laporan pendahuluan chronic myeloid leukemia (cml)

24
A. Definisi CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit (Atul & Victor, 2005). Leukemia mieloid kronik (LMK) atau Chronic Myeloid Leukemia (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik, yaitu Chronic Myelogenous Leukemia dan Chronic Myelocytic Leukemia (I Made, 2006). Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007). B. Prevalensi I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic

Upload: vivoraro

Post on 15-Dec-2015

566 views

Category:

Documents


132 download

DESCRIPTION

Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

A. Definisi

CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai

dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan

peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit

(Atul & Victor, 2005).

Leukemia mieloid kronik (LMK) atau Chronic Myeloid Leukemia

(CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-

lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML

termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan

tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk

leukemia myeloid kronik, yaitu Chronic Myelogenous Leukemia dan Chronic

Myelocytic Leukemia (I Made, 2006).

Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan

diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami

transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen

sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik

dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007).

B. Prevalensi

I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML

merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang

paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia

kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic

Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-1,4/100.000/tahun.

Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar

1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada

umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.

C. Etiologi

Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)

Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor

lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di

identifikasikan.

Page 2: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan

CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).

1. Faktor Instrinsik

a. Keturunan dan Kelainan Kromosom

Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki

faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia

meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut,

demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini

oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan

leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada

saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang

meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot),

(Agung ,2010).

Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan

kelainan fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita

dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa,

sindrom klinefelter dan sindrom turner.

b. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang

Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk

mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan

pada sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos

dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit.

Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia

(Agung ,2010).

2. Faktor Ekstrinsik

a. Faktor Radiasi

Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan

dengan tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum

ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar

tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat

terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar

belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli

Page 3: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar.

Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom

atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali

lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis

yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai

insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).

b. Bahan Kimia dan Obat-obatan

Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat

berhubungan dengan leukemia akut pada binatang dan manusia.

Remapasan Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat

menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah

membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama

dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA .

Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia

aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia,

demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif

(Agung ,2010).

c. Infeksi Virus

Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating

percobaan di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia

pada manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya

dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu

suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang

bersifat karsinogenik (Agung ,2010).

Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan

leukemia pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain

oleh umur, jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada

tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau

belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia

adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang

menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain

Page 4: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita

leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus

onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang

menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010).

D. Patogenesis

Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu

reciprocal translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan

kromosom 22 abnormal yang

disebabkan oleh translokasi

sebagian materi genetik pada

bagian lengan panjang (q)

kromosom 22 ke kromosom 9, dan

translokasi resiprokal bagian

kromosom 9, termasuk onkogen

ABL, ke region klaster breakpoint

(breakpoint cluster region, BCR)

yang merupakan titik pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara

spesifik terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar

onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi

(bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik

putus pada ABL adalah antara ekson 1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah

satu di antara dua titik di region kelompok titik putus utama (M-BCR) pada

CML atau pada beberapa kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini

akan mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein

(protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi

sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan

dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini

menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I Made, 2006; Atul & Victor, 2005;

Victor et al., 2005).

Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat

cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur

sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel

tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang

Page 5: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi

karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun

herediter.

Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam

sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam

berbagai organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel

darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit,

disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi.

Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan

kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan

imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel

mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum

tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah

putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.

Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat

diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus

onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut

dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak

mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan

struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur

antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus

tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen

dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di

permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A

diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat

kaitannya dengan faktor herediter.

Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen

darah yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses

metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia

juga menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan

cenderung mudah patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ

mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati,

masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.

Page 6: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

E. Klasifikasi

Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)

dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:

1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel

premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini

ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil

segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik

terhadap terapi konvensional.

2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,

mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini

leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil

dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari

satu (selain Philadelphia kromosom).

3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%

sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar

ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit

ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia

Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,

(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :

1. Fase kronik terdiri atas :

a. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,

berkeringat pada malam hari.

b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.

c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.

d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia

akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan

masalah.

e. Gangguan penglihatan dan priapismus.

f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran

pucat, dispneu dan takikardi.

Page 7: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat

check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.

2. Fase transformasi akut terdiri atas :

Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6

bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain :

demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons

terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit

menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di

berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).

3. Fase Blast (Krisis Blast) :

Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,

tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast

crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2

bulan.

G. Pemeriksaan Penunjang

I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang

untuk CML, yaitu :

1. Laboratorium

a. Darah rutin :

1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut

(fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer.

2) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.

b. Gambaran darah tepi :

1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan

kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm3.

2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari

mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah

segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,

promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel

darah merah bernukleus.

3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.

4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase

awal lebih sering meningkat.

Page 8: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu

rendah.

c. Gambaran sumsum tulang

1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya

mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum

lengkap seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah

netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit

pada fase kronik normal atau meningkat.

2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada

95 % kasus.

3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.

4) Kadar asam urat serum meningkat.

5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat

mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I

Made, 2006).

Gambar 2.1

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran 400x menunjukkan hyperlekositosis.

Terdapat juga eosinophilia, basofilia, thrombocytosis.

Gambar 2.2

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit, eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan segmen.

Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi, dengan perbesaran 1000x menunjukkan tahapan granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.

Gambar 2.3

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran 400x menunjukkan berbagai tahap granulopoiesis termasuk promielosit, mielosit, metamielosit, dan netrofil batang serta segmen.

Page 9: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

2. Pemeriksaan Penunjang Lain

Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang

lain untuk penyakit CML, antara lain :

a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau

lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast,

dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.

b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat

keterlibatan.

c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk

mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

H. Diagnosis Banding

Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi

klinis yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien

CML kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu

standar untuk menegakkan suatu diagnosis.

1. Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :

a. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum

tulang berinti.

b. Basofil darah tepi >20%.

c. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan

dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak

responsif terhadap terapi.

d. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.

e. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).

2. Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :

a. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum

tulang berinti.

b. Proliferasi blast ekstrameduler.

c. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I

Made,2006).

Page 10: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis

esensial, pada trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau

meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph

kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada

penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan

sindrom mielodislasia (Victor et al., 2006).

Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu

pada kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering

dijumpai pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya

Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang

menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan

meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit

dan makrofag (Victor et al., 2006).

I. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :

a. Fase Kronik

1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit

diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit

turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3.

Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek smaping

dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis

paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).

2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna

mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik,

tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005).

Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian

diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-

15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).

3) Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan

dapat menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan

Page 11: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

hidup menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN-α biasanya

digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea.

IFN-α merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita

leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi

sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang

donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta

IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk

mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l).

Hampir semua pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada

beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius

berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien

(sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang dengan

hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi

BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).

4) STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang

sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan

hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik

terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat

menekan proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah

dan menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada

sebagian besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada

CML, baik digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau

obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005;

I Made, 2006)

5) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,

SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok

memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau

kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).

b. Fase Akselerasi dan Fase Blast

Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama

seperti leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI

57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua

fase ini, sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat

Page 12: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan

penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).

2. Non-Medikamentosa

a. Radiasi

Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar

tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan

gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum

transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).

J. Prognosis

Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah

penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap

tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih

setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase

akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis

blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan

hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).

K. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian pada leukemia meliputi :

a. Riwayat penyakit

b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :

1) Pucat

2) Kelemahan

3) Sesak

4) Nafas cepat

c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia

1) Demam

2) Infeksi

d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :

1) Ptechiae

2) Purpura

Page 13: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

3) Perdarahan membran mukosa

e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :

1) Limfadenopati

2) Hepatomegali

3) Splenomegali

f. Kaji adanya :

1) Hematuria

2) Hipertensi

3) Gagal ginjal

4) Inflamasi disekitar rectal

5) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML, antara

lain:

a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan :

1) Tidak adekuatnya pertahanan sekunder

2) Gangguan kematangan sel darah putih

3) Peningkatan jumlah limfosit imatur

4) Imunosupresi

5) Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)

b. Kekurangan volume cairan tubuh /risiko tinggi, berhubungan dengan :

1) Kehilangan berlebihan, misalnya: muntah, perdarahan

2) Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia

c. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan :

1) Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang

yang diinvasi dengan sel leukemia.

2) Agen kimia ; pengobatan antileukemia.

Page 14: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Resiko infeksi

berhubungan

dengan :

• Tidak adekuatnya

pertahanan

sekunder

• Gangguan

kematangan sel

darah putih

• Peningkatan

jumlah limfosit

imatur

• Imunosupresi

• Penekanan

sumsum tulang

(efek kemoterapi)

Infeksi tidak

terjadi

1. Tempatkan anak pada ruang khusus.

Batasi pengunjung sesuai indikasi

2. Berikan protocol untuk mencuci tangan

yang baik untuk semua staf petugas

3. Awasi suhu. Perhatikan hubungan

antara peningkatan suhu dan

pengobatan chemoterapi.

4. Dorong sering mengubah posisi, napas

dalam, batuk.

5. Inspeksi membran mukosa mulut.

Bersihkan mulut secara periodic.

Gunakan sikat gigi halus untuk

perawatan mulut.

6. Awasi pemeriksaan laboratorium :

WBC, darah lengkap

7. Berikan obat sesuai indikasi, misalnya

Antibiotik

8. Hindari antipiretik yang mengandung

aspirin

2 Defisit volume

cairan tubuh

berhubungan

dengan :

• Kehilangan

berlebihan, seperti:

muntah,

perdarahan

• Penurunan

pemasukan

cairan : mual,

anoreksia.

Volume

cairan tubuh

adekuat,

ditandai

dengan TTV

dbn, stabil,

nadi teraba,

haluaran

urine, BJ dan

PH urine,

dbn.

1. Awasi masukan dan pengeluaran.

Hitung pengeluaran tak kasat mata

dan keseimbangan cairan.

Perhatikan penurunan urine pada

pemasukan adekuat. Ukur berat

jenis urine dan pH Urine.

2. Timbang BB tiap hari.

3. Awasi TD dan frekuensi jantung

4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian

kapiler dan kondisi umum membran

mukosa.

5. Implementasikan tindakan untuk

mencegah cedera jaringan /

Page 15: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi

dengan sikat yang halus.

6. Berikan diet halus.

7. Berikan cairan IV sesuai indikasi

8. Berikan sel darah Merah, trombosit

atau factor pembekuan

3 Nyeri akut

berhubungan

dengan :

• Agen fiscal:

pembesaran organ

/ nodus limfe,

sumsum tulang

yang diinvasi

dengan sel

leukemia.

• Agen kimia ;

pengobatan

antileukemia.

rasa nyeri

hilang/berkur

ang

1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan

petunjuk nonverbal,rewel, cengeng,

gelisah

2. Berikan lingkungan yang tenang dan

kurangi rangsangan stress

3. Tempatkan pada posisi nyaman dan

sokong sendi, ekstremitas denganan

bantal

4. Ubah posisi secara periodic dan

berikan latihan rentang gerak lembut.

5. Berikan tindakan ketidaknyamanan;

mis : pijatan, kompres

6. Berikan obat sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 16: Laporan Pendahuluan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3.

Jakarta : EGC.

Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2.

Jakarta : EGC.

ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon,

ARC Press,

Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald,

Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008.

Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill,

Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta :

EGC.

JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.

Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI

Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses

penyakit . Jakarta : EGC, .

Whaley’s and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4.

USA : Mosby.