72759172 adi sucipto akhlak tasawuf
TRANSCRIPT
TUGAS MANDIRI
URGENSI MEMAHAMI TASAWUF
Tugas Mandiri Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf
OLEH:
NAMA : ADI SUCIPTO
NPM : 0840962
PRODI : PBA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2011
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis
dapat menyelesaikan Tugas Mandiri ini dengan baik. Shalawat serta salam kepada junjungan
kita nabi besar Muhammad SAW berserta keluarga dan sahabatnya.
Kami mengharapkan semoga Tugas Mandiri ini bermanfaat bagi pembaca dan
merupakan bahan tambahan untuk belajar. Kami mengucapkan terima kasih Lepada teman-
teman yang selalu mendukung dalam proses penyusunan penyusunan Tugas Mandiri ini dan
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan Tugas Mandirii ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang berkaitan dalam
penyusunan paper ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan sarannya demi kesempurnaan
Tugas Mandiri.
Metro, November 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF......... 6
SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA................................................................. 9
PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 11
MAQAMAT dan AHWAL........................................................................................... 16
AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 21
AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR
YANG MELATARBELAKANGINYA.......................................................................... 25
ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT....................................................................... 27
KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM................................................................ 31
TASAWUF DI INDONESIA....................................................................................... 36
TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN................................................... 40
TASAWUF DAN ETOS KERJA................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang
kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan teologis akhlak
tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umar agar selamat dunia dan
akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW. Adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung
keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.
Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak da tasawwuf itu kemudian
menemukan momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai oleh
munculnya sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak.
Bersamaan dengan itu perkembangan teknologi di bidang alat-alat anti hamil,
makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya kesempatan
untuk membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-obatan terlarang yang
menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-tempat beredarnya obat terlarang
semakin canggih. Demikian juga sarana yang membawa orang lupa pada tuhan, dan
cenderung maksiat terbuka lebar di mana-mana. Semua in semakin enambah beban tugas
akhlak tasawuf.
Melihat demikian pentingnya akhlak tasawwuf dalam kehidupan ini tidaklah
mengherankan jika akhlak tasawwuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh
kita semua dikarenakan pentingnya tersebut.
Disadari bahwa masih banyak bidang akhlak tasawwuf yang dapat dikemukakan,
namun keterbatasan ilmu yang kami miliki kami mohon maaf jika mempunyai kesalahan
dalam pengumpulan data yang kami kumpulkan ini.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana untuk memahami tujuan dari akhlak dan tasawwuf?
- Apa saja faidah dari mempelajari akhlak tasawwuf ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu
pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Namun akar
kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim
mashdar dari kata akhlaqa bukan dari kata akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini
maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara Lingustik kata akhlak merupakan
isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata
tersebut memang sudah demikian adanya.
Secara bahasa akhlak berasal dari kata artinya اخلققق – يخلققق – اخلقققا perangai,
kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata khuluq.
انما بعثت ل تمم مكارم الخلقArtinya : bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi pekerti.
(HR. AHMAD)
Secara istilah akhlak berasal dari :
a) Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b) Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-
macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c) Ibrahim Anis dalam Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan
pemikiran dan pertimbangan.
d) Dalam kitab Dairatul Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik.
Dari atas tak ada perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan
yang lain. Definisi – definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling melengkapi,
B. Ruang Lingkup Akhlak
Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan
tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang
perbuatan – perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut
tergolong perbuatab yang baik atau perbuatan yang buruk.
Dengan mengemukakan beberapa literaratur tentang akhlak tersebut menunjukan
bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan
ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan lai-lain.
2
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah
perbuatan manusia. Dan selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau buruk.
Definisi dari ruang lingkup akhlak:
• Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk.
• Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.
• Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.
C. Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di
dunia dan di akhirat. Dikarekan itulah kita sebagai manusia untuk hidup saling membantu
baik dari pekerjaan, kebutuhan atau lainnya.
Tujuan mempelajari akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara
akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama dengan
dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah urusan akhirat
sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau ungkapan, ”Agama adalah
urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka jangan heran terhadap seseorang
yang beribadah, kemudian di lain waktu akhlaknya tidak benar. Ini merupakan kesalahan
fatal. Kita pun sering menjumpai orang-orang yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak
shalat. Ini juga keliru.1
D. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan
sebgaai berikut :
Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita
dapat menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian
perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat
zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk perbuatan
baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah
untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati
menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.2
Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria
perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang
baik dan perbuatan yang buruk.
Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan
mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki
IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu
1 Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di sajikan untuk mempelajari lebih dalam tasawwuf. Jawa timur2 Utama alfaruqi,Belajar Tasawuf. www.utamaalfaruqi.blogspot.com.
3
akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan,
namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan
yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.
Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang
akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha
menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan
yang dapat membahyakan dirinya.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan
untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan
yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya,
dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
E. Pengertian Tasawwuf
Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan
sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).
Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan
langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak
suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari
makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam IV-Halaman 151).
Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran
mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran
tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan
dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang
hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta
kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak
memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam :
a. Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir
b. kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain
c. Meninggalkan mengatur dan memilih
Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan
menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan
pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn
Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia
mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana
Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha benar).
4
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia
agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya.
F. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur
hubungan horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan
komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari
pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
Para ahli ilmu tasawwuf pada umumnya membagi tasawwuf kepada tiga bagian:
1) Tasawwuf falsafi
2) Tasawwuf akhlaki
3) Tasawwuf amali
Yang memiliki tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan perbatab yang
terpuji.
G. Tujuan Mempelajari Tasawwuf
Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas).
Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah.
Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-
Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.
Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya mengenal
Allah secara lebih dalam dan memahaminya dengan benar. Sama juga dengan kebersihan
diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh melanggar apapun yang telah al-qur`an berikan.
H. Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf
Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana yang
baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan ma’rifah Allah Yang Maha Mengetahui,
sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu, selamat dada
dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk.
Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan
terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan
mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.
5
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF
A. Persamaan Etika, Moral, dan Akhlak
1. Persamaan
• Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau
nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
• Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
1. Objek: yaitu perbuatan manusia
2. Ukuran: yaitu baik dan buruk
3. Tujuan: membentuk kepribadian manusia3
2. Perbedaan
1. Sumber atau acuan:
o Etika sumber acuannya adalah akal
o Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
o Akhlak bersumber dari wahyu
2. Sifat Pemikiran:
o Etika bersifat filososfis
o Moral bersifat empiris
o Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
3. Proses munculnya perbuatan:
o Etika muncul ketika ad aide
o Moral muncul karena pertimbangan suasana
o Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.4
B. Hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak
Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan dalam
perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan sampai
mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah. Makelar hukum
yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa berbagai status hukum
yang tak jelas duduk perkaranya.
Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu
sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi keluh-kesah
masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi
percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli
3 H. Husnan Malik SH. Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB4 Ibid
6
oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang sampai
sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku bertajuk “Etika dan
Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas”. Bertolak dari pemikirannya
Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada dasarnya merupakan “peta jalan”
menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau memetakan arah yang harus diambil
manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya.
Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta itu dibuat terlebih
dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah
tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum
selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia
menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243).
Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk dan
mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu dilakukan
manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan dan
kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada tiga
aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan akal
budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan aturan akal
budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum ilahi, yang
dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya.
Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua aspek pengaturan
ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum kodratnya adalah makhluq
politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan ketiga, yakni manusia harus
diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan dengan sesamanya.
Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian serius dari
Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya sendiri yang
berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar
kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia. Kedudukan yang
substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik;
kedua, manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah dimensi
transedental manusia sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat rasional,
sehingga manusia adalah makhluq yang “sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk
berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial, manusia mampu
untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom.
Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan manusia.
Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan
kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga setiap
7
substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat
kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa segala sesuatu yang
diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar
penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal
budi, maka manusia haruslah “sadar diri” dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan
“adar diri” ini, manusia akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan
inilah yang mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah
manusia dengan akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan
kehidupan.
Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan
keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan
hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang
bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan
manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni
kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk
menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang. Rasa
kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum.
Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan akal budianya
untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya sebagai “tuan” atas perbuatan yang
dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam
membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus
selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus
ditafsirkan secara kritis, sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan
mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan
yang mencerahkan dan membahagiakan.
Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa ditafsirkan
sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum.
Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan,
uang, dan jabatan.5
5 Ibid
8
SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA
Sebagai sejarahwan mengaitkan sejarah tashawuf dengan Imam Ja’far Al-Shadiq ibn
Muhammad Bagir ibn Ali’ Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam Ja’far, meski
amat dihormati dan dianggap sebagai guru keempat-empat para imam kaum Ahlusunnah-yakni
Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i dan ibn Hanbal-adalah imam kelima dari mazhab syi’ah Itsna
Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i
kemungkinan akibat kritik-kritik keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk
membela ahlul bait (keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi,
seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj.
Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami pasang surut. Lahir dan
berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke-2 H. lewat pribadi-pribadi seperti Hasan Al-
Bashri, Sufyan al-Tsauri al-Harits ibn Asad Al Muhasibi, B Yazid Al Bustami dan sebagainya.
Tasawuf tak pernah bebas dari kritikan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf
di dunia Islam dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahap6;.
1. Tahap Zuhud (Asketisme)
• Tahap awal perkembangan tasawuf ini menentang mulai akhir abad ke-1 H sampai
kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan
Bashrah, kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir.
• Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat perkembangannya:
• Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-
Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H) Salmah Al-Farisi (w.32 H). Abdullah ibn
Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (tabi’in)
termasuk diantaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah
(w.106 H).
2. Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)
• Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh
tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada aspek praktis (amali) berupa
penanaman akhlak belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis
(nazhari) dengan jalan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang
sebelumnya tidak dikenal ha; maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam maknanya yang khas
tasawuf), fana, hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200
H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid Al-
Baghdadi.
6 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
9
3. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)
• Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan
pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping
juga Al Qunawi, muridnya. Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al
Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan
(Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang
Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
4. Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya)
• Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya seperti Tarekat Junaidiyyah
yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa
inilah tarekat berkembang dengan pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah
yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran
sekarang). Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat
Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari
semua tarekat yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang
memiliki pengikut paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang sekarang
telah memiliki banyak variasi ini pada mulanya didirkan di Bukhara, Asia Tengah oleh
Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.
10
PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq
atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan
mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.7
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental
yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu
pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan
amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu,
menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu
sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan
akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang
sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah
satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain
adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan
diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan
agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek
luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan
adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada
Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,
maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –
yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu
dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa
7 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid
11
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-
Nya.8
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori
tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak
dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu
dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian
yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan
juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga
sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh
karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu,
mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide
ketuhanan.9
C. Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua
macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki
perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan
tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara
keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara
tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman
mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.10
D. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang
makna-makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang
terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua
aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan
aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling
utama, namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk
membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam,
yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan
egoisme.
8 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid9 Ibid10 Ibid
12
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase: pertama,
yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriah. Sikap
asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada
fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan
dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak
mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal
untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih
memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat
populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-
Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah
laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral
yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi
ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral,
akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai
amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang.
Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya.
Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf.
Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih
menekankan perilaku manusia yang terpuji.
Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan
akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran
Islam yang mereka nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji.
Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak
diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran
Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn ketidakberesan
perilaku (akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu
tasawuf identik dengan akhlak.
Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad
ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran ekslusif. Golongan
ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya
mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu
karena paham hululnya ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat
yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap
13
membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini
terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya
menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme,
kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf
berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan
kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil
mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu
sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-
Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang
begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan
tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat
pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan
tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah.
Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni
filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H)
penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun
638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-
Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka
banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan
khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai
jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun
filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya
dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf
akhlaqi ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni
dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-
Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih
berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan
pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam
ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari
keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya,
diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para
14
pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas.
Para sufi yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat
pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras
kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada
tahun 728 H).
Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang.
Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain
pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya.
Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi
ahlu sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu
sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami, Al-
Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya
terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan
tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat
324 H) dalam menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan,
yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi
dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang member
bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas
bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam
penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip
tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka terpelihara dari
penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu
sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisi menolak para sufi yang
mengajarakan syahadat, yang mengucapkan ungkapan penuh kesan tentang terjadimya
perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.
15
MAQAMAT dan AHWAL
A. Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat
mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan
yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya
dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah
maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang
yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan
yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi
berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan
spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan
spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya
dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri
pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu
sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir
sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang
hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan
dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam
pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan
Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan
hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan
mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
B. Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus
dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan.
Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam
ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala
ikatan dunia. Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut11:
1. Taubat
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai
macam pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf ,
taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan
pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor,
sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin
11 Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, hlm. 392
16
berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam
dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak
melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa
pada segala hal kecuali Allah
2. Wara’
Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia,
yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد ال بن سماعة عن
الوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول ال صلى ال عليه وسلم من
حسن إسلم المرء تركه ما ل يعنيه
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang
tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak
bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas
lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara
sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan
memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3. Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf.
Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk
mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang
mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak
menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang
berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep
zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr.
Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung
tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau
kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi).
Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal
keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata
taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
17
4. Faqr
Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-
apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang
yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti
telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi
hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi
yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan
yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan
Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan
jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5. Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah
disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling
tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala
apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha
Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah
yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi
segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci
sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua
bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia
maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama
yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
6. Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah
untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan
memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep
tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para
sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah.
Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi
ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia
meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7. Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda.
Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia
termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi
dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan
kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat
18
ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan
bahwa: الرضا: أن لو جعل ال جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar
Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى ل يكون فيه إل فرح وسرور. . Menurut
Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha
berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun
keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau
tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa
nafsunya.
C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn
Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan
tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada
sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat
dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan
karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam.
Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli
sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah,
tuma’ninah, musyahadah, yaqin.12
1. Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun
secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung
pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan
merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan
al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri
juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
2. Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-
khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang
kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap
tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang
menyebabkan orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati
karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi
raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan 12 Ibid
19
datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan
binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.
4. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi
menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian
syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu
ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu
kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan
pengenalan terhadap Allah.
5. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya
taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah
sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah
dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.
6. Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was
atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang
hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya.
Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung
dengan Allah SWT.
7. Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata
hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti
dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan
dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari
tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan
Allah.
8. Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan
rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya
perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin
adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.
Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal.
Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
20
AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA13
Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah,
tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada
dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi
pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3
hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan
pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui
belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun
tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi
suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al Taftazani, 1979: 72).
Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi
(w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada
abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al- Ghazali
menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki
kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah
konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan
berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkan-nya dipandang oleh para
fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan aturan syari’at. Konflik ini terus
berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi
keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-
7 H .
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia
tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis
atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang
memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek
amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.
Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung
menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan
ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf
sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi
(385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan
alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf
13 Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 57-58
21
falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131),
al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.
Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap
kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi secara umum tasawuf
pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang
kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2)
masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada
aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi
penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3
sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf
al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara
Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah
Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme
sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme
yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk- bentuk kelembagaan termasuk
tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada
persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah.
Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan
harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa
sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk
“protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal
yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang
mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara
garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah,
yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan
disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar
abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana
formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan;
(3) taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang
melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).
Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan
hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk
menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat disejajarkan sebagai
22
mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam
bidang pemikiran kalam dan fikih.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok
spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang
disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri dari
ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok grave terdiri dari ulama-ulama
muhaddits dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderungan spiritual
yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita
katakan seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin
sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam
sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk
hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam
kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah
kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-
Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi,
sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya.
Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan
pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur
terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika
itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih
dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak perkembangannya
pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang
melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti
kita dapat simak dalam karya sastra “cerita seribu satu malam” di masa kejayaan
kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan
berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang
disebut ilmu Tasawuf.
Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim
dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam
menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan pribadi dan
masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad—dengan munculnya disiplin ilmu
Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran ulama
muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang
23
disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha joke disebut ahli syari’ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan
non-formal yang namanya “tarekat” asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai
Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah,
Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat
adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya
koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama
Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah. Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir
menempatkan pembinaan dan koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen
Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun
keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari potensi bangsa/umat,
yang berhak mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan
kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan
gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan
gerakan syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah
(tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya
menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair,
Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah
yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa’i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair
kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan
menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus
dan meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas
di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang juga
perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi
mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi
berhasil menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis
Italia, Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan wilayah
Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai
Mu’ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai
Kepala Negara tersebut.
24
AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA
Sejarah perkembangan Tasawuf Sebagaimana telah kami kemukakan didepan bahwa
istilah tasawuf tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Tetapi yg dikenal adl
zuhud dan wara` . Istilah sufi pertama kali digunakan yaitu kepada Abu Hasyim Al Kufi dan ia
orang yg pertama kali membangun tempat ibadah khusus bagi sufi di Ramlah wilayah Syam .
Meskipun demikian orang sufi selalu menisbatkan tasawuf kepada Nabi SAW melewati Ali
dilanjutkan oleh Hasan Al-Basri dst.
Sederetan nama sahabat yg menjadi rujukan ahli tasawuf ; Abu Bakar As-Shidiq Umar
bin Khattab Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib Salman Al Farisi Abu Dzar Al Ghifari Miqdad bin
Al Aswaddll. Kemudian pada masa tabiin terkenal nama Hasan Al Basri dan Sofyan Al-Tsauri .
Baru kemudian murid-murid Abdul Wahid bin Yazid pengikut Hasan Al Basri membangun
tempat khusus utk warga sufi disebut duwairah demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Pada abad kedua dikenal nama-nama Ibrahim bin Adham Al Balakhi dan Rabiah Al
Adawiyah . Ciri menonjol pada pengikut Hasan Al Basri adl rasa takut yg berlebih kepada Allah
selain zuhud dan banyak ibadah sementara pada Rabiah Al Adawiyah lbh menonjol rasa
muhabbah kepada Allah SWT. Sementara para ulama menyebutkan perlunya keseimbangan
agar tidak menyimpang kata mereka “Barang siapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa
muhabbah saja dia menjadi zindik barangsiapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa takut
maka dia menjadi khawariij dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn harapan maka dia
menjadi murjiah dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn cinta rasa takut dan harapan
maka ia mukmin sejati”.
Pada abad ketiga tasawuf semakin solid dan berkembang dgn tokoh sentral Abu
Sulaiman Addaaroony Ahmad Al Hawary Abul Faidh Zunnun Al Misri Bisyir Al Hafi Abu Bakar
Al-Syibli Al Haris Al Muhasibi Assirri Assiqthi Abul Yazid Al Busthami Al-Junaid dan Al Hallaj.
Pada masa ini dan sesudahnya tasawuf berkembang menjadi kelompok-kelompok yg
ditokohi oleh seorang syaikh. Seperti diungkap oleh Al Hajwairi ” Pada masa itu lahirlah tarekat-
tarekat sufi berjumlah duabelas dan masing-masing menisbatkan dirinya kepada seorang
syaikh dari syaikh-syaikh abad tiga dan empat”.
Pada abad keempat tasawuf lbh berkembang lagi sehingga mereka menyebutkan
dirinya sebagai ahli hakekat/ bathin sementara ulama lain terutama ulama fiqh disebut sebagai
ahli dhohir. Pada masa inilah trend sufi ditetapkan mempunyai empat tahapan atau empat ilmu ;
Ilmu syariah
Ilmu Tariqoh
Ilmu Hakekat
Ilmu Ma`rifat
25
Pada abad kelima dan seterusnya tasawuf sangat dipengaruhi oleh paham syiah dan filsafat.
Ajaran Sufi Ajaran sufi mengandung usaha mujahadah dan riyadhoh dimana seorang
salik harus melewati maqomat dan ahwaal. Maqomat menurut Assarraj Aththusi dalam kitab
Alluma` yaitu kondisi ketaatan seorang hamba dihadapan Allah .Maka dia menyebut maqom
berupa taubat wara` zuhud . Kemudian salik akan mendapatkan ahwaal yaitu kondisi hati yg
bersih krn banyak berdzikir berupa muroqobah tenang menyaksikan kebesaran Allah yakin dll.
Ajaran sufi yg paling banyak ditentang adl konsep hulul yg dicetuskan oleh Abu Yazid
Al Busthami dimana Allah masuk kedalam diri seorang sufi sehingga dia mengucapkan
syatahat yaitu ungkapan-ungkapan irrasional yg tidak bisa dipahami layaknya orang gila. Hal itu
ditentang oleh para ulama krn dianggap bertentangan dgn aqidah Islam dan ajaran seperti itu
tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Konsep kedua yg ditentang adl wihdatul
wujud menyatu dgn Allah SWT. Konsep ini dicetuskan oleh Al Hallaj yg ditentang oleh ulama-
ulama dimasanya kemudian dia diajukan kepengadilan krn tidak mau bertaubat akhirnya
dihukum mati.
26
ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT
A. Persamaannya
Tasawuf ialah penyucian “hati” dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa
produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya.
Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan “hati”-nya dan
menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan
yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
“Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan cara, yakni metode khusus yang dipakai
oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.14
B. Perbedaannya
Tasawuf adalah Ilmu dalam Islam yang mempelajari tentang hati atau disebut
juga syari`ah bathiniah. Ilmu ini dikenal juga dengan Ilmu Siir. Ilmu ini dipelajari untuk
menyelaraskan Ilmu Tauhid (Iman) dan Ilmu Syari`ah (Amal), dengan tujuan akhir
menjadikan seorang muslim menjadi hamba yang muqarrabun (dekat dengan Allah).
Sedangkan Ilmu yang dipelajari dalam tarekat disebut ilmu Tasawuf. Seorang yang
menjalankan Tasawuf disebut Sufi. Dalam menjalankan Tasawuf, dalam sebuah tarekat
ada seorang pembimbing (guru) disebut Mursyid. Dan murid-muridnya disebut Salik (orang
yang berjalan).15
C. Hubungan antara Tasawuf dan Tarekat
Tarekat merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf, yang mana dengannya
seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan
menggantikannya dengan sifat-sifat akhlak yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi
Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakekat amalan-amalan
salih di dalam Agama Islam. Tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan.
Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan, Ilmu batin, (tasawuf).
Perkataan Tarekat (“jalan” bertasawuf yang bersifat praktis).Tarekat tidak
membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya.
Pengalaman tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan
syari`at Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual
maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan mengerjakan amalan yang
bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah.
Dengan demikian, tampaklah hubungan yang erat antara tasawuf dan tarekat,
bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu
dengan yang lain. “Tasawuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu
tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawuf. Dan
14 Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana, hal. 8
15 Prof. Dr. Harun Nasution, Op. Cit.
27
tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang
menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf
secara bersama-sama”16
D. Macam-Macam Tarekat
1. Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi
Al-Uwaisi Al-Bukhari (w.1389M) di Turkistan.Tarekat ini merupakan salah satu tarekat
sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim
(meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan
wilayah Volga Ural. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya
syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap
musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya
semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari
asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah
penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:
Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”.
sewaktu berjalan. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”.
Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Yad kard: “ingat”, “menyebut”.
Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah),
atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan
lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas
berjama`ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di
dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. Baz gasyt: “kembali”,
”memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang
menyimpang (melantur), Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan
terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid. Yad dasyt: “mengingat kembali”.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi: Wuquf-i zamani:
“memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir
seseorang”. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”.
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah
dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha
illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih
langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan
dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi,
16 Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid
28
“tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang
lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan
lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjema`ah maupun sendiri-sendiri. Banyak
penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi
mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam
pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjema`ah. Di banyak tempat
pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam
Selasa, di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang
waktu yang lebih lama lagi.
Adapun ciri khas dari tarekat Naqsyabandiyah adalah mengutamakan Jazbah
Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syekh yang sempurna akan
terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat dimana Zauq
dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta
memperoleh ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan
Jazbah disebut sebagai Majzub.
Dalam Tarekat Naqsyabandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan
derajat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syekh dan Tawajjuh Syekh.
Bersahabat dengan Syekh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat
berdampingan dengan Baginda Nabi Muhammad SAW. Murid hendaklah bersahabat
dengan Syekh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan
Syekh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga
peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam tarekat ini
adalah sebagaimana para sahabat menghadiri majelis Baginda Nabi Muhammad
SAW.
Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat Baginda Nabi
Muhammad SAW dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya
sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang
tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam
majelis Naqsyabandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan
dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang akan diperoleh setelah begitu lama
menuruti jalan-jalan tarekat yang lain. Kerana itu para Akabirin Naqsyabandiyah
mengatakan bahwa, “Thariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Thariqat Para
Sahabat”. Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum
Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.”, maksudnya, “Dalam Thariqat kami siapapun
pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Thariqat kami
pasti tidak akan dapat datang.”
29
Di dalam tarekat Naqsyahbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa
berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci dimana di sisi Para Sahabat dikenali
sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah disebut Musyahadah, Syuhud, Yad
Dasyat atau ‘Ainul Yaqin, maksudnya ia merupakan hakikat: “Bahwa engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”
2. Tarekat Qodiriyah
Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin
Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qodiriyah
berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim
yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia.
Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi, ini
adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Tarekat Qodiriyah ini
dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak
melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak
pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai
derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi
walinya untuk seterusnya.”
Tarekat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati
dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarekatnya
ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan. Ada anggapan membaca Manaqib
Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan
kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatera. Adapun
asas-asas dalam tarekat Qodiriyah ialah bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita,
membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan memperbaiki khidmat kepada Allah
SWT. Sedangkan wirid dan zikir yang dilafalkan ialah “Lailahaillallahu” dengan berdiri
sambil bersenam, mengepalkan tangan ke samping, ke depan, ke muka dengan badan
yang sigap, dan putus ingatan dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah SWT.
30
KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM
Telah disebutkan pada pembahasan di muka, bahwa ajaran Akhlaq dan Tasawuf
terdapat dalam sendi ajaran Ihsan, maka tasawuf itu sendiri merupakan pengamalan hamba
yang melahirkan kebajikan rohani, untuk mendapatkan ma’rifah kepada Allah SWT.
Mengenai kedudukan Tasawuf dalam Islam, terdapat beberapa pendapat yang
mengatakan, bahwa hal itu tidak termasuk bagian integral dari ajaran Islam, dengan
mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1. Tidak terdapat satupun kata Tasawuf dan Sufi dalam Al-Qur’an maupun Hadith;
2. Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan oleh Sufi, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
dan Hadith;
3. Timbulnya istilah Tasawuf dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal pada abad
ketiga Hijriyah;
4. Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik yang telah
diamalkan oleh umat terdahulu.
Penulis tidak sependapat dengan keterangan di muka, dan tetap menganggap bahwa
Tasawuf merupakan bagian dari ajaran Islam, yang sama dengan kedudukan akhlaq, meskipun
dari sisi lain ada perbedaannya.
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan
rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat
sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal”
(amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang
utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata
Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan
ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf
memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah,
dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari
pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-
Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan
pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”.
Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya
dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada
bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih
tergolong ajaran Akhlaq.
Dan kalau dikatakan lagi, bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari
ajaran Mistik umat terdahulu, penulis memandang bahwa kemiripannya tidak berarti bahwa
31
Tasawuf dalam Islam adalah Mistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat
terdahulu masih dipertahankan oleh Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan, jual-
beli, sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya.
Untuk melihat hal ini, perlu kita memperhatikan watak ajaran Islam yang berfungsi
untuk melestarikan ajaran maupun tradisi umat terdahulu, meskipun kadang-kadang masih
dilakukan penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam yang
menggunakannya.
Kemudian watak ajaran Islam yang lain, adalah menggantikan ajaran umat terdahulu
dengan ajaran yang baru, kalau ajaran atau tradisi itu sangat berbahaya terhadap martabat
manusia, merusak kesehatannya, serta mengganggu tatanan masyarakatnya; misalnya
larangan berzina, minum khamar, mencuri dan sebagainya.
Lalu watak ajaran Islam yang lain lagi, adalah menciptakan suatu ajaran baru, yang
sebenarnya tidak pernah ada pada umat terdahulu, dan hal itu merupakan kesempurnaan
ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran agama yang mendahuluinya. Maka tidaklah berarti
bahwa ajaran Tasawuf yang mempunyai tradisi sama dengan tradisi mistik, sehingga dianggap
bukan ajaran Islam.
Memang kalau ajaran Tasawuf itu hanya dilihat dari metodenya, yang sering disebut
suluk, tentu tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, karena hal itu
merupakan penetapan ulama Tasawuf, yang barangkali dapat disamakan dengan hasil ijtihad
Fuqaha dalam bidang hukum. Tentu saja hasil ijtihad itu juga tidak ditemukan teksnya secara
nyata dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, namun bukan berarti bahwa hal itu berada di luar
ajaran Islam.
Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara
peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa
ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi17:
Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Q. S. At-Tiin: 4-
5.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir
yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Q. S. Al-
Ahzab: 41-42.
Artinya: Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat
melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu
Hurairah.
17 Departemen Agama R.I., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. PT. Syaamil.
32
Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-
baik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya
kepada tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka.
Dan untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang
disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam
ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udhkurullah Dhikran Katsira”… Sehingga Salik (peserta
suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin
terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba
kepada Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).
Keterangan inilah yang memberikan gambaran, bahwa ajaran Tasawuf termasuk ajaran
Islam,yang tercakup dalam sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memperkuat pengamalan sendi
Aqidah (Keimanan) dan sendi Shari’ah. Maka sering kita jumpai pembagian Tasawuf menjadi
tiga macam, yaitu:
1. Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-
masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap
Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan
kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk
mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk
mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan
Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak.
Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya.
Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah,
yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir
tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid)
bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
2. Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia
ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia
Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-
Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya.
Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama;
b. Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua;
c. Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-
Khawas), sebagai tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya,
maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan
ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).
33
Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah
atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi
Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan
oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering
mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya
menjadi empat tingkatan:
a. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan
najis;
b. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan
dosa;
c. Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela;
d. Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan
menyembah sesuatu di luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang
sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin,
sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.
3. Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang
akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di
dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:
a. Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang
buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik;
b. Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan
mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;
c. Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang
menimpanya.
d. Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT.
Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan;
e. Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat
menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan.
Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi
pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu
hingga menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan
ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk
lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka
hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq
34
dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya sama-
sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan).
Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya, maka dapat
menghasilkan Tasawuf Aqidah, Tasawuf Ibadah dan Tasawuf Akhlaqi. Tetapi bila ditinjau
dari sisi corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal
itu bisa menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.
Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang
digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga
kadang-kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf
Falsafi, ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh
Filsafat Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang
hampir sama dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan
untuk mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul” (larutnya sifat ketuhanan ke
dalam sifat kemanusiaan), “Al-Ittihad” (leburnya sifat hamba dengan sifat Allah), “Wihdatu
al-Wujud” (menyatunya hamba dengan Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang
dimaksudkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain,
kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama
Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan
Salafi, padahal sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam.
Hanya saja, barangkali ada tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat
pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah
dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah. Tentu
saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang dilaluinya,
sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf.
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Tasawuf berada pada sendi
Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan
sendi Syari’ah.
35
TASAWUF DI INDONESIA
Melihat perkembangan Islam di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia dan lainnya
sepuluh tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf
di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau kita memperhatikan
laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai
perkembangan tasawuf itu, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman
masyarakat yang beralih ke cara Sufistik.
Demikian yang sedang merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi
karena makin banyak santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara
historis, aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan
kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi menganggap
sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di luar Islam.
Sesederhana apa pun, aktivitas ketasawufan di perkotaan bisa dianggap sebagai kebangkitan
tasawuf. Itu karena masyarakat jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya mengejar legalisme dan
formalisme. Ketakinginan hidup dalam kehampaan spiritual, kehilangan visi keilahian, dan
kerusakan moralitas juga turut mendorong kebangkitan tasawuf di perkotaan. Namun, segala
sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali
tasawuf muncul di dunia Islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi
tabi’in diperiode Umayah. Ketika materialisme melanda kaum muslimin di masa tabi’in, maka
munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain
sebagainya.
Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis
melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan
majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham,
AA Gym, Ary Ginanjar, Amin Syukur dan masih banyak nama lain pengusung tasawuf. Semua
itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.
Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa mereka yang meminati tasawuf sekarang ini masih
baru dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian
mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa
memberi solusi yang mereka cari selama ini.
Jangankan kita umat Islam, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk
ke wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena
pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya melayang-layang saja
dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.
36
Sebenarnya pertama Islam masuk ke wilayah Melayu (Indonesia-Malysia) sudah
bernuansa sufistik. atau dengan kata lain: Islam tasawuflah yang mula-mula berkembang dan
mewarnai Islam di Indonesia-Malaysia pada tahap-tahap awal. Hampir mayoritas sejarawan
dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di
negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf. Hal itu
disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang.
Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak
mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.
Itulah sebabnya “misionarisasi” yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran.
Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat
dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan
dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat
kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi
menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat
berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi
kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak
bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil
membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya,
mengalihkan kebiasaan “begadang” penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat
itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik
tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling
digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran
yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan
AsiaTenggara.18
Adapun kemunculan tasawuf yang dimotori oleh gerakan-gerakan tarekat yang ditandai
dengan kemenyendirian para pengikut di beberapa pedesaan. Secara historis, itu berkaitan
dengan politik isolasi yang dilakukan penjajah. Tindakan tersebut mendorong para pengikut
tarekat menarik diri dari kehidupan perkotaan, menyingkir ke gunung-gunung, dan akhirnya
mendirikan padepokan-padepokan atau pesantren-pesantren di tempat-tempat sunyi. Mereka
melepaskan diri dari kehidupan politik, sosial, dan budaya perkotaan.
Kini, setelah kehidupan kian modern, rupa-rupanya terjadi perubahan yang mencolok.
Sebagaimana pesantren-pesantren yang menyerbu perkotaan, tarekat tasawuf pun makin
memosisikan diri sebagai bagian kehidupan perkotaan. Namun ada perbedaan paradigma
18 Drs. Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawuf, Solo,Ramadhani, hal. 13
37
antara tasawuf pedesaan dan perkotaan, bahwa tasawuf di pedesaan lebih menekankan
kepada amaliyah, sedangkan tasawuf di perkotaan lebih mengarah kepada penghayatan nilai-
nilai agama. Ia lebih tampil sebagai aktivitas yang berkaitan dengan penghilangan penyakit-
penyakit hati dan refleksinya bermuara kepada moralitas
Perlu diketahui bahwa tasawuf adalah bagian terpenting dalam Islam, umpama ruh bagi
jasad atau jantung bagi anggota tubuh lain. Maka jika tasawuf dipisahkan dari sisi amal atau
keyakinan yang sahih, jelas akan menjadi sebuah kemusyrikan, kekafiran dan bid,ah sesat.
Kemudian, misi yang dibawa Rasulullah Saw seara garis besar ada tiga unsur:
Ta’lim, Pengajaran Ilmu Pengetahuan.19
Tadzkirah atau mauidzah, pemberi peringatan dalam bentuk ceramah keagamaan.
Tazkiyah atau tarbiyah, bimbingan dan keteladanan (Qudwah). Ketiga misi ini telah menjadi ciri
utama dai dan ulama Islam terdahulu yang tidak terpisahkan, setiap mereka adalah seorang
guru, penceramah dan pembimbing. Meskipun secara prioritas mereka memilih menekuni salah
satu bidang tertentu, namun kapabilitas mereka dalam ketiga unsur ini tidak diragukan.
Seorang yang pandai ilmu pengetahuan (alim) boleh jadi tidak pandai ceramah dan
tarbiyah, namun seorang penceramah (mudzakir) harus alim meskipun bukan seorang murobi.
Adapun seorang murobi wajib alim di samping juga harus seorang mudzakir. Jadi tasawuf
dalam posisi ini adalah sebagai tazkiyah, yang pelakunya harus memenuhi dua syarat di atas,
sebagai orang alim dalam ilmu keIslaman dan mudzakir yang pandai membangun komunkasi
dakwah kepada seluruh masyarakat.
Namun realitanya, para dai dan ulama sekarang belum memenuhi syarat untuk
menciptakan masyarakat yang membangun, baru sampai ke taraf membangun masyarakat.
Para murobi yang tampil mengusung tasawuf bukanlah dari mereka yang telah mencapai
puncak kecerdasan intelekual, emosional juga spiritual atau kesusksesan ilmu pengetahuan,
penguasaan retorika dan suri teladan. Akan tetapi mereka masih mentah dalam bidangnya,
mereka meminati tasawuf masih dalam kerangka defensif. Karena mereka memasuki tasawuf
dimulai dari kegalauan dalam menjalani realitas kehidupan, kemudian menemukan dan merasa
cocok dengan tasawuf yang dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini, bukan dari
proses tarbiyah intensif di tangan seorang murobi yang mempunyai otoritas dari pendahulunya
sehingga mata rantai itu sampai kepada Rasulullah SAW.
Jadi bangsa ini memerlukan tasawuf bukan sebagai ajaran (pemikiran) dan wejangan
belaka, akan tetapi lebih memerlukan kepada sosok pribadi sebagai suri teladan akhlak dan
qudwah dalam nilai-nilai spiritual Islam.
Bangsa ini butuh pemimpin besar. seorang yang mampu berfikir, merasa, dan cita
rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Karenanya
19 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, hlm. 360
38
si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia
menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.
Seorang besar yang setelah menguasai ilmu pengetahuan dan retorika, ia juga punya
ghiroh (semangat) tasawuf yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti
korupsi, maksiat dan lain sebagainya.
Karena korupsi dan segala bentuk maksiat di Indonesia sudah menjadi konsep dan
budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu!. Nah ini
harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk masyarakat
kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang demokratisasi. Seperti pilkada, tidak
melahirkan banyak manfaat, karena orang masih bisa dibayar, tetapi keteladanan pemimpin itu
sangat efektif. Dan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.
Kiranya untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat
memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era
sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselamatan dan keuntungan materi, lebih dari itu
sebuah pendekatan sufistik yang dapat menciptakan masyarakat yang mampu membangun
masa depan.
39
TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN
Ulama sufi memandang alam semesta sebagai makrokosmis sama dengan
mikrokosmis. Manusia adalah dunia miniatur mikrokosmos yang merupakan cerminan
makrokosmos, hukum alam mengatur seluruh manusia sehingga perbedaan antara ruh dan
materi terhapus karena pada level sub-atom materi adalah kegelapan yang tidak mempunyai
keberadaan nyata 20. Kenyataannya memang sesuatu yang besar itu (makrokosmis) tersusun
dari segala sesuatu yang kecil-kecil (mikrokosmis) yang membentuk suatu ikatan makro dan
saling terkait. Para sufi dalam memahami hal tersebut melalui suatu pengalaman mistis
“penyaksian” yang dalam bahasa mereka sebut sebagai “musyahadah” atau “ma’rifat”, seperti
yang mereka katakan, yaitu barangsiapa ma’rifat ( terhadap ) Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
akan dikokohkan oleh keabadian dan dunia seisinya terasa sempit 21.
Perkembangan ilmu fisika modern selaras dengan pemikiran kaum sufi. Awal abad
kedua puluh, fisika modern telah banyak dan begitu cepat mempengaruhi kehidupan manusia.
Terutama dalam fisika atom yang dengan cepat banyak berdiri industri yang menggunakan
dasar teori atom tersebut, sehingga alam semesta beserta isi dan segala fenomena yang ada di
dalamnya mengenai struktur kosmologis dapat dipandang melalui teori fisika dan tasawuf.
Terdapat titik-titik kesejajaran ketika memasuki dimensi dunia mistik religius dan fisika modern
dalam memandang alam semesta.
Pengaruh perkembangan fisika modern tersebut juga menyentuh dalam pola pikir dan
kebudayaan manusia. Perkembangan fisika modern tidak lepas dari perbaikan / revisi secara
radikal terhadap fisika klasik (Newtonian) terutama pada bidang materi, ruang dan waktu, serta
sebab akibat (kausalitas) yang menuju ke arah pemikiran yang bersifat mistis (abstrak),
sehingga memunculkan metafisika.
Werner Heisenberg mengungkapkan seperti yang dikutip oleh Frtjof Capra dalam Tao
of Physics, sebagai berikut :
Konstribusi ilmiah yang terbesar dalam fisika teoritis berasal dari Jepang sejak perang berakhir
merupakan suatu indikasi dari bertemunya hubungan khusus antara ide-ide filsafat dalam tradisi
Timur Jauh dan substansi filsafat dari teori quantum 22.
Keparalelan antara pemikiran dalam tasawuf dengan fisika modern yang
menyebabkan adanya titik temu dan hubungan terjadi karena tasawuf didasarkan pada
pemahaman langsung ke dalam alam realitas, sementara fisika didasarkan atas observasi
terhadap fenomena-fenomena alam dan eksperimen-eksperimen ilmiah yang diinterpretasikan
dan dikomunikasikan lewat kata-kata, dimana kata-kata tersebut terlampau abstrak ketika
20 Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, hlm. 156 – 157 21 Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, hlm. 392
22 Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 5
40
berdekatan dengan realitas yang menyebabkan kesadaran akan fakta inilah yang menjadi titik
temu antara fisika modern dan sufi23.
Nilai-nilai tasawuf yang mewarnai fisika modern yang ingin penulis ungkapkan dalam
hal ini berhubungan dengan alam semesta terutama mengenai ruang dan waktu serta
penyatuan dalam keberagaman sehingga dapat memperlihatkan bahwa dalam perkembangan
fisika modern tidak terlepas dari etika-etika agama. Kita menyadari bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah membawa kepada pemikiran manusia seolah-olah
dialah penguasa alam semesta karena dengan ilmunya manusia dapat mengendalikan alam
lingkungannya dan berbuat semaunya untuk menguasai orang lain.
Tasawuf yang menekankan pada aspek pensucian hawa nafsu yang bertujuan untuk
mengenal dan mencintai sang pencipta dan penguasa alam semesta, sebenarnya banyak
sekali nilai-nilainya yang terkandung dalam fisika modern, sebagaimana yang telah dikatakan di
atas mengenai materi dalam level subatom atau dunia mikrokosmos, walaupun para fisikawan
barat dalam memahaminya bersentuhan dengan mistis diluar Islam (Hindu, Budha, Zen, Tao
dan lain-lain), maka penulis mencoba untuk mengungkapkannya melalui pemikiran-pemikiran
Islam (tasawuf) misalnya fana’, baqa’, Jam’u dan lain-lain. Hal ini diharapkan dapat membuka
wawasan terhadap pencinta fisika terutama muslimin dan muslimah agar dalam
mempelajarinya tidak sebatas pada keilmuannya, tetapi lebih jauh dari itu untuk lebih mengenal
dan mendekatkan diri pada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu penulis mencoba
untuk mengungkapkan keparalelan tasawuf dan fisika modern dalam “Nilai-Nilai Tasawuf Dalam
Perkembangan Fisika Modern”.
Segala ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam Al-Qur’an, meskipun secara
garis besarnya saja, yang rinciannya dapat ditemukan pada Sunnah Rasul bagi ilmu
keakheratan dan dalam alam semesta bagi ilmu keduniaan. Wajib bagi setiap muslim dan
muslimah untuk mencari dan memperdalam ilmu sesuai dengan bidang dan kemampuannya
agar dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Seorang muslim atau
muslimah tidak boleh hanya mengutamakan ilmu keakheratan saja atau ilmu keduniaan saja,
keduanya harus ada pada diri ummat Islam walaupun proporsinya tidak seimbang atau
dominasi salah satunya.
Al-Qur’an secara global telah banyak membicarakan tentang ilmu pengetahuan alam
dan teknologi, maka untuk mengetahui secara pastinya kita harus memiliki ilmu kealaman
melalui pemahaman dan pengertian tentang alam semesta beserta sifat dan fenomenanya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah lapangan kegiatan yang terus menerus dikembangkan
karena mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia.
Allah Subhaanahu Wa Ta'ala memberikan akal pada manusia agar dengan akal ini manusia
bekerja dengan giat memikirkan secara serius dan mendalam tentang segala sesuatu dan
23 Ibid, hlm. 3
41
segala peristiwa dalam jagad (universum) ini baik dengan metoda induksi maupun deduksi
sehingga dicapai hakekat-hakekat yang lebih tinggi untuk kemudian ditingkatkan lagi sehingga
manusia dengan akalnya itu dapat mengenal kebenaran yang tertinggi yaitu Allah Rabbul
‘Alamien.
Alam semesta yang diciptakan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala adalah sebuah
laboratorium yang maha lengkap yang penuh berisi pertanda ke-Mahaan Allah Subhaanahu Wa
Ta'ala yang telah merancang, mencipta, memelihara dan kelak mengambilnya kembali.
Laboratorium yang maha lengkap ini tidak akan berfungsi dan tidak akan menjadi dinamis bagi
kehidupan manusia apabila manusia tidak mau merenungi dan memikirkan untuk mengolahnya.
Manusia sebagai penggali dan pencari ilmu pengetahuan tidak cukup hanya dengan membaca
saja tanpa berfikir. Dalam Al-Qur’an, manusia didorong untuk menggunakan akalnya dan
banyak berfikir.
Manusia mencari ilmu pengetahuan kebanyakan berangkat dari hasil rangsangan-
rangsangan yang ditangkap oleh indera lahiriah, dan setelah sampai di otak diurai menurut ilmu
pengetahuan yang ada padanya kemudian dalam beberapa hal akan tiba pada titik
ketidakmampuan otak untuk mengurai, karena rasionya sudah tidak dapat menjangkau lagi
atau bukan lagi menjadi medan rasio. Namun demikian ilmu pengetahuan kealaman dalam hal
mencari hakikat haruslah berangkat dengan keyakinan yang mantap terlebih dahulu, yakin
bahwa manusia memiliki kemampuan terbatas serta sadar bahwa rasio manusia begaimanapun
tingginya dan besar nilainya hanya sekedar pelengkap saja untuk mencapai hakikat.
Keterbatasan akal atau rasio menunjukkan bahwa apa yang tidak rasional belum tentu tidak
benar, kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an hingga kini dapat dikaji di dalam ilmu fisika, astronomi,
dan kosmologi.
Fisika adalah ilmu yang mempelajari struktur dasar dan proses perubahan yang
terjadi pada materi dan energi dan juga menyelidiki fenomena terutama yang diamati dari
benda-benda tak bernyawa. Al-Qur’an menaruh perhatian sangat besar kepada ilmu tersebut
seperti nampak dalam uraiannya tentang alam Ilahi yang amat menakjubkan, seperti sifat-sifat
ruang dan waktu, materi serta gerakannya.
42
TASAWUF DAN ETOS KERJA24
Menghindari pebuatan dosa itu dimaksudkan supaya orang dalam bekerja tidak
mengerjakan pekerjaan yang haram, seperti mencuri, merampok, korupsi, penyelundupan uang
dan sejenisnya. Karena semua orang harus bekerja dan mencari rizki dengan mengerjakan
pekerjaan yang halal
Begitu pula Zuhud. Zuhud berarti hidup sederhana, maksudnya setiap orang harus
hidup scara wajar sesuai dengan keperluannya. Jadi, tidak boleh boros, menghambur-
hamburkan harta yang dimiliki atau menggunakan hartanya untuk berbuat maksiat.
Dengan demikian, Zuhud tidak berarti tidak perlu kerja keras mencari uang. Bekerja
keras itu boleh, malah wajib kalu diniatkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan
keluarga. Tetapi setelah uang itu diperoleh tidak boleh dihamburkan atau membuat lupa pada
Tuhan, seperti tidak mengeluarkan zakat atau meninggalkan shalat dengan alas an sibuk
bekerja.
Kemudian Qanaah. Ini berarti merasa cukup. Harta yang diperoleh diusahakan cukup
untuk memenuhi keperluan hidup, walau sebenarnya pendapatannya kecil. Belanjaanya tidak
melebihi pendapatanya jangan sampai lebih besar pasak dari pada tiang.
Kalau orang hidup yang berpegang kepada pribahasa lebih besar pasak dari pada
tiang, maka akan timbul banyak kesulitan yang merepotkan diri sendiri. Misalnya berhutang
atau meminta uang pada orang lain atau bahkan mencuri, korupsi dan perbuatan tercela
lainnya untuk memenuhi keperluan hidup.
Jadi, Qanaah tidak berarti tidak perlu bekerja keras mencari uang. Orang boleh saja
bekerja keras tetapi berapapun hasilnya diusahakan cukup agar tidak timbul efek samping yang
negative. Siakp Qanaah dimaksudkan agar orang tidak mencari uang yang haram karena
pekerjaan halalnya tidak menghasilkan uang sebanyak yang diperlukan.
Lalu Faqr, yang berarti kemiskinan. Maksudnya manusia pada dasarnay miskin, tidak
mempunyai apa-apa. Kalau orang itu kaya, pada dasarnya harta yang dimilikinya adalah milik
Tuhanyang dititipkan kepadanya. Sebaliknya, kalau orang itu hidup miskin tidak boleh berkeluh
kesah sambil menyalahkan orang lain atau Tuhan.
Kalau mau menyalahkan lebih baik menyalahkan kepada diri sendiri. Sebab hidup
miskin mungkin disebabkan oleh kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Mungkin diri kita
bekerjanya belum sungguh-sungguh, tidak disiplin, atau pekerjaannya memerlukan
keterampilan khusus yang belum kita kuasai.
Artinya Faqr tidak berarti bahwa setiap orang sebaiknya hidup miskin, sehingga
seolah- olah tidak harus bekerja keras dalam mencari uang. Padahal setiap orang haruslah
bekerja keras, tetapi kalau hasilnya sedikit, tidak memenuhi keperluan hidup, sehingga terpaksa
hidup miskin, maka kenyatan itu harus diterima secara ikhlas sebagai takdir Tuhan yang tidak
24 Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 60-62
43
bisa ditolak. Karena mungkin Tuhan memang sudah mentakdirkan sebagai seorang yang hidup
miskin dan mungkin Tuhan menyimpan satu keistimewaan kepadanya.
Dan takdir seperti ini harus diterima dengan ikhlas, karena tentu dibalik semua itu
pasti ada hikmahnya. Misalnya kalau orang miskin ini menjadi kaya mungkin saja dia akan lupa
kepada Tuhannya. Padahal kalau dia miskin mungkin sekali selalu beribadah dan berusah
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti cerita Tsalabah.
Tsa labah adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin. Dia rajin
beribadah bersama Nabi. Suatu ketika dia meminta nabi untuk mendoakannya kepada Allah
agar dia menjadi orang yang kaya. Lalu Nabi bertanya: apakah kamu siap menjadi orang kaya.
Karena nabi khawatir nanti setelah kaya Tsalabah akan lupa beribadah. Tsalabah pun
menyatakan siap. Kemudian Nabi berdoa, sehingga usaha Tsalabah berkembang pesat dan
menjadi orang kaya. Setelah kaya kekhawatiran Nabi menjadi kenyataan. Tsalabah sering
meninggalkan ibadah. Tuhanpun kemudian murka dan usaha Tsalabah merosot dan pada
akhirnya kembali menjadi orang miskin.
Dan kemudian tentang kebiasaan membaca Wirid, Zikir, dan Doa yang menghabiskan
waktu berjam-jam itu kita dapat menerapkan sistem pembacaan Wirid, Zikir, dan Doa secara
berkala seperti Thorikat Naqsabandiyah yang melakuka Wirid di seperempat malam pada
tanggal enam belas bulan komariyyah setiap bulannya.
Jadi, untuk masalah ini kita dapat mengaturnya supaya tidak berbenturan dengan
jadwal kerja, kita bisa melakukannya setiap libur kerja atau dikala waktu leggang dan waktu-
waktu yang sekiranya tidak berbarengan dengan waktu keraja kita.
Jadi jelaslah bahwa tasawuf tidak melemahkan etos kerja. Bahkan kalau diingat
bahwa tasawuf itu mendekati orang yang membersihkan dirinya dari perbuatan tercela atau
sebagai pagar pembatas diri terhadap perbuatan jahat (mazmumah). Lalu mengisinya dengan
perbuatan terpuji (mahmudah), maka dapat dikatakan bahwa tasawuf menimbulkan etos kerja
yang kuat. Karena di antara perbuatan terpuji itu adalah mencari nafkah untuk memenuhi
keperluan diri sendiri dan keluarga.
Itu berarti bahwa orang yang bertasawuf harus bekerja keras mencari nafkah. Jadi,
kalau ada orang mengaku bertasawuf, tetapi malas bekerja, maka tasawufnya keliru.
Dengan demikian, bila masih ada sikap malas, tidak disiplin, tidak mau kerja keras
dalam masyarakat Indonesia selayaknya tidak menyalahkan tasawuf, seperti kesan yang
berkembang selama ini. Faktor penyebab sikap negatif itu bukan tasawuf, tetapi harus dicari
faktor lain diluar tasawuf.
Pada dasarnya tasawuf itu baik dan benar, tetapi persepsi orang terhadapnya sering
keliru. Ini disebabkan oleh mentalitas masyarakat Indonesia yang sudah akibat sejarah yang
menyakitkan selama ini. Mentalitas masyarakat yang rusak menyebabkan persepsi terhadap
ajaran agama kadang-kadang keliru, seperti persepsi terhadap tasawuf.
44
Karenanya, persepsi yang keliru itu harus dilacak pada kerusakan sikap mental
masyarakat mentalitas masyarakat Indonesia mulai rusak ketika mengalami penjajahan selama
ratusan tahun. Penjajahan ini menyebabkan masyarakat menderita lahir batin, seperti hidup
miskin, kecewa, frustrasi, setres, pesimistis, merasa masa depan suram, dan sebagainya. Hal
ini kemudian menghancurkan nilai-nilai yang dihayati dalam masyarakat. Misalnya hal yang
benar dianggap salah, orang baik dianggap pencuri, koruptor dianggap selebritis, hamil diluar
nikah dianggap keren, perselingkuhan dianggap pekerjaan dan banyak lainnya.
Setelah dijajah sekian lama, bangsa Indonesia bangkit melawan penjajah. Perjuangan
bangsa Indonesia membuahkan hasil dengan tercapainya kemerdekaan, tetapi perjuangan itu
memerlukan pengorbanan besar yang juga membawa penderitaan lahir batin. Dimuali dari
penjajahan bangsa lain hingga sistem pemerintahan yang dimulai dari masa orde baru hingga
masa reformasi yang memiliki problem masing-masing yang berimbas kepada penderitaan lahir
batin.
Penderitaa lahir batin yang dialami masyarakat Indonesia yang sangat lama akibat
penjajahan, revolusi keerdekaan, pergolakan, represi dan krisis yang berkepanjangan tidak
hanya merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat, tetapi juga merusak mentalitas dan
cara berfikir. Akibatnya nilai-nilai positif dari budaya dan agama sering diresepsikan secara
keliru.
Seperti tasawuf ini yang kebanyakan masyarakat Indonesia salah meresepsikannya.
Tasawuf yang sebenarnya mengandung etos kerja yang kuat dipersepsikan sebagai faktor yang
melemahkan etos kerja. Dan untuk memperbaiki persepsi yang keliru ini selain mentalitas
masyarakat yang perlu dibangun kembali kita juga perlu melakukan reinterpretasi terhadap
sikap-sikap dan ajaran tasawuf, seperti wara, zuhud, qanaah, faqr, dan lainnya.
Memang ada diantara Sufi atau pengikut tarekat yang bersikap eskapis, menjauhi
kehidupan dunia. Tetapi hal ini bukan ajaran tasawuf. Sufi atau pengikut tarekat bersikap
seperti ini karena terlalu berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Sebab dalam
mencari kehidupan dunia, orang sering bergelimang dosa. Misalnya memperoleh rizki dengan
cara yang haram atau syubhat. Sedangkan kehidupan para Sufi itu kaki kanan berjalan di atas
wajib kaki kiri berjalan di atas sunah.
Lagi pula menganggap tasawuf itu melemahkan etos kerja itu bertentangan dengan
ajaran dasar Islam yang mewajibkan manusia bekerja seperti yang telah disebutkan diawal
Tugas Mandiri ini. Padahal tasawuf sebagai bagian dari ajaran dasar agama Islam. Kalau
bertentangan dengan ajaran dasar Islam, maka berarti tasawuf itu keliru atau persepsi terhadap
tasawuf itu salah.
Dan menurut ajaran dasar Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhi
keperluan diri sendiri, keluarga dn umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran dasar Islam,
sehingga tasawuf tidak melemahkan etos kerja, tetapi malah sebaliknya yakni memperkuat etos
kerja itu sendiri.
45
DAFTAR PUSTAKA
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus
Departemen Agama R.I., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. PT. Syaamil.
Drs. Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawuf, Solo,Ramadhani
Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001
H. Husnan Malik SH. Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB
Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti
Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan
Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di Sajikan Untuk Mempelajari Lebih Dalam Tasawwuf. Jawa Timur
Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang
Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana
Utama alfaruqi, Belajar Tasawuf. www.utamaalfaruqi.blogspot.com.