inflammatory bowel disease

32
BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus) dipakai secara umum untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC) dalam satu istilah yang belum diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang 1

Upload: ita-asyifa

Post on 24-Jun-2015

1.491 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Inflammatory Bowel Disease

BAB I

PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN

Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus) dipakai secara umum

untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC)

dalam satu istilah yang belum diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis

membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya seperti

infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU mempunyai gambaran klinis

yang tumpang tindih sehingga tidak jarang sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain

1

Page 2: Inflammatory Bowel Disease

kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke dalam

kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau PC. (Stenson, 1995)

II. EPIDEMIOLOGI

Dari berbagi data kepusakaan didapatkan bahwa insiden KU di Negara barat bervariasi

antar 5-18 per 100.000 penduduk. Adapun prevalensinya berkisar 10-20 kalinya. Dalam decade

terakhir kejadian PC cenderung meningkat. IBD cenderung terjadi pada usia muda (umur 25-30

tahun) dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara wanita dan laki-laki. Yang cukup menarik

adalah adanya perbedaan distribusi geografis. Prevalensi di Eropa Utara lebih tinggi daripada di

Eropa Selatan, demikian pula di Amerika. Orang kulit putih jauh lebih banyak terkena

dibandingkan kulit hitam. Dari segi ras, tampaknya IBD banyak terdapat pada orang Yahudi.

IBD lebih cenderung terjadi pada kelompok social ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai

kontrasepsi oral, dan diet rendah serat. (Marks, 1999)

Belum ada data prevalensi dan insidensi IBD di Indonesia. Bila bertitik tolak pada data

endoskopi di Sub-bagian Gastroenterologi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di 20 kasus

KU dan 10 kasus PC dari 700 pemeriksaan kolonoskopi atas berbagai indikasi. Data di

masyarakat mungkin lebih tinggi daripada data yang ada di rumah sakit, mengingat sarana

endoskopi belum tersedia merata di pusat pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada studi

prospektif di beberapa rumah sakit di Jakarta pada kasus yang dilakukan kolonoskopi atas

indikasi diare kronik, hematokezia, dan nyeri perut kronik (total 451 kasus), didapatkan KU

sebanyak 5,5 %, PC 2,0 %, dan 2,4 % indeterminate colitis. (Djojoningrat, 2001)

2

Page 3: Inflammatory Bowel Disease

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang memadai untuk

menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis penyakit ini. Tidak dapat disangkal

bahwa faktor genetic memainkan peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada

anak kembar dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas epitel

usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan riwayat

infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi

masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks,

antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk permiabelitas epitel usus),

dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD. (Shanahan, 1999)

Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi,

toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan

dipengaruhi oleh faktor genetic, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses

inflamasi pada dinding usus.

3

Page 4: Inflammatory Bowel Disease

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Istilah penyakit inflamasi usus (IBD) merujuk pada keadaan kolitis ulserativa (UC) dan

penyakit Crohn (CD). Inflammatory bowel disease adalah suatu kondisi kronis yang tidak

diketahui etiologinya, yang dicirikan oleh episode berulang dari nyeri perut, sering kali disertai

dengan diare. Meskipun kedua kondisi diatas (ulcerative colitis dan penyakit Crohn) memiliki

temuan patologis yang berbeda, sehingga persentase pasien dengan penyakit inflamasi usus

(IBD) tidak jelas dilaporkan angka kejadiannya. Penyakit Crohn juga disebut enteritis regional,

terminal ileitis, atau granulomatosa ileocolitis.

Penyakit Crohn, sebuah subkategori penyakit inflamasi usus, dilaporkan memiliki angka

morbiditas yang cukup signifikan, khususnya di negara-negara industri. Dapat mempengaruhi

orang-orang dari umur berapa saja, tetapi lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa muda.

Peradangan dan ulserasi terjadi terutama di ileum terminalis dan kolon, meskipun setiap bagian

dari saluran pencernaan dapat terkena penyakit inflamasi usus (IBD) ini. Tidak ada etiologi yang

jelas tentang penyakit inflamasi usus (IBD) ini, meskipun sejumlah faktor mempunyai kontribusi

kepada etiopathogenesis penyakit inflamasi usus (IBD), termasuk genetik, mikroba, penyebab

terjadinya peradangan, kekebalan tubuh (imunitas), dan kelainan pada system permeabilitas

tubuh. Pengobatan secara konvensional dilaporkan tidak memberikan hasil yang cukup

memuaskan, tetapi dapat memberikan kontribusi untuk resolusi flare-ups akut dan berperan

4

Page 5: Inflammatory Bowel Disease

terhadap terjadinya episode remisi. Efek samping yang ditimbulkan setelah intervensi

medikamentosa yang dilakukan menyebabkan intervensi yang lebih alami untuk membantu

mempertahankan kondisi penderita pada saat sekarang ini lebih dipertimbangkan.

Nilai remisi yang lebih baik terlihat dalam pasien Crohn's siapa yang mendapatkan obat

penekan imun lebih dulu daripada steroids. Remisi dari penyakit Crohn's mungkin lebih besar

jika pasien mendapatkan obat penekan, bukan steroids, lebih dulu. Berita itu, diterbitkan dalam

edisi The lanset, sebuah studi yang berasal dari pasien penyakit Crohn's di Eropa.

Studi menunjukkan nilai remisi lebih baik bila pasien memulai perawatan penyakit

Crohn's tertentu dengan obat penekan kekebalan daripada steroids.  "Tidak hanya pasien seperti

mendapatkan penyakitnya di bawah kontrol, namun mereka juga terkena penyebaran steroids -

memperpanjang penggunaan terkait dengan penyakit metabolis dan bahkan meningkat

kematian," kata Feagan, yang mengarahkan pada percobaan klinis di Robarts Research Institute

di Kanada dari University of Western Ontario.

Peneliti lainnya sedang menguji dengan strategi yang sama. Jika temuan mereka,

diharapkan nanti dalam tahun ini, yang sesuai dengan studi di Eropa, "perawatan algoritma untuk

pasien dengan penyakit Crohn's akan berubah," mengenyangkan sebuah editorial di The Lancet. 

Studi Eropa termasuk 133 orang pasien penyakit Crohn's yang tidak mulai mengambil obat

penyakit Crohn's apapun.

5

Page 6: Inflammatory Bowel Disease

Para peneliti yang menugaskan separuh dari pasien secara acak untuk memulai

pengobatan penyakit Crohn's dengan mengambila dua obat penekan kekebalan, Remicade dan

Imuran. Pasien itu dapat mengambil corticosteroids kemudian, jika diperlukan.  Sebagai

perbandingan, pada pasien lainnya yang mendapat kan pengobatan penyakit Crohn's standar,

dengan melibatkan pengambianl corticosteroids terlebih dahulu, kemudian mengambil Imuran,

dan akhirnya mengambil Remicade. Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat grup mana yang

lebih baik nilai remisi tanpa operasi setelah 26 minggu pengobatan dan setelah satu tahun

perawatan. 

Nilai remisi sangat unggul di antara para pasien yang memulai pengobatan dengan

Remicade dan Imuran. Di antara pasien itu, 60% adalah dalam remisi setelah 26 minggu

pengobatan dan hampir 62% adalah dalam remisi dalam satu tahun pengobatan dimulai. Sebagai

6

Page 7: Inflammatory Bowel Disease

perbandingan, sekitar 36% dari pasien yang mulai dengan pengobatan steroid dalam remisi itu

setelah 26 minggu perawatan dan 42% adalah dalam remisi setelah satu tahun pengobatan

dimulai. Setelah tahun pertama perawatan, dua kelompok mempunyai nilai remisi yang mirip.

Kemudian kambuh terjadi bagi para pasien yang dimulai dengan Remicade dan Imuran daripada

orang-orang yang dimulai dengan steroids.

Pasien yang memulai dengan Remicade dan Imuran kurang kemungkinan untuk

memiliki borok dua tahun setelah perawatan, dibandingkan dengan mereka yang dimulai dengan

steroids. Dalam pola yang jelas, para peneliti menyarankan untuk memulai dengan Remicade dan

Imuran mungkin dapat mengubah bagian dari penyakit. Kedua kelompok itu memiliki

persentase efek samping yang sama, para peneliti mengingatkan.

II. GAMBARAN KLINIS

Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD

yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis,

pioderma gangrenosum, eritema nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai

gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai

gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini

disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih

bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua

7

Page 8: Inflammatory Bowel Disease

bagian traktus gastrointestinal. Adapun gejala dan lesi anatomis yang terlibat dapat dilihat pada

table 1. (Stenson, 1995)

Perjalanan klinis IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini dapat

disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan. Dengan sifat perjalan klinis

IBD yang kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan suatu criteria klinis sebagai gambaran aktivitas

penyakit untuk keperluan pedomn keberhasilan pengobatan umum maupun menetapkan fase

remisi. Secara umum Disease Activity Index (DAI) yang didasari dari frekuensi diare, ada

tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi,

dan penilaian klinis secara umum oleh dokter, dapat dipaki untuk maksud tersebut. (Goebell,

1998)

Derajat klinis KU dapat dibagi atas berat, sedang, dan ringan beerdasarkan frekuensi

diare, adanya demam, derajat anemia, dan laju endap darah (klasifikasi Trulove). Perjalanan

penyakit KU dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang

bertambah berat secara gradual dalam beberapa minggu. Berat ringannya serangan pertama

sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya

melibatkan lapisan mukosa.

8

Page 9: Inflammatory Bowel Disease

Tabel 1. Gambaran Klinis IBD

Colitis Ulseratif Penyakit Chorn

Gejala dan tanda :

o Diare kronik

o Perdarahan per anum

o Nyeri perut

o Adanya massa intraabdomen

o Terjadinya fistula

o Timbul striktur/stenosis usus

o Keterlibatan usus halus

o Keterlibatan rectum

o Menifestasi ekstraintestinal

o Komplikasi megakolon toksik

++

++

+

0

+/-

+

+/-

95%

+

+

++

+

++

++

++

++

++

50%

+

+/-

Patologi :

o Lesi bersifat segmental

o Bersifat transmural

o Didapatkan granuloma

o Terjadi proses fibrosis

o Terjadi fistula

0

+/-

0

+

+/-

++

++

50%

++

++

Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak

9

Page 10: Inflammatory Bowel Disease

Pada PC selain gejala umum di atas, adanya fistula merupakan hal yang karakteristik

(Termasuk di perianal). Nyeri perut relative lebih mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi

yang transmural sehingga dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada

timbulnya bacterial overgrowth.

Secara endoskopik, penilaian aktivitas penyakit KU relative lebih mudah dengan menilai

gradasi berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Tetapi pada PC hal

tersebut lebih sulit, terlebih bila ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh tehnik

pemeriksaan endoskopi), sehingga dipakai criteria yang lebih spesifik (Chorn’s Disease Activity

Index) yang didasari pada penilaian adanya demam, data laboratorium, manifestasi ekstra-

intestinal, frekuensi diare, nyeri abdomen, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya massa

intra-abdomen, dan rasa sehat pasien. (Modigliani, 1999)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

3.1 Laboratorium

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik sebagai dasar

diagnosis IBD maupun untuk membedakan KU dengan PC. Data laboratorium lebih banyak

berperan untuk menilai derajat aktivitas penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien.

Parameter yang banyak dipakai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum untuk

menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai aktivitas inflamasi serta

10

Page 11: Inflammatory Bowel Disease

kadar albumin serum untuk status nutrisi, serta C reactive protein yang dapat dipakai juga

sebagai parameter aktivitas penyakit.

3.2. Endoskopi

Endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis maupun penatalaksanaan kasus

IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada IBD adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil

yang meragukan. Adapun gambaran endoskopi KU dan PC yang karakteristik dapat dilihat pada

table 2. (Modigilani, 1999)

Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan

kontinyu, dimulai dari rectum dan menyebar ke proksimal. Sedangkan PC bersifat transmural,

segmental dan dapat terjadi di saluran cerna bagian atas, usus halus, ataupun kolon.

Dari data kolonoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokasi KU

adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolonsebelah kiri dan 8% melibatkan seluruh

kolon (pan-kolitis). Sedangkan PC, 11% terbatas pada ileum terminal, ileo-kolon 33%, dan kolon

56%. Ileo-saekal merupakan predileksi beberapa penyakit yaitu TBC, amebiasis, PC, dan

keganasan. Data di Jakarta memperlihatkan bahwa pada temuan lesi per-kolonoskopik yang

terbatas pada ileo-saekal disebabkan oleh 17,6% PC, 23,5% TBC, 17,6% amebiasis, dan 35,4%

colitis infektif. (Djojodiningrat, 2003)

11

Page 12: Inflammatory Bowel Disease

Tabel 2. Gambaran Lesi Inflamasi IBD Secara Endokopik

Colitis ulseratif Penyakit Crohn

Lesi inflamasi (edema, eritema, erosi,

dll) :

Bersifat kontinyu

Adanya skip area (adanya

mukosa normal di antara lesi)

Keterlibatan rectum

Lesi mudah berdarah

Mukosa granular

Cobblestoned appearece/pseudo

polip

+++

0

+++

+++

+++

+

+

+++

+

+

+

+++

Sifat ulkus :

Terdapat pada mukosa yang

inflamasi

Keterlibatan ileum (ada lesi di

+++

0

+

++++

12

Page 13: Inflammatory Bowel Disease

ileum)

Lesi ulkus berukuran diskrit

Bentuk ulkus :

- Diameter > 1cm

- Dalam

- Bentuk linier (longitudinal)

- aphloid

+

+

+

+

0

+++

+++

++

+++

++++

3.3. Radiologi

Tehnik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostic pada IBD yang

saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat memperlihatkan striktur,

fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas

lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan hilangnya haustrae. Interpretasi radiologi

merupakan kontraindikasi pada KU berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto

polos abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen

usus yang melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus halus

13

Page 14: Inflammatory Bowel Disease

dapat dipakai metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul nasogastrik sampai melewati

ligamentum Treitz sehingga barium dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh

kontraksi pylorus. Peran CT scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC dalam

mendeteksi adanya abses ataupun fistula.

3.4. Histopatologi

Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostic dari pada specimen

yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi bagi PC yang lesinya bersifat

transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan teknik biopsy per-endoskopik. Gambaran khas

14

Page 15: Inflammatory Bowel Disease

untuk KU adalah adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel monoukleus dan

polimorfonuklear di lamina propia. Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid (terdapat

20-40% kasus) merupakan hal yang karakteritik disamping adanya infiltrasi sel makrofag dan

limfosit di lamina propia serta ulserasi yang dalam. (Surawitz, 1993)

IV. PENGOBATAN

Mengingat bahwa etiologi dan pathogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih

ditekankan pada kaskade penghambatan proses inflamasi (kalau memang tidak dapat dihilangkan

sama sekali). Dengan dugaan adanya faktor/agen pro-inflamasi dalam bentuk bakteri

intraluminal dan komponen diet sehari-hari yng dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada

kelompok orang yang rentan, diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian

antibiotic, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan

pola diet. Metroniazol cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada PC dalam

menurunkan derajat aktivitas penyakitnya. Sedangkan pada KU jarang digunakan antibiotic

sebagai terapi terhadap agen pro-inflamasinya. Disamping beberapa konstituen diet yang harus

dihindari karena mencetuskan serangan (seperti wheat, cereal yeast, dan produk peternakan),

terdapat konstituen yang bersifat anti oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat bermanfaat

pada kasus IBD yaitu glutamine dan asam lemak rantai pendek. Mengingat penyakit ini bersifat

kronik eksaserbasi, edukasi pada pasien dan keluarganya mempunyai peranan penting. (Hanaver,

1997)

15

Page 16: Inflammatory Bowel Disease

4.1 Kortikosteroid

Sampai saat ini glukokortikoid merupakan oba pilihan untuk PC (semua derajat) dan KU

derajat sedang berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada prednisone, metilprednisolon

(keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan

secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid local di usus yang

tinggi dengan efek sistemik (dan efek sampan) yang renda, telah dicoba golongan

glukokortikoid non-istemik untuk pengobatan IBD. Aplikasi rectal/enema diprioritaskan

pada KU distal, sedangkan untuk PC dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk

golongan ini antara lain budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan

adalah setara prednisone 40-60 mg per hari dan bila remisi telah tercapai dilakukan

tapering dose dalam waktu 8-12 minggu. (Hanaver, 1997)

4.2 Asam Aminosalisilat

Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan IBD. Preparate Sulfasalazin

(ikatan azo dari sulfapiridin dan aminosalisilat) di dalam usus akan dipecah menjadi

sulfapirin dan 5 amino salicylic acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang bekerja

sebagai anti-inflamasi pada IBD adalah 5-ASA. Saat ini tersdia preparate 5-ASA murni,

baik dalam bentuk lepas lambat pada ph>5 (di Indonesia Salofalk) maupun ikatan diazo.

Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai efektifitas yang relative sama pada IBD,

hanya dilaporkan efek samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin. Dosis

oral rata-rata yang banyak digunakan adalah 2-4 gram per hari. (Campieri, 1999)

16

Page 17: Inflammatory Bowel Disease

4.3 Imnosupresif

Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternative lain adalah

penggunaan obat imunosupresif seperti 6-merkaptopurin (1,5 mg/KgBB/hari/oral),

azatioprin, siklosporin, dan metotreksat.

4.4 Loperamide (Imodium)

Bekerja pada lapisan otot intestinal untuk menghambat peristaltic usus dan menurunkan

motilitas usus halus. Memperpanjang waktu paruh elektrolit dan cairan sampai ke usus,

meingkatkan viskositas cairan dan menurunkan kehilangan cairan dan elektrolit.

Dewasa :

Dosis Awal : 4 mg PO

Maintenance : 2 mg PO, tidak lebih 16 mg/d

Anak :

<2 tahun : Tidak dianjurkan

2-6 tahun : 1 mg PO

6-8 tahun : 2 mg PO

8-12 tahun : 2 mg PO

17

Page 18: Inflammatory Bowel Disease

>12 tahun : Diberikan dosis dewasa dengan Chronic diarrhea: 0.08-0.24 mg/kg/hari

4.5 Diphenoxylate and Atropine (Lomotil)

Dewasa :

15-20 mg/d PO 2-3 x/ hari, diikuti 5-15 mg/hari

Anak :

<2 tahun : Tidak dianjurkan

>2 tahun : 0.3-0.4 mg/kg/d PO dalam dosis terbagi

2-5 tahun : 2 mg PO

5-8 tahun : 2 mg PO

8-12 tahun : 2 mg PO 5x / hari

>12 tahun : Diberikan dosis dewasa

4.6 Cholestyramine (Questran)

18

Page 19: Inflammatory Bowel Disease

Dewasa :

4 g PO qd/bid;tidak lebih dari 24 g/d atau 6 doses/hari

Anak :

240 /kg/d PO dibagi dalam 3 dosis

4.7 Dicyclomine (Bentyl)

Dewasa :

80 mg/d PO

Anak :

10 mg/dose PO

4.8 Surgical

Indikasi intervensi surgical biasanya bila terjadi komplikasi atau terapi konservatif gagal

dilakukan.

V. KOMPLIKASI

Dalam perjalanan penyakit IBD dapat terjadi komplikasi-komplikasi sebagai berikut :

19

Page 20: Inflammatory Bowel Disease

- Perforasi usus

- Terjadi stenosis usus akibat proses fibrosis

- Megakolon toksik (teruama pada KU)

- Perdarahan saluran cerna

- Degenerasi maligna

Diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% setelah 20 tahun menderita.

VI. PROGNOSIS

Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakityang bersifat remisi dan eksaserbasi.

Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang

lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi dan perjalanan klinis yang

resisten terhadap penatalaksanaan konservatif dan membutuhkan intervensi surgical. Dilaporkan

antara 60-70% kasus PC membutuhkan intervensi surgical dalam perjalanan penyakitnya.

Sedangkan pada KU, 30% pasien yang telah 25 tahun menderita penyakit ini, membutuhkan

tindakan kolektomi. (Herfath, 2000)

IBD sampai saat ini merupakan penyakit yang belum diketahui penyebab pastinya

bermanifestasi terutama dalam bentuk diare kronik dengan manifestasi sistemik dan ekstra-

intestinalnya, serta bersifat kronik kambuhan. Kekerapannya tinggi di Negara barat, tapi di

Indonesia masih memerlukan data epidemiologi yang akurat. Pada dasarnya pengobatan berupa

pemberian obat anti-inflamasi yang bekerja local di dinding usus maupun sistemik.

20

Page 21: Inflammatory Bowel Disease

BAB III

RINGKASAN

Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus) dipakai secara umum

untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC)

dalam satu istilah yang belum diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis

membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya seperti

infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU mempunyai gambaran klinis

yang tumpang tindih sehingga tidak jarang sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain

kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke dalam

kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau PC.

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang memadai untuk

menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis penyakit ini. Tidak dapat disangkal

21

Page 22: Inflammatory Bowel Disease

bahwa faktor genetic memainkan peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada

anak kembar dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas epitel

usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan riwayat

infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi

masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks,

antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk permiabelitas epitel usus),

dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD.

Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD

yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis,

pioderma gangrenosum, eritema nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai

gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai

gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini

disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih

bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua

bagian traktus gastrointestinal.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis Inflammatory bowel disease,

diantaranya adalah :

Laboratorium

Endoskopi

Radiologi

Histopatologi

22

Page 23: Inflammatory Bowel Disease

Pada pasien-pasien dengan Inflammatory bowel disease dapat diberikan terapi sebagai

berikut :

Kortikosteroid

Asam Aminosalisilat

Imnosupresif

Loperamide (Imodium)

Diphenoxylate and Atropine (Lomotil)

Cholestyramine (Questran)

Dicyclomine (Bentyl)

Surgical

23