masalah belajar
TRANSCRIPT
MAKALAH BIMBINGAN DAN KONSELING
KELOMPOK IV
1. SANTI PUSPITA DEWI (060811814190)
2. RIA DEFTI NURHARINDA (06081181419066)
3. ANISA PADILA (06081181419070)
4. DWI RANTI DHEA KARIMA (06081281419064)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Tahun Akademik 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Masalah Belajar ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Dra. Cecil Hiltrimartin,
M.Si dan Ibu Fitri Wahyuni, M.Si selaku Dosen mata kuliah Bimbingan dan
Konseling Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sriwijaya yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Masalah Belajar. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya Makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I, PENDAHULUAN
1.1...................................................................................Latar Belakang
1.2..............................................................................Rumusan Masalah
1.3.................................................................Tujuan Penulisan Makalah
BAB II, PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Masalah Belajar..............................................................
2.2. Ciri-ciri Masalah Belajar..................................................................
2.3. Faktor Penyebab Masalah Belajar....................................................
2.4. Jenis-jenis Masalah Belajar..............................................................
2.4.1. Phobia Matematika........................................................................
2.4.1.1. Pengertian Phobia Matematika ..................................................
2.4.1.2. Gejala Phobia Matematika ........................................................
2.4.1.3. Faktor Penyebab Phobia Matematika ........................................
2.4.1.4. Cara Mengatasi Phobia Matematika .........................................
2.4.2. Budaya Mencontek .......................................................................
2.4.2.1. Pengertian Mencontek ...............................................................
2.4.2.2. Tinjauan Psikologi Tentang Mencontek ...................................
2.4.2.3. Faktor Penyebab Siswa Mencontek ..........................................
2.4.2.4. Cara Mengatasi Budaya Mencontek .........................................
2.4.3. Motivasi Belajar Rendah ..............................................................
2.4.3.1. Pengertian Motivasi Belajar Rendah .........................................
2.4.3.2. Faktor Penyebab Motivasi Belajar Rendah ...............................
2.4.3.3. Cara Mengatasi Motivasi Belajar Rendah
BAB III, PENUTUP
3.1.........................................................................................Kesimpulan
3.2.................................................................................. Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tugas utama seorang guru adalah membelajarkan siswa. Ini berarti
bahwa bila guru mengajar, maka diharapkan siswa belajar. Namun
adakalanya didalam kegiatan belajar mengajar di sekolah sering ditemukan
masalah-masalah yang berkenaan dengan belajar yang dialami siswa
tersebut. Masalah-masalah tersebut dipengaruhi oleh faktor internal(yang
berasal dari dalam diri siswaitu sendiri) dan juga oleh faktor
eksternal(yang berasal dari luar siswa itu sendiri.
Masalah-masalah yang dialami oleh siswa apabila tidak segera
diatasi tentunya akan menghambat proses belajar siswa dan akan
berdampak pada pencapaian tujuan dari belajar tersebut. Siswa akan
berhasil dalam proses belajar apabila siswa itu tidak mempunyai masalah
yang dapat mempengaruhi proses belajarnya. Jika terdapat siswa yang
mempunyai masalah dan permasalahan siswa tersebut tidak segera
ditemukan solusinya, siswa akan mengalami kegagalan atau kesulitan
belajar yang dapat mengakibatkan rendah prestasinya/tidak lulus,
rendahnya prestasi belajar, minat belajar atau tidak dapat melanjutkan
belajar. Untuk itu, sebagai seorang guru ataupun pendidik kita harus
mengetahui kondisi siswa agar tercipta proses pembelajaran yang baik dan
kondusif.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian masalah belajar?
2. Bagaimana ciri-ciri siswa yang memiliki masalah belajar?
3. Apa faktor-faktor yang menyebabkan masalah belajar?
4. Apa jenis-jenis masalah belajar?
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka berikut tujuannya :
1. Pengertian masalah belajar
2. Ciri-ciri siswa yang memiliki kesulitan belajar
3. Faktor-faktor yang menyebabkan masalah belajar
4. Jenis-jenis masalah belajar
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MASALAH BELAJAR
Banyak ahli mengemukakan pengertian masalah. Ada yang melihat
masalah sebagai ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, ada yang
melihat sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang, dan ada pula yang
mengartikannya sebagai suatu hal yang tidak mengenakan.
Prayitno (1985) mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang
tidak disukai adanya, menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang
lain, ingin atau perlu dihilangkan.
Sedangkan menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan
suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil
dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengertian belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya”.
“Belajar adalah proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai
hasil dari pengalaman. Pengalaman ini terjadi melalui interaksi antara
individu dengan lingkungannya” ( Anita E, Wool Folk, 1995 : 196 ).
Dari definisi masalah dan belajar maka masalah belajar dapat diartikan
atau didefinisikan sebagai berikut.“Masalah belajar adalah suatu kondisi
tertentu yang dialami oleh siswa dan menghambat kelancaran proses yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan”. Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan
keadaan dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan
dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-
masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang lambat saja
dalam belajarnya, tetapi juga dapat menimpa siswa-siswa yang memiliki
kemampuan diatas rata-rata normal, pandai atau cerdas. Masalah-masalah
dalam pembelajaran ini adalah sesuatu yang harus dipecahhkan oleh guru dan
orang tua sehingga proses belajar anak bisa sesuai dengan tujuan yang
pertama yaitu mencerdaskan anak bangsa yang berpendidikan dan
mempunyai tingkah laku yang baik. Tanggung jawab seorang guru dalam
mendidik anak bisa berjalan dengan baik jika masalah-masah dalam
pembelajaran bisa dipecahkan secara bersama-sama.
B. CIRI-CIRI SISWA YANG MEMILIKI MASALAH BELAJAR
Diantara banyak peserta didik di sekolah ada siswa yang berprestasi,
namun banyak pula yang dijumpai siswa yang gagal. Secara umum, siswa-
siswa yang mengalami nilai dan angka rapor banyak rendah, tidak naik kelas,
tidak lulus ujian akhir, dan sebagainya dapat dianggap sebagai siswa yang
mengalami masalah belajar. Seseorang siswa dapat diduga mengalami
kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf
kualifikasi hasil belajar tertentu.
Berikut cara mengenali siswa yang memiliki masalah dalam belajar antara
lain :
1) Keterampilan Akademik
Keadaan siswa yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup
tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal. Seharusnya
kegiatan exstra harus dimanfa’atkan secara baik oleh guru dan orang tua,
karena ketrampilan setiap anak didik sangatlah berbeda-beda, sehingga
bisa mengeluarkan dan memulai ketrampilannya sejak dari kecil dan
diharapkan bisa mengembangkannya.
2) Keterampilan dalam Belajar
Keadaan siswa yang memiliki IQ 130 atau lebih tetapi masih
memerlukan tugas-tugas khusus untuk memenuhi kebutuhan dan
kemampuan belajar yang amat tinggi. Ketrampilan dalam belajar bisa
menunjang prestasi belajar siswa karena siswa akan lebih banyak
mendapatkan ilmu pengetahuan tambahan dari proses pembelajaran yang
semestinya.
3) Sangat Lambat dalam Belajar
Keadaan siswa yang memiliki akademik yang kurang memadai dan
perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan pendidikan atau pengajaran
khusus. Sebenarnya setiap siswa mempunyai akal yang sama, tetapi
kemampuan setiap siswa yang satu dengan siswa yang lain sangatlah
berbeda dan disinalah letak kerja exstra guru dalam memberikan
pengajaran yang lebih agar siswa yang kurang mampu dalam menerima
pelajaran tidak terlihat sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan siswa
yang penerimaan pelajarannya sangat cepat.
4) Kurang Motivasi dalam Belajar
Keadaan siswa yang kurang bersemangat dalam belajar mereka
seolah-olah tampak jera dan malas. Hal ini disebabkan dari beberapa
sebab yang meliputi dari lingkungan sekolah, keluarga maupun dari
lingkungan pergaulan anak, jika lingkungan anak memang sejak kecil
diberi semangat belajar yang tinggi, pastinya siswa tersebut bisa
termotivasi untuk menjadi anak yang pintar, namun sebaliknya kurangnya
motivasi belajar siswa bisa mempengaruhi proses belajar dan akhirnya
menjadi salah satu dari sekian banyak masalah-masalah dalam
pembelajaran.
5) Bersikap dan Berkebiasaan Buruk dalam Belajar
Kondisi siswa yang kegiatan atau perbuatan belajarnya sehari-hari
antagonistic dengan yang seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas,
mengulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal yang
tidak diketahuinya dan sebagainya, maka sikap dan kebiasaan yang baik
bisa menunjang kelancaran proses belajar anak. Hal ini disebabkan anak
akan cenderung rajin belajar dari pada siswa yang mempunyai sikap dan
kebiasaan yang buruk.
C. FAKTOR PENYEBAB MASALAH BELAJAR
Masalah-masalah belajar baik intern maupun ekstern dapat dikaji dari
dimensi guru maupun dimensi siswa, sedangkan dikaji dari tahapannya,
masalah belajar dapat terjadi pada waktu sebelum belajar, selama proses
belajar dan sesudahnya. Sedangkan dari dimensi guru, masalah belajar dapat
terjadi sebelum kegiatan belajar, selama proses belajar dan evaluasi hasil
belajar. Masalahnya seringkali berkaitan dengan pengorganisasian belajar.
1) Faktor Intern
Faktor intern yang menyebabkan masalah dalam belajar, yaitu sebagai
berikut:
a) Faktor Psikologis
1. Intelegensi
Siswa yang mempunyai intelegensi tinggi akan lebih mudah dalam
memahami pelajaran yang diberikan guru atau lebih berhasil
dibandingkan dengan siswa-siswa yang berintelegensi rendah.
2. Bakat
Apabila bahan yang dipelajari oleh siswa tidak sesuai dengan
bakatnya maka siswa akan mengalami kesulitan dalam belajar.
b) Faktor Fisiologis
Gangguan-gangguan fisik dapat berupa gangguan pada alat-alat
penglihatan dan pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan
belajar. Seperti gangguan visual yang sering disertai dengan gejala
pusing, mual, sakit kepala, malas, dan kehilangan konsentrasi pada
pelajaran.
Selain faktor diatas ada juga faktor internal lainnya, yaitu:
a) Ciri Khas/Karakteristik Siswa
Dapat dilihat dari kesediaan siswa untuk mencatat pelajaran,
mempersiapkan buku, alat-alat tulis atau hal-hal yang diperlukan.
Namun, bila siswa tidak memiliki minat, maka siswa tersebut
cenderung mengabaikan kesiapan belajar.
b) Sikap Terhadap Belajar
Sikap siswa dalam proses belajar, terutama sekali ketika memulai
kegiatan belajar merupakan bagian penting untuk diperhatikan karena
aktivitas belajar siswa banyak ditentukan oleh sikap siswa ketika akan
memuli kegiatan belajar. Namun, bila lebih dominan sikap menolak
sebelim belajar maka siswa cenderung kurang memperhatikan atau
mengikuti kegiatan belajar.
c) Motivasi Belajar
Di dalam aktivitas belajar, motivasi individu dimanfestasikan
dalam bentuk ketahanan atau ketekunan dalam belajar, kesungguhan
dalam menyimak, mengerjakan tugas dan sebagainya. Umumnya
kurang mampu untuk belajar lebih lama, karena kurangnya
kesungguhan di dalam mengerjakan tugas. Oleh karena itu, rendahnya
motivasi merupakan masalah dalam belajar yang memberikan dampak
bagi tercapainya hasil belajar yang diharapkan.
d) Konsentrasi Belajar
Kesulitan berkonsentrasi merupakan indikator adanya masalah
belajar yang dihadapi siswa, karena hal itu akan menjadi kendala di
dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Untuk membantu
siswa agar dapat berkonsentrasi dalam belajar tentu memerlukan
waktu yang cukup lama, di samping menuntut ketelatenan guru.
e) Mengelola Bahan Ajar
Siswa mengalami kesulitan di dalam mengelola bahan, maka
berarti ada kendala pembelajaran yang dihadapi siswa yang
membutuhkan bantuan guru. Bantuan guru tersebut hendaknya dapat
mendorong siswa agar memiliki kemampuan sendiri untuk terus
mengelola bahan belajar, karena konstruksi berarti merupakan suatu
proses yang berlangsung secara dinamis.
f) Rasa Percaya Diri
Salah satu kondisi psikologis seseorang yang berpengaruh terhadap
aktivitas fisik dan mental dalam proses pembelajaran adalah rasa
percaya diri. Rasa percaya diri umumnya muncul ketika seseorang
akan melakukan atau terlibat di dalam suatu aktivitas tertentu di mana
pikirannya terarah untuk mencapai sesuatu hasil yang diinginkannya.
Hal-hal ini bukan merupakan bagian terpisah dari proses belajar, akan
tetapi merupakan tanggung jawab yang harus diwujudkan guru
bersamaan dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan.
g) Kebiasaan Belajar
Kebiasaan belajar dalah perilaku belajar seseorang yang telah
tertanam dalam waktu yang relatif lama sehingga memberikan ciri
dalam aktivitas belajar yang dilakukan. Ada beberapa bentuk
kebiasaan belajar yang sering dijumpai seperti, belajar tidak teratur,
daya tahan rendah, belajar hanya menjelang ulangan atau ujian, tidak
memiliki catatan yang lengkap, sering datang terlambat, dan lain-lain
Jenis-jenis kebiasaan belajar di atas merupakan bentuk-bentuk
perilaku belajar yang tidak baik karena mempengaruhi aktivitas
belajar siswa dan dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar yang
diperoleh.
h) Hambatan dalam Komunikasi
Hambatan-hambatan komunikasi yang ditemui dalam proses belajar
mengajar antara lain:
1. Verbalisme, dimana guru menerangkan pelajaran hanya melalui
kata-kata atau secara lisan. Disini yang aktif hanya guru,
sedangkan murid lebih banyak bersifat pasif, dan komunikasi
bersifat satu arah.
2. Perhatian yang bercabang yaitu perhatian murid tidak terpusat pada
informasi yang disampaikan guru, tetapi bercabang perhatian
lainnya.
3. Kekacauan penafsiran, terjadi disebabkan berbeda daya tangkap
murid, sehingga sering terjadi istilah-istilah yang sama diartikan
berbeda-beda.
4. tidak adanya tanggapan, yaitu murid-murid tidak merespon secara
aktif apa yang disampaikan oleh guru, sehingga tidak terbentuk
sikap yang diperlukan. Disini proses pemikiran tidak terbentuk
sebagaimana mestinya.
5. kurang perhatian, disebabkan prosedur dan metode pengajaran
kurang bervariasi, sehingga penyampaian informasi yang monoton
menyebabkan kebosanan murid.
6. keadaan fisik dan lingkungan yang menganggu, misalnya objek
yang terlalu besar atau terlalu kecil, gerakan yang terlalu cepat atau
terlalu lambat dan objek yang terlalu kompleks serta konsep yang
terlalu luas, sehingga menyebabkan tanggapan murid menjadi
mengambang.
7. Sikap pasif anak didik, yaitu tidak bergairahnya siswa dalam
mengikuti pelajaran disebabkan kesalahan memilih teknik
komunikasi.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang menyebabkan masalah dalam belajar, yaitu sebagai
berikut:
a) Faktor Sosial
Faktor sosial dibagi menjadi beberapa lingkungan, yaitu :
1. lingkungan keluarga
1.1. Orang Tua
Dalam kegiatan belajar, seorang anak perlu diberi dorongan
dan peringatan dari orang tua. Apabila anak sedang belajar,
jangan di ganggu dengan tugas-tugas rumah. Orang tua
berkewajiban memberi pengertian dan dorongan serta
semaksimal mungkin membantu dalam memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi anak disekolah. Apabila semangat
belajar anak lemah, kemudian orang tua memanjakan anaknya,
maka ketika masuk sekolah. Ia akan menjadi siswa yang
kurang bertanggungjawab dan takut menghadapi tantangan
kesulitan. Demikian juga orang tua yang mendidik anaknya
terlalu keras, maka anak tersebut akan menjadi takut tidak
supel dalam bergaul dan mengisolasi diri
1.2. Suasana rumah
Hubungan antar anggota keluarga yang kurang harmonis,
akan menimbulkan suasana kaku, dan tegang dalam keluarga,
yang menyebabkan anak kurang bersemangat untuk belajar.
Sedangkan suasana rumah yang akrab, menyenangkan dan
penuh kasih sayang, akan memberikan dorongan belajar yang
kuat bagi anak.
1.3. Kemampuan Ekonomi Keluarga
Hasil belajar yang baik, tidak dapat diperoleh hanya dengan
mengandalkan keterangan-keterangan yang diberikan oleh
guru di depan kelas, tetapi membutuhkan juga alat-alat yang
memadai, seperti buku, pensil, pena, peta, bahkan buku
bacaan. Sedangkan sebahagian besar, alat-alat pelajaran itu
harus disediakan sendiri oleh murid yang bersangkutan. Bagi
orang tua yang keadaan ekonominya kurang memadai, sudah
barang tentu tiak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
anaknya itu secara memuaskan. Apabila keadaan ini terjadi
pada orang tua murid, maka murid yang bersangkutan akan
menanggung resiko yang tidak diharapkan.
1.4. Latar Belakang Kebudayaan
Tingkat pendidikan dan kebiasaan dalam keluarga, akan
mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Jadi, anak-anak
hendaknya ditanamkan kebiasaan yang baik agar mendorong
anak untuk belajar.
2. Lingkungan Sekolah
2.1. Guru
Guru harus mengembangkan strategi pembelajaran yang
tidak hanya menyampaikan informasi, melainkan juga
mendorong para siswa untuk belajar secara bebas dalam batas-
batas yang ditentukan. Bila dalam proses pembelajaran, guru
mampu mengaktualisasikan tugas-tugas guru dengan baik,
mampu memotivasi, membimbing dan memberi kesempatan
secara luas untuk memperoleh pengalaman, maka siswa akan
mendapat dukungan yang kuat untuk mencapai hasil belajar
yang diharapkan, namun jika guru tidak dapat
melaksanakannya, siswa akan mengalami masalah yang dapat
menghambat pencapaian hasil belajar mereka.Menurut
Lindgren, (1967 : 55) bahwa lingkungan sekolah, terutama
guru. Guru yang akrab dengan murid, menghargai usaha-usaha
murid dalam belajar dan suka memberi petunjuk kalau murid
menghadapi kesulitan, akan dapat menimbulkan perasaan
sukses dalam diri muridnya dan hal ini akan menyuburkan
keyakinan diri dalam diri murid. Melalui contoh sikap sehari-
hari, guru yang memiliki penilaian diri yang positif akan ditiru
oleh muridnya, sehingga murid-muridnya juga akan memiliki
penilaian diri yang positif.Jadi jelaslah bahwa guru yang
kurang akrab dengan murid, kurang menghargai usaha-usaha
murid maka murid akan merasa kurang diperhatikan dan akan
mengakibatkan murid itu malas belajar atau kurangnya minat
belajar sehingga anak itu akan mengalami kesulitan belajar.
Keberhasilan seorang murid dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang berasal dari sekolah seperti guru yang harus benar-benar
memperhatikan peserta didiknya.
2.2. Interaksi Guru dan Murid
Guru yang kurang berinteraksi dengan murid secara rutin
akan menyebabkan proses belajar mengajar kurang lancar. Dan
menyebabkan anak didik merasa ada distansi (jarak) dengan
guru, sehingga segan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
belajar mengajar.
2.3. Hubungan Antar Murid
Guru yang bisa mendekati siswa dan kurang bijaksana
maka tidak akan mengetahui bahwa di dalam kelas ada grup
yang saling bersaing secara tidak sehat. Suasana kelas
semacam ini sangat tidak diharapkan dalam proses belajar.
Maka, guru harus mampu membina jiwa kelas supaya dapat
hidup bergotong royong dalam belajar bersama, agar kondisi
belajar individual siswa dapat berlangsung dengan baik.
2.4. Cara Penyajian Bahan Pelajaran
Guru yang hanya bisa mengajar dengan metode ceramah
saja, membuat siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif, dan
hanya mencatat saja. Guru yang progresif, adalah guru yang
berani mencoba metode-metode baru, yang dapat membantu
dalam meningkatkan kondisi belajar siswa.
2.5. Metode Mengajar
Apabila guru menggunakan metode yang sama untuk
semua bidang studi dan pada setiap pertemuan akan
membosankan siswa dalam belajar.
3. Lingkungan masyarakat
3.1. Teman Bergaul
Pergaulan dan teman sepermainan sangat dibutuhkan dalam
membuat dan membentuk kepribadian sosialisasi anak. Orang
tua harus memperhatikan agar anak-anaknya jangan sampai
mendapat teman bergaul yang memiliki tingkah laku yang
tidak diharapkan. Karena perilaku yang tidak baik, akan mudah
sekali menular pada anak lain.
3.2. Pola Hidup Lingkungan
Pola tetangga yang berada di sekitar rumah dimana anak itu
berada, punya pengaruh besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Jika anak berada dikondisi masyarakat
kumuh yang serba kekurangan, dan anak-anak pengangguran
misalnya, akan sangat mempengaruhi kondisi belajar anak,
karena ia akan mengalami kesulitan ketika memerluka teman
belajar atau berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar.
3.3. Kegiatan Dalam Masyarakat
Kegiatan dalam masyarakat dapat berupa karang taruna,
menari, olahraga, dan lain sebagainya. Bila kegiatan tersebut
dilakukan secara berlebihan, tentu akan menghambat kegiatan
belajar. Jadi, orang tua perlu memperhatikan kegiatan anak-
anaknya.
3.4. Media Massa
Media massa adalah, sebagai salah satu faktor penghambat
dalam belajar. Misalnya, bioskop, radio, tv, membaca novel,
majalah yang tidak dipertanggungjawabkan dari segi
pendidikan. Sehingga, mereka akan lupa tugas belajarnya
maka dari itu, buku bacaan, video kaset, dan mass media
lainnya perlu diadakan pengawasan yang ketat dan diseleksi
dengan teliti.
b) Faktor Non-Sosial
Faktor non sosial dapat dibedakan menjadi :
1. Sarana dan prasarana sekolah
Ketersediaan prasarana dan sarana pembelajaran
berdampak pada terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif.
Terjadinya kemudahan bagi siswa untuk mendapatkan informasi
dan sumber belajar yang pada gilirannya dapat mendorong
berkembangnya motivasi untuk mencapai hasil belajar yang lebih
baik. Oleh karena itu sarana dan prasarana menjadi bagian yang
penting untuk tercapainya upaya mendukung terwujudnya proses
pembelajaran yang diharapkan.
2. Kurikulum Sekolah
Kurikulum merupakan panduan yang dijadikan guru
sebagai rangka atau acuan untuk mengembangkan proses
pembelajaran. Seluruh aktivitas pembelajaran, maka dipastikan
kurikulum tidak akan mampu memenuhi tuntunan perubahan di
mana perubahan kurikulum pada sisi lain juga menimbulkan
masalah, yaitu :
2.1. Tujuan yang akan dicapai berubah
2.2. Isi pendidikan berubah
2.3. Kegiatan belajar mengajar berubah
2.4. Evaluasi belajar
3. Media Pendidikan
Dapat berupa buku-buku di perpustakaan, laboratorium, LCD,
komputer, layanan internet dan lain sebagainya.
D. JENIS-JENIS MASALAH BELAJAR
1) Phobia Matematika
a) Pengertian Phobia Matematika
Kolb (1949) Mendefinisikan belajar matematika sebagai proses
memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa itu
sendiri melalui transformasi pengalaman individu siswa. Pendapat Kolb ini
intinya menekankan bahwa dalam belajar siswa harus diberi kesempatan
seluas-luasnya mengkontruksi sendiri pengetahuan yang dipelajari dan siswa
harus didorong untuk aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya
sehingga dapat memperoleh pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Heuvel-Panhuizen (1998) dan Verchaffel-De Corte (1977) Pendidikan
matematika seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
“menemukan kembali” matematikan dengan berbuat matematika.
Pembelajaran matematika harus mampu mmeberi siswa situasi masalah yang
dapat dibanyangkan atau mempunyai hubungan dengan dunia nyata. Lebih
lanjut mereka menemukan adanya kecenderungan kuat bahwa dalam
memecahkan masalah dunia nyata siswa tergantung pada pengetahuan pada
pengetahuan yang dimiliki siswa tentang dunia nyata tersebut.
Goldin (1992) Matematika ditemukan dan dibangun oleh manusia
sehingga dalam pembelajaran matematika harus lebih dibangun oleh siswa
daripada ditanamkan oleh guru. Pembelajaran matematikan menjadi lebh
aktif bila guru membantu siswa menemukan dan memecahkan masalah
dengan menerapkan pembelajaran bermakna.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa belajar
matematika adalah belajar tentang rangkaian-rangkaian pengertian (konsep)
dan rangkaian pertanyaan-pertanyaan (sifat, teorema, dalili, prinsip). Untuk
mengungkapkan tentang pengertian dan pernyataan diciptakan lambang-
lambang, nama-nama, istilah dan perjanjian-perjanjian (fakta). Konsep yaitu
pengertian abstrak yang memungkinkan seseorang dapat membedakan suatu
obyek dengan yang lain.
Phobia Matematika
Kata “phobia” sendiri berasal dari istilah Yunani “phobos” yang berarti
lari (fight), takut dan panik (panic-fear), takut hebat (terror). Istilah ini
memang dipakai sejak zaman Hippocrates. Phobia adalah ketakutan yang luar
biasa dan tanpa alasan terhadap sebuah obyek atau situasi yang tidak masuk
akal. Pengidap phobia merasa tidak nyaman dan menghindari objek yang
ditakutinya. Terkadang juga bisa menghambat aktivitasnya. Phobia ini
terbagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Phobia khusus yaitu ketakutan terhadap obyek atau aktivitas tertentu.
2. Phobia sosial yaitu ketakutan terhadap penilaian orang lain.
3. Agoraphobia yaitu rasa takut berada di tempat terbuka atau pusat
keramaian.
Phobia matematika adalah ketakutan yang tak terbayangkan terhadap
matematika yang dapat mengganggu dalam memanipulasi angka-
angka dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan matematika
dalam beragam kehidupan sehari-hari dan situasi akademik"(Buckley
& Ribordy, 1982 )
Phobia matematika atau disebut juga dengan istilah mathophobia
atau Math anxiety yang didefinisikan sebagai emosi negatif yang
mengganggu dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
matematika. Mathophobia lebih dari sekedar tak menyukai matemtika
dan mengarahkan murid pada bentuk penghindaran secara
global/umum- bila mungkin,mereka tetap mengambil kelas matemtika
tetapi mereka akan menghindar dalam situasi yang memerlukan
matematika (Sparks, 2011; Hellum-Alexander,2010; Ashcraft &
Krause, 2007).
b) Gejala Phobia Matematika
1. Perasaan atau Emosi
Perasaan atau emosi merupakan suasana batin yang
dihayati oleh oleh sesorang pada suatu saat. Perasaan bersifat
subyektif dan temporer, dipengaruhi oleh kondisi didalam
individu siswa serta kekuatan faktor lain.
Menurut Nana Syaodih, beberapa macam bentuk emosi
yang populer yaitu salah satunya adalah takut, cemas dan
khawatir. Banyak orang takut terhadap matematika dan akan
berusaha sejauh mungkin menghindari bilangan dan operasi-
operasi bilangan" Orang semacam ini dikatakan mengalami
phobia matematika" Orang yang mengalami phobia metematika
akan mengalami kesulitan dalam memahami matematika dan
dalam menggunakan matematika untuk keperluan kehidupan
sehari-hari dan untuk mempelajari pngetahuan yang lain".
2. Mitos dan Kesalahpahaman
Kebencian matematika adalah respon emosional. Langkah
pertama dalam mengatasi itu adalah untuk menilai pendapat
seseorang tentang matematika dalam semangat detasemen. Mitos
dam kesalahpahaman dalam matematika antara lain sebagai
berikut :
2.1. Bakat atau kecerdasan untuk matematika ada sejak lahir
2.2. Belajar matematika harus bisa menghitung
2.3. Matematika membutuhkan logika bukan kreativitas
2.4. Yang penting dalam belajar matematika adalah
mendapatkan jawaban yang benar
2.5. Dalam berpikir matematis pria lebih baik daripada wanita
3. Kontroversi dalam Pendidikan Matematika
Kebanyakan orang mengaggap bahwa matematika adalah
bidang hitung menghitung. Namun, ahli matematika memandang
perhitungan hanyalah alat dalam matematika yang sesungguhnya,
yang melibatkan pemecahan soal dan pemahaman struktur dan
pola dalam matematika. (National Research Council. 1999).
c) Faktor Penyebab Phobia Matematika
Berdasarkan pengalaman yang terjadi di sekitar, ada beragam
faktor-faktor penyebab munculnya phobia matematika
1. Kemampuan guru mengajar yang buruk
2. siswa selalu mendapatkan nilai yang rendah
3. Faktor Internal siswa itu sendiri : kepribadian, intelektualnya, dan
juga lingkungan. Dari faktor kepribadian, bisa karena kurangnya
rasa percaya diri, rasa malu yang tinggi atau minder, tak bisa
mengendalikan rasa frustasinya, dan bahkan karena intimidasi.
Kemudian dari faktor intelektual, disebabkan ketidakmampuan
siswa untuk memahami konsep atau materi matemtaika yang
sedang dipelajari. Kemudian, dari faktor lingkungan, disebabkan
oleh tuntutan orang tua yang terlalu lebih kepada anaknya,
dan/atau pengalaman buruk di kelasnya, seperti guru yang buruk
dalam mengajar, atau buku pelajaran yang sulit dimengerti, dan
lain-lain.
4. Cara mengajar guru melalui pendekatan pada metode
menerangkan materi, kemudian mengerjakan soal-soal, dan
kemudian menyuruh siswa untuk mengingat rumus-rumus atau
materi, dimana metode ini disebut dengan metode "explain-
practice-memorize"
d) Cara Mengatasi Phobia Matematika
Menurut J.B Watson melalui observasi yang dilakukannya, ia
mengatakan bahwa rasa takut sesorang adalah hasil dari conditioning.
Untuk membantu mengurangi rasa takut anak adalah sangat
bermanfaat, karena pada situasi tertentu rasa takut harus dihadapi dan
diatasi oleh setiap anak.
1. Tingkatan mengatasi phobia matematika
Menurut J.B Watson melalui observasi yang dilakukannya, ia
mengatakan bahwa rasa takut sesorang adalah hasil dari conditioning.
Untuk membantu mengurangi rasa takut anak adalah sangat
bermanfaat, karena pada situasi tertentu rasa takut harus dihadapi dan
diatasi oleh setiap anak.
i. Tingkatan mengatasi phobia matematika
1. Mencegah Phobia Matematika
1.1 Guru dan orang tua bersikap positif tentang matematika
1.2 Siswa mengetahui manfaat matematika dalam kehidupan
sehari-hari
1.3 Siswa terlibat aktif dalam belajar matematika
1.4 Tes bukanlah tujuan akhir dari belajar matematika
1.5 Meringkas catatan
1.6 Siswa membuat jadwal belajar
2. Mengurangi Phobia Matematika
2.1 Guru membangkitkan motivasi siswa agar semakin aktif
belajar dan mengingatkan akan pentingnya belajar
matematika untuk memecahkan persoalan hidup sehari-
hari, seperti perhitungan, pengukuran dsb.
2.2 Guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan
diantaranya dengan menghindarkan suasana kaku, tegang
apalagi menakutkan dalam belajar, menyisipkan humor-
humor yang segar dan mendidik, tidak memberikan soal-
soal yang terlalu sukar, dll. Menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan diantaranya suasana kelas dibuat
nyaman, meja belajar dihiasi dengan sesuatu yang
menyegarkan dan memberi semangat kepada siswa, dinding
kelas ditempeli dengan gambar-gambar atau hiasan-hiasan
yang mereka minati.
2.3 Mengadakan refreshing untuk menghilangkan rasa jenuh,
bosan dan penat dalam belajar.
3. Menghilangkan Phobia Matematika
Ada beberapa cara untuk menghilangkah phobia matematika,
diantaranya:
3.1. Terapi berbicara
Jenis terapi bicara yang bisa digunakan adalah:
1. Konseling: konselor biasanya akan mendengarkan
permasalahan seseorang, seperti ketakutannya saat
berhadapan dengan barang atau situasi yang
membuatnya fobia.
2. Psikoterapi: seorang psikoterapis akan menggunakan
pendekatan secara mendalam untuk menemukan
penyebabnya dan memberi saran untuk
menghilangkannya.
3. Terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioural
Therapy/CBT): yaitu suatu konseling yang akan
menggali pikiran, perasaan dan perilaku seseorang dalam
rangka mengembangkan cara-cara praktif yang efektif
untuk melawan fobia.
3.2. Terapi pemaparan diri (Desensitisation)
Orang yang mengalami fobia sederhana bisa diobati
dengan menggunakan bentuk terapi perilaku yang
dikenal dengan terapi pemaparan diri. Terapi ini
dilakukan secara bertahap selama periode waktu tertentu
dengan melibatkan objek atau situasi yang membuatnya
takut. Secara perlahan-lahan seseorang akan mulai
merasa tidak cemas atau takut lagi terhadap hal tersebut.
Kadang-kadang dikombinasikan dengan pengobatan dan
terapi perilaku.
ii. Langkah Mengatasi Phobia Matematika
Selanjutnya untuk mengatasi rasa takut terhadap matematika
seseorang harus membentuk enam sikap diri sebagai pembelajaran;
1. Sikap positif
2. Ajukan pertanyaan, untuk meningkatkan pemahaman konsep
matematika
3. Belajar kelompok
4. Latihan rutin. Memahami konsep matematika membutuhkan
latihan rutin.
5. Jangan takut membuat kesalahan, beberapa pembelajaran yang
paling kuat berasal dari membuat kesalahan.
6. Motivasi yang kuat
2) Budaya Mencontek
a) Pengertian Mencontek
Menyontek berasal dari kata dasar “sontek” yang berarti mengutip
atau menjiplak. Mengutip itu merupakan menyalin kembali suatu tulisan,
sedangkan menjiplak merupakan menulis atau menggambar dikertas
yang dibawahnya diletakkan kertas yang sudah bertulisan dan bergambar.
Menyontek merupakan sebuah kecurangan yang dilakukan oleh
seseorang dalam mengerjakan tugas dan ujian, baik itu di sekolah, di
perguruan tinggi, maupun di tempat yang lainnya. Perilaku menyontek
juga dapat diartikan sebagai penipuan atau melakukan perbuatan tidak
jujur.
Menurut KBBI karangan W.J.S.Purwadarminta, menyontek adalah
mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sesuai
dengan yang aslinya.
Dalam KBBI (Suharto & Iryanto, 1995), kata menyontek tidak
dapat ditemukan secara langsung, kata menyontek dapat ditemuakan
pada kata jiplak-menjiplak yang artinya meniru tulisan atau pekerjaan
orang lain.
Deighton (1971), menyatakan cheating adalah upaya yang
dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara
yang tidak fair (tidak jujur).
Bower (1964), mendefinisikan cheating adalah perbuatan yang
menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah atau
terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari
kegagalan akademis.
Lestari (2005), kecenderungan menyontek adalah perilaku yang
dilakukan untuk menghindari kegagalan dari nilai akademis dengan cara
yang tidak jujur yaitu suka tengak-tengok saat ujian, mendekati teman
yang pandai, memilih tempat duduk yang dibelakang dan pojok,
membuat catatan kecil dikertas, tissue, di dinding, bahkan menggunakan
handphone untuk saling tukar jawaban dikelas sebelah.
Sujana dan Wulan (1994), menyontek merupakan tindakan
kecurangan dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari
luar secara tidak sah.
Koesoema (2009), di dalam ulangan harian di kelas, kegiatan
menyontek sudah menjadi cara bertindak umum dikalangan siswa.
Siswa sendiri menjadi saksi bahwa kegiatan contek-menyontek
merupakan sesuatu yang wajar. Bahkan dalam arti tertentu, karena sudah
terbiasanya maka tidak dirasakan lagi ada yang tidak beres dalam
kegiatan menyontek ini.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menyontek adalah
tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau dengan cara yang tidak
jujur atau perbuatan curang yang dilakukan oleh pelajar selama
pelaksanaan evaluasi akademis dengan tujuan tertentu.
Tinjauan Psikologi Tentang Mencontek
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani (2004), pada saat dorongan
tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul
ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil
yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor
yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi
sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali
pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik
secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-
nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan
berdosa, kepuasan diri terhadap prestasi akademik yang dimilikinya, dan
juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk
mencontek. Masalah kepuasan prestasi akademik juga akan menjadi
sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang
untuk mencontek. Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan
hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007), mengatakan sebenarnya
nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan merupakan
tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah
sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil
Anwar mengungkapkan, bahwa mencontek terlanjur dianggap sepele oleh
masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat anak didik
sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di
bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun
mati.
b) Faktor Penyebab Siswa Mencontek
Menurut Nugroho (2008), yang menjadi penyebab munculnya
tindakan mencontek bisa dipengaruhi beberapa hal. Baik yang sifatnya
berasal dari dalam internal yakni diri sendiri, maupun dari luar
(eksternal) misalnya dari guru, orang tua maupun sistem pendidikan itu
sendiri.
i. Faktor dari dalam diri sendiri
1. Kurangnya rasa percaya diri pelajar dalam mengerjakan soal.
Biasanya disebabkan ketidaksiapan belajar baik persoalan
malas dan kurangnya waktu belajar.
2. Orientasi pelajar pada nilai bukan pada ilmu.
3. Sudah menjadi kebiasaan dan merupakan bagian dari insting
untuk bertahan.
4. Merupakan bentuk pelarian atau protes untuk mendapatkan
keadilan. Hal ini disebabkan pelajaran yang disampaikan
kurang dipahami atau tidak mengerti dan sehingga merasa
tidak puas oleh penjelasan dari guru atau dosen.
5. Melihat beberapa mata pelajaran dengan kacamata yang
kurang tepat, yakni merasa ada pelajaran yang penting dan
tidak penting sehingga mempengaruhi keseriusan belajar.
6. Terpengaruh oleh budaya instan yang mempengaruhi
sehingga pelajar selalu mencari jalan keluar yang mudah dan
cepat ketika menghadapi suatu persoalan termasuk tes atau
ujian.
7. Tidak ingin dianggap sok suci dan lemahnya tingkat
keimanan.
ii. Faktor dari Guru
1. Guru tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan
baik sehingga yang terjadi tidak ada variasi dalam mengajar
dan pada
2. Guru terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga
tidak ada kesempatan untuk membuat soal-soal yang
variatif. Akibatnya soal yang diberikan antara satu kelas
dengan kelas yang lain sama atau bahkan dari tahun ke
tahun tidak mengalami variasi soal.
3. Soal yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari
text book.
4. Tidak ada integritas dan keteladpan dalam diri guru
berkenaan dengan mudahnya soal diberikan kepada pelajar
dengan imbalan sejumlah uang.
5. Kurangnya sistem pengawasan dari guru.
iii. Faktor dari Orang Tua
1. Adanya hukuman yang berat jika anaknya tidak berprestasi.
2. Ketidaktahuan orang tua dalam mengerti pribadi dan
keunikan masing-masing dari anaknya, sehingga yang
terjadi pemaksaan kehendak.
iv. Faktor-faktor umum yang menyebabkan terjadinya perilaku
menyontek (Hutton, 2006; Donald P. French, 2006; dalam
Dody Hartanto, 2012:31-32) adalah:
1. Adanya kemalasan pada diri seseorang.
2. Karena merasa cemas.
3. Melihat perilaku menyontek bukan merupakan hal yang
yang salah dan merugikan.
4. Memiliki keyakinan bahwa perilakunya tidak akan
diketahui.
c) Cara Mengatasi Budaya Mencontek
Ada beberapa macam untuk mengatasi kebiasaan mencontek yaitu
i. Dari dalam diri sendiri
1. Bangkitkan rasa percaya diri.
2. Arahkan self consept ke arah yang lebih proporsional.
3. Biasakan berpikir lebih realistis dan tidak ambisius.
ii. Dari Lingkungan dan Kelompok
Ciptakan kesadaran disiplin dan kode etik kelompok yang sarat
dengan pertimbangan moral.
iii. Dari Sistem Evaluasi
1. Buat instrumen evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat
dan tetap).
2. Terapkan cara pemberian skor yang benar-benar objektif.
3. Lakukan pengawasan yang ketat.
4. Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan
kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan
prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.
iv. Dari Guru atau Dosen
1. Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.
2. Bersikap rasional dan tidak mencontek dalam
memberikan tugas ujian atau tes.
3. Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral.
4. Berikan umpan balik atas setiap penugasan.
3) Motivasi Belajar Rendah
a) Pengertian Motivasi Belajar Rendah
Menurut Makmun (2007: 37) motivasi merupakan:
1. Suatu kekuatan (power) atau tenaga (forces) atau daya
(energy); atau
2. Suatu keadaan yang kompleks (a complex state) dan
kesiapsediaan (preparatory set) dalam diri individu
(organisme) untuk bergerak (to move, motion, motive) ke arah
tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari.
Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai
kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan
individu tersebut bertindak atau berbuat (Uno, 2009: 3). Motif tidak
dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam
tingkah lakunya berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit
tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu.
Motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri seseorang
untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih baik
dalam memenuhi kebutuhannya.
Sebenarnya motivasi merupakan istilah yang lebih umum untuk
menunjuk pada seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang
mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku
yang ditimbulkannya, dan tujuan atau akhir dari gerakan atau
perbuatan. Menurut Mc. Donald dalam Sardiman (2010: 73) motivasi
adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap
adanya tujuan.
Dari pengertian tersebut ada tiga hal penting yaitu: 1) motivasi itu
mengawali terjadinya energi pada setiap individu manusia, 2) motivasi
tersebut ditandai dengan munculnya rasa ”feeling” atau afeksi
seseorang, dan 3) motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan.
Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi
yang ada pada diri manusia yang berkaitan dengan perasaan dan juga
emosi kemudian dapat menentukan tingkah laku manusia, dorongan
yang muncul itu karena adanya tujuan kebutuhan atau keinginan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil pengertian
motivasi adalah suatu kekuatan atau dorongan dalam diri individu
membuat individu tersebut bergerak, bertindak untuk memenuhi
kebutuhan dan mencapai tujuannya.
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku akibat
latihan dan pengalaman (Oemar Hamalik, 2009: 106). Hal senada juga
diungkapkan Uno (2009: 22) belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
Kedua definisi tersebut dapat diterangkan bahwa belajar itu
senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan,
dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati,
mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.
Dapat digabungkan pengertian motivasi belajar adalah suatu
kekuatan atau dorongan dalam diri individu membuat individu
tersebut bergerak, bertindak untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuannya yaitu proses seorang individu melakukan
perubahan perilaku berdasar pengalaman dengan serangkaian kegiatan
misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan
lain sebagainya.
Motivasi belajar rendah adalah kurangnya kekuatan atau dorongan
dalam diri individu membuat individu tersebut bergerak, bertindak
untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuannya yaitu proses
seorang individu melakukan perubahan perilaku berdasar pengalaman
dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati,
mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Motivasi belajar rendah
adalah salah satu penyebab kurang berhasilnya seseorang dalam
menempuh pendidikan, sebab motivasi itu menentukan penguatan,
tujuan, serta ketekunan belajar. Belajar akan menjadi beban dan
hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Seorang pelajar yang
memiliki motivasi belajar rendah tentu akan lebih senang berada di
luar kelas alias bolos. Belajar di kelas dianggap beban berat yang
membosankan. Rendahnya motivasi belajar seorang peserta didik
bukan suatu hal yang tanpa sebab, akan tetapi ada sebabnya, seperti
kurangnya motivasi atau semangat atau dukungan dari guru, sekolah,
dan teman- temannya, dari pihak keluarga terutama ayah dan ibu atau
saudara- saudaranya, dan juga berpangkal dari diri sendiri, kesehatan
pribadi dan reaksi- reaksi terhadap lingkungannya.
b) Faktor Penyebab Motivasi Belajar Rendah
1. Orang tua
Menurut Skinner (dalam Elida, 1989) bahwa motivasi
sangat ditentukan oleh lingkungannya. Lingkungan yang pertama
dan utama yang mempengaruhi motivasi anak adalah lingkungan
keluarga.
Lingkungan belajar yang menyenangkan mampu
meningkatkan motivasi anak. Untuk mewujudkan hal tersebut
orang tua harus mampu menciptakan keadaaan yang harmonis di
dalam keluarga agar meningkatnya motivasi belajar anak. Namun
sebaliknya, jika hubungan dalam keluarga tidak harmonis dapat
berdampak pada rendahnya motivasi belajar anak.
Suteja (1995) menjelaskan bahwa orang tua yang selalu
menuntut anak untuk berprestasi tinggi tanpa memperhatikan
kemampuannya dapat mengakibatkan anak-anak kehilangan
kesukaannya terhadap belajar. Setiap orang tua pasti punya harapan
kepada anak-anaknya. Bila harapan orang tua terlalu tinggi maka
akan menjadi beban berat untuk anaknya. Akhirnya si anak akan
merasa terbebani dengan target dari orang tuanya. Ada juga orang
tua yang terlalu rendah membuat harapan untuk anaknya. Hal ini
akan mengakibatkan si anak kurang termotivasi untuk belajar giat
karena tak punya target yang tinggi. Begitu juga dengan sikap
orang tua yang masa bodoh terhadap pendidikan anaknya juga
dapat mengakibatkan rendahnya motivasi anak dalam belajar.
Kurangnya perhatian, dukungan, dan bimbingan dari orang
tua terhadap anaknya, seperti sikap orang tua yang terlalu sibuk
dengan pekerjaannya atau orang lain dapat menyebabkan turunnya
motivasi belajar anak.
Gottman (1998) dalam sebuah penelitiannya
mengungkapan bahwa anak-anak yang merasa dihormati dan
dihargai dalam keluarga-keluarga mereka lebih berhasil di sekolah,
mempunyai lebih banyak sahabat dan menempuh kehidupan yang
lebihsukses.
2. Guru
Kurangnya kompetensi yang dimiliki guru dalam mengajar
dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Sardiman (2012)
mengungkapkan sepuluh kompetensi guru tersebut, yaitu :
a. Menguasai bahan yang akan diajarkan.
b. Mengelola kegiatan belajar mengajar.
c. Memiliki keterampilan dalam pengelolaan kelas.
d. Menggunakan media pembelajaran dan buku sumber.
e. Menguasai dasar-dasar pendidikan.
f. Mampu mengatur interaksi dalam belajar mengajar.
g. Melakukan penilaian atas prestasi siswa.
h. Mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan di
sekolah.
i. Menyelenggarakan administrasi sekolah.
j. Mampu memahami prinsip-prinsip dalam mengajar dan mampu
menafsirkan hasil penelitian pendidikan, untuk digunakan
sebagai keperluan pengajaran.
Berdasarkan kompetensi guru tersebut, dapat dipahami
bahwa guru harus mampu mengatasi kesulitan belajar yang dialami
siswanya, karena jika kesulitan belajar tidak ditangani oleh guru
akan menyebabkan siswa tersebut ketinggalan materi pelajaran.
Hal ini akan menyebabkan rendahnya motivasi belajar siswa untuk
mempelajari materi selanjutnya.
3. Kondisi Sosial Ekonomi
Motivasi belajar siswa juga dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh Rosen (dalam Atkinson, 1978)
dalam penelitiannya terhadap siswa SMU yang berasal dari kelas
sosial yang berbeda, ia mengungkapkan bahwa motivasi untuk
berprestasi lebih tinggi dimiliki oleh siswa yang berasal dari
tingkatan sosial ekonomi menengah. Faktor lingkungan juga
mempengaruhi rendahnya motivasi belajar. Dengan siapa kita
bergaul menentukan akan menjadi apa diri kita nanti. Jika kita
bergaul dengan orang yang lebih suka menghabiskan waktu untuk
nongkrong, bermain-main, hura-hura dan sebagainya maka kita
akan terbawa. Belajar akan menjadi hal terakhir yang akan
dilakukan dan motivasipun menjadi rendah.
4. Aspek Psikis
Dimyati dan Mudjiono (1999) mengemukakan bahwa tinggi
rendahnya motivasi dapat dipengaruhi oleh aspek psikis yang ada
pada diri siswa, misalnya pengamatan, dan perhatian.
Pengamatan Sumadi (2012) mengemukakan bahwa
pengamatan adalah cara individu dalam mengenal objek yang ada
di sekitarnya dengan melihat, mendengar, membau, atau
mengecap. Dalam pengamatan dikenal adanya modalitas
pengamatan, yaitu hal-hal seperti melihat, mendengar, membau dan
mengecap.
Berdasarkan pengertian pengamatan, dapat dipahami bahwa
dalam melakukan pengamatan diperlukannya alat indera.
Terganggunya pancaindera pada siswa membuat siswa sulit
melakukan pengamatan yang diperlukan dalam belajar. Hal ini
dapat berdampak pada rendahnya motivasi belajar yang dimiliki
siswa, karena merasa berbeda dari teman-temannya yang lain.
Perhatian Abu (2003) menjelaskan perhatian adalah
aktifnya jiwa kepada suatu fokus tertentu baik yang berasal dari
dalam maupun diluar dirinya. Kurangnya perhatian siswa dalam
belajar mengindikasikan rendahnya motivasi belajar yang dimiliki
siswa tersebut.
5. Kondisi Diri Sendiri
Cita-cita dan kepercayaan diri mempengaruhi rendahnya
motivasi belajar. Tanpa cita cita, tak akan ada mimpi yang ingin
diwujudkan. Cita-cita adalah target yang harus dicapai dan arah
yang harus dituju. Untuk apa belajar jika tak ada cita yang
didamba. Itulah yang sering dialami sebagian orang sehingga
motivasi belajarnya menjadi rendah. Orang yang merasa dirinya
tidak pintar, telat mikir, dan sejenisnya akan segan ketika harus
belajar. Mereka tidak percaya diri dengan potensi yang dimiliki.
Apalagi ketika mereka membanding-bandingkan dengan
kemampuan teman-temannya yang dianggap lebih pintar. Perasaan
minder itu akan semakin berkembang dan membuat mereka
semakin malas belajar akhirnya motivasi belajar menjadi rendah.
c) Cara Mengatasi Motivasi Belajar Rendah
1. Cara mengatasi motivasi belajar rendah yang dapat dilakukan oleh
orang tua.
Orang tua selaku motivator belajar siswa di rumah dituntut untuk
senantiasa memberikan motivasi pada anaknya. Menurut Sri (2005:
23) menyatakan : Motivasi positif yang dapat diberikan orang tua
di rumah adalah :
1) Memotivasi yang menyenangkan
2) Menunjang fasilitas belajar
3) Membiarkan anak beraktifitas belajar karena kesadaran
sendiri dan bukan karena terpaksa
4) Membentuk motivasi berupa bimbingan, nasehat,
menunjukkan contoh aktivitas-aktivitas orang sukses,
pemberian fasilitas belajar, dan melengkapi buku
5) Memberikan penghargaan berupa pujian apabila anak
mendapat nilai tinggi, memberikan suasana keluarga yang
harmonis, dan menyenangkan
6) Memberikan dukungan berupa meluangkan waktu untuk
membaca buku psikologi pendidikan dan membesarkan
anak secara baik.
2. Cara mengatasi motivasi belajar rendah yang dapat dilakukan oleh
guru. Ada beberapa bentuk dan cara untuk mengatasi motivasi
belajar rendah dalam kegiatan belajar di sekolah, yaitu :
1) Memberikan penghargaan
Hamzah (2008) berpendapat bahwa penghargaan dapat
diberikan secara verbal. Pernyataan verbal diberikan atas hasil
belajar siswa yang bagus. Pernyataan tersebut seperti “Bagus
sekali”, Hebat” dan lainnya. Disamping menyenangkan siswa,
pernyataan verbal semacam ini juga mengandung makna
adanya terjalin interaksi yang baik antara guru dan siswanya.
Sementara itu, menurut Sardiman (2012) penghargaan
dapat diberikan pada siswa dalam bentuk angka. Angka
maksudnya dalam hal ini merupakan simbol dari keberhasilan
belajar siswa. Banyak siswa yang belajar justru karena ingin
mendapatkan nilai yang baik. Angka-angka yang baik bagi para
siswa dapat menjadi motivasi yang sangat kuat.
2) Saingan
Sardiman (2012) menyatakan bahwa saingan bisa dijadikan
alat untuk memotivasi siswa dalam belajar. Persaingan tersebut
dapat berupa persaingan individual maupun persaingan
kelompok, keduanya dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa.
Sehubungan dengan pendapat di atas, Hamzah (2008)
mengemukakan bahwa persaingan individual atau persaingan
dengan diri sendiri dapat dilakukan dengan memberi tugas
yang harus dikerjakannya sendiri. Sedangkan persaingan
kelompok, dapat dilakukan dengan membuat suasana
persaingan yang sehat diantara para siswa. Suasana yang dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan
kemampuannya dengan kemampuan temannya.
3) Ego-involment
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan
pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga
bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri adalah
sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting.
Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk
mencapai prestasi yang baik dan menjaga harga dirinya.
4) Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar berarti ada unsur kesengajaan dan ada
maksud untuk belajar. Hamzah (2008) menjelaskan bahwa
dalam meningkatkan motif belajar siswa dapat dilakukan
dengan menimbulkan rasa ingin tahu, memunculkan sesuatu
yang tak diduga oleh siswa, menjadikan tahap dini dalam
belajar mudah bagi siswa, menuntut siswa untuk menggunakan
hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya dan menggunakan
simulasi dan permainan yang berkaitan dengan pelajaran. Guru
sebaiknya menjelaskan manfaat dan tujuan dari pembelajaran
yang diberikan agar betul- betul dirasakan oleh peserta didik
hingga meningkatkan motivasi belajar siswa. Pemilihan bahan
pembelajaran dan penyajian data yang benar- benar
dibutuhkan oleh peserta didik dan bervariasi serta sesuai
dengan kemampuan peserta didik dan banyak memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk ikut andil atau
berpartisipasi dalam kelas tersebut akan menarik minat siswa
dan minat merupakan salah satu bentuk dari motivasi. Peserta
didik akan lebih merasa lebih semangat daripada hanya
sekedar mendengar saja (monoton).
5) Memberi tahu hasil
Sardiman (2012) mengemukakan jika siswa mengetahui
hasil pekerjaannya, apalagi yang berhubungan dengan
kemajuan belajarnya, maka hal tersebut akan mendorong siswa
untuk lebih giat belajar. Sejalan dengan itu Hamzah (2008)
menjelaskan bahwa memberitahukan hasil kerja siswa yang
telah dicapai dapat dilakukan dengan selalu memberitahukan
nilai dari setiap tugas. Dengan begitu, siswa dapat termotivasi
untuk mempertahankan nilainya yang sudah baik ataupun
termotivasi untuk memperbaiki lagi nilainya yang masih
kurang memuaskan.
6) Memberikan contoh yang positif
Untuk menggiatkan siswa dalam belajar, guru tidak hanya
memberi tugas, tetapi juga melakukan kontrol selama siswa
mengerjakan tugas tersebut.
7) Cara mengatasi motivasi belajar rendah yang dapat dilakukan
oleh guru pembimbing
Sri (2005: 22) menyatakan :Motivasi belajar oleh guru
pembimbing kepada siswa bimbingannya meliputi : standar
ketuntasan belajar, cara belajar yang tepat, kelengkapan buku
pelajaran, cara membagi waktu, cara konsentrasi belajar, teknik
menyelesaikan masalah pribadi dan sosial, menunjukkan cara
aktivitas belajar orang-orang yang sukses, keuntungan-
keuntungan yang akan didapat bagi mereka yang memiliki
prestasi belajar tinggi, menunjukkan cara mengenali bakat diri,
mengarahkan cara memilih pola karier akademik dan pekerjaan
yang tepat.
Itulah gambaran singkat mengenai cara mengatasi motivasi
belajar rendah yang dapat dilakukan guru pembimbing dalam
meningkatkan motivasi belajar siswa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh
siswa dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan”. Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan
dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan
dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya.
Ciri-ciri siswa yang memiliki masalah belajar siswa dapat dilihat dari
beberapa hal, yaitu keterampilan akademik, keterampilan dalam belajar,
sangat lambat dalam belajar, kurang motivasi dalam belajar, dan
berkebiasaan buruk dalam belajar.
Faktor yang menyebabkan timbulnya masalah dalam belajar
meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor
yang berasal dari dalam diri siswa, meliputi faktor psikologis dan
fisiologis. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar
diri siswa, meliputi faktor sosial yang meliputi lingkungan orang tua,
sekolah , serta masyarakat dan faktor non sosial yang meliputi sarana,
kurikulum, serta media pendidikan.
Jenis-jenis masalah belajar dalam pembelajarn matematika dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu phobia matematika
(Mathophobia / Math Anxiety), budaya mencontek, dan motivasi belajar
rendah.
3.2 Daftar Pustaka
Antyarubika. “Phobia Matematika”. 24 Maret 2016.
http://antyarubika.blogspot.co.id/2014/04/makalah-psikologi-
pendidikan.html
Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Ester. (2000) Phobia matematika. Skripsi IKIP Malang
Muhmasruri. “Phobia Matematika”. 24 Maret 2016.
http://muhmasruri-burhan-unnes.blogspot.co.id/2014/01/kiat-kiat-
mengatasi-phobia-dalam.html
Abdullah, Anisah. 2012. Kebiasaan Mencontek.
http://aceh.tribunnews.com.
Alhadza, Abdullah. 2004. Makalah mencontek (Cheating) di Dunia
Pendidikan. http : //www.depdiknas.go.id/Jurnal
Megawangi, Ratna. 2005. Indonesia Merdeka Manusia Indonesia
Merdeka?. http://www.suarapembaruan.com
Poedjinoegroho, Baskoro. 2006. Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor.
http://ilman05.blogspot.com.
Rakasiwi, Agus. 2007. Nyontek, Masuk Katagori “Kriminogen”.
http://www.pikiran-rakyat.com.
Sujinalarifin. 2009. Mencontek, Penyebab dan Penanggulangannya.
http://sujinalarifin.wordpress.com/2009.
Vegawati, Dian., Oki, Dwita.,P.S., Noviani, Dewi, Rina. 2004. Perilaku
Mencontek di Kalangan Mahasiswa. http://www.pikiran-
rakyat.com.
Widiawan, Kriswanto. 1995. Mencontek Jadi Budaya Baru.
http://www1.bpkpenabur.or.id/kwiyata.
Usman, Basyyiruddin-Asnawir, Media Pendidikan, Jakarta : Ciputat Pers,
Juni 2002.
Wijaya, Cece. Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran.
Bandung : Remadja Karya CV, 1988.
Sofah, Rahmi. 2005. Bahan Ajar Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas