240223381 refrat lumpuh layu akut

23
REFERAT Lumpuh Layu Akut atau Acute Flaccid Paralysis (AFP) Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembimbing : dr. A. Septiarko, Sp. A dr. Hj. Elief Rohana, Sp.A, M.Kes Diajukan Oleh : Aulia Luthfi Kusuma, S.Ked J500100059 1

Upload: paiil-ae

Post on 17-Jul-2016

119 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

lumpuh layu

TRANSCRIPT

REFERAT

Lumpuh Layu Akut atau Acute Flaccid Paralysis (AFP)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. A. Septiarko, Sp. A

dr. Hj. Elief Rohana, Sp.A, M.Kes

Diajukan Oleh :

Aulia Luthfi Kusuma, S.Ked

J500100059

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya membebaskan indonesia dari penyakit polio, pemerintah telah

melaksanakan program eradikasi polio yang terdiri dari pemberian imunisasi rutin

pada balita, dan surveilans accute flaccid paralysis (AFP). Surveilans AFP

merupakan pengamatan terhadap kelumpuhan yang terjadi mendadak, dan bersifat

flaccid (layu).

Lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis (AFP), didefinisikan sebagai

kelumpuhan yang bersifat lemas pada anak usia di bawah 15 tahun, terjadi mendadak

dalam waktu 14 hari, bukan karena rudapaksa atau trauma.

Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun. Target

minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172 penderita. Di jawa

tengah menururut data pada tahun 2012 menemukan 196 penderita AFP, data ini

membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita dibandingan pada tahun 2011 (215

orang). Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari 196 kasus yang diperiksa

semua menunjukan negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio).

Gambar. 1 (Angka Penemuan Kasus AFP Provinsi Jawa Tengah 2008-2012)

2

B. Tujuan

Tulisan ini akan membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,

manifestasi klinis serta penatalaksanaan lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis

(AFP).

C. Manfaat

Tulisan ini diharapkam dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi

tenaga kesehatan ataupun masyarakat mengenai lumpuh layu akut atau AFP ( acute

flaccid paralysis).

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis (AFP) didefinisikan sebagai

kelumpuhan yang terjadi secara akut bersifat lemas (flaccid). Istilah flaccid

menunjukan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN), mengenai pada final

common path, motor end plate dan otot yaitu pada otot, syaraf, neuromuscular

junction, medulla spinalis dan kornu anterior. Kelumpuhan ini tidak menunjukan

adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada gangguan susunan syaraf pusat yang

lain misalnya hiperreflek, klonus, atau respon ekstensor pada plantar. Pada gejala

klinis menunjukan kelumpuhan yang timbul dengan cepat termasuk kelemahan otot-

otot pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih cepat dalam beberapa hari

sampai minggu.

Acute flaccid paralysis (AFP) kelumpuhan yang terjadi fokal, biasanya

mengenai usia dibawah 15 tahun, terjadi mendadak dalam waktu 1-14 hari,bukan

disebabkan karena rudapaksa atau trauma.

B. Epidemiologi

Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun. Target

minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172 penderita. Di jawa

tengah menururut data pada tahub 2012 menemukan 196 penderita AFP, data ini

membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita dibandingan pada tahun 2011 (215

orang). Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari 196 kasus yang diperiksa

semua menunjukan negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio).

C. Etiologi

Penyebab utama lumpuh layu akut adalah virus. Penyebab tersering adalah virus

polio dan GBS (Guillane Bare Syndrom). Penyebab lain terjadinya lumpuh layu akut

atau AFP adalah mumps virus (gondongan), epstein-Barr virus, Humam

4

Immunodeficiency virus (HIV), dan West Neilevirus.

D. Patogenesis

Susunan saraf manusia terbagi menjadi dua, yaitu susunan syaraf pusat atau

upper motor neuron/UMN ( dari batang otak hingga sumsum tulang

belakang/medula spinalis yang disebut dengan jaras kortikospinal), dan susunan

syaraf tepi atau lower motor neuron/ LMN (dari kornu anterior sampai

otot).Kelumpuhan tipe LMN mempunyai ciri-ciri flacid, atoni, atrofi, fasikulasi,

reflek fisiologis menurun tapi tidak ditemukan reflek patologis.

Lower Motor Neuron (LMN) Upper Motor Neuron (UMN)

flaccid Spasticity(kaku)

Reflek fisiologis menurun/hilang Reflek fisiologis meningkat

Reflek patologis negatif Reflek patologis positif

Pengecilan otot Tidak ada pengecilan otot kecuali sudah

lama

E. Manifestasi Klinis

Gejala klinis pada AFP atau lumpuh layu akut adalah munculnya kelumpuhan

yang mendadak, gangguan gaya berjalana, kelemahan atau gangguan koordinasi dari

satu atau beberapa anggota gerak tubuh, lesi yang timbul berkaitan dengn LMN

(Lower Motor Neuron). Lesi pada LMN dapat mengenai kornu anterior

(Poliomeilitis, atrofi otot), radiks, akson, mielin (Sindrom Guillain Bare),

neuromuscular junction atau pada otot dan syaraf (Miastenia Gravis), ataupun

mengenai otot itu sendiri (Gambar1). Lesi tersebut merusak motor neuron, akson,

motor end plate, dan otot skeletal sehingga tidak terdapat gerakan atau rangsangan

motorik yang disampaikan ke motor neuron. Kelumpuhan tersebut sesuai dengan

gejala lower motor neuron yaitu :

1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek tendon

hilang dan reflek patologik tidak muncul.

2. Tonus otot hilang.

5

3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik hilang

dan terjadi atrofi otot.

Gambar.1

Tanda-tanda AFP atau lumpuh layu akut harus dievaluasi klinis secara lengkap

dengan pemeriksaan neurologis, pemeriksaan kekuatan motorik, reflek tendon,

fungsi syaraf cranial, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan

untuk melihat laju sedimen sel darah merah dan pemeriksaan elektrofisiologi

diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan prognosis dari penyakit motor neuron.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan kelumpuhan, harus ditentukan derajat (grading) kelumpuhan.

Kekuatan motorik dinilai dengan skala 0-5:

Skala 5: kekuatan motorik normal, dapat berjalan, berlari, dan

sebagainya, serta dapat menahan tahanan maksimal yang diberikan

pemeriksa.

Skala 4: dapat melawan tahanan namun tidak maksimal, anak dapat

berjalan dan berlari namun tidak cepat dan mudah jatuh.

Skala 3: anak dapat mengangkat tungkai namun tidak dapat melawan

6

tahanan.

Skala 2: ekstremitas tidak dapat diangkat namun masih dapat digeser.

Skala 1: hanya terdapat kontraksi otot namun ektremitas tidak dapat

digerakan.

Skala 0: tidak dapat digerakan sama sekali dan tidak terdapat kontraksi

otot.

Pada bayi atau balita, derajat kekuatan motorik lebih sulit ditentukan karena

belum kooperatif. Observasi dan pemeriksaan perlu dilakukan lebih teliti dengan

mengangkat ektremitas, melawan gravitasi, menilai tonus, melihat simetrisitas

gerakan. Untuk menilai kelemahan otot, anak dapat diminta duduk dilantai dan

kemudian berdiri. Anak yang tidak mampu langsung berdiri, atau berdiri sambil

merambat pada kakinya umumnya menandakan kelemahan otot. Ini merupakan

gower sign merupakan tanda distrofi muskular (gambar 2).

Gambar.2

Cara anak berjalan atau berdiri harus diperhatikan. Anak dapat diminta untuk

berjalan jinjit atau jalan bertumpu pada tumit. Anak yang mengalami lesi LMN atau

masalah neuromuskular umumnya tidak dapat jalan jinjit atau jalan dengan tumit.

Dalam posisi terlentang ditempat tidur, posisi seorang bayu yang mengalami

lumpuh layu akut terlihat seperti katak (frog leg posisition), dengan sedikit gerakan,

lutut menyentuh tempat tidur, hipotoni, dan tidak dapat melawan gravitasi (Gambar

3).

7

Gambar. 3

G. Diagnosis Banding

1. Poliomielitis (Kornu Anterior)

Definisi : Penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi virus dengan

predileksi pada sel anterior medula spinalis dengan akibat kelumpuhan dan atrofi

otot.

Etiologi: virus poliomelitis merupakan golongan enterovirus. Virus polio

memiliki masa inkubasi 5-35 hari.

Patogenesis: virus masuk melalui orofaring masuk tractus digestivus, kelenjar

getah bening, dan sistem retikuloendotel virus berkembang, tubuh membentuk

antibodi spesifik. Bila respon tubuh cepat gejala klinis yang muncul ringan.

Manifestasi klinis: lumpuh layu asimetris (monoparesis). Pada fase abortif

pasien mengeluh demam, lemas, anoreksia, sakit kepala. Pada fase non-paralitik,

terdapat kekakuan leher dan penurunan reflek. Fase paralitik, kelumpuhan asimetris,

dapat mengenai syaraf otak, dan reflek menghilang.

Tatalaksana: istirahat cukup. Fase abortif ( istirahat 7 hari, bila tidak terdapat

gejala dapat beraktivitas), fase paralitik/non paralitik ( istirahat mutlak 2 minggu,

perlu pengawasan yang teliti karena tiap saat dapat terjadi paralisis pernafasan.

Terapi kasual tidak ada).

Prognosis: tergantung pada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung

8

pada bagian yang terkena. Otot-otok yang lumpuh tidak dapat pulih kembali dan

menunjukan flaccid.

2. Sindrom Guillain Bare (Akar syaraf tepi)

Definisi: sindrom akut yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala

yang mengenai syaraf perifer dan cranial.

Etiologi: penyebabnya masih belum diketahui dengan pasti dan masih menjadi

bahan perdebatan. Teori sekarang ini ialah kelainan imunobiologik, baik secara

primary immune responsee maupun immune mediated process. Beberpa kelainan

mungkin infeksi virus atau bakteri, vaksinasi, pembedahan/anastesi, penyakit

sistemik.

Patogenesis: diduga karena kelainan imun melewati mekaisme limfosit mediated

delayed hypersensity atau lewat antibody mediated. Banyak ahli menyimpulkan

karena kerusakan syaraf yang terjadi karena mekanisme imunologi (respon tubuh

terhadap virus atau bakteri).

Manifestasi klinis: demam, gangguan motorik dan sensorik, kelumpuhan yang

bersifat simetris dan asending, mulai dari ekstremitas bawah naik keatas, sampai

tidak jarang menyebabkan kelumpuhan otot pernafasan dan memerlukan pemasangan

alat bantu nafas. Sering juga terjadi gangguan miksi, defekasi, dan gangguan otonomi

lain seperti hipertensi.

Tatalaksana: pengobatan bersifat simtomatik. Pengobatan pada GBS yang parah

dapat diberikan Imunoglobulin IV atau gamaglobulin dapat mempercepat

penyembuhan. Dosis pada dewasa dapat diberikan 0,4kg/kg/hari selama 5 hari,

sepanjang perjalanan penyakit, bila pasien bertahan, kelumpuhan tetap bersifat layu

karena lesi mengeni akson dan mielin.

Prognosis: 60-80% penderita dapat sembuh sempurna dalam waktu 6 bulan.

Sebagian kecil 7-22% sembuh dalam waktu 12 bulan.

3. Miastenia gravis (Neuromuscular junction)

Definisi: suatu kelainan autoimun yang ditandai suatu kelemahan abnormal dan

progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus disertai dengan

9

kelelahan saat beraktifitas. Gangguan ini terjadi dari synaptic transmission atau pada

neuromuscular juction.

Patogenesis: mekanisme imunogenik memegang peranada reseptor yang penting.

Observasi klinis yang mendukung mencakup timbulnya kelainan autoimun misalnya

autoimun tiroiditis, lupus eritematosus, arthritis rheumatoid. Antibody pada reseptor

nikotinik aseilkolin mereupakan penyebab utama kelemahan otot pada pasien

miastenia gravis. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai " penyakit yang berkaitan

dengan sel B". Dimana antibody merupakan produk sel B justru melawan asetilkolin.

Manifestasi Klinis: mistenia gravis dikarakteristik melalui adanya kelemahan

yang berfluktuatif pada otot rangka dan kelemahan otot akan meningkat apabila

sedang beraktifitas. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis( kelumpuhan

nervus okulomotorius yang sering menjadi keluhan utama miastenia gravis),

kelemahan otot semakin lama semakin meningkat ( kelemahan otot akan menyebar

dari otot acular, otot wajah, otot leher, hingga otot ekstremitas).

Penegakan diagnosis: penderita di minta untuk berhitung keras-keras lama

kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi afonia,

penderita ditugaskan untuk mengedipkan mata secara terus-menerus lama kelamaan

akan ptosis.

Klasifikasi mysthenia gravis:

Kelas I: adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup

mata, dan kekuatan otot lain normal.

Kelas II: kelemahan otot okular yang semakin parah, dan kelemahan pada

otot-otot lain.

Kelas IIa: mempengaruhi otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Dan

kelemahan otot orofaringeal.

Kelas IIb: mempegaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya.

Kelas III: kelemahan berat pada otot okular. Sedangkan otot-otot lain

kelemahan sedang.

Kelas IIIa: mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot aksial, atau

keduanya secara predominan.

Kelas IIIb: mempegaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya

10

secara predominan.

Kelas VI: selain otot okuler optot-otot lain juga mengalami kelemahan

derajat berat.

Kelas VIa: otot orofaringeal mengalami kelemahan derajat ringan.

Kelas VIb: mengalami kelemahan derajat ringan dari semua otot-otot tubuh.

Kelas V: penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Pemeriksaan penunjang: Uji tensilo, uji prostigmin, uji kinin.

Penatalaksanaan : Mempengaruhi transmisi neuromuskular (Istirahat, memblokir

pemecahan Ach), mempengaruhi proses imunologik (Plasma exchange, intervenosus

immunoglobulin, kortikosteroid, imunosupresif, thymectomy.

4. Meilitis Transversa (Sumsum ulang belakang)

Definisi: suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula

spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut

dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom

dan traktus saraf di medula spinalis.

Etiologi: tidak dapat menentukan secara pasti penyebab mielitis transversa.

Inflamasi yang menyebabkan kerusakan yang luas pada serabut saraf dari medula

spinalis dapat disebabkan oleh infeksi viral, reaksi autoimun yang abnormal atau

menurunnya aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak pada medulla

spinalis.

Patogenesis: terjadi karena infeksi virus seperti varicella zoster, harpes simplex.

Virus ini menyerang secara autoimun.

Manifestasi klinis: menyerang pada medula spinali secara mendadak, gejala awal

pasien mengeluh demam, batuh-pilek, kelumpuhan simetri akut, terkadang

mengalami gangguan miksi dan defekasi.

Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan awal menunjukan reflek fisiologis atau

reflek patologis yang menurun atau negatif, tetapi pada pemeriksaan lanjut dapat

ditemukan peningkatan reflek. Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis

transversa biasanya tidak didapati blokade aliran likuor, pleoitosis moderat ( antara

20 – 200 sel/mm3 ) terutama jenis limposit, protein sedikit meninggi ( 50 – 120 mg /

11

100ml) dan kadar glukosa norma. Berbeda dengan sindroma gullain barre dimana

dijumpai peningkatan kadar protein tanpa diertai pleositosis.

Penatalaksanaan: Tujuan pengobatan pertama ditujukan untuk meredakan

respon immun yang disebabkan oleh trauma medulla spinalis pemberian

kartikosteroid selama 1-2 minggu atau dengan imunoglobulin intravena. Pemberian

glukokortikoid atau ACTH , biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan

gejala awitannya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi

progresivitas defisit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk

prednisolon oral 1 mg / kg berat badan / hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu

lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari.

Prognosis: Perbaikan dari mielitis tansversa biasanya dimulai antara 2 sampai 12

minggu dari onset gejala dan mungkin berlangsung sampai 2 tahun. Bagaimanapun

bila tidak ada perbaikan dalam 3 – 6 bulan pertama, maka tidak dijumpai

penyembuhan yang signifikan. Sekitar sepertiga dari orang – orang yang terinfeksi

mielitis transversa akan mengalami penyembuhan yang sempurna dari gejala

klinisnya, mereka kembali dapat berjalan normal dan gejala yang minimal pada

kandung kemih,buang air besar dan parastesia.

5. Miositis(otot)

Definisi: peradangan pada otot yang dapat disebabkan oleh infeksi, cedera, obat-

obatan tertentu, olahraga, dan penyakit kronis. Pada miositis inflamasi menyerang

serabut-serabut otot.

Etiologi: inflamasi (karena autoimun, dimana tubuh menyerang jaringanya

sendiri), infeksi (virus adalah infeksi yang paling umum menyebabkan myositis,

bakteri, jamur. Virus atau bakteri dapat menyerang jaringan otot secara langsung,

atau mengeluarkan zat yang merusak otot), obat-obatan (statins, colchicine,

plaquenil hydroxychloroquine), cedera (olahraga terlalu berat dapat menyebabkan

nyeri otot, pembengkakan, dan kelemahan selama berjam-jam atau berhari-hari).

Manifestasi klinis: kelemahan otot merupakan manifestasi pertama. Kelemahan

mungkin di dapatkan dengan pemeriksaan. Nyeri otot (Myalgia)bisa ada atau tidak.,

dermatomiositis juga timbul pada bayi. Kelemahan dari miositis dapat menyebabkan

12

jatuh dan sulit untuk bangun dari kursi atau setelah jalan. Gejala lain dengan kondisi

inflamasi:

Ruam (rush)

Kelelahan (fatique)

Penebalan kulit pada tangan.

Kesulitan menelan (disfagia)

Kesulitan bernafas (dispneu)

Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan elektromiografi (EMG) umumnya

memberikan hasil miopati, sedangkan hasil biopsi otot menunjukan gambaran

inflamasi otot.

Penatalaksanaan: pemberian kortikosteroid, dan akan sembuh sempurna.

6. Erb's palsy (Tangan)

Definisi: kelumpuhan otot-otot di lengan bayi yang di sebabkan oleh luka saraf

dibahu waktu lahir, biasanya terjadi pada bayi baru lahir dengan berat lahir > 4000

gram. Kelumpuhan terjadi karena partus lama dan trauma persalinan berupa proses

tarikan pada daerah pleksus brakhialis.

Etiologi: terjadi karen kerusakan syaraf yang mengontrol gerakan lengan

dikarekan adanya injuri pada proses kelahiran. Injuri biasanya terjadi karena adanya

kerusakan syaraf antara spne dengan lengan atau tngan. Dapat juga terjadi karena

tarikan yang berlebihan pada leher bayi ketika proses persalinan.

Patogenesis: adanya traksi dalam proses persalinan kemungkinan bisa

menyebabkan injury, atau trauma pleksus brachialis pada nervi C5 dan C6 reseptor

sensori berupa paralisis, atrofi, anastesia. Tipe kerusakan syaraf (extaction, rupture,

neuroma, praxis).

Manifestasi klinis: paralisis dan atrofi pada musculus deltoid, biceps, brachialis,

brachioradialis, disertai dengan menghilangnya gerakan abduksi dan eksternal rotasi

shoulder serta melemahnya gerakan fleksi dan supinasi forearm.

Tatalaksana: bayi yang mengalami kondisi ini perlu menjalani rehabilitasi dan

fisioterapi.

Prognosis: 75%-90% bayi dengan Erb's palsy dapat sembuh sempurna setelah

13

beberapa bulan.

H. Pencegahan

Program pengembangan imunisasi (PPI) di dunia dimulai sejak 1974. Pada tahun

1988diputuskan untuk melalukan eradikasi polio global yang selesai pada tahu 2000.

Dalam program eradikasi polio setiap negara harus melaksanakan 4 (empat) langkah

strategi pembasmian polio:

Mencapai dan memelihara target imunisasi rutin polio untuk anak <1 tahun

sebanyak 3-4 dosis (target minimal 90% dari sasaran).

Melaksanakan imunisasi tambahan termasuk didalamnya pekan imunisasi

nasional (PIN). PIN dianggap berhasil bila bisa mencapai target cakupan

>90% dari target populasi.

Melakukan surveilans AFP atau deteksi lumpuh layu akut. Tujuanya

medeteksi anak dengan lumpuh layu yang mungkin terinfeksi virus polio.

Program ini merupakan usaha untuk mencari dan membuktikan bahwa

setiap anak yang menderita lumph layu berumur <15 tahun bukan

disebabkan karena polio liar dengan memeriksa tinja pasien AFP.

Mopping up yaitu melaksanakan imunisasi polio tambahan bagi balita dari

rumah ke rumah di daerah yang di curigai masih ada transmisi virus polio

liar atau yang mengalami KLB polio liar.

BAB III

14

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Lumpuh layu akut atau accute flaccid paralysis (AFP) adalah kelumpuhan yang

terjadi mendadak, disebabkan karena virus. Terjadi pada anak dengan usia <15 tahun,

terjadi bukan karena trauma. Kelumpuhan terjadi pada sistem syaraf Lower motor

neuron ( susunan syaraf tepi), kelumpuhan bersifat flaccid, reflek fisiologis menurun

atau hilang, reflek patologis negatif, dan terjadi pengecilan otot.

B. SARAN

1. Memperbaiki hygiene yang jelek dan memperbaiki sanitasi air.

2. Melakukan imunisasi polio untuk pencegahan.

DAFTAR PUSTKA

15

1. Behman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of pediatrics, 17th

edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40

2. Dinas kesehatan provinsi Jawa Tengah. 2012. Semarang, page 13-14.

3. DSS Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Jakarta: Gajah Mada University

Press; 2007.p. 119-26; 137-43

4. Handryastuti S, Menuju Tumbuh Kembang Anak Yang Optimal. IDAI. 2013

5. Soetomenggolo Taslim S. Ismael Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan

ke-2. Jakarta, 1999:190-241

16