referat peritonitis

Upload: alyssa-diandra

Post on 10-Jan-2016

68 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ehehe

TRANSCRIPT

PERITONITIS31

Daftar IsiKATA PENGANTAR2BAB I PENDAHULUAN3BAB II PERITONITIS41.Definisi42.Epidemiologi43. Anatomi44.Klasifikasi75. Etiologi76.Patofisiologi1,3,4167. Manifestasi klinis2,3,4208. Diagnosis1,3219. Diagnosis Banding42510.Tatalaksana2511.Monitoring32812.Komplikasi 1,32813.Pencegahan2914.Prognosis329BAB III KESIMPULAN31DAFTAR PUSTAKA32

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Bagaimana Mendiagnosa Peritonitis dan Penatalaksanaannya dengan baik serta tepat pada waktunya.Adapun referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta periode 22 Juni 2015 29 Agustus 2015.Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :1. dr. Surya Andi Pohan, Sp B dokter pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, bimbingan, motivasi, dan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam penulisan referat ini.2. dr. Maulina Indah, Sp. B, dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis selama kepaniteraan di RSUD Kudus.3. dr. Rinaldo Parulian Sp. B, dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis selama kepaniteraan di RSUD Kudus.4. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan referat ini.Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

Jakarta, 18 Juli 2015

PenulisBAB I PENDAHULUAN

Infeksi intraperitoneal umumnya timbul akibat gangguan pada lapisan anatomik peritoneum. Hal ini dapat terjadi akibat apendiksitis, divertikulum, atau perforasi lambung; ketika dinding usus melemah akibat iskemia, tumor ataupun inflamasi, seperti pankreatitis atau inflamasi pelvis dimana enzim serta organismenya dapat masuk ke dalam ruang peritoneum. Infeksi intraabdominal muncul dalam dua tahap yakni peritonitis serta jika tidak tertangani dan dapat bertahan dapat menjadi abses.1Peritonitis merupakan salah satu kegawatdaruratan abdomen yang membutuhkan penanganan yang tepat sehingga ketepatan dalam mendiagnosa serta penanganan yang tepat amat sangat dibutuhkan.

BAB IIPERITONITIS

1.DefinisiKontaminasi mikroba pada ruang peritoneum disebut peritonitis atau infeksi intraabdominal.2 Peritonitis merupakan inflamasi dari membran serosa yang menyusun ruang abdomen dan organ di dalamnya. Peritonitis merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa yang disertai dengan bakteremia dan sindrom sepsis.3 2.Epidemiologi Peritonitis terutama peritonitis bakterial spontan tinggi prevalensinya pada pasien dengan sirosis baik anak maupun dewasa. Sebanyak 70% terjadi pada pasien dengan sirosis dimana berdasarkan skor Child Pugh ada pada klasifikasi C.3 3. Anatomi Kavitas peritoneum merupakan ruang luas yang dibagi menjadi dua bagian. Ruang peritoneum atas dan bawah dibatasi oleh mesokolon transversa; omentum mayor meluas dari mesokolon transversum dan dari lambung inferior menuju ruang peritoneum bawah. Pankreas, duodenum, dan kolon asendens-desendens terletak di ruang retroperitoneal anterior; ginjal, ureter, dan adrenal berada di ruang retroperitoneal posterior. Organ lain seperti hati, lambung, kantung empedu, limpa, jejunum, ileum, kolon transversum dan sigmoid, sekum serta apendiks berada di kavitas peritoneum. Ruang ini dilapisi oleh membran serosa yang terluas dan paling kompleks di dalam tubuh. Mereka membentuk kantung tertutup (coelom) dengan menyusun permukaan inferior dari dinding abdominal (anterior dan lateral), dengan membentuk lingkaran ke retroperitoneum (posterior), dengan melapisi struktur ekstraperitoneal di pelvis (inferior), dan dengan melapisi permukaan bawah diafragma (superior).4 Peritoneum memiliki 2 lapisan yakni lapisan parietal dan lapisan viseral yang diantaranya terdapat ruang peritoneum. Terdapat cairan serosa yang mengisi ruang peritoneum dimana mengandung protein (terutama albumin) sebanyak 30g/L dan 250/L cukup untuk menegakkan diagnosis peritonitis bakterial primer. Penegakkan diagnosis ini sebenarnya tidak mudah mengingat jumlah organisme yang biasanya rendah, sehingga penegakkannya berdasarkan dari eksklusi penyebab peritonitis. CT scan dapat membantu dalam hal ini. Pemeriksaan radiologi berupa foto polos dapat digunakan untuk membedakan antara peritonitis bakterial primer dan peritonitsi bakterial sekunder dimana umumnya peritonitis bakterial sekunder terdapat udara bebas (free air) sebagai gambaran perforasi. 8.2Peritonitis Bakterial SekunderPemeriksaan radiologi berupa foto polos dapat digunakan untuk membedakan antara peritonitis bakterial primer dan peritonitsi bakterial sekunder dimana umumnya peritonitis bakterial sekunder terdapat udara bebas (free air) sebagai gambaran perforasi.

9. Diagnosis Banding4Beberapa kelainan yang memiliki manifestasi di perut disertai penurunan keadaan umum yang paling sering adalah gastroenteritis akut. Selain itu, kelainan ekstraabdomen yang menyebabkan nyeri abdomen seperti kelainan di toraks, misalnya penyakit jantung, paru, atau pleura, kelainan neurogenik, kelainan metabolik, dan keracunan. Pada keadaan ini, dilakukan pemeriksaan abdomen namun tidak ditemukan kelainan dalam pemeriksaan. 10.TatalaksanaPrinsip dalam penatalaksanaan peritonitis adalah perbaikan etiologi, pemberian antibiotik, dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder berupa kegagalan organ. Penatalaksanaan dapat berupa operatif dan non operatif.3 Penatalaksanaan operatif bertujuan untuk mengontrol sumber infeksi dan menghilangkan mikroorganisme penyebab.3 Penatalaksanaan non operatif berupa drainase abses perkutan dan pemasangan stent endoskopik.34 prinsip dasar dalam mengatasi infeksi berupa3a) Kontrol sumber infeksib) Eliminasi bakteri dan toksinc) Mempertahankan fungsi sistem organd) Kontrol proses inflamasi Penatalaksanaan secara multidisipliner dimana melalui gabungan antara medikasi, operasi, dan non operatif. Medikasi berupa3,5a) Oksigen pada pasien hipoksia atau pasien dengan saturasi O2 95%b) Cairan intravena dan penggantian elektrolit c) Terapi anibiotik, baik spektrum luas maupun spesifik organisme. Spektrum luas seperti penisilin, gentamisin, atau cephalosporin dengan metronidazole. Dilakukan pengecekan senstivitas untuk antibiotik yang lebih tepat d) Analgetik e) Aspirasi lambung menggunakan nasogastric tube untuk mengurangi resiko aspirasi dan distensi lebih lanjut

Tindakan operatif sendiri terdiri dari beberapa cara7a) Laparotomi Pada umumnya dilakukan insisi secara upper atau lower midline. hal ini ditentukan berdasarkan lokasi sumber infeksi dimana bertujuan untuk mengatasi sumber infeksi baik membuang sumber inflamasi ataupun penutupan viskus yang mengalami perforasi. b) Peritoneal lavagePada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (>3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misalnya tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan secara parenteral akan mencapai bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage serta pada antibiotik tertentu seperti aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikaso anestesi. Setelah dilakukan lavage, cairan peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri. c) LaparoskopiLaparoskopi efektif pada penanganan apendiksitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Syok dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi. d) Peritoneal drainage Penggunaan drain sangat penting untuk abses intraabdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi lokal residual atau pada kontaminasi lanjutan serta untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi. Nutrisi post operasi lebih ke arah enteral dimana komplikasi lebih rendah. Namun jika memiliki kontraindikasi nutrisi enteral maka segera memulai nutrisi parenteral. Kebutuhan nutrisi pada sepsis yakni 25-35 kkal/kgBB/hari dengan diet tinggi protein isokalori.3

10.1 Peritonitis Bakterial Primer1,2,6Penatalaksanaan peritonitis ini lebih berdasarkan hasil kultur darah maupun cairan peritoneum. Namun, sampai hasil tersebut keluar, penanganan berupa pemberian antibiotik untuk basil aerob gram negatif dan kokus gram positif, Sefalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime 2g setiap 8 jam secara intravena dapat membantu pada pasien dengan keadaan sakit sedang. Antibiotik spektrum luas seperti kombinasi penisilin atau inhibitor betalaktamase seperti piperacillin/ tazobactam 3,375g setiap 6 jam secara intravena (untuk fungsi ginjal normal) atau ceftriaxone 2g setiap 24 jam secara intravena juga dapat dipilih. Antibiotik untuk bakteri anaerob tidak terlalu diperlukan. Pasien peritonitis bakterial primer umumnya berespon dalam 72 jam terhadap antibiotik yang sesuai. Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari jika didapatkan perbaikan yang cepat dan kultur darah yang negatif. Dapat berlanjut hingga 2 minggu pada pasien dengan bakteremia dan mereka yang perbaikannya lambat. 10.2Peritonitis Sekunder1,2,4,6 Penatalaksanaan peritonitis sekunder meliputi pemberian antibiotik terutama untuk basil gram negatif aerob dan anaerob. Penyakit ringan sampai sedang dapat diberikan antibiotik spektrum luas seperti kombinasi penisilin/betalaktamase inhibitor seperti ticarcillin/clavulanate 3,1 g setiap 4-6 jam secara intravena, ceforxitin 2g setiap 4-6 jam secara intravena atau kombinasi fluorokuinolon (levofloksasin 750mg setiap 24 jam secara intravena) atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriakson 2g setiap 24 jam secara intravena) dengan metronidazole 500mg setiap 8 jam secara intravena. Pasien di ICU biasanya mendapat imipenem 500 mg setiap 6 jam secara intravena, meropenem 1g setiap 8 jam secara intravena, atau kombinasi obat seperti ampisilin dengan metronodazole dengan ciprofloksasin. Pada peritonitis sekunder umumnya diperlukan imtervensi bedah untuk mengatasi penyebab, serta pemberian antibiotik untuk mengatasi bakteremia, menurunkan insiden pembentukan abses, dan infeksi luka serta mencegah penyebaran lebih jauh dari infeksi.Pada kasus perforasi gaster, laparotomi segera dilakukan setelah perbaikan kondisi umum. Laparotomi dengan penutupan perforasi mengunakan omentum (omental plug) dan penjahitan primer pada luka perforasi dilaporkan memberikan hasil yang baik dengan intervensi yang minimal. Bila keadaan memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan penyaliran atau vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan10.3Peritonitis TersierJika dicurigai ada abses intra-abdominal, dapat ditegakkan dengan CT-scan dan dapat dilakukan drainase serta pemberian antibiotik selama 3-7 hari. Drainase dibiarkan in-situ sampai terjadi KU pasien membaik, kolaps ruang peritoneum, output 15. Peningkatan nilai APACHE II pada hari ke 3 dan 7 meningkatkan angka mortalitas sampai >90%, sebaliknya penurunan nilai menurunkan tingkat mortalitas sampai 20%. Pasien dengan kegagalan organ multipel juga mempengaruhi prognosis. Pasien tanpa kegagalan organ, angka mortalitasnya