word tetanus um
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit
endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus
neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu
tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka,
sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat
trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora
Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama
di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara
berkembang.
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia
merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus
neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun
1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988
sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila
dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus
neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian
tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara berurutan.
Penyakit Tetanus Neonatorum yang disebabkan oleh infeksi basil tetani merupakan
salah satu penyebab kematian neonatal. Basil tetani dalam bentuk spora tahan bertahun –
tahun di tanah dan saluran cerna. Oleh karena itu penyakit tetanus neonatorun tidak dapat
dibasmi melainkan hanya ditekan angka kejadian hingga dibawah 1/10 000 kelahiran hidup
Tetanus neonatorum merupakan masalah yang terjadi pada negara berkembang dan
maju. Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi yang disebabkan Clostridium tetani
dengan masa inkubasi ± 6 hari, terjadi pada bayi baru lahir yang masuk melalui pemotongan
tali pusat yang tidak steril dan dapat terjadi karena ibu belum mendapat imunisasi tetanus.
Perjalanan penyakit pada tetanus neonatorum tergantung dari sistim saraf dan jumlah toksin
yang masuk. Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang
1
tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality
rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani
dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.
Adapun tujuan dan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui segala hal yang
berkaitan dengan tetanus. Mulai dari definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, hingga bagaimana penatalaksanaannya.
dan prognosis dari penyakit tetanus neonatorum.
.
2
BAB II
TETANUS NEONATORUM
II.1 Definisi
Tetanus neonatorum adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani
yang mempunyai ciri kontraksi spamodik dan nyeri dari otot yang involunter, terjadi
pada rahang, wajah, leher, dada, tulang belakang dan panggul, yang terjadi pada bayi
baru lahir.
Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang
dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis
tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan
sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot. Gejala ini bukan
disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin)
yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang,
sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora
pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau
raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia,
pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan
dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam
suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin
dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis
tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada
ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
3
II.2 Etiologi
Clostridium berarti kelosan benang yang kecil. Clostridium tetani membentuk
spora, anaerob obligat, gram positif, dan motil. Sporanya berbentuk seperti drumstik.
Spora ini dapat hidup dengan oksigen, perubahan temperatur, antiseptik, bahan kimia
seperti fenol dan autoclaf dengan 121˚c selama 15 menit. Terdapat banyak di alam,
tanah, feses kuda, binatang dan juga ditemukan pada usus manusia. Clostridium tetani
menghasilkan toksin yang mengandung protein yang bersifat termolabil (650 – 5 menit
menjadi inaktif) dengan berat molekul 70.000 dan dapat dicerna oleh enzim proteolitik
lambung. Toksin ini dapat menyerang susunan saraf pusat, termasuk sistim saraf perifer
pada motor end plate, dan sistim saraf simpatis. Cloatridium tetani menghasilkan
eksotoksin yang dihasilkan dari plasmid yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin dapat menyebabkan hemolisis sel darah dan menghancurkan sistem
limfe sedangkan tetanospasmin dapat menyebabkan kejang dan kekakuan pada otot.
Tetanospasmin mempunyai struktur yang sama dengan toksin botulinum tetapi
mempunyai efek yang berbeda. Tetanospasmin adalah metal proteinase yang bebas Fe,
yang mempunyai protein bermolekul besar ( High chain ) dan protein bermolekul kecil
( light chain ). Tetanospasmin masuk melalui ujung akson dan menyebar pada seluruh
badan akson, lalu akan menyebar ke sistem saraf pusat. Tetanospasmin bekerja memblok
pelepasan neurotransmiter yang bekerja sebagai inhibitor sehingga menghambat kerja
inhibitor sistim saraf motorik. Hal ini menyebabkan sistim saraf motorik akan terus
terangsang sehingga dapat menimbulkan spasme otot.
Clostridium tetani tidak bersifat invasif. Kumannya tetap di dalam luka dan akan
bertumbuh apabila keadaannya memungkinkan yaitu keadaan anaerob yang biasanya
terjadi karena adanya:
a. Jaringan nekrotik
b. Garam kalsium
c. Kuman piogenik lainnya maka spora akan jadi bentuk vegetatif dan eksotoksin yang
dibentuk
4
Pada SSP, toksinnya akan mengikat diri pada ganglion batak otak dan sumsum
tulang belakang. Toksin bekerja secara blokade dengan dikeluarkannya mediator
penghambat inhibitor sinapsis neuron motorik.
Gambar 1. Mikroskopik Clostridium tetani.
II.3 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah
populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal,
tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada
kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah
risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah angka kejadian pada anak
laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.
Tetanus neonatorum meningkat pada bayi dari ibu yang belum mendapat
imunisasi dan pemotongan tali pusat yang tidak steril, serta pembubuhan punting tali
pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan
merupakan penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang
menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. Pada tahun 1995, kematian akibat
5
tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju
dan 1.000.000 bayi di dunia meninggal karena tetanus. Pertengahan tahun 1980an di
Indonesia, tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di bawah usia 1 bulan.
Kebanyakan disebabkan oleh penggunaan gunting yang kotor dan berkarat oleh para
bidan dan dukun bayi saat memotong tali pusat bayi karena menurut Departemen
Kesehatan, 60% persalinan di Indonesia masih dilakukan oleh dukun bayi yang tidak
terlatih.
Gambar 2. Peta endemik tetanus neonatorum
6
II.4 Patofisiologi
Perjalanan penyakit tetanus neonatorum diawali terjadinya luka pada tali pusat
yang tidak steril sehingga terjadi kontaminasi dengan clostridium tetani .Clostridium
tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora.
Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan
tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen. Clostridium tetani menghasilkan toksin yang
mengandung polipeptida yang mempunyai berat molekul sebesar 150 000 Da, yang
terdiri dari rantai molekul besar ( 100 000 Da ) dan rantai molekul kecil ( 50 000 Da ).
Gambar 3. Molekul polipeptida pada C.tetani
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin
serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. berkisar antara 3-14 hari.
Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga
ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit
tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan
penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan. Toksin akan menghasilkan
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin akan masuk ke pembuluh darah dan
pembuluh limfe, yang sifatnya hemolisis, merusak sistem limfe dan sel saraf.
Tetanospasmin sifatnya merusak membran sel saraf , sehingga mencegah pelepasan
inhibitor pada presinaps. Toksin ini mencegah pengeluaran transmiter dengan cara
menghancurkan synaptobrevin (suatu membran protein yang membentuk vesikel yang
berisi neurotransmiter yang terdapat di interstitiel). Tetanospasmin rantai molekul kecil
7
( L chain ) akan mengeluarkan metal protease zinc yang akan menghancurkan
synaptobrevin sehingga akan menghambat pengeluaran neurotransmiter yang dihasilkan
oleh synaptobrevin. Toksin ini juga menghambat neurotransmiter berupa pelepasan
transmiter glisin dan GABA (Gamma Amino Butiric Acid) yang fungsinya sebagai
kontraksi otot, hal ini menyebabkan kerja otot volunter terganggu sehingga timbul
spasme otot. Saraf motor α yang pertama kali dihambat kemudian saraf motor yang
lainnya, kemudian akan mempengaruhi sistem saraf simpatis preganglion, sistem saraf
parasimpatis, medulaoblongata dan hipotalamus.
Pada sistim eferen dari saraf motorik di medula spinalis dan batang otak yang
mengalami gangguan proses inhibisi yang tidak terkontrol menyebabkan rangsangan
terjadinya kekakuan dan spasme otot dan disertai dengan kejang. Hal ini disebabkan
refleks inhibisi yang disebabkan oleh neurotransmiter sebagai antagonis pada otot telah
hilang dan yang ada hanya rangsangan kontraksi otot yang disebabkan agonis dan
antagonis sehingga akan menyebabkan spasme. Gangguan inhibisi pada otonom akan
menyebabkan gangguan pada sistim saraf otonom dengan aktivitas simpatis . Toksin
juga mencapai medula spinalis, batang otak, sistim saraf perifer, neuromuscular junction
dan langsung juga pada otot.. Toksin tetanus yang mencapai medula spinalis akan
menghambat kerja otot yang volunter. Spasme otot menyebabkan kesakitan dan dapat
terjadi faktur dan ruptur tendo. Otot rahang, wajah dan kepala adalah yang pertamakali
terlihat karena jalur akson yang pendek kemudian akan diikuti dada dan panggul, tetapi
otot perifer di tangan dan kaki hanya terlihat sedikit. Pengikatan toksin pada sel saraf
bersifat ireversibel. Perbaikan akan diharapkan terbentuk sel saraf yang baru.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik
dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum
diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian
mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin
tersebut.
8
Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik,
baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini
penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara
pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas.
Tetanus toxin
Gambar 4. Tetanus toksin transport
Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin.
GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang
berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak
mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara
spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
9
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses
eksositosis.
Perubahan akibat toksin tetanus:
a. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik
yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance
excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi
dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin
banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus
seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena
motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval),
hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada
beberapa yang resisten terhadap toksin.
b. Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala
ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat
tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel
saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
c.Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak,
seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau
antikonvulsan yang diberikan.
Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga
mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP
tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP.
10
Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis
nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik
dari toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer
Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah sembuh. Denervasi parsial dari otot tertentu.
2. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis,
hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.
Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari
otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu
lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum
mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih,
fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai
salah satu organ tertentu.
3. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan
menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang
dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
11
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic
pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi
sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat
pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot
dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan
percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi
terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret
pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged
respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak.
Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab
sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau
spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan
keseimbangan asam basa.
4. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena :
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,
infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa,
yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.
12
5. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme
anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan
sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
6. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi
pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan
adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan
awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang
berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang
merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang
diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar
endokrin.
7. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara
langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut
dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-
pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan
13
apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas
traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek
sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.
II.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan
penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik. Derajat berat penyakit selain
berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi.
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya
karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi
yang adekuat. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional
yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan,
pada tahun 1981. Ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya ditolong
melalui tenaga persalianan tradisional (TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus
( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7,
32 %) ). Berikut ini table yang memperlihatkan instrument untuk memotong tali pusat.
Tabel I : BAHAN UNTUK MEMOTONG TALI PUSAT
Gambar 5. Bahan untuk memotong tali pusat
14
TABEL 2. : MATERIAL UNTUK TALI PUSAT
Gambar 6. Material pemotongan tali pusat
Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas
fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari
kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi
dan kegagalan jantung paru.
Bayi terus menerus menangis tetapi masih dapat menghisap dan minum ASI selama 2
hari setelah lahir
Gejala trismus terjadi karena kekakuan otot maseter sehingga mulut tidak dapat dibuka,
hal ini merupakan gejala penyakit yang umumnya pertama kali muncul.
Kemudian berkembang menjadi iritabiliti dan gagal menghisap (lockjaw) diikuti dengan
spasme seluruh tubuh disertai dengan fleksi lengan dan jari-jari tangan seperti
menggenggam, ekstensi leher dan kaku belakang yang disebut risus sardonikus. Kaku
pada abdominal adalah hal yang sangat penting dalam mendiagnosis tetanus neonatorum.
15
Pada tempat luka dapat nyeri dan terjadi kekakuan pada tahap gejala lokal dan trismus
masih mempunyai tingkat mortalitas yang rendah. Ketika tetanus sudah mencapai kepala
dan wajah maka mortalitasnya cukup tinggi. Tetanus secara keseluruhan dapat
menimbulkan nyeri, sakit kepala, kaku, opistotonus, dan spasme bahkan kerusakan
laringeal. Gejala spasme terlebih dahulu dan dapat menyebabkan berhenti pernafasan dan
kematian. Spasme terjadi ± 2 minggu, kemudian diikuti gangguan otonom dan setelah itu
akan terjadi kekakuan. Kaku yang terakhir akan menimbulkan paralisis dalam jangka
waktu lama.
Gambar 7. Gejala klinis tetanus neonatorum
16
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada
atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia
ringan
c. Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat,
takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,
yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau
hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau
penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus
berat meliputi derajat III dan IV.
II.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap (Apakah sudah pernah
mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir)
Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana
kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
Lekositosis ringan
17
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
II.7 Diagnosis Banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali
dijumpati dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal
dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan
SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat
imunisasi, kekakuan otot otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
Gambar 8. Tabel diagnosis banding tetanus neonatorum
18
II.8 Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot
pernafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektasis serta
kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi
rhabdomyolisis dan renal failure. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa
takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok
II.9 Penatalaksanaan
a. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang
tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian
cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum,
letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus
IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi
50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap.
Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Catat dan awasi
tanda-tanda vital serta temperature incubator dan frekwensi beratnya muscular
spasme. Pemberian oksigen melalui kanul hidung dan isap lendir dari hidung dan
mulut harus dikerjakan.Catat pengeluaran urin dan tinja, bila dijumpai gumpalan
tinja lakukan pengosongan dengan saline onema, buat daftar cairan yang keluar dan
masuk. Lakukan perubahan posisi tiap 2 jam. Lakukan fisioterapi pada daerah dada
secara hati-hati setiap 4 jam.Gerakkan tangan dan kaki secara pasif. Jangan lupa
member zalf antibiotika pada mata.
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan
sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan
hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh
spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi
19
dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakhea.
b. Obat-Obatan
b.1. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-
40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan
dengan dosis 200.000 unit /kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan
b.2. Antitoksin:
Pemberian anti-toxin bertujuan hanya untuk mengikat toxin yang masih
beredar dalam darah,ataupun toxin yang belum terikat dengan kuat.A.T.S
dengan dosis 10.000 units dapat diberikan secara I.V.,ataupun dengan
pemberian tetanus immuneglobulin 500 unit secara I.M.berupa dosis tunggal,
sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu.
b.3. Tetanus Toksoid
Penderita yang sembuh dari tetanus neonatorum tidak membentuk daya
kebal terhadap tetanus. Pada tetanus neonatorum sebaiknya pemberian TT
dilakukan setelah penderita sembuh dan diberikan saat bayi berumur 2 bulan
atau lebih, bersamaan dengan imunisasi lain. Pemberian Tetanus Toksoid
(TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi
pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi
dasar terhadap tetanus selesai.
20
b.4 Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi
Gambar 7 tabel antikonvulsan
Untuk tetanus neonatal berupa diazepam, obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat
diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah
pemberian anti kejang.
21
Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian
diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam pada saat dimulai
pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali
pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang,
bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai
kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis maintenance ).
Bila dosis optimum telah didapat, maka jadwal pasti telah dapat dibuat, dan ini
dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya
kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -15 % dari dosis
optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila
terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif
belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai
kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi
kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan
untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis
maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan
22
II.10 Prognosis
Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun,
angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka
kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2
kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis
yang lebih baik dari tetanus umum. Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat
keganasannya, dimana :
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spasm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa
inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek. Prognosa
tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm
II.11 Pencegahan
Pertolongan persalinan yang steril, pendidikan kesehatan dan yang terpemting
dalam mencegah tetanus neonatorum adalah pemberian imunisasi aktif pada ibu
hamil dan wanita usia subur serta pemberian imunisasi pasif. Pemberian imunisasi
aktif berupa Tetanus Toksoid yang merupakan salah satu hasil yang memuaskan dari
segala imunisasi yang digunakan. Hal ini merupakan kombinasi Difteri Toksoid dan
vaksin Pertusis ( DPT ) untuk anak – anak < 7 tahun atau Difteri Toksoid yang
diberikan pada anak > 7 tahun dan dewasa. Pada bayi diberikan pada usia 6 bulan, 18
bulan, dan pada waktu masuk sekolah ( usia 5 – 6 tahun ). Setelah itu dilakukan
Booster pada waktu usia dewasa yaitu tipe Difteri Toksoid yang diberikan setiap 10
23
tahun. Booster dari difteri toksoid diperlukan jika terdapat luka pada orang yang
mempuyai riwayat booster > 10 tahun atau > 5 tahun dengan luka yang sangat kotor
dan sirkulasi yang buruk pada daerah luka.
Gambar 11 Preparat TT serta pemeriksaan ibu hamil
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo,dkk. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis. Ikatan dokter anak indonesia,
jakarta : 2002
2. Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Hal.1004-07.Edisi15-Jakarta:EGC,2000 Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi
dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
3. Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005
4. Http://74.125.153.132/search?q=cache:Bmq-xfKW6OsJ:library. usu.ac.id/ download/
fk/ penysaraf-kiking2. pdf+tetanus&cd=1&hl=id&ct= clnk&gl=id . Diakses tanggal 11
Februari 2011.
5. Julia A McMillan,MD, febrile seizures, Oski,s Pdiatrics Principles and Practise,3rd
edition.Philadelpia. publisher:Lippincott& wilkins. 1999, chapter 404,page 1949-1951.
6. Kesepakatan UUK Neurologi IDAI, Tetanus pada Anak, Saraf Anak PERDOSSSI,
Jakarta, 2004.
7. Http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/
2009/05/13/1164/2/Bahaya-Tetanus-dan-Cara-Pencegahannya
8. Http://medicastore.com/penyakit/91/Tetanus.html Diakses tanggal 11 Februari 2011
25