72759172 adi sucipto akhlak tasawuf

50
TUGAS MANDIRI URGENSI MEMAHAMI TASAWUF Tugas Mandiri Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf OLEH: NAMA : ADI SUCIPTO NPM : 0840962 PRODI : PBA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO

Upload: bilqis-rochmi

Post on 09-Aug-2015

79 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

TUGAS MANDIRI

URGENSI MEMAHAMI TASAWUF

Tugas Mandiri Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf

OLEH:

NAMA : ADI SUCIPTO

NPM : 0840962

PRODI : PBA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

JURAI SIWO METRO

Page 2: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

2011

ii

Page 3: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis

dapat menyelesaikan Tugas Mandiri ini dengan baik. Shalawat serta salam kepada junjungan

kita nabi besar Muhammad SAW berserta keluarga dan sahabatnya.

Kami mengharapkan semoga Tugas Mandiri ini bermanfaat bagi pembaca dan

merupakan bahan tambahan untuk belajar. Kami mengucapkan terima kasih Lepada teman-

teman yang selalu mendukung dalam proses penyusunan penyusunan Tugas Mandiri ini dan

semua pihak yang terlibat dalam pembuatan Tugas Mandirii ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang berkaitan dalam

penyusunan paper ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan sarannya demi kesempurnaan

Tugas Mandiri.

Metro, November 2011

Penulis

iii

Page 4: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF......... 6

SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA................................................................. 9

PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 11

MAQAMAT dan AHWAL........................................................................................... 16

AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG

MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 21

AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR

YANG MELATARBELAKANGINYA.......................................................................... 25

ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT....................................................................... 27

KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM................................................................ 31

TASAWUF DI INDONESIA....................................................................................... 36

TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN................................................... 40

TASAWUF DAN ETOS KERJA................................................................................. 43

DAFTAR PUSTAKA

iv

Page 5: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang

kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan teologis akhlak

tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umar agar selamat dunia dan

akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW. Adalah untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung

keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.

Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak da tasawwuf itu kemudian

menemukan momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai oleh

munculnya sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak.

Bersamaan dengan itu perkembangan teknologi di bidang alat-alat anti hamil,

makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya kesempatan

untuk membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-obatan terlarang yang

menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-tempat beredarnya obat terlarang

semakin canggih. Demikian juga sarana yang membawa orang lupa pada tuhan, dan

cenderung maksiat terbuka lebar di mana-mana. Semua in semakin enambah beban tugas

akhlak tasawuf.

Melihat demikian pentingnya akhlak tasawwuf dalam kehidupan ini tidaklah

mengherankan jika akhlak tasawwuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh

kita semua dikarenakan pentingnya tersebut.

Disadari bahwa masih banyak bidang akhlak tasawwuf yang dapat dikemukakan,

namun keterbatasan ilmu yang kami miliki kami mohon maaf jika mempunyai kesalahan

dalam pengumpulan data yang kami kumpulkan ini.

B. Rumusan Masalah

- Bagaimana untuk memahami tujuan dari akhlak dan tasawwuf?

- Apa saja faidah dari mempelajari akhlak tasawwuf ?

1

Page 6: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu

pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Namun akar

kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim

mashdar dari kata akhlaqa bukan dari kata akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini

maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara Lingustik kata akhlak merupakan

isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata

tersebut memang sudah demikian adanya.

Secara bahasa akhlak berasal dari kata artinya اخلققق – يخلققق – اخلقققا perangai,

kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata khuluq.

انما بعثت ل تمم مكارم الخلقArtinya : bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi pekerti.

(HR. AHMAD)

Secara istilah akhlak berasal dari :

a) Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk

melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

b) Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-

macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

c) Ibrahim Anis dalam Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang

dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan

pemikiran dan pertimbangan.

d) Dalam kitab Dairatul Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik.

Dari atas tak ada perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan

yang lain. Definisi – definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling melengkapi,

B. Ruang Lingkup Akhlak

Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan

tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang

perbuatan – perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut

tergolong perbuatab yang baik atau perbuatan yang buruk.

Dengan mengemukakan beberapa literaratur tentang akhlak tersebut menunjukan

bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan

ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan lai-lain.

2

Page 7: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah

perbuatan manusia. Dan selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau buruk.

Definisi dari ruang lingkup akhlak:

• Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk.

• Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.

• Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.

C. Tujuan Akhlak

Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di

dunia dan di akhirat. Dikarekan itulah kita sebagai manusia untuk hidup saling membantu

baik dari pekerjaan, kebutuhan atau lainnya.

Tujuan mempelajari akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara

akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama dengan

dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah urusan akhirat

sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau ungkapan, ”Agama adalah

urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka jangan heran terhadap seseorang

yang beribadah, kemudian di lain waktu akhlaknya tidak benar. Ini merupakan kesalahan

fatal. Kita pun sering menjumpai orang-orang yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak

shalat. Ini juga keliru.1

D. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak

Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan

sebgaai berikut :

Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita

dapat menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian

perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat

zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk perbuatan

baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.

Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah

untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati

menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.2

Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria

perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang

baik dan perbuatan yang buruk.

Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan

mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki

IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu

1 Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di sajikan untuk mempelajari lebih dalam tasawwuf. Jawa timur2 Utama alfaruqi,Belajar Tasawuf. www.utamaalfaruqi.blogspot.com.

3

Page 8: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang

memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan,

namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan

yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.

Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang

akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha

menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan

yang dapat membahyakan dirinya.

Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan

untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan

yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya,

dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.

E. Pengertian Tasawwuf

Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan

sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).

Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan

langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak

suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari

makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam IV-Halaman 151).

Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran

mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran

tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan

dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang

hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta

kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak

memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam :

a. Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir

b. kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain

c. Meninggalkan mengatur dan memilih

Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan

menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.

Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan

pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.

Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn

Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia

mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana

Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha benar).

4

Page 9: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia

agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah

sedekat-dekatnya.

F. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf

Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur

hubungan horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan

komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari

pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.

Para ahli ilmu tasawwuf pada umumnya membagi tasawwuf kepada tiga bagian:

1) Tasawwuf falsafi

2) Tasawwuf akhlaki

3) Tasawwuf amali

Yang memiliki tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara

membersihkan diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan perbatab yang

terpuji.

G. Tujuan Mempelajari Tasawwuf

Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas).

Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah.

Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-

Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.

Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya mengenal

Allah secara lebih dalam dan memahaminya dengan benar. Sama juga dengan kebersihan

diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh melanggar apapun yang telah al-qur`an berikan.

H. Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf

Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana yang

baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan ma’rifah Allah Yang Maha Mengetahui,

sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu, selamat dada

dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk.

Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan

terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan

mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.

5

Page 10: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF

A. Persamaan Etika, Moral, dan Akhlak

1. Persamaan

• Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau

nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.

• Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:

1. Objek: yaitu perbuatan manusia

2. Ukuran: yaitu baik dan buruk

3. Tujuan: membentuk kepribadian manusia3

2. Perbedaan

1. Sumber atau acuan:

o Etika sumber acuannya adalah akal

o Moral sumbernya norma atau adapt istiadat

o Akhlak bersumber dari wahyu

2. Sifat Pemikiran:

o Etika bersifat filososfis

o Moral bersifat empiris

o Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal

3. Proses munculnya perbuatan:

o Etika muncul ketika ad aide

o Moral muncul karena pertimbangan suasana

o Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.4

B. Hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak

Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan dalam

perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan sampai

mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah. Makelar hukum

yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa berbagai status hukum

yang tak jelas duduk perkaranya.

Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu

sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi keluh-kesah

masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi

percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli

3 H. Husnan Malik SH. Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB4 Ibid

6

Page 11: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang sampai

sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia.

Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku bertajuk “Etika dan

Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas”. Bertolak dari pemikirannya

Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada dasarnya merupakan “peta jalan”

menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau memetakan arah yang harus diambil

manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya.

Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta itu dibuat terlebih

dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah

tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum

selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia

menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243).

Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk dan

mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu dilakukan

manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan dan

kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada tiga

aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan akal

budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan aturan akal

budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum ilahi, yang

dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya.

Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua aspek pengaturan

ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum kodratnya adalah makhluq

politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan ketiga, yakni manusia harus

diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan dengan sesamanya.

Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian serius dari

Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya sendiri yang

berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar

kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia. Kedudukan yang

substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik;

kedua, manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah dimensi

transedental manusia sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat rasional,

sehingga manusia adalah makhluq yang “sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk

berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial, manusia mampu

untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom.

Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan manusia.

Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan

kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga setiap

7

Page 12: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat

kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa segala sesuatu yang

diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar

penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal

budi, maka manusia haruslah “sadar diri” dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan

“adar diri” ini, manusia akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan

inilah yang mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah

manusia dengan akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan

kehidupan.

Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan

keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan

hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang

bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan

manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni

kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk

menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang. Rasa

kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum.

Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan akal budianya

untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya sebagai “tuan” atas perbuatan yang

dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam

membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus

selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus

ditafsirkan secara kritis, sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan

mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan

yang mencerahkan dan membahagiakan.

Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa ditafsirkan

sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum.

Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan,

uang, dan jabatan.5

5 Ibid

8

Page 13: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA

Sebagai sejarahwan mengaitkan sejarah tashawuf dengan Imam Ja’far Al-Shadiq ibn

Muhammad Bagir ibn Ali’ Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam Ja’far, meski

amat dihormati dan dianggap sebagai guru keempat-empat para imam kaum Ahlusunnah-yakni

Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i dan ibn Hanbal-adalah imam kelima dari mazhab syi’ah Itsna

Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i

kemungkinan akibat kritik-kritik keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk

membela ahlul bait (keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi,

seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj.

Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami pasang surut. Lahir dan

berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke-2 H. lewat pribadi-pribadi seperti Hasan Al-

Bashri, Sufyan al-Tsauri al-Harits ibn Asad Al Muhasibi, B Yazid Al Bustami dan sebagainya.

Tasawuf tak pernah bebas dari kritikan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf

di dunia Islam dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahap6;.

1. Tahap Zuhud (Asketisme)

• Tahap awal perkembangan tasawuf ini menentang mulai akhir abad ke-1 H sampai

kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan

Bashrah, kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir.

• Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat perkembangannya:

• Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-

Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H) Salmah Al-Farisi (w.32 H). Abdullah ibn

Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (tabi’in)

termasuk diantaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah

(w.106 H).

2. Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)

• Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh

tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada aspek praktis (amali) berupa

penanaman akhlak belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis

(nazhari) dengan jalan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang

sebelumnya tidak dikenal ha; maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam maknanya yang khas

tasawuf), fana, hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200

H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid Al-

Baghdadi.

6 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

9

Page 14: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

3. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)

• Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan

pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping

juga Al Qunawi, muridnya. Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al

Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan

(Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang

Tuhan dan hakikat segala sesuatu.

4. Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya)

• Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya seperti Tarekat Junaidiyyah

yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa

inilah tarekat berkembang dengan pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah

yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran

sekarang). Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat

Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari

semua tarekat yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang

memiliki pengikut paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang sekarang

telah memiliki banyak variasi ini pada mulanya didirkan di Bukhara, Asia Tengah oleh

Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.

10

Page 15: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA

A. Tasawuf Akhlaqi

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq

atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah

dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan

mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.7

Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental

yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu

pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan

amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu,

menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu

sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan

akhlak disusun sebagai berikut:

1. Takhalli

Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang

sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah

satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain

adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

2. Tahalli

Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan

diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi

setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan

agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek

luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan

adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada

Tuhan.

3. Tajalli

Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,

maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna

terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –

yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan

perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu

dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa

7 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid

11

Page 16: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-

Nya.8

B. Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori

tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini

sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak

dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu

dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian

yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan

juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga

sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh

karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu,

mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide

ketuhanan.9

C. Tasawuf Syi’i

Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua

macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki

perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan

tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara

keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara

tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman

mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.10

D. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i

Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang

makna-makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang

terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua

aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan

aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling

utama, namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk

membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam,

yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan

egoisme.

8 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid9 Ibid10 Ibid

12

Page 17: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase: pertama,

yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriah. Sikap

asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada

fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan

dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak

mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal

untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih

memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat

populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-

Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.

Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang

berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah

laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral

yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi

ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral,

akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.

Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai

amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang.

Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya.

Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf.

Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih

menekankan perilaku manusia yang terpuji.

Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan

akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran

Islam yang mereka nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji.

Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak

diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran

Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn ketidakberesan

perilaku (akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu

tasawuf identik dengan akhlak.

Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad

ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran ekslusif. Golongan

ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya

mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu

karena paham hululnya ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat

yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap

13

Page 18: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini

terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.

Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya

menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme,

kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf

berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan

kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil

mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu

sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-

Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.

Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang

begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam.

Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan

tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat

pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).

Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan

tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah.

Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni

filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H)

penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun

638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-

Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka

banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan

khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai

jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun

filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir.

Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya

dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf

akhlaqi ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni

dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-

Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih

berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan

pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam

ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari

keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.

Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya,

diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para

14

Page 19: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas.

Para sufi yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat

pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras

kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada

tahun 728 H).

Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang.

Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain

pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya.

Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi

ahlu sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu

sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami, Al-

Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya

terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan

tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat

324 H) dalam menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.

Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan,

yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi

dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang member

bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas

bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam

penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip

tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka terpelihara dari

penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu

sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisi menolak para sufi yang

mengajarakan syahadat, yang mengucapkan ungkapan penuh kesan tentang terjadimya

perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat

kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.

15

Page 20: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

MAQAMAT dan AHWAL

A. Pengertian Maqamat

“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat

mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan

yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya

dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah

maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang

yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan

yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi

berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan

spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan

spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya

dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri

pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu

sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir

sama.

Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang

hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan

dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam

pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan

Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan

hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan

mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.

B. Maqamat

Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus

dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan.

Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam

ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala

ikatan dunia. Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut11:

1. Taubat

Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai

macam pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf ,

taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak

mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan

pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor,

sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin

11 Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, hlm. 392

16

Page 21: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam

dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak

melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa

pada segala hal kecuali Allah

2. Wara’

Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia,

yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:

حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد ال بن سماعة عن

الوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول ال صلى ال عليه وسلم من

حسن إسلم المرء تركه ما ل يعنيه

“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang

tidak penting baginya”.

Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak

bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas

lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara

sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan

memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.

3. Zuhud

Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf.

Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk

mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah

sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada

dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang

mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak

menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang

diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang

berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep

zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr.

Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung

tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau

kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi).

Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal

keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata

taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.

17

Page 22: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

4. Faqr

Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat

hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-

apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang

yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti

telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi

hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi

yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan

yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan

Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan

jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”

5. Sabr

Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah

disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling

tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala

apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha

Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah

yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi

segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci

sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua

bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia

maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama

yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.

6. Tawakkal

Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah

untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan

memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep

tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para

sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah.

Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi

ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia

meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.

7. Ridha

Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda.

Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia

termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi

dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan

kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat

18

Page 23: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan

bahwa: الرضا: أن لو جعل ال جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar

Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى ل يكون فيه إل فرح وسرور. . Menurut

Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha

berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun

keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau

tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa

nafsunya.

C. Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan

mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn

Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan

tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada

sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat

dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan

karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.

Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam.

Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli

sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah,

tuma’ninah, musyahadah, yaqin.12

1. Muraqabah

Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun

secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung

pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan

merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan

al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri

juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.

2. Khauf

Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-

khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna

pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang

kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap

tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang

menyebabkan orang lari menuju Allah.

3. Raja’

Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati

karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi

raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan 12 Ibid

19

Page 24: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah

kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan

binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.

4. Syauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi

menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian

syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu

ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu

kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan

pengenalan terhadap Allah.

5. Mahabbah

Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya

taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah

sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah

dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.

6. Tuma’ninah

Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was

atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah

mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang

hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya.

Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung

dengan Allah SWT.

7. Musyahadah

Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata

hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti

dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan

dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari

tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan

Allah.

8. Yaqin

Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan

rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya

perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin

adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.

Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal.

Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .

20

Page 25: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG

MELATARBELAKANGINYA13

Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah,

tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada

dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi

pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3

hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan

pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui

belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun

tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi

suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al Taftazani, 1979: 72).

Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi

(w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).

Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada

abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al- Ghazali

menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki

kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah

konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan

berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkan-nya dipandang oleh para

fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan aturan syari’at. Konflik ini terus

berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi

keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-

7 H .

Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia

tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis

atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang

memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek

amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.

Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung

menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan

ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf

sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi

(385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan

alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf

13 Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 57-58

21

Page 26: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131),

al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.

Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap

kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi secara umum tasawuf

pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang

kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2)

masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada

aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi

penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3

sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf

al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara

Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya

dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah

Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).

Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme

sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme

yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk- bentuk kelembagaan termasuk

tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada

persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah.

Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan

harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa

sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk

“protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.

Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal

yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang

mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara

garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah,

yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan

disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar

abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana

formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan;

(3) taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang

melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).

Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan

hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk

menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat disejajarkan sebagai

22

Page 27: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam

bidang pemikiran kalam dan fikih.

Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok

spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang

disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri dari

ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok grave terdiri dari ulama-ulama

muhaddits dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderungan spiritual

yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita

katakan seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin

sekaligus juga ulama sufiyah.

Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam

sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk

hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam

kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah

kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-

Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi,

sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya.

Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan

pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur

terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika

itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih

dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak perkembangannya

pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang

melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti

kita dapat simak dalam karya sastra “cerita seribu satu malam” di masa kejayaan

kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang

tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan

berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang

disebut ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim

dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam

menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan pribadi dan

masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad—dengan munculnya disiplin ilmu

Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran ulama

muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang

23

Page 28: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha joke disebut ahli syari’ah dan para ulama tasawuf

disebut ahli haqiqah.

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan

non-formal yang namanya “tarekat” asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai

Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah,

Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat

adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya

koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama

Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah. Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir

menempatkan pembinaan dan koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen

Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun

keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari potensi bangsa/umat,

yang berhak mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan

kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan

gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan

gerakan syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah

(tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya

menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair,

Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah

yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa’i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair

kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan

menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus

dan meluas.

Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas

di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang juga

perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi

mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi

berhasil menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis

Italia, Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan wilayah

Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai

Mu’ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai

Kepala Negara tersebut.

24

Page 29: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR YANG

MELATARBELAKANGINYA

Sejarah perkembangan Tasawuf Sebagaimana telah kami kemukakan didepan bahwa

istilah tasawuf tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Tetapi yg dikenal adl

zuhud dan wara` . Istilah sufi pertama kali digunakan yaitu kepada Abu Hasyim Al Kufi dan ia

orang yg pertama kali membangun tempat ibadah khusus bagi sufi di Ramlah wilayah Syam .

Meskipun demikian orang sufi selalu menisbatkan tasawuf kepada Nabi SAW melewati Ali

dilanjutkan oleh Hasan Al-Basri dst.

Sederetan nama sahabat yg menjadi rujukan ahli tasawuf ; Abu Bakar As-Shidiq Umar

bin Khattab Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib Salman Al Farisi Abu Dzar Al Ghifari Miqdad bin

Al Aswaddll. Kemudian pada masa tabiin terkenal nama Hasan Al Basri dan Sofyan Al-Tsauri .

Baru kemudian murid-murid Abdul Wahid bin Yazid pengikut Hasan Al Basri membangun

tempat khusus utk warga sufi disebut duwairah demikian pendapat Ibnu Taimiyah.

Pada abad kedua dikenal nama-nama Ibrahim bin Adham Al Balakhi dan Rabiah Al

Adawiyah . Ciri menonjol pada pengikut Hasan Al Basri adl rasa takut yg berlebih kepada Allah

selain zuhud dan banyak ibadah sementara pada Rabiah Al Adawiyah lbh menonjol rasa

muhabbah kepada Allah SWT. Sementara para ulama menyebutkan perlunya keseimbangan

agar tidak menyimpang kata mereka “Barang siapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa

muhabbah saja dia menjadi zindik barangsiapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa takut

maka dia menjadi khawariij dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn harapan maka dia

menjadi murjiah dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn cinta rasa takut dan harapan

maka ia mukmin sejati”.

Pada abad ketiga tasawuf semakin solid dan berkembang dgn tokoh sentral Abu

Sulaiman Addaaroony Ahmad Al Hawary Abul Faidh Zunnun Al Misri Bisyir Al Hafi Abu Bakar

Al-Syibli Al Haris Al Muhasibi Assirri Assiqthi Abul Yazid Al Busthami Al-Junaid dan Al Hallaj.

Pada masa ini dan sesudahnya tasawuf berkembang menjadi kelompok-kelompok yg

ditokohi oleh seorang syaikh. Seperti diungkap oleh Al Hajwairi ” Pada masa itu lahirlah tarekat-

tarekat sufi berjumlah duabelas dan masing-masing menisbatkan dirinya kepada seorang

syaikh dari syaikh-syaikh abad tiga dan empat”.

Pada abad keempat tasawuf lbh berkembang lagi sehingga mereka menyebutkan

dirinya sebagai ahli hakekat/ bathin sementara ulama lain terutama ulama fiqh disebut sebagai

ahli dhohir. Pada masa inilah trend sufi ditetapkan mempunyai empat tahapan atau empat ilmu ;

Ilmu syariah

Ilmu Tariqoh

Ilmu Hakekat

Ilmu Ma`rifat

25

Page 30: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Pada abad kelima dan seterusnya tasawuf sangat dipengaruhi oleh paham syiah dan filsafat.

Ajaran Sufi Ajaran sufi mengandung usaha mujahadah dan riyadhoh dimana seorang

salik harus melewati maqomat dan ahwaal. Maqomat menurut Assarraj Aththusi dalam kitab

Alluma` yaitu kondisi ketaatan seorang hamba dihadapan Allah .Maka dia menyebut maqom

berupa taubat wara` zuhud . Kemudian salik akan mendapatkan ahwaal yaitu kondisi hati yg

bersih krn banyak berdzikir berupa muroqobah tenang menyaksikan kebesaran Allah yakin dll.

Ajaran sufi yg paling banyak ditentang adl konsep hulul yg dicetuskan oleh Abu Yazid

Al Busthami dimana Allah masuk kedalam diri seorang sufi sehingga dia mengucapkan

syatahat yaitu ungkapan-ungkapan irrasional yg tidak bisa dipahami layaknya orang gila. Hal itu

ditentang oleh para ulama krn dianggap bertentangan dgn aqidah Islam dan ajaran seperti itu

tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Konsep kedua yg ditentang adl wihdatul

wujud menyatu dgn Allah SWT. Konsep ini dicetuskan oleh Al Hallaj yg ditentang oleh ulama-

ulama dimasanya kemudian dia diajukan kepengadilan krn tidak mau bertaubat akhirnya

dihukum mati.

26

Page 31: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT

A. Persamaannya

Tasawuf ialah penyucian “hati” dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa

produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya.

Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan “hati”-nya dan

menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan

yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.

“Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan cara, yakni metode khusus yang dipakai

oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.14

B. Perbedaannya

Tasawuf adalah Ilmu dalam Islam yang mempelajari tentang hati atau disebut

juga syari`ah bathiniah. Ilmu ini dikenal juga dengan Ilmu Siir. Ilmu ini dipelajari untuk

menyelaraskan Ilmu Tauhid (Iman) dan Ilmu Syari`ah (Amal), dengan tujuan akhir

menjadikan seorang muslim menjadi hamba yang muqarrabun (dekat dengan Allah).

Sedangkan Ilmu yang dipelajari dalam tarekat disebut ilmu Tasawuf. Seorang yang

menjalankan Tasawuf disebut Sufi. Dalam menjalankan Tasawuf, dalam sebuah tarekat

ada seorang pembimbing (guru) disebut Mursyid. Dan murid-muridnya disebut Salik (orang

yang berjalan).15

C. Hubungan antara Tasawuf dan Tarekat

Tarekat merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf, yang mana dengannya

seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan

menggantikannya dengan sifat-sifat akhlak yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi

Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakekat amalan-amalan

salih di dalam Agama Islam. Tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan.

Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan, Ilmu batin, (tasawuf).

Perkataan Tarekat (“jalan” bertasawuf yang bersifat praktis).Tarekat tidak

membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya.

Pengalaman tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan

syari`at Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual

maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan mengerjakan amalan yang

bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah.

Dengan demikian, tampaklah hubungan yang erat antara tasawuf dan tarekat,

bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu

dengan yang lain. “Tasawuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu

tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawuf. Dan

14 Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana, hal. 8

15 Prof. Dr. Harun Nasution, Op. Cit.

27

Page 32: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang

menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf

secara bersama-sama”16

D. Macam-Macam Tarekat

1. Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi

Al-Uwaisi Al-Bukhari (w.1389M) di Turkistan.Tarekat ini merupakan salah satu tarekat

sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim

(meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan

wilayah Volga Ural. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya

syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap

musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya

semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).

Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari

asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah

penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:

Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”.

sewaktu berjalan. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”.

Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Yad kard: “ingat”, “menyebut”.

Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah),

atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan

lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas

berjama`ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di

dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. Baz gasyt: “kembali”,

”memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang

menyimpang (melantur), Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan

terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid. Yad dasyt: “mengingat kembali”.

Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi: Wuquf-i zamani:

“memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir

seseorang”. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”.

Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah

dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha

illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih

langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan

dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi,

16 Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid

28

Page 33: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

“tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang

lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan

lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain.

Dzikir dapat dilakukan baik secara berjema`ah maupun sendiri-sendiri. Banyak

penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi

mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam

pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjema`ah. Di banyak tempat

pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam

Selasa, di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang

waktu yang lebih lama lagi.

Adapun ciri khas dari tarekat Naqsyabandiyah adalah mengutamakan Jazbah

Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syekh yang sempurna akan

terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat dimana Zauq

dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta

memperoleh ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan

Jazbah disebut sebagai Majzub.

Dalam Tarekat Naqsyabandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan

derajat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syekh dan Tawajjuh Syekh.

Bersahabat dengan Syekh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat

berdampingan dengan Baginda Nabi Muhammad SAW. Murid hendaklah bersahabat

dengan Syekh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan

Syekh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga

peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam tarekat ini

adalah sebagaimana para sahabat menghadiri majelis Baginda Nabi Muhammad

SAW.

Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat Baginda Nabi

Muhammad SAW dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya

sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang

tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam

majelis Naqsyabandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan

dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang akan diperoleh setelah begitu lama

menuruti jalan-jalan tarekat yang lain. Kerana itu para Akabirin Naqsyabandiyah

mengatakan bahwa, “Thariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Thariqat Para

Sahabat”. Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum

Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.”, maksudnya, “Dalam Thariqat kami siapapun

pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Thariqat kami

pasti tidak akan dapat datang.”

29

Page 34: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Di dalam tarekat Naqsyahbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa

berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci dimana di sisi Para Sahabat dikenali

sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah disebut Musyahadah, Syuhud, Yad

Dasyat atau ‘Ainul Yaqin, maksudnya ia merupakan hakikat: “Bahwa engkau

menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”

2. Tarekat Qodiriyah

Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin

Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qodiriyah

berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim

yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia.

Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi, ini

adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Tarekat Qodiriyah ini

dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak

mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak

melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak

pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai

derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi

walinya untuk seterusnya.”

Tarekat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati

dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarekatnya

ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan. Ada anggapan membaca Manaqib

Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan

kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatera. Adapun

asas-asas dalam tarekat Qodiriyah ialah bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita,

membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan memperbaiki khidmat kepada Allah

SWT. Sedangkan wirid dan zikir yang dilafalkan ialah “Lailahaillallahu” dengan berdiri

sambil bersenam, mengepalkan tangan ke samping, ke depan, ke muka dengan badan

yang sigap, dan putus ingatan dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah SWT.

30

Page 35: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM

Telah disebutkan pada pembahasan di muka, bahwa ajaran Akhlaq dan Tasawuf

terdapat dalam sendi ajaran Ihsan, maka tasawuf itu sendiri merupakan pengamalan hamba

yang melahirkan kebajikan rohani, untuk mendapatkan ma’rifah kepada Allah SWT.

Mengenai kedudukan Tasawuf dalam Islam, terdapat beberapa pendapat yang

mengatakan, bahwa hal itu tidak termasuk bagian integral dari ajaran Islam, dengan

mengemukakan argumentasi sebagai berikut:

1. Tidak terdapat satupun kata Tasawuf dan Sufi dalam Al-Qur’an maupun Hadith;

2. Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan oleh Sufi, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an

dan Hadith;

3. Timbulnya istilah Tasawuf dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal pada abad

ketiga Hijriyah;

4. Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik yang telah

diamalkan oleh umat terdahulu.

Penulis tidak sependapat dengan keterangan di muka, dan tetap menganggap bahwa

Tasawuf merupakan bagian dari ajaran Islam, yang sama dengan kedudukan akhlaq, meskipun

dari sisi lain ada perbedaannya.

Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan

rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat

sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal”

(amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang

utama.

Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata

Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan

ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf

memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah,

dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari

pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-

Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan

pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”.

Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya

dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada

bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih

tergolong ajaran Akhlaq.

Dan kalau dikatakan lagi, bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari

ajaran Mistik umat terdahulu, penulis memandang bahwa kemiripannya tidak berarti bahwa

31

Page 36: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Tasawuf dalam Islam adalah Mistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat

terdahulu masih dipertahankan oleh Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan, jual-

beli, sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya.

Untuk melihat hal ini, perlu kita memperhatikan watak ajaran Islam yang berfungsi

untuk melestarikan ajaran maupun tradisi umat terdahulu, meskipun kadang-kadang masih

dilakukan penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam yang

menggunakannya.

Kemudian watak ajaran Islam yang lain, adalah menggantikan ajaran umat terdahulu

dengan ajaran yang baru, kalau ajaran atau tradisi itu sangat berbahaya terhadap martabat

manusia, merusak kesehatannya, serta mengganggu tatanan masyarakatnya; misalnya

larangan berzina, minum khamar, mencuri dan sebagainya.

Lalu watak ajaran Islam yang lain lagi, adalah menciptakan suatu ajaran baru, yang

sebenarnya tidak pernah ada pada umat terdahulu, dan hal itu merupakan kesempurnaan

ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran agama yang mendahuluinya. Maka tidaklah berarti

bahwa ajaran Tasawuf yang mempunyai tradisi sama dengan tradisi mistik, sehingga dianggap

bukan ajaran Islam.

Memang kalau ajaran Tasawuf itu hanya dilihat dari metodenya, yang sering disebut

suluk, tentu tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, karena hal itu

merupakan penetapan ulama Tasawuf, yang barangkali dapat disamakan dengan hasil ijtihad

Fuqaha dalam bidang hukum. Tentu saja hasil ijtihad itu juga tidak ditemukan teksnya secara

nyata dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, namun bukan berarti bahwa hal itu berada di luar

ajaran Islam.

Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara

peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa

ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi17:

Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Q. S. At-Tiin: 4-

5.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir

yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Q. S. Al-

Ahzab: 41-42.

Artinya: Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat

melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu

Hurairah.

17 Departemen Agama R.I., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. PT. Syaamil.

32

Page 37: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-

baik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya

kepada tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka.

Dan untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang

disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam

ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udhkurullah Dhikran Katsira”… Sehingga Salik (peserta

suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin

terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba

kepada Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).

Keterangan inilah yang memberikan gambaran, bahwa ajaran Tasawuf termasuk ajaran

Islam,yang tercakup dalam sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memperkuat pengamalan sendi

Aqidah (Keimanan) dan sendi Shari’ah. Maka sering kita jumpai pembagian Tasawuf menjadi

tiga macam, yaitu:

1. Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-

masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap

Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan

kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk

mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk

mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan

Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak.

Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya.

Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah,

yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir

tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid)

bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).

2. Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia

ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia

Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-

Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya.

Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama;

b. Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua;

c. Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-

Khawas), sebagai tingkatan ketiga.

Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya,

maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan

ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).

33

Page 38: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah

atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi

Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan

oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering

mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya

menjadi empat tingkatan:

a. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan

najis;

b. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan

dosa;

c. Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela;

d. Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan

menyembah sesuatu di luar Allah SWT.

Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang

sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin,

sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.

3. Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang

akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di

dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:

a. Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang

buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik;

b. Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan

mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;

c. Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang

menimpanya.

d. Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT.

Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan;

e. Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat

menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan.

Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi

pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu

hingga menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan

ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk

lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka

hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq

34

Page 39: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya sama-

sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan).

Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya, maka dapat

menghasilkan Tasawuf Aqidah, Tasawuf Ibadah dan Tasawuf Akhlaqi. Tetapi bila ditinjau

dari sisi corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal

itu bisa menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.

Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang

digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga

kadang-kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf

Falsafi, ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh

Filsafat Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang

hampir sama dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan

untuk mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul” (larutnya sifat ketuhanan ke

dalam sifat kemanusiaan), “Al-Ittihad” (leburnya sifat hamba dengan sifat Allah), “Wihdatu

al-Wujud” (menyatunya hamba dengan Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang

dimaksudkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain,

kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama

Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan

Salafi, padahal sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam.

Hanya saja, barangkali ada tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat

pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah

dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah. Tentu

saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang dilaluinya,

sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf.

Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Tasawuf berada pada sendi

Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan

sendi Syari’ah.

35

Page 40: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

TASAWUF DI INDONESIA

Melihat perkembangan Islam di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia dan lainnya

sepuluh tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf

di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau kita memperhatikan

laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai

perkembangan tasawuf itu, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman

masyarakat yang beralih ke cara Sufistik.

Demikian yang sedang merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi

karena makin banyak santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara

historis, aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan

kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi menganggap

sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di luar Islam.

Sesederhana apa pun, aktivitas ketasawufan di perkotaan bisa dianggap sebagai kebangkitan

tasawuf. Itu karena masyarakat jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya mengejar legalisme dan

formalisme. Ketakinginan hidup dalam kehampaan spiritual, kehilangan visi keilahian, dan

kerusakan moralitas juga turut mendorong kebangkitan tasawuf di perkotaan. Namun, segala

sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali

tasawuf muncul di dunia Islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi

tabi’in diperiode Umayah. Ketika materialisme melanda kaum muslimin di masa tabi’in, maka

munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain

sebagainya.

Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis

melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan

majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham,

AA Gym, Ary Ginanjar, Amin Syukur dan masih banyak nama lain pengusung tasawuf. Semua

itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.

Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa mereka yang meminati tasawuf sekarang ini masih

baru dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian

mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa

memberi solusi yang mereka cari selama ini.

Jangankan kita umat Islam, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk

ke wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena

pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya melayang-layang saja

dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.

36

Page 41: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Sebenarnya pertama Islam masuk ke wilayah Melayu (Indonesia-Malysia) sudah

bernuansa sufistik. atau dengan kata lain: Islam tasawuflah yang mula-mula berkembang dan

mewarnai Islam di Indonesia-Malaysia pada tahap-tahap awal. Hampir mayoritas sejarawan

dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di

negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf. Hal itu

disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang.

Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak

mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.

Itulah sebabnya “misionarisasi” yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran.

Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat

dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan

dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat

kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.

Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi

menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat

berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi

kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak

bertentangan dengan dasar-dasar Islam.

Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil

membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya,

mengalihkan kebiasaan “begadang” penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat

itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik

tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling

digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran

yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan

AsiaTenggara.18

Adapun kemunculan tasawuf yang dimotori oleh gerakan-gerakan tarekat yang ditandai

dengan kemenyendirian para pengikut di beberapa pedesaan. Secara historis, itu berkaitan

dengan politik isolasi yang dilakukan penjajah. Tindakan tersebut mendorong para pengikut

tarekat menarik diri dari kehidupan perkotaan, menyingkir ke gunung-gunung, dan akhirnya

mendirikan padepokan-padepokan atau pesantren-pesantren di tempat-tempat sunyi. Mereka

melepaskan diri dari kehidupan politik, sosial, dan budaya perkotaan.

Kini, setelah kehidupan kian modern, rupa-rupanya terjadi perubahan yang mencolok.

Sebagaimana pesantren-pesantren yang menyerbu perkotaan, tarekat tasawuf pun makin

memosisikan diri sebagai bagian kehidupan perkotaan. Namun ada perbedaan paradigma

18 Drs. Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawuf, Solo,Ramadhani, hal. 13

37

Page 42: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

antara tasawuf pedesaan dan perkotaan, bahwa tasawuf di pedesaan lebih menekankan

kepada amaliyah, sedangkan tasawuf di perkotaan lebih mengarah kepada penghayatan nilai-

nilai agama. Ia lebih tampil sebagai aktivitas yang berkaitan dengan penghilangan penyakit-

penyakit hati dan refleksinya bermuara kepada moralitas

Perlu diketahui bahwa tasawuf adalah bagian terpenting dalam Islam, umpama ruh bagi

jasad atau jantung bagi anggota tubuh lain. Maka jika tasawuf dipisahkan dari sisi amal atau

keyakinan yang sahih, jelas akan menjadi sebuah kemusyrikan, kekafiran dan bid,ah sesat.

Kemudian, misi yang dibawa Rasulullah Saw seara garis besar ada tiga unsur:

Ta’lim, Pengajaran Ilmu Pengetahuan.19

Tadzkirah atau mauidzah, pemberi peringatan dalam bentuk ceramah keagamaan.

Tazkiyah atau tarbiyah, bimbingan dan keteladanan (Qudwah). Ketiga misi ini telah menjadi ciri

utama dai dan ulama Islam terdahulu yang tidak terpisahkan, setiap mereka adalah seorang

guru, penceramah dan pembimbing. Meskipun secara prioritas mereka memilih menekuni salah

satu bidang tertentu, namun kapabilitas mereka dalam ketiga unsur ini tidak diragukan.

Seorang yang pandai ilmu pengetahuan (alim) boleh jadi tidak pandai ceramah dan

tarbiyah, namun seorang penceramah (mudzakir) harus alim meskipun bukan seorang murobi.

Adapun seorang murobi wajib alim di samping juga harus seorang mudzakir. Jadi tasawuf

dalam posisi ini adalah sebagai tazkiyah, yang pelakunya harus memenuhi dua syarat di atas,

sebagai orang alim dalam ilmu keIslaman dan mudzakir yang pandai membangun komunkasi

dakwah kepada seluruh masyarakat.

Namun realitanya, para dai dan ulama sekarang belum memenuhi syarat untuk

menciptakan masyarakat yang membangun, baru sampai ke taraf membangun masyarakat.

Para murobi yang tampil mengusung tasawuf bukanlah dari mereka yang telah mencapai

puncak kecerdasan intelekual, emosional juga spiritual atau kesusksesan ilmu pengetahuan,

penguasaan retorika dan suri teladan. Akan tetapi mereka masih mentah dalam bidangnya,

mereka meminati tasawuf masih dalam kerangka defensif. Karena mereka memasuki tasawuf

dimulai dari kegalauan dalam menjalani realitas kehidupan, kemudian menemukan dan merasa

cocok dengan tasawuf yang dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini, bukan dari

proses tarbiyah intensif di tangan seorang murobi yang mempunyai otoritas dari pendahulunya

sehingga mata rantai itu sampai kepada Rasulullah SAW.

Jadi bangsa ini memerlukan tasawuf bukan sebagai ajaran (pemikiran) dan wejangan

belaka, akan tetapi lebih memerlukan kepada sosok pribadi sebagai suri teladan akhlak dan

qudwah dalam nilai-nilai spiritual Islam.

Bangsa ini butuh pemimpin besar. seorang yang mampu berfikir, merasa, dan cita

rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Karenanya

19 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, hlm. 360

38

Page 43: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia

menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.

Seorang besar yang setelah menguasai ilmu pengetahuan dan retorika, ia juga punya

ghiroh (semangat) tasawuf yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti

korupsi, maksiat dan lain sebagainya.

Karena korupsi dan segala bentuk maksiat di Indonesia sudah menjadi konsep dan

budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu!. Nah ini

harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk masyarakat

kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang demokratisasi. Seperti pilkada, tidak

melahirkan banyak manfaat, karena orang masih bisa dibayar, tetapi keteladanan pemimpin itu

sangat efektif. Dan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.

Kiranya untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat

memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era

sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselamatan dan keuntungan materi, lebih dari itu

sebuah pendekatan sufistik yang dapat menciptakan masyarakat yang mampu membangun

masa depan.

39

Page 44: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN

Ulama sufi memandang alam semesta sebagai makrokosmis sama dengan

mikrokosmis. Manusia adalah dunia miniatur mikrokosmos yang merupakan cerminan

makrokosmos, hukum alam mengatur seluruh manusia sehingga perbedaan antara ruh dan

materi terhapus karena pada level sub-atom materi adalah kegelapan yang tidak mempunyai

keberadaan nyata 20. Kenyataannya memang sesuatu yang besar itu (makrokosmis) tersusun

dari segala sesuatu yang kecil-kecil (mikrokosmis) yang membentuk suatu ikatan makro dan

saling terkait. Para sufi dalam memahami hal tersebut melalui suatu pengalaman mistis

“penyaksian” yang dalam bahasa mereka sebut sebagai “musyahadah” atau “ma’rifat”, seperti

yang mereka katakan, yaitu barangsiapa ma’rifat ( terhadap ) Allah Subhaanahu Wa Ta’ala

akan dikokohkan oleh keabadian dan dunia seisinya terasa sempit 21.

Perkembangan ilmu fisika modern selaras dengan pemikiran kaum sufi. Awal abad

kedua puluh, fisika modern telah banyak dan begitu cepat mempengaruhi kehidupan manusia.

Terutama dalam fisika atom yang dengan cepat banyak berdiri industri yang menggunakan

dasar teori atom tersebut, sehingga alam semesta beserta isi dan segala fenomena yang ada di

dalamnya mengenai struktur kosmologis dapat dipandang melalui teori fisika dan tasawuf.

Terdapat titik-titik kesejajaran ketika memasuki dimensi dunia mistik religius dan fisika modern

dalam memandang alam semesta.

Pengaruh perkembangan fisika modern tersebut juga menyentuh dalam pola pikir dan

kebudayaan manusia. Perkembangan fisika modern tidak lepas dari perbaikan / revisi secara

radikal terhadap fisika klasik (Newtonian) terutama pada bidang materi, ruang dan waktu, serta

sebab akibat (kausalitas) yang menuju ke arah pemikiran yang bersifat mistis (abstrak),

sehingga memunculkan metafisika.

Werner Heisenberg mengungkapkan seperti yang dikutip oleh Frtjof Capra dalam Tao

of Physics, sebagai berikut :

Konstribusi ilmiah yang terbesar dalam fisika teoritis berasal dari Jepang sejak perang berakhir

merupakan suatu indikasi dari bertemunya hubungan khusus antara ide-ide filsafat dalam tradisi

Timur Jauh dan substansi filsafat dari teori quantum 22.

Keparalelan antara pemikiran dalam tasawuf dengan fisika modern yang

menyebabkan adanya titik temu dan hubungan terjadi karena tasawuf didasarkan pada

pemahaman langsung ke dalam alam realitas, sementara fisika didasarkan atas observasi

terhadap fenomena-fenomena alam dan eksperimen-eksperimen ilmiah yang diinterpretasikan

dan dikomunikasikan lewat kata-kata, dimana kata-kata tersebut terlampau abstrak ketika

20 Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, hlm. 156 – 157 21 Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, hlm. 392

22 Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 5

40

Page 45: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

berdekatan dengan realitas yang menyebabkan kesadaran akan fakta inilah yang menjadi titik

temu antara fisika modern dan sufi23.

Nilai-nilai tasawuf yang mewarnai fisika modern yang ingin penulis ungkapkan dalam

hal ini berhubungan dengan alam semesta terutama mengenai ruang dan waktu serta

penyatuan dalam keberagaman sehingga dapat memperlihatkan bahwa dalam perkembangan

fisika modern tidak terlepas dari etika-etika agama. Kita menyadari bahwa perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah membawa kepada pemikiran manusia seolah-olah

dialah penguasa alam semesta karena dengan ilmunya manusia dapat mengendalikan alam

lingkungannya dan berbuat semaunya untuk menguasai orang lain.

Tasawuf yang menekankan pada aspek pensucian hawa nafsu yang bertujuan untuk

mengenal dan mencintai sang pencipta dan penguasa alam semesta, sebenarnya banyak

sekali nilai-nilainya yang terkandung dalam fisika modern, sebagaimana yang telah dikatakan di

atas mengenai materi dalam level subatom atau dunia mikrokosmos, walaupun para fisikawan

barat dalam memahaminya bersentuhan dengan mistis diluar Islam (Hindu, Budha, Zen, Tao

dan lain-lain), maka penulis mencoba untuk mengungkapkannya melalui pemikiran-pemikiran

Islam (tasawuf) misalnya fana’, baqa’, Jam’u dan lain-lain. Hal ini diharapkan dapat membuka

wawasan terhadap pencinta fisika terutama muslimin dan muslimah agar dalam

mempelajarinya tidak sebatas pada keilmuannya, tetapi lebih jauh dari itu untuk lebih mengenal

dan mendekatkan diri pada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu penulis mencoba

untuk mengungkapkan keparalelan tasawuf dan fisika modern dalam “Nilai-Nilai Tasawuf Dalam

Perkembangan Fisika Modern”.

Segala ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam Al-Qur’an, meskipun secara

garis besarnya saja, yang rinciannya dapat ditemukan pada Sunnah Rasul bagi ilmu

keakheratan dan dalam alam semesta bagi ilmu keduniaan. Wajib bagi setiap muslim dan

muslimah untuk mencari dan memperdalam ilmu sesuai dengan bidang dan kemampuannya

agar dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Seorang muslim atau

muslimah tidak boleh hanya mengutamakan ilmu keakheratan saja atau ilmu keduniaan saja,

keduanya harus ada pada diri ummat Islam walaupun proporsinya tidak seimbang atau

dominasi salah satunya.

Al-Qur’an secara global telah banyak membicarakan tentang ilmu pengetahuan alam

dan teknologi, maka untuk mengetahui secara pastinya kita harus memiliki ilmu kealaman

melalui pemahaman dan pengertian tentang alam semesta beserta sifat dan fenomenanya.

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah lapangan kegiatan yang terus menerus dikembangkan

karena mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia.

Allah Subhaanahu Wa Ta'ala memberikan akal pada manusia agar dengan akal ini manusia

bekerja dengan giat memikirkan secara serius dan mendalam tentang segala sesuatu dan

23 Ibid, hlm. 3

41

Page 46: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

segala peristiwa dalam jagad (universum) ini baik dengan metoda induksi maupun deduksi

sehingga dicapai hakekat-hakekat yang lebih tinggi untuk kemudian ditingkatkan lagi sehingga

manusia dengan akalnya itu dapat mengenal kebenaran yang tertinggi yaitu Allah Rabbul

‘Alamien.

Alam semesta yang diciptakan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala adalah sebuah

laboratorium yang maha lengkap yang penuh berisi pertanda ke-Mahaan Allah Subhaanahu Wa

Ta'ala yang telah merancang, mencipta, memelihara dan kelak mengambilnya kembali.

Laboratorium yang maha lengkap ini tidak akan berfungsi dan tidak akan menjadi dinamis bagi

kehidupan manusia apabila manusia tidak mau merenungi dan memikirkan untuk mengolahnya.

Manusia sebagai penggali dan pencari ilmu pengetahuan tidak cukup hanya dengan membaca

saja tanpa berfikir. Dalam Al-Qur’an, manusia didorong untuk menggunakan akalnya dan

banyak berfikir.

Manusia mencari ilmu pengetahuan kebanyakan berangkat dari hasil rangsangan-

rangsangan yang ditangkap oleh indera lahiriah, dan setelah sampai di otak diurai menurut ilmu

pengetahuan yang ada padanya kemudian dalam beberapa hal akan tiba pada titik

ketidakmampuan otak untuk mengurai, karena rasionya sudah tidak dapat menjangkau lagi

atau bukan lagi menjadi medan rasio. Namun demikian ilmu pengetahuan kealaman dalam hal

mencari hakikat haruslah berangkat dengan keyakinan yang mantap terlebih dahulu, yakin

bahwa manusia memiliki kemampuan terbatas serta sadar bahwa rasio manusia begaimanapun

tingginya dan besar nilainya hanya sekedar pelengkap saja untuk mencapai hakikat.

Keterbatasan akal atau rasio menunjukkan bahwa apa yang tidak rasional belum tentu tidak

benar, kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an hingga kini dapat dikaji di dalam ilmu fisika, astronomi,

dan kosmologi.

Fisika adalah ilmu yang mempelajari struktur dasar dan proses perubahan yang

terjadi pada materi dan energi dan juga menyelidiki fenomena terutama yang diamati dari

benda-benda tak bernyawa. Al-Qur’an menaruh perhatian sangat besar kepada ilmu tersebut

seperti nampak dalam uraiannya tentang alam Ilahi yang amat menakjubkan, seperti sifat-sifat

ruang dan waktu, materi serta gerakannya.

42

Page 47: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

TASAWUF DAN ETOS KERJA24

Menghindari pebuatan dosa itu dimaksudkan supaya orang dalam bekerja tidak

mengerjakan pekerjaan yang haram, seperti mencuri, merampok, korupsi, penyelundupan uang

dan sejenisnya. Karena semua orang harus bekerja dan mencari rizki dengan mengerjakan

pekerjaan yang halal

Begitu pula Zuhud. Zuhud berarti hidup sederhana, maksudnya setiap orang harus

hidup scara wajar sesuai dengan keperluannya. Jadi, tidak boleh boros, menghambur-

hamburkan harta yang dimiliki atau menggunakan hartanya untuk berbuat maksiat.

Dengan demikian, Zuhud tidak berarti tidak perlu kerja keras mencari uang. Bekerja

keras itu boleh, malah wajib kalu diniatkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan

keluarga. Tetapi setelah uang itu diperoleh tidak boleh dihamburkan atau membuat lupa pada

Tuhan, seperti tidak mengeluarkan zakat atau meninggalkan shalat dengan alas an sibuk

bekerja.

Kemudian Qanaah. Ini berarti merasa cukup. Harta yang diperoleh diusahakan cukup

untuk memenuhi keperluan hidup, walau sebenarnya pendapatannya kecil. Belanjaanya tidak

melebihi pendapatanya jangan sampai lebih besar pasak dari pada tiang.

Kalau orang hidup yang berpegang kepada pribahasa lebih besar pasak dari pada

tiang, maka akan timbul banyak kesulitan yang merepotkan diri sendiri. Misalnya berhutang

atau meminta uang pada orang lain atau bahkan mencuri, korupsi dan perbuatan tercela

lainnya untuk memenuhi keperluan hidup.

Jadi, Qanaah tidak berarti tidak perlu bekerja keras mencari uang. Orang boleh saja

bekerja keras tetapi berapapun hasilnya diusahakan cukup agar tidak timbul efek samping yang

negative. Siakp Qanaah dimaksudkan agar orang tidak mencari uang yang haram karena

pekerjaan halalnya tidak menghasilkan uang sebanyak yang diperlukan.

Lalu Faqr, yang berarti kemiskinan. Maksudnya manusia pada dasarnay miskin, tidak

mempunyai apa-apa. Kalau orang itu kaya, pada dasarnya harta yang dimilikinya adalah milik

Tuhanyang dititipkan kepadanya. Sebaliknya, kalau orang itu hidup miskin tidak boleh berkeluh

kesah sambil menyalahkan orang lain atau Tuhan.

Kalau mau menyalahkan lebih baik menyalahkan kepada diri sendiri. Sebab hidup

miskin mungkin disebabkan oleh kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Mungkin diri kita

bekerjanya belum sungguh-sungguh, tidak disiplin, atau pekerjaannya memerlukan

keterampilan khusus yang belum kita kuasai.

Artinya Faqr tidak berarti bahwa setiap orang sebaiknya hidup miskin, sehingga

seolah- olah tidak harus bekerja keras dalam mencari uang. Padahal setiap orang haruslah

bekerja keras, tetapi kalau hasilnya sedikit, tidak memenuhi keperluan hidup, sehingga terpaksa

hidup miskin, maka kenyatan itu harus diterima secara ikhlas sebagai takdir Tuhan yang tidak

24 Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 60-62

43

Page 48: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

bisa ditolak. Karena mungkin Tuhan memang sudah mentakdirkan sebagai seorang yang hidup

miskin dan mungkin Tuhan menyimpan satu keistimewaan kepadanya.

Dan takdir seperti ini harus diterima dengan ikhlas, karena tentu dibalik semua itu

pasti ada hikmahnya. Misalnya kalau orang miskin ini menjadi kaya mungkin saja dia akan lupa

kepada Tuhannya. Padahal kalau dia miskin mungkin sekali selalu beribadah dan berusah

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti cerita Tsalabah.

Tsa labah adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin. Dia rajin

beribadah bersama Nabi. Suatu ketika dia meminta nabi untuk mendoakannya kepada Allah

agar dia menjadi orang yang kaya. Lalu Nabi bertanya: apakah kamu siap menjadi orang kaya.

Karena nabi khawatir nanti setelah kaya Tsalabah akan lupa beribadah. Tsalabah pun

menyatakan siap. Kemudian Nabi berdoa, sehingga usaha Tsalabah berkembang pesat dan

menjadi orang kaya. Setelah kaya kekhawatiran Nabi menjadi kenyataan. Tsalabah sering

meninggalkan ibadah. Tuhanpun kemudian murka dan usaha Tsalabah merosot dan pada

akhirnya kembali menjadi orang miskin.

Dan kemudian tentang kebiasaan membaca Wirid, Zikir, dan Doa yang menghabiskan

waktu berjam-jam itu kita dapat menerapkan sistem pembacaan Wirid, Zikir, dan Doa secara

berkala seperti Thorikat Naqsabandiyah yang melakuka Wirid di seperempat malam pada

tanggal enam belas bulan komariyyah setiap bulannya.

Jadi, untuk masalah ini kita dapat mengaturnya supaya tidak berbenturan dengan

jadwal kerja, kita bisa melakukannya setiap libur kerja atau dikala waktu leggang dan waktu-

waktu yang sekiranya tidak berbarengan dengan waktu keraja kita.

Jadi jelaslah bahwa tasawuf tidak melemahkan etos kerja. Bahkan kalau diingat

bahwa tasawuf itu mendekati orang yang membersihkan dirinya dari perbuatan tercela atau

sebagai pagar pembatas diri terhadap perbuatan jahat (mazmumah). Lalu mengisinya dengan

perbuatan terpuji (mahmudah), maka dapat dikatakan bahwa tasawuf menimbulkan etos kerja

yang kuat. Karena di antara perbuatan terpuji itu adalah mencari nafkah untuk memenuhi

keperluan diri sendiri dan keluarga.

Itu berarti bahwa orang yang bertasawuf harus bekerja keras mencari nafkah. Jadi,

kalau ada orang mengaku bertasawuf, tetapi malas bekerja, maka tasawufnya keliru.

Dengan demikian, bila masih ada sikap malas, tidak disiplin, tidak mau kerja keras

dalam masyarakat Indonesia selayaknya tidak menyalahkan tasawuf, seperti kesan yang

berkembang selama ini. Faktor penyebab sikap negatif itu bukan tasawuf, tetapi harus dicari

faktor lain diluar tasawuf.

Pada dasarnya tasawuf itu baik dan benar, tetapi persepsi orang terhadapnya sering

keliru. Ini disebabkan oleh mentalitas masyarakat Indonesia yang sudah akibat sejarah yang

menyakitkan selama ini. Mentalitas masyarakat yang rusak menyebabkan persepsi terhadap

ajaran agama kadang-kadang keliru, seperti persepsi terhadap tasawuf.

44

Page 49: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

Karenanya, persepsi yang keliru itu harus dilacak pada kerusakan sikap mental

masyarakat mentalitas masyarakat Indonesia mulai rusak ketika mengalami penjajahan selama

ratusan tahun. Penjajahan ini menyebabkan masyarakat menderita lahir batin, seperti hidup

miskin, kecewa, frustrasi, setres, pesimistis, merasa masa depan suram, dan sebagainya. Hal

ini kemudian menghancurkan nilai-nilai yang dihayati dalam masyarakat. Misalnya hal yang

benar dianggap salah, orang baik dianggap pencuri, koruptor dianggap selebritis, hamil diluar

nikah dianggap keren, perselingkuhan dianggap pekerjaan dan banyak lainnya.

Setelah dijajah sekian lama, bangsa Indonesia bangkit melawan penjajah. Perjuangan

bangsa Indonesia membuahkan hasil dengan tercapainya kemerdekaan, tetapi perjuangan itu

memerlukan pengorbanan besar yang juga membawa penderitaan lahir batin. Dimuali dari

penjajahan bangsa lain hingga sistem pemerintahan yang dimulai dari masa orde baru hingga

masa reformasi yang memiliki problem masing-masing yang berimbas kepada penderitaan lahir

batin.

Penderitaa lahir batin yang dialami masyarakat Indonesia yang sangat lama akibat

penjajahan, revolusi keerdekaan, pergolakan, represi dan krisis yang berkepanjangan tidak

hanya merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat, tetapi juga merusak mentalitas dan

cara berfikir. Akibatnya nilai-nilai positif dari budaya dan agama sering diresepsikan secara

keliru.

Seperti tasawuf ini yang kebanyakan masyarakat Indonesia salah meresepsikannya.

Tasawuf yang sebenarnya mengandung etos kerja yang kuat dipersepsikan sebagai faktor yang

melemahkan etos kerja. Dan untuk memperbaiki persepsi yang keliru ini selain mentalitas

masyarakat yang perlu dibangun kembali kita juga perlu melakukan reinterpretasi terhadap

sikap-sikap dan ajaran tasawuf, seperti wara, zuhud, qanaah, faqr, dan lainnya.

Memang ada diantara Sufi atau pengikut tarekat yang bersikap eskapis, menjauhi

kehidupan dunia. Tetapi hal ini bukan ajaran tasawuf. Sufi atau pengikut tarekat bersikap

seperti ini karena terlalu berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Sebab dalam

mencari kehidupan dunia, orang sering bergelimang dosa. Misalnya memperoleh rizki dengan

cara yang haram atau syubhat. Sedangkan kehidupan para Sufi itu kaki kanan berjalan di atas

wajib kaki kiri berjalan di atas sunah.

Lagi pula menganggap tasawuf itu melemahkan etos kerja itu bertentangan dengan

ajaran dasar Islam yang mewajibkan manusia bekerja seperti yang telah disebutkan diawal

Tugas Mandiri ini. Padahal tasawuf sebagai bagian dari ajaran dasar agama Islam. Kalau

bertentangan dengan ajaran dasar Islam, maka berarti tasawuf itu keliru atau persepsi terhadap

tasawuf itu salah.

Dan menurut ajaran dasar Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhi

keperluan diri sendiri, keluarga dn umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran dasar Islam,

sehingga tasawuf tidak melemahkan etos kerja, tetapi malah sebaliknya yakni memperkuat etos

kerja itu sendiri.

45

Page 50: 72759172 Adi Sucipto Akhlak Tasawuf

DAFTAR PUSTAKA

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus

Departemen Agama R.I., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. PT. Syaamil.

Drs. Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawuf, Solo,Ramadhani

Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001

H. Husnan Malik SH. Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB

Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti

Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan

Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di Sajikan Untuk Mempelajari Lebih Dalam Tasawwuf. Jawa Timur

Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana

Utama alfaruqi, Belajar Tasawuf. www.utamaalfaruqi.blogspot.com.