referat tetanus

29
 BAB I PENDAHULUAN Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eks oto sin (te tanosp asmin) yan g dih asi lka n ole h kuman pad a sinaps gan gli on sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom (1) . Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat akut yang dilepaskan oleh clostridium teteni pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia (2) . Pe ny akit teta nu s keba ny akan terdapat pa da anak-ana k ya ng be lum pe rnah mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkung an dan per orangan. Penyeb ab pen yak it sepert i pad a tet anu s neo nat oru m, yai tu Clostridi um tetani yan g hid up anaerob, ber ben tuk spo ra sel ama di lua r tub uh manusi a, tersebut luas di tanah. Juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toks in ini dapa t me nghancur kan sel darah me rah , merusak leukos it dan merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot (3) . Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus yang diakibat kan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injek si tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi oba t terl aran g men jadi leb ih ser ing , sement ara kea daan yan g tid ak lazi m ada lah gig ita n  binatang, abses (termasuk abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka  bakar, fraktur komplikata, radang dingin (frostbite), gangren, pembedahan usus, goresan- goresan upacara, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang  jahit yang terko tamin asi atau sesu dah injek si intramuscu lar obat-o batan , palin g meno njol kinin untuk malaria falsifarum resisten-kloroquin (4) . 1

Upload: sisca-angela-hanses

Post on 11-Jul-2015

5.869 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom(1). Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat akut yang dilepaskan oleh clostridium teteni pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia(2). Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebut luas di tanah. Juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot(3). Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi obat terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses (termasuk abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin (frostbite), gangren, pembedahan usus, goresangoresan upacara, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkotaminasi atau sesudah injeksi intramuscular obat-obatan, paling menonjol kinin untuk malaria falsifarum resisten-kloroquin(4).

1

Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh lukaluka pertempuran selama Perang Dunia II(5).

2

BAB II TETANUS

I. Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot(4,6). II. Etiologi Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk batang ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m dan mempunyai sifat(1,2,5,6) :

Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella. Menghasilkan eksotosin yang kuat. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektans. Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan eksotoksin.

3

Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.

Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani III. Epidemiologi Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya. 2 Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini didaerah peternakan sangat besar. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di

4

mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptic (dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi(1). Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologic. Port dentre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui(1): 1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas 2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik. 3. Otitis media, karies gigi, luka kronik 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. IV. Patogenesis Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen(6). Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan(6). IV. 1. Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut(6): 1. Masuk ke dalam otot

5

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat. 2. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik. 3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat. 4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor. IV. 2. Mekanisme kerja toksin tetanus(6). 1. Jenis toksin Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin

mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut

6

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf. Tetanus toxin(6). Normal:-

Inhibitory interneuron glycine Blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin: -

Blocks glycine release no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction spastic paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

7

IV. 3. Perubahan akibat toksin tetanus(6). 1. Susunan saraf pusat Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin. Rasa sakit Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron. Fungsi Luhur Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan. 2. Aktifitas neuromuskular perifer(6). Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

8

Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa: 1. Neuropati perifer 2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh. 3. Denervasi parsial dari otot tertentu. 3. Perubahan pada sistem saraf autonom(6). Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu. 4. Gangguan Sistem pernafasan Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat(6): a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin. b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis. c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

9

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus. e. Gangguan pusat pernafasan Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia. Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah : Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam. Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal. Henti nafas akut dan mati mendadak. Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa. 5. Gangguan hemodinamika(6). Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena:

10

Kendala etik Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik(6). Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin. Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin. 7. Gangguan Hormonal(6). Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang11

diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin. 8. Gangguan pada sistem lain(6). Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahanulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu. V. Manifestasi Klinis Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur(1). Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan(2): 1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris. 2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki) 3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)12

4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior. 5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. 6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini. 7. Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mulamula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat. 8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat. 9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir. 10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu(4,6,7): a. Tetanus lokal Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

13

b. Tetanus Cephalic

Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. c. Tetanus umum Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. d. Tetanus neonatorum Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku

14

dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru. Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu(8): Derajat I (tetanus ringan) Trismus ringan sampai sedang (3cm) Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan Tidak dijumpai disfagia atau ringan Tidak dijumpai kejang Tidak dijumpai gangguan respirasi

-

Derajat II (tetanus sedang) Trismus sedang (3cm atau lebih kecil) Kekakuan jelas Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan Takipneu Disfagia ringan

Derajat III (tetanus berat)

15

-

Trismus berat (1cm) Otot spastis, kejang spontan Takipne, takikardia Serangan apne (apneic spell) Disfagia berat Aktivitas sistem autonom meningkat

-

-

Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan : Gangguan autonom berat Hipertensi berat dan takikardi, atau Hipotensi dan bradikardi Hipertensi berat atau hipotensi berat

VI. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi(8): Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka. Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan. Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik. Temuan laboratorium(8): Lekositosis ringan Trombosit sedikit meningkat Glukosa dan kalsium darah normal Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat16

-

Enzim otot serum mungkin meningkat EKG dan EEG biasanya normal Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

-

Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

VII. Diagnosis banding Berikut ini Tabel yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus(7): PENYAKIT INFECTIONS Meningoencephalitis Polio Rabies Lesi oropharyngeal Peritonitis KELAINAN METABOLIK Tetany Keracunan strychnine Relaksasi phenothiazine PENYAKIT CNS Stastus epilepticus Hemorrhage atau tumor KELAINAN PSYCHIATRIC Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme17

GAMBARAN DIFFERENTIAL

Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF Trismus tidak ada, paralisa tipe flaccid, abnormal CSF Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasme Hanya local, regiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

Hanya carpopedal dan laryngeal spasme, hypocalcemia Relaksasi komplet diantara spasme Dystonia, respons dengan diphenydramine

Sensorium depressi Trismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN MUSCULOSKLETAL Trauma Hanya local

VIII. Komplikasi Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik(2,4,6). IX. Penatalaksanaan 1. Dasar a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah(1,2,4,6). 1. Antibiotik Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.18

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari. 2. Perawatan luka Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi. b. Netralisasi toksin(1,2,4,6). 1. Anti tetanus serum Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV. Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen

19

dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU. 2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG) Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama. Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka. c. Menekan efek toksin pada SSP(1,2,4). 1. Benzodiazepin Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam. 2. Barbiturat20

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.

3. Fenotiazin Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi. 2. Umum(2,6). Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan. Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea. Bantuan ventilator diberikan pada : 1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi

konservatif dan PaO2 21

3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus(6). a. Tetanus ringan Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas. b. Tetanus sedang Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral. c. Tetanus berat Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol. X. Perawatan Masalah pasien tetanus yang perlu diperhatikan adalah bahwa terjadi gangguan pernapasan, kebutuhan nutrisi tidak adekuat. Gangguan rasa aman dan nyaman, risiko terjadi komplikasi/ bahaya, kurangnya pengetahuan, orang tua mengenai penyakit(6). 1. Bahaya Terjadinya Gangguan Pernapasan(3,6). Gangguan pernapasan dapat berupa apnea. Bonkopneumonia, dan aspirasi pneumonia. Keadaan ini terjadi akibat spasme pada otot-otot pernapasan; atau karena pasien kejang terus-menerus sehingga menderita anoksia dan terjadi apnea. Kejang dapat timbul spontan tetapi juga disebabkan rangsangan seperti suara, sentuhan atau sentuhan tidak22

langsung, misalnya tempat tidur tergoyang dan sebagainya. Oleh karena itu, pasien tetanus perlu dirawat dikamar isolasi dan jauh dari kesibukan; hindarkan sentuhan pada pasien baik langsung/ tidak langsung bila tidak perlu sekali. Apnea juga dapat terjadi jika pasien yang kejang terus-menerus dan mendapat obat penenang terlalu dekat jaraknya secara parenteral misalnya fenobarbital dan diazepam. Jika terjadi apnea tindakannya sama dengan tetanus neonatorum. Bedanya pada anak besar tekanan pada dada dapat dengan pangkal tangan jika tidak berhasil dengan ibu jari dengan frekuensi 20-30 kali per menit. Baringkan pasien rata dengan kepala ekstensi (beri ganjal dibawah bahu) Isap lendernya sampai bersih Berikan O2, dapat sampai 4 L atau lebih. Jika belum berhasil dengan tindakan tersebut lakukan tekanan pada dada pasien dengan dua ibu jari (pada anak kecil) atau menggunakan kedua pangkal tangan dengan frekuensi 20-30 kali per menit. Bila perlu ditiupkan udara kedalam mulutnya. Jika ada air Viva sambil dipompakan kedalam mulut dan hidung pasien sebanyak 2030 kali per menit. Napas buatan dilakukan sampai berhasil, kadang-kadang memakan waktu sampai 1 jam. Jika apnea sering atau napas buatan tidak segera berhasil supaya segera menghubungi dokter. 7. Tindakan untuk Mengurangi Rangsangan / sentuhan Pada Pasien(3,6). Pemberian obat penenang yang dibagi menjadi 6 dosis menyebabkan pasien selalu dalam keadaan tidur sehingga kejang dapat dihindarkan. Oleh karena itu jika perlu melakukan sesuatu tindakan pada pasien berarti akan membangunkan dan menyebabkan terjadinya kejang. Untuk mengurangi frekuensi kejang maka tindakan perawatan / pengobatan hendaknya diatur dalam suatu waktu yang berurutan. Berurutan disesuaikan dengan jadwal pemberian obat penenang misalnya pagi, membereskan tempat tidur, memberri obat / menyuntik, memberi makan dan mengubah letak baring pasien. Begitu pula siang dan sore hari tindakanjuga dilakukan berurutan.Untuk mengurangi kejang pada waktu tindakan sedang dilakukan misalnya memandikan atau membereskan tempat tidur pasien, memasang sonde, berikan obat penenangnya kira-kira jam sebelumnya.

23

Untuk menghindarkan terjadinya bronkopneumonia / pneumonia baringan, pasien harus diubah-ubah letak baringannya secara teratur 3 jam sekali. Karena tubuh pasien menjadi kaku maka dibelakang punggungnya harus ditopang. Pneumonia aspirasi terjadi sebagai akibat terkumpulnya liur didalam mulut karena pasien menderita sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap dapat menyebabkan aspirasi. Disamping itu juga karena pasien selalu tidur terlentang. Untuk menghindari pneumonia aspirasi kepala pasien harus dimiringkan jika ia dalam keadaan terlentang. Aspirasi juga dapat terjadi ketika pasien sedang minum / makan kemudian mendadak timbul kejang. Oleh karena itu jika pasien minta minum harus selalu ditolong dengan hati-hati. Jika pasien dalam keadaan tenang (biasanya sesudah kejang) berikan minum pakai sedotan agar ia merasa puas. Bila memberikan makan perhatikan apakah pasien sudah dapat mengunyah denga baik / belum; jika belum dapat terjadi pada saat menelan makanan yang belum halus tersebut sukar ditelan dan dapat menimbulkan kejang serta terjadi aspirasi atau asfikasi (ini pernah terjadi). 1. Kebutuhan Nutrisi tidak Adekuat(3). Adanya Trismus menyebabkan pasien sukar membuka mulutnya dan karena spasme otot mengunyah pasien tidak dapat mengunyah serta kesukaran menelan.akibatnya masukan nutrisi kurang sehingga pasien biasanya menjadi kurus. Jika hal tersebut tidak diperhatikan akan memperburuk keadaan umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan kalori selama pasien masih trismus dan banyak kejang, makanan diberikan secara parenteral dengan cairan glukos 10 % dan Na CI 0,9 % dalam perbandingan 3-1 jika kejang telah berkumpul tetapi pasien masih terlihat tidur saja (karena obat sesuai dengan kebutuhan kalori dan berikan 6 kali disamping makanan lain seperti sari buah atau makanan ekstra lainnya. Sebaiknya disediakan ekstra untuk malam hari karena jika pasien telah mulai membaik malam hari sering kelaparan (sering terjadi pasien menangis malam hari karena kelaparan). Bahayanya jika orang tua memberikan makanan sendiri sedangkan anak masih ada kejang dapat terjadi aspirasi / asfiksia. Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka makanan dapat di berikan per oral dalam bentuk makanan cair dan berikan memakai sedotan. Bila trismus bertambah kurang, makanan diberikan lunak dengan lauk cincang. Secara bertahap diberikan makan lunak biasa. Susu diberikan paling tidak 2 kali sehari. 2. Gangguan rasa aman dan nyaman(3).24

Pasien tetanus adalah pasien yang sakit berat dan sangat menderita terutama pada saaat kejang. Trismus, kesukaran menelan serta tubuh yang kaku akan sangat tidak menyenangkan bagi pasien. Pada saat kejang dengan keadaan tubuh yang opistotonus, terlihat tubuhnya meliuk kebelakang dan perutnya menjadi keras seperti papan merupakan penderitaan bagi pasien. Setiap serangan kejang anak berteriak karena kesakitan dan keluar banyak keringat. Biasanya pasien sesudahnya minta minum karena rasa haus (pasien tetanus walaupun kejang hebat tetapi sadar maka harus hati-hati jika menolong). Gangguan rasa aman / nyaman selain karena penyakitnya juga dapat terjadi akibat tindakan misalnya pengisapan lendir, pemasangan infus dan sebagainya. Karena kejang harus dihindarkan. Selain itu akibat kejang dapat terjadi anoksia hingga pasien terlihat kebiruan pada saat kejang. Yang diperhatikan dalam merawat pasien tetanus(3, 6): Pasien dirawat diruangan yang tenang dan terang. Lampu sebaiknya tidak langsung diatas pasien karena menimbulkan silau sedangkan pasien tidak dapat bergerak sendiri untuk menghindari. Hindarkan sering membangunkan pasien denga cara mengelompokkan kegiatan dalam satu saat berurutan. Usahakan agar tempat tidur tidak tergoyang. Berikan obat penenang dan obat lainya tepat waktu. Karena obat dibagi dalam 6 dosis; tuliskan jam berapa harus diberikan dan sesuaikan dengan jadwal kegiatan perawatan. Berikan tanda bila obat telah diberikan. Karena kakakuan tubuh sebaiknya pasien tidak dipakaikan baju karena akan menyusahkan pada waktu memakai dan membukakannya dan mengurangi kepanasan juga tidak usah dipakaikan celana tetapi pakailah kain yang dipasang seperti popok maksudnya juga untuk memudahkan bila mengganti boleh diselimuti tipis saja jika pasien sedang tenang. Ubah letak baringannya secara teratur; selain mencegah pneumonia juga untuk memberikan rasa nyaman. Akan lebih baik jka dilap dengan air hangat dan diberi bedak. Ventilasi ruangan harus baik karena pasien selalu kepanasan jika ada dapat dirawat di kamar yang ada pendinginnya.

25

Pada serangan harus baik karena pasien sering ngompol, maka setelah kejang berhenti lihatlah apakah pakaian perlu diganti. XI. Pencegahan Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan, perlu dilakukan(1,2,4): Perawatan luka. Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan aerob. Pemberian ATS dan toksoid Tetanus pada luka Dengan Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Imunisasi aktif Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau Toksoid tetanus.jenis imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/Dt diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama. XII. Prognosis Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor. Jika masa tunas pendek ( kurang dari 7 hari ); usia yang sangat muda ( neonatus), bila disertai Frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, period of onset yang pendek (jarak antara trismu dan timbulnya kejang), adanya komplikasi terutama spasme otot pernapasan dan abstruksi jalan napas, kesemuanya itu prognosisnya buruk. Mortalitas tetanus masih tinggi; di bagian

26

Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta didpatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus anak(1,2,3). Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana (3): 1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm ) 2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum 3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi. Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek(6,9). Prognosa tetanus neonatal jelek bila(9): 1. Umur bayi kurang dari 7 hari 2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang 3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam 4. Dijumpai muscular spasm Case Fatality Rate (CFR) tetanus berkisar 44-55%,sedangkan tetanus neonatorum >60% Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum. (6,9). Sistem Skoring(9). Skor 1 Tali pusat, uterus, fraktur terbuka, postoperatif, bekas Spasme Panas badan (per rektal) Takikardia dewasa suntikan IM (+) > 38,4 0C (> 40 0C) > 120 x/menit27

Masa inkubasi Awitan penyakit Tempat masuk

Skor 0 > 7 hari > 48 jam Selain tempat tersebut

(-) < 38,4 0C ( < 40 0C)

neonatus

> 150 x/menit

Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991

Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus(9). Tingkat Ringan Sedang Berat Sangat berat Dikutip dari Bleck, 1991 Skor 0-1 2-3 4 5-6 Prognosis 10 20 20 40 > 50

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatric

Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit IDAI, Jakarta. 2002. Hal 322 3292. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu

Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal 568 573.3. http://tongkal09.wordpress.com/2010/04/18/tetanus-pada-anak/ 4. Behrman, kligman, Arvin. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Vol. 2. EGC.

Jakarta. 2000. Hal 1004 1007.5. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/i-wayan-arditayasa-078114135.pdf 6. http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/tetanus.html 7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf 8. http://www.4shared.com/document/jdZelxVS/TETANUS-1.html 9. http://karikaturijo.blogspot.com/2009/07/referat-tetanus-disusun-oleh-mfikih.html

29