inflammatory bowel disease
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. PENDAHULUAN
Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus) dipakai secara umum
untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC)
dalam satu istilah yang belum diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya seperti
infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU mempunyai gambaran klinis
yang tumpang tindih sehingga tidak jarang sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain
1
kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke dalam
kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau PC. (Stenson, 1995)
II. EPIDEMIOLOGI
Dari berbagi data kepusakaan didapatkan bahwa insiden KU di Negara barat bervariasi
antar 5-18 per 100.000 penduduk. Adapun prevalensinya berkisar 10-20 kalinya. Dalam decade
terakhir kejadian PC cenderung meningkat. IBD cenderung terjadi pada usia muda (umur 25-30
tahun) dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara wanita dan laki-laki. Yang cukup menarik
adalah adanya perbedaan distribusi geografis. Prevalensi di Eropa Utara lebih tinggi daripada di
Eropa Selatan, demikian pula di Amerika. Orang kulit putih jauh lebih banyak terkena
dibandingkan kulit hitam. Dari segi ras, tampaknya IBD banyak terdapat pada orang Yahudi.
IBD lebih cenderung terjadi pada kelompok social ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai
kontrasepsi oral, dan diet rendah serat. (Marks, 1999)
Belum ada data prevalensi dan insidensi IBD di Indonesia. Bila bertitik tolak pada data
endoskopi di Sub-bagian Gastroenterologi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di 20 kasus
KU dan 10 kasus PC dari 700 pemeriksaan kolonoskopi atas berbagai indikasi. Data di
masyarakat mungkin lebih tinggi daripada data yang ada di rumah sakit, mengingat sarana
endoskopi belum tersedia merata di pusat pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada studi
prospektif di beberapa rumah sakit di Jakarta pada kasus yang dilakukan kolonoskopi atas
indikasi diare kronik, hematokezia, dan nyeri perut kronik (total 451 kasus), didapatkan KU
sebanyak 5,5 %, PC 2,0 %, dan 2,4 % indeterminate colitis. (Djojoningrat, 2001)
2
III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang memadai untuk
menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis penyakit ini. Tidak dapat disangkal
bahwa faktor genetic memainkan peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada
anak kembar dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas epitel
usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan riwayat
infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi
masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks,
antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk permiabelitas epitel usus),
dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD. (Shanahan, 1999)
Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi,
toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan
dipengaruhi oleh faktor genetic, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses
inflamasi pada dinding usus.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
Istilah penyakit inflamasi usus (IBD) merujuk pada keadaan kolitis ulserativa (UC) dan
penyakit Crohn (CD). Inflammatory bowel disease adalah suatu kondisi kronis yang tidak
diketahui etiologinya, yang dicirikan oleh episode berulang dari nyeri perut, sering kali disertai
dengan diare. Meskipun kedua kondisi diatas (ulcerative colitis dan penyakit Crohn) memiliki
temuan patologis yang berbeda, sehingga persentase pasien dengan penyakit inflamasi usus
(IBD) tidak jelas dilaporkan angka kejadiannya. Penyakit Crohn juga disebut enteritis regional,
terminal ileitis, atau granulomatosa ileocolitis.
Penyakit Crohn, sebuah subkategori penyakit inflamasi usus, dilaporkan memiliki angka
morbiditas yang cukup signifikan, khususnya di negara-negara industri. Dapat mempengaruhi
orang-orang dari umur berapa saja, tetapi lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa muda.
Peradangan dan ulserasi terjadi terutama di ileum terminalis dan kolon, meskipun setiap bagian
dari saluran pencernaan dapat terkena penyakit inflamasi usus (IBD) ini. Tidak ada etiologi yang
jelas tentang penyakit inflamasi usus (IBD) ini, meskipun sejumlah faktor mempunyai kontribusi
kepada etiopathogenesis penyakit inflamasi usus (IBD), termasuk genetik, mikroba, penyebab
terjadinya peradangan, kekebalan tubuh (imunitas), dan kelainan pada system permeabilitas
tubuh. Pengobatan secara konvensional dilaporkan tidak memberikan hasil yang cukup
memuaskan, tetapi dapat memberikan kontribusi untuk resolusi flare-ups akut dan berperan
4
terhadap terjadinya episode remisi. Efek samping yang ditimbulkan setelah intervensi
medikamentosa yang dilakukan menyebabkan intervensi yang lebih alami untuk membantu
mempertahankan kondisi penderita pada saat sekarang ini lebih dipertimbangkan.
Nilai remisi yang lebih baik terlihat dalam pasien Crohn's siapa yang mendapatkan obat
penekan imun lebih dulu daripada steroids. Remisi dari penyakit Crohn's mungkin lebih besar
jika pasien mendapatkan obat penekan, bukan steroids, lebih dulu. Berita itu, diterbitkan dalam
edisi The lanset, sebuah studi yang berasal dari pasien penyakit Crohn's di Eropa.
Studi menunjukkan nilai remisi lebih baik bila pasien memulai perawatan penyakit
Crohn's tertentu dengan obat penekan kekebalan daripada steroids. "Tidak hanya pasien seperti
mendapatkan penyakitnya di bawah kontrol, namun mereka juga terkena penyebaran steroids -
memperpanjang penggunaan terkait dengan penyakit metabolis dan bahkan meningkat
kematian," kata Feagan, yang mengarahkan pada percobaan klinis di Robarts Research Institute
di Kanada dari University of Western Ontario.
Peneliti lainnya sedang menguji dengan strategi yang sama. Jika temuan mereka,
diharapkan nanti dalam tahun ini, yang sesuai dengan studi di Eropa, "perawatan algoritma untuk
pasien dengan penyakit Crohn's akan berubah," mengenyangkan sebuah editorial di The Lancet.
Studi Eropa termasuk 133 orang pasien penyakit Crohn's yang tidak mulai mengambil obat
penyakit Crohn's apapun.
5
Para peneliti yang menugaskan separuh dari pasien secara acak untuk memulai
pengobatan penyakit Crohn's dengan mengambila dua obat penekan kekebalan, Remicade dan
Imuran. Pasien itu dapat mengambil corticosteroids kemudian, jika diperlukan. Sebagai
perbandingan, pada pasien lainnya yang mendapat kan pengobatan penyakit Crohn's standar,
dengan melibatkan pengambianl corticosteroids terlebih dahulu, kemudian mengambil Imuran,
dan akhirnya mengambil Remicade. Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat grup mana yang
lebih baik nilai remisi tanpa operasi setelah 26 minggu pengobatan dan setelah satu tahun
perawatan.
Nilai remisi sangat unggul di antara para pasien yang memulai pengobatan dengan
Remicade dan Imuran. Di antara pasien itu, 60% adalah dalam remisi setelah 26 minggu
pengobatan dan hampir 62% adalah dalam remisi dalam satu tahun pengobatan dimulai. Sebagai
6
perbandingan, sekitar 36% dari pasien yang mulai dengan pengobatan steroid dalam remisi itu
setelah 26 minggu perawatan dan 42% adalah dalam remisi setelah satu tahun pengobatan
dimulai. Setelah tahun pertama perawatan, dua kelompok mempunyai nilai remisi yang mirip.
Kemudian kambuh terjadi bagi para pasien yang dimulai dengan Remicade dan Imuran daripada
orang-orang yang dimulai dengan steroids.
Pasien yang memulai dengan Remicade dan Imuran kurang kemungkinan untuk
memiliki borok dua tahun setelah perawatan, dibandingkan dengan mereka yang dimulai dengan
steroids. Dalam pola yang jelas, para peneliti menyarankan untuk memulai dengan Remicade dan
Imuran mungkin dapat mengubah bagian dari penyakit. Kedua kelompok itu memiliki
persentase efek samping yang sama, para peneliti mengingatkan.
II. GAMBARAN KLINIS
Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD
yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis,
pioderma gangrenosum, eritema nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai
gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai
gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini
disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih
bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua
7
bagian traktus gastrointestinal. Adapun gejala dan lesi anatomis yang terlibat dapat dilihat pada
table 1. (Stenson, 1995)
Perjalanan klinis IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini dapat
disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan. Dengan sifat perjalan klinis
IBD yang kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan suatu criteria klinis sebagai gambaran aktivitas
penyakit untuk keperluan pedomn keberhasilan pengobatan umum maupun menetapkan fase
remisi. Secara umum Disease Activity Index (DAI) yang didasari dari frekuensi diare, ada
tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi,
dan penilaian klinis secara umum oleh dokter, dapat dipaki untuk maksud tersebut. (Goebell,
1998)
Derajat klinis KU dapat dibagi atas berat, sedang, dan ringan beerdasarkan frekuensi
diare, adanya demam, derajat anemia, dan laju endap darah (klasifikasi Trulove). Perjalanan
penyakit KU dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang
bertambah berat secara gradual dalam beberapa minggu. Berat ringannya serangan pertama
sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya
melibatkan lapisan mukosa.
8
Tabel 1. Gambaran Klinis IBD
Colitis Ulseratif Penyakit Chorn
Gejala dan tanda :
o Diare kronik
o Perdarahan per anum
o Nyeri perut
o Adanya massa intraabdomen
o Terjadinya fistula
o Timbul striktur/stenosis usus
o Keterlibatan usus halus
o Keterlibatan rectum
o Menifestasi ekstraintestinal
o Komplikasi megakolon toksik
++
++
+
0
+/-
+
+/-
95%
+
+
++
+
++
++
++
++
++
50%
+
+/-
Patologi :
o Lesi bersifat segmental
o Bersifat transmural
o Didapatkan granuloma
o Terjadi proses fibrosis
o Terjadi fistula
0
+/-
0
+
+/-
++
++
50%
++
++
Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak
9
Pada PC selain gejala umum di atas, adanya fistula merupakan hal yang karakteristik
(Termasuk di perianal). Nyeri perut relative lebih mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi
yang transmural sehingga dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada
timbulnya bacterial overgrowth.
Secara endoskopik, penilaian aktivitas penyakit KU relative lebih mudah dengan menilai
gradasi berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Tetapi pada PC hal
tersebut lebih sulit, terlebih bila ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh tehnik
pemeriksaan endoskopi), sehingga dipakai criteria yang lebih spesifik (Chorn’s Disease Activity
Index) yang didasari pada penilaian adanya demam, data laboratorium, manifestasi ekstra-
intestinal, frekuensi diare, nyeri abdomen, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya massa
intra-abdomen, dan rasa sehat pasien. (Modigliani, 1999)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
3.1 Laboratorium
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik sebagai dasar
diagnosis IBD maupun untuk membedakan KU dengan PC. Data laboratorium lebih banyak
berperan untuk menilai derajat aktivitas penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien.
Parameter yang banyak dipakai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum untuk
menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai aktivitas inflamasi serta
10
kadar albumin serum untuk status nutrisi, serta C reactive protein yang dapat dipakai juga
sebagai parameter aktivitas penyakit.
3.2. Endoskopi
Endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis maupun penatalaksanaan kasus
IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada IBD adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil
yang meragukan. Adapun gambaran endoskopi KU dan PC yang karakteristik dapat dilihat pada
table 2. (Modigilani, 1999)
Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan
kontinyu, dimulai dari rectum dan menyebar ke proksimal. Sedangkan PC bersifat transmural,
segmental dan dapat terjadi di saluran cerna bagian atas, usus halus, ataupun kolon.
Dari data kolonoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokasi KU
adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolonsebelah kiri dan 8% melibatkan seluruh
kolon (pan-kolitis). Sedangkan PC, 11% terbatas pada ileum terminal, ileo-kolon 33%, dan kolon
56%. Ileo-saekal merupakan predileksi beberapa penyakit yaitu TBC, amebiasis, PC, dan
keganasan. Data di Jakarta memperlihatkan bahwa pada temuan lesi per-kolonoskopik yang
terbatas pada ileo-saekal disebabkan oleh 17,6% PC, 23,5% TBC, 17,6% amebiasis, dan 35,4%
colitis infektif. (Djojodiningrat, 2003)
11
Tabel 2. Gambaran Lesi Inflamasi IBD Secara Endokopik
Colitis ulseratif Penyakit Crohn
Lesi inflamasi (edema, eritema, erosi,
dll) :
Bersifat kontinyu
Adanya skip area (adanya
mukosa normal di antara lesi)
Keterlibatan rectum
Lesi mudah berdarah
Mukosa granular
Cobblestoned appearece/pseudo
polip
+++
0
+++
+++
+++
+
+
+++
+
+
+
+++
Sifat ulkus :
Terdapat pada mukosa yang
inflamasi
Keterlibatan ileum (ada lesi di
+++
0
+
++++
12
ileum)
Lesi ulkus berukuran diskrit
Bentuk ulkus :
- Diameter > 1cm
- Dalam
- Bentuk linier (longitudinal)
- aphloid
+
+
+
+
0
+++
+++
++
+++
++++
3.3. Radiologi
Tehnik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostic pada IBD yang
saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat memperlihatkan striktur,
fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas
lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan hilangnya haustrae. Interpretasi radiologi
merupakan kontraindikasi pada KU berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto
polos abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen
usus yang melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus halus
13
dapat dipakai metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul nasogastrik sampai melewati
ligamentum Treitz sehingga barium dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh
kontraksi pylorus. Peran CT scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC dalam
mendeteksi adanya abses ataupun fistula.
3.4. Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostic dari pada specimen
yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi bagi PC yang lesinya bersifat
transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan teknik biopsy per-endoskopik. Gambaran khas
14
untuk KU adalah adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel monoukleus dan
polimorfonuklear di lamina propia. Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid (terdapat
20-40% kasus) merupakan hal yang karakteritik disamping adanya infiltrasi sel makrofag dan
limfosit di lamina propia serta ulserasi yang dalam. (Surawitz, 1993)
IV. PENGOBATAN
Mengingat bahwa etiologi dan pathogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih
ditekankan pada kaskade penghambatan proses inflamasi (kalau memang tidak dapat dihilangkan
sama sekali). Dengan dugaan adanya faktor/agen pro-inflamasi dalam bentuk bakteri
intraluminal dan komponen diet sehari-hari yng dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada
kelompok orang yang rentan, diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian
antibiotic, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan
pola diet. Metroniazol cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada PC dalam
menurunkan derajat aktivitas penyakitnya. Sedangkan pada KU jarang digunakan antibiotic
sebagai terapi terhadap agen pro-inflamasinya. Disamping beberapa konstituen diet yang harus
dihindari karena mencetuskan serangan (seperti wheat, cereal yeast, dan produk peternakan),
terdapat konstituen yang bersifat anti oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat bermanfaat
pada kasus IBD yaitu glutamine dan asam lemak rantai pendek. Mengingat penyakit ini bersifat
kronik eksaserbasi, edukasi pada pasien dan keluarganya mempunyai peranan penting. (Hanaver,
1997)
15
4.1 Kortikosteroid
Sampai saat ini glukokortikoid merupakan oba pilihan untuk PC (semua derajat) dan KU
derajat sedang berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada prednisone, metilprednisolon
(keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan
secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid local di usus yang
tinggi dengan efek sistemik (dan efek sampan) yang renda, telah dicoba golongan
glukokortikoid non-istemik untuk pengobatan IBD. Aplikasi rectal/enema diprioritaskan
pada KU distal, sedangkan untuk PC dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk
golongan ini antara lain budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan
adalah setara prednisone 40-60 mg per hari dan bila remisi telah tercapai dilakukan
tapering dose dalam waktu 8-12 minggu. (Hanaver, 1997)
4.2 Asam Aminosalisilat
Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan IBD. Preparate Sulfasalazin
(ikatan azo dari sulfapiridin dan aminosalisilat) di dalam usus akan dipecah menjadi
sulfapirin dan 5 amino salicylic acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang bekerja
sebagai anti-inflamasi pada IBD adalah 5-ASA. Saat ini tersdia preparate 5-ASA murni,
baik dalam bentuk lepas lambat pada ph>5 (di Indonesia Salofalk) maupun ikatan diazo.
Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai efektifitas yang relative sama pada IBD,
hanya dilaporkan efek samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin. Dosis
oral rata-rata yang banyak digunakan adalah 2-4 gram per hari. (Campieri, 1999)
16
4.3 Imnosupresif
Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternative lain adalah
penggunaan obat imunosupresif seperti 6-merkaptopurin (1,5 mg/KgBB/hari/oral),
azatioprin, siklosporin, dan metotreksat.
4.4 Loperamide (Imodium)
Bekerja pada lapisan otot intestinal untuk menghambat peristaltic usus dan menurunkan
motilitas usus halus. Memperpanjang waktu paruh elektrolit dan cairan sampai ke usus,
meingkatkan viskositas cairan dan menurunkan kehilangan cairan dan elektrolit.
Dewasa :
Dosis Awal : 4 mg PO
Maintenance : 2 mg PO, tidak lebih 16 mg/d
Anak :
<2 tahun : Tidak dianjurkan
2-6 tahun : 1 mg PO
6-8 tahun : 2 mg PO
8-12 tahun : 2 mg PO
17
>12 tahun : Diberikan dosis dewasa dengan Chronic diarrhea: 0.08-0.24 mg/kg/hari
4.5 Diphenoxylate and Atropine (Lomotil)
Dewasa :
15-20 mg/d PO 2-3 x/ hari, diikuti 5-15 mg/hari
Anak :
<2 tahun : Tidak dianjurkan
>2 tahun : 0.3-0.4 mg/kg/d PO dalam dosis terbagi
2-5 tahun : 2 mg PO
5-8 tahun : 2 mg PO
8-12 tahun : 2 mg PO 5x / hari
>12 tahun : Diberikan dosis dewasa
4.6 Cholestyramine (Questran)
18
Dewasa :
4 g PO qd/bid;tidak lebih dari 24 g/d atau 6 doses/hari
Anak :
240 /kg/d PO dibagi dalam 3 dosis
4.7 Dicyclomine (Bentyl)
Dewasa :
80 mg/d PO
Anak :
10 mg/dose PO
4.8 Surgical
Indikasi intervensi surgical biasanya bila terjadi komplikasi atau terapi konservatif gagal
dilakukan.
V. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit IBD dapat terjadi komplikasi-komplikasi sebagai berikut :
19
- Perforasi usus
- Terjadi stenosis usus akibat proses fibrosis
- Megakolon toksik (teruama pada KU)
- Perdarahan saluran cerna
- Degenerasi maligna
Diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% setelah 20 tahun menderita.
VI. PROGNOSIS
Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakityang bersifat remisi dan eksaserbasi.
Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang
lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi dan perjalanan klinis yang
resisten terhadap penatalaksanaan konservatif dan membutuhkan intervensi surgical. Dilaporkan
antara 60-70% kasus PC membutuhkan intervensi surgical dalam perjalanan penyakitnya.
Sedangkan pada KU, 30% pasien yang telah 25 tahun menderita penyakit ini, membutuhkan
tindakan kolektomi. (Herfath, 2000)
IBD sampai saat ini merupakan penyakit yang belum diketahui penyebab pastinya
bermanifestasi terutama dalam bentuk diare kronik dengan manifestasi sistemik dan ekstra-
intestinalnya, serta bersifat kronik kambuhan. Kekerapannya tinggi di Negara barat, tapi di
Indonesia masih memerlukan data epidemiologi yang akurat. Pada dasarnya pengobatan berupa
pemberian obat anti-inflamasi yang bekerja local di dinding usus maupun sistemik.
20
BAB III
RINGKASAN
Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus) dipakai secara umum
untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC)
dalam satu istilah yang belum diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya seperti
infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU mempunyai gambaran klinis
yang tumpang tindih sehingga tidak jarang sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain
kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke dalam
kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau PC.
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang memadai untuk
menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis penyakit ini. Tidak dapat disangkal
21
bahwa faktor genetic memainkan peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada
anak kembar dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas epitel
usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan riwayat
infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi
masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks,
antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk permiabelitas epitel usus),
dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD.
Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD
yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis,
pioderma gangrenosum, eritema nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai
gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai
gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini
disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih
bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua
bagian traktus gastrointestinal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis Inflammatory bowel disease,
diantaranya adalah :
Laboratorium
Endoskopi
Radiologi
Histopatologi
22
Pada pasien-pasien dengan Inflammatory bowel disease dapat diberikan terapi sebagai
berikut :
Kortikosteroid
Asam Aminosalisilat
Imnosupresif
Loperamide (Imodium)
Diphenoxylate and Atropine (Lomotil)
Cholestyramine (Questran)
Dicyclomine (Bentyl)
Surgical
23