hubungan antara facial injury severity scale (fiss) …

102
HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) DENGAN KEJADIAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA LEHER DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Oleh: EBEN E. MANALU 127102005 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMUBEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY

SCALE (FISS) DENGAN KEJADIAN CEDERA

KEPALA DAN CEDERA LEHER

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Oleh:

EBEN E. MANALU

127102005

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMUBEDAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

Universitas Sumatera Utara

Page 2: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY

SCALE (FISS) DENGAN KEJADIAN

CEDERA KEPALA DAN CEDERA LEHER

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS AKHIR

Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh keahlian dalam

bidang Ilmu Bedah

Oleh:

EBEN E. MANALU

127102005

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMUBEDAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

Universitas Sumatera Utara

Page 3: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Hubungan Facial Injury Severity Scale (FISS) dengan

Cedera Kepala dan Cedera Leher di RSUP H. Adam Malik

Medan

Nama Mahasiswa : dr. Eben E. Manalu

NIM : 127102005

Program Studi : Ilmu Bedah

Konsentrasi : Divisi Bedah Plastik

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Utama Abdi Tarigan, SpBP-RE

NIP. 19710616200121001 NIP. 197105172008011008

dr. Frank Bietra Buchari, SpBP-RE

Ketua Program Studi Dekan Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

dr. Edwin Saleh Siregar, SpB-KBD

NIP. 1197903252009121004 NIP. 19660524 199203 1 002

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K)

Universitas Sumatera Utara

Page 4: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Telah diuji pada

Tanggal : 9 Mei 2018

Penguji :

Penguji I Penguji II

dr. Asrul, SpB-KBD NIP. 196607051997011001 NIP. 195604131987021001

dr. Liberti Sirait, SpB-KBD

Penguji III

NIP. 196806081999031010 dr. Suyatno, SpB(K)Onk

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Bedah

NIP. 196712072000121001 dr. Adi Muradi Muhar, SpB-KBD

Universitas Sumatera Utara

Page 5: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

PERNYATAAN

HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS)

DENGAN KEJADIAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA LEHER

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2018

dr. Eben E. Manalu

Universitas Sumatera Utara

Page 6: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

ABSTRAK Latar Belakang Trauma maksilofasial merupakan trauma khusus karena dapat menyebabkan gangguan sejumlah fungsi penting pada wajah. Pasien dengan trauma maksilofasial sangat beresiko tinggi mengalami cedera kepala dan leher. Facial Injury Severity Scale (FISS) merupakan sistem penilaian klinis untuk melihat tingkat keparahan trauma maksilofasial, memprediksi nilai prognostik pasien trauma maksilofasial dan sebagai sarana penelitian. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara Facial Injury Severity Scale (FISS) dengan cedera kepala dan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional. Selama kurun waktu April sampai Mei 2018 didapatkan 31 pasien trauma maksilofasial berusia > 18 tahun dan telah dilakukan pemeriksaan Head CT Scan dan X Ray leher dimasukkan dalam penelitian ini. Pasien trauma maksilofasial yang mengalami hematom, ekskoriasi dan memiliki hasil pemeriksaan penunjang yang normal tidak ikut dalam penelitian ini. Variabel pada penelitian ini adalah FISS dan cedera kepala. Variabel cedera kepala dibagi menjadi lesi intrakranial dan GCS. Kemudian dilakukan analisis data untuk menilai korelasi antara FISS dengan GCS menggunakan uji korelasi Spearman dan untuk menilai hubungan FISS dengan lesi intrakranial menggunakan uji T tidak berpasangan. Hasil Penelitian

Dari 31 pasien trauma maksilofasial ini didapatkan 23 (74,2%) orang laki-laki, rerata umur 25,84 ± 11,45, rerata FISS adalah 3,00 ± 1,43, lokasi fraktur terbanyak pada mandibula 12 (38,7%) pasien, tidak dijumpai cedera leher pada seluruh pasien (100%), etiologi tersering karena kecelakaan lalu lintas khususnya pengendara sepeda motor sebanyak 30 (96,7%) pasien, tidak memakai helm 26 (83,9%) pasien, dan mengalami cedera kepala ringan sebanyak 27 (87,1%) pasien dengan rerata FISS cedera kepala ringan 3,07 ± 1,46. Rerata FISS tertinggi terdapat pada kelompok EDH (4,00 ± 1,00) dan open depressed fracture dengan pneumocephali (4,00 ± 1,45). Uji korelasi Spearman antara FISS dengan GCS menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = 0,276, p=0,133). Uji T tidak berpasangan untuk menilai hubungan FISS dengan lesi intrakranial menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,610). Kesimpulan Tidak ada hubungan antara FISS dengan GCS dan lesi intrakranial. Kata Kunci: trauma maksilofasial, FISS, fraktur fasial, cedera kepala, cedera leher

Universitas Sumatera Utara

Page 7: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

ABSTRACT Background Maxillofacial trauma is a special trauma because it can cause impairment of a number of important functions on the face. Patients with maxillofacial trauma are highly at risk for head and neck injury. Facial Injury Severity Scale (FISS) is a clinical assessment system to look at the severity of maxillofacial trauma, predict the prognostic value of maxillofacial trauma patients and as a research tool. The purpose of this study was to determine the relationship between Facial Injury Severity Scale (FISS) with head injury and neck injury at RSUP H. Adam Malik Medan. Methods This design of this study is an analytical study with cross sectional design. 31 patients who were diagnosed of having concomitant maxillofacial and head injury by appropriate skull X-Ray and CT Scan of brain were included in this study. Maxillofacial trauma patients who were experienced with hematoma, excoriation and had normal investigative results did not participate in the study. Information’s based on age, sex, mode of injury, pattern of facial and head injury, GCS score and type of head injury was taken for each case. The variables in this study were FISS and head injury. Variable head injuries are divided into intracranial lesions and GCS. The data between FISS and GCS were analyzed with Spearman correlation test and to assess the relationship of FISS with intracranial lesions using ANOVA test. Results 31 maxillofacial trauma patients which consist of 23 (74.2%) males participated in this study. Mean ± SD of patient’s age was 25.84 ± 11.45. The FISS scores was calculated for each patient (average FISS: 3.00 ± 1.43, range 1 to 6. Mandible was the most commonly fractured facial bone (38,7%). Majority of the patients had mild head injury (87,1%) and there was no cervical injury was present in all patients (100%). The most frequent etiology was due to traffic accidents, especially motorcyclists as many as 30 (96.7%) patients and did not wear helmet in 26 (83.9%) patients. The highest mean FISS patients based on the type of head injury was in mild head injury group (3.07 ± 1.46). The highest mean FISS was in the EDH group (4.00 ± 1.00) and open depressed fracture with pneumocephalus (4.00 ± 1.45). Spearman correlation test between FISS and GCS didn’t give statistically significant result and showed low correlation (r = 0,276, p = 0,133). The relation between FISS and intracranial lesions using T independent test did not show significant result (p = 0,610). Conclusion There is no relationship between Facial Injury Severity Scale (FISS) with GCS and intracranial lessions. Keywords : Maxillofacial injury, FISS, facial fracture, head injury, cervical injury

Universitas Sumatera Utara

Page 8: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis

magister ini salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam

bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Tesis ini berjudul “Hubungan Antara Facial Injury Severity Scale

(FISS) dengan Cedera Kepala dan Cedera Leher di RSUP H. Adam Malik

Medan”. Dalam tesis ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak.

Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu,

S.H, M.Hum dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) atas kesempatan yang telah diberikan

kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Bedah di

Fakutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Plt. Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD, dan Sekretaris Departemen,

dr. Doddy Prabisma Pohan, Sp.BTKV. Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr.

Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD, dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, dr.

Dedy Hermansyah, Sp.B(K)Onk.

3. dr. Utama Abdi Tarigan, Sp.BP, dr. Frank Bietra Buchari, Sp.BP-

RE(K), Dr. dr. Suzy Indarty, M.Kes, SpBS(K) selaku pembimbing saya yang

Universitas Sumatera Utara

Page 9: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

telah bersedia membimbing dan mendidik serta menyediakan waktu, tenaga, dan

pemikirannya dalam membimbing saya menyelesaikan tesis ini.

4. dr. Asrul, SpB-KBD dan dr. Suyatno, Sp.B (K) Onk dan dr. Liberti

Sirait, SpB-KBD selaku penguji saya yang telah bersedia memberikan masukan

dan membimbing saya menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. dr. Bachtiar Surya, Sp.B-KBD; Guru Besar di Departemen Ilmu

Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

5. Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu

dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen FK Universitas Sumatera Utara yang telah

mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis.

7. RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan

kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian ditempat tersebut.

6. Para Senior dan sejawat program studi Bedah yang bersama-sama

menjalani suka duka selama pendidikan.

7. Para pegawai di lingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para

tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di

RSUP H. Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat selama penulis

menimba ilmu.

8. Rasa hormat dan terimakasih kepada kedua orang tua, Alm. Bapak

Maknur Manalu dan Alm. Ibu Basaria Sihombing, kedua mertua saya, Alm.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Bapak Barita Siburian dan Ibu Ruqiah Aritonang yang telah memberikan doa,

dukungan, semangat dalam menjalani pendidikan ini.

9. Kepada abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis

mengucapkan terimakasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama

penulis menjalani pendidikan.

10. Terimakasih untuk istriku tercinta, dr. Lidya Siburian atas segala

pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam

segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan yang

panjang ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini masih banyak hal yang

harus disempurnakan. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan berupa saran

dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan

karuniaNya kepada kita semua, dan penulis berharap semoga tesis ini dapat

diterima dan memberikan informasi serta sumbangan pemikiran yang berguna

bagi semua pihak. Terima kasih

Medan, Mei 2018

Penulis,

dr. Eben E. Manalu

Universitas Sumatera Utara

Page 11: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... i SURAT KETERANGAN ....................................................................... ii PERNYATAAN ....................................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................... iv ABSTRACT ............................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................ ix DAFTAR TABEL ................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xii BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 4 1.3 Hipotesis .............................................................................................. 4 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5

1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 5 1.4.2Tujuan Khusus ........................................................................... 5

1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 6 BAB 2TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 7 2.1 Anatomi Maksilofasial ........................................................................ 7 2.2Epidemiologi ........................................................................................ 8 2.3 Definisi Trauma Maksilofasial ............................................................ 9 2.4Klasifikasi ............................................................................................ 10 2.5Manifestasi Klinis ................................................................................ 25 2.6 Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 26 2.7 Penatalaksanaan .................................................................................. 26 2.8Fraktur Panfasial .................................................................................. 28 2.9 Definisi Cedera Kepala ....................................................................... 28 2.10 Anatomi ............................................................................................. 29 2.11Aspek Fisiologis Cedera Kepala ........................................................ 33 2.12Patofisiologi Cedera Kepala ............................................................... 34 2.13Klasifikasi Cedera Leher .................................................................... 35 2.14 Hubungan antara Trauma Maksilofasial dengan Lesi Intrakranial ... 43 2.15 Cedera Leher ..................................................................................... 45 2.16 Facial Injury Severity Scale (FISS) .................................................. 53

Universitas Sumatera Utara

Page 12: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

BAB 3 METODE PENELITIAN ........................................................... 57 3.1 Jenis Penelitian .................................................................................... 57 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 57 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 57

3.3.1. Populasi Penelitian ................................................................... 57 3.3.2. Sampel Penelitian ..................................................................... 57

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ............................................................... 59 3.4.1 Kriteria inklusi .......................................................................... 59 3.4.2 Kriteria eksklusi ........................................................................ 59

3.5 Alur Penelitian .................................................................................... 59 3.6Teknik Sampling .................................................................................. 60 3.7 Definisi Operasional............................................................................ 60 3.8 Kerangka Teori ................................................................................... 64 3.9Variabel Penelitian ............................................................................... 64 3.10. Analisis Data .................................................................................... 64 BAB 4 HASIL PENELITIAN ................................................................ 66 4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 66

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................. 66 4.1.2 Hasil Analisis Data.................................................................... 71

BAB 5 PEMBAHASAN .......................................................................... 74 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 80 6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 80 6.2 Saran .................................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 83 LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

Page 13: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Facial Injury Severity Scale (FISS) 55

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian 66

4.2 Tabel Rerata FISS Berdasarkan GCS 67

4.3 Tabel Rerata FISS Berdasarkan Lesi Intrakranial 68

4.4 Tabel Rerata FISS Berdasarkan Cedera Leher 68

4.5 Tabel Rertata FISS Berdasarkan Status Kesadaran 69

4.6 Hubungan Analisis Korelasi Spearman antara FISS dengan GCS

71

4.7 Hubungan antara FISS dengan Lesi Intrakranial Berdasarkan Uji T Tidak Berpasangan

72

4.8 Hubungan antara FISS dengan Status Kesadaran Berdasarkan Uji T Tidak Berpasangan

72

Universitas Sumatera Utara

Page 14: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Maksilofasial 7 Gambar 2.2 Laserasi Wajah 11 Gambar 2.3 Anatomi Mandibula 12 Gambar 2.4 Fraktur Zigoma 13 Gambar 2.5 Tekanan pada Fraktur Dinding Orbita 15 Gambar 2.6 Fraktur Blow Out dan Blow In 16 Gambar 2.7 Fraktur Le Fort I, II, III (Proyeksi Anterior) 19 Gambar 2.8 Fraktur Le Fort I, II, III (Proyeksi Sagital) 20 Gambar 2.9 Fraktur Linera 43 Gambar 2.10 Fraktur Depresi Kranial 44 Gambar 2.11 Zona Leher 48 Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian 59 Gambar 3.2 Diagram Kerangka Teori 64

Universitas Sumatera Utara

Page 15: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jumlah penduduk semakin bertambah setiap tahunnya sehingga meningkatkan

mobilitas penduduk baik di desa maupun di kota. Jumlah kendaraan bermotor pun

ikut meningkat seiring dengan kebutuhan transportasi. Pertambahan volume

kendaraan tersebut, meningkatkan resiko kecelakaan lalu lintas. Hal ini

berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pengendara dijalan raya dan

meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Dari data Kepolisian

Republik Indonesia, jumlah kecelakaan mencapai 4.404 kejadian. Dari Jumlah

korban kecelakaan sebanyak 6.887 orang, 1.607 orang diantaranya meninggal

dunia, 1.861 orang mengalami luka berat, dan 3.419 orang mengalami luka

ringan.

Trauma maksilofasial adalah trauma yang umum dihadapi di ruang gawat

darurat, dan didominasi oleh laki laki : perempuan sekitar 3:1. Namun demikian,

trauma maksilofasial memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan.

Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran

penting dalam tampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah

fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga

makan. Fungsi-fungsi ini sangat berpengaruh pada cedera dan berakibat kepada

kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012). Cedera maksilofasial mencakup jaringan

lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Ada banyak

faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial diantaranya, seperti

1

Universitas Sumatera Utara

Page 16: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan

akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi

penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Terjadinya kecelakaan lalu

lintas ini biasanya sering terjadi pada pengendara sepeda motor. Hal ini

dikarenakan kurangnya perhatian tentang keselamatan jiwa mereka pada saat

mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti tidak menggunakan pelindung

kepala (helm), kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas.

Pasien dengan fraktur maksilofasial beresiko tinggi disertai dengan

cedera kepala yang menyebabkan terjadinya lesi intrakranial, memar otak, fraktur

tulang tengkorak. Fraktur tulang tengkorak dan memar dapat sebagai perdarahan

intrakranial dan dapat mengancam jiwa. Identifikasi dari lesi intrakranial pada

pasien dengan cedera maksilofasial sangat penting untuk meningkatkan

kelangsungan hidup pasien.Oleh karena itu penilaian trauma maksilofasial yang

disertai lesi intrakranial sangat penting untuk memahami cedera yang

mengakibatkan lesi intrakranial dan cedera maksilofasial. Fraktur kranial lebih

mudah terjadi pada tulang temporal dan parietal yang tipis, sphenoidal sinus,

foramen magnum, petrous temporal ridge, dan bagian dalam dari sphenoidal

wings pada basal kranial (Khan, 2013). Ketika kranium terkena impact pada

daerah yang luas, dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk) dari tengkorak

dengan inward dan outward bending. Fraktur kranial linear yang terjadi pada

tulang temporal dapat memutuskan arteri meningea media yang berjalan di dalam

sebuah alur pada tulang temporal, sehingga terjadi lesi intrakranial

(Sastrodiningrat, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Adanya atau tidak adanya cedera tulang belakang leher memiliki implikasi

penting pada pasien trauma, mempengaruhi teknik manajemen saluran napas,

pilihan studi pencitraan diagnostik, pendekatan bedah, dan waktu untuk

memperbaiki fraktur wajah bersamaan. Studi selama dekade terakhir telah banyak

dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara fraktur maksilofasial dan cedera

tulang belakang servikal. Memahami pola umum fraktur wajah, pola yang terkait

dengan cedera tulang belakang leher, dan bagaimana hal ini berhubungan dengan

etiologi seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dan serangan, penting untuk

memungkinkan diagnosis, penyelidikan dan penatalaksanaan cepat cedera tulang

belakang leher oleh praktisi perawatan darurat dan ahli bedah saraf, dan

memfasilitasi perawatan tepat waktu dari trauma wajah yang mendasari oleh ahli

bedah maksilofasial. Kejadian lesi intrakranial akibat komplikasi dari

traumamaksilofasial sering terjadi. Penilaian klinis trauma maksilofasial

dipermudah dengan adanya sistem skoring yang bervariasi seperti Facial Injury

Severity Scale(FISS), Maxillofacial Injury Severity Scale (MFISS) dan lain-lain.

Selain untuk mempermudah komunikasi antara tenaga medis dalam penyampaian

kondisi klinis pasien, sistem skoring tersebut dapat memprediksi prognosis klinis

dan non klinis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh You N et al. tahun

2017, ditemukan pada pasien dengan trauma maksilofasial yang disertai dengan

trauma kepala ringan, dijumpai hasil FISS 3,78 ± 3,34, trauma kepala sedang

dengan FISS 5,77 ± 5,32, dan trauma kepala berat dengan FISS 5,76 ± 4,97. Dari

hasil penelitian tersebut, You N et al. menemukan adanya hubungan yang

bermakna antara nilai FISS dengan trauma kepala ringan dan berat (You N et al.,

Universitas Sumatera Utara

Page 18: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

2017). Sedangkan dalam penelitian Ayu DK dan Kristaninta B tahun 2012, rata-

rata FISS pada pasien dengan trauma maksilofasial adalah 3,37 dan skor

terbanyak adalah 2,0 dengan penyebab dominan adalah kecelakaan sepeda motor

(81,4%) (Ayu DK, 2012). Menurut Davidson et al., Lucas et al., Sinclair D,

terdapat sebuah teori yang diterima secara luas bahwa akan ditemukan sebuah

cedera leher pada kejadian fraktur wajah dengan derajat persentase 1,3-4%.

Penelitian yang dilakukan oleh Beirne JC terdapat 6 kasus cedera tulang belakang

leher pada 582 pasien (1,04%) (Beirne JC,1995). Dalam penelitian ini akan

berpusat pada FISS sebagai salah satu sistem penilaian klinis trauma fasial yang

sahih dan dipakai di seluruh dunia. Saat ini di RSUP H. Adam Malik Medan

belum ada melakukan penelitian mengenai hubungan FISS sebagai penilaian

klinis traumamaksilofasial dengancedera kepala berdasarkan lesi intrakranial dan

skala kesadaran yang dipakai di seluruh dunia yaitu Glasgow Coma Scale (GCS),

dengan kejadian dan keparahan cedera leher.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara Facial Injury Severity Scale(FISS)

dengan kejadian cedera kepaladan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3 Hipotesis

Ada hubungan antara Facial Injury Severity Scale(FISS) dengan kejadian

cedera kepaladan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara Facial Injury Severity Scale(FISS) dengan

kejadian cedera kepaladan cedera leher di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan rerata usia.

2. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan rerata FISS.

3. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan jenis kelamin.

4. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan lokasi fraktur.

5. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan etiologi.

6. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan pemakaian helm.

7. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan GCS dan rerata FISS berdasarkan GCS.

8. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan lesi intrakranial dan rerata FISS berdasarkan lesi

intrakranial.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

9. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan cedera leher dan rerata FISS berdasarkan cedera leher.

10. Mengetahui distribusi frekuensi penderita trauma maksilofasial

berdasarkan status kesadaran dan rerata FISS berdasarkan status

kesadaran.

11. Mengetahui hubungan antara FISS dengan cedera kepala dan cedera

leher.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Divisi Bedah Plastik dan Rekonstruksi di RSUP H. Adam Malik Medan,

untuk mengetahui hubungan antara FISS dengan cedera kepala dan cedera

leher di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Meningkatkan keberhasilan penanganan trauma maksilofasial yang disertai

dengan cedera kepala dan cedera leher di bidang bedah plastik.

3. Memberikan masukanbagi penelitian selanjutnya untuk pengembangan

penelitian mengenai nilai FISS pada pasien dengan trauma maksilofasial.

BAB 2

Universitas Sumatera Utara

Page 21: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah

lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun,

besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung

tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah

manusia (Mansjoer, 2000).

Gambar 2.1 Anatomi Tulang maksilofasial

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.

Didalam tulang wajah terdapat rongga rongga yang membentuk rongga mulut

(cavum oris) dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (cavum orbita).

7

Universitas Sumatera Utara

Page 22: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian (Mansjoer 2000):

1. Bagian hidung terdiri atas:

Lacrima bone (tulang mata), letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut

mata. Os nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas, dan os

konka nasal(tulang karang hidung), letaknya didalam didalam rongga hidung dan

zugomet septum nasi (sekatrongga hidung) adalah sambungan tulang tapis yang

tegak (Boeis 2002).

2. Bagian rahang terdiri atas tulang tulang seperti:

Os maksilaris (tulang rahang atas), os zigomatikum (tulang pipi) yang terdiri

dari dua tulang kiri dan kanan, os palatum dan tulang langit langit, terdiri dari

dua buah tulang kiri dan kanan. Os mandibularis atau tulang rahang bawah,

terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu.

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, trauma dan akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas

adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat menyebabkan kematian

dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka

terbesar biasanya terjadi pada pria dengan usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi

yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak

disebabkan oleh kecelakaan lalulintas (Ghazali 2007).

2.2 Epidemiologi

Universitas Sumatera Utara

Page 23: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Dari data penelitian menunjukkan bahwa fraktur mandibula dan maksila

terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing masing sebesar 29,85% disusul

fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal12,66 %. Penderita fraktur maksilofasial

ini terbanyak pada laki laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 %

disertai cedera ditempat lain dan trauma penyerta terbanyak cedera otak ringan

sampai berat sekitar 56% (Ghazali, 2007).

2.3 Defenisi Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial adalah trauma paksa yang mengenai tulang wajah dan

jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilafasial dapat mencakup jaringan lunak dan

jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak

yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras

adalah tulang kepala (Ariwibowo, 2008). Jenis trauma jaringan lunak:

1. Abrasi kulit, tusukan, dan laserasi

2. Cedera saraf dan cabang saraf fasial

3. Cedera kelenjar parotis atau duktus Stensen

4. Cedera kelopak mata

5. Cedera telinga

6. Cedera hidung

Jenis trauma jaringan keras:

1. Fraktur sepertiga atas wajah

2. Fraktur sepertiga tengah wajah:

a. Fraktur hidung (nasal bone)

Universitas Sumatera Utara

Page 24: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

b. Fraktur maksila (maxillar bone)

c. Fraktur zigomatikum (zygomatic bone and zygomatic arch)

d. Fraktur orbital (orbital bone)

3. Fraktur sepertiga bawah wajah:

a. Fraktur mandibula (mandibule bone)

b. Gigi (dens)

c. Tulang alveolus (alveolar bone)

2.4 Klasifikasi

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu:

trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan

lunak wajah biasanya disebabkan oleh benda tajam, seperti pecahan kaca pada

kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (Ghazali 2007).

a. Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena

trauma dari luar. Klasifikasi trauma pada jaringan lunak wajah menurut Wim de

Jong (2000):

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

a) Eksoriasi

b) Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk (vulnus

punctum)

c) Luka bakar (cobustio)

d) Luka tembak (vulnus sclopetorum)

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan: skin avulsiondan skin loss

Universitas Sumatera Utara

Page 25: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer

Gambar 2.2 Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan

mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek (garis A). Insisi fasial

ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Paderson, 2007).

4. Berdasarkan Derajat kontaminasi

1) Luka bersih

Luka sayat elektif

Steril potensial terinfeksi

2) Luka bersih tercemar

Luka sayat elektif

Potensial terinfeksi: Spillage minimal, flora normal

Proses penyembuhan lebih lama

3) Luka tercemar

Potensial terinfeksi Spillage traktus elementarius

Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan penetrasi

Universitas Sumatera Utara

Page 26: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

4) Luka kotor

Perforasi viscera, abses dan trauma lama

5. Klasifikasi lain:

a) Luka dengan pergeseran flappedicle (trapp door)

b) Luka tusukan (puncture)

c) Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung

b. Trauma jaringan keras wajah

Klasifikasi trauma pada jaringa keras wajah dilhat dari fraktur tulang yang

terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang defenitif. Secara umum dilihat

dari terminiloginya dapat diklasifikasikan berdasarkan Padersen (2007):

1) Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik

o Bersifat single: fraktur frontal, orbital, nasal, zygomaticum, maxilla, mandible, gigi

dan alveolar

o Bersifat multiple: fraktur kompleks zygoma, fronto nasal dan fraktur kompleks

mandibula

Universitas Sumatera Utara

Page 27: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Gambar 2.3 Anatomi Mandibula (Banks, 1990)

Gambar 2.4 Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah

inferomedial(Gambar A). Stabilisasi fraktur pada zygomaticofrontalis (Gambar

B) (Pedersen, 2007).

2) Dibedakan berdasarkan kekhususan (Paderson, 2007)

o Fraktur dinding orbita

Fraktur dinding orbita adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan-jaringan pada

orbitadengan atau tanpa keterlibatan tulang–tulang didaerah sekitarnya. Kecelakaan lalu

lintas merupakan faktor etiologi yang dominan yang bertanggung jawab menyebabkan

terjadinya fraktur dinding inferior orbita. Faktor lain fraktur dinding orbita adalah akibat

perkelahian. Selain itu, bisa juga diakibatkan karena senjata tumpul atau tajam, etiologi

lain adalah kecelakaan kerja, seperti jatuh dari ketinggian atau alat yang jatuh ke kepala

atau ketika berolahraga terutama olahraga seperti tinju, kriket, hoki, serta sepakbola,

tembakan serta gigitan hewan.

Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya fraktur dinding inferior orbita

atau fraktur blow out. Teori yang predominan mengatakan bahwa fraktur ini disebabkan

Universitas Sumatera Utara

Page 28: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

oleh kenaikan tekanan intraorbitayang terjadi secara mendadak apabila suatu objek yang

lebih besar dari diameter orbita memukul. Teori yang kedua menyatakan bahwa suatu

objek yang mengenai orbita dengan keras akan mengakibatkan daya yang menekan pada

inferior orbital rim dan seterusnya akan menekan pada inferior orbita rim dan

seterusnya akan merusak didnding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana

fraktur blow in terjadi. Fujiono dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya

bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai

orbital rim. Derajat peningkatan tekanan orbita kemudian yang menentukan jaringan

orbita didorong kedalam orbita atau kesinus maksilaris.

Fraktur pureblow-out biasanya terjadi apalabila suatu objek tumpul yang lebih

besar dari diameter orbital rim seperti tinju, siku, baseball, bola tenis atau bola hoki. Isi

orbita akan terkompresi keposterior, mengarah kearah apeks orbita. Oleh karena itu

bagian posterior orbita tidak bisa mengakomodasi peningkatan volume jaringan ini,

tulang orbita akan patah dititik yang paling lemah yaitu pada dinding inferiornya. Jika

daya terjadi dari objek yang lebih kecil dari diameter orbital rim, bola mata akan pecah

atau isi orbita mangalami kerusakan tanpa terjadinya fraktur.

Basis orbita atau orbital rim pada bagian atas terdiri dari lengkung supra orbita

dari tulang frontal, zigoma dan maksila dibawahnya, zigoma pada bagian lateral, dan

prosesus frontomaksila pada bagian medial. Dinding orbita ini merupakan tulang yang

relatif tipis. Orbita kemudian terbagi lagi dalam empat bagian: atap, dinding medial,

dinding lateral dan lantai (dinding inferior). Atap orbita hampir seluruhnya terdiri dari

dataran orbita dari tulang frontal, dan pada posteriornya terdiri dari greater wing of

sphenoid. Dinding medial, yaitu dinding yang paling tipis terbentuk dari prosesus

Universitas Sumatera Utara

Page 29: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

frontal maksila dan tulang lakrimal yang sama sama membentuk lekuk lakrimal.

Dibelakang posterior lacrimal crest adalah lamina papyracea tulang ethmoid yang

sangat tipis dan lesser wing of sphenoidbonedan foramen optik. Dinding inferior yang

berbentuk segitiga terdiri dari tulang zigomatik, prosesus orbita dari tulang palatinal dan

sebagian besar dari dari dataran orbita maksila yang terletak di anterior pada fisur orbita

inferior. Bagian dari maksila ini merupakan bagian yang paling sering terlibat blow

outpada dinding inferior orbita. Dinding lateral orbita pula terdiri dari prosesus frontal

dari zigoma dan tulang frontal pada anterior, serta greater of sphenoid bone pada

posterior.

Gambar 2.5 Tekanan yang menyebebkan fraktur didnding orbita (Padersen, 2007)

Bola mata biasanya sedikit keluar dari orbita rim dan bola mata terikat

oleh ligament Lockwood dari Whitnall’s tuberculum yang terletak dibawah sutura

zigomatikofrontal pada dinding dalam orbita rim. Bola mata adalah relatif kuat

dan terisi oleh humor vitreous yang tahan terhadap tekanan. Kavum orbital

selebihnya terisi oleh lemak (Thomas, 2007). Secara umum, fraktur orbita dibagi

kedalam dua kategori yang luas. Yang pertama merupakan fraktur yang secara

relatif eksternal dan melibatkan orbita rim serta tulang yang berdekatan, sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 30: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

contoh fraktur pada nasoethmoid (nasoorbital) dan fraktur malar. Yang kedua

adalah fraktur yang melibatkan tulang yang secara internal didalam kavitas orbita.

Fraktur ini terjadi tanpa (atau sedikit) keterlibatan orbita rim. Fraktur seperti ini

biasanya disebut fraktur blow outatau blow in. Istilah ini digunakan oleh Converse

dan Smith (1950) untuk menggambarkan fraktur pada dinding inferior orbita yang

mengarah kebawah dan memasuki sinus maksilaris mengarah keatas, memasuki

orbita. Sebaliknya blow in merupakan fraktur tanpa melibatkan orbital rim,

fraktur ini desebut pure blow out. Jika orbita rim terlibat, maka orbita rim dikenali

sebagai impure blow out. Dalam kasus ini, lemak orbita dan otot masuk kedalam

sinus maksilaris, menghasilkan enoptalmus. Jika otot rektus inferior dan obliq

inferior juga terlibat, pergerakan bola mata akan terbatas, dikenal dengan diplopia

(Thomas, 2007).

Gambar 2.6 Fraktur blow out, fraktur blow in (Robert 1984)

o Fraktur Zygoma (Thomas, 2007)

Perbaikan fraktur kompleks zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus

yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik seperti fraktur Le

Fort I, Le Fort II, Le Fort III (Thomas, 2007).

I. Fraktur Le Fort I

Universitas Sumatera Utara

Page 31: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung

dengan fraktur Le Fort II dan III. Pada fraktur Le Fort I, garis fraktrunya dalan

jenis fraktur transversal pada rahang atas melalui lubang piriformis diatas alveolar

ridge, diatas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan

pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksilla dan pallatum durum bergerak

secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal.

Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.

Pemeriksaan klinis pada Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara

ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan secara

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas

dan ekimosis, sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.

Secara visusalisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi

terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto

rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral.

II. Fraktur Le Fort II (Thomas, 2007)

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip

dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal berkaitan dengan tipisnya dinding

sinus, fraktur piramidalis melibatkan sutura sutura. Sutura zigomatikomaksilaris

dan nasofrontalis merupakan sutura yang paling sering terkena. Seperti Fraktur Le

Fort I, bergerakanya lengkung rahang ke atas, biasanya merupakan suatu keluhan

atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar

Universitas Sumatera Utara

Page 32: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

dibanding fraktrur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada

Le Fort I.

Pemeriksaan klinis pada Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni

secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan

dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama

tinggi, ekimosis dan edema periorbita. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung

bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang lah dipersarafi

oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat telihat adanya gangguan oklusi tetapi

tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. sedangkan secara palpalsi

terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan

pemeriksaan dengan foto rontgen proyaksi anterolateral, foto wajah polos dan CT Scan.

III. Fraktur Le Fort III

Fraktur Le Fort III adalah fraktur kraniofasial disjunction, merupakan

cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar benar terpisah dari tempat

perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera

kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma yang bisa mengakibatkan

pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral.

Pada permeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi. Secara

visual dapt terlihat dapat terlihat pembengkakan pada kelopak mata, ekimosis

periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan test mobilisasi pada maksila akan

mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.Pemeriksaan selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

Page 33: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto

wajah polos, dan CT Scan.

Perawatan pada masing masing fraktur maksilofasial berbeda satu sama

yang lain, tetapi sebelum perawatan definitif dilakukan, hal yang pertama sekali

dilakukan adalah penanganan kegawat daruratan yakni pertolongan pertama

(bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat

perdarahan aktif pada pasien, maka hal pertama yang dilakukan adalah hentikan

perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyari maka dapat diberikan analgetik untuk

membantu menghilangkan rasa nyeri.Setelah penanganan kegawat daruratan

dilaksanakan, maka perawatan definitive dapat dilakukan.

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi

maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapat dari perawatan

sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan

pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung

menggunakan tekanan pada split/arch bar.Sedangkan pada perawatan pada fraktur

Le Fort II serupa dengan Le Fort I, hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan

perawatan nasal dan dasar orbita. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan

menggunakan molding digital dan splinting.

Pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi

maksilomandibular, pengawasan langsung bilateral atau pemasangan plat pada sutura

zigomatiokofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosesus zigomatikus os

frontalis.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Gambar 2.7 Le Fort I, Le FortII, Le Fort III (pandangan anterior)

Gambar 2.8 Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (proyeksi sagital)

I. Fraktur segmental mandibula

a) Berdasarkan tipe fraktur (Thomas, 2007, Grabb and Smith2007):

• Fraktur simple

Merupakan fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada kondilus,

koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut termasuk

greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang

terjadi.

• Fraktur compound

Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak

• Fraktur kominutif

Universitas Sumatera Utara

Page 35: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti

peluru, yang mangakibatkan tulang menjadi bagian yang kecil atau remuk.

Biasanya terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur compound

dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

• Fraktur patologis

Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang

seperti osteomielitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang

sistematis sehingga menyebabkan fraktur spontan.

• Perluasan tulang yang terlibat

Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang

Tidak komplit, seperti pada greenstick, hair line, dan kompresi (lekuk)

• Konfigurasi (garis fraktur)

Transverse, bisa vertikal atau horizontal

Oblique (miring)

Spiral (berputar)

Comunitive (remuk)

• Hubungan dengan antar fragmen

Displacement, fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat

Undisplacement, bisa berupa:

1. Angulasi/ bersudut

2. Distraksi

Kontraksi

Rotasi/ berputar

Universitas Sumatera Utara

Page 36: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Impaksi/ tertanam

• Inspeksi

Secara sistematis bergerak dari atas kebawah:

o Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema

o Luka tembus

o Asimetris atau tidak

o Adanya maloklusi/ trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal

o Otorhoe/ rhinorrhea

o Telecanthus, Battle’s sign, raccoon’s sign

o Cedera kelopak mata

o Ekimosis, epistaksis

o Defisit pendengaran

o Perhatikan ekpresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

• Palpasi

Periksa kepala wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ekimosis, jaringan

hilang, luka dan perdarahan. Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya

benda asing seperti pasir atau batu kerikil.

1) Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi

mengesampingkan adanya aspirasi.

2) Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa, terutama didaerah

pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, zygomatic arch dan

pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal dan rahang atas.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

3) Periksa mata untuk memastikan adanya eksoptalmus atau endoptalmus,

menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan

ocular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap

cahaya, baik langsung dan konsensual.

4) Perhatikan sindrom fisura orbita superior, optalmoplegia, ptosis dan

proptosis.

5) Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.

6) Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti

hyphema.

7) Palpasi daerah orbital medial, kelembutan mungkin menandakan kerusakan

pada kompleks nasoethmoid.

8) Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intra nasal terhadap

lengkung bital medial. Secara bersamaan tekan kantus medial. Jika tulang

bergerak berarti adanya kompleks nasoethmoid yang retak.

9) Lakukan yest traksi, pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik terhadap

bagian medialnya. Jika tarikan tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari

kantus medial.

10) Periksa hidung untuk telakantus (pelebaran sisi tengah hidung) atau

dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.

11) Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi

pelpebra mukosa, fraktur atau dislokasi dan rinore cairan cerebrospinal.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

12) Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,

integritas membrane timpani, hemotimpanum, perforasi atau ekimosis daerah

mastoid (Battle sign).

13) Periksa lidah dan mencari laserasi intra lokal, ekimosis atau bengkak. Secara

bimanual meraba mandibula dan memeriksa tanda tanda krepitasi atau

mobilitas.

14) Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya disisi

tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur Le Fort I. Gerakan

disisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

15) Manipulasi setiap gigi individu atau bergerak, rasa sakit, ginggiva, dan

perdarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.

16) Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau, jika

rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.

17) Meraba seluruh bagian mandibula dan temporomandibular joint untuk

memeriksa nyeri, kelainan bentuk atauekimosis.

18) Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari disaluran telinga

eksternal sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau

kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

19) Periksa parestesia atau anestesi saraf

• Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II-VIII (Boeis, 2002

1) N. Optikus (II), ketajaman visual, bidang visual, reflex cahaya.

2) N. Okulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek

motorik tungkai, reflek cahaya langsung atau tidak langsung, ptosis.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

3) N. Okulomotorius (III), N. Troklearis (IV), N Abdusen (VI), diplopia.

4) N. Trigeminal (V)

a) Tes sensorik, sentuh didahi, bibir atas dan dagu digaris tengah,

bandingkan satu sisi dengan sisin lain untuk membuktikan

adanya defisit sensorik.

b) Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.

5) N. Fasialis (VII)

a) Area temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.

b) Area zigomatikum, memejamkan mata sampai tertutup rapat

c) Area bukal, mengerutkan hidung, membusungkan pipi

d) Area marginal mandibula, mengerutkan bibir

5) Area servikal, menarik lehar (saraf otot platysma, namun fungsi

ini tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari hari)

6) N. Vestibulotroklearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari atau

berbisik disamping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif,

akan terdengar lebih keras dari sisi yang terkena.

2.5 Manifestasi klinis

Gejala gejala klinis dan tanda trauma maksilofasila menurut Grabb and

Smith dan Thomas (2007):

1) Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama

pada fraktur mandibula

2) Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur

3) Rasa nyeri pada sisi fraktur

Universitas Sumatera Utara

Page 40: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

4) Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran nafas

5) Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan

lokasi daerah fraktur

6) Krepitasi berupa suara pada pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung

tulang fraktur

7) Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar

fraktur

8) Dislokasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan

9) Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila frakturterjadi di

bawah nervus alveolaris

10) Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,

penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

2.6 Pemeriksaan Fisik

Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut:

1) Lokasi nyeri dan darurat nyeri

2) Adanya krepitasi

3) Fraktur, dengan tanda pemendekan, rotasi, angulasi dan false movement,

deformitas, trismus (tonik kontraksi rahang), edema, dan ketidakstabilan,

atau keabnormalan bentuk dan gerakan terbatas.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial

yaitu:

1) Periksa kesadaran pasien

Universitas Sumatera Utara

Page 41: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

2) Perhatikan secara cermat wajah pasien

• Simetris atau tidak

• Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih

3) Apakah ada hematom:

• Fraktur zigomatikum

o Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara

cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara cepat sebagai

permukaan yang bersambungan secara seragam.

o Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas

apakah ada hematom, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding

zigomatikus.

• Fraktur nasal

o Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat

kearah medial.

• Fraktur orbita

o Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah

o Apakah sejajar atau bergeser

o Apakah pasien bisa melihat

o Apakah dijumpai diplopia dikarenakan pergeseran orbita,

pergeseran bola mata, paralisis saraf VI, dan edema.

• Fraktur pada wajah dan tulang kepala

o Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah: nyeri tekan,

deformitas dan krepitasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

o Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,

pada fraktur Le Fort II dan III banyak fragmen tulang kecil

subkutis pada regio etmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak

menutup sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.

• Cedera saraf

o Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf

gigi atas).

• Cedera gigi

o Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak

abnormal dan juga disekitarnya.

2.8 Fraktur Panfasial

Didefenisikan sabagai fraktur yang melibatkan bagian atas, tengah dan

bawah dari wajah, penanganannya berdasarkan insisi yang mengenai empat

daerah wajah yaitu daerah wajah yaitu: daerah frontal, upper midface, lower

midface, dan occlusion, serta area basal mandibular. Penanganannya meliputi

pendekatan secara individual dengan standar penggunaan (Schubert, 2007).

2.9 Definisi cedera kepala

Cedera kepala adalah: trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik

secara langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada

gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat

temporer ataupun permanen. Menurut Brain Injury Association of America, cedera

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

Universitas Sumatera Utara

Page 43: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang

dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik (American College of Surgeon, 1997).

2.10 Anatomi Kepala

1) Kulit Kepala. Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sabagai

SCALP yaitu (Teasdale, 1996):

o Skin atau kulit

o Connective tissue atau jaringan penyambung

o Aponeurosis atau galea aponeurotica yaitu jaringan ikat yang

berhubungan langsung dengan tengkorak

o Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

o Perikranium

Jaringan penunjang longgar memisahakan galea aponeurotica dari

perikranium dan merupakan tempat biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit

kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat

laserasi kulit kepala akan mengakibatkan kehilangan banyak darah terutama pada

anak anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga

membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya (Narayan, 1996).

1) Tulang tengkorak

Terdiri dari kubah (Kalvaria) dan basisi kranii. Tulang tengkorak terdiri dari

beberapa tulang yaitu: frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Kalvaria

khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot

Universitas Sumatera Utara

Page 44: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar

otak saat bergerak akibat proses akselerasi atau deselerasi. Rongga tengkorak

dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media

tempat temporalis dan fossa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan

serebelum (Teasdale, 1996, Marion, 1999).

2) Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu:

o Duramater

Duramater secara konvensional terdiri dari dua lapisan yaitu endosteal dan lapisan

meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas: jaringan ikat

fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak

melekat pada selaput arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut Bridging Veins, dapat

mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri meningea

terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).

Adanya fraktur dari tulang kepala dapat mengakibatkan laserasi pada arteri-arteri

ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera

adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa temporalis (fossa media)

(Meyes 1997).

o Selaput Arakhnoid

Universitas Sumatera Utara

Page 45: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang, yang

terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi

otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial disebut spatium

subdural dan dari pia mater oleh spatium subarachnoid yang terisi oleh liquor

serebrospinalis. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan cedera kepala

(Mayes, 1997).

o Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah

membrane vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi girus dan

masuk kedalam sulkus yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak

dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi

otak juga diliputi oleh pia mater (Narayan, 1996).

o Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa

sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu: proensefalon (otak

depan) terdiri dari serebrum, dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan

serebelum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal

berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.

Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.

Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital

bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian

atas berisi sistem aktivasi retikularis yang berfungsi pada kesadaran dan

Universitas Sumatera Utara

Page 46: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

kewaspadaan. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dn

keseimbangan (Youman 1996, Marion 1999).

o Cairan Serebrospinal

Cairan Serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus choroid dengan kecepatan

produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen

monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus silvius menuju ventrikel IV. CSS

akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang

terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat

granulasio arakhnoid sehingga menggangu penyerapan CSS dan menyebabkan

kenaikan tekanan intrakranial. Angka rata rata pada kelompok populasi dewasa

volume CSS sekitar 150 ml CSS per hari (Narayan, 1996). Tentorium serebeli

membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorium (terdiri dari fossa kranii

anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fossa kranii

posterior) (Fearnside, 1997).

o Vaskularisasi otak

Otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan

membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot

didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena

tersebut keluar dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus cranialis

(Meyes, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Page 47: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Universitas Sumatera Utara

Page 48: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

2.11 Aspek Fisiologis Cedera Kepala

a. Tekanan Intrakranial

Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan

intrakranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya

berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat

menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak. Tekanan Intrakranial

(TIK) normal kira kira 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak

normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

1. Hukum Monroe-Kellie.

Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar

dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic) adalah

sama dengan jumah total volume komponen-komponennya, yaitu: volume

jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf) dan volume darah

(Vbl). Vic = V br + V csf + V bl

2. Tekanan perfusi otak

Tekanan perfusi otak (TPO) merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata

(mean artery presure) denga tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang

dari 70 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.

3. Aliran darah otak

Aliran darah otak (ADO) normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak

permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas

EEG akan menghilang. Apabila ADO sebesar 5 ml/100 gr/ menit maka sel-sel

Universitas Sumatera Utara

Page 49: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

otak akan mengalami kematian dan kerusakan otak yang menetap (Narayan,

1996 dan Marion, 1999).

2.12 Patofisiologi Cedera Kepala

Pada cedera kepala, keruskan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera kepala yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan

cedera kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan

benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses

akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat

terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh

adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup.

Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang

disebut contrecoup. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan

berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara

tulang tengkorak (subsatansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan

tengkorak bergerak lebih cepat muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam

tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat

yang berlawanan dari benturan (countrecoupe). Cedera sekunder merupakan

cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap

lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan

neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan intrakranial, dan perubahan

neurokimiawi (Narayan, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Page 50: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

2.13 Klasifikasi Cedera kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis

dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya kepala,

dan morfologinya.

1. Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan

cedera kepala tembus. Cedeara kepala tumpul biasanya berkaitan dengan

kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.

Sedangkan cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.

2. Beratnya cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma

Scale (GCS) adalah sebagai berikut (Youman, 1996):

• Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala

berat

• Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

• Cedera kepala ringan nilai GCS 14-15

Glasgow Coma Scale nilai:

Respon membuka mata (E)

Buka mata spontan 4

Buka mata bila dipanggil/ rngsangan suara 3

Buka mata bila dirangsang nyeri 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Universitas Sumatera Utara

Page 51: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Respon Verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan orang 4

Kata kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah 6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2

Dengan rangsang nyeri, tidak ada reaksi 1

3. Morfologi cedera

Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas fraktur kranium dan lesi

intrakranial (Naraya, 1996)

• Fraktur kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat

berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur

dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan

teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda

tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk

melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda tanda tersebut antara lain

Universitas Sumatera Utara

Page 52: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

ekimosis periorbital (raccon eye sign), ekimosis retroaurikular (battle

sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrhea), dan paresis nervus fasialis,

fraktur kranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan

antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput

duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya

fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup

berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi

fraktur tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktur ditemukan bila

penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera

kepala berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi resiko hematoma

intracranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada

pasien yang tidak sadar. Fraktur kalvaria linaer mempertinggi resiko

hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali

pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktur tengkorak

mengharuskan pasien dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Mayes,

1997 dan Markam, 1999).

• Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,

walaupun kedua bentuk cedera ini sering terjadi secara bersamaan. Lesi

fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi

(hematoma intraserebral) (Youman, 1996). Pasien pada kelompok cedera

otak difusa, secara umum, menunjukkan CT Scan normal namun

Universitas Sumatera Utara

Page 53: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan

klinis.

a) Hematoma Epidural

Epidural Haematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang

potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk

bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak di regio

temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh

meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun

mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang

kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama di regio

parietoksipital atau fossa posterior. Walaupun hematoma epidural relatif

tidak terlalu sering (0,5 % dari keseluruhan atau 9 % dari pasien koma

cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan

ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena

penekanan gumpalan yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan

pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status

neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan

epidural menunjukkan adanya “lucid interval” yang klasik dimana

penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and

die). Keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan

memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf dengan pemeriksan CT

Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogen, bentuknya

bikoveks sampai planokonveks, melekat pada tabula interna dan mendesak

Universitas Sumatera Utara

Page 54: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

ventrikel kesisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan

kortex licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat

diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih

jelas (Marion, 1999).

b) Hematoma Subdural

Subdural Haematom (SDH) adalah perdarahan yang terjadi antara

duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,

ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi

paling sering akibat robeknya bridging vein antara korteks serebral dan

sinus draining. Namun SDH dapat juga berkaitan dengan laserasi

permukaan atau substansi otak. Fraktur tengkorak mungkin ada atau selain

itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut biasanya

sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk di hematoma

epidural.Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh

tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis yang agresif.

SDH terbagi menjadi akut dan kronis. SDH akut pada CT scan tampak

gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit) dekat tabula interna,

terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial

hematom seperti bergerigi. Adanya hematom didaerah fissure

interhemisfer dan tentorium juga menunjukkan adanya hematom subdural

(SDH) kronis. Pada CT scan terlihat adanya kompleks perlekatan,

transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam-macam perubahan,

oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area

Universitas Sumatera Utara

Page 55: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas

tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom

subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin

menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya akan menjadi

hipodens (Marion, 1999).

c) Kontusio dan hematoma intraserebral

Kontusio serebralmurni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusio

otak hamper selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Mayoritas

kontusio terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada

setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan kontusio

dan hematom intraserebral traumatika tidak jelas batasnya. Bagaimanapun,

terdaoat zona peralihan, dan kontusio dapat secara lambat laun menjadi

hematoma intraserebral dldalam beberapa hari. Hematoma intraserebri

adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.

Perdarahan terjadi akibanyat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak

yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada didalam

jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis

dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup)

atau pada sisi lainnya (countercoup). Defisit neurologi yang didapat sangat

bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Youman, 1996,

Marion, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Page 56: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

c) Cedera Difus

Cedera oatak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera

akselerasi dan deselerasi, dan merupakan bentuk yang sering terjadi pada

cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana

tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat

sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena

ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringn dari

komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.

Sindroma ini pulih kembali, tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio

yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia

retrograde. Dan amnesia antergrade. Komosio serebri klasik adalah cedera

yang mengakibatkan menurunnya atau menghilangnya kesadaran.

Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya

amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Dalam beberapa penderita

dapat timbul deficit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis

itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, dan depresi serta gejala

lain. Gejala gejala ini dikenal sebagai sindroma paska komosio yang dapat

cukup berat. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah

keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang

berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi massa atau

serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam

dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan

gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 57: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering

menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan

hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan cedera otak

karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan

tersebut sering terjadi secara bersamaan (Youman, 1996, Marion, 1999).

2.14 Hubungan antara trauma maksilofasial dengan lesi intrakranial

Trauma maksilofasial sering sekali dihubungkan dengan cedera kepala

yang menyertainya, peranan cedera trauma maksilofasial dengan cedera kepala

tidak terdokumentasi dengan baik, beberapat pendapat mengatakan trauma

maksilofasial merupakan fungsi perlindungan otak, beberapa menolak pendapat

ini, penelitian yang dilakukan Rajandram dan kawan kawan menunjukkan cedera

kepala terdapat pada 36,7 % trauma maksilofasial dan hal ini menunjukkan pasien

dengan fraktur wajah memiliki kemungkinan resiko 1,5 kali cedea kepala, pada

studi kohort yang dilakukan Zandi dan Seyed kejadian cedera kepala yang

diasosiakan denga fraktur wajah adalah 23,3 %( Rajandram, 2014, Isik 2012).

Ketebalan tulang kranial tidak merata. Oleh karena itu, daya benturan

yang dibutuhkan untuk mengakibatkan fraktur tergantung pada lokasi benturan.

Fraktur kranial lebih mudah terjadi pada tulang temporal dan parietal yang tipis,

sphenoidal sinus, foramen magnum, petrous temporal ridge, dan bagian dalam

dari sphenoidwings pada basal kranial (Khan, 2013).

Fraktur kranial linear merupakan fraktur yang paling sering dan

melibatkan fraktur pada tulang namun tidak dijumpai pergeseran. Fraktur ini

Universitas Sumatera Utara

Page 58: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

umumnya disebabkan karena perpindahan energi yang rendah akibat trauma

tumpul di seluruh permukaan tengkorak yang luas (Khan, 2013).

Fraktur kranial linear terjadi karena efek kontak yang terjadi sekunder

terhadap impact. Pergerakan kepala dan akselerasi tidak memegang peranan

dalam terjadinya fraktur. Ketika tengkorak terkena impact pada daerah yang

luas, dapat terjadi deformasi (perubahan bentuk) daro tengkorak dengan inward

dan outwardbending. Fraktur kranial linear yang terjadi pada tulang temporal

dapat memutuskanarteria meningea media yang berjalan di dalam sebuah alur

pada tulang temporal, sehingga terjadi EDH (Sastrodiningrat, 2012).

Gambar 2.9 Fraktur Linear, Sumber: University of Virginia (2013)

Perpindahan energi yang tinggi dapat mengakibatkan fraktur kranial

terdepresi, dimana fragmen tulang terdorong ke dalam. Fraktur ini biasanya

memecah dengan fragmen tulang dimulai dari titik benturan maksimal dan

menyebar ke perifer (Khan, 2013). Fraktur kranial terdepresi ditentukan apabila

segmen fraktur terletak lebih rendah dibandingkan segmen yang normal

(Prashkant, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 59: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Gambar 2.10 Fraktur Kranial Terdepresi, Sumber: J. Paulsen dalam WestJEM

volume 12 (2010)

Pada anak-anak, garis fraktur terkadang susah dibedakan dengan garis sutura

aksesoris. Terlebih pada pemakaian foto polos, penilaian fraktur lebih menantang

akibat ketidakmampuan untuk menilai keadaan jaringan otak. Sutura aksesoris

dapat dibedakan dari fraktur melalui poin-poin berikut (Sanchez, 2010):

1. Fraktur yang sederhana dan tidak terdepresi memiliki kepadatan yang tinggi

dan tepi yang tidak sklerotik. Sebaliknya, sutura aksesoris biasanya

memiliki pola zigzag dengan tepi sklerotik.

2. Fraktur akibat benturan yang kuat dapat melewati garis sutura atau

memanjang dari satu sutura besar ke sutura lainnya, sementara sutura

aksesoris umumnya bergabung dengan sutura besar.

3. Sutura aksesoris sering sekali dijumpai pada kedua sisi dan simetris

terutama pada tulang parietal.

4. Pembengkakan jaringan lunak atau hematoma sering sekali dijumpai pada fraktur

kranial yang akut. Namun, tidak adanya hematoma subgaleal tidak menyingkirkan

diagnosa fraktur terutama apabila cedera terjadi beberapa hari sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

2.15 Cedera Leher

Risiko cedera tulang belakang leher lebih tinggi dalam hubungan dengan

fraktur wajah gabungan yang melibatkan lebih dari satu tulang wajah. Sebuah

penelitian besar pada lebih dari 1,3 juta pasien trauma dari Amerika Serikat dan

Puerto Riko menemukan bahwa dalam pengaturan dua atau lebih fraktur wajah,

prevalensi cedera tulang belakang leher berkisar 7,0% hingga 10,8% sementara

dalam pengaturan mandibula yang terisolasi, hidung, lantai orbital, malar atau

rahang atas, atau fraktur tulang frontal atau parietal, cedera tulang belakang leher

berkisar 4,9% hingga 8,0% (Mulligan dan Mahabir, 2010).

Hanya beberapa keadaan darurat lain yang merupakan tantangan sebesar

seperti trauma leher. Karena banyak sistem organ (misalnya, saluran napas,

vaskular, neurologis, gastrointestinal) dipadatkan menjadi saluran kompak, sebuah

luka tembus tunggal mampu menimbulkan kerusakan yang berarti. Lebih jauh

lagi, luka yang tampak tidak berbahaya mungkin tidak menunjukkan tanda atau

gejala yang jelas, dan luka yang berpotensi mematikan dapat dengan mudah

diabaikan atau didiskon.

Cedera leher dapat mengakibatkan laserasi pembuluh darah utama,

berpotensi menyebabkan syok hemoragik. Cedera arteri ekstrasranial ke arteri

brakiosefalik, arteri karotis komunis, dan vertebralis dapat menyebabkan defisit

neurologis utama, dilaporkan terdapat 4-8% cedera leher bersamaan dengan

cedera kepala.Oklusi saluran napas dan perdarahan keluar tubuh merupakan risiko

paling cepat untuk kehidupan. Sejak saat Ambroise Pare berhasil mengobati

Universitas Sumatera Utara

Page 61: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

cedera leher pada 1552, perdebatan terus tentang pendekatan terbaik untuk luka

leher tertentu. Kesadaran dari berbagai presentasi cedera leher dan pembentukan

rencana multidisiplin yang disusun dengan baik sebelum peristiwa traumatis

sangat penting untuk meningkatkan hasil pasien.

Tanda-tanda cedera medula spinalis atau pleksus brakialis:

• Kapasitas lengan atas berkurang

• Quadriplegia

• Refleks patologis

• Sindrom Brown-Séquard

• Priapisme dan hilangnya refleks bulbocavernous

• Nada dubur yang buruk

• Retensi urin, inkontinensia feses, dan ileus paralitik

• Sindrom Horner

• Syok neurogenic

• Hipoksia dan hipoventilasi

Tanda-tanda cedera saraf kranial

• Saraf wajah (nervus kranial VII): Mengeluarkan sudut mulut

• Glossopharyngeal nerve (cranial nerve IX): Dysphagia (perubahan refleks

muntah)

• Saraf Vagus (saraf kranial X, laring berulang): Suara serak (suara

lemah)

Universitas Sumatera Utara

Page 62: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

• Saraf aksesori tulang belakang (saraf kranial XI): Ketidakmampuan

mengangkat bahu dan secara lateral memutar dagu ke bahu yang

berlawanan

• Saraf hypoglossal (saraf kranial XII): Deviasi lidah dengan tonjolan

Studi pencitraan:

• Computed tomography (CT) scanning

• Magnetic resonance imaging (MRI)

• Aliran warna ultrasonografi Doppler [10]

• Studi kontras esofagus

• Angiografi Intervensional

Dengan leher dilindungi oleh tulang belakang posterior, kepala

superior, dan dada inferior, daerah anterior dan lateral yang paling terkena cedera.

Laring dan trakea terletak di anterior dan karena itu mudah terkena bahaya.

Sumsum tulang belakang terletak di posterior, dibalut oleh tubuh vertebral, otot,

dan ligamen. Esofagus dan pembuluh darah utama berada di antara saluran napas

dan tulang belakang.

Dua lapisan fasia membungkus leher: fasia superfisial (membungkus

otot platysma) dan fasia serviks dalam. Fasia servikal dalam menyelimuti otot

sternokleidomastoid dan trapezius serta demarkasi daerah pra-trakea (termasuk

trakea, laring, kelenjar tiroid, dan perikardium), area prevertebral (mengandung

otot prevertebral, saraf frenikus, pleksus brakialis, dan selubung aksila) , dan

selubung karotid (menutup arteri karotid, vena jugularis internal, dan saraf

vagus).Struktur muskuloskeletal yang berisiko termasuk tubuh vertebral; otot

Universitas Sumatera Utara

Page 63: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

serviks, tendon, dan ligamen; klavikula; rusuk pertama dan kedua; dan tulang

hyoid.Struktur saraf yang berisiko termasuk sumsum tulang belakang, saraf

frenikus, pleksus brakialis, saraf laring berulang, saraf kranial (khususnya IX-

XII), dan ganglion stellata.Struktur vaskular berisiko termasuk arteri karotid

(umum, internal, eksternal) dan vertebralis dan vena vertebra, brakiosefalika, dan

jugularis (internal dan eksternal).Struktur visceral berisiko termasuk duktus

toraks, esofagus dan faring, dan laring dan trakea.Struktur kelenjar yang berisiko

termasuk kelenjar tiroid, paratiroid, submandibular, dan parotid. Untuk tujuan

klinis, leher dipartisi menjadi 3 zona (seperti yang ditunjukkan pada gambar di

bawah).

Gambar 2.11 Zona Leher

Zona I, pangkal leher, dibatasi oleh lubang torak inferior dan kartilago

krikoid superior.Struktur berisiko terbesar di zona ini adalah pembuluh darah

besar (pembuluh subklavia, vena brakiosefalika, arteri karotis komunis,

Universitas Sumatera Utara

Page 64: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

lengkungan aorta, dan vena jugularis, trakea, esofagus, apeks paru, tulang

belakang leher, sumsum tulang belakang, dan akar saraf serviks. cedera yang

signifikan di wilayah zona I dapat disembunyikan dari pemeriksaan dada atau

mediastinum.

Zona II (seperti yang digambarkan pada gambar di bawah) meliputi

midportion leher dan daerah dari kartilago krikoid ke sudut mandibula.Struktur

penting di wilayah ini termasuk arteri karotid dan vertebralis, vena jugularis,

faring, laring, trakea, esofagus, dan tulang belakang leher dan sumsum tulang

belakang. Cedera Zona II cenderung menjadi yang paling jelas pada pemeriksaan

dan cenderung tidak okultisme. Selain itu, sebagian besar cedera arteri karotis

dikaitkan dengan cedera zona II.

Zona III adalah aspek superior leher dan dibatasi oleh sudut mandibula

dan pangkal tengkorak.Struktur yang beragam, seperti kelenjar ludah dan parotid,

esofagus, trakea, tubuh vertebral, arteri karotid, vena jugularis, dan syaraf mayor

(termasuk saraf kranial IX-XII), melintasi zona ini. Cedera di zona III dapat

menjadi sulit untuk diakses melalui pembedahan.

Trauma tumpul pada leher biasanya terjadi akibat kecelakaan

kendaraan bermotor tetapi juga terjadi dengan cedera yang berhubungan dengan

olahraga (misalnya, penanganan jemuran), pencekikan, pukulan dari tinju atau

kaki, dan manipulasi berlebihan (yaitu, setiap operasi manual seperti perawatan

chiropraktik atau fisik penataan kembali atau reposisi tulang belakang).

Dalam kecelakaan kendaraan bermotor di mana pengemudi tidak

memakai sabuk pengaman, pengemudi berada dalam bahaya tubuh terdorong

Universitas Sumatera Utara

Page 65: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

maju dengan leher dan kepala ekstensi, dan leher anterior akan terbentur terhadap

kolom kemudi. Pelindung bahumemberikan beberapa, meskipun tidak lengkap,

perlindungan terhadap trauma tumpul leher.

Energi yang didapat dari gaya yang langsung, dapat memotong

pembuluh darah. Rotasi yang berlebihan dan / atau hiperekstensi dari tulang

belakang leher menyebabkan distensi dan peregangan arteri dan vena yang

menyebabkan kerusakan geser dan trombosis yang dihasilkan. Trauma intraoral

dapat meluas ke suplai darah serebral. Fraktur tengkorak basilar dapat

mengganggu bagian intrapetrik arteri karotid. Dampak terhadap aspek anterior

leher yang terekspos dapat menghancurkan laring atau trakea, terutama pada

cincin krikoid, dan menekan esofagus terhadap kolom tulang belakang posterior.

Peningkatan tekanan intratrakeal terhadap glotis yang tiba tiba tertutup

(misal:penggunaan sabuk pengaman yang tidak tepat), atau akselerasi-deselerasi

cepat dapat menyebabkan cedera trakea.

Trauma leher menyebabkan 10% kematian di seluruh dunia dan

merupakan penyebab utama kematian pada orang muda (5-44 tahun) di negara

maju. Untuk patah tulang belakang yang terkait dengan trauma, tingkat kejadian

tahunan yang dilaporkan bervariasi dari 19 hingga 88 per 100.000 orang. dan,

untuk cedera medulla spinalis, dari 35 hingga 53 per juta orang.3–7 Antara 19%

dan 51% kasus trauma tulang belakang melibatkan cedera pada tulang belakang

leher (Mukherjee S, 2014). Pasien dengan cedera tulang belakang leher adalah

kelompok berisiko tinggi, dengan tingkat mortalitas tertinggi yang dilaporkan

pada trauma tulang belakang, karena cedera ini mungkin terkait dengan cedera

Universitas Sumatera Utara

Page 66: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

tulang belakang. Selanjutnya, cedera pada tulang belakang leher dapat

mempersulit intubasi dan pengobatan operatif terkait cedera akibat imobilisasi

leher.

Cedera bersamaan pada pasien dengan trauma wajah tidak jarang dan

melibatkan kepala dan daerah leher yang berdekatan (Hills WM, 1993).

Hubungan antara cedera tulang belakang wajah dan servikal telah sering

dilaporkan (Sinclair D et al, 1988). Dua kriteria penting diperlukan untuk

penilaian akhir, evaluasi dari pasien oleh ahli bedah trauma dan ahli bedah

maksilofasial dan deskripsi cedera individu yang tepat. Kriteria ini penting dalam

trauma tulang belakang karena cedera seperti whiplash sering diabaikan dalam

penilaian keseluruhan. Tanpa kriteria ini, kejadian trauma leher terkait pada

cedera wajah bervariasi antara 1% dan 6% (Beirne JC et al, 1995). Karena

perbedaan mekanisme cedera untuk kedua wilayah, trauma kecepatan tinggi ke

kepala atau wajah harus dicurigai untuk kejadian gabungan (Haug RH, Foss J,

2000). Oleh karena itu, tulang belakang leher harus menyerap energi yang muncul

yang terhubung dengan batang tubuh. Sesuai dengan itu, kecelakaan lalu lintas

bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus. Bahkan cedera kecil di kedua

wilayah dapat menyebabkan cacat jangka panjang,yang pada akhirnya akan

terhubung dengan beban sosial dan psikologis seperti kehilangan gigi bagian

depan dan bekas luka yang mengganggu penampilan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hackle W tahun 2001, 108 dari

206 subyekdengan trauma pada wajah mengalami setidaknya 1 trauma parah pada

wajah atau leher.23 dari mereka mengalami patah tulang / dislokasi di kedua

Universitas Sumatera Utara

Page 67: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

wilayah. Untuk semua kemungkinan kombinasi trauma (berat dan ringan),

kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama. Kombinasi cedera wajah dan tulang

belakang ringan dominan pada usia 20 hingga 69 tahun; kombinasi dari cedera

wajah dan tulang belakang yang parahdicatat mulai dari usia 20 hingga 80+ tahun

kecuali untuk kelompok usia 50 hingga 59 tahun. Fraktur tulang zygomatic

dominan, diikuti oleh fraktur dinding orbital. Sebaliknya, fraktur ke tulang hidung

jelas dominan pada kelompok gabungan trauma tulang belakang wajah dan

servikal, diikuti oleh fraktur dinding orbital dan rahang atas.

Ada beberapa mekanisme trauma tulang belakang leher, masing-

masing diikuti dengan tipe fraktur atau dislokasinya, yaitu:

1. Cedera fleksi:

a. Simple wedge compression fracture tanpa disrupsi posterior.

b. Flexion teardrop fracture

c. Subluksasi anterior

d. Dislokasi facet bilateral

e. Clay-shoveler fracture

f. Dislokasi atlantoaxial anterior

2. Cedera rotasi fleksi

a. Dislokasi facet unilateral

b. Rotary atlantoaxial dislocation

3. Cedera ekstensi

a. Hangman fracture/ traumatic spondylolisthesis of C2

b. Extension teardrop fracture

Universitas Sumatera Utara

Page 68: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

c. Fracture of the posterior arch of C1 / posterior neural arch fracture

4. Cedera kompresi vertikal (aksial)

a. Jefferson fracture (Burst fracture of the ring of C1

b. Burst fracture of the vertebral body

5. Cedera lebih dari satu atau kompleks

a. Fraktur odontoid

b. Fracture of transverse process of the C2 (lateral flexion)

c. Dislokasi antlantooksipital

d. Occipital condyle fracture (vertical compression with lateral bonding

2.16 Facial Injury Severity Scale (FISS)

Sistem penilaian telah muncul sejak tahun 1970-an untuk mengukurtingkat

keparahan pada pasien, khususnya pasien trauma. Sistem penilaian ini bertujuan

mencari nilai prognostik untuk pasien trauma agar menjadi alat ukur dalam

penanganan pasien dengan trauma pada wajah (Bagheri, 2006). Awalnya,

sebagian besar sistem penilaian hanya mengevaluasi trauma pada umumnya,

seperti Injury Severity Score (ISS), Trauma and Injury Severity Score (TRISS),

dan New Injury Severity Score (NISS). Sistem mencetak diyakini memiliki nilai

prediktif pada pasien trauma. Beberapa dari mereka mampu dikombinasikan skor

cedera sebelumnya dengan parameter fungsional wajah, seperti Maxillofacial

Injury Severity Score (MFISS) dan Mandible Injury Severity Score(MISS).

Sistem penilaian lainnya dibuat sederhana namun terbukti memiliki nilai

prediktif, seperti Facial Injury Severity Scale (FISS) dan Chinese Maxillofacial

Universitas Sumatera Utara

Page 69: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Trauma Registry, Analysis and Injury Severity Score System (CMISS). FISS

diperkenalkan oleh Bagheri di Jurnal Oral Maksilofasial Bedah 2006. Dalam

sistem penilaian ini, setiap situs fraktur dan luka gores di wajah akan menambah

poin untuk mendapatkan skor akhir. Bagheri, dengan total 247 pasien di ruang

kerjanya, juga menemukan FISS memiliki korelasi dengan biaya total operasi dan

lama tinggal (Bagheri, 2006).

Sistem skoring telah diperkenalkan sebagai alat untuk mencari nilai prognosis

pada pasien trauma. Trauma wajah memerlukan sistem skoring yang berbeda

karena banyak gangguan fungsi yang bisa ditimbulkan. Beberapa jurnal telah

melaporkan adanya sistem skoring untuk trauma maksilofasial seperti Skor Facial

Injury Severity Scale (FISS) dan Maxillofacial Injury Severity Score (MFISS).

FISS pertama kali diperkenakan oleh Bagheri et al tahun 2006. Komponen

penilaian dalam FISS terbagi menjadi 4, yaitu :mandible, Mid face, upper face

dan face laseration. Berikut adalah komponen penilaian FISS.

Universitas Sumatera Utara

Page 70: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Pada penelitian yang dilakukan oleh You M dkk tahun 2017, dengan

jumlah sampel sebesar 1.115 pasien yang datang dengan trauma tajam atau

tumpul, ditemukan hubungan yang signifikan antara perubahan nilai FISS dengan

lesi intra kranial swelling dan contusion. Sedangkan pada SDH, EDH, SAH, ICH,

dan IVH tidak terdapat hubungan signifikan (You N, 2017).Ayu Diah Kesuma

dan Kristaninta Bangun dalam penelitiannya di RSUPN Cipto Mangunkusumo,

mendapatkan rata-rata nilai FISS 3,37 ± 1,9 dengan nilai minimum 1 dan

maksimum 9. Kebanyakan pasien memiliki nilai FISS 2 (24.7%), dikarenakan

tingkat kejadian kecelakaan di Jakarta yang tinggi namun berenergi rendah yang

dipengaruhi kepadatan lalu lintas dan perilaku ketidakdisiplinan (Ayu, 2012).

Sebuah penelitian yang menarik dilakukan oleh dokter di King Saud University.

Ramalingam meneliti tentang peran FISS dalam menentukan beban finansial

pasien trauma maksilofasial di India. Didapatkan hasil skor FISS pasien

Mandible Dento Alveolar 1 point Each fracture of body/ramus/symphysis 2 point Each fracture: condyle/coronoid 1 point Mid Face Each midfacial fracture is assigned one point, unless part of a complex

Dento alveolar 1 point Le Fort I 2 points Le Fort II 4 points Le Fort III 6 points (Unilateral Le Fort fractures are assigned half the numeric value)

Naso-Orbital Ethmoid (NOE) 3 point Zygomatico Maxillary Complex (ZMC) 1 point Nasal 1 point Upper face Orbital roof/rim 1 point Displaced frontal sinus/bone fractures 5 points Non displaced fractures 1 point Facial laceration Over 10 cm long 1 point

Universitas Sumatera Utara

Page 71: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

menunjukkan korelasi positif dengan nilai (R = 0,845, P <0,01) dan durasi (R =

0,819, P <0,01) dari rawat inap. FISS tidak hanya menjadi indikator prediktif

keparahan cedera maksilofasial, tetapi juga indikator yang dapat diandalkan dari

beban ekonomi kepada pasien sebagai akibat dari cedera maksilofasial

(Ramalingam, 2015).

Universitas Sumatera Utara

Page 72: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian

dilaksanakan setelah proposal penelitian disetujui komite etik.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita traumamaksilofasial yang

dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan yang dilakukan pemeriksaan Head CT

Scan dan X-ray leher.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah pasientrauma maksilofasial yang memenuhi kriteria

inklusi dan ekslusi yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan yang dilakukan

pemeriksaan Head CT Scan dan X-ray leher.

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus:

n =� 𝑍𝑍𝑍𝑍+𝑍𝑍𝑍𝑍

0,5 ln �1+𝑟𝑟1−𝑟𝑟�

�2

+ 3 = � 1.96+0.842

0,5 ln �1+0.291−0.29�

�2

+ 3

Maka n = 25,4 + 3 = 28,4 = 29 Orang

57

Universitas Sumatera Utara

Page 73: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Keterangan:

n = jumlah sampel

Zα = deviat baku α (tingkat kesalahan tipe I) = 5 %, maka Zα = 1,96

Zβ = deviat baku β (tingkat kesalahan tipe II) = 20 %, maka Zβ = 0,842

r = 0.29 ( berdasarkan hasil penelitian sebelumnya) (Mbeba D, 2014)

Universitas Sumatera Utara

Page 74: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria inklusi

Semua pasientrauma maksilofasial yang diakibatkan oleh trauma tumpul

yang dilakukan Head CT Scan dan X-ray leher usia ≥ 18 tahun

3.4.2 Kriteria eksklusi

Trauma maksilofasial yang hanya terjadi hematom dan eksoriasi setelah

dibuktikan dengan Head CT Scan dan X-ray leher.

3.5 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

Data primer: Pasien trauma maksilofasial yang datang ke IGD

Kriteria inklusi dan ekslusi

Skor FISS

Cedera kepala (GCS dan lesi intrakranial)

Cedera Leher

Telah dilakukan pemeriksaan: Head CT Scan

• Face CT 3D • X-Ray Cervical

Universitas Sumatera Utara

Page 75: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

3.6 Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah consecutive sampling, yaitu

pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian

dimasukkan kedalam penelitian dalam kurun waktu tiga tahun terakhir

3.7 Definisi Operasional

1) Facial Injury Severity Score (FISS) adalah sistem skoring yang digunakan

untuk mengevaluasi tingkat keparahan trauma maksilofasial.

2) Trauma maksilofasial adalah trauma yang meliputi sebagian, seluruh atau

hanya satu bagian dari wajah yang meliputi region frontal, zygomatica,

nasal, lower orbita, maxilla, mandibula. Penegakan diagnosis trauma

maksilofasial berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, X-Ray, dan CT

Scan.

3) Trauma kepala adalah suatu ruda paksa yang menimpa struktur kepala

sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan

fungsional jaringan otak.

4) GCS adalah nilai skor yang diberikan kepada pasien dengan trauma

kepala, gangguan kesadaran secara kuantitatif pada setiap tingkatan

kesadaran, bagian bagian yang dinilai meliputi proses membuka mata,

reaksi gerak motorik ekstremitas dan reaksi bicara.

5) Fraktur regio frontal adalah fraktur yang disebabkan benturan yang keras

pada bagian dahi. Mencakup tabula sinus anterior dan tabula posterior

sinus frontalis.

Universitas Sumatera Utara

Page 76: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

6) Fraktur region zygomatic adalah fraktur yang terjadi pada tulang zygoma

beserta suturanya, yakni sutura zygomatikofrontal, sutura

zygomatikotemporal, dan sutura zygomatikomaksilar dan arkus

zygomatikus.

7) Fraktur region nasal adalah fraktur yang terjadi di regio os nasal dan

melibatkan kompleks os nasal dan menyangkut septum hidung. Pada

beberapa kasus tulang rawan septum hamper tertarik keluar pada alurnya

pada vomer dan plat tegak lurus serta plat kribiform etmoid juga mungkin

terkena fraktur.

8) Fraktur regio lower orbita rim adalah fraktru yang terjadi pada dinding

bawah orbita, dapat terjadi sebagai fraktru yang berdiri sendiri namun juga

dapat menyebabkan fraktur dinding medial.

9) Fraktur region maksila diklasifikasikan menjadi Le Fort I, Le Fort II dan

Le Fort III.

Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maksila horizontal yang menyilangi

aspek inferior maksila dan memisahkan prosesus alveolar yang

mengandung gigi maksila dan palatum durum dari bagian lain maksila.

Fraktur meluas melalui 1/3 bawah septum dan mencakup sinus maksila

medial dan lateral meluas ke palatibe bone dan pterygoid. Fraktur Le

FortII merupakan fraktur fraktur piramidal yang dimulai dari nasal bone

dan meluas melalui ethmoidal dan lacrimal bone, turun kebawah melalui

sutura zygomatikofacial, berlanjut keposterior dan lateral melalui maksila,

di bawah zygomatic dan kedalam pterygoid.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Fraktur Le Fort III disebut juga kraniofasial disjunction, merupakan

terpisahnya semua tulang wajah dari basis kranii dengan fraktur simultan

zygomatic, maxilla, dan nasal bone. Garis fraktur meluas ke posterolateral

melalui ethmoidal bone, orbital dan sutura pterigomaksila sampai kedalam

fossa sphenoplatina.

10) Fraktur region mandibula adalah fraktur yang terjadi pada region

mandibula, dan berupa region anterior mandibula (simfisis dan

parasimfisis), angulus mandibula, atau ramus atau daerah kondilar

mandibular.

11) Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi didalam otak.

12) Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terjadi diantara otak dan

rongga subaraknoid.

13) Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan

selaput otak (meninges).

14) Perdarahan epidural adalah perdarahan yang terjadi diantara tulang

tengkorak dan selaput otak.

15) Trauma kepala terbuka adalah trauma dimana luka tampak telah

menembus sampai ke bagian duramater.

16) Fraktur tulang tengkorak adalah kondisi medis yang ditandai dengan

pecahnya terdapat patahan pada tulang tengkorak dan lebih sering terjadi

bersamaan dengan trauma kepala dan perdarahan intrakranial. Kondisi ini

selalu merupakan akibat trauma pada kepala dandapat disebabkan cedera

Universitas Sumatera Utara

Page 78: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

atau kecelakaan. Tipe pada fraktur kepala dapat berupa fraktur linear,

fraktur depressed dan fraktur basilar.

17) Fraktur linear merupakan fraktur yang terjadi sejajar dengan sambungan

tulang tengkorak.

18) Fraktur depressed merupakan fraktur yang menyebabkan tertekannya

tulang tengkorak dengan atau tanpa robekan pada kulit kepala.

19) Fraktur basilar merupakan fraktur yang terjadi akibat pecahnya tulang

pada dasar tengkorak.

20) Zona wajah terbagi menjadi zona atas, tengah, dan bawah.

10) Cedera servikal adalah suatu trauma yang menimpa struktur servikal

sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural disertai gejala berupa

nyeri leher di garis tengah, nyeri pada palpasi, defisit neurologis, atau

penurunan kesadaran.

21) Penurunan kesadaran adalah hilangnya respon seseorang terhadap

rangsangan yang berasal dari lingkungan yang dinilai dengan standar

Glassgow Coma Scale (GCS).

Universitas Sumatera Utara

Page 79: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

3.8 Kerangka teori

3.9 Variabel Penelitian

Variabel Dependen : Cedere kepala (GCS, lesi intrakranial, status

kesadaran) dan cedera leher

Variabel Independen : Facial Injury Severity Scale (FISS)

DAI

Cedera Kepala Cedera Tulang Belakang Leher l h l k

Cedera fleksi

Cedera fleksi rotasi

Cedera ekstensi

Cedera kompresi vertikal (aksial)

Cedera lebih dari satu / kompleks

Trauma maksilofasial

Upper Face

Mid Face

Mandible

Face Laceration

Akselerasi rotasi

Deselerasi

Akselerasi Coup

Counter-coup ICH

EDH

SDH

ICH

Contusio

Universitas Sumatera Utara

Page 80: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

3.10 Analisis Data

Data yang sudah dikumpulkan diolah secara statistik menggunakanSPSS

ver.20. Mengenai data distibusi karakteristik pendertia trauma maksilofasial akan

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Mengenai hubungan FISS

dengan cedera kepala dan leher akan dilakukan uji hipotesis. Variabel cedera

kepala dibagi menjadi GCS, lesi intrakranial, dan status kesadaran. Pengujian

hipotesis untuk melihat hubungan antara FISS dengan lesi intrakranial serta

hubungan FISS dengan status kesadaran dianalisis menggunakan uji T tidak

berpasangan dengan melihat nilai p. Pengujian hipotesis untuk melihat hubungan

FISS dengan GCS dilakukan analisis data menggunakan uji korelasi Spearman

dan menentukan nilai korelasi r dan nilai p tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 81: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang diambil

langsung dari pasien dengan trauma maksilofasial di RSUP H. Adam Malik

Medan pada kurun waktu April sampai Mei 2018 yang berjumlah 31 pasien

dengan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Frekuensi (N) Persentase

(%)

Usia (Mean ± SD) 25,84 ± 11,45

FISS (Mean ± SD) 3.00 ± 1,43

1 5 16,1

2 8 25,8

3 6 19,4

4 8 25,8

5 2 6,5

6 2 6,5

66 Universitas Sumatera Utara

Page 82: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Jenis Kelamin

Laki-laki 23 74,2

Perempuan

8 25,8

Lokasi Fraktur

Mandibula 12 38,7

Zygoma 4 12,9

Maxilla 3 9,7

Mandibula + Maxilla 8 25,8

Maxilla + Nasoetmoid 1 3,2

Mandibula + Zygoma 2 6,5

Maxilla + Rimaorbita

1 3,2

Etiologi

Kecelakaan Lalu Lintas 30 96,7

Trauma Lainnya

1 3,2

Pemakaian Helm

Ya 5 16,1

Tidak 26 83,9

Universitas Sumatera Utara

Page 83: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Tabel 4.2 Tabel Rerata FISS Berdasarkan GCS

GCS Frekuensi

(N)

Persentase

(%)

Rerata FISS

(Mean ± SD)

Cedera Kepala Ringan 27 87,1 3,07 ± 1,46

Cedera Kepala Sedang 3 9,7 2,67 ± 1,52

Cedera Kepala Berat 1 3,2 2,00

Tabel 4.3 Tabel Rerata FISS Berdasarkan Lesi Intrakranial

Lesi Intrakranial Frekuensi

(N)

Persentase

(%)

Rerata FISS

(Mean ± SD)

EDH 3 9,7 4,00 ± 1,00

SAH 1 3,2 1,00

DAI 1 3,2 2,00

Contusio Serebri 2 6,5 3,00 ± 1,41

Open Depressed Fx + Pneumocephali

1 3,2 4,00

Contusio Serebri + EDH +

SAH

1 3,2 3,00

Universitas Sumatera Utara

Page 84: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

EDH + Contusio Serebri 2 6,5 1,50 ± 0,70

Normal 20 64,5 3,10 ± 1,51

Tabel 4.4 Tabel Rerata FISS Berdasarkan Cedera Leher

Cedera Leher Frekuensi (N) Persentase (%) Rerata FISS

(Mean ± SD)

Cedera Leher (+) 0 0 -

Cedera Leher (-) 31 100 3.00 ± 1,43

Tabel 4.5 Tabel Rerata FISS Berdasarkan Status Kesadaran

Status

Kesadaran Frekuensi (N) Persentase (%)

Rerata FISS

(Mean ± SD)

Normal 25 80,6 3,20 ± 1,44

Penurunan

Kesadaran

6 19,4 2,17 ± 1,16

Universitas Sumatera Utara

Page 85: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Berdasarkan tabel diatas didapati bahwa rerata usia subjek penelitian adalah

25,84 ± 11,45. Rerata FISS adalah 3,00 ± 1,43 dengan nilai minimum 1, nilai

maksimum 6, dan pasien terbanyak memiliki nilai FISS 2 (25,8%) dan 4 (25,8%).

Pada tabel terlihat bahwa jumlah penderita trauma maksilofasial adalah 23 (74,2%)

laki-laki dan perempuan sebanyak 8 (25,8%) subjek. Pada pasien ditemukan bahwa

lokasi fraktur mandibula paling banyak ditemukan pada 12 (38,7%) pasien. Dari 31

(100%) pasien, seluruhnya tidak dijumpai cedera leher dengan rerata FISS cedera

leher 3.00 ± 1,43. Dari seluruh pasien yang mengalami cedera kepala, 20 (64,5%)

pasien tidak dijumpai lesi intrakranial, namun dari 11 (35,5%) pasien yang memiliki

lesi intrakranial (rerata FISS lesi intrakranial 2,82 ± 1,32), terbanyak mengalami EDH

dengan jumlah 3 (9,7%) pasien. Rerata FISS tertinggi terdapat pada kelompok EDH

(4,00 ± 1,00) dan open depressed fracture dengan pneumocephali (4,00 ± 1,45).

Berdasarkan GCS didapati bahwa 27 (87,1%) pasien mengalami cedera

kepala ringan, dengan rerata FISS tertinggi terdapat pada kelompok cedera kepala

ringan (3,07 ± 1,46) dan mengalami penurunan kesadaran sebanyak 6 (19,4%) pasien

dengan rerata FISS 2,17 ± 1,16, dengan etiologi tersering adalah kecelakaan lalu

lintas khususnya pada pengendara sepeda motor sebanyak 30 (96,7%) pasien dan

sebanyak 26 (83,9%) pasien tidak memakai helm. Didapati juga bahwa dari 31 pasien

trauma maksilofasial, 27 (87%) pasien mengalami cedera kepala ringan, 3 (9,6%)

pasien mengalami cedera kepala sedang, dan 1 (3,2%) pasien mengalami cedera

kepala berat. Dari 27 pasien cedera kepala ringan, 20 orang (64,5%) tidak dijumpai

Universitas Sumatera Utara

Page 86: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

lesi intrakranial, 7 pasien (22,4%) mengalami lesi intrakranial. Dari 7 pasien cedera

kepala ringan yang dijumpai lesi intrakranial, 3 pasien (9,6%) menderita EDH.

4.1.2 Hasil Analisis Data

Karakteristik subjek penelitian yang dinilai pada penelitian ini mencakup

variabel FISS dan cedera kepala. Variabel cedera kepala dibagi menjadi lesi

intrakranial, status kesadaran dan GCS. Variabel lesi intrakranial dan status kesadaran

merupakan variabel kategorik dan GCS merupakan variabel numerik. Pengujian

hipotesis untuk melihat korelasi antara FISS dengan GCS dianalisis dengan uji

korelasi Spearman. Sedangkan untuk pengujian hipotesis untuk melihat ada tidaknya

hubungan antara FISS dengan lesi intrakranial serta menilai hubungan FISS dengan

status kesadaran dianalisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan dan melihat

p value tersebut.

Tabel 4.6 Hasil Analisis Korelasi Spearman antara FISS dengan GCS

GCS

FISS r = 0,276

p = 0,133

n = 31

Universitas Sumatera Utara

Page 87: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Berdasarkan tabel diatas dinilai korelasi antara FISS dengan GCS

menggunkana uji korelasi Spearman dan didapatkan nilai r=0,276 dan nilai p=0,133

sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara FISS dengan

GCS dengan kekuatan korelasi lemah (r = 0,2 - <0,4)

Tabel 4.7 Hubungan antara FISS dengan Lesi Intrakranial berdasarkan Uji T

Tidak Berpasangan

Lesi Intrakranial Rerata

(Mean ± SD) Nilai p

Skor FISS pada penderita dengan lesi intrakranial

(n=11) 2,82 ± 1,32

0,610

(p>0,05) Skor FISS pada kondisi normal (tidak dijumpai lesi

intrakranial) (n=20) 3,10 ± 1,51

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan pada

tabel di atas diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara FISS dengan lesi

intrakranial dilihat dari nilai p>0,05 (p=0,610) dengan rerata FISS pada penderita

Universitas Sumatera Utara

Page 88: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

dengan lesi intrakranial 2,82 ± 1,32 dan pada pasien normal (tidak dijumpai lesi

intrakranial) 3,10 ± 1,51.

Tabel 4.8 Hubungan antara FISS dengan Status Kesadaran berdasarkan Uji T

Tidak Berpasangan

Status Kesadaran Rerata

(Mean ± SD) Nilai p

Skor FISS pada kesadaran normal (n=25) 3,20 ± 1,44 0,115

(p>0,05) Skor FISS pada penurunan kesadaran (n=6) 2,17 ± 1,16

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan pada

tabel di atas diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara FISS dengan status

kesadaran dilihat dari nilai p>0,05 (p=0,115) dengan rerata FISS pada penderita

dengan kesadaran normal 3,20 ± 1,44 dan pada pasien dengan penurunan kesdaran

2,17 ± 1,16.

Universitas Sumatera Utara

Page 89: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

74

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata usia penderita trauma maksilofasial

adalah 25,84 ± 11,45 tahun dengan jumlah pasien terbanyak pada usia 18 tahun.

Seperti pada penelitian Kesuma dan Bangun (2009)yang dilakukan di RSCM Jakarta,

ditemukan bahwa rerata usia trauma maksilofasial adalah 27,5 ± 11,5 tahun. Hal ini

diasumsikan karena usia tersebut merupakan usia produktif dimana memiliki

mobilitas yang tinggi sehingga menjadi faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu

lintas, sehingga sangat memungkinkan usia tersebut lebih rentan dengan kejadian

trauma maksilofasial (Kraus et al., 2003).

Rerata FISS Score pada penelitian ini adalah 3,00 ± 1,43 dengan nilai

minimum 1, nilai maksimum 6, dan pasien terbanyak memiliki nilai FISS 2 (25,8%)

dan 4 (25,8%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kesuma dan

Bangun (2009) di RSCM yang menyatakan rerata FISS adalah 3,37 ± 1,9 dengan nilai

minimum 1 dan maksimum 9, dan terbanyak dengan nilai FISS 2 (24,7%). Dari hasil

ini dapat disimpulkan bahwa semua trauma memiliki skor minimum. Perbedaan

rentang nilai FISS tersebut yang tidak terlalu jauh dikarenakan oleh rendahnyanya

percepatan trauma di kota Jakarta yang disebabkan oleh tingginya angka kemacetan,

kedisiplinan dalam mematuhi rambu lalu lintas, yang pada akhirnya dapat

menyebabkan trauma maksilofasial (Kesuma dan Bangun, 2017). Dari hasil analisis

Universitas Sumatera Utara

Page 90: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

data tersebut juga didapatkan bahwa rerata FISS tertinggi terdapat pada kelompok lesi

intrakranial EDH (4,00 ± 1,00) dan open depressed fracture dengan pneumocephali

(4,00 ± 1,45). Hal ini sama pada penelitian oleh You et al. (2017) yang menyatakan

kerusakan tulang wajah dihubungkan dengan kondisi neurologis yang memburuk,

tingginya laju kerusakan parenkim dan edema otak. Fraktur maksilofasial disebabkan

oleh impact mechanism, sehinga kerusakan otak dapat dikarenakan oleh kontak

langsung atau mekanisme inersia tersebut.

Pasien dengan trauma maksilofasial berdasarkan jenis kelamin paling banyak

adalah laki-laki sebanyak 23 (74,2%) pasien dan perempuan sebanyak 8 (25,8%)

subjek. Data penelitian oleh You et al (2017) menunjukkan hasil yang sama dimana

laki-laki (80,6%) lebih sering mengalami cedera maksilofasial daripada perempuan,

dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 4:1 dikarenakan laki-laki

lebih sering melakukan aktifitas di luar seperti berkendara, olahraga ataupun

berkelahi (Ajmal, 2007 dan You et al., 2017). Begitu juga pada penelitian oleh

Kesuma dan Bangun (2009) di RSCM Jakarta didapatkan rasio penderita trauma

maksilofasial antara laki-laki dan perempuan adalah 85,3:14,7.

Pada penderita ini berdasarkan lokasi fraktur, paling banyak adalah fraktur

mandibula sebanyak 12 sampel (38,7%). Ini sesuai dengan penelitian oleh Roni

(2014) yang menyatakan bahwa lokasi fraktur mandibula adalah yang tersering yaitu

50,6%, demikian juga pada penelitian Hasnat et al. (2017) yang menyatakan lokasi

fraktur paling sering adalah mandibula (36%) pada pasien dengan trauma

Universitas Sumatera Utara

Page 91: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

maksilofasial. Namun berbeda dengan penelitian oleh Kraus et al. (2003) yang

menyatakan lokasi fraktur terbanyak adalah fraktur maxilla 23,3% pada pasien

trauma maksilofasial.

Berdasarkan etiologi ditemukan bahwa kecelakaan lalu lintas (pada

pengendara sepeda motor) merupakan etiologi tersering yaitu sebanyak 30 (96,7%)

pasien. Penelitian oleh Kesuma dan Bangun (2009) menyatakan 81,4% trauma

dikarenakan kecelakaan sepeda motor. Demikian juga penelitian oleh Hasnat et al.

(2017) etilogi tersering adalah kecelakaan pada pengendara sepeda motor sebanyak

36 (60%) pasien. Penelitian oleh Sheturaja (2017) di India menyebutkan bahwa

kecelakaan sepeda motor merupakan yang sering terjadi (51%), diikuti oleh trauma

akibat jatuh sebanyak 27% (Sheturaja, 2017). Peneliti di negara-negara seperti

Yordania, Singapura, Nigeria, Selandia Baru, Denmark, Yunani, dan Jepang

melaporkan kecelakaan kendaraan bermotor menjadi penyebab paling umum

(Hermund, 2012). Penelitian oleh You et al. (2017) juga menyatakan bahwa

kecelakaan sepeda motor merupakan etiologi tersering trauma maksilofasial sebanyak

44 (21,36%) pasien.

Berdasarkan penggunaan helm ditemukan bahwa 26 (83,9%) pasien tidak

memakai helm. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Kesuma dan

Bangun (2009) yang menyatakan 54,4% pengendara sepeda motor tidak memakai

helm.

Universitas Sumatera Utara

Page 92: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Dari penilaian GCS didapati bahwa 27 (87,1%) pasien mengalami cedera

kepala ringan, 3 (9,7%) pasien cedera kepala sedang, dan 1 (3,2%) pasien cedera

kepala berat. Rerata FISS GCS tertinggi yaitu pada kelompok cedera kepala ringan

(3,07 ± 1,46). Demikian juga penurunan kesadaran dijumpai sebanyak 6 (19,4%)

pasien dengan rerata FISS 2,17 ± 1,16. Hal ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh You et al. (2017) yang menyatakan cedera kepala berat memiliki

rerata FISS yang lebih tinggi. You et al menyatakan penurunan GCS dan hilangnya

kesadaran dihubungkan dengan terjadinya fraktur fasial. Penderita cedera kepala yang

mengalami upper facial fracture tentunya akan lebih rentan mengalami gangguan

neurologis dibandingkan dengan fraktur mid face atau fraktur mandibula lebih sering

dihubungkan dengan tingginya kejadian cedera otak meskipun cedera kepala dan

fraktur fasial dapat terjadi bersamaan (You et al., 2017).

Dari 11 pasien yang mengalami lesi intrakranial, jumlah pasien terbanyak

mengalami EDH sebanyak 3 (9,7%) pasien, diikuti dengan kontusio serebri sebanyak

2 (6,5%) pasien, EDH dengan contusio serebri sebanyak 2 (6,5%) pasien, SAH, DAI,

open depressed fracture dengan pneumocephali, contusion serebri dengan EDH dan

SAH, masing-masing sebanyak 1 (3,2%) pasien. Berbeda pada penelitian oleh You et

al. (2017) didapatkan kontusio serebri merupakan jenis lesi intrakranial terbanyak

sebanyak 23,8%, SDH 16%, swelling 11,4%, EDH 11,1%, pneumoencephalus 8,7%,

SAH dan ICH masing-masing 6,4%.

Universitas Sumatera Utara

Page 93: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Pada penelitian ini, dari 31 (100%) pasien, seluruhnya tidak dijumpai cedera

leher dengan rerata FISS 3.00 ± 1,43. Hal ini dikarenakan insidens cedera kepala

yang berhubungan dengan cedera leher sangat kecil yaitu sekitar 1%-6% (Peterson,

2001), demikian juga penelitian oleh Hasler et al. (2012) yang melaporkan laju

insidens tersebut sangat kecil, yaitu 19-88 kasus per 100.000 jiwa, dan 35-53 per satu

juta jiwa. Penelitian oleh Beirne et al. (1995) juga menyatakan insidens cedera leher

pada fraktur fasial hanya 1,3-4%. Penelitian oleh Mukherjee dan Revington (2014)

menyatakan bahwa rentang insidens cedera maksilofasial disertai cedera leher adalah

0 sampai 8%.

Dari seluruh pasien yang mengalami trauma maksilofasial pada penelitian ini,

20 (64,5%) pasien tidak dijumpai lesi intrakranial, namun 11 (35,5%) pasien

mengalami lesi intrakranial. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Kenaan et al. (1999) yang menyatakan bahwa 18 (29,9%) pasien yang mengalami

fraktur maksilofasial mengalami cedera intrakranial. Penelitian yang dilakukan oleh

Roni (2014) menyatakan bahwa 64 (19,5%) pasien trauma maksilofasial mengalami

cedera kepala.

Hasil uji korelasi antara FISS dengan GCS menggunkana uji korelasi

Spearman dan didapatkan nilai r=0,276 dan nilai p=0,133 sehingga disimpulkan tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara FISS dengan GCS. Hal ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh You et al. (2017) yang menyatakan ada hubungan

antara FISS dengan GCS (p<0,05). Sedangan pada penelitian oleh Mbeba D (2004)

Universitas Sumatera Utara

Page 94: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

didapatkan nilai r=0,29 (kekuatan korelasi lemah, r=0,2 - <0,4). Peneliti berasumsi

karena sebanyak 60% dari total sampel yang diikutkan dalam penelitian ini memiliki

klinis normal (tidak mengalami penurunan kesadaran dan tidak dijumpai lesi

intrakranial) sehingga menyebabkan hasil penelitian ini tidak memberikan hasil yang

sama seperti penelitian lain yang sudah pernah dilakukan.

Berdasarkan hasil analisis uji T tidak berpasangan dalam penelitian ini untuk

menilai hubungan antara FISS dengan lesi intrakranial serta hubungan FISS dengan

status kesadaran disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara FISS

dengan lesi intrakranial dengan melihat nilai p value yaitu p=0,610 (p>0,05) serta

tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara FISS dengan status kesadaran

p=0,115 (p>0,05). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh You et al.

(2017) yang menyatakan ada hubungan antara FISS dengan lesi intrakranial (p<0,05).

Penelitian oleh Zandi (2013) di Berlin untuk melihat korelasi antara fraktur

mandibular dengan penurunan kesadaran menyatakan bahwa insidensi fraktur

mandibular terjadi lebih rendah pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran

akibat trauma.

Universitas Sumatera Utara

Page 95: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat diambil

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Rerata usia penderita trauma maksilofasial adalah 25,84 ± 11,45.

2. Rerata FISS adalah 3,00 ± 1,43 dengan nilai minimum 1, nilai maksimum 6,

dan pasien terbanyak memiliki nilai FISS 2 (25,8%) dan 4 (25,8%).

3. Jenis kelamin penderita trauma maksilofasial di RSUP H. Adam Malik

Medan terbanyak adalah laki-laki sebanyak 23 orang (74,2%).

4. Pada penderita ditemukan bahwa lokasi fraktur mandibula paling banyak

ditemukan sebanyak 12 (38,7%) pasien.

5. Etiologi tersering terjadinya trauma maksilofasial di RSUP H. Adam Malik

Medan adalah kecelakaan lalu lintas khususnya pada pengendara sepeda

motor sebanyak 30 (96,7%) pasien dan sebanyak 26 (83,9%) pasien tidak

memakai helm.

6. Berdasarkan GCS didapati bahwa 27 (87,1%) pasien mengalami cedera

Universitas Sumatera Utara

Page 96: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

80

kepala ringan, dengan rerata FISS tertinggi terdapat pada kelompok cedera

kepala ringan (3,07 ± 1,46).

7. Dari seluruh pasien yang mengalami cedera kepala, 20 (64,5%) pasien tidak

dijumpai lesi intrakranial, namun dari 11 (35,5%) pasien yang memiliki lesi

intrakranial (rerata FISS lesi intrakranial 2,82 ± 1,32), terbanyak mengalami

EDH dengan jumlah 3 (9,7%) pasien. Rerata FISS tertinggi terdapat pada

kelompok EDH (4,00 ± 1,00) dan open depressed fracture dengan

pneumocephali (4,00 ± 1,45).

8. Dari 31 (100%) pasien trauma maksilofasial di RSUP H. Adam Malik,

seluruhnya tidak dijumpai cedera leher dengan rerata FISS 3.00 ± 1,43.

9. Dari data yang diperoleh pada penelitian ini, diketahui bahwa 6 (19,4%)

pasien mengalami penurunan kesadaran dengan rerata FISS 2,17 ± 1,16.

10. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara FISS dengan GCS dengan

nilai p = 0,133 dan kekuatan korelasi lemah (r = 0,276; r = 0,2 - <0,4).

11. Tidak terdapat hubungan bermakna antara FISS dengan lesi intrakranial

(p=0,610; p>0,05).

12. Tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara FISS dengan status

kesadaran (p=0,115; p>0,05).

Universitas Sumatera Utara

Page 97: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

6.2 Saran

1. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran kepada pengendara sepeda

motor agar memakai helm saat berkendara untuk menurunkan kejadian cedera kepala

akibat trauma maksilofasial.

2. Untuk menambah wawasan bagi penulis tentang hubungan FISS dengan cedera

kepala dan leher serta melatih keterampilan penulis dalam penggunaan FISS dalam

memeriksa pasien trauma maksilofasial dan mempergunakannya sebagai prognosis.

3. Penelitian ini masih sangat sederhana dimana jumlah sampel masih sedikit. Untuk

itu diperlukan pemeriksaan yang lebih lanjut dengan sampel dan cakupan lokasi

penelitian yang lebih besar agar didapatkan hasil yang lebih tepat dalam

menggambarkan hubungan FISS dengan cedera kepala dan cedera leher.

Universitas Sumatera Utara

Page 98: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:

Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,

penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.

Ariwibowo Haryo et all, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:

Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta.2008

Ayu D.K., Bangun K. (2012) ,Evaluation of Facial trauma Severity in Cipto

Mangunkusumo Hospital Using FISS Scoring System’, Jurnal Plastik Rekonstruksi,

1(2), p162-165

Bagheri et al, (2006) ‘Application of a Facial Injury Severity Score in

Craniomaxillofacial Trauma’, J Oral Maxillofac Surg 64:p408-414

Banks P. Fraktur mandibula Killeys Fractures of the mandible. Alih bahasa,

Lilian Yuwono, Jakarta: Hipokrates, 1990:2

Beirne et al., 1995. Cervical Spine Injuries in Patients with Facial Fractures: A

1-year Prospective Study. International Journal of Oral and Maxillofacial Surgery 24:

p26-29.

Buku Ajar Imu Bedah Sjamsu Hidayat dan Wim de Jong Edisi 3 Penerbit

EGC; Jakarta. 2000

Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In : Head Injury Patophysiology

and Management of Severe Closed Injury. London : Chapman & Hall Medical. 1997

: 3 – 21.

83

Universitas Sumatera Utara

Page 99: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Ghazali Malueka, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.2007

28. Fahrev.Penanganan Kegawat daruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial.

Grabb and Smith Plastic Surgery. 6th ed by Lippincot and Wlliams and

Wilkins. 2007

Hasnat et al., 2017. Pattern of Maxillofacial Trauma among Patients with

Head Injuries. Update Dental College Journal 7 (1), p14-20.

Hafid A, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit

buku kedokteran EGC .2007.

Isik D, Gonollu H, Karadas S, Kocak F, Keskin S, Garca MF, Oglu ME,

Preessence of accompanying head injury in patient with maxillofacial trauma.

Turkish Journal of Trauma and Emergency Surgery 2012;18 (3):200-206

Kraus et al., 2003. Facial Trauma and the Risk of Intracranial Injury in

Motorcycle Riders. Annals of Emergency Medicine 41 (1), p18-26.

London PS. The anatomy of injury and its surgical implication, London:

Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5

Malara P, Malara B, Drugacz J. Characteristics of maxillofacial injuries

resulting from road traffic accidents – a 5 years review of the case records from

departemen of maxillofacial surgery in katowice, poland.Biomed 2006

Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran

Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.

Marion DW. Prognosis. In : Traumatic brain injury. New york : Thieme ;

1999 : 135 – 139.

54

Universitas Sumatera Utara

Page 100: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Markam S, Atmadja DS, Budjanto A. Cedera tertutup kepala. Balai penerbit

FK – UI, Jakarta, 1999 : 24 – 28

Mayes SA, Rowland LP. Secondary brain injury. In : Head injury

patophysiology and management of severe closed injury. London : Chapman & Hall

Medical. 1997 : 71 – 86.

Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Neurotrauma, General Principles

of Head Injury Management. New York : McGraw-Hill ; 1996 : 71 – 75

Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery).Alih bahasa

Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226.

Rajandram RK, Syed OSN, Rashdi MF, Abdul JMN. Maxillofacial injury dan

traumatic brain injury: a pilot study Dent Traumatol. 2014 4;30(2):128-32.

Ramalingam S. Role of maxillofacial trauma scoring systems in determining

the economic burden to maxillofacial trauma patients in India. J Int Oral Health

2015;7(4):38-43

Robert H. Mathog. Maxillofacial trauma, Williams and Wilkins 1984;321

Schubert J, treatment of midfacial Fracture. Radiologie. 2007 ;47(7):598, 600-

Silver JM, MCcalister TW. Textbook Of Traumatic Brain Injury 2nd Ed

Teasdale G, Mathew P. Mechanism of cerebral concussion, contusion and

other effects of head injury. In : Youman’s (ed) Neurological Surgery 4th . Ed.

Philadelphia : WB Saunders Co. 1996 : 1533 – 1548.

Universitas Sumatera Utara

Page 101: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

Thomas DW, Hill CM. Etiology and changing patterns of maxillofacial

trauma. In: Booth PW. Maxillofacial surgery. 2nd ed. China: Churchill Livingstone

Elsevier, 2007

You N, Choi MS, Roh TH, Jeong D, Kim S-H, Severe of Facial Fracture is

related to Severe Traumatic Brain Injury, World Neurosurgery (2018), doi:

10.1016/j.wneu.2017.11.166

Youman JR. Mechanisms of Cerebral Concussion, Contussion, and Other

Effects of Head Injury, Neurosurgery, 4th ed. Philadelphia : W.B.Saunders Company.

1996 : 1533 – 46.

Zandi M, Seyed HS. The relationship between head injury and facial trauma; a

case control study.Oral Maxillo Fac Surgery 2013 9;17(3):201-7.

Universitas Sumatera Utara

Page 102: HUBUNGAN ANTARA FACIAL INJURY SEVERITY SCALE (FISS) …

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : dr. Eben E. Manalu

NIM : 127041034

Tempat / Tanggal Lahir : Pargarutan, Tapanuli Tengah, 28 September 1979

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Status : Menikah

Alamat : Jalan Vanili 13 no 5 Simalingkar Medan

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri Pearaja Tapanuli Tengah 1986-1992

2. SMP Negeri Naipos-pos Tapanuli Tengah 1992-1995

3. SMU Negeri 2 Matauli Pandan 1995-1998

4. S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 1998-2005

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sesungguhnya untuk dapat

digunakan sebagaimana mestinya.

Medan, Maret 2018

(dr. Eben E. Manalu)

Universitas Sumatera Utara