acute kidney injury
DESCRIPTION
aki ckdTRANSCRIPT
BAB I
Acute Kidney Injury (AKI)
I.I PENDAHULUAN
Gangguan gagal ginjal akut berat ( GGA- Akut Kidney Injury- AKI ) yang memerlukan dialysis,
mempunyai mortalitas tinggi yang melebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai dengan
kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang yang nyata pada terapi penunjang, angka
mortalitas belum banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien
yang makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya.
Dengan mortalitas yang tinggi maka diperlukan pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA
telah dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi istilah ischuria renalis. Walaupun
beberapa peneliti terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat beberapa sumbangan pemikiran
untuk kondisi ini namun sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom ini berkembang
kembali pada saat perang dunia pertama dan terutama selama perang dunia ke dua.
Laporan lengkap mengenai GGA ditulis oleh Hackradt seorang ahli patologi jerman pada tahun
1917, yang menjelaskan keadaan seorang tentara yang mengalami luka trauma berat. Laporan ini
dilupakan orang sampai terjadinya perang dunia ke dua, pada saat London mendapatkan serangan jerman,
di dapatkan banyak pasien crush kidney syndrome. Yaitu pasien-pasien dengan trauma berat akibat
tertimpa bangunan kemudian meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah dengan di mulai
tindakan hemodialisis pada awal tahun 1950an yang amat mengurangi kematian karena korban akibat
trauma perang. Perkembangan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa GGA yang dapat pulih kembali
ini terjadi juga pada pasien dengan transfuse darah yang tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik
kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat nefrotoksik.
1
I.II Perubahan Istilah Gagal Ginjal Akut ( Acute Renal Failure – ARF ) Menjadi Gangguan Ginjal
Akut ( Acute Kidney Injury – AKI)
Pada Tahun 1951 Homer W Smith memperkenalkan istilah gagal ginjal akut – acute renal failure.
Istilah ini mempunyai penekanan pada kegagalan faal ginjal yang lanjut. Istilah ARF ini bertahan sampai
pada tahun 2001. Dengan mortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya mengetahui gangguan ginjal
akut yang lebih awal.
Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan fungsi ginjal yang mendadak yang
menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA dapat terjadi oleh bermacam
sebab. Perbedaan geografis juga menentukkan sebab dari GGA misalnya di Negara maju GGA terjadi
pada orang tua terutama pada usia lanjut sedangkan di Negara berkembang lebih kerap timbul pada usia
muda dan anak-anak misalnya karena malaria dank arena malaria dan gastroenteritis akut. Laporan
insiden GGA berlainan dari Negara ke Negara, dari klinik ke klinik , oleh karena criteria diagnostic yang
tidak seragam dan kausa yang berbeda-beda.
Dengan demikian diperlukan suatu cara berpikir baru yang bermanfaat bagi pengertian
mekanisme timbulnya GGA, klasifikasi yang seragam dan pentahapan dari GGA yang berdampak pada
pengobatan dan penelitian dari GGA.
Perubahan istilah GGA – AKI menyebabkan
1. Makna perubahan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat menyebabkan kondisi yang
lebih berat.
2. Istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam memberikan pengertian patofisiologi penyakit dari
pada istilah gagal (failure).
2
3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA
Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan dieresis. Kemudian ada upaya
dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam criteria RIFLE sehingga pasien
GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam.
Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu standart baku untuk
penegakkan diagnosis dan klasifikasinya dengan berdasarkan criteria RIFLE. Atas system ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh kelompok
perhimpunan nephrology dan perhimpunan kedokteran gawat darurat. Atas dasar dan klasifikasi dan
criteria RIFLE dapat dibuat penelitian bersama memakai kaidah-kaidah yang sama. Sehingga dapat
dilakukan usaha-usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk
kebersamaan dalam satu system jaringan yang luas diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian.
Criteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun belum cukup kuat untuk
paerbaikan prognosis dibandingkan dengan criteria RIFLE
3
I.III Definisi Acute Kidney Injury
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl
(≥26,4µmol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum ≥50% (1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau
pengurangan produksi urin ( oliguria yang tercatat ≤0,5ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam).
Criteria di atas memasukkan baik nilai absolute maupun nilai presntasi dari perubahan kreatinine
untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur,gender, indeks masa tubuh dan mengurangi
kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya di perlukan 2 kali pengukuran dalam
48 jam. Produksi air seni dimasukkan sebagai criteria karena mempunyai prediktif dan mudah di ukur.
Criteria di atas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang
reversible. Criteria di atas di terapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan
yang cukup.
Perjalanan GGA dapat :
1. Sembuh sempurna
2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1-4)
3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1-4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK,CKDtahap 5)
I.IV Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakkan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA
post renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut perlu di periksa :
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti di tujukkan untuk mencari sebab
gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi ( infeksi
kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih) riwayat bengkak, riwayat kencing batu.
4
2. Membedakan ganguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK) misalnya
anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.
3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar ureum,
kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang di rawat selalu di periksa asupan dan
keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan
tubuh. Pada gangguan ginjal akut yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan
garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang
berat atau edema paru. Eksresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic
dengan kompensasi pernapasan kussumall. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh
factor-faktor ppresipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GGA
a) Kadar kreatinin serum
Pada gangguan ginjal akut faal ginjal di nilai dengan memeriksa berulang kali kadar
serum kreatinin . kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi
glomerulus karena tergantung dari produksi (otot) distribusi dalam cairan tubuh, ekskresi
oleh ginjal.
b) Kadar cystatin C serum
Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indicator
gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup dapat di percaya.
c) Volume urin
Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik untuk gangguan ginajal
akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun
demikian volume urin pada GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya
hampir selalu disertai oliguruia (<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai
oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
d) Petanda biologis ( Biomarkers)
5
Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin
disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk
secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan criteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari
pertanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin. Beberapa petanda biologis mungkin
bisa dikembangkan.
Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak,
seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-b-glucosamidase, alanine aminopeptidase,
kidney injury molekul I. dalam satu penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung
terbuka gelatinase associated lipocalin (NGAL) terbukti dapat di deteksi 2 jam setelah
pembedahan, 24 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin. Dalam masa akan datang
kemungkinan di perlukan kombinasi dari pertanda biologis.
I.V Gambaran Klinis Acute Kidney Injury
GGA dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, antara lain :
1. GGA pre-renal.
Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi ginjal dapat disebabkan karena
hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGa pre-renal integritas
jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila factor penyebab
dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul
GGA renal berupa nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul akibat
bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi ginjal akan berupaya
mempertahankan tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan
normal, aliran darah gunjal dan LFG relative konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut
otoregulasi.
6
GGA pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskuler seperti
pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra renal seperti
pada pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan
darah yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktifasi system
saraf simpatis, system rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endhotelin
-1 (ET1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah
jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi mempertahankan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Dengan vasodilatasi arteriol aferen yang di pengaruhi
oleh reflex miogenik serta prostaglandin dan nitric oxide., serta vasokontriksi arteriol afferent
yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin –II (A-II) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-
rata <70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi
tersebut akan terganggu, dimana arteroid aferen mengalami vasokontriksi , terjadi kontraksi
mesangial dan peningkatan reabsorpsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA
fungsional, dimana belum terjadi kerusakan structural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab
hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi
ginjal bisa di pengaruhi beberapa obat seperti ACE/ARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien
berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin mg/dl sehingga dapat terjadi GGA pre-
renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis penggunaan diuretic,
sirosis hati dan gagal jantung. Perlu di ingat pada pasien berusia lanjut dapat timbul keadaan-
keadaan yang merupakan resiko GGA pre-renalseperti penyempitan pembuluh darah ginjal
(penyakit renovaskular) penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis internal.
2. GGA Renal
GGA Renal yang disebabkan oleh kelainan vascular seperti vaskulitis, hipertensi maligna,
glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain.
7
Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropic, gigitan ular,
trauma (crushing injury/bencana alam, peperangan), toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di
rumah sakit(35-50% di ICU) NTA terutama disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi
dapat terjadi NTA pada 20-25% hal ini disebabkan adanya penyakit-penyakit se[erti hipertensi,
penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes mellitus, ikterus dan usia lanjut, jenis
operasi yang berat seperti transplantasi hati, , transplantasi jantung. Dari zat-zat nefrotoksik perlu
dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti jamur, anti virus dan anti
neoplastik. Meluasnya pemakaian narkoba juga meningkatkan kemungkinan NTA.
Kelainan yang terjadi pad NTA melibatkan komponen vaskuler dan tubuler, misalnya :
Kelainan vaskuler
Pada NTA terjadi
i. Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriole afferent glomerulus yang
menyebabkan peningkatan sensifitas terhadap substansi-substansi vasokontriktor
dan gangguan otoregulasi.
ii. Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan endotel
vaskuler ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan Et-I serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endhotelial NO Systhase
( eNOS)
iii. Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor neksrosis factor dan interleukin
yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intercellular adhesion
molecule – 1 ( ICAM-I) dan P- selectin dari sel endotel, sehingga terjadi
peningkatan perlengketan dari sel-sel radang terutama sel neutrofil.
8
Kelainan tubuler
Pada NTA terjadi
i. Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan peningkatan calpain cystolic
phospholipase A2, serta kerusakan Actin, yang akan menyebabkan cystokeleton.
Keadaan ini kan menyebakan penurunan basolaterala Na+/K-ATPase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di tubulus proksimalis,
sehingga terjadi peningkatan pelepasan NAC1 ke macula densa. Hal tersebut
mengakibatkan umpan balik tubulogloneruler.
ii. Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO systhase (iNOS), caspase dan
mettaloproteinase serta defisiensi heat shock protein, akan menyebabkan nekrosis
dan apoptosis sel.
iii. Obstruksi tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debriss
seluler akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus, di tubulus,
dalam hal ini pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall Protein
(THP)yang disekresikan ke dalam tubukus kedalam bentuk monomer yang
kemudian berubah menjadi bentuk polimer yang akan membentuk materi berupa
gel dengan adanya Na+ yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distal.
iv. Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan
intratubuler masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan proses-proses
tersebut di ata secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Di duga juga proses iskemia dan paparan bahan/obatnefrotoksik
dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan
glomerulus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan nama
nekrosis tubular akut (NTA).
9
3. GGA post-renal
GGA post renal merupakan 10% dari keselurahan GGA. GGA post renal disebabkan oleh
obstruksi intra-renal dan ekstra renal posisi Kristal ( urat,oxalate, sulfonamide) dan protein
( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi
intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal,fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi / keganasan prostat)
dan urethra (striktura). GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli
dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi.
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
peningkatan tekanan pelvis ginjal diman hal ini disebabkan oleh prostaglandin E2. Pada fase
kedua setelah 1,5-2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal di bawah normal akibat pengaruh
tromboxane A2 (TxA2) dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam
mulai meningkat. Fase ketiga atau fase kronik di tandai oleh aliran darah ke ginjal yang makin
menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah
ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal.
Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan factor-faktor pertumbuhan yang
akan mennyebabkan febriosis interstisial ginjal.
I.VI Pengelolaan
Tujuan pengelolaan adalah mencegah kerusakan ginjal , mempertahankan homestasis, melakuka
resusitasi, mencegah komplikasi metabolic dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup
sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya sesuai dengan
mengidentifikasi pasien beresiko GGA( sebagai tindak pencegahan) mengatasi penyakit
penyebab GGA, mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangan
cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia,
10
mengevaluasi status nutyrisi, kemudian mencegah infeksi dan seklalu mengevaluasi obat-obatan
yang di pakai.
I.VII Pencegahan
GGA dapat dicegah dengan pada beberapa penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan
nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik,
pemakaian N-asetylcystein serta pemakaian furosemide pada penyakit tropic perlu diwaspadai
kemungkinan GGA dan gastroenteritis akut, malaria dan demam berdarah.
Pemberian kometerapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga
menyebabkan GGA. Pada table ini dapat dilihat dari beberapa upaya pencegahan GGA.
I.VIII Terapi khusus Acute Kidney Injury
Bila GGA sudah terjadi di perlukan pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkip
perawatan intensif sebab berapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan
usia lanjut untuk inisiasi dialysis dini. Dialisisi bermanfaat untuk mengkoreksi akibat dari
metabolic dari GGA. Dengan dialysis dapat diberikan cairan /nutrisi dan obat-obatan lain yang
diperlukan seperti antibiotika. GGA post renal memerlukan tindakan cepatbersama dengan ahli
urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan
sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat.
Prioritas tatalaksana pasien dengan GGA
i. Cari dan perbaiki factor pre dan pasca renal
ii. Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
iii. Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
iv. Perbaiki atau tingkatkan aliran urin
v. Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan dan timbang badan tiap hari
11
vi. Cari dan obati komplikasi akut ( hiperka;emia, hipernatremia, asidosis, hiperfosfatemia,
edema paru)
vii. Asupan nutrisi yang adekuat sejak dini
viii. Cari focus infeksi dan atasi infeksi secara agresif
ix. Penyerawatan menyeluruh yang baik (kateter,kulit, psikologis)
x. Segera memulai terapi dialysis sebelum timbul komplikasi
xi. Berikan obat-obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal.
Pengobatan suportif pada gangguan ginjal akut
Kelebihan volume intravascular
Batas garam ( 1-2 g/hari) dan air ( <1 L/hari), furosemide, ultrafiltrasi, atau dialysis.
Hipobatremia
Batas asupan air (<1L/h): hindari infuse larutan hipotonik.
Hiperkalemia
Batasi asupan diet K (<40 mmol/hari): hindari diuretic hemat K, potassium binding ion
exchange resins, glukosa (50 ml dextrose 50%) dan insulin (10 unit), natrium bikarbonat
(50-100 mmol), agonis β (salbutamol, 10 -20 mdg di inhalasi atau 0,5 1 mg IV) kalsium
glukonat ( 10 ml larutan 10% dalam 2-5 menit).
Asidosis metabolic
Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmol/L, PH >7,2)
Hiperfosfatemia
Batasi asupan diet fosfat ( 800mg/hari) obat pengikat fosfat (kalsium asetat; kalsium
karbonat)
Hipokalemia
Kalsium karbonat ; kalsium glukonat ( 10-20 ml larutan 10%)
Nutrisi
12
Batasi asupan protein diet ( 0,8-1 g/kg BB/hari) jika tidak dalam kondisi katabolic,
karbohidrat (100 g/hari) nutrisi enternal atau parenteral jika perjalanan klinik lama
katabolic
Indikasi dilakukannya dialysis
Oliguria
Oliguria didefinisikan sebagai keluaran urin kurang dari 1 mL/kg/jam pada bayi, kurang
dari 0,5 mL/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400 mL/hari pada dewasa.
Anuria
Anuria adalah ketidakmampuan untuk buang air kecil baik karena tidak dapat
menghasilkan urin atau memiliki sumbatan di sepanjang saluran kemih.
Hiperkalemia (K> 6,5 mEq/l)
Asidosis berat ( pH ,7,1)
Azotemia (ureu>200mg/dl)
Edema paru
Ensefalopati uremikum
Perikarditis uremik
Neuropati /miopati uremik
Disnatremia berat (na . 160 mEq/l atau <115 mEq/l)
Hipernatremia
Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan).
13
Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh
tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat obatan tersebut antara lain diuretik,
manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan
prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal
tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai
upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun,
penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI
(menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap),
bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-
15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada
pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan
diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi.
Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan
isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal.
Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12
jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat
digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20
14
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkantranslokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak
berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih
lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas.
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan
untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti
bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan
agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan
produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien. Dopamin dosis rendah (0,5-3
g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor
dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-
ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis
tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian
dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma
dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status
volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis),
sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal”
seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan
terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna,
gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan
15
pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit
dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25
Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji
klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti
efektif pada tata laksana AKI
I.IX Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya,
dari kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien yang sepsis.
Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA kebutuhan nutrisi disesuaikan
dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasan- pembatasan.
Pada GGA menyebabkan abnormalitas metabolism yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan
air, asam basa, elektrolit, tetap juga asam amino / protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA
yang amat tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks. Oleh karena itu
nutrisi pada GGA di sesuaikan dengan proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi
normal kembali.
I.X Fase Perbaikan
Pada tahap ini terjadi poliuri yang sangat banyak sehingga perlu dijaga keseimbangan cairan. Asupan
Penggantian diusulkan sekitar 65-75% dari jumlah cairan yang keluar. Pada tahap ini pengamatan faal
ginjal harus tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh sempurna (bisa sampai 3 minggu
atau lebih).
16
BAB II
Chronic Kidney Disease
II.I Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang di tandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapai penggantian ginjal yang tetap, berupa dialysis atau
transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,
akibat penurunan fungsi ginjal kronik.
II.II Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan pada ginjal yang terus berlangsung dan tidak dapat diperbaiki, ini
disebabkan oleh sejumlah kondisi dan akan menimbulkan gangguan multisystem. (Reeves chalene,2001)
Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir(ERSD) adalah penyimpangan,progresis,fungsi ginjal
yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik,
cairan dan elektrolit mengalami kegagalan yang mengakibatkan uremia. (Baughman Diane C,2002)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme,
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Smelzer,2001)
Dari berbagai pengertian di atas dapat simpulkan bahwa gagal ginjal kronis adalah kerusakan pada ginjal
yang terus berlangsung dan tidak dapat diperbaiki, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea
dan sampah nitrogen lain dalam darah).
17
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat fungsi ginjal
pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang
satu dengan pasien yang lain, tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal
yang masih berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal.
Criteria penyakit ginjal kronik :
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. Dengan manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal,n termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging test).
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan laju filtrasi glomerulus sama atau
lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.
18
II.III Anatomi Ginjal
Ket :gambar anatomi ginjal tampak dari depan Ket : gambar anatomi ginjal tampak dari
samping
Bentuk ginjal menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap kemedial. Pada sisi ini
terdapat hilus ginjal yaitu tempat sruktur - struktur pembulu darah, sistem limfatik, sistem syaraf dan
ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Ginjal terletak di rongga abdomen ,retroperitoneal primer kiri
dan kanan kolumna vertebralis yang dikelilingi oleh lemak dan jaringan ikat di belakang peritoneum.
Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke- 11 dan ginjal kanan setingi iga ke- 12 dan batas bawah ginjal kiri
setinggi vertebra lumbalis ke-3. Setiap ginjal memiliki panjang 11- 25cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2,5
cm.ginjal kiri lebih panjang dari ginjal kanan. Berat ginjal pada pria dewasa150-170 gram dan pada
wanita dewasa 115-155 gram dengan bentuk seperti kacang, sisi dalamnyamenghadap ke vertebra
thorakalis, sisi luarnya cembung dan di atas
setiap ginjal terdapat kelenjar suprarenal. (Setiadi,2007) Struktur ginjal, setiap ginjal dilengkapi
kapsul tipis dari jaringan fibrus yang dapat membungkusnya ,dan membentuk pembungkus yang halus.
Didalamnya terdapat struktur ginjal, warnanya ungu tua dan terdiri atas bagian korteks di sebelah luar,dan
bagian medulla di sebelah dalam. Bagian medulla ini tersusun atas lima belas sampai enam belas massa
19
berbentuk piramid,yang disebut piramid ginjal. Puncak puncaknya langsung mengarah ke helium dan
berakhir di kalies. kalies ini menghubungkan ke pelvis ginjal.
Gbr 4 : Anatomi nefron (Jan Tambayong, 2001, Anatomi dan fisiologi untuk
Keperawatan, Jakarta : EGC )
Nefron,Struktur halus ginjal terdiri aatas banyak nefron yang merupakan satuan – satuan
fungsional ginjal,diperkirakan ada 1000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai berkas
sebagai kapiler (badan maphigi atau glumelurus) yang serta tertanam dalam ujung atas yang lebar pada
urineferus atau nefron. Dari sisni tubulus berjalan sebagian berkelok – kelok dan dikenal sebagai kelokan
pertama atau tubula proximal tubula itu berkelok – kelok lagi, disebut kelokan kedua atau tubula distal,
yang bersambung dengan tubula penampung yang berjalan melintasi kortek atau medulla, untuk berakhir
dipuncak salah satu piramidis.
20
Pembuluh darah, Selain tubulus urineferus,struktur ginjal mempunyai pembulu darah. Arteri
renalis membawa darah murni dari aorta abdominalis keginjal cabang-cabangnya beranting
banyak,didalam ginjal dan menjadi arteriola (artriola afferents), dan masing- masing membentuk simpul
dari kapiler- kapiler didalam, salah satu badan Malpighi, inilah glumelurus. Pembuluh eferen kemudian
tampil sebagai arterial aferen(arteriola afferents) yang bercabang- cabang membentuk jaringan kapiler
sekeliling tubulus uriniferus. Kapiler - kapiler ini kemudian bergabung lagi membentuk vena renalis,yang
membawa darah dari ginjal kevena kava inferior. (Evelin,2000)
II.IV Fisiologi Ginjal
a) Berbagai fungsi ginjal anatara lain adalah
1) Mengekresikan sebagian terbesar produk akhir metabolism tubuh( sisa metabolisme dan obat
obatan).
2) Mengontrol sekresi hormon- hormon aldosteron dan ADH dalam mengatur jumlah cairan
tubuh.
3) Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D.
4) Menghasilkan beberapa hormon antara lain.
Eritropoetin yangberfungsi sebagai pembentukan sel darah merah.
Renin yang berperan dalam mengatur tekanan darah serta hormon prostaglandin.
(Setiadi,2007)
b) Proses pembentukan urine
Ada 3 tahap proses pembentukan urine :
1) Proses filtrasi : Terjadi di glumelurus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar
dari permukan aferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan bagian yang tersaring
adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tertampung oleh simpai bowmen yang
terdiri dari glukosa air sodium klorida sulfat bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal.
21
2) Proses reabsobsi : Pada proses ini penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium,
klorida,fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan
obligator reabsopsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi
kembali penyerapan dari sodium dan ion bikarbonat , bila diperlukan akan diserap kembali ke
dalam tubulus bagian bawah, penyerapanya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorpsi
fakultatif dan sisanya dialirkan pada papil renalis.
3) Proses sekresi : Sisanya penyerapan kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke luar. (Syefudin,2001)
II.V Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat ( stage) penyakit dan
atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar laju filtrasi glomerulus yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2) =
Pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak pada table di bawah ini.
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan Ginjal disertai LFG normal atau
meninggi
90
2 Penurunan ringan LFG 60-89
22
(140-umur) x berat badan
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal <15
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi
Penyakit Tipe Mayor
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular ( penyakit auto imun, infeksi sitemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vascular ( penyakit pembuluh darah besar, hipertensi dan
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial ( pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik ( ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat ( siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent ( glomerular)
Transplant glomerulopathy
23
II.VI Epidemiologi
Di amerika serikat data pada tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan
100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia,
dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-
negara berkembang lainnya. Insidens ini di perkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk
pertahunnya.
II.VII Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi
dalam perkembangannya selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal
mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsinal nefron yang masih tersisa ( surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang di ikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung secara singkat, akhirnya di ikuti oleh proses maladaptasi
berupa skerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya di ikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif, meskipun penyakit dasarnya sudah tidak ada lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksi
rennin angiotensin aldosteron inbtrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis rennin angiotensin aldosteron sebagian
di perantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF β). Beberapa hal juga yang
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas terhadap penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal ( renal reserve),
pada keadaan mana basal laju filtrasi glomerulus masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
24
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang di tandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatininserum. Samapai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan ( asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 %, mulai terkjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
berkuarang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30 %, pasien meperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyataseperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan
kalsium, pruritus, mual,muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksiseperti infeksi
saluran kemih infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo dan hipervoloemia, gangguan keseimabangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien
sudah memerlukan terapi penggantian ginjal antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
II.VIII Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan negara lain. Table 1
menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat .
Sedangkan perhimpunan Nefrologi Indonesia ( Penefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagl ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti table 2
Dikelompokkan pada sabab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit
ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
Glumerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati refluk, ginjal polikistik, nefropati diabetik, penyebab lain
seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan tidak diketahui. (Mansjoer Arif,1999)
25
Pielonefritis obtruksi traktus urinarius lingkungan dan agen berbahaya yang mempengarui gagal ginjal
kronis mencangkup timah, kadnium, merkuri, dan kronium. (Smelzer,2001)
Penyebab Insidens
Diabetes Millitus
- Tipe 1 ( 7%)
- Tipe 2 (37%)
44%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstisial 4%
Kista dan penyakit lainnya 3%
Penyakit istemik (lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Table 2
Penyebab Insidens
glomerulonefritis 46,39%
Diabetes millitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab Lain 13,65%
26
Table 1
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan
tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari
pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua
organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun.
Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke
dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila
pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi
27
menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik
berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney
disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal. lebih tepat dipakai
daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
II.IX Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: A). sesuai dengan penyakit yang mendasari
seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinaris, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus
eritomatosus sistemik (LES), ddan lain sebagainya. B). sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, latergi,
anoreksia, mual muntah nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload), neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang, sampai koma. C). gejala komplikasinya antara lain, hipertensi,
anemia, osteodistrpfi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
- . Kelainan hemopoeisis
28
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal
ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
- Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama
pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan
dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda
atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
- Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik.
Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang
adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil
asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tersier.
- Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan
hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost
- Kelainan selaput serosa
29
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
- Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
- Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor
seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
II.X Gangguan Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: A). sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
B). penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan creatinin serum, dan penurunan LFG
yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. C). kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan
kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipoklasemia, asidosis metabolic. D). kelainan urinalis meliputi,
proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
30
II.XI Gangguan Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi.
a) Foto polos abdomen
Bisanya terdapat gambaran batu radio0opak.
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad atau retrogard dilakukan sesuai dengan indikasi.
d) Ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista ,massa, kalsifikasi.
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bial ada indikasi.
II.XII Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih
mendekati normal, diamana diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi
hasil terapi yang telah di berikan. Biopsy ginjal indikasi-kontra dialkuakan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil ( contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.
31
II.XIII Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
Terapi spesifik terhadap penyakit yang mendasarinya.
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( commorbid condition)
Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardivaskular.
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasinya.
Terapi penggantian ginjal berupa dialysis atau transpaltasi ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat
dilihat pada table di bawah ini.
Derajat LFG ( ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat perburukan ( progression) fungsi ginjal.
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan terapi untuk penggantian ginjal
5 <15 Terapi penggantian ginjal
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan
keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
32
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia,
tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per
hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyebab dasar
penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah
dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat)
harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam
seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum
pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah,
dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
33
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting Angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50%
kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan
tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan
elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15
ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialysis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi.
Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
34
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar
negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan comortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal.
c. Transplantasi ginjal
II.XIV. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium V. Angka
prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu
masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih
lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung
(45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).
35
II.XV. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini
penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah
penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil
risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.
36
BAB III
KESIMPULAN
Istilah gangguan ginjal akut / acute kidney injury sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal
akut/ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai proses
GGA dengan dibuatnya criteria RIFLE/AKIN.
Criteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami GGA, pentahapan dari
GGA, standarisasi dalam definisi sehingga ada keragamaan dalam mendeskripsikan GGA.
Keseragaman ini akan mendorong upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang seragam. Hasil
akhir yang diharapkan adalah tatalaksana atau penanganan GGA yang lebih baik.
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan pada ginjal yang terus berlangsung dan tidak dapat diperbaiki,
ini disebabkan oleh sejumlah kondisi dan akan menimbulkan gangguan multisystem. (Reeves
chalene,2001)
Criteria penyakit ginjal kronik :
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. Dengan manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal,n termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging test).
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan laju filtrasi glomerulus sama atau
lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.
37
Daftar Pustaka
1. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta:
EGC, 2000.1435-1443.
2. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI, 2002.
3. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.
4. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK,Siti S,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. hlm 570-3.
5. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam
Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
6. Adamson JW (ed). Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in Harrison’s
Principles of Internal Medicine 16 th edition vol 1. McGraw-Hill Companies : 2005;586-92.
7. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine. medscape.com/article/238798-
overview, 05 Februari 2011.
8. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05 Februari 2011.
9. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of Clinical
Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
10. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta: CMP Medica
Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.
38
39