tatalaksana peritonitis
DESCRIPTION
Tatalaksana PeritonitisTRANSCRIPT
TERAPI PERITONITIS
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan
radang di peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan drainase abses dan
endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga
peritoneum.
Pada tahun 1926, prinsip-prinsip dasar penatalaksanaan operasi telah mulai dikerjakan.
Hingga kini tindakan operatif merupakan pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah
peritonitis. Selain itu, harus dilakukan pula tatalaksana terhadap penyakit yang
mendasarinya, pemberian antibiotik dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder
akibat gagal sistem organ. Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dan sebagainya) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah
keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. Resusitasi hebat dengan larutan saline
isotonik adalah penting.
Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran
oksigen, nutrisi dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. terapi antibiotika harus
diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. Pembuangan fokus septik
atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Operasi ini untuk
mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal
digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta
ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan di atas tempat inflamasi. Teknik operasi
yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis
dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau, mereseksi viskus yang perforasi. Lavase
peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ke tempat yang tidak terkontaminasi
maka dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteri menyebar ke tempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi atau terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk
bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang
terus menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi.
Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan
cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial. Pengembalian
volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk
menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia
dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red
Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk
mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal. Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari
jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob
yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri
anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci.
Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris
harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan
dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda
infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan
menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-
hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1)
besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma,
(3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif,
terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi
dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan
dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram
streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis.
Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan
secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang
adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan
dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam
sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan
hitung sel darah putih yang normal.
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolisme tubuh akibat
adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika
terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar
yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2)
hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang
cepat dan dangkal.
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus.
Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.
Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak
tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa
darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.
Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi
usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang
spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang
bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus
lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan
teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi
fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin
dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat
bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase
(pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob
maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik
yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan
peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi,
lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan
komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular
junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi
karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing
dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif
dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung
dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada
peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada
kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau
kavitas yang tidak dapat direseksi.
Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ
vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik
ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus
menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada
durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih
awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.