laporan kasus spinal kodr injury

48
BAB II LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S Umur : 60 Tahun Alamat : Desa Bajo Indah Pekerjaan :- No. RM : 4482 39 Tgl. MRS : 25 Juni 2015 Tgl. Pemeriksaan : 30 Juni 2015 II. ANAMNESIS : Autoanamnesa Keluhan Utama : Kelumpuhan pada kedua tungkai Keluhan Tambahan : Tidak dapat merasakan ingin BAB dan BAK RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien Rujukan rumah sakit santana dengan keluhan mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit bulan yang lalu. Keluhan dialami pasien setelah pasien mengalami kecelakaan. Tiba-tiba kayu besar dari bangunan rumah jatuh dan menghantam punggung pasien sehingga pasien jatuh duduk 1

Upload: hasbul-broonity-eagle

Post on 04-Feb-2016

709 views

Category:

Documents


130 download

DESCRIPTION

vana

TRANSCRIPT

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 60 Tahun

Alamat : Desa Bajo Indah

Pekerjaan : -

No. RM : 4482 39

Tgl. MRS : 25 Juni 2015

Tgl. Pemeriksaan : 30 Juni 2015

II. ANAMNESIS : Autoanamnesa

Keluhan Utama : Kelumpuhan pada kedua tungkai

Keluhan Tambahan : Tidak dapat merasakan ingin BAB dan BAK

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien Rujukan rumah sakit santana dengan keluhan mengalami

kelumpuhan pada kedua tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

bulan yang lalu. Keluhan dialami pasien setelah pasien mengalami

kecelakaan. Tiba-tiba kayu besar dari bangunan rumah jatuh dan

menghantam punggung pasien sehingga pasien jatuh duduk dengan posisi

kepala bertemu dengan lutut pasien. Kejadian ini membuat pasien tidak

sadar selama 1 jam dan dibawa ke puskesmas setempat. Stelah itu pasien

dibawah ke Rumah Sakit Santa Anna Pasien mengatakan dapat mengingat

peristiwa sebelum dan sesudahnya.Pasienmerasa nyeri kepala, muntah

disangkal. Pasien tidak tersadar saat dilakukan evakuasi. Saat tersadar

pasien tidak dapat menggerakkan kakinya dan tidak dapat merasakan kedua

1

kakinya mulai dari selangkangan ke bawah dan tidak dapat merasakan ingin

BAB maupun BAK sejak dari kejadian. Setelah kejadian pasien dapat

bernapas dengan baik dan tidak mengalami sesak napas

Pasien sempat dirawat di Rumah sakit Santana Anna sekitar 3 hari

dan belum menjalani operasi pada tungkai bawah karena mengalami patah

tulang dan operasi pada tulang punggungnya. Pasien dapat merasakan

sedikit rasa raba pada tungkai bawah kanan tetapi pada bagian paha sudah

tidak dapat dirasakan rasa raba dan keluhan tidak dapat merasakan ingin

BAB dan BAK masih dialami.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Riwayat trauma pada 4 hari yang lalu. Riwayat Hipertensi maupun

diabetes mellitus disangkal. Riwayat kelemahan pada anggota gerak

sebelumnya disangkal.

RIWAYAT KELUARGA

Riwayat hipertensi, alergi maupun diabetes mellitus disangkal.

III.PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang

Kesadaran / GCS : Compos mentis / 15

Tanda – tanda vital

Tekanan darah : 120/90 mmHg

Nadi : 102 x / menit

Pernapasan : 21 x / menit

Suhu : 36,8 0C

Kepala : Normochepal

Mata : Struktur okular eksterna simestris,

tidak ada lesi.

Conjungtiva anemis -/-; Sklera ikterik

-/-, orthoforia

Pupil bulat, isokor, 3mm / 3mm

Visus baik ( lebih dari 1/60 )

Hidung : Struktur hidung externa di tengah

Cavitas nasal dalam batas normal,

tidak terdapat perdarahan pada

hidung

Mulut : Mukosa oral tampak basah

Uvula di tengah, lidah tidak terdapat

deviasi

Telinga : Struktur telinga eksterna simetris,

tidak ada jejas,sekret -/-

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah

bening

Tidak ada pembesaran tiroid

Thoraks

(Paru)

:

:

Inspeksi : Pergerakan dada

simetris, tidak ada lesi

Palpasi : Taktil fremitus normal

Perkusi : Sonor diseluruh

lapang paru

Auskultasi : Suara nafas

vesikular, Ronki -/-, Wheezing -/-

3

(Jantung) : Auskultasi : Bunyi jantung I dan

II normal, regular, tidak ada gallop

dan murmur

Abdomen : Inspeksi : abdomen datar, luka

pada perut bagian bawah

Auskultasi : bising usus normal

Perkusi : timpani di seluruh

regio abdomen

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, hati

dan limpa tidak teraba

Ekstremitas

superior

: Tidak di temukan kelainan

Ekstremitas

inferior

: Terdapat kelemahan pada kedua

tungkai

STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : GCS = E4 V5 M6 (15)

Tanda

Rangsang

Meningeal

: Kaku kuduk -

Brudzinski I -

Brudzinski II -

Laseque -

Kernig -

Pemeriksaan

Motorik

Massa otot

D S

Eutrophy Eutrophy

Atrophy Atrophy

Tonus

D S

Normotonus Normotonus

Hipertoni Hipertoni

Kekuatan

D S

5

5 5 5 5 5 5 5 5

0 0 0 0 0 0 0 0

Refleks fisiologis

D S

BPR

TPR

+2

+2

+2

+2

PTR

ACR

-1

-1

-1

-1

Refleks patologis

Pemeriksaan D

Hofman -

Trommer

Babinsky

Chaddok

Oppenheim

-

-

-

-

Klonus

D S

Patella - -

Achiles - -

Massa otot

D S

Eutrophy Eutrophy

Atrophy Atrophy

Tonus

D S

Normotonus Normotonus

Hipertoni Hipertoni

Pemeriksaan

Sensork

: Rangsang raba

Rangsang nyeri

Rangsang suhu

Propioseptif

Diskriminasi 2

titik

:

:

:

:

:

Anestesi tungkai kanan mulai

dari femur, hipestesi tungkai

kiri mulai dari inguinal

Analgesi / hipalgesi

- / -

- / -

- / -

Pemeriksaan

Sistem Saraf

Otonom

: BAK

BAB

Berkeringat

:

:

:

Inkontinensia uri

Inkontinensia alvi

Normal

DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja

Klinis : Spinal cord injury

7

Topis : Medula Spinalis LII-LIII lesi setinggi vertebra Th

XII

Etiologi : Trauma

PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi perjalanan terapi

25 Juni 2015 Hasil Nilai Rujukan

MCH 30,7 pg 27-35 pg

MCHC 35,4 g/dL 30-40 g/dL

MCV 85,9 fl 80-100 fl

Leukosit 10.69/mm3 4.000 – 10.000/mm3

Eritrosit 3,07 x 106/mm3 4.25 – 5.40/mm3

Hemoglobin 9,2 g/dL 12.0 – 16.0

Hematokrit 26,3 % 37.0 – 47.0

Trombosit 153 x 103/mm3 150.000 – 450.000/mm3

Foto Rontgen torako-lumbal AP-Lateral

MRI tulang belakang (torako-lumbal) untuk melihat letak lesi secara

akurat.

TATALAKSANA

Umum

Penatalaksanaan TTV

Keseimbangan cairan, elektrolit, gizi

Mobilisasi, miring kanan dan kiri, fleksi ekstensi kedua tungkai bawah

Konsultasi ahli bedah syaraf

Konsultasi ahli bedah ortopedi

Khusus

Non-farmakologis:

Rehabilitasi. Meningkatkan kemandirian dan rehabilitasi sosial

Edukasi

o Agar terus dilakukan mobilisasi agar tidak terjadi kekakuan sendi

Farmakologis:

Obat-obatan Neurotropik

Obat-obatan analgetik

o As.Mefenamat 3 x 500 mg selama 3 hari, setelah makan

9

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera

yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi

utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1

B. Epidemiologi

Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap

tahun.1 Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%),

terjatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya

akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.1,3

C. Anatomi

Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang

menjadi jalur informasi otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan

struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang

diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan

oleh cedera medulla spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula

mengenai anatomi tulang belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla

spinalis karena cedera pada medulla spinalis umumnya terasosiasi dengan

struktur- struktur yang ada disekitarnya.

1. Anatomi kolumna vertebralis

Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong tubuh

utama. Vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga

toraks, ekstremitas atas, pelvis, dan penyaluran berat tubuh ke ekstremitas

bawah, selain itu, struktur ini memberikan perlindungan yang bermakna

bagi truktrur-struktur yang ada di dalamnya, antara lain medulla spinalis,

nervus spinalis, meninges. Kolumna vertebtralis terdiri dari 33 vertebra

(gambar I), antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral (bergabung

menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan bantalan fibrocartilago diantara

11

setiap segmen yang disebut diskus intervertebralis. Walaupun terdapat

perbedaan secara regional pada segmen-segmen tersebut, namun secara

umum terdapat pola anatomi yang mirip (gambar 2). Vertebra umumnya

terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus vertebra di posterior, dan

diantaranya terdapat tulang yang disebut dengan foramen vertebralis yang

berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges. Arkus vertebralis

membentuk 7 prosesus, antara lain satu prosesus spinosum, 2 prosesus

tranversus, dan prosesus artikularis. Prosesus spinosum merupakan

sambungan dari kedua laminae, sedangkan prosesus transversus terletak

diantara laminae dan pedikel. Kedua prosesus tersebut berfungsi sebagai

tuas pengungkit dan menjadi tempat perlekatan otot dan ligamen. Prosesus

artikularis terbagi menjadi dua prosesus superior dan dua prosesus inferior,

kedua prosesus tersebut membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari

inferior notch dan superior nocth yang membentuk foramen intervertebralis

( dari dua vertebra). Sendi dari kolumna vertebra terbagi menjadi 2, antara

lain sendi dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous joint dari diskus

intervertebralis dan sendi antara dua arkus vertebra yaitu sendi sinovial

antara prosesus artikularis. Terdapat 6 ligamen disekitar kolumna

vertebralis (gambar 30, antara lain ligamen anterior logitudinal dan postrior

logitudinal ( ligamen disekitar korpus) dan ligamen supraspinotus,

interspinatus, intertraversum, dan flavum ( ligamen diantara arkus

vertebralis). Pada daerah servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus

bergabung membentuk ligamentum nuchae.

2. Anatomi Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai

dari foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga

seluruh panjang kanal vertebralis ( dibentuk dari seluruh foramen

vertebralis), bersinambungan dengan medulla oblongata di otak, dan bagian

terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbal

pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbal ketiga pada

anak- anak. Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain

duramater, araknoid mater dan pia mater. Selain itu, likuor cerebrospinalis

(LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan

perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.

Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen

servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sakral, dan 1

segmen koksigeal (gambar 4). Nervus spinalis keluar dari segmen medulla

spinalis tersebut ( berjumlah 31 pasang nervus spinalis) dan terdiri dari

motor atau anterior roots/ radiks dan sensory atau posterior root. Penamaan

nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut

melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis CI sampai C7 muncul diatas

kolumna vertebra C1-C7 sedangkan C8 diantara kolumna vertebralis C7-

T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah kolumna vertebralis yang

bersangkutan.

Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, V1-C2

menginervasi otot-otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang

mempersarafi diafragma, C5-T1 mempersarafi otot-otot ekstremitas atas,

segemen torakal mempersarafi otot-otot torakoabdominal, dan L2-S2

mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Bebrapa dermatom penting yang

memberikan gambarang untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis, antara

lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala- leher, T4-5 untuk daerah areola

mammae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas : C5 (bahu anterior)

C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian

medial antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian

ekstremitas bawah: L1 ( bagian anterior dan medial dari femoralis), L2

( bagian anterior dari femoralis), L3 ( lutut), L4 medial malleolus), L5

(dorsum pedis dan jari 1-3, S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus, S3/ Coi

(anus).

13

Gambar 1. Anatomi medula spinalis.4

8 pasang saraf servikal

12 pasang saraf torakal

5 Pasang saraf lumbal

5 Pasang saraf sakral

1 Pasang saraf koksigeal

Gambar 2. Struktur internal medula spinalis.5

Patofisiologi

A. B Gambar 3. Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalis

intak (sebelum trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.5

15

Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk

dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat

dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.1

Pada skema (Gambar 3.), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam

tipe cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara

progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar.

Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali

meenyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang

bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. Akson asending dan

desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson

membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk

oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag.

Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.5

Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra

yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau

distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada

medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari

vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang

belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain

atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit

medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis

degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum

flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit

diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari

ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma

medula sentral.2

Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera

primer dan sekunder.1 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis,

pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi akibat

fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan ruptur

diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya

pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera

hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan

pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau

adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan

atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis

dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang

rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada

orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi

pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau

transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau

distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai

transeksi lengkap.1

Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan

sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia

grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi

perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medula

spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini

menyebabkan substansia grisea rusak.1

Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan

metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan

ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di

sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin

terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami

kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami

kerusakan selama 72 jam setelah cedera.1

Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis

akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya

kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid

vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian

sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan

peningkatan tekanan jaringan.2 Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka

suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan

kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder.1,2 Cedera sekunder

meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia,

eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit,

trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 1

17

D. Klasifikasi

Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)

berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis

yang timbul (Gambar 4.):6

1. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen sakral

S4-S5

2. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi termasuk

segmen sakral S4-S5.

3. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki

kekuatan otot kurang dari 3.

4. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki

kekuatan otot 3 atau lebih.

5. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal.

Gambar . Kategori pasien cedera medula spinalis berdasarkan tingkat dan derajat defisit neurologis menurut sistem ASIA.6

E. Gejala Klinis

Tanda dan Gejala

Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan

kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,

hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus,

kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam.

Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion

pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa

fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis

dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi

kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah

trauma.2

Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat

menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya

cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat

digambarkan dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga

sebaliknya, antara lain:2,6,7

1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi

transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi.

Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi

diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa

terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi

otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.

2. Lesi Inkomplit

a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh

bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal)

dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi raba

(propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi

paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan

termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi

diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal.

b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara

ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan

(paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif

ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral

di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.

19

c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada

sentral medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai

cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada

ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai

parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik

ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf

sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medula

servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari

medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma

hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.

d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat

menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke

serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai

disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).

e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang

atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks

dorsalis kompresi lumbosakral dibawah konus medularis. Pada

umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan paralisis.

Gambar 5. Pola Cedera medula spinalis.6

F. Diagnosis

Tanda penting untuk diagnosis antara lain:2

1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma

2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas

3. Kelemahan atau paralisis

4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing

5. Gambaran radiologis

Pemeriksaan Fisik

Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma.

Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa

(sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera

medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar

servikal (collar brace) dan papan (backboards).2

A. B.Gambar 6. A. Collar servikal, B. backboards.

Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan

penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya

ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi

hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada

jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut syok neurogenik.

Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai

sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.2

Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang

tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen).

Resusitasi terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika

pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme

terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul.

21

Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat,

terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau

hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien

dengan menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas.

Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan

tangannya sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus

dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat

membantu pemeriksa mengetahui letak lesi.

Gambar 7. Tingkat sensorik dan motorik dari medula spinalis.2

Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen

bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek

kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang

diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medula T12-L1. Adanya

reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi

pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum bladder

dengan balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar)

menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi.

Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera radiks

dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus

dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau

hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera

inkomplit.2

Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik

fireman’s carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada

masing-masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus

mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg)

menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya pada oksiput.2

Gambar 8. Metode log-roll untuk memindahkan korban dengan cedera medula spinalis.8

Pemeriksaan penunjang

Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada

trauma vertebra.2 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk

23

penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.6 Foto lateral paling dapat

memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap

alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan

dengan vertebra torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level.

Jaringan lunak paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya

merupakan indikasi perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligamen yang

rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat

menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan

luasnya pedikel yang rusak.2 Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah

dan torak atas seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto

polos komplit pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang

menunjukkan adanya proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang

diduga mengalami trauma servikal.2,6 Gambaran oblik dari servikal atau

lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi. Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat menggambarkan anatomi tulang dan fraktur

terutama C7-T1 yang tidak tampak pada foto polos,2,6 MRI memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra, diskus, dan

medula spinalis serta merupakan prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis.2,6 Kanalis yang

mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi

EDH atau kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau daerah yang mengalami iskemi.6

Gambar 9. MRI menunjukkan peningkatan sinyal T2 medula spinalis

servikal pada tingkat C4-C6 level, indikasi terjadinya cedera pada daerah tersebut.2

G. Diagnosis Banding

Pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik secara lengkap dapat

digunakan untuk mengklasifikasikan cedera medula spinalis dan membedakan

dengan kondisi patologis lainnya. Seringkali perubahan status mental akibat

cedera otak atau intoksikasi mempersulit pemeriksaan maupun dalam

menegakkan diagnostik. Faktor komplikasi diagnosis banding lainnya

termasuk cedera saraf sekunder pada fraktur ekstremitas. Pemeriksaan

neurologis lengkap dan kemampuan memahami anatomi dari sistem saraf

perifer penting untuk membuat diagnosis yang tepat. Selain itu juga, perlu

dipikirkan adanya gangguan psikiatri atau gangguan sekunder lainnya.

Diagnosis ini dapat di tegakkan dengan dilakukannya pemeriksaan neurologik

yang lengkap. Kira-kira 60% pasien dengan cedera medula spinalis mengalami

cedera pada sistem organ lainnya dan disertai fraktur spinal.2

H. Tatalaksana

Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga

terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.

Transeksi anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada

cedera medula spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk

melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat

cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut

(cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga

dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi

optimal supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem

saraf. Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif

untuk memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf

tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya

secara ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.2

Steroid Dosis Spinal

25

Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan

NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis

dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera

medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan

secara intravena dalam delapan jam, dan terutama dalam tiga jam setelah

cedera, dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kg berat badan tiap

jam 45 menit setelah pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan bolus

metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien

tersebut menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika

pemberian metilprednisolon dalam tiga jam setelah cedera, maka pemberian

infus prednisolon diberikan selama 24 jam.2,6 Penelitian menunjukkan akan

terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun

pada pasien yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan

kortikosteroid belum jelas kesepakatannya, hal ini karena timbulnya efek

samping berupa pneumonia. Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk

pasien dengan luka tembak atau cedera radiks dorsalis (kauda ekuina), atau

hamil, kurang dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid jangka panjang,

serta hipotermi (salah satu gejala yang timbul pada cedera medula spinalis).6

Alat Ortotik

Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal

dengan cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban

pada spinal. Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak

adekuat untuk C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses

brace diatas torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak.

Minerva braces meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak

hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling

banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan

pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga

dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose.6

A. B. C.Gambar 10. Alat ortose rigid, A. Cervicothoracic orthoses brace, B. Minerva

brace, C. Halo ring.9

Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat

dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat

digunakan sementara. Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan

dengan mempertahankan pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk

penatalaksanaan dalam merawat kulit dan pulmonary.2

A. B.Gambar 11. Fiksasi, A. Gardner wells tongs, B. Cervical Halter skin traction.10

Operasi

Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama

adalah untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien

dengan defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang

terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi

terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit

neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang

mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi

27

stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.6 Indikasi

lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai

dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya

epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak

stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws

dikombinasi dengan bone fusion.2

Perawatan Berkelanjutan

Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari

thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus

dekubitus.6 Banyak pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi

membutuhkan bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk

bernafas. Pasien dengan cedera medula spinalis biasanya bernafas dengan

menggunakan diafragma. Jika terjadi ileus paralitik disertai distensi abdomen

atau pasien tampak lemah maka ventilasi akan memburuk. Pasien akan

mengalami hipoksik, sehingga perlu diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.2

Pasien dengan cedera medula servikal tinggi (diatas C4) seringkali

membutuhkan bantuan ventilasi permanen.6

Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah menjadi

rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 85-90

mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya cedera

medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera. Jika

produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan

hipotensi sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin,

akan tetapi hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada

perdarahan pada rongga dada atau abdomen.2

I. Komplikasi

Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara

potensial dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai

infeksi saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder

intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang

menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan

cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit

motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena

dalam. Pasien sebaiknya mendapatkan low-molecular-weight heparin,

pneumatic compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis.

J. Prognosis

Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang

mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas

cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan

kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak

mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai

berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah

mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik

sindroma medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squard’s

sindrome. Penyebab utama kematian sindroma medula spinalis meliputi

penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan

emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian dan latihan bekerja.2

29

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai

setelah mengalami kecelakaan sejak 4 Hari lalu dan tidak ada perbaikan hingga

sekarang disertai tidak dapat merasakan keinginan untuk BAB maupun BAK.

Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada syaraf

kranial namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua tungkai

adalah 0 0 0 0 disertai penurunan sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai

mulai dari selangkangan hingga ujung jari kaki. Tidak ditemukan refleks fisiologis

maupun patologis pada kedua tungkai.

Dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan maka pada pasien ini

mengarah kepada diagnosis paraplegi akibat cedera medula spinalis komplet.

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas

neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The

National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000

kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka

insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000

penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan

bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.dan trauma pada

medulla spinalis

Pada penderita ini, penyebab disabilitas neurologis diakibatkan adanya trauma

langsung. Awalnya pasien merubuhkan rumah dan terjatuh kayu besar pada

punggung hingga pasien terduduk.

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet

berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini

penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang

paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika

Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula

spinalis traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet

(27,3%), (3) paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet

berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.

Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American

Spinal Cord Injury Association(2)yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior

Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan

(5) Conus Medullaris syndrome. Lee(6)menambahkan lagi sebuah sindrom

inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior Cord Syndrome

Pada pemeriksaan fisik dari pasien, ditemukan adanya traumatik medulla

spinalis dengan adanya gangguan sensorik dan mororik pada kedua kaki. Anestesi

tungkai kanan mulai dari femur, Anastesi tungkai kiri mulai dari inguinal. Disertai

inkontinensia alvi dan dan urin.

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf

spinalis. Ada 8 saraf servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral.

Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke

otak.

Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan

tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena kesakitan terbatas dermatom adalah

31

gejala bukan penyebab dari dari masalah yang mendasari, operasi tidak boleh

sekalipun ditentukan oleh rasa sakit. Sakit di daerah dermatom mengindikasikan

kekurangan oksigen ke saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu tempat

di sepanjang jalur saraf.

Dalam pemeriksaan dermatom yang temukan pada pasien, pada tungkai

kanan sejajar dengan lumbal 3 dan pada tungkai kiri sejajar dengan lumbal 2 maka

kerusakan berapa pada L2-L3.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan

laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan

pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra

servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-

kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis,

pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic

Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi

lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.

Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tersebut sudah

dilakukan foto polos lumbosacral Ap/Lateral dan didapatkan adanya adanya fraktur

pada L2-dan L3.

Tatalaksana

Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan

mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula

spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula

spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,

cenderung menetap dan prognosisnya buruk.

Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih

baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk

kembali berjalan adalah lebih dari 50%

Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk

cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of

Health di Amerika Serikat(11). Namun demikian penggunaannya sebagai terapi

utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum

digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Brakendalam Cochrane Library

menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi

farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan

untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.

Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan

pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training .

Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi

ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/

activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal

mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.

Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program

rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan

gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai

status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.

Pada pasien diberikan terapi analgetik dan melakukan Tindakan rehabilitasi

medik dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi

okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan

utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan

kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada.

33

DAFTAR PUSTAKA

1. De. Jong dan sjamsunhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah . edisi 3. EGC: Jakarta :

2007

2. Liwang frans, Tanto,C. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 4. Media aesculapius;

Jakarta. 2014

3. Robbin and Contra. Buku Ajar Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. EGC:

Jakarta. 2006.

4. Jhon F, and Wayne J. Anvanced Trauma Life Support For Doktors (ATLS)

student Course Manual. Edisi 8. Americans College Surgeons. 2008

5. Clara Valley. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance. University of

Alabama at Birmingham. 2013 (internet). Cited 2015 Agus 20. Available from

https://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts

%202013.pdf

6. Nils Hjeltnes. Spinal cord injury. Spinal Cord Injury Rehabilitation

Department, Sunnaas Hospital, Nesoddtangen, Norway. 2010. Cited 2015 Agus

20. Available from: http://fyss.se/wp-content/uploads/2011/06/45.-Spinal-cord-

injury.pdf

7. Maureen Coggrave. Bowel Management Following Spinal Cord Injury. NSIC

2007. Cited 2015 Agus 20. Available from:

http://www.buckshealthcare.nhs.uk/Downloads/Patient-leaflets NSIC/Bowel

%20management%20following%20spinal%20cord%20injury.pdf

8. Margaret C. Spinal cord injury . World Health Organization. 2013 . Cited

2015 Agus 20. Available from

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/94190/1/9789241564663_eng.pdf.

9. Kaur, Bhavkiran, Narkeesh. Autonomic Nervous System in Spinal Cord Injury Patient. Department of Physiotherapy, Punjabi University, Punjab : India . Cited 2015 Agus 20. Available from:http://medind.nic.in/jau/t14/i1/jaut14i1p46.pdf

10. Andrei V. Krassioukov . Assessment Of Autonomic Dysfunction Following Spinal Cord Injury: Rationale for additions to International Standards for Neurological Assessment . Volume 44, Number 1, 2007. Cited 2015 Agus 20. Available from:http://download14.documents.tips/uploads/check_up14/342015/55cf8553550346484b8cc5dd.pdf

35