referat cedera kepala
DESCRIPTION
cedera kepalaTRANSCRIPT
DAFTAR ISI
Daftar Isi........................................................................................................... 1
BAB I: Pendahuluan......................................................................................... 2
BAB II: Isi....................................................................................................... 3
BAB III: Kesimpulan ..................................................................................... 22
Daftar Pustaka................................................................................................. 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah kekerasan tumpul atau tajam pada kepala atau wajah yang berakibat
disfungsi cerebral sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama,
dan sebagian besar disebabkan karena kecelakaan lalu lintas.
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit. Dari
pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10%
termasuk cedera sedang dan 10% termasuk cedera kepala berat.
Pembagian trauma capitis yaitu: Simple head injury, Commutio cerebri, contusion
cerebri, laceration cerebri, basis crania fracture, epidural hematom, subdural hematom,
subarachnoid hematom dan intercerebral hematoma. Simple head injury. Commutio cerebri
sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan contusion cerebri dan
laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepla berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan,
peredaran darah dan kesadaran. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga
diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktik untuk melakukan pertolongan
pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita serta mencegah
timbulnya komplikasi baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2
BAB II
ISI
2.1 ANATOMI KEPALA
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.( 1,2 )
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii . Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa
anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada
cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
3
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar
14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang)
terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi
beberapa lobus.7 Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan
pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi
ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS
4
akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3
Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. 9
2.2 EPIDEMIOLOGI CEDERA KEPALA
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit. Dari
pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10%
termasuk cedera sedang dan 10% termasuk cedera kepala berat.
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir
separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera kepala terutama melibatkan
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. 17 Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap
tahun hampir 2 juta penduduk mengalami cidera kepala. Berdasarkan penelitian Suparnadi
pada tahun 2009 di Jakarta, menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban berumur
antara 20-39 tahun (47%), suatu golongan umur yang paling aktif dan produktif. Dalam
penelitian ini didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh
(25%), 11% adalah pelajar dan mahasiswa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro
Riyadina (di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta
didapatkan jumlah kasus sebanyak 425 orang. Korban yang mengalami cedera parah 41,9%
dan meninggal 7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio cerebri
10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah tulang 31.29%.
2.3 ETIOLOGI CEDERA KEPALA
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai macam trauma dari luar, misalnya: (7,8)
1. Luka tembak senjata api, dapat menyebabkan cedera kepala saat peluru menembus
tulang tengkorak dan mencederai otak, sehingga dapat merusak pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan.
2. Kecelakaan lalu lintas, adalah penyebab paling umum dari cedera kepala berat. Pada
kecelakaan lalu lintas, tubuh seseorang dapat membentur kaca depan, dashboard, dan
5
roda kemudi, hal ini dapat menyebabkan cedera kepala terbuka maupun cedera kepala
tertutup.
3. Benturan pada kepala, misalnya akibat kekerasan fisik, terjatuh, pukulan pada kepala,
atau ditendang pada bagian kepala juga dapat menyebabkan cedera kepala mulai dari
cedera kepala ringan, sedang, hingga berat.
4. Aktivitas olah raga juga dapat menyebabkan cedera kepala berat jika seseorang tidak
mengutamakan keselamatannya. Aktivitas yang paling banyak menyebabkan cedera
kepala antara lain bersepeda, sepak bola, basket, softball, baseball, mengendarai
kendaraan rekreasional misalnya sepeda mini, go-kart, dll.(9)
2.4 DEFINISI DAN KLASIFIKASI CEDERA KEPALA (3,4,5,6)
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
Pembagian trauma kapitis :
Simple head injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan
cukup istirahat.
Commotio cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih
dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak.
Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya
pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat
amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum
terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di
6
lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak,
EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk
observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.
Contusio cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion
ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula
hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat,
sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis
difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu,
kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio
menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif
dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya
menunjukkan “organic brain syndrome”. Akibat gaya yang dikembangkan oleh
mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas,
autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan
lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan bisa timbul. Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk
melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan
antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10
hari.
Laceratio cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater.
Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika,
subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung
dan tidak langsung. Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur
depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas
jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
7
Basis cranii fracture
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus
disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan
operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
Epidural Hematoma
Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan
duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga terjadi
kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Ditemukan adanya lusid
interval pada 50% kasus. Lucid interval adalah adanya fase sadar diantara 2 fase
tidak sadar karena bertambahnya volume darah yaitu pada saat kejadian pasien
tidak pingsan/ pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik
dengan sendirinya, tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif,
nyeri kepala , pusing, kesadaran menurun hingga koma.
Gejala klinis :
Gejala fokal, akibat herniasi tentorial
– timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)
8
pada daerah kontralateral
– midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya
direct / indirect (-).
Bradikardi karena adanya peningkatan TIK
LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi)
EDH merupakan kasus yang paling emergency di bedah saraf karena progresivitas yang cepat, karena duramater melekat erat pada sutura, sehungga langsung mendesak parenkim otak mudah herniasi trans dan infratentorial. Sehingga jika penanganan terlambat, pasien bisa mati dan jika cepat pasien bisa kembali seperti sedia kala.
Gambaran CT-Scan : gambaran hiperdens homogen berbentuk bikonveks (seperti lensa cembung) diantara tabula interna dan durameter menggambarkan fraktur yang merupakan daerah coop (tempat terjadi benturan)
Subdural hematoma-Akut : karena trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh
parenkim otak ke kontralateral dan mengenaitulang kontralateral sehingga mengenai
arteri corticalis.
-Kronis : karena underlying disease. Contohnya kelainan hemostasis yg menyebabkan
pecahnya bridging vein, biasa terjadi pada orang tua
Secara umum yaitu perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan
araknoid akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan
otak yang berjalan menuju sinus venosus didalam duramater. Gejala-gejala, akut
seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau merupakan
perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan ringan.
Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan dilapisi oleh
kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan dari sekitarnya
sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan gejala-gejala
menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi.
Gejala klinis :
menyerupai tumor serebri dimana ditemukan peninggian
tekanan intrakranial.
Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma
Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat disertai
mual muntah
9
Midriasis homolateral, gangguan visus.
Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese.
Refleks patologi (+)
Subarachnoid hematoma
Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma kapitis
yang sering disebabkan oleh kontusio serebri.
Gejala klinis :
o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba
o Pusing, mual, muntah
o Kesadaran menurun hingga koma
o Kaku kuduk (+)
o Suhu tubuh meninggi
o Refleks patologi (+)
o timbul kejang atau gejala fokal
Intraserebral hematoma
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang
menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak pada
lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang- kadang
pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak tertolong,
perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila hematoma
berasal dari vena biasanya dapat tertolong.
Pembagian cedera kepala lainnya:
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari
10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologist.
10
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota
gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.
Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala
ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala
berat.
2.5 PATOFISOLOGI (10,11,12)
Trauma di kepala akan menyebabkan berbagai macam reaksi pada tubuh, dan
mengakibatkan gegar otak, koma dan bahkan kematian. Cedera kepala terbagi menjadi 2
subkategori, yaitu:
1. Cedera primer, yang terjadi pada saat trauma, dan
2. Cedera sekunder, yang terjadi setelah trauma dan terus setelah jangka waktu yang
lama.
a. Cedera primer
11
Cedera primer secara langsung akan menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan
seperti kulit, otot, tulang dan pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan luka terbuka dan
hematoma.
Fraktur tulang kranial bisa menyebabkan kerusakan saraf, mengenai sinus dan telinga hidung
tenggorokan. Dampak benturan langsung ke daerah temporal bisa menyebabkan tuli sensoris
atau konduktif. Selain itu juga bisa terjadi Benign paroxysmal vertigo ketika kristal kalsium
karbonat berpindah dari urtikula ke kanalis semisirkularis.
Perdarahan intrakranial dapat terjadi, seperti:
- Epidural hematoma, terjadi karena pecahnya pembuluh darah dan menyebabkan darah
terkumpul di antara duramater dan tengkorak, yang paling sering adalah pecahnya
arteri meningeal media. Karena duramater melingkupi vertebra juga maka perdarahan
juga bisa terjadi di kolumna vertebralis. Kondisi ini terjadi antara 1-3% dari cedera
kepala, dengan mortalitas 15-20%
- Subdural hematoma, terjadi karena pecahnya vena-vena jembatan yang berada di
ruang subdural. Mortalitasnya tinggi, mencapai 60-80%.
- Perdarahan intraventrikuler, terjadi di sistem ventrikuler dari otak, dimana cairan
cerebrospinalis diproduksi. Perdarahan interventrikuler terjadi pada 35% cedera
kepala sedang sampai berat. Angka kematiannya tinggi.
- Perdarahan subaraknoid, adalah perdarahan yang terjadi di ruang subaraknoid, antara
membran araknoid dan pia mater, biasanya terjadi spontan karena rupturnya
aneurisma cerebri atau karena trauma kepala.
- Perdarahan intraserebral , terjadi dalam jaringan otak itu sendiri. Angka mortalitasnya
mencapai 40%.
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada area terjadinya benturan
maupun tempat yang berlawanan dengan benturan. Biasanya kalau benturannya kecil dan
keras, efeknya akan langsung pada tempat benturan, tapi kalau objeknya besar cederanya
akan lebih sering terjadi berlawanan dengan tempat benturan.
Cedera kepala dapat menyebabkan kontusio (gegar) karena kerusakan struktur otak yang
menyebabkan berbagai kelainan neurologis. Kontusio ini adalah bentuk dari Cedera axonal
difus (kerusakan substansia alba jaringan otak).
b. Cedera sekunder
12
Cedera sekunder terjadi beberapa saat setelah terjadi benturan. Efek biokimia yang
terjadi seperti pelepasan asam amino eksitatori (EEAs) (termasuk glutamat dan aspartat)
akan meningkat signifikan setelah cedera kepala. Asam amino ini akan menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi dan kematian neuron melalui mekanisme influks Na+ dan Cl+,
peningkatan influks Ca2+. Kerusakan jaringan akan mengaktifkan berbagai macam sitokin
inflamasi. Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi adalah sebagai akibat dari
perdarahan. Perdarah yang terjadi akan menyebabkan perfusi jaringan otak menurun sehingga
terjadi penumpukan asam laktat yang tambah memperparah kerusakan sel otak.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan hipoksia, iskemia, kejang,
edema otak, hidrosefalus dan herniasi otak. Herniasi ini dapat menyebabkan batang otak
terjepit dan bisa menyebabkan gangguan pernafasan dan kesadaran.
Selain itu juga akan terjadi perangsangan sistem simpatis, yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan hidrostatik melalui berbagai mekanisme
fisiologis tubuh di jantung, pembuluh darah dan ginjal. Hal ini bisa menyebabkan kebocoran
kapiler dan menyebabkan oedem paru, serta gangguan perfusi jaringan. Perangsangan
simpatis juga akan meningkatkan katekolamin, dan sekresi asam lambung sehingga terjadi
13
mual dan muntah.
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada
kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang
tengkorak.
Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural dan intraserebral.
Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera
struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang ini mengubah
tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat
14
benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang berseberangan dengan benturan (contra
coup)
2.6 MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari adanya peningkatan tekanan intra cranial adalah banyak dan bervariasi
serta dapat tidak jelas.
1. Perubahan tingkat kesadaran (paling sensitive diantara tanda peningkatan TIK)
2. Trias klasik :
-Nyeri kepala karena regangan duramater dan pembuluh darah.
-Papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptikus
-Muntah, seringkali proyektil.
3. Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan menandakan
dekompensasi otak dan kematian yang mengancam
4. Hipertermia
5. perubahan motorik dan sensorik
6. Perubahan bicara
7. Kejang
2.7 PEMERIKSAAN FISIK
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)
A.Kesadaran
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
15
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
Kemampuan menurut perintah 6
Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak bereaksi 1
B.Tanda-tanda vital,
Meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan laju nafas. Hasilnya dapat berbeda-beda pada
setiap pasien tergantung keadaannya
C.Tingkat cedera luar yang terlihat
Dilihat apakah terdapat cedera kulit kepala, perdarahan hidung, mulut, telinga, dan
hematoperiorbital, serta apakah terdapat memar/lebam pada bagian-bagian tertentu di kepala,
sekitar hidung, dahi, pipi, dan area sekitar mata.
D.Tanda-tanda neurologis
Menilai bentuk dan ukuran pupil, simetris atau tidak, isokor atau tidak, gerakan mata
untuk melihat apakah ada kelumpuhan terhadap otot-otot penggerak bola mata atau nervus
yang mempersarafi otot tersebut.
E.Aktivitas motorik
Melakukan penilaian kekuatan otot pasien untuk melihat apakah ada lesi pada sistem
koordinasi atau medulla spinalis.
F.Reflek fisiologis dan patologis
G. Pemeriksaan nervus cranialis
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
16
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari
saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
2.9 DIAGNOSA
Berdasarkan : Ada tidaknya riwayat trauma kapitis
Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala laterlisasi
Pemeriksaan penunjang.
2.10 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
1.Penatalaksanaan Umun
Observasi GCS danTanda Vital (Tekanan darah, Nadi, Respirasi, Suhu)
miringkan kepala 30°
O2 lembab 4-6 liter/m
IVFD NaCl 0,9% (30-40cc/kgBBperhari)
Antibiotik
Analgetik
Antagonis H2 reseptor
K/P :Manitol, Anti Konvulsan
Pasang NGT, Kateter
2. Penatalaksanaan TIK
Terapi Konservatif
Posisi :miringkan kepala 30 °
Hiperventilasi ringan 15-30 menit
Manitol 20% dosis 0,25 - 2 gr/Kg BB/kali pemberian tiap 4 – 6 jam
Terapi operatif (craniotomy, diversi LCS, dekompresi)
Indikasi ;
Fraktur depresi
Intracranial hematoma (EDH/SDH/ICH) > 25 cc
17
Midline Shift > 5 cm
Cedera penetrasi
Indikasi rawat bagi pasien cedera kepala yaitu :
Penurunan kesadaran
Nyeri kepala (dari sedang hingga berat)
Riwayat tidak sadarkan diri selama > 15 menit
Fraktur tulang tengkorak
Rhinorea – otorhea
Cedera penetrasi
Intoksikasi alcohol atau obat-obatan
Trauma multiple
Hasil CT Scan abnormal
Amnesia
Tidak ada keluarga
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :
a.Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan
lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm
b.Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan
mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun
kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada
pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas
dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
18
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan
adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan
dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3.Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang
kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu
dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena
penderita kehilangan banyak darah
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting
untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan
dukungan psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi
psikologis dan sosial.
2.11 KOMPLIKASI
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala
sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian
timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing,
kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi
perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
19
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma
subkutan
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan
pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi
piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak
(bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang
tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada
lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa
hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan
perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan
manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
20
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin
hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat.
Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan
jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat
meninggi.
TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII,
disartria, disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun,
mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah
laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan
depresi.
2.12 PROGNOSIS
Skala Outcome Glasgow (GOS) digunakan secara luas sebagai standar yang menjelaskan
hasil akhir pada pasien cedera kepala. Merupakan skala lima butir yang sederhana:
Good recovery [G] Pasien pulih ke tingkat fungsi sebelum cedera
Moderately disabled [MD] Pasien dengan deficit neurologis namun mampu merawat diri
sendiri
Severely disabled [SD] Pasien tidak mampu merawat diri sendiri
Vegetative [V] Tidak ada tanda-tanda berfungsinya mental luhur
Dead [D]
21
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat sementara dan menetap.
Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan otak, dan dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala.
Cedera sekunder terjadi beberapa saat setelah terjadi benturan merupakan cedera
yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Penatalaksanaan cedera kepala yang diutamakan adalah penanganan segera dan life
saving, Adapun penatalaksaan cedera kepala terbagi menjadi tiga yaitu primer, sekunder,
dan tertier. Komplikasi dari cedera kepala bisa terjadi dalam jangka pendek dan jangka
panjang, diharapkan dengan terapi yang diberikan kualitas hidup pasien dapat meningkat.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC: 2006. 740-59
2. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Disitasi
dari h t t p ://www . b ia u s a . o r g pada tanggal 13 Juli 2009. Perbaharuan
terakhir : Januari 2009.
3. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 2003
4. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada
University Press, 1991
5. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981
6. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta, 1981
7. Macon BL, Boskey E. Head Injury. Healthline Networks, Inc. Available at:
http://www.healthline.com/health/head-injury. Published on August 15, 2012.
Accessed September 14th, 2014.
8. Heller JL. Head Injury – First Aid. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000028.htm. Accessed on June 6,
2014.
9. Web MD. Head Injuries: Causes and Treatments. Available at:
http://www.webmd.com/fitness-exercise/guide/head-injuries-causes-and-treatments.
Accessed September 14th, 2014.
10. Bakley JM, Morales D, hayman LA, Diaz-Marchan PJ. 2006. Static neuroimaging in
the evaluation of TBI, In Brain Injury Medicine: Principles dan Practice. Demos
Medical Publishing. P 140-43.
11. Sanders MJ, McKenna K. 2001. Mosby’s Paramedic Textbook, 2nd Ed. Bab 22
“Head and facial trauma”. Mosby.
12. Medscape. 2014. Traumatic brain injury (TBI) - definition, epidemiologi and
pathophisiology. Available at: www.emedicine.medscape.com/article/326510-
overview#a30 accessed on September 14th 2014
23