tarikh tasyri' - kepemimpinan setelah wafatnya rasul
TRANSCRIPT
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
1/10
KEPEMIMPINAN SETELAH WAFATNYA
R A S U L U L L A H S A W
A f i f u l I k h w a n *
A B S T R A K
One of the crucial issues, after the death Muhammad, is the issue of who
should lead Muslim community onward. One of the discourses developedwas status quo which claimed that one who could replace the
leadership of Muslim must be from the ahlil bait side. By using
historical approach this study is going to explore what and how Aliresponded to the discourses by especially exploring Syiahs attitudes.
This study finally found that, even though Ali was appropriate to
becomethefirstcaliphate,
he sincerely accepted what had been decided and always supported everydecision.
Kata Kunci: Kepemimpinan, Respon Ali bin Abi Thalib
Suksesi tentang kepemimpinan negara (Khalifah) menjadi gencar dibicarakan oleh
elit politik Muslim, setelah Nabi Muhammad saw wafat. Stresing dari pembicaraannya
adalah siapa yang berhak menjadi pengganti Nabi dan bagaimana cara pemilihannya.
Sedangkan Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan garis atau ketentuan tentang
suksesi kepemimpinan ini (Amin, 1986: 324).
Dilema yang dihadapi umat Islam ketika itu diawali dengan musyawarah pertama
di Tasqifah Bani Saidah. Forum ini polemik dan dialogis tidak dapat dihindari, dimana
masing-masing pihak mengklaim, bahwa dari pihak merekalah yang berhak memegang
jabatan khalifah beserta argumen yang logis dari masing-masing golongan, namun
demikian dalam musyawarah ini tercapai konsensus bahwa pembaiatan jatuh ke tangan
Abu Bakar as-Siddiq (Abu Bakar Aceh, 1966: 78).
Diantara banyak pendapat yang berkembang, ada suatu pendapat yang berorientasi
Status Quo dimana jabatan khalifah atau pengganti Nabi harus dari ahlul Bait (Abu
Bakar Aceh, 1966: 44) bahkan lebih tegas lagi jabatan kekhalifahan itu hanya
diperuntukkan kepada Ali bin Abu Thalib, sebagai keluarga terdekat (Asyarstani, tt.: 146).
Isu terakhir ini semakin konkrit dan spesifik dalam menentukan sikap dan pendapat,
1
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
2/10
sehingga ditetapkan dalam suatu doktrin, bahwa tidak ada satu pilihan lain, hanya Ali bin
Abu Thalib-lah yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad saw.
Konsep seperti inilah, yang kemudian, dalam sejarah pemikiran kalam dikenal
dengan doktrin Syiah. Namun dalam realitasnya, yang terpilih sebagai khalifah bukanlah
Ali bin Abi Thalib melainkan Abu Bakar Siddiq. Terpilihnya Abu Bakar ini sempat terjadi
konflik di kalangan politik Muslim dari mereka yang pro Ali bin Abi Thalib mereka
menganggap Ali-lah yang pantas menerima Jabatan Kepemimpinan itu. Hal ini adalah
wajar karena Ali bin Abi Thalib termasuk keluarga besar Nabi sekaligus keluarga terdekat
Nabi. Namun konflik yang terjadi di kalangan elit politik Muslim ini dapat teredam dengan
melihat sikap Ali dalam merespon suksesi kepemimpinan itu, Ali bin Abi Thalib dengan
hati terbuka dan berlapang dada dapat menerima peralihan kepemimpinan tersebut. Dalam
artian bahwa Ali mengakui keabsahan pengangkatan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah
sekalipun terbetik dihatinya bahwa ia mempunyai hak untuk memegang jabatan tersebut.
Paradigma di atas menghantarkan penulis kepada pembahasan yang akan
difokuskan pada perspektif Syiah tentang khalifah dan respon Ali bin Abi Thalib. Adapun
aliran Syiah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah dari sekte Imamiyah, karena
dianggap sebagai rumpun aliran Syiah.
Syiah Imamiyat
1. Sekilas Pandangan Tentang Syiah Imamiyat
Syiah Imamiyat terkenal dengan sebutan Syiah Itsna Asariyah yaitu
golongan yang percaya kepada dua belas imam, mulai dari Ali bin Abi Thalib hingga
sampai kepada Muhammad Ali Mahdi al-Muntazar, yaitu imamnya yang kedua belas.
Aliran ini banyak terdapat di negara Iran, yang resmi menjadikan Syiah Imamiyah
sebagai madzhab negara, bahkan juga di Irak, Afganistan, Pakistan dan india (Umar
Hasyim, 1978: 35).
Selanjutnya golongan ini merupakan golongan yang sangat berpengaruh dan
terkenal banyak pengikutnya, jika dibandingkan dengan pengikut sekte atau golongan
lain yang terdapat dalam aliran Syiah.
H. M. Yoesoef Ibnu Hazmin dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan
2
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
3/10
Aliran-aliran Sekte Syiah mengungkapkan bahwa dalam aliran Syiah Imamiyat ada
beberapa pokok ajaran yang harus diyakini dan dilaksanakan oleh semua pengikutnya,
yaitu al-Imam, al-Ishmat, al-Mahdiyat, al-Rajaah
dan al-Taqiyat (Yoesoef, 1982: 37). Namun persoalan yang paling prinsip dalam aliran
ini adalah masalah imamah dan khalifah, karena masalah imam ini merupakan suatu
dasar ke-Islaman dan keimanan seseorang, mereka mengatakan seperti dikutip oleh
Muhammad Ridha al-Muzaffar dalam bukunya Aqidah Syiah Imamiyat bahwa
sebagaimana Allah mengutus Nabi, maka perlu ia menunjuk dan mengangkat imam.
Dan setiap masa perlu adanya imam untuk mewakili Nabi dalam menjalankan tugas
kewajiban Nabi, yang menjadi wali
yang membimbing umat menuju kebaikan dan kesejahteraan dunia akhirat(al-Muzaffar, tt.: 45) dari situ, Syiah Imamiyat meletakkan dasar aqidah tentang
masalah imam atau khalifah.
2. Doktrin Syiah Imamiyat
Syiah Imamiyat merupakan golongan yang paling ekstrim dalam masalah
imamah. Mereka berpendapat bahwa setelah wafatnya Rasulullah saw, yang berhak
untuk menjadi imam adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, karena hal ini
diwasiatkan oleh Rasulullah saw. Jadi Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Utsman bin Affandan orang-orang yang telah membaiatnya adalah telah melanggar dan tidak
mengindahkan wasiat Rasulullah saw, justru itu, mereka telah merampas hak Ali
menjadi khalifah, bahkan mereka itu dianggap kafir
dan sekaligus tidak mengakui sebagai imam (Hasyim, 1978). Selanjutnya
H. M. Rosidi mengungkapkan dalam bukunya Apa itu Syiah bahwa Ali berhak
menjadi khalifah bukan hanya karena kecakapannya dan sifat-sifat yang disebut oleh
Rasulullah akan tetapi karena sudah diwasiatkan oleh Rasul, bahwa imam yang pertama
adalah Ali bin Abi Thalib dan kemudian Hasan putra pertamanya (Rasidi, 1984: 11).
Lebih tegas lagi, Ahmad Amin mengatakan dalam bukunya Fajar al Islam bahwa
masalah khalifah merupakan jabatan atau warisan yang bersifat moril, dalam artian
jabatan khalifah itu harus dipegang oleh keluarga atau keturunan Nabi (Ahl al-Bait)
3
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
4/10
(Amin, 1969: 341).
Dari keterangan di atas dapatlah difahami bahwa yang berhak menjadi imam
atau khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya (Ahl al-Bait), dan jabatan itu tidak boleh diwariskan oleh orang lain yang
bukan dari keturunan Rasulullah itu.
Selanjutnya Syiah Imamiyat tidaklah berakhir sampai disitu saja, mereka juga
mengatakan bahwa Ali adalah makhluk yang paling utama setelah Nabi
dan mashum dari dosa, disamping itu mereka juga mempertuhankan Ali,
bahkan ada yang mengatakan bahwa pada diri ada unsur-unsur ke-Tuhanan
dan Tuhan bersatu dengan Ali dalam jasmaninya (Amin, 1996: 345). Doktrin ini
mensejajarkan predikat al-Imam dengan Nabi Muhammad saw, lebih dari itu merekamengatakan bahwa Ali lebih istimewa kedudukannya dari Rasulullah saw. Hal ini
sesuai dengan ungkapan mereka, seperti yang dikutip oleh al-Hamid
al-Husaini dalam bukunya Sejarah Hidup Imam Zaid bin Ali bahwa malaikat Jibril
salah dalam menyampaikan wahyu, yang seharusnya wahyu itu bukan untuk
Muhammad tetapi untuk Ali bin Abi Thalib (al-Husaini, 1985: 13).
Dari statmen di atas, jelaslah bahwa golongan Syiah Imamiyat telah
mengkultuskan imamnya (Ali) sejajar dengan kedudukan Nabi Muhammad saw, baikdalam masalah kemashumam maupun dalam masalah yang lain. Dalam masalah
penunjukan atau pengangkatan seorang imam, mereka mengatakan bahwa hal itu dapat
dilaksanakan atas kehendak Allah, melalui Nabi atau imam, karena manusia biasa tidak
memiliki wewenang untuk mengangkat dan menjatuhkannya. (Muzaffar, tt.: 45).
Ali bin Abi Thalib Sebagai Khazanah Ilmu
Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang sahabat Nabi, dan ia termasuk kedalam
jajaran khalifah yang empat, yaitu Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini dikenal dalam Islam dengan sebutan Khulafaurrasidin.
4
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
5/10
Ali bin Abi Thalib lahir di Mekkah pada tanggal 13 Rajab atau tahun 598 M (Joesoef,
1978: 9) . Ibunya Fatimah bin Asad bin hasyim bin Abdil Manaf bin Quraisy bin khilab,
yang terkenal dengan wanita shalih, ia kebanyakan memberi dukungan kepada Nabi
Muhammad saw dalam menjalankan tugas dakwahnya. Sedangkan ayahnya bernama Abi
Thalib juga keturunan Bani Hasyim, seorang pemimpin Quraisy yang terpandang, dicintai,
dihormati dan disegani oleh penduduk Mekkah (Al-Husyaini, 1989: 23).
Ali bin Abi Thalib sejak masa kanak-kanaknya mendapat asuhan dan didikan
langsung dari Nabi, dia tinggal bersama Nabi bahkan lebih jauh lagi, bahwa Ali
dipersunting oleh Rasulullah dengan isterinya, Fatimah az-Zahrah, seorang wanita cantik
yang menarik perhatian orang (Al-Husyaini, 1989: 23).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ali bin Abi Thalib besertakeluarganya hidup dalam lingkungan keluarga rumah tangga Nabi, serta mendapat
bimbingan dan pembinaan langsung dari Nabi. Didalam sejarah tercatat bahwa Ali adalah
orang yang paling dini masuk Islam, yaitu ketika Rasulullah pertama kali menyampaikan
risalahnya, dan Ali langsung menerima ajarannya, ketika itu ia baru berusia 15 tahun.
Sebagai orang yang berada dalam asuhan Rasulullah, tentunya ia banyak memahami
syariat Islam yang dilakukan oleh Nabi sehari-hari karena itu bahwa Ali adalah anak
asuhan wahyu (Mahyidin Syaf, 1985: 459).Sebagai seorang pewaris Nabi, Ali terkenal dengan ikhlas dan beramal, penuh
perjuangan, memiliki dedikasi tinggi dan loyalitas yang tinggi, berani berkorban terutama
dalam menegakkan dan mempertahankan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Peristiwa malam hijrah Nabi masih terlukis dalam pikiran dan tercatat dalam sejarah,
bahwa Ali dengan semangat berkorban rela mempertaruhkan nyawanya, yaitu menempati
tempat tidur Rasulullah dengan menyamar sebagai Rasul, agar Rasul dan para sahabat
selamat dari kepungan dan pengejaran orang-orang kafir Mekkah (Thabathobai, 1989: 38).
Dilihat dari aspek dedikasi dan loyalitas dalam kehidupan Ali tidak berlebihan bila
dikatakan ia keluarga Nabi (Ahl al-Bait) yaitu Ali beserta turunannya merupakan rujukan
kasih sayang umat Islam yang pada gilirannya menimbulkan rasa simpati yang mendalam
kepadanya. Bahkan ada golongan umat Islam yang berlebihan mengagungkan Ali serta
turunannya. Golongan ini dalam sejarah Islam dikenal dengan golongan Syiah yaitu suatu
5
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
6/10
aliran faham yang berpegang pada Ali bin Abi Thalib, baik pada masa Nabi maupun
sesudahnya (Abu Bakar, 1980: 10). Lebih dikenal lagi dengan golongan yang sangat
fanatik kepada Ali dan anak turunannya (Muin, 1964: 92).
Respon Ali bin Abi Thalib
Sudah menjadi konsensus bersama golongan Syiah bahwa Ali bin Abi Thalib
orang yang lebih pantas untuk menggantikan Nabi sebagai khalifah. Pernyataan ini
dikuatkan oleh berbagai argumen. Diantaranya kedekatan Ali disisi silsilah dengan Nabi,
keunggulan Ali disisi kearifannya dalam sudut pandang masyarakat melebihi kearifan yang
pada sahabat Nabi yang lain. Kemudian Ali dikenal ketajaman pemikirannya, keluasan
ilmu pengetahuan dan berani berkorban terutama dalam menegakkan dan mempertahankan
risalah Rasulullah saw, keunggulan yang dimiliki oleh Ali mendapat legitimasi oleh
Rasulullah saw, dikatakannya: Aku ini kota Ilmu, sedangkan Ali pintunya. (Shaukani,
1984: 203). Hal ini bukan berarti sahabat yang lain menempati greet minus dalam bidang
keilmuan dan pengambilan kebijakan. Mereka memiliki keunikan pribadi, memiliki
ketulusan hati dan senantiasa menjalin hubungan dengan Allah. Disamping itu mereka
termasuk golongan yang diagungkan dengan gelar al-Khulafa al-Rasyidin, yang senantiasa
mendapat keridhaan dan
restu dari Allah swt dan Rasulnya dalam banyak hal, terutama permasalahan yang
melibatkan hubungan sesama golongan elit tersebut. para sahabat tersebut saling kerjasama
antara mereka dan berlaku keras terhadap orang kafir.
Jelaslah bahwa kehidupan para sahabat penuh dengan keteladanan, mereka bergaul
dalam suasana akrab, dilandasi ukhuwah dan diliputi rasa kasih sayang dan saling
menghormati. Justru itu suksesi kepemimpinan setelah wafatnya Rasulullah, meskipun Ali
merasa layak untuk memimpin sebagai Rasul, namun yang terpilih adalah Abu Bakar,
maka Ali dalam hal ini meresponnya dengan penuh demokratis, Ali menyetujui
pengangkatan Abu Bakar dan duduk serta berjuang bersama-sama dalam memimpin umat
ketika itu. Amir Ali mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan keluarga Rasulullah
menyetujui kekhalifahan Abu Bakar dengan sepenuh hati (Amir, 1955: 21). Ini terlihat
bahwa pada masa Abu Bakar menjabat penguasaan tinggi negara, Ali selalu menghadiri
6
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
7/10
majelisnya sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lain (Nadawi, 1995: 52). Bahkan
secara umum, Ali-lah yang mengambil tugas untuk menjawab surat-surat yang ditujukan
kepada Abu Bakar (Nadawi, 1995: 52).
Uraian di atas nampak dengan jelas bahwa Ali r.a. dalam meresponi suksesi
kepemimpinan kepada Abu Bakar r.a. menunjukkan komitmen dan loyalitas
yang tinggi kepada kepemimpinan Abu Bakar tersebut, Ali mengatakan bahwa
Abu Bakar r.a. adalah orang terbaik bagi semua hal selepas Rasulullah saw. Bukankah
orang yang paling baik dari kalangan umat ini, selepas Nabi-Nya Abu Bakar dan Umar?
Kemudian Allah saja yang mengetahui kebaikan itu dimana saja ia berada (Qodhi, 1371 H:
288). Ali r.a. juga menyangkal adanya wasiat dari Rasulullah, yang digembar-gemborkan
oleh para pendukungnya, berkenaan dengan suksesi kepemimpinan tersebut. Ini terlihatdalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, yang menyatakan bahwa Ali bin Abi
Thalib melarang Abas bin al-Munthalib mempertanyakan kepada Rasulullah tentang
siapakah yang akan mengambil tugas kepemimpinan sesudahnya (Bukhari, tt.: 140-141).
Larangan Ali ini mengandung nilai maslahah ummah dan menjamin kestabilan politik di
masa yang akan datang. Sekiranya ditanyakan masa suksesi tersebut kepada Rasulullah,
dan ditakdirkan Nabi tidak memberikan jawabannya, maka hal ini akan merefleksikan
kelompok tertentu akan kehilangan legitimasinya dari kalangan masyarakat.Dukungan Ali r.a. kepada kepemimpinan Abu Bakar r.a. juga terlihat pada sikap
dan komitmennya dalam menolak sebaran usaha menjatuhkan kepemimpinan Abu Bakar.
Beliau dengan tegas menolak ajakan Abu Sofyan untuk menggelar
aksi unjuk rasa (demontrasi) menentang dan menuntut agar Abu Bakar turun dari kursi
kekhalifahan. Ali bin Abi Thalib dengan lantang mengatakan: Demi Allah sesungguhnya
kamu bermaksud demikian hanyalah menimbulkan kekacauan, selama kamu bertekad
melakukannya (merugikan Islam), maka selama itu pula kami
tidak memerlukan nasihat kamu (Tabari 1969: 209). Aksi penentangan terhadap
kepemimpinan Abu Bakar ini tidak hanya datang dari elit politik Muslim seperti Abu
Sofyan, aksi serupa datang dari pemurtad yakni orang-orang yang enggan membayar zakat.
Aksi ini sempat membawa kepada instabilitas kehidupan ketika itu (Tabatah, 1960: 74).
7
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
8/10
Dalam kondisi yang tidak menentu itu Abu Bakar tampil ditengah khalayak dan berkata:
Jika mereka para pemurtad masih berkeras maka aku bersama para tentara akan turun untuk
memberikan perlawanan. Pada saat huru-hara itulah
Ali bin Abi Thalib tampil sebagai penasehat Abu Bakar, dengan mengatakan: Hai khalifah
saya ingin mengingatkan tuan, akan pesan Rasulullah kepada tuan disaat terjadinya perang
Uhud, sarungkanlah pedangmu dan janganlah membuat kami resah dalam mempertaruhkan
nyawamu. Lebih baik tuan kembali ke Madinah untuk tetap duduk di kursi kepresidenan
(kekhalifahan) sehingga dapat mengkonsentrasikan pemikiran dalam menjalankan
pemerintahan dengan baik. Demi Allah, kata Ali kami akan merasa resah dan sedih bila
terjadi kemalangan pada dirimu (Sayuti, 1969: 75).
Menyikapi situasi konflik ini, Ali bin Abi Thalib memperkirakan sulitnya hubunganantar pemimpin karena situasi negara saat itu sedang kacau. Ali juga mengatakan jika
terjadi bentrokan antara pro dan kontra kepada Abu Bakar, maka ia akan merefleksikan
suatu tradisi Islam yang tidak bersistim (Sayuti, 1969: 75). Keprihatinan Ali terhadap
situasi yang berkembang saat itu jelas menunjukkan loyalitasnya kepada kepemimpinan
Abu Bakar. Fakta lain yang dapat mendukung pendapat ini dapat dilihat dari sosok pribadi
Ali bin Abi Thalib yang selalu tampil sebagai penasehat khalifah selalu berada dalam
lingkaran kepemimpinan Abu Bakar, hal ini dilakukannya tidak hanya pada masa khalifahAbu Bakar r.a. tetapi juga pada masa khalifah Umar ibn Khatab dan Utsman bin Affan.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari kajian ini dapat dipertegas bahwa Ali bin Abi Thalib,
meskipun merasa layak untuk memegang jabatan khalifah, namun ia dengan hati terbuka
dan berjiwa besar dapat menerima dengan baik suksesi kepemimpinan setelah wafatnya
Rasulullah saw. Ali tidak pernah memperlihatkan sikap menentang terhadap khalifah yang
dipilih terutama kepada Abu Bakar Siddiq yang merupakan sahabat dekatnya. Bahkan ia
selalu menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada pemerintahan Abu Bakar, bahkan kepada
khalifah setelah Abu Bakar. Walaupun sering terjadi aksi unjuk rasa baik yang pro maupun
8
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
9/10
yang kontra terhadap khalifah yang terpilih namun di saat paling penting Ali tampil dengan
menyumbangkan pendapatnya yang cemerlang untuk mencari solusi, terhadap
permasalahan yang ada sehingga tercipta situasi yang kondusif, stabil dan damai.
9
-
7/31/2019 Tarikh Tasyri' - Kepemimpinan Setelah Wafatnya Rasul
10/10
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, 1975,Zuhrur Islam, Mesir, Al-Nadhah.
Abu Bakar Aceh, 1980, Perbandingan Madzhab Syiah Rasionalisme Dalam Islam, KotaBaru, Pustaka Aman Press.
Al-Nadawi, Abu al-Hasan Ali, 1995, Ahlussunnah dan Syiah Menilai Rasulullah, Jakarta,
Al-Qolam.
Al-Syahrastani, 1956,Milal Wa al-Nihal, Kairo, al-Halabi.
Al-Syawkani, 1984, Durr al-Sahabah, Fi Manaqib al-Qarabah, Dimasyqi, Dar
al-Fikr.
Ibn Qutaybah, Abdullah bin Muslim, 1937, Al-Imamah Wa al-Siyasah, Mesir,
al-Halabi.
Ibn Tabataba al-Tiqtaqa, 1960, Tarikh al-Duwal al-Islamiyah, Beirut.
Murtadha Mutahhari, 1991,Imam dan Khilafat, Jakarta, Satrio Pinandito Firdaus.
Muhammad Ridha al-Muzaffar, tt.,Aqidah Syiah Imamiyah,
Soeyb Yoesoef, 1982, Pertumbuhan Dan Perkembangan Aliran Sekte Syiah, Jakarta, Al-
Husna.
10