objek kajian tasawuf dalam persfektif psikologi

61
OBJEK KAJIAN TASAWUF DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI Hasanudin Arinta Kusrin

Upload: hasanudin-arinta-kusrin

Post on 07-Aug-2015

715 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Sebagai suatu disiplin ilmu, tasawuf sudah dikenal dan berkembang sejak dahulu, mendahului ilmu psikologi. Tasawuf merupakan aspek esoterime dalam kajian Islam yang perwujudannya adalah adanya kesadaran untuk berkomunikasi atau berdialog dengan Tuhan. Secara harfiyah istilah tasawuf berasal dari beberapa akar kata berikut: al-shuffah, shufi, shaff, shuf, dan sophos. Al-Shuffah berasal dari istilah "ahl al-shuffah" (penghuni serambi masjid Nabawi), kata shufi berarti sekelompok orang yang disucikan, kata shaf berarti "barisan dalam shalat berjamaah", kata shuf berarti "kain terbuat dari bulu domba yang biasa dipakai para sufi", sementara kata sophos -berasal dari istilah Yunani— berarti "bijaksana".Kesadaran akan kedekatan dengan Tuhan, kemampuan berkomunikasi, bahkan berdialog dengan Tuhan tidak mungkin dilakukan oleh manusia, kecuali mereka yang mampu membersihkan dan menyucikan jiwanya dari segala kotoran dan kejahatan. Kebersihan dan kesucian jiwa ini tentu tidak dilihat dari sisi fisik, melainkan sisi jiwa, mental, dan spiritual. Oleh karena itu, bila tasawuf diposisikan sebagai disiplin ilmu, maka tasawuf diartikan "suatu kajian mengenai cara dan jalan yang dilakukan seorang muslim untuk senantiasa berdekatan dengan Tuhannya", karena syarat utama untuk berdekat-dekat dengan Tuhan adalah kesucian jiwa, mental, dan spiritual, maka semua cara dan jalan yang ditempuh haruslah mengacu pada inti ajaran tersebut. Jika ilmu pengetahuan (ilmu psikologi, misalnya) menggunakan "data empirik", ilmu tasawuf menggunakan "data spiritual personal". Ilmu pengetahuan berangkat dari "keraguan" yang merupakan produk akal, ilmu tasawuf berangkat dari "keyakinan" yang merupakan produk qalbu. Ilmu pengetahuan berpijak pada "akal rasional", ilmu tasawuf berpijak pada "hati (al-qalb) atau rasa". Selanjutnya ilmu pengetahuan tentang Tuhan bertujuan untuk "mengetahui dan mengenal Tuhan", sedangkan ilmu tasawuf bertujuan untuk "tidak sekedar mengetahui dan mengenal Tuhan semata, tapi juga untuk merasa dan menikmati bertaqorrub dengan Tuhan "Secara substansial embrio ilmu psikologi memiliki benang merah persinggungan objek kajian dengan ilmu tasawuf yaitu jiwa manusia. Jiwa manusia juga adalah objek kajian tasawuf, sehingga sampai sekarang masih dipertanyakan apa itu jiwa menurut kedua ilmu tersebut. Sebagaimana diketahui PSIKOLOGI adalah bidang keilmuan yang sangat dekat dengan tasawuf. Sebagai ilmu, PSIKOLOGI yang sampai saat ini sudah sangat jauh mengembara dan menghasilkan banyak produk ilmu turunannya. Ilmu psikologi tumbuh dewasa dan sudah memisahkan diri dengan induknya ilmu, yaitu FILSAFAT, tetapi belum sangat dekat kepada si pemilik ilmu yaitu Yang Maha Mimiliki Ilmu Pengetahuan- Tuhan, Allah SWT.

TRANSCRIPT

Page 1: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

OBJEK KAJIAN TASAWUF DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

Hasanudin Arinta Kusrin

Yayasan Bina Cendekia IndonesiaMembina dan membangun insan cendekia Indonesia denganIman, taqwa, ilmu pengetahuan dan teknologi..................................................

Page 2: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

PENDAHULUAN :

Sebagai suatu disiplin ilmu, tasawuf sudah dikenal dan berkembang sejak dahulu,

mendahului ilmu psikologi. Tasawuf merupakan aspek esoterime dalam kajian

Islam yang perwujudannya adalah adanya kesadaran untuk berkomunikasi atau

berdialog dengan Tuhan.

Secara harfiyah istilah tasawuf berasal dari beberapa akar kata berikut: al-

shuffah, shufi, shaff, shuf, dan sophos.1 Al-Shuffah berasal dari istilah "ahl al-

shuffah" (penghuni serambi masjid Nabawi), kata shufi berarti sekelompok orang

yang disucikan, kata shaf berarti "barisan dalam shalat berjamaah", kata shuf

berarti "kain terbuat dari bulu domba yang biasa dipakai para sufi", sementara kata

sophos -berasal dari istilah Yunani— berarti "bijaksana".

Kelima substansi dari akar kata tasawuf tersebut ternyata mengandung

muatan arti "kehidupan jiwa dan mental seseorang". Istilah "ahl al-shuffah"

nampak bersifat materi, yakni sekelompok sahabat Nabi yang berdiam di serambi

Masjid Nabawi (dulu rumah Nabi), namun substansinya melekat kepada "makna

kejiwaan" untuk memperoleh tausiyah/nasehat-nasehat agama dari Nabi agar

jiwanya terjaga dari perbuatan-perbuatan yang akan mengotori jiwanya. Para ahli

shuffah masjid nabawi bukanlah sekelompok sahabat Nabi yang berusaha mencari

penderitaan hidup, melainkan sekelompok sahabat yang berusaha menyucikan

jiwanya untuk selalu siap mendapat "siraman ruhani" dari Nabi dan berperilaku

zuhud.

Ke empat istilah lainnya juga mengandung arti "kondisi kejiwaan atau

mental seseorang". Shaff berarti "barisan dalam shalat berjama'ah". Para sufi

mencontoh para sahabat yang senantiasa berebut untuk menempati barisan "shaff"

pertama, dengan harapan hatinya dekat dengan Nabi, jiwanya suci seperti Nabi.

Shuf yang berarti "bulu" juga melambangkan "hidup sederhana", dimana

kesederhanaan hidup para sufi berusaha dalam mencari materi, dan berjuang keras

dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Demikian pula, kata sophos yang berarti

1 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 57Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

2

Page 3: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

"bijaksana" melambangkan bahwa para sufi selalu bersikap bijaksana terhadap

siapapun. Sikap bijaksana merupakan sikap jiwa yang adil dan seimbang, jauh dari

jiwa zhalim.

Dalam pengertian yang cukup jelas di atas, Muhammad Aqil2 menghimpun

beberapa rumusan hakekat tasawuf sebagai berikut: (a) tasawuf merupakan

kehidupan spiritual (hayat ruhiyat), (b) tasawuf adalah kajian tentang hakekat, (c)

tasawuf adalah bentuk dari ihsan, aspek ketiga setelah Iman dan Islam, dan (d)

tasawuf merupakan jiwa Islam (ruh Islam). Keempat rumusan tasawuf itu secara

keseluruhan menekankan pada aspek kejiwaan, spiritual, dan kehidupan mental.

Aspek-aspek esoterik ajaran Islam yang banyak mengkaji tentang nafs, qalb,

ruh itu berkaitan dengan pensucian jiwa (tazkiyatun nufus), sehingga sikap

spiritualitas dalam Islam adalah upaya manusia untuk berbuat ihsan, sehingga

manusia mampu memahami dan menangkap makna hidup dan keberadaannya

di dunia ini. Dan ajaran Tasawuf sangat erat dengan upaya pensucian jiwa

tersebut.

Beberapa penjelasan tentang istilah dan pengertian tasawuf tersebut akan

semakin jelas bila dilihat dari sisi tujuan dan intisari ajaran tasawuf. Menurut

Harun Nasution,4 tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan

disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat

Tuhan. Sedangan intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi

dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.

Kesadaran akan kedekatan dengan Tuhan, kemampuan berkomunikasi,

bahkan berdialog dengan Tuhan tidak mungkin dilakukan oleh manusia, kecuali

mereka yang mampu membersihkan dan menyucikan jiwanya dari segala kotoran

dan kejahatan. Kebersihan dan kesucian jiwa ini tentu tidak dilihat dari sisi fisik,

melainkan sisi jiwa, mental, dan spiritual. Oleh karena itu, bila tasawuf diposisikan

sebagai disiplin ilmu, maka tasawuf diartikan "suatu kajian mengenai cara dan

2 Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdaliy, Madhal Ila al-Tasawuf al-Isldmiy (Kairo: Dar al-Hadits, 1993), h. 52,

sebagaimana dikutip oleh Ikhrom, Titik Singgung antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental dalam

Teologia, Volume 19, No.1, Tahun 2008.

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

3

Page 4: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

jalan yang dilakukan seorang muslim untuk senantiasa berdekatan dengan

Tuhannya", karena syarat utama untuk berdekat-dekat dengan Tuhan adalah

kesucian jiwa, mental, dan spiritual, maka semua cara dan jalan yang ditempuh

haruslah mengacu pada inti ajaran tersebut.

Jika ilmu pengetahuan (ilmu psikologi, misalnya) menggunakan "data

empirik", ilmu tasawuf menggunakan "data spiritual personal". Ilmu

pengetahuan berangkat dari "keraguan" yang merupakan produk akal, ilmu

tasawuf berangkat dari "keyakinan" yang merupakan produk qalbu. Ilmu

pengetahuan berpijak pada "akal rasional", ilmu tasawuf berpijak pada "hati (al-

qalb) atau rasa". Selanjutnya ilmu pengetahuan tentang Tuhan bertujuan untuk

"mengetahui dan mengenal Tuhan", sedangkan ilmu tasawuf bertujuan untuk

"tidak sekedar mengetahui dan mengenal Tuhan semata, tapi juga untuk merasa

dan menikmati bertaqorrub dengan Tuhan ".3

William James, seorang psikolog Amerika mengatakan bahwa kondisi

bertasawuf dicirikan dalam 4 hal, yaitu 4:

1. Adanya kondisi pencapaian (noetic) yang mampu mengupas hakikat

yang substansial berupa ilham-ilham (revealations) dan bukan

pengetahuan demonstratif.

2. Kondisi bertasawuf tidak mungkin digambarkan atau diungkapkan

(ineffability), sebab merupakan kondisi perasaan (states of feeling). Itlah

sebabnya, kondisi tersebut sulit diungkapkan dengan kata-kata terperinci.

3. Kondisi bertasawuf merupakan suatu kondisi cepat hiking (tranciency),

artinya tidak secara terus menerus berada pada diri para sufi dalam

rentang waktu yang relatif lama, namun tetap berpengaruh dalam ingatan

pelakunya.

4. Suatu kondisi yang pasif , dimana adanya ketundukkan kepada suatu

kekuatan lain yang mendominasi dan menghegemoni dirinya.

3 Ikhrom, op.cit.4 Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembagannya, Gaya media Pratama, Jakarta, 2008, h.2-3Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

4

Page 5: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

Sedangkan R.M.Bucke membatasi ciri-ciri kondisi bertasawuf menjadi 7

identifikasi, yakni 5:

1. Cahaya eksisitensi batin (the subjective light)

2. Ketinggian moral (moral elevation)

3. Pancaran Akal (intellectual illumination)

4. Perasaan akan keabadian (sense of immorality)

5. Hilangnya rasa takut dari kematian (less of fear of death)

6. Hilangnya perasaan berdosa (less of sense of sin)

7. Keterkagetan (suddenness).

Menurut Martin Lings, tasawuf juga banyak berurusan dengan

penyembuhan kalbu dan pensucian serta pemurnian jiwa dari segala sesuatu yang

dapat menghalangi seseorang bertaqarub dengan Tuhan. 6.

Secara substansial embrio ilmu psikologi memiliki benang merah

persinggungan objek kajian dengan ilmu tasawuf yaitu jiwa manusia. Jiwa

manusia juga adalah objek kajian tasawuf, sehingga sampai sekarang masih

dipertanyakan apa itu jiwa menurut kedua ilmu tersebut.

Dalam bukunya berjudul “Misticism and Logic”, atau Tasawuf dan Ilmu

Logika, Bertrand Russel menyatakan bahwa sangat mungkin para filosof dapat

menyatukan mainstream tasawuf dan ilmiah, atau kecenderungan harmonisasi

keduanya, atau menjadi pemikiran tingkat tinggi sehingga seseorang bisa

melakukannya dapat dikatakan sebagai seorang filsuf atau sufi. Ia juga berkata

bahwa filsuf-filsuf besar merasakan kebutuhan akan keilmuan dan tasawuf.

Sebagaimana diketahui PSIKOLOGI adalah bidang keilmuan yang sangat

dekat dengan tasawuf. Sebagai ilmu, PSIKOLOGI yang sampai saat ini sudah

sangat jauh mengembara dan menghasilkan banyak produk ilmu turunannya. Ilmu

psikologi tumbuh dewasa dan sudah memisahkan diri dengan induknya ilmu, yaitu

FILSAFAT, tetapi belum sangat dekat kepada si pemilik ilmu yaitu Yang Maha

Mimiliki Ilmu Pengetahuan- Tuhan, Allah SWT. Paling tidak Psikologi telah

5 Abu Wafa, op.cit, h.2-36 Martin Lings, What is Sufism? Membedah Tasawuf (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 100Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

5

Page 6: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

melahirkan PSIKOLOGI AGAMA – Psychology of Religion. Paling jauh ketika

bersentuhan dengan aspek humanisnik dalam dimensi spiritual menjadi

PSIKOLOGI HUMANISTIK yang kemudian terus berkembang melampaui

kemampuan batin manusia yang terdalam dan bersifat ‘Trans’ kemudian menjadi

PSIKOLOGI TRANSPERSONAL dimana objek kajiannya diantaranya adalah

yoga, telepati, alih batin, dan spiritual / emotional Intelligences, dlsb. –

Ilmu psikologi hingga saat ini belum mengakomodasi dimensi al-Ruh dan

al-Fithrah. Artinya Ruh sebagai dimensi khas manusia hampir tidak pernah

ditinjau dalam dunia ilmu PSIKOLOGI (BARAT).

Selain jiwa manusia, objek kajian tasawuf juga bersinggungan dengan

masalah al-ruh, al-qalb, al-’aql dan al-nafs pada diri manusia. Dalam al-Qur’an

kita juga akan menjumpai beberapa pemahaman makna bahwa disatu sisi ada

esensi kandungan makna yang sama dan senada dari ke 4 objek kajian Tasawuf

tersebut yaitu ruh, kalbu, akal dan nafsu, baik dalam dimensi fisik maupun

metafisik.

Sedangkan kajian ilmu psikologi tidak membahas tentang al-ruh maupun al-

qalb manusia sebagai bagian terdalam yang bersentuhan pada diri manusia.

Kajian Islam tentang jiwa manusia sudah banyak dilakukan oleh para

intelektual Muslim, diantaranya dipelopori al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali.

Sekalipun pengkajiannya masih bersifat filosofis, namun setidaknya usaha mereka

telah menorehkan dan menelurkan benih bagi studi-studi psikologis di masa

mendatang. Al-Gazhali misalnya, sudah mengkaji dimensi struktur ruhaniyah

manusia yang meliputi :

1. Kalbu yang mempunyai dua arti, yakni a) fisik adalah jantung berbentuk

segumpal daging terletak di rongga dada kiri, b) metafisik sebagai akrunia

Tuhan yang halus (lathifah), bersifat ruhaniah dan ketuhanan (rabbaniyah)

2. Ruh yang memiliki makna dalam arti fisik merupakan nyawa atau sumber

hidup yaitu suatu yang halus dan indah dalam diri manusia yang mengetahui

dan mengenal segalanya sebagaimana kalbu dalam arti metafisik. Ruh

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

6

Page 7: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

dalam arti metafisik manusia adalah diketahui lebih banyak sebagai urusan

Tuhan, dimana manusia hanya diberikan sedikit pengetahuan oleh Allah

(QS.al-Israa : 85).

3. Akal sebagai daya pikir atau potensi intelligensi yang memiliki sifat dan

makna yang sama dengan ketiga dimensi kajian lainnya. Menurut al-Ghazali

akal adalah yang pertama dijadikan Allah sebelum manusia diciptakan.

4. Nafsu dalam arti pertama yakni dorongan agresif (ganas) dan dorongan

erotik (birahi) yang dapat menjadi sumber malapetaka dan kekacauan bila

tidak dikendalikan dan diadabkan. Nafsu dalam arti kedua adalah ‘Nafs al-

muthmainnah’ yang lembut, halus dan tenang serta diundang Tuhan masuk

ke dalam surgaNya (QS al-Fajar : 27-28). Nafsu dalam arti ini semakna

dengan Kalbu dan Ruh dalam arti kedua.

Dari pendapat Ghazali tersebut dapat dikatakan bahwa Ruh, Kalbu, Akal

dan Nafsu mempunyai dua makna, yakni :

1. Dalam arti Fisik adalah fungsi-fungsi psikofisik bagi para psikolog.

2. Dalam arti Metafisik adalah kajian atau olahan ahli tasawuf atau sufi.

Dalam suatu temuan penelitian memperlihatkan, bahwa filsafat mistis Ibnu

Arabi juga telah banyak menguraikan butir-butir kajian penting tentang kejiwaan

yang kelak menjadi embrio bagi lahirnya studi-studi psikologi modern.

Pada masa itu, Ibnu Arabi sudah membahas mengenai psikologi empiris,

sifat-sifat dan fungsi-fungsi jiwa, dan teori mimpi yang di kemudian hari banyak

diungkapkan Sigmund Freud. Pengkajian Ibnu Arabi tentang jiwa manusia

mengenai butir-butir psikologis yang tidak terpisahkan dengan penghayatan

sufistiknya itu memberikan arti penting bagi pencarian titik persinggungan antara

kajian sufistik dan psikologi.

Kajian-kajian psikologis Ibnu Arabi dan Al-Farabi memberikan sumbangan

cukup strategis bagi pengkajian ilmu psikologi di masa berikutnya.

Ilmu Psikologi mencoba menjelaskan mengenai perasaan, motivasi,

perkembangan dan kognisi keagamaan yang tampaknya akan sulit dilakukan bila

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

7

Page 8: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

TITIK TEMU TASAWUF DGN PSIKOLOGI

teori tentang daya, sifat, dan fungsi kejiwaan tidak didudukkan terlebih dahulu. Di

samping itu, kajian psikologi yang diartikan sebagai “ilmu jiwa manusia” secara

substansial juga sudah banyak dikaji oleh Al-Ghazali. Begitu juga yang dilakukan

oleh Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Razi yang sudah lebih dulu mengkaji kejiwaan

manusia sebelum pakar-pakar psikologi Barat bereksperimentasi dan berspekulasi

dengan jiwa manusia.

Jadi sesungguhnya para ilmuwan muslim di masa klasik sudah banyak

membahas “ilmu psikologi” secara terpadu. Dikatakan demikian, karena para

pemikir muslim yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu-ilmu

kontemporer tersebut merupakan para ahli sufi.

Gambar 1 : Perjumpaan Psikologi dengan Tasawuf

Menurut data sejarah, baik Ibnu Sina, Al-

Razi, Al-Ghazali, dan lainnya merupakan

ahli jiwa yang diakui di Timur dan di Barat.

Dan kajian tentang jiwa manusia mereka

tidak kering sebagaimana yang dikaji oleh

para psikolog Barat saat ini. Karena objek

kajian tidak semata diasumsikan sebagai materi (aspek fisik) yang

dieksperimentasi dan dimanefestasi dalam sikap, ucap dan gerak tubuh manusia

semata, melainkan kepada keterpaduannya dengan pengalaman-pengalaman

spiritual jiwa manusia (aspek metafisik) ketika berhubungan dengan Sang Pencipta

Jiwa manusia, yaitu Allah

SWT.

Gambar 2 :

Struktur Jiwa Manusia menurut Al-Ghazali

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

8

Page 9: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

HD.Bastaman7, memaparkan bahwa dari tinjauan psikologisnya melihat apa

yang di jelaskan al-Ghazali tentang Kalbu, Nafsu, Ruh dan Akal masih belum

dapat membedakan secra tajam antara unsur Raga (Biologis), Jiwa (Psikologis),

dan Ruh (Spiritualistis). Makna jasmani (fisik) dari ke empat unsur tersebut masih

berbaur antara gambaran biologis dengan psikis, sedangka dalam arti ruhaniyah

(metafisik) masih berbaur dalam arti konotasi psikis dan spiritual. Makna jasmani

dan ruhaniyah menurut al-Ghazali, tepatnya dimaknai sebagai makna psikofisik

dan metafisik.

II. OBJEK KAJIAN TASAWUF

a. Al-Ruh.

Menurut Hanna Djumhana Bastaman8, beberapa karakteristik Ruh

dapat dijelaskan antara lain :

1. Berasal dari Tuhan, bukan dari tanah atau bumi

2. Ruh bersifat unik, tidak sama dengan akal budi, jiwa dan jasmani, Ruh

berasal dari Allah sebagai wahana untuk munajat mendekatiNya.

3. Ruh tetap hidup dalam tidur maupun tidak sadar (pingsan, koma dan

mati)

4. Ruh menjadi kotor dengan noda dan dosa dan dapat dibersihkan serta

disucikan.

5. Ruh sangat lembut dan sangat halus, karena itu mengambil

tempat/menempati wujud yang serupa dengan wadahnya sebagaimana

kita memahami zat cair, gas dan cahaya yang bentuknya serupa

dimana ruh berada.

6. Dalam beribadah menurut Tasawuf tidak hanya fisik tapi juga yang

terdalam adalah dengan ruh.

7 Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.78-79.8 HD.Bastaman, op.cit.h.95.Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

9

Page 10: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

7. Tasawuf melatih untuk menyebut kalimat-kalimat Allah (dzikir) tidak

hanya dalam taraf kesadaran lahiriah tetapi menembus kesadaran

ruhaniyah. Dengan Dzikir, menyebut kalimah Allah, ruh menjadi

wahana menuju ke alam ketuhanan.

Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di

awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5),

dan setelah melewati beberapa tahapan dan Allah SWT menyempurnakan

kejadiannya dengan dihembuskan-Nya kepada manusia ruh ciptaan Tuhan

(QS. 38:71-72).

Ruh itu sendiri adalah adalah zat murni yang tinggi, hidup dan

hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan

pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana

menyelusupnya air ke dalam bunga, tidak larut dan tidak terpecah-pecah.

Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh mampu menerimanya.

ASAL manusia itu sendiri secara esensial bermula dari Allah SWT,

bersifat Nur (Cahaya), Ruh (Hidup) dan Ghaib (Tidak tampak oleh mata

kasar) ; sulit untuk didefinisikan oleh kata-kata, huruf, bunyi ataupun

sesuatu, melainkan hanya Allah saja yang dapat mengetahui dan memahami-

nya. Sedangkan USUL manusia berasal dari air dan tanah.

Jadi jika ditinjau dari asalnya manusia bersifat RUHANIYAH, dan

dari usulnya bersifat JASMANIYAH.

Misteriusitas al-ruh sudah lama menjadi perdebatan di kalangan ulama

Islam (teolog, filosof dan ahli sufi) yang berusaha menyingkap dan

menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba mengupas dan mengulitinya

guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.

Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti , diantaranya

yakni :

1. Kata روح untuk ruh

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

10

Page 11: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

2. Kata ريح (rih) yang berarti angin

3. Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.

Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa,

nafas, wahyu, perintah dan rahmat.

Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut

lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat :

* روحاني digunakan روحانيون untuk menyebut semua jenis

makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.

Ruh akan tetap menjadi misteri (rahasia) yang kepastiannya hanya

diketahui Allah semata. Firman Allah dalam QS.Al-Israa,[16]: 85 :

ن6 م8 أ>وت8يت>م: ا م6 و6 ب@ي ر6 ر8 م:أ6 ن: م8 وح> Cالر ل8 ق> وح8 Cالر ع6ن8 أ6ل>ون6ك6 ي6س: و6

Lل8يال ق6 Oإ8ال ل:م8 ال:ع8

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk

urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-

Isra': 85)

Tidak kurang dari 20 ayat yang berbicara tentang ruh atau semakna

dengan arti ruh dikabarkan pada beberapa surat dalam al-Quran, diantaranya

adalah :

a. Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa,

nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.

b. Ruh berarti Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-

Syu-'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan al-Qadr

4.

c. Ruh bermakna Rahmat Allah kepada kaum mukminin dalam QS.

al-Mujadalah 22.

d. Ruh bermakna Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.

Menurut Imam Ghazali dalam kitab ‘Misykat al-Anwar’, dijelaskan

bahwa al-Ruh memiliki martabat atau peringkat, yakni :

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

11

Page 12: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

1. Ruh Hassas, yaitu ruh yang menerima perasaan, ia adalah ruh

hewan, ia ada dalam rahim ibu.

2. Ruh Hayal, yaitu ruh yang memelihara segala rupa perasaan, ia

tidak terdapat pada anak-anak yang masih muda umurnya

3. Ruh Akal, yaitu ruh yang mendapat ma’ani yang keluar dari panca

indera dan khayal manusia. Ruh ini tidak terdapat pada binatang

dan anak-anak.

4. Ruh Kudus, bersifat nabawi, yaitu khusus nagi para Nabi dan

awliya (wali). Dengan ruh ini dapat diketahui makrifat Malakut

langit dan bumi.

Sedangkan Syeikh Abdullah bin Husein al-Makki al-Idjlani membagi

4 potensi al-Ruh pada makhluk Allah SWT, yaitu :

1. RUH NAMIYA ; yaitu ada pada manusia, hewan dan tumbuh2an.

Pekerjaannya memelihara dan menumbuhkan.

2. RUH MUTAHARRIKA : terdapat pada manusia dan hewan, tidak

pada tumbuh2an. Disebut juga Ruh Hewani, karena semua hewan

bergerak karenanya.

3. RUH NATIKA : yaitu khusus pada manusia, tidak ada pada

tumbuh2an dan hewan; disebut juga Ruh Insan.

4. RUH QUDUS : yaitu penjelmaan dari Nur Dzat Allah bagi semua

Nabi dan Awliya yang ada mu’jizat dan karamah, mereka paham

akan semua ma’ani dan batin.

Jadi potensi ruh yang berkualitas ilahiyah dari seorang hamba adalah

tergantung dari kedekatannya dengan Allah SWT. Dan tasawuf melatih ruh

kita agar sampai kepada kualitas ruh ilahiyah.

b. Al-Qalb

Al-Qalb bermakna membalikkan, memalingkan atau menjadikan yang

di atas ke bawah yang di dalam keluar. Dalam bentuk masdarnya atau kata Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

12

Page 13: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

benda mengandung arti lubuk hati, akal, kekuatan, semangat dan keberanian.

Dalam makna ruhaniyah (metafisik), ia tidak dapat dilihat dengan mata

kepala kecuali dengan mata batin (mukasyafah) dan merupakan tempat

menerima kasih sayang, pengajaran, pengetahuan, berita, ketakutan,

keimanan, keislaman, keihsanan dan ketauhhidan.

Menurut al-Ghazali, istilah Qalb mempunyai dua pengertian, yakni :

1. Mengacu kepada arti fisik yaitu sepotong daging berbentuk buah

sanubar (al-lahmu as-sanubari), yang terletak dibagian kiri dada

manusia. Didalamnya terdapat rongga berisi darah merah yang

merupakan pusat vitalitas dari aktivitas manusia. Kata sanubar dalam

bahasa Arab berarti buah pohon cemara atau sejenisnya mirip dengan

bentuk jantung manusia. Kata tersebut di-Indonesiakan menjadi

‘sanubari’ untuk menunjukkan perasaan hati yang mendalam,

sedangkan terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah

JANTUNG.9

2. Menunjuk pada pengertian sebagai sesuatu yang halus (lathifah), yaitu

suatu hakekat dasar manusia yang bersifat perasa, mengetahui dan

mengenal (haqiqat al-insani al-mudrik al-‘ilm). Pengertian tersebut

mengandung unsur kualitas ketuhanan (rabbaniyah) bersifat

kerohaniahan (ruhaniyyah) dan mempunyai unsur pengetahuan

(‘aqliyyah) yang keduanya mempunyai hubungn dengan hati secara

fisik (jantung). Jadi di dalam jantung itu terdapat pusat aktivitas

manusia yang bersifat jasmaniyyah dan ruhaniyyah.10

Dari sisi ilmu kedokteran, pengertian jantung sebagai pusat aktivitas

manusia tentunya berbeda dengan pengertian dalam arti ‘sufistik’ menurut

al-Ghazali, yang melihat bahwa hati berpengaruh dalam menyaring dan

mengendalikan manusia melaksanakan fungsinya sebagai penentu kepada

9 Lihat E.Hasim, Kamus Istilah Islam, Pustaka, Banung : 1987, h.11610 Al-Ghazali, Ihya’…., juzIII, hal.4, sebagaimana dikutip Dr.Ahmad Ali Riyadi, M.Ag., Psikologi Sufi Al-Ghazali, Panji Pustaka, Yoyakarta :2008, h.25.Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

13

Page 14: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

suatu pilihan antara yang baik dan yang buruk.

ALLAH menggunakan 3 macam kata yang semakna dengan Qalb

dengan arti ‘lubuk hati’ sebagaiman tercantum dalam al-Quran, yaitu :

1. Al-Qalb berarti lubuk hati yang masih bolak balik dan belum mantap

dalam memutuskan suatu keyakinan dan kekuatan untuk menerima

batin antara yang haq dan yang bathil. (QS: Al-Hadiid [57]:27, Qaf

[50]:37)

2. Ash-Shadr, asal katanya adalah kejadian, kembali, permulaan dari

segala sesuatu, kukuh hati dan dada. (QS: Az-Zumar[34]:22, Al-Hijr

[15]:47)

3. Al-Fuad, arti asalnya kematian, ketetapan, manfaat dan hasil.(QS: An-

Najm [53]:11, Al-Israa [17]:36)

Ketiga macam kata tersebut sering digunakan dalam al-Quran yang

secara umum berfungsi sama sebagai wadah dan media Allah menampakkan

ayat-ayat-Nya berupa gambaran/pemandangan batin mengandung isyarat,

pelajaran penuh hikmah, wadah terbitnya firasat berupa suara dan bisikan

ketuhanan yang mengandung perintah dan larangan, esensi kemanfaatan dan

kemudaratan, esensi keimanan dan kefasikan, esensi ketauhidan dan

kesyirikan, juga sebagai wadah lahirnya rasa cinta dan kerinduan, sedih dan

gembira, rasa keinsanan dan ketuhanan.

Apabila hati belum mantap menerima cahaya keimanan, keislaman,

keihsanan dan ketauhidan maka dinamakan QALB. Jika sudah mantap dan

sadar maka dinamakan SHADR, dan jika kesadarannya kokoh kuat tertanam

dalam lubuk hati maka dinamakan FUAD.

Al-Quran juga menunjukkan adanya indikasi-indikasi konkrit yang

menunjukkan dimilikinya potensi qalb Ilahiyah dalam diri setiap orang,

yakni :

1. Seseorang hatinya akan menjadi tentram dan senantiasa damai, apabila

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

14

Page 15: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

selalu berdzikir menyebut dan mengingat Allah Ta’ala, kapan saja dan

di mana saja ia berada (Ar-Ra’d, 28:29)

2. Pada diri setiap orang ada wilayah hati atau kecenderungan untuk

senantiasa menghadirkan ketakwaaan dan menabur kerahmatan dan

syi’ar ajaran Allah Ta’ala baik dalam keadaan lapang maupun tidak

(Al-Hajj, 22:32).

3. Hati seseorang akan senantiasa bahagia karena keimanan semakin

bertambah dan terus naik ke hadirat Allah Ta’ala; hati berjumpa

dengan-Nya serta merasakan kebahagiaan dan kenikmatan (Al-Fath,

48:1-5).

4. Hati manusia juga akan selalu condong dan cinta kepada keimanan,

ketaatan dan benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. (Al-

Hujurat, 49:7; Ali Imran, 3:8).

5. Manusia yang mengasah dan memelihara hatinya menjauhi larangan-

larangan Allah SWT danmendekatkan hatinya kepada ketaqwaan,

maka hatinya menjadi sangat peka terhadap keimanan dan kecintaan

kepada Allah, sehingga hatinya gemetar apabila disebut nama-Nya dan

bertambah-tambah rasa keimanan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya

(Al-Anfal, 8:2; Al-Hajj, 22:35, 54; Az-Zumar , 39:23).

6. Hati manusia senantiasa dekat dengan malaikat Jibril, karena beliau

senantiasa hadir ke dalam hati dengan membawa wahyu, irsyad,

hidayah dan firasat ketuhanan untuk membenarkan dan menguatkan

keimanan dan ketakwaan. (Al-Baqarah, 2:97, Asy-Syu’ara, 26:194)

7. Hati manusia juga dipenuhi dengan hakikat Islam dan ilmu empirik,

sehingga kepasrahan dan rasa ingin mengembangkaan aplikasi

keislamannya terus tumbuh subur dan berkualitas Ilahiyah. (Al-

An’am, 6:125; Az-Zumar, 39:22; Al-Ankabut,29:49).

8. Hati manusia senantiasa terjaga dan dijaga oleh Allah dengan

ditampakkan oleh-Nya kenikmatan dan rahasia surga. (As-Syu’ara, 26: Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

15

Page 16: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

89-90).

Rasullah SAW dalam beberapa haditsnya menyatakan bahwa hati

manusia itu ada empat macam, yakni:

1. Hati yang bening, yaitu di dalamnya terdapat lampu yang bersinar.

Inilah hatinya orang-orang yang beriman.

2. Hati yang tertutup, inilah hati yang dimiliki oleh orang yang ingkar

(kafir) kepada Allah;

3. Hati yang dibalikkan, ini adalah hati yang dimiliki oleh orang yang

nifaq;

4. Hati yang di dalamnya bercampur dua perkara, yaitu dasar pokok

keimanan dan dasar pokok kemunafikan. Hati dalam kondisi seperti

inilah yang dapat mengalahkan salah satunya.

(H.R. Ahmad dari Hudzaifah bin Al Yaman RA)

Hati yang bening itulah yang dapat berfungsi baik dan benar potensi

ilahiyahnya, karena ia selalu disinari dengan Cahaya-Nya yang diproduksi

dari intisari ketaatan dalam beribadah, memuji serta mensucikan dzat-Nya.

Menurut al-Ghazali al-Qalb memiliki potensi yang mengandung

muatan-muatan sebagai wadah yang memperkuat potensi tersebut dan

disebut dengan ’tentara hati’ (junudulqalbi). Menurutnya, tentara hati

tersebut ada 3 jenis yaitu :

1. Al-Iradah (kehendak), berfungsi sebagai pembangkit dan pendorong

baik untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat, seperti naluri

syahwat ataupun untk menolak sesuatu yang berbahaya (mudharat)

dan merugikan seperti emosi dan amrah (ghadab).

2. Al-Qudrah (kemampuan), berfungsi sebagai penggerak anggota tubuh

untuk berbagai tujuan yang tersebar di seluruh tubuh terutama dalam

otot-otot (al’adalat) dan urat-urat (al-authar).

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

16

Page 17: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

3. Al-‘Ilm (instrument ilmu pengetahuan) dan al-Idrak (daya gerak dan

daya pencerap), berfungsi sebagai instrument yang menerima

rangsangan, seperti panca indera(al-khawasis), akni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, alat perasa, dan alat peraba yang semuanya

tersebar di seluruh tubuh bagian luar dan dalam.

Sedangkan fungsi utama al-Qalb menurut al-Ghazali yakni sebagai

alat pengetahuan (‘ilmu) dan kehendak (iradah) :

1. Sebagai ‘ilmu yaitu ilmu pengetahuan tentang urusan duniawi dan

ukhrawi serta hakekat-hakekat yang seharusnya dapat diserap

dipahami secara rasional. Pemisalan hati dalam kaitannya dengan ilmu

pengetahuan diibaratkan cermin dengan gambar-gambar beraneka

warna. Benda yang terpantul akan jelas memiliki bentuk, begitu juga

dengan segala sesuatu yang diketahui jelas memiliki hakekat. Dan

setiap hakekat memiliki gambar yang tercetak jelas dalam cermin.

Masing-masing eksistensi tersebut merupakan bentuk yang berlainan

antara gambar, cermin dan bayangan. Dengan kata lain, seandainya

dikaitkan dengan suatu pengetahuan maka si pemilik pengetahuan,

adalah hati yang tercetak, di dalamnya gambaran dari segala

sesuatunya. Adapun obyek yang diketahuinya adalah hakekat dari

segala sesuatu, sedangka pengetahuan mengenai sesuatu adalah ibarat

kehadiran gambar tentang hakekat tersebut dalam cermin hati. Dalam

analogi yang lain, al-Ghazali mengilustrasikan bagaimana cara hati

untuk mengetahui yang dianalogikan hati dengan kolam. Hati adalah

laksana kolam yang kosong. Pengetahuan adalah ibarat air, dan indera

yang lima adalah ibarat anak sungai (anhar). Ada dua cara untuk

mengisi kolam tersebut, pertama dengan membiarkan atau

mengarahkan air ke dalamnya melalui kelima anak sungai itu sampai

kolamnya benar-benar penuh dengan air. Proses ini adalah analogi

dimana indera menangkap informasi mentah dan kemudian diproses

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

17

Page 18: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

secara internal psikologis sehingga menjadi pengetahuan yang lebih

matang. Kedua, dengan menutup rpat-rapat anak sungai yang ada dan

menggali dasar kolam lebih dalam lagi sampai air akan memancar dari

dasar sungai dan memenuhi kolam. Demikian juga halnya seseorang

dapat memperoleh pengetahuan dengan menutup inderanya lalu

mengasingkan diri untuk membenahi akhlaknya dan menyelamnya ke

dasar jiwanya hingga air pengetahuan memancarkan darinya.11

Al-Ghazali juga mengatakan tidak semua cermin memancarkan dan

bisa memantulkan gambar dengan sempurna. Ada lima sebab yang

memungkinkan gagalnya sebuah cermin dalam merefleksikan obyek;

pertama, sebab kelemahan material cermin itu sendiri. Misalkan bila cermin

itu terbuat bahan yang berkualitas rendah. Kedua, adanya sebuah kotoran

yang menempel pada cermin, meskipun cerminnya sendiri adalah baik dan

sempurna. Ketiga, penempatan focus benda yang kurang tepat. Misalkan,

bila obyek yang diinginkan direfleksian diletakkan terlalu jauh dan

dibelakang cermin. Keempat, adanya obyek lain di antara cermin dan obyek

yang ingin direfleksikan. Kelima, ketidaktahuan orang yang ingin melihat

refleksi tentang di mana refleksi harus dicari.

2. Kehendak (iradah), yaitu suatu keinginan atau kehendak pada diri

manusia yang mengetahui dengan akalnya sebagai hasil yang akan

diperolehnya dengan jalan melakukan sesuatu untuk memperolehnya.

Jadi, hati dalam konteks ini menurut al-Ghazali adalah sebagai alat

untuk mencari ilmu pengetahuan sebagai hasil pemikiran dan

penalaran secara naluriah.12

Qalb mempunyai sifat dan karakter yang dipengaruhi oleh interaksi

yang terjadi antara pemenuhan fungsi memahami realitas dengan campuran

potensi yang berasal dari kandungan hati dan melahirkan suatu keadaan

psikologis yang menggambarkan kwalitas, tipe dan kondisi qalb. Proses

11 Ahmad Ali Riyadi, ibid. hal.27-28.12 Ahmad Ali Riyadi, op.cit.h.28Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

18

Page 19: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

interaksi psikologis ini, oleh al-Ghazali dibagi menjadi dua aspek. Pertama,

aspek internal. Aspek ini tercermin dalam sifat dasar hati. Di antaranya; 1)

sifat sabu’iyyah (binatang buas). Cirri khas yang ada pada sifat ini adalah

pemarah dan emosional (ghadab). 2) sifat bahamiyyah (kehewanan).

Penekanan pada sifat ini adalah pada sifat syahwah. Seperti perilaku

kehewanan dangan menonjolkan kerakusan , ketamakan dan sejenisnya. 3)

sifat syaitahaniyyah (setan). Yaitu munculnya sifat-sifat keraguan,

keculasan, kelicikan dan penipuan. 4) sifat rabbaniyyah (ketuhanan).

Karakter yang muncul pada sifat ini adalah berupa hak ketuhanan termasuk

di dalamnya hak kepemimpinan mutlak, otoriter atas orang lain. Sedangkan

aspek yang kedua disebut aspek eksternal. Yaitu pengaruh norma-norma

baik dan buruk yang ditangkap oleh cermin hati. Bila perbuatan baik yang

ditangkap oleh cermin hati itu maka akan bersih dari kotoran. Tapi bila

pengaruh perbuatan jahat terhadap hati atau bekas yang ditinggalkan oleh

sifat-sifat tercela ibarat asap hitam yang menutupi cermin hati, sehingga

menghalangi dari cahaya ilahi.

Al-Quran juga menunjukkan adanya 9 indikasi pada diri manusia

yang hatinya bermasalah mengarah kepada kematian al-Qalb, yaitu :

1. Qalb menjadi bodoh dan tidak dapat memahami ayat-ayat Allah,

sehingga seseorang yang memiliki qalb yang bodoh, suka atau tidak

suka ia akan menjadi penghuni neraka jahanam. (Q.S. Al-A’raf,

7:179).

2. Hati merasa ketakutan karena banyak karat-karat dalam hatinya akibat

telah mekakukan kedurhakaan dan dosa yang bertumpuk-tumpuk.

(Q.S. Ali ’Imran, 3:151).

3. Hati menjadi terkunci mati dan disegel oleh Allah Ta’ala, karena

terlalu sering menentang dan mendustakan ayat-ayat-Nya. (Q.S.

Al-’Araf, 7:101).

4. Allah memerintahkan kepada para malaikat agar melakukan eksekusi

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

19

Page 20: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

dengan pemancungan anggota tubuh orang-orang yang ingkar, karena

dalam dada mereka banyak virus kehancuran. (Q.S. Al-Anfaal, 8:12).

5. Allah akan mengisi hati orang-orang yang ingkar itu rasa yang

mendorong untuk melakukan pengingkaran dan memperolok-olok atau

mempermainkan kebenaran. (Q.S. Al-Hijr, 15:12).

6. Hati merasa tidak senang mendengar kebaikan dan kebenaran Allah

dan Rasul-Nya, bahkan mereka cenderung untuk menjauhkan diri dari

hal itu. Karena merasa khawatir kalau-kalau ayat-ayat-Nya akan

menghalangi kesenangan hidupnya di dunia. (Q.S. Az-Zumar, 39:45).

7. Hati sangat sulit menerima kebaikan, kebenaran dan tersentuh nasehat

ketuhanan. (Q.S. Al-Baqarah, 2:6; Al-Baqarah, 2: 74).

8. Hati penuh dengan prasangka-prasangka buruk bagi orang-orang yang

munafiq dan takut berjuang di jalan Allah. (Q.S. Al-Fath, 48:12)

9. Hati bura, bisu, tuli dari kebenaran sehingga ia tidak dapat menerima

dan melihat ayat-ayat Allah, bahkan ia tidak dapat menangkap berita

dan peristiwa-peristiwa yang bersifat transendental dari alam Malakut,

Jabarut dan Lahut secara mukasyafah (penglihatan alam gaib),

melainkan hanya kegelapan yang ditatap oleh hati itu. (Q.S. Al-

Baqarah, 2:18; Al-Hajj, 22:46)

c. Al-Aql (akal)

a. Pengertian akal (al-aql)

Secara etimologis, akal memiliki arti yang bervariasi, misalkan al-

imsak (menahan), arribat (ikatan), al-hajr (menahan), an-nahyu (melarang)

dan al-man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut

makna orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat

hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya

mampu berekspresi. Akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala

yang lazimnya disebut otak (ad-dimag) yang memiliki cahaya (an-nur)

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

20

Page 21: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

nurani yang dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (al-

ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikah).

Kata akal berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti mengikat

atau memahami. Akal juga diartikan sebagai suatu energi yang mampu

memperoleh, menyimpan dan menelurkan pengetahuan. Akal mampu

menghantarkan manusia pada substansi humanistik atau potensi fitriyyah

yang memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk,

yang berguna dan yang membahayakan. Pengertian tersebut, dapat dipahami

bahwa akal merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh

pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi

manusia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan akal dengan 4 (empat)

pengertian : (1) Daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan; (2) jalan

atau cara melakukan sesuatu, dan upaya, ikhtiar; (3) tipu daya, muslihat,

kecerdikan, kelicikan, dan (4) kemampuan melihat atau cara-cara

memahami lingkungan.

Arti akal (secara harfiah) menuut Kamus-kamus bahasa Arab : al-

imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hijr (menahan), al-nahy (melarang)

dan man’u (mencegah).

Ibn Manzhur, mengartikan al-‘aql dengan 6 macam: (1) akal pikiran,

Inteligensi, (2) menahan, (3) mencegah, (4) membedakan, (5) tambang

pengikat, dan (6) ganti rugi.

Akal juga sering disamakan dengan ‘al-hijr’ (menahan atau

mengikat). Sehingga seorang yang berakal adalah orang yang dapat

menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka----seorang

ulama-sastrawan Indonesia----mewakili pengertian itu: mengikat binatang

dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya.

Para sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat”,

“melekatkan”, dan “membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

21

Page 22: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tak terbatas, tak

terjangkau. Namun, ketika ia ber-tajalli, maka setiap ciptaan-Nya senantiasa

terbatas. Ciptaan itu “mengikat” dimensi Tuhan yang tak terbatas itu. Jadi,

akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan, bukan Tuhan sendiri

yang maha luas itu.

Fungsi “pengikatan” akal tersebut secara ilmiah-filosofis dipelajari

dalam semiotika (ilmu tanda) yang begitu populer di kalangan ahli sastra .

Betapapun watak semulanya untuk perbincangan ilmu sastra dan bahasa,

sebagaimana itu dimaksudkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan

Charles Sanders Pierce (1839-1913), semiotika sangat berguna bagi semua

disiplin ilmu. Makna dasar semeion (Yunani), yakni “tanda”, memiliki

kaitan erat dengan ayat yang hanya dapat dipahami oleh akal. Akal dalam

jenis ini yang oleh Al-Farabi dibedakan dengan intelek.

Menurut Al-Raghib Al-Isfahani, kata akal itu juga menunjuk pada

“potensi” dalam diri manusia yang disiapkan untuk memperoleh

pengetahuan. Kata itu semakna dengan kekuatan berpikir (al-quwwah

al-‘aqilat), pemahaman (al-fahm), tempat berlindung (al-malja’), menahan

(mana’ah), hati (al-qalb) dan ingatan (dzakirah). Makna dasar dan makna

sinonim itu menunjukkan bahwa akal adalah sesuatu yang memang sengaja

disiapkan Tuhan dalam diri manusia untuk menjalani kehidupannya di

dunia, dimana keberhasilan penggunaan akal sangat ditentukan oleh

seberapa besar potensi itu di aktualkan.

Toshihiko Izutsu berpendapat, dari sudut linguistik (ilmu kebahasaan),

kata ‘aql adalah kata yang “semitransparan”. Maksudnya, sebuah kata yang

belum begitu jelas makna sesugguhnya. Kata Arab telefun dan

dimuqratiyyah, adalah kata yang “transparan” dan mudah dimengerti karena

diadopsi dari kata Inggris telephon dan democracy. Walaupun sejauh

menyangkut persoalan telefon, terdapat kata arab hatif yang bersifat

“semitransparan”.

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

22

Page 23: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

Untuk dapat mengerti kata ‘aql itu, maka ia harus dibuat “transparan”.

Kata nous dalam bahasa Yunani dianggap dapat mewakili kata akal yang

telah dibuat “transparan” itu. Nous itu tepat sekali dimaknai sebagai intelek.

Kata “intelek” atau kata akal yang telah ditransparansi itu memiliki makna

intelektual dan spiritual. Kata lain yang semakna dengan itu adalah

intellectus (Latin) dan vernunft (Jerman).

Kata-kata yang disebut di atas itu menunjuk sesuatu yang melebihi

penalaran logis. Jika kecerdasan praktis, rasio, atau reason menunjuk pada

kemampuan menalar secara logis, dengan langkah-langkah sistematis, yang

tentu membutuhkan fakta dan keterlibatan pancaindra, maka ‘aql dalam

pengertian intelek (atau nous) melebihi semua itu.

Seyyed Hossein Nasr, menyebut akal (dalam kepala) sebagai proyeksi

atau cermin dari hati (qalb), tempat keyakinan dan kepercayaan manusia.

Dengan itu, akal bukan hanya instrumen untuk mengetahui, melainkan juga

menjadi wadah bagi “penyatuan” Tuhan dan manusia. Teori Akal Aktif dari

Ibn Sina dan Al-Kindi maupun hierarki ilmu dari Al-Farabi dapat

menjelaskan hal itu. Dalam diri manusia, akal bersifat potent yang kemudian

mewujud dalam bentuk jiwa (spirit). Menurut Rhenis Meister Echart, “di

dalam jiwa seseorang terdapat sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak

mungkin dibentuk. Sesuatu itu adalah intelect.

Dengan mencermati keluasan makna, pada akhirnya secara umum

diketahui bahwa penggunaan kata al-‘aql dalam posisi sebagai kata maupun

kalimat mengandung dua potensi dan kecenderungan makna yang bersifat

“rasional dan intuitif”, atau mengandung muatan makna psikofisik dan

metafisik.

Kata dasar al ‘aql tidak ditemui dalam al Qur’an. Dipakai sebagai kata

kerja dalam 49 kali penyebutan 1 kali dalam bentuk lampau (past tense) dan

48 kali dalam bentuk sekarang (present tense) Penyebutannya meliputi :

‘aqluh 1 kali, ta’qiluun 24 kali, na’qil 1 kali, ya’qiluhaa 1 kali dan

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

23

Page 24: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

ya’qiluun 22 kali.

Menurut Yusuf Qardhawi, penyebutannya dalam bentuk istifham

imkari(pertanyaan retoris) – afala ta’qiluun- karena Al Qur’an bermaksud

menarik perhatian manusia dan bertujuan memotivasi, memberi semangat,

dan mendorong manusia untuk menggunakan akalnya.

Materi al ‘aql mengalami pemadatan makna dalam Al Qur’an disebut

sebanyak 49 kali dalam 28 surah, yakni 31 kali dalam 19 surah yang

diturunkan di Makkah dan 18 kali dalam 9 surah yang diturunkan di

Madinah.

Akal menurut Abi Al-Baqa ‘Ayyub ibn Musa Al-Kufi, tercatat empat

nama yang menonjol: (1) al-lub, karena ia merupakan cerminan kesucian

dan kemurnian Tuhan. Aktivitasnya adalah berzikir dan berfikir; (2) al-

hujah, karena akal ini dapat menunjukan bukti-bukti yang kuat dan

menguraikan hal-hal abstrak, (3) al-hijr, karena akal mampu mengikatkan

keinginan seseorang hingga membuatnya dapat menahan diri, dan (4) al-

nuha, karena akal merupakan puncak kecerdasan, pengetahuan, dan

penalaran.

Menurut Yusuf Qardhawi, dalam Al Qur’an akal disebut pula dengan

term fu’ad, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Karena, ia termasuk

dalam salah satu dari tiga perangkat pokok ilmu pengetahuan : pendengaran,

penglihatan, dan fu’ad (kalbu). Allah SWT berfirman : “Dan janganlah

kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati ((fu’ad) semuanya

itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS.Al-Israa : 36). “ Dan Allah

mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui

sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan

hati (fu’ad) agar kamu bersyukur” (QS.An-Nahl : 78).

Bentuk-bentuk sama’ “pendengaran”, abshar “penglihatan, dan af‘idah Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

24

Page 25: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

-“kalbu” - disebut dalam Al Qur’an dalam beberapa surat. Begitu juga

dengan qalb -“hati” - sebagai ganti fu’ad juga terdapat dalam beberapa ayat

dalam Al Qur’an. Seperti dalam firman Allah SWT berikut ini :

“Allah telah mengunci mati hati (qulubihim) dan pendengaran mereka, dan

penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS.

Al Baqarah : 7). “Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut

pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu (qulubikum), siapakah

Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?’”(QS Al

An’am : 46).

Juga disebutkan dalam QS. Al A’raf : 179, QS.An Nahl : 108, QS. Al

Isra’:46, QS.Al Kahfi : 57, QS. Al Hajj : 46, QS. Al Jaatsiyah : 2342.

Qardhawi melihat kata ‘fu’ad’ dalam beberapa ayat-ayat tersebut terkait

kuat atau merupakan satu kesatuan dengan fungsi pendengaran dan

penglihatan yang merupakan fungsi organik dari akal. Sedangkan term

‘fu’ad’ dan “af’idata, af’idati, af’idatu” yang lain karena tidak tersirat

dengan fungsi organik akal, - tercantum dalam Al-Qur’an seperti :

QS.14:37, QS.23:78, QS.32:9, QS.46:26, QS.67:23, QS.104:7, & QS.6:113

dan QS.28:10, QS.53:11, QS.11:120, & QS.25:32 -tidak dijelaskan.

Kata Al-’Aql banyak memiliki makna yang hampir sama, tetapi berbeda

pada segi yang lain. Semuanya membawa satu makna, namun pene-kanan

masing-masing kata itu berbeda. Diantaranya terdapat tujuh sinonim kata

akal itu: (1) ‘dabbara’ (merenungkan), (2) faqiha (mengerti), (3) fahima

(memahami), (4) nazhara (melihat, dengan mata kepala), (5) dzakara

(mengingat), (6) fakkara (berfikir secara dalam), dan (7) ‘alima (memahami

dengan jelas).

Selain itu, masih ada term lain yang dari segi fungsi yang

ditunjukkannya memiliki kemiripan dengan kata akal. Yang paling

mendekati adalah kata al-qalb (dalam arti pengganti fu’ad dan dikaitkan

dengan fungsi organik akal) dan beberapa ayat lainnya yang akan dijelaskan

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

25

Page 26: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

terkait dengan Al-Qalb.

Dalam bahasa Persia dan Urdu, kata al-Qalb disebut ‘del’ dan dalam

bahasa Inggris disebut ‘Heart’. Dalam Al Qur’an, kata Qalb digunakan

untuk menunjuk kepada sesuatu yang berfungsi sebagai pengendali pikiran

dan kehendak, yang kita sebut akal.

Dalam al-Kafi, kata Qalb dalam surah Qaf ayat 37 ditafsirkan sebagai

akal (al-‘aql). “ Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat peringatan (dzikra) bagi orang-orang yang mempunyai qalb”.

Beberapa contoh ayat dalam Al Qur’an tentang al Qalb yang memiliki

arti secara tersirat dengan kata akal, yaitu :

“Tidaklah mereka merenungkan isi Al-Quran, ataukah hati mereka

sudah terkunci? “. (QS Muhammad [47]: 24)

“Mereka mempunyai kalbu yang tak dapat dimengerti”.

(QS Al-A’raf [7]: 179)

“Apakah mereka tidak melihat ke langit di atas kepala mereka dan

merenungkan bagaimana ia Kami bina dan hiasi”. (QS Qaf [50]: 6)

“Demikianlah Tuhan memberi pertanda-pertanda bagi kamu, semoga

kamu berfikir”. (QS Al-Baqarah [2]: 219)

“...kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya,

sedang mereka mengetahui”. (QS Al-Baqarah [2]: 75)

Lima contoh ayat di atas memperlihatkan bagaimana sinonim kata

‘aql, juga dipakai untuk melukiskan pekerjaan-pekerjaan akal manusia. Luas

dan banyaknya pilihan kata (diksi) ini menunjukan perhatian yang sangat

dalam terhadap kegiatan berfikir manusia.

Sinonim itu juga menunjukan tingkatan-tingkatan berfikir. Dari yang

sederhana, seperti melihat dan berfikir praktis, sebagaimana diwakili oleh

kata nadzar, sampai pemikiran-pemikiran yang mendalam, seperti diwakili

kata fakkara. Bahkan, lebih dari sekadar berfikir, manusia disuruh untuk

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

26

Page 27: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

mengambil pelajaran dan merenungkan apa yang dipikirkannya,

sebagaimana ini diwakili oleh kata dabbara, taddabur.

Term-term lainnya yang berada dalam medan semantik kata akal

sebagaimana dipakai dalam Al Qur’an diantaranya adalah :

Kata Al Fikr yang dalam bahasa Indonesia kata ini menjadi “pikir”

dan “pakar” berasal dari Al Fikr yang dalam Al Qur’an menggunakan

istilah fakkara dan tafakkaruun. Menurut Quraish Shihab, kata “fikr”

berasal dari kata “fark” dalam bentuk “faraka” yang dapat berarti :

(1) mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk

sampai hancur, dan (3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya

hilang. Salah satu bentuk berfikir adalah tafakur. Kata ini telah

mengalami pemadatan makna melebihi sekedar makna harfiahnya,

sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Fudhail bahwa tafakur adalah

cermin yang akan memperlihatkan padamu kebaikan dan

keburukanmu. Ibnu Qayyim Al-Jauziy juga berpendapat bahwa

bertafakur merupakan pekerjaan hati yang paling utama dan paling

bermanfaat. Kegiatan berfikir yang diselingi dengan refleksi berupa

tafakur akan mengarahkan seseorang kepada kedalaman makna obyek

ilmu pengetahuan. Dengan bertafakur dapat dipahami adanya

hubungan yang erat antara “pikiran” dan “perasaan” – hubungan

antara fikr dan dzikr.

Kata Al Dzikr, oleh Hanna Kassis (1983) dilihat sebagai hubungan

organik antara fikr dan dzikr melalui penulusuran kata fakkara. Kata

itu, disamping bermakna seperti disebut di atas, juga mengandung arti

to reflect (merenung) sehingga dalam proses berpikir terkandung juga

kegiatan yang bersifat refleksi (permenungan) terhadap obyek yang

dipikirkan itu. Ketika seseorang berpikir, ia tidak hanya memperoleh

informasi (data-data atau fakta-fakta) saja. Ia juga – dan ini yang

paling utama- memperoleh hikmah dan kebijaksanaan. Banyak orang

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

27

Page 28: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

memiliki ilmu, tetapi sedikit saja yang memiliki kebijaksanaan. Dan

seutama-utamanya berfikir adalah berpikir menuju hikmah itu.

Semakin dalam seseorang berpikir, semakin tajam kekuatannya, dan

itu berarti semakin bijaksanalah dia. Al –Quran berulang-ulang

menandaskan bahwa hikmah itu dapat diberikan kepada siapa saja.

Siapa yang telah memperoleh hikmah, ia sesungguhnya telah diberi

nikmat yang banyak (QS Al Baqarah [2]: 269). Tadzakkur adalah salah

satu tugas akal yang paling tinggi. Dan dzakirah (ingatan) adalah

tempat penyimpanan pengetahuan dan informasi yang diperoleh

manusia untuk dipergunakannya pada saat dibutuhkan. Manusia,

menurut Qardhawi, tidak bisa hidup tanpa tadzakkur dan dzakirah.

Entah di dunia, entah di akhirat.

Ada perbedaan penekanan makna antara tafakkur dan tadzakkur.

Untuk memperoleh pengetahuan baru dan segar, maka tafakur

diperlukan. Sedangkan untuk mengingatnya, supaya tidak lupa dan

lalai, tadzakkur diperlukan. Imam Al-Ghazali mempertegas posisi

keduanya, “Setiap orang yang berpikir adalah ber-tadzakkur namun,

tidak setiap ber-tadzakkur itu berpikir.”

Kata ‘Ilm . Dari semua pekerjaan akal, akar kata ‘ilm dan kata

turunannya paling banyak disebut. Menurut Quraish Shihab ada sekitar

854 kali disebut. Istilah ini terdapat dalam Surah Makkiyah dan

Madaniyah secara seimbang dengan semua kata jadiannya: sebagai

kata benda, kata kerja, atau kata keterangan.

Kata itu digunakan dalam arti proses percarian pengetahuan dan objek

pengetahuan. Dari segi bahasa, ‘ilm berarti kejelasan. Setiap

turunannya termaktub makna “kejelasan” itu. Misalnya, ‘alam

(bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), a’lam (gunung-gunung), ‘alamat

(alamat). Tiap-tiap kata itu menjadi penjelas bagi apa yang ditunjuk.

Misalnya, gunung menjadi jelas karena langsung terlihat pada bibir

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

28

Page 29: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

seseorang.

Makna dasar lain dari kata ‘ilm adalah, menjangkau sesuatu sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya. Ia juga dipakai untuk menyebut

suatu pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek. Karena itu,

menurut pandangan Al-Quran, seseorang yang menjangkau sesuatu

dengan benaknya, tetapi jangkauannya itu masih disertai keraguan,

maka ia tidak bisa disebut sebagai orang yang mengetahui apa yang

dijangkaunya itu. Kondisi ini bukan ‘ilm, tetapi zhann. Secara

semantik, jalan yang dilalui kata ‘ilm sedikit berbeda dengan kata ‘aql.

Bila kata ‘aql mengalami pemadatan makna dalam makna dasarnya,

maka kata ‘ilm justru dalam makna relasionalnya. Makna dasar kata

‘ilm sama pada setiap sistem yang memakainya, baik pra-Islam, Al-

Quran, maupun teologi Islam. Namun, makna relasionalnya menjadi

berbeda sejauh menyangkut sumber ilmu itu sendiri.

Kata Nazhar, oleh Quraish Shihab, diartikan sebagai “nalar”,

digunakan secara tegas sebagai “memandang dengan mata kepala dan

mata hati”. Secara harfiah, dekat dengan kata al fahsu (penyelidikan)

atau kontemplasi ( al-ta’ammul). Juga semakna dengan melihat (ra’yu)

dan memandang dengan mata (bashar). Secara istilah, ia

menggambarkan proses pengertian terhadap sesuatu hal atau objek.

Mula-mula melalui pandangan mata (kepala) yang memaksa seseorang

memperhatikan suatu objek . Setelah itu, ia akan berpikir untuk

meyakinkan dirinya tentang kebenaran objek tersebut. Mungkin makna

itu dapat diwakili oleh kalimat pleonastis berikut: melihat dengan

mata kepala sendiri. Seseorang akan betul-betul yakin terhadap

sebuah objek jika ia melihat secara langsung dengan mata kepalanya

sendiri. Metode empiris dalam ilmu pengetahuan dapat dijelaskan

melalui penelusuran kata “nazhar” itu. Pengetahuan yang dihasilkan

melalui metode ini cukup akurat, karena telah melalui penyelidikan

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

29

Page 30: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

yang mendalam (al-ma’rifat hashila al-ba’da’ fahshi).

Kata al Albaab atau ’uqul adalah bentuk jamak dari term ‘lubbu’

artinya ‘isi’, yaitu antonim dari ‘kulit’. Seakan-akan Al Quran ingin

menunjukkan bahwa manusia terbagi atas dua bagian yaitu kulit dan

isi. Bentuk fisik bagian luar manusia adalah ‘kulit’ sedangkan ‘isi’nya

manusia adalah ‘akal’. Menurut Imam al-Biqa’i berkata, “Albab

adalah yang memberi manfaat kepada pemiliknya dengan memilah sisi

substansial dari kulitnya”. Al Harali berkata, “Ia adalah sisi terdalam

akal yang berfungsi untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal

yang dapat diinderai, seperti halnya sisi luar akal yang berfungsi untuk

menangkap hakikat-hakikat makhluk, mereka adalah orang-orang yng

menyaksikan Rabb mereka melalui ayat-ayatNya. Term ‘ulul albaab

atau ulil albaab’ terulang dan disebut dalam Al Quran sebanyak 16

kali, 9 diantaranya dalam ayat-ayat Makkiyah, tujuh lainnya terdapat

dalam ayat-ayat Madaniyah. Empat ayat Madaniyah diantaranya

dengan redaksi memanggil “yaa ulil-albaab” yaitu : 1). QS al

Baqarah [2]: 179, 2) QS. QS al Baqarah [2]: 197, 3) QS al Maa’idah

[5]: 100, dan 4) QS al Thalaq [65]: 10-11.

Al-Ghazali mengartikan akal sebagai potensi yang disiapkan untuk

menerima ilmu pengetahuan, tidak menjelaskan bagaimana proses berpikir

seperti yang dibahas para psikolog. Menurutnya, ada beberapa pengertian

tentang akal, pertama, akal diartikan sebagai suatu sifat yang membedakan

manusia dengan hewan dan merupakan potensi yang dapat menerima dan

memahami pengetahuan-pengetahuan yang berdasarkan ilmu nadlari ( idrak

al-‘ulum an-nadlariyyah). Kedua, akal diartikan sebagai suatu sifat yang

membedakan manusia dengan hewan dan merupakan potensi yang dapat

menerima dan memahami pengetahuan-pengetahuan yang telah tersimpan

dalam diri anak yang mumayyiz. Sebutan ini, sebagai ilustrasi karena anak

tersebut mampu membedakan antra perkara yang memberi dan tidak

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

30

Page 31: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

memahami antara yang baik dengan yang tidak baik atau ilmu-ilmu yang

sudah tertanam dalam diri manusia, atau kumpulan pengetahuan aksiomatis

tentang kemungkinan segala yang mungkin dan kemustahilan atas segala

yang mustahil. Ketiga, akal adalah pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh

dari pengalaman manusia. Keempat, akal adalah al-gharizah (naluri) yang

telah tertanam dalam pribadi seseorang dan mampu memperhitungkan akibat

yang akan timbul dari segala sesuatunya dan mampu menundukkan serta

mengalahkan hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan sesaat.

Gharizah dalam artian etimologis berarti insting, tabi’at, perangai, kejadian,

ciptaan dan sifat bawaan. Sedangkan dalam arti istilah adalah potensi laten

(bawaan) yang ada pada psikofisik manusia yang dibawanya sejak lahir dan

yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi tingkah laku manusia, baik

berupa perbuatan, sikap, ucapan dan sejenisnya.

Dari pengertian keempat tersebut, al-Ghazali menyimpulkan bahwa

yang paling merupakan dasar atau pokok pengertian tentang akal adalah

sesuai dengan pengertian yang pertama. Sementara pengertian yang kedua

adalah cabang pertama. Sedangkan pengertian yang ketiga merupakan

cabang dari pengertian pertama dan kedua. Pengertian pertama dan kedua

diperoleh secara naluriah (thabi’i), sedangkan yang ketiga dan keempat

diperoleh secara empiris (al-iktisab). Untuk memperkuat pendapatnya

tersebut, al-Ghazali mengambil hadis Nabi SAW; “tidak ada sesuatu

ciptaan Allah SWT yang lebih mulia di sisi-Nya kecuali akal.” Sedangkan

yang sesuai dengan pengertian terakhir (keempat), mengambil hadis Nabi

SAW.; ” manakala manusia bertakarrub, mendekatkan diri pada Allah,

melalui pintu-pintu kebajikan dan berbagai amal shaleh, maka

bertaqarrublah engkau dengan akalmu.”

b. Fungsi dan Tingkatan-tingkatan Akal

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

31

Page 32: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

Secara psikologis, al-Ghazali menyebut segala bentuk aktivitas akal

mengarah kepada proses berpikir manusia. Akal diartikan sebagai hakikat

manusia yang mengetahui, mengenal dirinya sendiri dan mengetahui hal-hal

di luar dirinya.

Ditinjau dari fungsi dan peranan akal, al-Ghazali membagi akal

menjadi dua bagian; akal teoritis (al-‘aql annadlari) dan akal praktis

(al-‘aql al-‘amali). Kedua akal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan. Akal teoritis berpusat pada otak sedangkan akal praktis

berpusat pada seluruh badan. Akal praktis mempunyai daya-daya jiwa untuk

membuat manusia beraktivitas dan menyempurnakan badan sesuai dengan

tuntutan manusia. Akal teoritis berguna untuk menyempurnakan substansi

pengetahuan immateri dan abstrak.

Potensi manusia secara psikologis oleh al-Ghazali dibagi dengan

berbagai tingkatan akal, yakni:

Pertama, akal material (al-‘ aql al-hayyulani). Akal ini adalah

tingkatan akal yang paling rendah dan bersifat akal potensi yang belum

pernah teraktualisasikan. Akal ini merupakan akal bawaan sejak manusia

dilahirkan dan siap menerima perkembangan selanjutnya karena proses

lingkungan dan hereditas.

Kedua, akal terlatih (al-‘aql bilmalakah). Akal yang telah memiliki

pengetahuan-pengetahuan yang lebih kompleks. Pada tingkat ini seseorang

mampu mengetahui sampai kepada pengetahuan-pengetahuan aksiomatis.

Yaitu kemampuan berakal tanpa diusahakan seperti perasaan dan naluri

manusia.

Ketiga, akal abstrak (al-‘aql bilfi’li). Akal yang sudah mempunyai

kemampuan berfikir sebagai hasil kegiatan berpikir intelek dan tidak hanya

mengetahui pengetahuan-pengetahuan aksiomatis tapi mampu mengolah

ilmu-ilmu pengetahuan yang didapatkan dari potensi yang dimiliki dan

pengaruh dari lingkungan karena perkembangan manusia baik secara fisik

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

32

Page 33: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

maupun praktis. Pada tingkatan ini kegiatan intelek manusia bersifat aktif

yakni mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana

yang menguntungkan dan mana yang tidak menguntungkan.

Keempat, akal perolehan (al-‘aql al-mustafad). Akal pada tingkatan

ini menyadari pengetahuan-pengetahuan itu secara aktual dan menyadari

kesadarannya secara faktual. Akal pada tingkat ini berbeda dengan akal pada

tingkat sebelumnya dari segi aktivitasnya. Pada tingkat ini, akal bersifat

aktif menciptakan pengetahuan baru dengan berdasarkan pada tingkatan

sebelumnya.

d. Al-Nafs.

Dalam perspektif bahasa kata ”nafs” memiliki beberapa arti, seperti:

jiwa, darah, tubuh, dan orang.

Dr. M. Quraish Shihab M.A. menyatakan bahwa kata nafs dalam Al-

Quran mempunyai beberapa makna, dapat diartikan sebagai totalitas

manusia, seperti termaktub dalam surat Al-Maidah ayat 32, juga menunjuk

maksud surat Al-Maidah ayat 32, serta menunjuk kepada apa yang terdapat

dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, seperti maksud

kandungan firman Allah: (Ar-Ra’d, 13: 11).

Selanjutnya beliau menyatakan bahwa kata ”nafs” digunakan juga

untuk menunjuk kepada diri Tuhan (kalau istilah ini dapat diterima) seperti

firman-Nya: (Al-An’am, 6:12). Pengertian nafs di sini adalah yang

berhubungan dengan eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah

Ta’ala, hal mana ia memiliki potensi yang khusus dalam diri setiap hamba.

Al-Nafs juga disebut sebagai elemen dasar psikis manusia, karena

mampu mewadahi dan menampung dimensi-dimensi lainnya, seperti :

al-’aql, al-qalb, l-ruh, al-fithrah. Secara esensial, al-Nafs mewadahi juga

potensi-potensi psikis lainnya seperti taqwa (baik, positif), potensi fujur

(buruk, negatif). Pemahaman al-Nafs sebagai elmen dasar psikis manusia Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

33

Page 34: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

seperti yang dijelaskan adalah pemahaman seluruh ayat yang menguraikan

jiwa manusia dengan menggunakan istilah al-Nafs.13

Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah Ta’ala dalam

keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia

berbuat kebaikan dan keburukan dan karena itu sisi dalam manusia inilah

yang oleh Al-Quran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar,

sebagaimana firman-Nya: (Asy-Syams, 91:7-8), dimana pengertian

mengilhamkan dalam surat tersebut berarti memberi potensi agar manusia

melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat

mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.

Dalam kajian Tasawuf, nafs dikenal memiliki delapan kata ganti, dari

kecenderungan yang paling dekat pada tindakan buruk sampai ke tingkat

kedekatan kepada kelembutan Ilahi. Yakni:

1. Nafsu Ammarah Bissu’, yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan

dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan, sebagaimana firman-

Nya: (Yusuf, 12:53).

2. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan

menyesal sesudah melakukan pelanggaran. Ia tidak berani melakukan

pelanggaran secara terang-terangan dan tidak pula mencari-cari secara

gelap untuk melakukan sesuatu, karena ia telah menyadari akibat-

akibat dari perbuatannya, namun ia belum mampu mengekangnya.(Al-

Qiyamah, 75: 2)

3. Nafsu Musawwalah, yaitu nafsu yang telah dapat membedakan mana

yang lebih baik dan mana yang buruk, tetapi ia lebih memilih yang

buruk dan belum mampu memilih yang baik, bahkan mencampur

adukkan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana firman-Nya:

(Yusuf,12:83; Al-Baqarah, 2:42).

4. Nafsu Mulhamah, yaitu nafsu yang memperoleh ilham dari Allah

13 Prof.Dr.Baharuddin, M.Ag., Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2007, h.92Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

34

Page 35: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

SWT., dikaruniai ilmu pengetahuan. Ia telah dihiasi akhlak mahmudah

(akhlak yang terpuji), dan ia merupakan sumber kesabaran, ketabahan,

dan keuletan, sebagaimana firman-Nya: (Asy-Syams, 91:7-10)

5. Nafsu Muthmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan

pemeliharaan yang baik sehingga jiwa menjadi tenteram, bersikap

baik, dapat menolak perbuatan jahat dan keji serta dapat menjauhkan

diri dari godaan manusia, syetan, jin maupun iblis, dan dapat

mendorong untuk melakukan kebajikan dan mencegah kejahatan.

Kondisi jiwa yang tenang itu dapat difahami sebagaimana firman

Allah Ta’ala: (Ar-Ra’d, 13:28)

6. Nafsu Radhiyah, yaitu nafsu yang redha kepada Allah, yang

mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan.

(Al-Maidah, 5:119; Al-Mujadilah, 58:22; Al-Bayyinah, 98:8).

7. Nafsu Mardhiyah, yaitu nafsu yang telah mencapai ridha kepada

Allah SWT. Keridhaan tersebut terlihat pada anugerah yang telah

diberikan-Nya berupa: senantiasa dapat dengan tulus melakukan

dzikir, mendapatkan kemuliaan, serta akhlak yang mulia dan agung.

(Al-Fajr, 27:30).

8. Nafsu Kamilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya,

sudah dianggap cukup untuk mengajarkan irsyad (petunjuk) dan

menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT. Orang ini

dapat disebut sebagai mursyid dan mukammil (orang yang

menyempurnakan) atau Insan Kamil. Dalam taraf ini jiwa orang itu

telah demikian dekat dengan Allah SWT, bahkan mereka sudah

merasakan diri menyatu dengan-Nya, seperti yang telah dialami oleh

Al-Hallaj, Rabiah Al Adawiyah, Syeikh Siti Jenar dari Tanah Jawa

dan Syeikh Abdul Hamid Al Banjari dari Kalimantan Selatan.

Nafs juga merupakan suatu potensi Ilahiyah yang tugas utamanya

adalah:

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

35

Page 36: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

1. Menggerakkan dan mendorong jasad dan seluruh anggota jasad

melaksanakan dan mengimplementasikan segala bentuk kebenaran

yang telah mantap dianalisa oleh akal fikiran, dirasakan oleh qalb dan

disaksikan oleh inderawi secara nyata dan integritas.

2. Aplikasi dan implementasinya berupa perkataan, sikap, gerak-

gerik dan tingkah laku yang bersifat rahmatan lil ’alamin.

3. Integritas itu adalah terpadunya secara utuh dan kokoh antara

pemikiran, ucapan, i’tikad hati dan perilaku dalam aktifitas hidup

dan kehidupan yang baik dan benar, baik dalam tatanan horizontal

lebih-lebih vertikal.

Al-Ghazali melihat al-Nafs atau Jiwa dan potensinya secara garis

besar dalam 3 potensi, yaitu :

1. Jiwa Nabati (jiwa vegetative), berfungsi untuk pertumbuhan

(alquwwah al-munniyyah) yang menyediakan makanan sebagai subsidi

kepada organ tubuh (al-quwwah al-mauludiyyah).

2. Jiwa Hewani (jiwa sensitif), jiwa yang mempunyai organ-organ yang

merasakan (al-mudzakarah), dan bergerak dengan kemauan sendiri (al-

muharrikah).

3. Jiwa Insani (jiwa rasional), jiwa yang mempunyai potensi rasional

(‘alimah) dan memilki kemampuan untuk mengolahnya (‘amilah).

Secara sufistik al-Ghazali membagi tingkatan jiwa menjadi dari yang

terendah sampai yang tertinggi, yakni :

1. Jiwa yang memerintah (an-Nafs al-‘amarah bis as-su’);

Jiwa ini memerintah dan menyuruh seseorang untuk melakukan

kejahatan, yang biasanya jiwa ini dimiliki oleh orang-orang awam

pada umumnya. Jiwa ini belum dibersihkan dari segala sumber

kejahatan yang menguasai jiwanya (ghadab dan syahwah: dengki/al-

hasad, pemarah/al-ghadab, sombong/al-khabair, culas/al-ghurur, dan

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

36

Page 37: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

bakhil/al-bukhl, dll.). Allah SWT mengatakan dalam QS. Yusuf

[12]:53 yakni : “Dan aku tidak membebaskan diriku dari keslahan,

kecuali jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang

diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang”.

2. Jiwa yang penuh penyesalan (an-Nafs al-lawwamah);

Jiwa ini menyadari adanya pikiran-pikiram, keinginan, dan cela diri

sendiri. Pada tahap jiwa ini adalah awal perjalanan rohani menuju

Allah dan proses penghilangan pelanggaran-pelanggaran dalam

kondisi yang terombang ambing antara jalan Tuhan dan jalan Syetan.

Yang berujung pada jiwa penyesalan dan akhirnya kembali kepada

jalan Tuhan.

3. Jiwa yang tenang (an-Nafs al-muthma’innah);

Jiwa ini adalah jiwa yag tenang membawa ketentraman dan kedamaian

bersama Tuhan setelah mengalami proses interaksi dengan

lingkungannya. Allah mengingatkan bahwa jiwa yang al-

mutma-‘innah adalah jiwa yang akan kembali kepadaNya dalam

keadaan tidak gelisah dan mengeluh menuju surganya Allah SWT.

(QS.al-Fajr [89]:27).

Wallahu ‘alam bishshawab….

DAFTAR PUSTAKA

Ali Riyadi, Ahmad, Psikologi Sufi Al Ghazali, Panji Pustaka, Yogyakarta: 2008

Al-Taftazani, Abu Wafa’ al-Ghanimi, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan

Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakarta:2008.

Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta:2007

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta: 1970

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

37

Page 38: OBJEK KAJIAN TASAWUF   DALAM PERSFEKTIF PSIKOLOGI

Ikhrom, Titik Singgung antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan

Mental, Jurnal Teologia, Volume 19, No.1, Tahun 2008

Jalaluddin, H., Psikologi Agama, Rajawali Press, Jakarta: 2008

Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Kalam Mulia, Jakarta:

1996

Lings, Martin, What is Sufism? Membedah Tasawuf , Pedoman Ilmu Jaya,

Jakarta: 1987

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta:

1995

Objek Kajian Tasawuf dalam Perspektif Psikologi , Hasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

38