tinjauan pustaka graves disease

41
TINJAUAN PUSTAKA DEFINISI Grave’s disease adalah pnyakit autoimun dimana tiroid terlalu aktif menghasilkan jumlah yang berlebihan dari hormone tiroid (ketidakseimbangan metabolism serius yang dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan kulit. Penyakit Grave’s merupakan bentuk tiroksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita disbanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exophtalmus), dermopathy (pretibial myxedema). A. Etiologi Graves Disease Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy (Karasek dan Lewinski, 2003). Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat

Upload: claudia-marisca

Post on 10-Jul-2016

284 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Grave’s disease adalah pnyakit autoimun dimana tiroid terlalu aktif menghasilkan jumlah

yang berlebihan dari hormone tiroid (ketidakseimbangan metabolism serius yang dikenal sebagai

hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan kulit. Penyakit

Grave’s merupakan bentuk tiroksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada segala

usia, lebih sering terjadi pada wanita disbanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih

dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exophtalmus), dermopathy (pretibial

myxedema).

A. Etiologi Graves Disease

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan thyroid-

stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan thyrotropin

receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit

Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik,

seperti hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative

dermopathy (Karasek dan Lewinski, 2003).

Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita

mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50%

dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya.

Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi

pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40

tahun (Shahab, 2002; Harrison, 2000).

Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor

trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin,

periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).

1. Faktor genetik

Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara mengelompok

dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan

pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besarnya dalam

beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang

abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita

penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.

Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit graves.

Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang berhubungan dengan alotipe IgG rantai

berat (IgG heavy chain) yang disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan erat

terlihat antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada orang Jepang

HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di Filipina seperti dilaporkan oleh

Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.

Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memproduksi

immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam mengatur fungsi limfosit T-

supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan

limfosit B untuk membuat TSAb.

2. Faktor imunologis

Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ spesifik, yang

ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid (thyroid stimulating

antibody atau TSAb).

Teori imunologis penyakit graves :

a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif

b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic khusus

c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor

d. adanya cross reacting epitope

e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat

f. adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi

g. stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T

h. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.

Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun tidak bereaksi

atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen tubuh sendiri yang disebut

mempunyai toleransi imunologik terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan

sistem imun mulai bereaksi terhadap komponen diri maka mulailah proses yang disebut

autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen

tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode prenatal.

Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai faktor, misalnya

gangguan faktor imunologik, virologik, hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-

faktor tersebut dapat berefek secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya.

Adanya autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya

seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.

Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang

biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya TSAb, Anti

TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI

(Cell Mediated Immunoglobulin).

Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb. Setelah terikat

dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH dan merangsang adenilat

siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali

berbeda karena efeknya yang lama, efek seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek

TSH yang berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer pasif ini

mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi hanya berlangsung

selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya pengaruhnya akan hilang

dalam jangka waktu 3-6 bulan.

Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya TSAb dapat

disebabkan oleh:

a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi yang dapat

bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak diteliti adalah

organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini mempunyai

binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit graves juga

menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.

b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal komponen

tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik, sehingga

bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.

c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim tidak

deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan

mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-menerus

distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi karena

rangsangan interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi autoimmun

dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit graves adalah gangguan

multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi dengan faktor endogen dan faktor

lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga

gen non HLA seperti TNF-β, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen

reseptor TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya dipengaruhi

oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor infeksi.

2. Trauma Psikis

Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan konversi dari T3

ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid justru

turun. Secara teoritis stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper,

meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress

akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific

mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.

3. Radiasi Tiroid eksternal

Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami radioterapi

daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini yang merusak kelenjar

tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta menyulut

penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam pada subset sel T,

yang mendorong disregulasi imun.

4. Chorionic Gonadothropin Hormon

Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh

jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara imunologik cross-

react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG (yang mempunyai sub unuit alfa yang

sama dengan TSH) atau derivat hCG yang desialated. Efek yang menyerupai efek TSH pun

dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional (seminoma testis). Secara klinis gejala tirotoksikosis

ini terlihat pada hyperemesis gravidarum, dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai

menurunnya TSH, kalau hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila

muntahnya berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal.

B. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya memiliki berat 15

- 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu tiroksin (T4), triiodotironin (T3),

dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus)

dan bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan

trachea tepat di bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang

membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.

Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:

1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis

2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia

3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta atau A.

anonyma.

Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:

1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).

2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).

3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).

Persarafan kelenjar tiroid:

1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior

2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang N.vagus)

3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita suara

terganggu (serak/stridor)

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

1. Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.

2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid merupakan satu-

satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status valensi yang lebih

tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.

3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil dalam

tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe

enzim peroksidase).

4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi T4

(tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3

(triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.

5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat oleh I,

sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel folikel.

6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah. Proses ini

dibantu oleh TSH.

7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi, dimana tirosin

akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan dalam proses ini.

8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan kompleks golgi.

Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat

berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap

berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa

hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu

menimbulkan suatu efek.

Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:

1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4 dan 65% T3

yang ada di dalam darah.

2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk 10%

dari T4 dan 35% dari T3.

3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.

Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas

biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan

kemudian dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati

dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses

pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang

secara biologis aktif di tingkat sel.

Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid

1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan dengan

reseptornya di inti sel.

2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP (adenosin

trifosfat) meningkat.

3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.

4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin

C. Patofisiologi Graves Disease

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang

berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk

mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi

dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan

dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi

darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme

autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,

oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves (Shahab, 2002).

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu

tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu

terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid

dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita

dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves (Shahab, 2002).

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila

terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-

molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan

antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi

sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin

atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk

dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga

menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam

jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi

glikosaminoglikans (Shahab, 2002).

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti

takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama

epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam

otot jantung (Shahab, 2002).

Gambar 1: Patogenesis Penyakit Graves

D. Gambaran Klinis Graves Disease

1. Gejala dan Tanda

Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan

ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat

hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang

berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan

aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,

keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu

makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi

ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada

tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai

dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan

kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi (Price dan

Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal

hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).

Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid

Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):

a. Tidak ada gejala dan tanda

b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)

c. Perubahan jaringan lunak orbita

d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)

e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular

f. Perubahan pada kornea (keratitis)

g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal

tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati

secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.

Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,

kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3, ditandai dengan

adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4,

terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus

rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila

mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan

bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis).

Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan

(Shahab, 2002).

Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler

disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita

sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan)

dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi

diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT

scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi

penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan (Shahab, 2002).

Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan

antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak

tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit

graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan

pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).

Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih

mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan

adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan (Shahab,

2002).

Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang

ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan

pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi

pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan

ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).

Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat

dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut:

Tabel 1: Indeks Wayne

Indeks Wayne

NoGejala Yang Baru Timbul Dan

Atau Bertambah BeratNilai

1 Sesak saat kerja +1

2 Berdebar +2

3 Kelelahan +2

4 Suka udara panas -5

5 Suka udara dingin +5

6 Keringat berlebihan +3

7 Gugup +2

8 Nafsu makan naik +3

9 Nafsu makan turun -3

10 Berat badan naik -3

11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada

1 Tyroid teraba +3 -3

2 Bising tyroid +2 -2

3 Exoptalmus +2 -

4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -

5 Hiperkinetik +4 -2

6 Tremor jari +1 -

7 Tangan panas +2 -2

8 Tangan basah +1 -1

9 Fibrilasi atrial +4 -

10

Nadi teratur

< 80x per menit

80 – 90x per menit

> 90x per menit

-

-

+3

-3

-

-

Hipertyroid jika indeks ≥ 20

2. Pemeriksaan Laboratorium

Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah

ini:

Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium

Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves

maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit

Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau

pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab,

2002).

Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan

hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan

(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon

tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam

keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4

rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid

tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel

folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,

sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini

menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan

bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan

pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut

TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05

mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4)

(Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995).

3. Pemeriksaan Penunjang Lain

Diagnosis laboratorik :

a. Pemeriksaan metabolisme basal

pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang baik, harus

dilakukan oleh orang yang berpengalaman.

b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,

untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit (severity) serta

merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan tunggal FT4 atau TSH dirasakan

cukup, tetapi karena masing-masing mempunyai kelemahan maka banyak ahli

menganjurkan untuk menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid

yang tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,

penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.

c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,

pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal, lebih-lebih di

daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s

mudah dan dijalankan dimana-mana maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini

dianjurkan pada : kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam

jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat keluarga, dan test

antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat dibedakan etiologi tirotoksikosis

apakah morbus graves atau sebab lain

d. Sidik tiroid

jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba nodul

yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan waktu

melakukan sidik tiroid, yang ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas

dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non

toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan kemungkinan

keganasan. Graves selalu dengan gondok hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus

tiroid, TRAb dan TPOAb

e. Pemeriksaan terhadap antibodi.

Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun dengan

pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat sesudah pengobatan

RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua

anti Tg-Ab positif juga positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.

Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai berikut:

1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis

2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.

3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH yaitu TSAb

(yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs dalam sirkulasi justru rendah)

atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU) yang meningkat.

4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah diagnosis ini

yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah normal dan alkali fosfatase

meningkat.

3. Diagnosis Banding

Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis

kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati

akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer

(Shahab, 2002).

Pada sindrom yang dikenal dengan “familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia

“dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam

serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan

menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal.

Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH

serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan penyakit Graves

(Shahab, 2002).

Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik

Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi. Paralisis

biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian suplementasi

kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan

tirotoksikosis yang adekuat (Shahab, 2002).

Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala

kelainan jantung, dapat berupa:

- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin

- High-output heart failure

Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya,

dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap

tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa

penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa

adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas.

Keadaan ini dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism” (Shahab, 2002).

4. Komplikasi

Krisis tiroid (Thyroid storm)

Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga

dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada

penderita tirotoksikosis antara lain:

- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.

- Terapi yodium radioaktif.

- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara

adekuat.

- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,

alergi obat yang berat atau infark miokard.

Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme

berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:

- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai

dengan flushing dan hiperhidrosis.

- Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.

- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.

- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon

tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4

dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan

dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid (Shahab, 2002).

Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan

produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis

tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan

jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi (Shahab,

2002).

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh

kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis

tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme

dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan

jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah

serta peningkatan angka kematian perinatal (Mansjoer, 1999).

E. Penatalaksanaan Graves Disease

Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves

adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol

keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap

hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi

Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat

ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan

respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001;

Shahab, 2002).

1. Obat – obatan

a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.

Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan

dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru

beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme

aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3

dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat

coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat

sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah

menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada

metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih

dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon

tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan

biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai

dosis tunggal.

Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka

waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan

bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi

spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah

pengobatan.

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid

biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,

diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis

PTU dimulai dengan 100 – 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20

– 40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 – 6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis

dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons

pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan

metimazol / tiamazol 5 – 10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan

klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum

memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap

sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya

seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis

Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena

dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar

hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.

Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis

tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi

selama 1 – 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek

samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis

yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi

dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping

yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan

dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis

biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu

diberikan antibiotika.

Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan

Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,

Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek

samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar

termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan

pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat

tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih

modalitas pengobatan yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul

efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis

yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves

adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.

Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan

klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan

diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan

eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih

mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3

bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80%

penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan

sebagai berikut:

1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.

2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid

dosis rendah.

3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3

toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara

kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan

setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah

berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Subekti, 2001; Shahab,

2002).

b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat

bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic

state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada

reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga

dapat, meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap

konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari (Price dan

Wilson, 1995; Corwin, 2001).

Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan

durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal

atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa

dengan propranolol (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek

samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan

depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan

trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien

asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi

atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena

Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase

(Subekti, 2001; Shahab, 2002).

c. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,

potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan

kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan

penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid,

untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif (Shahab,

2002).

Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan

ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat

Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu

pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi.

Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi

setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan

pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam

makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT (Shahab, 2002).

2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin

Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara

kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan

bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya 1,7% pada kelompok penderita yang

mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada

kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole (Subekti, 2001).

3. Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang

besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan

pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre

operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang

dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.

Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid

yangn harus diangkat (Subekti, 2001).

Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan

oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid

yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan

2 – 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan

suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.

Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi

pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).

4. Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun

yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi

partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel

folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi

akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan

fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada

jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu

mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2 – 6 bulan) atau lebih lama

yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna

untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di dalam kelenjar tiroid. Berdasarkan

pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas,

serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada

bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif

(Shahab, 2002).

Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui.

Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan

dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada

kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi

diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium

radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda,

karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT (Shahab, 2002).

Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.

Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium

dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru

terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek

yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons

terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis 131I

dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam

makanan sehari-hari (Shahab, 2002).

Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah

hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin

besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme

(Shahab, 2002).

Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid,

didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar

3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah:

1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid

dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan

pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131

2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang

terjadi)

3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)

4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage)

pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum

yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan

gangguan fungsi jantung.

Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6

bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6

sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme (Shahab, 2002).

5. Pengobatan Oftalmopati Graves

Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam

menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat

diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan

mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan

merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap

dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.

Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat

imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT

sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan

rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata

(Shahab, 2002).

Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien

yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody

antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT

scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita

lainnya (Shahab, 2002).

6. Pengobatan Krisis Tiroid

Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme

(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat

konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),

normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan

mengatasi faktor pemicu (Shahab, 2002).

7. Penyakit Graves Dengan Kehamilan

Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan

hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada

hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status

eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah

yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas

normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan

hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada

efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan

memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan

masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme (Shahab, 2002).

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester

ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan mekanisme yang belum diketahui

terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor

antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat

antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid,

tetap dapat menyusui bayinya dengan aman (Subekti, 2001).

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik

yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama pada usia 20 –

40 tahun.

Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal hipertiroidisme, goiter difus

dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses

pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok

terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi,

dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.

Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila T3 dan T4

rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi,

maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan

USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut

yang dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.

Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti

tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131).

Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi

hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian

kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik

(koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.