adi sucipto akhlak tasawuf

Upload: ekhliey-zahra-el-haura

Post on 11-Jul-2015

844 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

TUGAS MANDIRIURGENSI MEMAHAMI TASAWUFTugas Mandiri Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf

OLEH: NAMA NPM PRODI : ADI SUCIPTO : 0840962 : PBA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO

2011

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Mandiri ini dengan baik. Shalawat serta salam kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW berserta keluarga dan sahabatnya. Kami mengharapkan semoga Tugas Mandiri ini bermanfaat bagi pembaca dan merupakan bahan tambahan untuk belajar. Kami mengucapkan terima kasih Lepada temanteman yang selalu mendukung dalam proses penyusunan penyusunan Tugas Mandiri ini dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan Tugas Mandirii ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang berkaitan dalam penyusunan paper ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan sarannya demi kesempurnaan Tugas Mandiri.

Metro, November 2011

Penulis

iii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... KATA PENGANTAR........................................................................................................ DAFTAR ISI..................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN i ii iii

A. Latar Belakang.................................................................................................... B. Rumusan Masalah..............................................................................................BAB II PEMBAHASAN PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF......... SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA................................................................. PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... MAQAMAT dan AHWAL........................................................................................... AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA.......................................................................... ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT....................................................................... KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM................................................................ TASAWUF DI INDONESIA....................................................................................... TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN................................................... TASAWUF DAN ETOS KERJA................................................................................. DAFTAR PUSTAKA

1 1

6 9 11 16 21 25 27 31 36 40 43

iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhlak Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan teologis akhlak tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umar agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW. Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima. Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak da tasawwuf itu kemudian menemukan momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai oleh munculnya sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak. Bersamaan dengan itu perkembangan teknologi di bidang alat-alat anti hamil, makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya kesempatan untuk membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-obatan terlarang yang menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-tempat beredarnya obat terlarang semakin canggih. Demikian juga sarana yang membawa orang lupa pada tuhan, dan cenderung maksiat terbuka lebar di mana-mana. Semua in semakin enambah beban tugas akhlak tasawuf. Melihat demikian pentingnya akhlak tasawwuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan jika akhlak tasawwuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua dikarenakan pentingnya tersebut. Disadari bahwa masih banyak bidang akhlak tasawwuf yang dapat dikemukakan, namun keterbatasan ilmu yang kami miliki kami mohon maaf jika mempunyai kesalahan dalam pengumpulan data yang kami kumpulkan ini. B. Rumusan Masalah - Bagaimana untuk memahami tujuan dari akhlak dan tasawwuf? - Apa saja faidah dari mempelajari akhlak tasawwuf ?

1

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Akhlak Ada dua pendekatan yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa bukan dari kata akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara Lingustik kata akhlak merupakan isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Secara bahasa akhlak berasal dari kata

artinya perangai,

kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata khuluq.

Artinya : bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi pekerti. (HR. AHMAD) Secara istilah akhlak berasal dari : a) b) Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macammelaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

c)

Ibrahim Anis dalam Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang

dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.

d)

Dalam kitab Dairatul Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik. Dari atas tak ada perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan

yang lain. Definisi definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling melengkapi, B. Ruang Lingkup Akhlak Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatab yang baik atau perbuatan yang buruk. Dengan mengemukakan beberapa literaratur tentang akhlak tersebut menunjukan bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan lai-lain.

2

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Dan selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau buruk. Definisi dari ruang lingkup akhlak: Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk. Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut. Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.

C. Tujuan Akhlak Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di dunia dan di akhirat. Dikarekan itulah kita sebagai manusia untuk hidup saling membantu baik dari pekerjaan, kebutuhan atau lainnya. Tujuan mempelajari akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama dengan dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, Agama adalah urusan akhirat sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing. Atau ungkapan, Agama adalah urusan masjid, di luar itu terserah semau gue. Maka jangan heran terhadap seseorang yang beribadah, kemudian di lain waktu akhlaknya tidak benar. Ini merupakan kesalahan fatal. Kita pun sering menjumpai orang-orang yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak shalat. Ini juga keliru.1 D. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebgaai berikut : Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk. Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.2 Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu1 2

Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di sajikan untuk mempelajari lebih dalam tasawwuf. Jawa timur Utama alfaruqi,Belajar Tasawuf. www.utamaalfaruqi.blogspot.com.

3

akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi. Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan dirinya. Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya. E. Pengertian Tasawwuf Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7). Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam IV-Halaman 151). Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam : a. b. c. Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain Meninggalkan mengatur dan memilih Menurut Maruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia. Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk. Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syariah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana Allahana al-Haqq (aku adalah Allah.aku adalah yang maha benar).

4

Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. F. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak. Para ahli ilmu tasawwuf pada umumnya membagi tasawwuf kepada tiga bagian: 1) Tasawwuf falsafi 2) Tasawwuf akhlaki 3) Tasawwuf amali Yang memiliki tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan perbatab yang terpuji. G. Tujuan Mempelajari Tasawwuf Tujuannya adalah Marifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas). Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh AlQuran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan. Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya mengenal Allah secara lebih dalam dan memahaminya dengan benar. Sama juga dengan kebersihan diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh melanggar apapun yang telah al-qur`an berikan. H. Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana yang baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan marifah Allah Yang Maha Mengetahui, sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu, selamat dada dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk. Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada marifat akan terhadap Allah Taala sebagai marifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Taala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.

5

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF A. Persamaan Etika, Moral, dan Akhlak 1. Persamaan Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk. Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal: 1. 2. Objek: yaitu perbuatan manusia Ukuran: yaitu baik dan buruk Tujuan: membentuk kepribadian manusia3 Perbedaan 1. Sumber atau acuan: o o o o o o o o Etika sumber acuannya adalah akal Moral sumbernya norma atau adapt istiadat Akhlak bersumber dari wahyu Etika bersifat filososfis Moral bersifat empiris Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal

3.2.

2. Sifat Pemikiran:

3. Proses munculnya perbuatan: Etika muncul ketika ad aide Moral muncul karena pertimbangan suasana

o Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.4 B. Hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya. Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli3 4

H. Husnan Malik SH. Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB Ibid

6

oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus cicak versus buaya yang sampai sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku bertajuk Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Bertolak dari pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada dasarnya merupakan peta jalan menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau memetakan arah yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya. Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta itu dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243). Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk dan mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya. Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua aspek pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum kodratnya adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan ketiga, yakni manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan dengan sesamanya. Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian serius dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya sendiri yang berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia. Kedudukan yang substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik; kedua, manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah dimensi transedental manusia sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat rasional, sehingga manusia adalah makhluq yang sadar diri atau memiliki kemampuan untuk berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial, manusia mampu untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom. Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga setiap

7

substansi

mengusahakan

pelestarian

keberadaannya

sesuai

dengan

hekakat

kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal budi, maka manusia haruslah sadar diri dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan adar diri ini, manusia akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan inilah yang mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan kehidupan. Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum. Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan akal budianya untuk terus sadar diri atas keberadaannya sebagai tuan atas perbuatan yang dijalankan. Sadar diri inilah yang menjadi pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis, sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang sadar diri pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan membahagiakan.

Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai ambruknya nilai sadar diri, sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi tuan atas perbutannya, tetapi tuan bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.5

5

Ibid

8

SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA Sebagai sejarahwan mengaitkan sejarah tashawuf dengan Imam Jafar Al-Shadiq ibn Muhammad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam Jafar, meski amat dihormati dan dianggap sebagai guru keempat-empat para imam kaum Ahlusunnah-yakni Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafii dan ibn Hanbal-adalah imam kelima dari mazhab syiah Itsna Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafii kemungkinan akibat kritik-kritik keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk membela ahlul bait (keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Jafar banyak disebutkan oleh para sufi, seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj. Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami pasang surut. Lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke-2 H. lewat pribadi-pribadi seperti Hasan AlBashri, Sufyan al-Tsauri al-Harits ibn Asad Al Muhasibi, B Yazid Al Bustami dan sebagainya. Tasawuf tak pernah bebas dari kritikan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahap6;. 1. Tahap Zuhud (Asketisme) Tahap awal perkembangan tasawuf ini menentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Bashrah, kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat perkembangannya: Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah alJarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H) Salmah Al-Farisi (w.32 H). Abdullah ibn Masud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (tabiin) termasuk diantaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah (w.106 H). 2. Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H) Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada aspek praktis (amali) berupa penanaman akhlak belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis (nazhari) dengan jalan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal ha; maqam, hal marifah, tauhid (dalam maknanya yang khas tasawuf), fana, hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Maruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid AlBaghdadi.

6

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

9

3.

Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H) Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (marifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.

4.

Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya) Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya seperti Tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang dengan pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang). Tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari semua tarekat yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang memiliki pengikut paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang sekarang telah memiliki banyak variasi ini pada mulanya didirkan di Bukhara, Asia Tengah oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.

10

PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA A. Tasawuf Akhlaqi Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama lama sufi.7 Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut: 1. Takhalli Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi. 2. Tahalli Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. 3. Tajalli Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa

7

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid

11

kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepadaNya.8 B. Tasawuf Falsafi Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.9 C. Tasawuf Syii Kalau berbicara tasawuf syii, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan kedekatan atau jarak ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syii beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syii. Syii memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.10 D. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syii Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna-makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabiin kecenderungan orang terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.

8 9

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid Ibid 10 Ibid

12

Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah AlAdawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid. Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji. Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu tasawuf identik dengan akhlak. Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu karena paham hululnya ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap

13

membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini terpengaruh unsur-unsur di luar Islam. Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mutazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljamaah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid AlBusthami, terutama mengenai soal karakter manusia. Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifai (wafat pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H). Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H) penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sabin AlMursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir. Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf akhlaqi ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan AlQuran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul. Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para

14

pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada tahun 728 H). Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang. Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal jamaah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu sunnah wal jamaah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami, AlHallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asyari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam. Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.

15

MAQAMAT dan AHWAL A. Pengertian Maqamat Maqamat dan Ahwal adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata maqamat dan ahwal dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama. Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah. B. Maqamat Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia. Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut11: 1. Taubat Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin11

Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, hlm. 392

16

berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah 2. Wara Dalam perspektif tasawuf wara bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:

: Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya. Adapun makna wara secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya. 3. Zuhud Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran, adapula yang mendefenisikannya dengan makna berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya, kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai, serta martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.

17

4. Faqr Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apaapa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama. 5. Sabr Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mujam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya. 6. Tawakkal Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan. 7. Ridha Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat 18

ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa:

, .: sedang Abu Bakar . .: Menurut

Ibn Thahir berkata:

Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya. C. Ahwal Ahwal adalah bentuk jamak dari hal yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata. Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja, syauq, Mahabbah, tumaninah, musyahadah, yaqin.12 1. Muraqabah Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. 2. Khauf Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Alkhauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah. 3. Raja Raja bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan12

Ibid

19

datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. 4. Syauq Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. 5. Mahabbah Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. 6. Tumaninah Secara bahasa tumaninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tumaninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. 7. Musyahadah Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. 8. Yaqin Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .

20

AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA13 Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H). Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al- Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkan-nya fuqaha sebagai kafir, zindiq dipandang oleh para dan menyelisihi aturan aturan syariat. Konflik ini terus (Al Taftazani, 1979: 72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi

berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke7H. Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Quran dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf

13

Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 57-58

21

falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn Arabi14. Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) marifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20). Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk- bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Said bin Zubair, Abd Allah bin Umar sebagai bentuk protes dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah. Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67). Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat untuk dapat disejajarkan sebagai

22

mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih. Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok grave terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah. Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam dalam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah

kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridlaNya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan kaum duniawi lainnya. muslim angkatan Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan

pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah. Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra cerita seribu satu malam di masa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf. Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abaddengan munculnya disiplin ilmu Tasawufterjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syariah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang

23

disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha joke disebut ahli syariah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah. Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya tarekat asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jamiyah Ahl al-Thariqah al-Mutabarah. Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara. Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, kapankah munculnya tarekat ada baiknya kita mempertanyakan (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan

gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syiah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifaiyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifai. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas. Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai Muammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

24

AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA Sejarah perkembangan Tasawuf Sebagaimana telah kami kemukakan didepan bahwa istilah tasawuf tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Tetapi yg dikenal adl zuhud dan wara` . Istilah sufi pertama kali digunakan yaitu kepada Abu Hasyim Al Kufi dan ia orang yg pertama kali membangun tempat ibadah khusus bagi sufi di Ramlah wilayah Syam . Meskipun demikian orang sufi selalu menisbatkan tasawuf kepada Nabi SAW melewati Ali dilanjutkan oleh Hasan Al-Basri dst. Sederetan nama sahabat yg menjadi rujukan ahli tasawuf ; Abu Bakar As-Shidiq Umar bin Khattab Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib Salman Al Farisi Abu Dzar Al Ghifari Miqdad bin Al Aswaddll. Kemudian pada masa tabiin terkenal nama Hasan Al Basri dan Sofyan Al-Tsauri . Baru kemudian murid-murid Abdul Wahid bin Yazid pengikut Hasan Al Basri membangun tempat khusus utk warga sufi disebut duwairah demikian pendapat Ibnu Taimiyah. Pada abad kedua dikenal nama-nama Ibrahim bin Adham Al Balakhi dan Rabiah Al Adawiyah . Ciri menonjol pada pengikut Hasan Al Basri adl rasa takut yg berlebih kepada Allah selain zuhud dan banyak ibadah sementara pada Rabiah Al Adawiyah lbh menonjol rasa muhabbah kepada Allah SWT. Sementara para ulama menyebutkan perlunya keseimbangan agar tidak menyimpang kata mereka Barang siapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa muhabbah saja dia menjadi zindik barangsiapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa takut maka dia menjadi khawariij dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn harapan maka dia menjadi murjiah dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn cinta rasa takut dan harapan maka ia mukmin sejati. Pada abad ketiga tasawuf semakin solid dan berkembang dgn tokoh sentral Abu Sulaiman Addaaroony Ahmad Al Hawary Abul Faidh Zunnun Al Misri Bisyir Al Hafi Abu Bakar Al-Syibli Al Haris Al Muhasibi Assirri Assiqthi Abul Yazid Al Busthami Al-Junaid dan Al Hallaj. Pada masa ini dan sesudahnya tasawuf berkembang menjadi kelompok-kelompok yg ditokohi oleh seorang syaikh. Seperti diungkap oleh Al Hajwairi Pada masa itu lahirlah tarekattarekat sufi berjumlah duabelas dan masing-masing menisbatkan dirinya kepada seorang syaikh dari syaikh-syaikh abad tiga dan empat. Pada abad keempat tasawuf lbh berkembang lagi sehingga mereka menyebutkan dirinya sebagai ahli hakekat/ bathin sementara ulama lain terutama ulama fiqh disebut sebagai ahli dhohir. Pada masa inilah trend sufi ditetapkan mempunyai empat tahapan atau empat ilmu ; Ilmu syariah Ilmu Tariqoh Ilmu Hakekat Ilmu Ma`rifat

25

Pada abad kelima dan seterusnya tasawuf sangat dipengaruhi oleh paham syiah dan filsafat. Ajaran Sufi Ajaran sufi mengandung usaha mujahadah dan riyadhoh dimana seorang salik harus melewati maqomat dan ahwaal. Maqomat menurut Assarraj Aththusi dalam kitab Alluma` yaitu kondisi ketaatan seorang hamba dihadapan Allah .Maka dia menyebut maqom berupa taubat wara` zuhud . Kemudian salik akan mendapatkan ahwaal yaitu kondisi hati yg bersih krn banyak berdzikir berupa muroqobah tenang menyaksikan kebesaran Allah yakin dll. Ajaran sufi yg paling banyak ditentang adl konsep hulul yg dicetuskan oleh Abu Yazid Al Busthami dimana Allah masuk kedalam diri seorang sufi sehingga dia mengucapkan syatahat yaitu ungkapan-ungkapan irrasional yg tidak bisa dipahami layaknya orang gila. Hal itu ditentang oleh para ulama krn dianggap bertentangan dgn aqidah Islam dan ajaran seperti itu tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Konsep kedua yg ditentang adl wihdatul wujud menyatu dgn Allah SWT. Konsep ini dicetuskan oleh Al Hallaj yg ditentang oleh ulamaulama dimasanya kemudian dia diajukan kepengadilan krn tidak mau bertaubat akhirnya dihukum mati.

26

ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT A. Persamaannya Tasawuf ialah penyucian hati dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan hati-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw. Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan cara, yakni metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Taala melalui tahapan-tahapan/maqamat.14 B. Perbedaannya Tasawuf adalah Ilmu dalam Islam yang mempelajari tentang hati atau disebut juga syari`ah bathiniah. Ilmu ini dikenal juga dengan Ilmu Siir. Ilmu ini dipelajari untuk menyelaraskan Ilmu Tauhid (Iman) dan Ilmu Syari`ah (Amal), dengan tujuan akhir menjadikan seorang muslim menjadi hamba yang muqarrabun (dekat dengan Allah). Sedangkan Ilmu yang dipelajari dalam tarekat disebut ilmu Tasawuf. Seorang yang menjalankan Tasawuf disebut Sufi. Dalam menjalankan Tasawuf, dalam sebuah tarekat ada seorang pembimbing (guru) disebut Mursyid. Dan murid-muridnya disebut Salik (orang yang berjalan).15 C. Hubungan antara Tasawuf dan Tarekat Tarekat merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf, yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat akhlak yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syariat yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakekat amalan-amalan salih di dalam Agama Islam. Tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan, Ilmu batin, (tasawuf). Perkataan Tarekat (jalan bertasawuf yang bersifat praktis).Tarekat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya. Pengalaman tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syari`at Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah. Dengan demikian, tampaklah hubungan yang erat antara tasawuf dan tarekat, bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tasawuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawuf. Dan14

Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana, Prof. Dr. Harun Nasution, Op. Cit.

hal. 815

27

tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama16 D. Macam-Macam Tarekat 1. Tarekat Naqsyabandiyah Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Uwaisi Al-Bukhari (w.1389M) di Turkistan.Tarekat ini merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten). Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha al-Din Naqsyaband. Asas-asasnya Abd al-Khaliq adalah: Hush dar dam: sadar sewaktu bernafas. Nazar bar qadam: menjaga langkah. sewaktu berjalan. Safar dar watan: melakukan perjalanan di tanah kelahirannya. Khalwat dar anjuman: sepi di tengah keramaian. Yad kard: ingat, menyebut. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjama`ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. Baz gasyt: kembali, memperbarui. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), Nigah dasyt: waspada. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid. Yad dasyt: mengingat kembali. Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi: Wuquf-i zamani: memeriksa penggunaan waktu seseorang. Wuquf-i adadi: memeriksa hitungan dzikir seseorang. Wuquf-i qalbi: menjaga hati tetap terkontrol. Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi,16

Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid

28

tersembunyi, atau qalbi, dalam hati), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain. Dzikir dapat dilakukan baik secara berjema`ah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjema`ah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jumat dan malam Selasa, di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi. Adapun ciri khas dari tarekat Naqsyabandiyah adalah mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syekh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat dimana Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperoleh ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub. Dalam Tarekat Naqsyabandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan derajat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syekh dan Tawajjuh Syekh. Bersahabat dengan Syekh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdampingan dengan Baginda Nabi Muhammad SAW. Murid hendaklah bersahabat dengan Syekh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syekh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam tarekat ini adalah sebagaimana para sahabat menghadiri majelis Baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad SAW dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majelis Naqsyabandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan Irfan yang akan diperoleh setelah begitu lama menuruti jalan-jalan tarekat yang lain. Kerana itu para Akabirin Naqsyabandiyah mengatakan bahwa, Thariqat kami pada Ain hakikatnya merupakan Thariqat Para Sahabat. Dan dikatakan juga, Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad., maksudnya, Dalam Thariqat kami siapapun pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Thariqat kami pasti tidak akan dapat datang.

29

Di dalam tarekat Naqsyahbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci dimana di sisi Para Sahabat dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau Ainul Yaqin, maksudnya ia 2. Tarekat Qodiriyah Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya. Tarekat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarekatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan. Ada anggapan membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatera. Adapun asas-asas dalam tarekat Qodiriyah ialah bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita, membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan memperbaiki khidmat kepada Allah SWT. Sedangkan wirid dan zikir yang dilafalkan ialah Lailahaillallahu dengan berdiri sambil bersenam, mengepalkan tangan ke samping, ke depan, ke muka dengan badan yang sigap, dan putus ingatan dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah SWT. merupakan hakikat: Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya

30

KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM Telah disebutkan pada pembahasan di muka, bahwa ajaran Akhlaq dan Tasawuf terdapat dalam sendi ajaran Ihsan, maka tasawuf itu sendiri merupakan pengamalan hamba yang melahirkan kebajikan rohani, untuk mendapatkan marifah kepada Allah SWT. Mengenai kedudukan Tasawuf dalam Islam, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan, bahwa hal itu tidak termasuk bagian integral dari ajaran Islam, dengan mengemukakan argumentasi sebagai berikut: 1. Tidak terdapat satupun kata Tasawuf dan Sufi dalam Al-Quran maupun Hadith; 2. Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan oleh Sufi, tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Hadith; 3. Timbulnya istilah Tasawuf dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal pada abad ketiga Hijriyah;

4. Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik yang telahdiamalkan oleh umat terdahulu. Penulis tidak sependapat dengan keterangan di muka, dan tetap menganggap bahwa Tasawuf merupakan bagian dari ajaran Islam, yang sama dengan kedudukan akhlaq, meskipun dari sisi lain ada perbedaannya. Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah Fadailu al-Amal (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama. Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam AlQuran dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Quran dan Hadith, dengan perkataan Udhkuru atau Fadhkuru. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah Suluk. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq. Dan kalau dikatakan lagi, bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaran Mistik umat terdahulu, penulis memandang bahwa kemiripannya tidak berarti bahwa

31

Tasawuf dalam Islam adalah Mistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih dipertahankan oleh Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan, jualbeli, sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya. Untuk melihat hal ini, perlu kita memperhatikan watak ajaran Islam yang berfungsi untuk melestarikan ajaran maupun tradisi umat terdahulu, meskipun kadang-kadang masih dilakukan penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam yang menggunakannya. Kemudian watak ajaran Islam yang lain, adalah menggantikan ajaran umat terdahulu dengan ajaran yang baru, kalau ajaran atau tradisi itu sangat berbahaya terhadap martabat manusia, merusak kesehatannya, serta mengganggu tatanan masyarakatnya; misalnya larangan berzina, minum khamar, mencuri dan sebagainya. Lalu watak ajaran Islam yang lain lagi, adalah menciptakan suatu ajaran baru, yang sebenarnya tidak pernah ada pada umat terdahulu, dan hal itu merupakan kesempurnaan ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran agama yang mendahuluinya. Maka tidaklah berarti bahwa ajaran Tasawuf yang mempunyai tradisi sama dengan tradisi mistik, sehingga dianggap bukan ajaran Islam. Memang kalau ajaran Tasawuf itu hanya dilihat dari metodenya, yang sering disebut suluk, tentu tidak ada keterangannya di dalam Al-Quran maupun dalam Hadith, karena hal itu merupakan penetapan ulama Tasawuf, yang barangkali dapat disamakan dengan hasil ijtihad Fuqaha dalam bidang hukum. Tentu saja hasil ijtihad itu juga tidak ditemukan teksnya secara nyata dalam Al-Quran maupun dalam Hadith, namun bukan berarti bahwa hal itu berada di luar ajaran Islam. Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut Ulama al-Muhaqqin membuat tata cara peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa ayat Al-Quran dan Hadith, antara lain berbunyi17: Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Q. S. At-Tiin: 45. Artinya: Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Q. S. AlAhzab: 41-42. Artinya: Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu Hurairah.17

Departemen Agama R.I., 2005. Al-Quran dan Terjemahnya. PT. Syaamil.

32

Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaikbaik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang disebut dengan Suluk, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam ayat kedua di muka, dengan kalimat Udhkurullah Dhikran Katsira Sehingga Salik (peserta suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Marifah; yaitu suatu pengenalan batin terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba kepada Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (Abudillah Kannaka Tarahu ). Keterangan inilah yang memberikan gambaran, bahwa ajaran Tasawuf termasuk ajaran Islam,yang tercakup dalam sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memperkuat pengamalan sendi Aqidah (Keimanan) dan sendi Shariah. Maka sering kita jumpai pembagian Tasawuf menjadi tiga macam, yaitu: 1. Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalahmasalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan Al-Asman al-Husna, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya). 2. Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru alZakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: a. b. c. Tingkatan orang-orang biasa (Al-Awam), sebagai tingkatan pertama; Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua; Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas alKalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya).

Khawas), sebagai tingkatan ketiga.

33

Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan: a. najis; b. dosa; c. d. Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela; Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan

menyembah sesuatu di luar Allah SWT. Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir. 3. Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain: a. b. c. d. e. Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik; mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya; Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat menimpanya. Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan; menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan. Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu hingga menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq

34

dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya samasama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan). Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya, maka dapat menghasilkan Tasawuf Aqidah, Tasawuf Ibadah dan Tasawuf Akhlaqi. Tetapi bila ditinjau dari sisi corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal itu bisa menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi. Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi, ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh Filsafat Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang hampir sama dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan untuk mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah Al-Hulul (larutnya sifat ketuhanan ke dalam sifat kemanusiaan), Al-Ittihad (leburnya sifat hamba dengan sifat Allah), Wihdatu al-Wujud (menyatunya hamba dengan Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain, kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan Salafi, padahal sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam. Hanya saja, barangkali ada tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah. Tentu saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang dilaluinya, sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf. Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Tasawuf berada pada sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi Syariah.

35

TASAWUF DI INDONESIA Melihat perkembangan Islam di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia dan lainnya sepuluh tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf itu, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik. Demikian yang sedang merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi karena makin banyak santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara historis, aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi menganggap sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di luar Islam. Sesederhana apa pun, aktivitas ketasawufan di perkotaan bisa dianggap sebagai kebangkitan tasawuf. Itu karena masyarakat jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya mengejar legalisme dan formalisme. Ketakinginan hidup dalam kehampaan spiritual, kehilangan visi keilahian, dan kerusakan moralitas juga turut mendorong kebangkitan tasawuf di perkotaan. Namun, segala sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia Islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi tabiin diperiode Umayah. Ketika materialisme melanda kaum muslimin di masa tabiin, maka munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain sebagainya. Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham, AA Gym, Ary Ginanjar, Amin Syukur dan masih banyak nama lain pengusung tasawuf. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa mereka yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini. Jangankan kita umat Islam, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke wilayah kecerd