lp cedera kepala

Upload: madeanawijaya

Post on 09-Mar-2016

106 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Cedera Kepala

TRANSCRIPT

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi/Pengertian

Trauma kepala atau trauma kapitis atau cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2006).

Trauma kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen (PERDOSI, 2007).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Handaya, 2011).

2. Etiologi

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois & Thomas, 2006).

Menurut Coronado & Thomas (2007), kiecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat.

Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:a. Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

b. Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.

c. Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

Beberapa mekanisme yang terjadi pada trauma kepala adalah seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak, dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.

3. Gejala Klinis

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:a. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

Battle sign (warna biru atau ekhimosis di belakang telinga di atas osmastoid)

Hemotimpanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga)

Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan: Kesadaran menurun selama beberapa saat kemudian sembuh

Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan

Mual atau dan muntah

Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun

Perubahan keperibadian diri

Letargik

c. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat: Perubahan ukuran pupil (anisokoria)

Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas

Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk mempergunakan percakapan kongnitif yang tinggi, hemianoksia, hemiparesis, kelainan pupil, pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan bicara, hipoksia, hipotensi sistemik, hilangnya autoregulasi aliran darah, inflamsi, edema, peningkatan ICP yang terjadi dalam waktu singkat (Price, 2006).

Menurut Corwin (2006), tanda-tanda trauma kepala, antara lain:

Pada gegar otak, kesadaran sering kali menurun Pola nafas abnormal (dangkal) Sakit kepala, vertigo

Muntah akibat peningkatan TIK Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat terjadi dengan segera atau secara lambat Amnesia Kebingungan

Mengantuk

Cemas

Suara nafas snoring Takikardi

TD meningkat/menurun

Akral dingin dan pucat

Suara nafas tambahan

Reaksi pupil tidak ada

Terdapat perdarahan

Terdapat kontusio, laserasi, serta abrasi pada kepala

Kaku kudukSesuai dengan lokasi perdarahannya, gejala dan tanda dari cedera kepala adalah:

a. Epidural hematomaTanda dan gejalanya adalah penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.b. Subdural hematomaTanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

c. Perdarahan intraserebralTanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.

d. Perdarahan subarachnoidTanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

Gambar 3: Gejala pada Cedera Kepala4. Klasifikasi

Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala, serta berdasar morfologi (American College of Surgeon Committe on Trauma, PERDOSSI, 2007).1. Berdasarkan Mekanisme

a. Trauma Tumpul

Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).

b. Trauma Tembus

Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.

2. Berdasarkan Beratnya Cedera

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaianGlasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Cedera kepala ringan

GCS 13 15

Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 30 menit

Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral, dan hematoma

Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis.

b. Cedera kepala sedang

GCS 9 - 12

Saturasi oksigen > 90 %

Tekanan darah systole > 100 mmHg

Lama kejadian < 8 jam

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam

Dapat mengalami fraktur tengkorak

Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.

c. Cedera kepala berat

GCS 3 8

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam

Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya makareaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.

Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat

Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

3. Berdasarkan Morfologi

a. Cedera kulit kepala

Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial. b. Fraktur Tengkorak

Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur di daerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batles sign, lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII dan NVIII (Kasan, 2009).

c. Cedera Otak

1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)

Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cedera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cedera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cedera (amnezia retrograde dan antegrad).

2) Contusio Cerebri (Memar Otak)

Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cedera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).3) Perdarahan Intrakranial

Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.

Subduralis haematomaSubduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggi sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).

Subrachnoidalis Haematoma

Terjadi karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysma (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

Intracerebralis Haematoma

Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.

4. Berdasarkan Patofisiologi

a. Cedera kepala primer

Cedera yang terjadi akibat langsung dan trauma

1) Kulit : Vulnus laserasi Hemaroma subkutan, hematoma sub galeal.

2) Tulang: Fraktur linear, Fraktur basis krani, Fraktur inpresi (tertutup dan terbuka).3) Otak: cedera otak primer : robekan dural, consutio ringan, kontusio sedang, berat: fokal dan difus laserasi atau robekan.b. Cedera kepala sekunder

Cedera otak sekunder, cedera yang disebabkan komplikasi atau cedera sekunder lain seperti: oedema otak, hipoksia otak, kelainan metabolik, kelainan saluran napas atau pernapasan, hipotensi atau syok.

1) Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal: kecelakaan, dipukul dan terjatuh.

2) Trauma saat lahir misal: sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacuum

Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala seperti hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

Gambar 2. Klasifikasi Lesi Intra Cranial

5. Patofisiologi

Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan (Price dan Wilson, 2006). Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis cedera kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Corwin, 2006).

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

Gambar 2. Coup dan Countrecoup Pada Cedera KepalaCedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan, atau hemoragi. Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas. Jika hal tersebut terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan perdarahan, baik perdarahan intrakranial maupun perdarahan ekstrakranial. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Di samping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas.

Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator histamin, bradikinin, prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke korteks serebri sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.

6. Komplikasi

Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2007), sebagai berikut:

1) Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala tertutup.

2) Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.

3) Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.

4) Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukan resiko meningkat untuk kejang lanjut dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.

Menurut Handaya (2011), komplikasi trauma kepala, antara lain:

a. KomaPenderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state. Penderita pada masa vegetative state sering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh.b. KejangPenderita yang mengalami cedera kepala dapat mengalami sekurang-kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Keadaan ini dapat berkembang menjadi epilepsi.

c. InfeksiFaktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain.

d. Kerusakan sarafCedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis, sehingga terjadi paralisis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.

e. Hilangnya kemampuan kognitifBerfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran.

f. Edema serebriPada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.g. TIK meningkat

h. Cephalgia memberat

i. Kesadaran menurun

j. Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparesek. Sindrom pasca traumaDapat berupa : palpitasi, hidrosis, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.7. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang pada penderita trauma kepala adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan laboratorium

AGD: untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub arakhnoid. Kimia elektrolit darah: mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.

b. Radiology

CT Scan (tanpa atau dengan menggunakan kontras): CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.

Menurut Corwin (2006) dan Mansjoer (2007), penatalaksanaan trauma kepala, meliputi: Menilai jalan nafas seperti bersihkan jalan nafas dari muntahan. Menilai pernafasan, tentukan apakan pasien bernafas spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker. Menilai sirkulasi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arteri. Pasang alat pemantau dan EKG. Dilakukan pembersihan/debridement (pengeluaran benda asing) dan sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka). Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika. Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial termasuk pemberian diuretik dan anti inflamasi. Lakukan pengkajian neurologik

1) Fungsi serebral (kesadaran, orientasi, memori, bicara)

2) TTV (TD, nadi)

3) Pupil (isokor,anisokor)

4) Fungsi motorik dan sensorik

Pantau adanya komplikasi

1) Pantau TTV dan status neurologis dengan sering

2) Periksa adanya peningkatan TIK

3) Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga

Berikan klien air putih hangat sesuai kebutuhan jika tidak ada kontraindikasi.

Lakukan suction bila perlu.

Lakukan pemasangan selang orofaringeal sesuai indikasi.

Berikan oksigen dengan metode yang tepat.

Anjurkan pasien untuk tidak menekuk lututnya atau fleksi, batuk, bersin, dan mengejan (valsava maneuver) (Corwin, 2006; Arif Mansjoer, 2007).Penatalaksanaan cedera kepala menurut Plantz (2008):

Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi. Dengan diberikan tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat mengakibatkan vasokontriksi cerebral dan membantu menurunkan TIK. Namun bila hiperventilasi ini diberikan secara berlebihan dapat mengakibatkan penurunan perfusi cerebral. Penanganan kejang: kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau tanpa benzoidiazepines

Penanganan luka pada kulit kepala: berikan irigasi yang berlebih, penekanan harus diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka ditutup dengan jaritan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian yang dilakukan terhadap pasien cedera kepala di ruang gawat darurat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pengkajian primer (primer assessment) dan pengkajian sekunder (secondary assessment). Data dapat diperoleh secara primer (klien) dan secara skunder (keluarga, saksi kejadian/pengirim, tim kesehatan lain).

a. Primer assessment/primer survey:

1) Data subyektif:

Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).

Keluhan utama: bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?

Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam), lokasi/tempat mengalami cedera.

Mekanisme cedera: bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi cedera.

Allergi (alergi): apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.

Medication (pengobatan): apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan terhadap penyakit tertentu. Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?

Last Oral Intake (makan terakhir): kapan waktu makan terakhir sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.

Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): apakah pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?

2) Data obyektif:

Airway/C-spine: obstruksi jalan nafas berupa darah/muntahan, lidah jatuh ke belakang, bunyi nafas (stridor, ronkhi, wheezing).

Breathing/pernafasan: tachipnea, penggunaan otot bantu pernafasan, dispnea sampai apnea, bisa berupa nafas chyene stokes, kusmaul, sianosis, penurunan saturasi oksigen.

Circulation/sirkulasi: perdarahan kulit kepala, perdarahan intra cranial, pucat, akral dingin, CRT lambat, denyut nadi lemah/tak teraba, bradikardi/takikardi diselingi disritmia, hipotensi.

Disability: kesadaran compos mentis atau menurun sampai koma, GCS 95% = normal)

b. Breathing

Amati pergerakan dinding dada, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan nafas atau tidak.c. Circulatation

Lihat adanya perdarahan eksterna/interna Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress, Elevation (istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan) Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi, sianosis, pulsus arteri distal Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan trauma kepala dilakukan penanganan dengan agresif. Apabila pasien kekurangan cairan, berikan cairan kristaloid dan koloid dengan perbandingan 3:1 hingga MAP pasien lebih dari sama dengan 95. Kristaloid dan koloid diberikan dalam suhu 390C.

d. Susunan Saraf Pusat (disability) Cek kesadaran

Adakah cedera kepala?

Adakah cedera leher? Perhatikan cedera pada tulang belakang

e. Kontrol Lingkungan (Exposure/ environmental ) Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah hipotermi/kedinginan Secondary survey

Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe) yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.Anamnesis :

Riwayat AMPE yang harus diingat yaitu :

A : Alergi

M : Medikasi (obat yang diminum sebelumnya)

P : Past illness (penyakit sebelumnya)/Pregnancy (hamil)E : Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)

Pemeriksaan fisik:

1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh

a. Posisi saat ditemukan bahwa pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal

b. Nilai tingkat kesadaran dengan mengajak berbicara lalu hitung GCS pasienc. Sikap umum dan keluhan untuk mengambil tindakan yang tepatd. Cek adanya trauma ataupun kelainane. Observasi keadaan kulit2. Periksa kepala dan leher

a. Rambut dan kulit kepala

Perlihatikan ada tidaknya perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan

b. Telinga

Amati adanya perlukaan, darah, cairan

c. MataPerlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya benda asing, pergerakan abnormal

d. Hidung

Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma

e. Mulut

Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak

f. Bibir

Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering

g. Rahang

Perlukaan, stabilitas, krepitasi

h. Kulit

Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna

i. Leher

Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher3. Periksa dadaFlail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan (luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas.4. Periksa perutPerlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi.5. Periksa tulang belakang

Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot.6. Periksa pelvis/genetalia

Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia.7. Periksa ekstremitas atas dan bawah

Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi, warna luka.8. Pemeriksaan Neurologis Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari :

GCS

Reflek cahaya pupil

Gerakan bola mata

Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf

Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis

Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang

Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik. Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita. Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah. Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.2. Diagnosa Keperawatan1) Bersihan jalan nafas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus atau benda asing ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum, lidah jatuh ke belakang, ronchi, stridor, perubahan ritme dan frekuensi napas, RR >20 x/mnt.2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien ( diatas normal > 16 20x/menit ), pernapasan dangkal, dispnea, penggunaan otot bantu napas, retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung.3) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, tekanan darah klien meningkat, mual, muntah, gelisah, penurunan kesadaran dan GCS, nyeri kepala.4) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif akibat perdarahan eksternal dan internal, mual dan muntah.5) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik: trauma pada kepala ditandai dengan keluhan nyeri secara verbal skala 1-10, gelisah, memegangi area yang sakit, berhati hati menggerakkan bagian yang sakit, meringis, peningkatan TTV (TD > 130/90mmHg, N >100 x/menit, RR > 20 X/menit, S > 37,5oC), diaphoresis, dilatasi pupil.6) Nausea berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan adanya keluhan mual, klien mengeluh rasa asam di mulut, hipersalivasi, berkeringat dingin, mengeluh ingin muntah, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan.7) Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat.3. Intervensi Keperawatan1) Bersihan jalan nafas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus atau benda asing ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum, lidah jatuh ke belakang, ronchi, stridor, perubahan ritme dan frekuensi napas, RR >20 x/mnt.Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..... x 24 jam diharapkan bersihan jalan napas efektif, dengan kriteria hasil:

Respiratory status: airway patency (status pernapasan: kepatenan jalan napas)

Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no deviation from normal range) Irama pernapasn normal (skala 5 = no deviation from normal range) Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range) Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif (skala 5 = no deviation from normal range) Tidak ada akumulasi sputum (skala 5 = none)Intervensi:

Airway Management:a) Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi, wheezing.Rasional: bunyi ronchi menandakan terdapat penumpukan sekret atau sekret berlebih di jalan nafas.b) Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dispnea.

Rasional: posisi memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernapasan. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke jalan nafas besar untuk dikeluarkan.

c) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan penghisapan sesuai keperluan.

Rasional: mencegah obstruksi atau aspirasi. Penghisapan dapat diperlukan bia klien tak mampu mengeluarkan sekret sendiri.

d) Lakukan finger swabRasional : Membersihkan obstruksi benda asing dari jalan nafas.e) Lakukan jaw thrus atau head tilt chin liftRasional : Mempertahankan jalan napas apabila dicurigai adanya cedera servical.f) Lakukan pemasangan OTT bila diperlukanRasional : Membantu mempertahankan kepatenan jalan napas.g) Bantu klien untuk batuk dan nafas dalam.

Rasional: memaksimalkan pengeluaran sputum.

h) Ajarkan batuk efektif.

Rasional: membantu mempermudah pengeluaran sekret.

i) Anjurkan asupan cairan adekuat.

Rasional: mengoptimalkan keseimbangan cairan dan membantu mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan.

j) Kolaborasi pemberian oksigen.

Rasional: meringankan kerja paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

k) Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.

Rasional: broncodilator meningkatkan ukuran lumen percabangan trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.

2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien (diatas normal > 16 20x/menit ), pernapasan dangkal, dispnea, penggunaan otot bantu napas, retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung.Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 10 menit diharapkan pola nafas klien efektif, dengan kriteria hasil:

a. Status pernapasan: ventilasi

-Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)

-Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan (skala 5 = no deviation from normal range)

-Tidak tampak retraksi dinding dada (skala 5 = no deviation from normal range)

b. Tanda-tanda vital

-Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no deviation from normal range)Intervensi

Monitoring respirasi

a. Pantau RR, irama dan kedalaman pernapasan pasien

Rasional: Ketidakefektifan pola napas dapat dilihat dari peningkatan atau penurunan RR, serta perubahan dalam irama dan kedalaman pernapasan.

b. Pantau adanya penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada pada pasien

Rasional : Penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada menunjukkan terjadi gangguan ekspansi paru

Memfasilitasi ventilasi

a. Berikan posisi semifowler pada pasien

Rasional : Posisi semifowler dapat membantu meningkatkan toleransi tubuh untuk inspirasi dan ekspirasi

b. Pantau status pernapasan dan oksigen pasien

Rasional : Kelainan status pernapasan dan perubahan saturasi O2 dapat menentukan indikasi terapi untuk pasien

c. Berikan dan pertahankan masukan oksigen pada pasien sesuai indikasi

Rasional : Pemberian oksigen sesuai indikasi diperlukan untuk mempertahankan masukan O2 saat pasien mengalami perubahan status respirasi.

3) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, tekanan darah klien meningkat, mual, muntah, gelisah, penurunan kesadaran dan GCS, nyeri kepala.Tujuan :Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan status neurologis klien dengan kriteria hasil :

Perfusi jaringan serebral: Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial (skala 5 = no deviation from normal range) Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg) (skala 5 = no deviation from normal range) Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg) (skala 5 = no deviation from normal range) Tidak ada sakit kepala (skala 5 = none) Tidak ada gelisah (skala 5 = none) Tidak ada agitasi (skala 5 = none) Tidak ada syncope (skala 5 = none) Tidak ada muntah (skala 5 = none) Tidak ada gangguan kognisi (skala 5 = none)Intervensi :Cerebral Perfusion Promotiona. Pantau tingkat kerusakan perfusi jaringan serebral, seperti status neurologi dan adanya penurunan kesadaran.

Rasional: kegagalan perfusi jaringan serebral dapat mempengaruhi status neurologi dan tingkat kesadaran klien.

b. Konsultasikan dengan dokter untuk menentukan posisi kepala yang tepat (0, 15, atau 30 derajat) dan monitor respon klien terhadap posisi tersebut.

Rasional : posisi yang tepat dapat membantu memperlancar aliran darah ke otak sehingga nutrisi dan O2 ke otak adekuat.

c. Monitor status respirasi (pola, ritme, dan kedalaman respirasi; PO2, PCO2, PH, dan level bikarbonat)

Rasional : status respirasi dapat menjadi indikator keadekuatan perfusi oksigen ke otak.

d. Monitor nilai lab untuk perubahan dalam oksigenasi

Rasional : oksigenasi yang tidak adekuat dapat menurunkan perfusi oksigen ke otak.

Oxygen Therapy

a. Pertahankan kepatenan jalan nafas.

Rasional: mempertahankan kepatenan jalan napas bertujuan untuk mencegah terputusnya aliran oksigen ke otak sehingga mencegah terjadinya hipoksia jaringan otak.

b. Monitor aliran oksigen.

Rasional: untuk mempertahankan masukan oksigen adekuat sesuai dengan kebutuhan.

c. Monitor posisi kenyamanan klien (semifowler 15-350).

Rasional: posisi yang nyaman diperlukan untuk menjaga kontinuitas masukan oksigen.

Vital Signs Monitoringa. Monitor tanda-tanda vital

Rasional: memonitor tanda-tanda vital penting untuk mengetahui keadaan umum dan status keefektifan perfusi jaringan.

b. Ukur tekanan darah ketika klien tidur, berbaring, sebelum dan sesudah berubah posisi.

Rasional: pengukuran tekanan darah pada berbagai posisi dibutuhkan untuk mengetahui perubahan tekanan darah ortostatik.

c. Ukur tekanan darah setelah klien mendapatkan medikasi/terapi.

Rasional: pengukuran tekanan darah setelah mendapatkan terapi/medikasi penting untuk mengetahui keefektifan terapi.

d. Ukur tekanan darah, nadi, dan respirasi sebelum, selama, dan setelah beraktivitas. Rasional: mengetahui reaksi tubuh klien terhadap aktivitas sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya

4) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif akibat perdarahan eksternal dan internal, mual dan muntah.Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam diharapkan kebutuhan cairan klien terpenuhi, dengan kriteria hasil:a) Fluid balance (keseimbangan cairan)

Turgor kulit elastic

Mukosa bibir lembab

Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5C )

Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg) Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)

Klien tidak mengeluh haus

b) Blood loss severity (kehilangan banyak darah)

Klien tidak mengalami hematuria

Tidak terjadi perdarahan vagina

Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg)

Membran mukosa tidak pucat

Hb dalam batas normal ( > 11 )

Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5C )

Intervensi

Fluid management

a. Kaji tanda tanda vital klien

Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi.b. Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).

Rasional : Indikator langsung keadekuatan volume cairan,

c. Anjurkan klien untuk banyak minum

Rasional : menggantikan cairan yang keluar sehingga dapat membantu memulihkan keseimbangan cairan tubuh klien

d. Kolaborasi pemberian cairan tambahan IV sesuai keperluan

Rasional : Adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.Shock prevention

a. Pantau status sirkulasi seperti tekanan darah, perubahan warna kulit, temperatur kulit, irama jantung, nadi dan CRT.

Rasional : Mengetahui tingkat sirkulasi klien sehingga mempermudah pencegahan syok.b. Pantau intake dan output klien

Rasional : Mengetahui tingkat balance cairan sebagai indikator pencegahan syokc. Pantau suhu tubuh dan status RR klien

Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi.d. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium seperti tingkat hemoglobin, hematokrit, elektrolit

Rasional : menentukan tingkat cairan dalam tubuh, e. Pantau kondisi membran mukosa klien

Rasional : membran mukosa merupakan salah satu bagian tubuh yang cepat menunjukkan tingkat kekurangan cairan5) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik: trauma pada kepala ditandai dengan keluhan nyeri secara verbal skala 1-10, gelisah, memegangi area yang sakit, berhati hati menggerakkan bagian yang sakit, meringis, peningkatan TTV (TD > 130/90mmHg, N >100 x/menit, RR > 20 X/menit, S > 37,5oC), diaphoresis, dilatasi pupil.Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam diharapkan nyeri terkontrol, dengan kriteria hasil:

a. Pain level (level nyeri): Klien melaporkan nyeri berkurang RR dalam batas normal (16-20 kali/menit) Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit) Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg) b. Pain control ( kontrol nyeri ) : Klien dapat mengenali onset nyeri

Klien dapat mendeskripsikan faktor-faktor penyebab nyeri

Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen nyeri non farmakologis

Klien menggunakan analgesik sesuai rekomendasi.

Klien melaporkan nyeri terkontrol.

Intervensi:

Pain management

a. Lakukan pengkajian yang komprehensif terhadap nyeri, meliputi lokasi, karasteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, serta faktor-faktor yang dapat memicu nyeri.

Rasional: pengkajian berguna untuk mengidentifikasi nyeri yang dialami klien meliputi lokasi, karasteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri serta faktor-faktor yang dapat memicu nyeri klien sehinggga dapat menentukan intervensi yang tepat.

b. Observasi tanda-tanda non verbal atau isyarat dari ketidaknyamanan.

Rasional: dengan mengetahui rasa tidak nyaman klien secara non verbal maka dapat membantu mengetahui tingkat dan perkembangan nyeri klien.

c. Gunakan strategi komunikasi terapeutik dalam mengkaji pengalaman nyeri dan menyampaikan penerimaan terhadap respon klien terhadap nyeri.

Rasional: membantu klien dalam menginterpretasikan nyerinya.

d. Kaji tanda-tanda vital klien.

Rasional: peningakatan tekanan darah, respirasi rate, dan denyut nadi umumnya menandakan adanya peningkatan nyeri yang dirasakan.

e. Kontrol faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.

Rasional: membantu memodifikasi dan menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan klien.

f. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri non farmakologi, (mis: teknik terapi musik, distraksi, guided imagery, masase dll).

Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien, serta membantu klien untuk mengontrol nyerinya.

g. Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.

Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien.

6) Nausea berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan adanya keluhan mual, klien mengeluh rasa asam di mulut, hipersalivasi, berkeringat dingin, mengeluh ingin muntah, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan.Tujuan:Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam diharapkan menunjukkan penurunan derajat mual dan muntah, dengan out come :

a. Nausea and vomiting severity (keparahan mual muntah)

Klien mengatakan tidak ada mual (skala 5 = none) Klien mengatakan tidak muntah (skala 5 = none) Tidak ada peningkatan sekresi saliva (skala 5 = none)b. Appetite (nafsu makan)

Menunjukkan peningkatan nafsu makan, dengan kriteria hasil :

Keinginan klien untuk makan meningkat (skala 5 = not compromised) Intake makanan adekuat (porsi makan yang disediakan habis) (skala 5 = not compromised) Intake cairan adekuat (skala 5 = not compromised)Intervensi :

Nausea management

a. Dorong klien untuk mempelajari strategi untuk memanajemen mual

Rasional: Dengan mendorong klien untuk mempelajari strategi manajemen mual, akan membantu klien untuk melakukan manajemen mual secara mandiri.

b. Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan, factor frekuensi, presipitasi yang menyebabkan mual.

Rasional: Penting untuk mengetahui karakteristik mual dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau meningkatkan mual muntah pada klien dan membantu dalam memberikan intervensi yang tepat.

c. Kaji riwayat diet meliputi makanan yang tidak disukai, disukai, dan budaya makan.

Rasional: Untuk mengetahui makanan yang dapat menurunkan dan meningkatkan nafsu makan klien selama tidak ada kontra indikasi.d. Kontrol lingkungan sekitar yang menyebabkan mual.

Rasional: Faktor-faktor seperti pemandangan dan bau yang tidak sedap saat makan dapat meningkatkan perasaan mual pada klien.

e. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi mual (relaksasi, guide imagery, distraksi).

Rasional: Teknik manajemen mual nonfarmakologi dapat membantu mengurangi mual secara nonfarmakologi dan tanpa efek samping.f. Dukung istirahat dan tidur yang adekuat untuk meringankan nausea.

Rasional: Tidur dan istirahat dapat membantu klien lebih relaks sehingga mengurangi mual yang dirasakan.g. Ajarkan untuk melakukan oral hygine untuk mendukung kenyaman dan mengurangi rasa mual.

Rasional: Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan menimbulkan mual.

h. Anjurkan untuk makan sedikit demi sedikit.

Rasional: Pemberian makan secara sedikit demi sedikit baik untuk mengurangi rasa penuh dan enek di perut.

i. Pantau masukan nutrisi sesuai kebutuhan kalori.

Rasional: Kebutuhan kalori perlu dipertimbangkan untuk tetap mempertahankan asupan nutrisi adekuat.7) Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat.Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil :

a. Infection Severity (Keparahan infeksi)

Tidak ada kemerahan (Skala 5 = None)

Tidak terjadi hipertermia (Skala 5 = None)

Tidak ada nyeri (Skala 5 = None)

Tidak ada pembengkakan (Skala 5 = None)

b. Risk Control (Kontrol resiko)

Klien mampu menyebutkan factor-faktor resiko penyebab infeksi ( Skala 5 = Consistenly demonstrated)

Klien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi (Skala 5 = Consistenly demonstrated)

Klien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi (Skala 5 = Consistenly demonstrated)

Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan (Skala 5 = Consistenly demonstrated)

Intervensi:

Infection control

a. Bersihkan lingkungan setelah digunakan oleh klien.

Rasional: Agar bakteri dan penyakit tidak menyebar dari lingkungan dan orang lain.

b. Ajarkan klien dan keluarga tekhnik mencuci tangan yang benar.

Rasional: Mencegah terjadinya infeksi dari mikroorganisme yang ada di tangan.

c. Pergunakan sabun anti microbial untuk mencuci tangan.

Rasional: Mencuci tangan menggunakan sabun lebih efektif untuk membunuh bakteri.

d. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.

Rasional: Mencegah infeksi nosokomial.

e. Terapkan Universal precaution.

Rasional: Mencegah infeksi nosokomial.

f. Pertahankan lingkungan aseptik selama perawatan.

Rasional: untuk meminimalkan terkontaminasi mikroba atau bakteri.

g. Anjurkan klien untuk memenuhan asupan nutrisi dan cairan adekuat.

Rasional: Menjaga ketahanan sistem imun.

h. Ajarkan klien dan keluarga untuk menghindari infeksi.

Rasional: infeksi lebih lanjut dapat memperburuk resiko infeksi pada klien.

i. Ajarkan pada klien dan keluarga tanda-tanda infeksi.

Rasional: agar dapat melaporkan kepada petugas lebih cepat, sehingga penangan lebih efisien.4. Implementasi KeperawatanImplementasi dilakukan berdasarkan intervensi dan respon klien.

5. EvaluasiEvaluasi berdasarkan kriteria hasil dari masing-masing diagnosa.DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dkk, 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta Bickley, Lynn S. 2008. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Edisi 5. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC

Doenges M.E. 2005. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . Jakarta: EGC

Hafid, Abdul. 2009. Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. Surabaya: PKB Ilmu Bedah XI Traumatologi

Hudak & Gallo, 2006. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume 2, Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika

Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C, 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta