stevens johnson syndrome
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUANMALARIA
Disusun Oleh:John Maulana S
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATANSTIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN
GENGGONG – PROBOLINGGO2013
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Sindrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel / bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit,
selaput lendir yang oritisium dan dengan keadaan omom bervariasi dan
baik sampai buruk. ( Mansjoer, A, 2000 : 136 )
Sindrom Steven Johnson adalah Syndrom yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat
disertai purpura.( Djuanda, 2001 : 107 ).
1.2 Insidensi
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi
hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat
timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak
dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang
menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada
mulut, mata, anus,dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti
keropeng pada kulit.
1.3 Etiologi
Penyebab dari penyakit SJS ini belum diketahui dengan pasti, namun
beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :
No Etiologi Keterangan
1. • Infeksivirus jamur
• Bakteri
• Parasit
• Herpes simpleks,
Mycoplasma pneumoniae,
vaksinia
koksidioidomikosis,
histoplasma.
• streptokokus,
Staphylococcs
haemolyticus,
Mycobacterium
tuberculosis,
salmonella
• Malaria
2. Obat salisilat, sulfat, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
3. Makanan Cokelat
4. Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X
5. Lain – lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
1.4 Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat
juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut
(100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%)
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk
pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta
berwarna hitam yang tebal.
4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius
bagian atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita
sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernafas.
5. Kelainan mata
Konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis ,
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit
dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya: nefritis dan onikolisis.
7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
1.5 Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas
yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh
beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini
ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.
Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik
yang dapat diidentifikasi.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ
sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda,
2000: 147) .
1. Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T
penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel
ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuknya.
1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter
dalam menegakkan diagnosa.
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah
putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar
sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial
berat.
3. Determine renal function and evaluate urine for blood.
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan
7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.
1.7 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid
merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi
dalam beberapa hari. Pasien steven Johnson berat harus segera dirawat dan
diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi,
keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami
involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti
dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan
keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan
lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan
kira-kira 10 hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan
pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi,
misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet
rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan
alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin
dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya
glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura
yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
5. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim
sulfadiazine perak.
BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
STEVENS JOHNSON SYNDROME
2.1 Pengkajian
1. Identitas klien dan penanggung jawab
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri seperti panas terbakar pada kulit(prioritas
utama yang dikeluhkan klien / yang mengancam jiwa klien)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengalami eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura dan
terbentuk krusta pada bibir. Riwayat perjalanan penyakit sehingga
klien dirawat di rumah sakit (Setelah ia mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh bidan, 2 hari yang lalu). Pada pemeriksaan mata,
didapatkan kelainan mata kongjungtivitis.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien belum pernah mengalami sakit seperti yang dialami pada saat
ini dan klien mempunyai riwayat alergi pada obat-obatan tertentu.(
salisilat, sulfat, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin,
analgetik/antipiretik).
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga klien tidak ada keluarga yang menderita penyakit
seperti yang dialami klien saat ini.(kaji riwayat kesehatan
keluarga,apakah keluarga klien ada yang menderita sakit seperti
yang dialami oleh klien).
3. Pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji kebutuhan nutrisi klien meliputi pola makan klien, makanan
kesukaan, komposisi, porsi makan, antopometri biasanya
didapatkan penurunan berat badan dan penurunan LLA, biocamical
terdapat hasil pemeriksaan hb dan ht menurun kemudian
peningkatan leukosit,clinical sign didapatkan mukosa bibir kering,
konjungtiva anemis turgor kulit jelek, dan diit makanan cair.
b. Pola aktivitas
Kaji aktifitas klien dan rentang ketergantungannya latihan seperti
makan, minum, mobilitas, mandi, dan berpakaian
c. Pola istirahat dan tidur
Dengan keluhan sakitnya tersebut apakah klien mengalami
gannguan tidur dan pola tidurnya, seperti terbangun dimalam hari
karena rasa nyeri yang timbul
d. Pola persepsi sensori dan kognitif
Kaji tentang pengindraan, pada penderita steven jhonson kaji indra
penglihatannya dan pengecapannya. Biasanya didapatkan
konjungtivitis pada indra penglihatannya dan krusta pada
mulutnya/ indra pengecapan, sehingga klien mengalami gangguan
persepsi sensori dan kesulitan menelan
1. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala: Rambut halus/kasar, simetris, kelainan kulit kepala jarang
terjadi (vesikula, purpura, eritema), nyeri yang muncul biasanya
karena kelainan kulit yang terjadi di kepala.
b. Leher : eritema dan kelainan kulit yang lain mungkin terjadi,
kesulitan menelan yang diakibatkan kelainan mukosa(stomatitis),
gangguan jalan nafas karena adanya pseudomembran faring.
c. Mata : penglihatan kabur buram, conjungtiva anemis kelainan
mata kongjungtivitis , mata berair, edema ,mata terasa gatal,
menganjal, pedih, dan lengket.
d. Mulut : kotor, terdapat krusta, mukosa bibir kering, terdapat
bula dan purpura
e. Hidung : kelainan selaput lendir pada meatus jarang terjadi.
f. Thoraks: respirasi abnormal yang diakibatkan kesulitan bernafas.
Wheezing ataupun ronchi jarang ditemukan.
g. Abdomen : nafsu makan menurun diakibatkan sukarnya menelan,
malaise, dan penurunan berat badan mungkin terjadi.
h. Genetalia : kelainan pada lubang kelamin. Kelainan pada anus
jarang terjadi.
i. Ekstremitas : klien umumnya mampu dalam pergerakan yang aktif.
Nyeri yang berulang membuat klien enggan beraktivitas sehingga
pergerakan ekstremitas jarang dilakukan.
j. Kulit : sawo matang(warna kulit), turgor kulit jelek, kering ,
eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura dan ada pula yang disertai
tanda-tanda infeksi.
I : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, faktor
P : Turgor kulit, edema
( Brunner and Suddarth, 2001 )
2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit.
2. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
5. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
2.3 Intervensi Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam nyeri
berkurang atau hilang.
K.H : - melaporkan nyeri berkurang
- menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
- skala nyeri 0-3
Intervensi :
1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya
keterlibatan jaringan
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang
sakit, kompres hangat atau dingin sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan
kelelahan umum
3. Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk
memaksimalkan efek obat
4. Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional: analgetik mampu mengurangi rasa nyeri.
2. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2x24 jam diharapkan inflamasi
dermal dan epidermal berkurang.
K.H : menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh, tidak ada
eritema, turgor kulit < 2 det, tidak ada edema, tidak ada gatal-gatal
Intervensi :
1. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta
perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional:Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status
dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat. Untuk
mencegah infeksi lebih lanjut
2. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
Rasional : menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari
baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat
proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
3. Jaga kebersihan alat dan ajarkan klien tehnik aseptic.
Rasional : tehnik aseptic dapat mencegah infeksi
4. Kolaborasi dengan tim medis.
Rasional : penanganan yang tepat dengan orang yang tepat
mencegah infeksi lebih lanjut
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2x24 jam nafsu makan
meningkat.
K.H : menunjukkan berat badan yang stabil/peningkatan berat
badan
Intervensi :
1. Beri makanan cair
Rasional: makanan cair memudahkan klien untuk menelan
2. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai.
Rasional : memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol,
meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat
memperbaiki pemasukan
3. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : Membantu mencegah distensi gaster /
ketidaknyamanan.
4. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : makanan hangat mampu meningkatkan nafsu makan
5. Kerja sama dengan ahli gizi.
Rasional : kalori protein dan vitamin untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan
dan mendorong regenerasi jaringan.
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2x24 jam aktivitas kembali
normal
K.H : klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi :
1. Kaji respon individu terhadap aktivitas. Libatkan keluarga
dalam pemenuhan aktivitas
Rasional : Mengetahui tingkat kemampuan individu dalam
pemenuhan aktivitas sehari-hari. Klien mendapat dukungan
psikologi dari keluarga.
2. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan
tingkat keterbatasan yang dimiliki klien.
Rasional : pembatasan aktivitas menghasilkan energi yang
dikeluarkan lebih optimal
3. Jelaskan pentingnya pembatasan energi.
Rasional : energi penting untuk membantu proses metabolisme
tubuh
5. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2x24 jam penglihatan kembali
normal.
K.H : klien menyadari hilangnya penglihatan secara permanen
Intervensi :
1. Catat ketajaman pengelihatan Berikan bahan-bahan bacaan dan
tulisan yang besar
Rasional: Menentukan kemampuan visual dan mengurangi
ketergantungan
2. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional: Memberikan keakuratan terhadap pengelihatan dan
perawatan.
3. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan.
Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi
ketergantungan.
4. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional : Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan
pengelihatan menurun.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : antibiotic mengurangi resiko peradangan lebih lanjut.
2.4 Evaluasi
1. Inflamasi dermal dan epidermal berkurang
2. Nyeri berkurang / hilang
3. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
4. Tidak terjadi komplikasi
5. Peningkatan toleransi aktivitas
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syndrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri
dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis dengan keadaan umum
bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema,
vesikel / bula dapat disertai purpura. Penyebab dari penyakit SJS ini belum
diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab infeksi virus, jamu, bakteri, obat, makanan, dan lain-lain. sindrom
ini terlihat adanya trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput
lendir, kelainan mukosa, kelainan mata. Adapun diagnosanya berupa
gangguan integritas kulit, nyeri, gangguan nutrisi, gangguan intoleransi
aktivitas, gangguan persepsi sensori.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok menyadari masih minimnya
bahan yang kelompok gunakan untuk menyusun makalah ini. Untuk itu
kelompok menyarankan supaya ada pihak lain dapat membahas masalah ini
lebih mendalam mengenai masalah ini. Dan tentunya bagi perawat yang
melakukan asuhan keperawatan diharapkan harus menganalisa keadaan
pasien dengan baik dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 2000. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Obat, infeksi mikroorgnisme, neoplasma, faktor fisik, makanan.
Reaksi alergi tipe III Reaksi alergi tipe III
Terbentuk kompleks antigen & antibodi
Terjebak dlm pemb. Kapiler
Membentuk mikro-presipitasi
Sistem komplemen teraktivasi
Akumulasi neutrofil
Melepas lisozim
Kerusakan jaringan/organ
Sel tak aktiif
Kembali ke antigen
Melepas limfosit
Reaksi inflamasi
Neutrofil tertarik kedaerah
Fagosit sel-sel rusak
Inflamasi berlanjut
Edema mata
Penglihatan terganggu
G3 persepsi sensori
Kelainan selaput lendir
Kerusakan mukosa mulut
Resepto nyeri terlepas
Nyeri akut
Eritema dan ulkus
G3 integritas kulit
G3 pemenuhan nutrisi