televisi
dan disiarkan secara langsung, dapat
disaksikan oleh ratusan hingga
ribuan umat sampai dipelosok desa
yang masih terjangkau siaran televisi
tersebut. Penggunaan Jaringan
internet, kita bisa menggali beragam
informasi, mendalami ilmu
pengetahuan (science) dan
mengekplorasi kemampuan yang ada
pada diri kita untuk ikut berbagi dan
menyumbangkan pemikiran yang
positif, inspiratif, inovatif, kreatif
dan berwawasan yang didasarkan
atas dharma dari ajaran-ajaran
agama Hindu. Sehingga kecerdasan
yang terbentuk pada pribadi masing-
masing umat merupakan hasil
intelektualitas diri yang bermoral,
dibentengi oleh norma-norma yang
berlaku dan dilingkupi oleh satu
kebenaran tertingi yaitu dharma.
Sebagaimana diketahui,
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terjadi seperti
sekarang ini yang didukung oleh
teknologi komunikasi dan informasi
secara tidak disadari telah membawa
pengaruh yang sangat besar bagi
kehidupan masyarakat. Perubahan
yang terjadi akibat pengaruh ini
begitu cepat dan kompleks.
Perubahan tersebut telah
mempengaruhi persepsi, wawasan,
serta sikap masyarakat terhadap
berbagai hal termasuk di antaranya
pada kesadaran dan kecintaan
masyarakat terhadap kebudayaan
daerah seperti bahasa dan sastra
daerah sebagai salah satu
perwujudan identitas bangsa. Tidak
menunup kemungkinan juga bahwa
dengan berkembangnya teknologi
membuat lemahnya keinginan
manusia untuk menjaga warisan
yang sudah diturunkan oleh
leluhurnya. Karena itulah sekarang
ini diperlukan sumber daya manusia
yang memiliki jati diri yang kokoh.
Jati diri seperti ini dapat tumbuh dari
pewarisan dan pengembangan
terhadap nilai-nilai luhur bangsa
sebagaimana banyak terdapat pada
sumber-sumber tertulis dalam bentuk
naskah-naskah lama.
Sejauh ini naskah-naskah
sebagai peninggalan kebudayaan
bangsa banyak ditemukan di
beberapa daerah di Indonesia.
Keberadaan naskah-naskah tersebut
di tengah-tengah masyarakat
tentunya perlu mendapatkan
perhatian yang khusus. Sekarang ini
masyarakat belum menyadari
sepenuhnya betapa pentingnya
kedudukan naskah-naskah tersebut
dalam masyarakat. Mempelajari atau
meneliti naskah lama memang bukan
pekerjaan mudah (Robson, 1978).
Selain faktor teknis menyangkut
AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....
Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )
14
bahasa dan aksara yang digunakan di
dalam naskah juga karena faktor lain
yang berhubungan dengan sistem
budaya. Untuk mengetahui isi sebuah
naskah, kita pertama kali dihadapkan
pada bahasa dan aksara yang kadang-
kadang sangat sulit dipahami karena
bahasa naskah sebagian besar adalah
bahasa yang sudah mati dalam arti
bahasa yang sudah tidak dipakai
sebagai media komunikasi sehari-
hari oleh masyarakat. Dalam naskah
juga tidak sedikit juga adanya idiom-
idiom yang digunakan untuk
mengacu pada sistem atau kode
budaya tertentu. Hambatan-hambatan
seperti ini kadang-kadang menuntut
kesabaran dan ketekunan dari
seorang pembaca naskah.
Data yang pasti di Bali
mengenai jumlah naskah yang ada
sampai sekarang sudah mulai
tersedia. Hal ini barang kali
disebabkan mengingat tradisi
menulis atau menyalin di atas daun
lontar di kalangan masyarakat masih
hidup. Mereka tidak hanya menyalin
dan menyadur tetapi juga banyak
menciptakan karya baru. Tradisi
nyastra seperti ini berlangsung
secara turun-temurun di kalangan
masyarakat Bali yang hingga saat ini
masih banyak dilakukan masyarakat.
Lontar Tutur Bubuksah
merupakan salah satu kesusastraan
populer yang berkembang sekitar
pertengahan abad ke-14 di zaman
Majapahit dan berkembang sampai
ke Bali. Naskah Tutur Bubuksah
sebagai satu karya atau peninggalan
kebudayaan berisi cerita tentang
sinkretisme antara agama Siwa dan
Budha (Anonim, 1979). Dengan
demikian bahwa naskah ini isinya
bersifat keagamaan yang
mengandung ajaran filosofis yang
mendalam. Gambaran adanya
sinkretisme agama Siwa dan Budha
seperti ini menjadi pertimbangan
penting penelitian ini dilakukan
apalagi bila dikaitkan dengan
keberadaan kedua paham tersebut di
dalam masyarakat Hindu khususnya
yang hingga kini masih tetap kuat
tercermin dari Pendeta Hindu yang
memakai gelar Siwa dan Budha
dalam pelaksanaan proses upacara
keagamaan. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka ada beberapa
pokok permasalahan yang akan
dibahas pada penelitian ini yaitu,
sinopsis Lontar Bubuksah, Ajaran
Kepanditaan dalam Lontar Tutur
Bubuksah dan Filosofis Ajaran
Bubuksah Untuk Memahami Hakikat
dan Tujuan Hidup.
II. PEMBAHASAN
2.1 Sinopsis Lontar Bubuksah
Cerita ini menjadikan
dualisme pandangan di kalangan
masyarakat bahwa cerita kehidupan
Bubuksah dan Gagaking tersebut
benar terjadi dan disisi lain ada yang
berpandangan bahwa cerita tersebut
merupakan imajinatif karya sastra
keagamaan yang sarat akan nilai-
nilai dan tuntunan untuk
menjalankan kewajiban
(swadharma) di dalam suatu
kehidupan. Hal tersebut sebenarnya
sah saja karena cara pandang setiap
orang berbeda-beda.
Soebandi dalam bukunya
yang berjudul “Babad Warga
Brahmana : Pandita Sakti Wawu
Rawuh” menerangkan bahwa
Bubuksah dan Gagaking adalah dua
bersaudara (kakak adik) mereka
berdua merupakan putra dari Mpu
Dwijendra (Soebandi, 2004: 4). Di
dalam Kajian Naskah yang
diterjemahkan oleh tim pengkajian
Naskah Lontar Bubuksah Dinas
Kebudayaan Propinsi Bali, dalam
buku Kajian Lontar Bubuksah itu di
Volume 5, No. 1, April 2021
15
ISSN : (p) 2598-0203
(e) 2746-7066
jelaskan mengenai kisah dua orang
laki-laki bersaudara, kakak beradik,
kakaknya bernama Kebwamilir dan
adiknya Kebwakraweg (Sura, 2002:
3). Kedua kakak beradik ini sejak
kecil telah ditinggal mati oleh kedua
orang tuanya. Berkat belas kasihan
tetangganya, keduanya lalu dipungut
dan dibesarkan. Tidak sebagaimana
halnya dengan teman sebayanya,
kedua anak ini menunjukkan
perilaku yang berbeda, tidak suka
bermain. Tidak suka kepada hal-hal
keindahan keduniawian. Sudah
sifatnya sejak kecil suka mempelajari
tentang kebenaran, maka setelah
remaja pun keinginan untuk mencari
kebenaran itu semakin menjadi-jadi.
Itulah sebabnya orang-orang
sekitarnya menjadi tidak suka
bahkan tidak segan mengusirnya.
Oleh karena keadaan ini, maka
keduanya memutuskan untuk
mencari seorang guru dan
selanjutnya ingin menjalani
kehidupan layaknya seorang pendeta.
Usahanya mencari seorang
guru agar berhasil sesuai dengan
harapannya, mereka menuju ke
pertapaan Mandhalangu. Atas
penjelasan Ulukembang, seorang
siswa dari pertapaan tersebut,
akhirnya mereka berdua berketetapan
hati untuk tidak memilih guru yang
lain. Singkat kata, mereka akhirnya
diterima sebagai muridnya.
Keduanya lalu diganti namanya, sang
kakak, Kebwailir namanya menjadi
Gagakaking, dan sang adik,
Kebwaraweg diganti namanya
menjadi Bubhuksah. Setelah
dirasakan cukup menuntut ilmu,
mereka berdua memutuskan untuk
pergi bertapa di sebuah gunung.
Akhirnya mereka tiba di sebuah
gunung lalu membuat pertapaan.
Sang kakak, Gagakaking, mengambil
tempat di sebelah Barat menghadap
ke Timur, sedangkan adiknya,
Bubhuksah mengambil tempat
sebelah Timur menghadap ke Barat.
Di tengah-tengan dibangun sebuah
balai tempat bercengkerama dan
berdiskusi.
Kedua kakak beradik ini
dalam hidupnya mengambil jalan
yang berbeda. Sang Gagakaking
menjalankan tapanya dengan
memakan makanan yang tidak
bernyawa (paham Sudha Sridanta)
dan memuja langit. Di lain pihak,
Sang Bubhuksah menjalankan
tapanya dengan cara bherawa, yakni
memakan makanan yang bernyawa
termasuk binatang-binatang yang
paling menjijikkan sekali pun. Tidak
terkecuali, binatang apa pun yang
masuk di dalam perangkapnya pasti
disembelihnya. Perbedaan cara hidup
ini menyebabkan Gagakaking gelisah
dan diyakini bahwa apa yang
dilakukan oleh Bubhuksah ini telah
melanggar cara seorang pertapa.
Berkali-kali Gagakaking
menasihatinya namun tidak berhasil.
Bubuksah yakin bahwa apa yang
dilakukannya itu adalah tapa juga.
Bubuksah memahami bahwa jiwa itu
adalah tunggal dan bersama tapanya
itu berharap jiwa itu segera menyatu
kembali ke asalnya. Bubuksah yakin
benar bahwa banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencapai alam
sorga. Keduanya selalu berdebat dan
bersikukuh bahwa apa yang
dilakukannya itu adalah yang terbaik.
Pada puncak tapanya,
membuat keadaan di sorga terusik.
Dewa Indra lalu melaporkan kepada
Dewa Siwa (Bhatara Guru) bahwa
ada dua orang pertapa yang sama-
sama sakti ingin berebut sorga. Dewa
Siwa lalu mengutus Kala Wijaya
untuk menyamar sebagai harimau
putih untuk mengujinya. Siapa salah
satu dari mereka yang tyaga pati,
AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....
Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )
16
dialah yang berhak masuk sorga.
Dalam mengujinya itu, harimau putih
mendatangi Gagakaking dengan
mengatakan ingin memakannya
karena telah berjanji untuk
memangsa seorang pertapa. Ternyata
Gagakaking tidak tyaga pati, tidak
mau dimangsa oleh harimau bahkan
menyuruh harimau putih mendatangi
adiknya, Bubuksah. Oleh harimau
putih dikatakannya bahwa
Gagakaking hanya pandai berbicara.
Selanjutnya, harimau putih
mendatangi Bubuksah. Bubuksah
lalu mohon waktu sebentar untuk
mengambil binatang yang masuk
perangkapnya. Setelah itu
Bubhuksah menyerahkan diri kepada
harimau putih untuk segera
memangsa dirinya. Ternyata
Bubuksah tyaga pati. Lalu, harimau
putih menjelaskan bahwa dirinya
adalah utusan Dewa Siwa untuk
mengujinya. Kemudian harimau
putih mengajak Bubuksah pergi ke
sorga untuk menghadap kepada
Dewa Siwa. Oleh karena Gagakaking
dan Bubuksah sebelumnya sudah
berjanji seia sekata, baik suka
maupun duka, maka Gagakaking pun
diikutkan ke sorga. Bubuksah duduk
di punggung harimau sedangkang
Gagakaking bergelantungan
memegang ekor harimau. Dalam hati
Bubuksah merasa kasihan melihat
Gagakaking seperti itu dan
mengingatkan untuk terus
berpegangan kuat-kuat.
Sesampainya di sorga,
mereka disambut oleh para dewa.
Lalu, mereka masing-masing diberi
tempat sesuai dengan tapanya. Oleh
karena Bubuksah tyaga pati, dia
berhak mendapatkan sorga yang
terbaik dan tertinggi (sorga ketujuh).
Sedangkan, Gagakaking diberikan
sorga tingkat kelima (meru agung
tumpang lima) lengkap dengan
abdinya sebagai pahala atas tapanya
yang juga sangat taat welas asih
terhadap semua makhluk. Dewa
Siwa mengingatkan bahwa segala
sesuatu yang dilakukan pasti akan
mendapatkan pahala sesuai dengan
perbuatannya karena semua
perbuatan itu telah tercatat.
2.2 Ajaran Kepanditaan dalam
Lontar Bubuksah
Lontar Bubuksah yang
diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan
Propinsi Bali tahun 2002 pada nomor
halaman lontar /40.a/ menyatakan
yaitu “lah kaki asih wuwusnya dhana
punya pakaryyaning ngawikon tan
pangucap alaning wong, asih ring
sarwa tumuwuh angiupi dharmma
pitutur awek pangan ring ta sesi
amuturuni muddha miskin ring
ngong mahutang winehan legan
manah ujarnya sor iku ta tirunen
ingong.” Artinya: perkataannya
lemah lembut. Kewajiban seorang
pendeta adalah memberi sedekah,
tidak suka membicarakan keburukan
orang lain, mengasihi sesamanya,
menghayati ajaran dharma, memberi
makan pada semua pengemis
menasihati orang bodoh, fakir
miskin, membantu sesamanya,
menyenangkan pikiran dan tutur
katanya sopan. Diuraikan juga
dalam Lontar Bubuksah nomor
/42.a./ “ayo tan eling ring awiku
pikekesing pati den wruh mati ling
kalaning maurip norana hyun lawan
ilik manggeh ta sira lwir muda hning
ira niskarana mangkana ulah
awiwikon tuhu sira yen tekeng done
mangkana dening awiwiku pati awas
ring paruput wruha ring pakekesing
pati den wruha hana piranti ring
atma.” Artinya: hendaknya selalu
ingat akan kewajiban seorang
pendeta, tentang rahasia kematian
dan agar mengetahui jalan menuju
Volume 5, No. 1, April 2021
17
ISSN : (p) 2598-0203
(e) 2746-7066
kematian, tak ada yang disayangkan
dan dibenci, berpendirian teguh.
Bukan karena sesuatu hal yang
menyebabkan menjalankan tugas
kependetaan. Orang yang demikian
sebenarnya yang akan mencapai
tujuan.
Pemahaman isi lontar di atas
itu menguraikan bahwa menjadi
seorang pandita tidaklah muda
karena harus selalu menjaga pikiran
yang baik, perkataan yang baik dan
tingkah laku yang baik, tetapi
tidaklah juga sulit kalau dilakukan
secara tulus dan konsisten. Deskripsi
dari kedua tokoh utama di atas
mengisyaratkan bahwa harus
konsekuen, teguh, taat, terhadap
kebenaran yang diyakini. Dalam
ajaran agama Hindu keadaan
semacam ini disebut dengan istilah
satya. Satya merupakan salah satu
ajaran dalam Dasa Niyama Brata
(yaitu sepuluh aturan kerohanian
berupa landasan dijadikan pedoman
pertama dalam bertingkah laku baik
lahir maupun batin). Satya artinya
benar, setia, jujur mempunyai
peranan yang sangat penting sebagai
landasan dalam mencapai
kesempurnaan rohani terutama bagi
para pendeta yang melakoni
kehidupan spiritual (rohani). Selain
itu satya juga berarti suatu norma
kesusilaan yang patut dilaksanakan
sehingga mulialah orang yang satya
baik setia pada perkataan (satya
wacana) maupun terhadap brata
yaitu pantangan terhadap makanan
dan minuman (Suci, 1985: 65).
Bubuksah satya terhadap
bratanya sampai harus memakan
daging apa saja yang masuk
keperangkapnya dan Gagakaking
satya terhadap bratanya hanya
makan dedaunan yang serba suci
(paham Sudha Sridanta). Selain itu,
ditunjukkan juga satya sebagai
sumber utama mendapatkan sorga.
Dalam pandang yang lebih luas,
satya juga berarti janji. Bagi yang
mengetahui arti kata “janji” terlahir
untuk melakukan kewajiban. Janji
adalah ketetapan hati dari seorang
pemuja kepada dewanya.
Sebagaimana dalam uraian di atas
bahwa cita-cita akhir kedua paham
itu adalah pembebasan jiwa atau
moksa. Keduanya mengejar cita-cita
ini dengan caranya sendiri.
Kahyangan akhirnya menguji
kemurnian jiwanya dengan menguji
keberanian dan ketulusan jiwa raga
melalui seekor harimau putih. Ujian
inilah nantinya akan membuktikan
tingkat kemurnian jiwa yang telah
dicapai. Dasar pijakannya adalah
seorang yang telah mencapai
keadaan rohani tanpa kejahatan serta
kekotoran logika tentunya tak
tersedia tempat bagi rasa takut. Hal
inilah yang dikaitkan dengan tyaga
pati. Hal ini dimenangkan oleh
Bubuksah. Ia membunuh tetapi
bukan atas dasar kejahatan
melainkan berdasarkan pada paham
pembebasan dan peningkatan harkat
dari makhluk hidup. Dengan latar ini
sesungguhnya Bubuksah telah
menanam pengabdian kepada
makhluk hidup karena itulah kalau
ada makhluk lain yang pantas
menyebabkan kematiannya ia pun
menyambutnya dengan ikhlas. Di
sinilah makna sebuah keberanian dan
pemahaman tentang hukum evolusi
roh.
Seperti yang dijelaskan dalam
sloka Bhagavadgita II.55 tentang
karakteristik dari orang suci yang
sempurna merupakan penunjang dari
ajaran kepanditaan dalam Lontar
Bubhuksah yaitu:
prajahati yada kaman sarvan
parthamano-gatan,
AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....
Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )
18
atmany evatmana tustah sthita-
prajnas tadocyate.
Terjemahan:
Bila seorang menyampaikan semua
keinginan-keinginan dari pikiran, O
Partha (Arjuna), dan bila jiwanya
puas menikmati kebenaran dirinya
yang sejati maka ia disebut orang
yang bijaksana (Mantra, 2018: 55).
Hal ini juga dipertegas dalam
Bhagavadgita II.56 bahwa:
duhkhesv anudvigna-manah sukhesu
vigata-sprhah
vita-raga-bhaya-krodhah sthita-dhir
munir ucyate.
Terjemahan:
Ia yang pikirannya tidak
digoncangkan di dalam keadaan
duka cita dan bebas dari keinginan-
keinginan di tengah-tengah
kesukacitaan, ia yang dapat
mengatasi nafsu, kesesatan dan
kemarahan, ia disebut orang yang
bijaksana (Mantra, 2018: 51).
Jadi hendaknya orang yang
disebut baik dan bijaksana itu
haruslah dapat menguasai nafsu atau
keinginan yang tidak perlu, sehingga
menumbuhkan jiwa sepiritualnya
atau jiwa kepanditaannya. Sebagian
peneliti menyebutkan bahwa
Bubuksah mewakili ideal pendeta
Buddha. Sedangkan Gagakaking
mewakili pendeta Siwa.
Argumentasinya didasari
pemahaman bahwa Bubuksah adalah
adik dari Gagakaking. Agama Siwa
lebih dahulu masuk ke nusantara,
karena itu dianggap sebagai “kakak”.
Kemudian agama Buddha menyusul
kemudian, karena itu dianggap
“adik”. Dari kisah tersebut nampak
bahwa Bubuksah lebih unggul, lalu
disimpulkan bahwa Buddha lebih
unggul daripada Siwa. Kemungkinan
kisah ini dibuat oleh kalangan
Buddha atau memang untuk
menghormati Rajapatni yang
beragama Buddha. Bagian
menariknya, yang menguji Bubuksah
dan Gagakaking adalah Bathara
Guru, tidak lain, Siwa sendiri. Hal ini
semacam legitimasi bahwa agama
Siwa juga menerima agama Buddha.
Walaupun Rajapatni adalah pengikut
Buddha namun tetap menghormati
penganut Siwa.
Kaitan teks Tutur Bubuksah
sebagai karya sastra sekaligus
sebagai sebuah institusi sosial yang
mencerminkan realitas budaya
dengan pengarang sebagai
subordinasi dari suatu kelompok
masyarakat yang lebih besar
menunjuk pada suatu kelompok
masyarakat tertentu yakni
masyarakat Budhis Wajrayana atau
sering pula disebut Kasogatan.
Secara keseluruhan episode-
episode dalam teks Tutur Bubhuksah
lebih menekankan pada suatu ajaran
atau doktrin. Ikhtisar cerita tersebut
di atas mengisyaratkan pengesahan
terhadap suatu doktrin tertentu dalam
hal ini ajaran Siwaisme dan
Budhisme. Kedua ajaran ini masing-
masing dilaksanakan oleh para
pendeta Siwa dan pendeta Budha.
Kedua pendeta ini (Siwa dan Budha)
sama-sama digolongkan ke dalam
wangsa brahmana (Goris, 1986:
100)
Para pendeta Buddha (bukan
bhiksu) yang digolongkan dalam
kaum brahmana yang diafirmasikan
lewat teks Bubuksah yang menganut
konsep ajaran Bhatara Guru
(Guruistik). Dalam konsep ini
Bhatara Guru (Siwa) adalah dewa
yang tertinggi seperti yang terdapat
dalam bagian teks (33.b). Ketika
menyinggung masalah Siwa dan
Budha bahwa ada perbedaan konsep
dalam ajaran Budha (umumnya)
Volume 5, No. 1, April 2021
19
ISSN : (p) 2598-0203
(e) 2746-7066
dengan Wajrayana yang mana
Bubuksah sebagai representasi dari
para pedanda Buddha di Bali yang
bersumber dari ajaran Bhatara Guru
(Guruistick sources). Pada akhirnya
Gagangaking dan Bubuksah
mewakili Pedanda Sewa Sogata
yang dihormati sebagai manifestasi
Bhatara Guru. Inilah yang
membedakannya dengan ajaran
Buddha yang lain. Memang terlihat
bahwa Bubuksah adalah seorang
bhairawa tanpa ragu-ragu memakan
apa saja yang masuk ke dalam
perangkapnya. Namun, Bubuksah
lebih bersifat Siwaistis seperti halnya
juga terdapat dalam Tantu
Panggelaran. Kenyataannya jelas
bahwa dalam konsep bhairawa
Bubhuksah di sini tidak
menghancurkan atau dipertentangkan
dengan tokoh yang lain hanya
berbeda cara dalam menempuh
tujuan hidup. Salah satu ciri
perbedaan seorang bhairawa adalah
perilakunya dalam menjalankan
tapanya pada sebuah tempat. Sifat
bhairawa yang dilakoni oleh
Bubuksah dilakukannya dengan
penuh kesadaran semata-mata untuk
memperbaiki jiwa makhluk yang
dimakannya itu agar lebih baik atau
segera bertemu dengan Siwa sebagai
yang paling berhak menerimanya
kembali dan bukan menghancurkan
(Liem, 2014).
Sampai abad ke-14 Siwa dan
Budha masih berbeda satu dengan
yang lain. Ini berarti bahwa setelah
abad ke-14 (setelah runtuhnya
kerajaan Majapahit) pengertian Siwa
dan Budha menuju ke arah tujuan
yang sama yakni menuju alam Siwa
sebagaimana yang tersirat dalam teks
yakni mengambil sumber dari agama
Hindu. Kondisi ini sangat berbeda
dengan keadaan Buddha awal di
India dan hanya berlaku khusus di
Indonesia khususnya Bali
(Hooykaas, 1973). Dengan demikian
kesimpulannya adalah bahwa
Buddha Mahayana dalam hal ini
Wajrayana menganut konsep
Siwaistik yakni ajarannya bersumber
dari ajaran Siwa (Bhatara Guru).
Siwa juga berarti Yang Maha Esa
yang di dalamnya terdapat seluruh
ciptaan. Karena menurut agama
Hindu adalah Tuhan yang sama yang
menciptakan, memelihara dan
menarik kembali alam semesta ke
dalam diri-Nya (Suhardi & Biasa,
2015: 48).
2.3 Filosofis Ajaran Bubuksah
Untuk Memahami Hakikat
dan Tujuan Hidup
Teks Lontar Tutur Bubuksah
dalam pandangan Soewito Santoso
ditempatkan sezaman dengan Tantu
pagelaran atau lebih tua dari
Korawasrama. Dengan mengamati
penggunaan bahasa dan kosakata
nampak teks ini usianya muda.
Dalam perkembangannya sebagai
naskah keagamaan yang bercorak
Siwa-Buddha, naskah yang
digolongkan ke dalam gendre tutur
ini telah disadur ke dalam bentuk
parikan, yakni dari bentuk semula
yang lebih tua (prosa) menjadi
bentuk puisi. Bubuksah dan
Gagakaking adalah dua tokoh yang
digambarkan di dalam teks ini
(Suamba, 2007: 208).
Teks Lontar Tutur Bubuksah
cenderung bersifat Guruistik yang
mengambil sumber dari doktrin Siwa
(Bhatara Guru) sebagai dewa
tertinggi. Gagakaking mewakili
doktrin Siwa sedangkan Bubuksah
mewakili doktrin Buddha.
Sebagaimana dapat dipahami
bersama bahwa aliran Siwa dan
Buddha di Indonesia walaupun
berasal dari sumber yang sama tetapi
AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....
Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )
20
masing-masing menampakkan pula
karakter yang berbeda. Namun
demikian, keduanya mempunyai
cita-cita yang sama yakni dalam
usaha mencapai pembebasan jiwa
yang sempurna dengan memakai
jalan yang berbeda. Demikianlah
yang disiratkan dalam Lontar
Bubuksah.
Bubuksah Gagakaking dalam
cerita ini memiliki perbedaan
karakter yang nampak jelas
digambarkan melalui dua tokoh
utama tersebut di atas. Keduanya
bersaudara kandung mengalami
problema hidup bersama, berguru
pada guru yang sama kemudian
bertapa pada tempat yang sama pula.
Perbedaan karakter barulah tampak
jelas digambarkan setelah mereka
mandiri dan mendirikan “pasraman”
sebagai tempat untuk bertapa dan
memahami hakikat hidupnya. Sang
kakak, Gagakaking, memilih tempat
di barat menghadap ke timur seolah-
olah menyongsong dan memuja
matahari. Sedangkan sang adik,
Bubuksah, memilih tempat di timur
menghadap ke barat seolah-olah
menyongsong dan memuja bulan.
Gagakaking adalah sebuah
nama yang diberikan oleh gurunya
setelah diangkat sebagai murid. Yang
mengandung pemahaman sebatang
tangkai kayu yang kurus kering. Di
balik nama tersebut terkandung
makna tattwa atau paham yang
dilakoninya secara konsisten.
Gagakaking melakukan tattwa brata
kesucian yang disebut paham Sudha
Sridanta. Paham ini selalu
berlandaskan pada kesucian lahir
batin yang mendasarkan darmanya
pada tat wam asi. Ia berkewajiban
membersihkan dan menyucikan
(nyudha) mikrokosmos maupun
makrokosmos. Oleh karena itu, ia
merasa wajib “ngurip” atau
menghidupkan dan atau memelihara
apa yang ada dan tumbuh hidup di
alam ini. sebagaimana hakikat
matahari yang senantiasa dipuja,
terbit dengan sinar yang indah,
menerangi dan memberi kehidupan
di dunia ini. Karakter ini
ditampakkan oleh Gagakaking dalam
kebiasaannya sehari-hari mulai dari
pemilihan tempat tinggal di puncak
gunung yang sepi dengan membuat
taman bunga yang indah dengan
kehidupan satwa yang harmonis serta
melakukan brata hanya memakan
dedaunan untuk menyambung
hidupnya sehingga tubuhnya kurus
kering (aking). Kebiasaan-kebiasaan
ini menyiratkan bahwa karakternya
yang menonjol adalah menghidupkan
dan memelihara serta kesucian yang
diasahnya secara konsisten dalam
usaha mencapai tingkat hakiki dan
mulia yakni mencapai adining
suwung atau Moksa (kebebasan yang
abadi).
Tentang arti Moksa dalam
purana yaitu Moksa berarti tiada
keterikatan atma dan bersatu dengan
Brahman. Dalam Brahmanda Purana
(3.4.3.58-60) disebutkan 3 tingkatan
Moksa oleh orang yang melihat
kebenaran, yaitu: pertama adalah
kelepasan dari keterikatan Ajnana.
Kedua adalah keselamatan lepas dari
Raga-Samksaya (hancurnya
keterikatan yang sangat
mendalam/kemelekatan). Ketiga
Trsnaksaya (menghancurkan
kehausan, seperti sangat terikat
dengan keduniawian/kemelekatan
indrawi). Ketika Jivatman kembali
untuk menyatu dengan Paramatman,
Jivatman meninggalkan kesenangan
atau kebahagiaan itu. Ia tidak
memerlukan badan. Jivatman
memperoleh kebebasan dari satu
badan dan badan baru yang lain dan
Jivatman dapat memasuki ribuan
Volume 5, No. 1, April 2021
21
ISSN : (p) 2598-0203
(e) 2746-7066
badan setiap waktu tanpa
pengetahuan yang mutlak (Titib,
2004: 280).
Gagakaking sesungguhnya
adalah seorang pendeta yang sangat
saleh. Perasaan Gagakaking tidak
terbiasa dengan kekerasan, kematian
dan pembunuhan. Oleh karena itu, ia
sempat kebingungan dalam
menghadapi kedatangan maut ketika
mau dimangsa oleh harimau. Ia
terbiasa dengan tresna yakni suatu
perasan cinta kasih yang berlebihan
baik terhadap lingkungannya
maupun pada dirinya sendiri. Dengan
perasaan mengayomi, lalu
memusatkan perhatiannya atas
imajinasi semacam itu sampai-
sampai mengorbankan kenikmatan
hidupnya hingga badannya kurus
kering. Membunuh baginya adalah
penghalang besar untuk mencapai
alam murni. Ia harus menekuni brata
itu dengan susah payah sambil
memupuk cinta kasih pada
lingkungannya. Di mata rohaniawan
ini, dunia ini penuh dengan fantasi
kemewahan yang menjanjikan
kenikmatan-kenikmatan hidup. Ia
berusaha menghindarinya dan
berusaha meninggalkan dunia maya
ini. Hingga suatu ketika ia ingin
menyadarkan Bubuksah, adiknya,
bahwa yang dinikmatinya itu adalah
maya adanya. Bila ia renungkan
perilaku yang demikian, maka satu-
satunya tanggapannya adalah rasa
kasihan terhadap Bubuksah yang
dianggap masih tinggal di dunia
palsu dan masih terguncang-guncang
dalam gelombang kenikmatan
jasmaniah. Bagi Gagakaking,
perjuangan batin melawan kebutuhan
jasmaniah menyebabkan ia
berpendapat bahwa dengan paham
Sudha Sridanta ia dapat mencapai
tujuan hidupnya dan untuk
menaklukannya itu ia bersandar pada
kekuatan spiritual. Gagakaking yang
suka berpantangan serba suci
ternyata keliru menganggap
kedatangan harimau ganas itu
sebagai penghalang yang
mengganggu ibadahnya.
Setelah mengamati karakter
Sang Gagakaking, berikut karakter
Sang Bubuksah yang juga sangat
penting diapresiasikan untuk
menyimak nilai filosofis yang
terkandung di dalamnya. Bubuksah
adalah nama yang diberikan oleh
gurunya setelah diangkat menjadi
murid dan menjadi pendeta. Ia juga
mengikuti kakaknya bertapa untuk
mencapai cita-citanya yang terakhir
yakni mencapai kebebasan atau
Moksa. Berbeda dengan kakaknya,
Gagakaking, ia mengambil tempat di
sebelah timur menghadap ke barat
seakan-akan menyongsong peredaran
bulan dari pananggal pisan sampai
purnama. Nama “Bubuksah”
mengandung arti si rakus atau si
pelahap yang berasal dari bahasa
Sanskerta, Bubukṣaḥ yang berarti
nafsu makan, selera makan yang
besar, lapar. Makna yang terkandung
di balik nama tersebut adalah
kebebasan terhadap perilakunya
sehari-hari yang mengisyaratkan
bahwa ia selalu berusaha
menghindarkan keterikatan. Ia lebih
mengutamakan kebebasan yang
dalam tatwa Buddha disebut
Samyadnyana. Karakter ini lebih
menonjolkan lascarya, yakni tentang
keberanian dan keikhlasan dalam
menghadapi segala persoalan hidup.
Yang menjadi dasar adalah
keseimbangan, tenang dalam segala
kondisi. Ia tak pernah takut
menghadapi kematian tetapi juga ia
sangat menghargai hidupnya karena
itu ia melakukan brata bherawa yang
sangat taat. Salah satu kebiasaannya
adalah memakan apa saja yang
AJARAN KEPANDITAAN DALAM LONTAR BUBUKSAH .....
Oleh I Made Jaya Negara S.P; Dian Syanita Utami Dewi; Untung Suhardi, ( 12-23 )
22
masuk ke dalam jerat yang
dipasangnya.
Sang Bubuksah berpendapat
bahwa bila ingin mencapai hasil
yang sempurna dalam melakukan
kewajiban di kehidupan ini haruslah
didasari oleh keadaan jasmani yang
sehat seimbang. Konsep lascarya
yang ditunjukkannya yakni saat
mengalami ujian dari harimau.
Bubuksah pasrah, rela, sedikit pun
tidak merasa takut akan kematian,
siap mati suatu saat (tyaga pati)
walaupun sang harimau
memperlihatkan gigi dan cakarnya
yang tajam, suaranya yang
mengaum. Kematian baginya adalah
pembebasan dari cengkeraman waktu
(kala) dan siklus kehidupan. Dengan
kata lain, bahwa Bubuksah rela
mengorbankan dirinya sendiri
sebagai pengorbanan suci terhadap
sesuatu yang memerlukan, terutama
mengorbankan jiwanya, darah dan
daging yang berifat jasmaniah yang
mana sebelumnya harimau berkata
bahwa dia (harimau) mau memakan
daging manusia dalam menjalankan
brata-nya. Itulah inti ajaran mahati
dana atau sarira dana (Suci, 1985:
60).
Melalui latar tersebut di atas,
maka kajian filosofis terhadap cerita
Bubuksah ini sudah tentu berangkat
dari peristiwa kedua perilaku yang
ditimbulkan oleh kedua tokoh
tersebut di atas. Dari filosofis cerita
tersebut mengilhami dan
memberikan inspirasi bagi manusia
yang akan menjalankan suatu
kehidupan di dunia ini, bahwa segala
sesuatu perbuatan (Karma) pasti
akan ada hasilnya (Phala). Maka dari
itu hendaknya selalu memupuk
perbuatan-perbuatan yang baik
semasa hidup tidak hanya dari
tingkah laku saja tetapi dimulai dari
pikiran positif sehingga tidak sampai
merugikan orang lain. Selalu
memupuk rasa cintakasih terhadap
sesama mahluk (mencontoh dari
Gagakaking) dan selalu memupuk
rasa keikhlasa dan kebesaran jiwa
(mencontoh dari Bubuksah) sehingga
dapat menghasilkan keharmonisan,
kedamaian dan kesejahteraan dalam
kaitannya menjalankan kehidupan
dunia jasmani dan rohani.
III. PENUTUP
Cerita Bubhuksah dan
Gagakaking merupakan sebuah karya
sastra keagamaan. Sebagai sebuah
cerita yang bernafaskan religius
mengutarakan tentang cita-cita dan
hakikat pembebasan jiwa menuju
alam murni yakni Moksa. Melalui
kedua tokoh utamanya sang kakak,
Gagakaking dan sang adik,
Bubuksah adalah dua orang
bersaudara masing-masing memilih
jalan yang berbeda dalam
mewujudkan cita-citanya itu. Bahkan
cara yang dilakoninya itu masing-
masing terkesan sangat kontradiktif.
Namun demikian, keduanya
memegang satu paham yang
diyakininya dan dilaksanakannya
secara konsisten dan konsekuen.
Ada dua nilai yang paling
menonjol dalam cerita tersebut. Yang
pertama adalah nilai sebuah kesucian
dari paham Sudha Sridanta dan nilai
lascarya dari paham bherawa
Samyadnyana. Nilai kesucian itu
diperankan oleh tokoh Gagakaking
dengan segala perilakunya yang
berlandaskan kesucian rohani.
Sedangkan nilai lascarya diperankan
oleh Bubhuksah dengan tyaga
patinya dan segala macam
perilakunya dalam melaksanakan
brata bherawanya. Dari kedua
perilaku yang sangat berbeda itu
terdapat benang merah yang dapat
ditarik yakni nilai sebuah satya;
Volume 5, No. 1, April 2021
23
ISSN : (p) 2598-0203
(e) 2746-7066
kesetian terhadap pilihan keyakinan
yang dianggap benar dengan segala
konsekuensinya, serta setianya dua
bersaudara tersebut untuk sama-sama
mencapai alam kebebasan/ moksa.
Selain nilai tersebut di atas,
Tutur Bubuksah berfungsi sebagai
acuan dalam menapaki jalan
kerohanian khususnya yang akan
menjadi seorang pandita/pendeta
untuk melakukan swadharmanya
hingga menjadi seorang pandita yang
baik dan benar, dan sebagai contoh
kepasrahan diri, tidak terikat
terhadap materi yang berlebihan,
serta menjaga kesucian lahir dan
batin untuk mencapai kemurnian
rohani yang sejati.
Penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada sastrawan Hindu
atas karya sastranya yang merupakan
hasil karya yang sangat luar biasa
untuk kemajuan/menapaki jalan
kerohanian dalam kehidupan ini.
Harapan untuk generasi penerus agar
selalu membuka diri dan wawasan
untuk mengkaji dan peduli terhadap
susastra-susastra Hindu yang bersifat
membangun karakter seperti karya
sastra Lontar Bubuksah dan susastra
lainnya. Melalui hasil susastra-
susastra sebelumnya seseorang akan
tahu bahwa sejauh mana tingkat
perjalanan pengetahuan yang
dimiliki. Jadi hal semacam itu perlu
dijadikan bahan renungan untuk
memahami jati diri sehingga
nantinya mendapatkan kebahagiaan
yang sejati.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1979). Laporan Penelitian
Lontar Pelaksana Proyek
Institut Hindu Dharma
Denpasar. Kesra II/c/16/79.'
Goris, R. (1986). Sekte-Sekte di Bali
(P. Kusumo (ed.)). Bhratara
Karya Aksara.
Hooykaas, C. (1973). Balinese
Bauddha Brahmans. North-
Holand Publishing Company.
Liem, V. A. (2014). Memahami
ajaran di balik kisah
bubuksah dan gagakaking.
Https://Www.Facebook.Com.
Mantra, P. D. I. . (2018).
Bhagawadgita Naskah
Sanskerta, Alih Bahasa &
Penjelasan. ESBE Buku.
Robson, S. O. (1978). “Pengkajian
Sastra-Sastra Tradisional
Indonesia” dalam Bahasa
dan Sastra. Tahun IV No. 6.
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Soebandi, J. M. G. K. (2004). Babad
Warga Brahmana Pandita
Sakti Wawu Rawuh Asal-
usul, Peninggalan, dan
Keturunan Danghyang
Nirartha. PT Pustaka
Manikgeni.
Suamba, I. B. P. (2007). Siwa-
Buddha di Indonesia Ajaran
dan Perkembangannya.
Widya Dharma.
Suci, N. K. dkk. (1985). Pola
kehidupan Pendeta Siwa dan
Budha di bali.
Suhardi, U., & Biasa, I. M. (2015).
Manajemen & Komunikasi
Dalam Pembinaan Umat.
Pasupati, IV(1).
Sura, I. G. (2002). Kajian Lontar
Bubuksah (I). Dinas
Kebudayaan Propinsi Bali.
Titib, I. M. (2004). Purana (Sumber
ajaran Hindu
Komprehensip). Paramita.