lapsus leukemia edit
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Leukemia akut adalah suatu kelainan maligna klonal yang dapat mengenai
semua golongan umur dengan rata-rata insidensi 4-7 jiwa dalam 100.000 orang.
Leukemia didefinisikan sebagai suatu grup penyakit keganasan yaitu terjadinya
abnormalitas genetik pada sel-sel hematopoetik dan menyebabkan proliferasi
klonal sel - sel tersebut. Pada leukemia terjadi gangguan dalam pengaturan sel
leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak
terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut
fungsi - fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu. Gambaran khasnya
berupa akumulasi sel blast immatur di sum - sum tulang. Hal ini menyebabkan
kegagalan sum - sum tulang yang ditunjukkan dengan terjadinya sitopenia darah
tepi dan adanya sel - sel blast di sirkulasi. Infiltrasi pada berbagai organ juga
merupakan gambaran pada leukemia. 1,2,3
Leukemia merupakan keganasan terbanyak pada anak, diperkirakan 41 %
dari semua keganasan yang terjadi pada anak berusia kurang dari 15 tahun. Pada
tahun 2000, sekitar 3.600 anak didiagnosis leukemia di Amerika Serikat dan
insidensinya 4,1 kasus baru setiap 100.000 anak berusia kurang dari 15 tahun. Di
negara berkembang, 83 % leukemia limfoblastik akut (LLA). 17 % leukemia
mieloblastik akut (LMA) lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit
hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi dari pada anak kulit
putih. Di Jepang mencapai 4 per 100.000 anak dan diperkirakan tiap tahun terjadi
1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta, pada tahun 1994 insidensinya mencapai
1
2,76 per 100.000 anak usia 1 - 4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5 - 6 pasien
leukemia baru setiap bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu di
RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 tahun kasus leukemia baru.
Rasio laki - laki dan perempuan adalah 1,15 pada LLA dan mendekati 1 untuk
LMA. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih besar
untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot mempunyai
resiko 20 % untuk berkembang menjadi LLA. 4
Leukemia akut dibagi menjadi acute lymphoblastic leukaemia (ALL),
dengan terjadinya proliferasi abnormal sel progenitor lymphoid (limfosit
immature) dan acute myeloid leukaemia (AML), meliputi myeloid (neutrofil,
eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain - lain). Perbedaan kedua
leukemia akut tersebut didasarkan atas morfologi, sitokimia, imunologi dan
sitogenetik dan yang paling penting adalah perbedaan dalam terapi dan
prognosisnya. 2
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan penyakit neoplasma yang
dihasilkan mutasi somatik pada sel progenitor limfoid tunggal pada satu dari
beberapa tingkatan perkembangan. Relapsnya LLA merupakan ancaman seumur
hidup bagi penderita LLA. Didapatkan 68 % pada anak penderita LLA usia 0 - 14
tahun memiliki 5 - year survival antara tahun 1978 sampai 1986, sedangkan pada
tahun 1986 sampai 1992 meningkat menjadi 79 % dan kembali meningkat
sebanyak 10 % pada tahun 1983 sampai 1985. Walaupun telah terdapat
peningkatan terhadap terapi LLA pada anak, kejadian relaps LLA merupakan
faktor utama yang berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas pada anak
2
yang mengalami kelainan ini. Pada penelitian terhadap 3712 anak penderita LLA
pada tahun 1883 sampai 1989, didapatkan 1144 anak (84 %) mengalami relaps
pada satu tempat atau lebih. Sum-sum tulang, sistem saraf pusat dan testis
merupakan daerah relaps yang paling sering terjadi, sedangkan daerah - daerah
lain yang jarang adalah untuk terjadinya relaps adalah limfonodi, mata dan tulang.
5,6,7
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus leukemia limfoblastik akut
relaps SSP pada anak laki - laki berusia 2 tahun 8 bulan yang datang dan dirawat
di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin.
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan penyakit neoplasma yang
dihasilkan mutasi somatik pada sel progenitor limfoid tunggal pada satu dari
beberapa tingkatan perkembangan. LLA merupakan penyakit keganasan yang
berasal dari progenitor limfosit B atau limfosit T tunggal yang proliferasi dan
akumulasi sel - sel blastnya di sum-sum tulang menyebabkan supresi
hematopoesis yaitu anemia, trombositopenia dan neutropenia. Lebih dari 80 %
kasus sel - sel ganas berasal dari limfosit B dan sisanya merupakan leukemia sel
T. Akumulasi ekstramedular limfoblast dapat terjadi di berbagai tempat, terutama
meninges, gonad, timus, liver, limpa ataupun limfonodi. 4,5
B. Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun predisposisi genetik
maupun faktor - faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan. Jarang
ditemukan leukimia familial, tetapi kelihatannya terdapat insidensi leukimia lebih
tinggi dari saudara kandung anak - anak yang terserang, dengan insidensi
meningkat sampai 20 % pada anak kembar monozigot (identik). Individu dengan
sindrom down, mempunyai insiden leukimia yang meningkat dua puluh kali lipat.
2,3
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan maternal
terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko
4
leukemia pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan
hubungan yang signifikan. Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti
dilaporkan di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun
demikian, paparan radiasi dosis tinggi in utero tidak mengarah pada peningkatan
insiden leukemia, demikan juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal
ini masih merupakan perdebatan. 4,5,6
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak -
anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves
(Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem
imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun
pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada
umumnya. 5,6
Beberapa kondisi perinatal merupakan risiko terjadinya leukemia pada
anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius (1995). Faktor-faktor tersebut
adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat
badan lahir > 4500 gram dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996)
melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko
terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA. 5
C. Patofisiologi dan Klasifikasi Morfologik
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula ”gugus” sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan
morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimia terhadap
sel normal. Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal
5
yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang
dapat terdeteksi. Walaupun penyebab dari leukemia pada manusia belum
diketahui secara pasti, tetapi pada penelitian mengenai proses leukemogenesis
pada binatang percobaan ditemukan bahwa penyebabnya (agent) mempunyai
kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA dan kemampuan ini meningkat
bila terdapat suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan
mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia
dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus
(clone) abnormal. 7,8,9
Penelitian yang dilakukan pada leukimia limfoblastik akut menunjukan
bahwa sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel
blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi leukimia itu
berasal dari sel tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA
secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai
berikut : 7,8
a. L-1 terdiri dari sel-sel limpoblas kecil serupa dengan kromatin homogen, anak
inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
Gambar 1. ALL tipe L1
6
b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
Gambar 2. ALL tipe L2
c. L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi.
Gambar 3. ALL tipe L3
Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin
banyak serta akibat infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi fisiologi
tubuh. Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada
7
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat
sedikit diketahui. Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan
penekanan sum - sum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien. 5,6
D. Manifestasi Klinis
Gejala yang khas adalah pucat, panas dan perdarahan disertai splenomegali
dan kadang - kadang hepatomegali dan limfodenopatia. Penderita yang
menunjukan gejala klinis lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis dapat
didiagnosa leukemia. Pucat dapat terjadi mendadak, sehingga bila pada seorang
anak terdapat pucat mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan,
waspadalah terhadap leukemia. Perdarahan dapat berupa ekimosis, petikie,
epistaksis, perdarah gusi dan sebagainya. Pada stadium permulaan mungkin tidak
terdapat splenomegali. 2,5
Gejala yang tidak khas adalah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat
disalahtafsirkan sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat
infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura,
kejang pada leukimia serebral dan sebagainya. 5
E. Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang
8
lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90 % kasus, sedangkan sisanya
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika,
dan biologi molekuler. 2,5,6
Pada pemeriksaan darah lengkap terdapat anemia, kelainan jumlah hitung
jenis leukosit dan trombositopenia juga bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pada
pemeriksaan apus darah tepi didapatkan sel - sel blas. Berdasarkan protokol WK -
ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta), pasien LLA dimasukkan dalam
kategori resiko tinggi bila jumlah leukosit > 50.000 il, ada massa mediastinum,
ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas total setelah 1
minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000 /mm3. Massa mediastinum
tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus
dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan
pemeriksaan sitologi. 3,4,5
Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi
sumsum tulang (BMA) secara morfologis, imunofenotip dan karakter genetik.
Leukemia dapat menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi,
perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi sebagai akibat leukostasis. 5,6
F. Terapi
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian
antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,
pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial. Terapi kuratif atau
9
spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi yang
meliputi induksi remisi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. 3
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol
kemoterapi. Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim
digunakan untuk pasien ALL yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK -
ALL 2000. Klasifikasi risiko pada ALL didasarkan pada faktor prognostik. 3,4,9
a. Terapi Induksi Remisi 3,4,9
Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit
hematologik (haematologic complete remission/CR), yaitu eradikasi sel
leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sum - sum
tulang dan kembalinya hematopoesis normal. Keadaan ini didefinisikan
sebagai jumlah sel blas yang < 5 % dalam sumsum tulang dan bentuk eritroid,
mieloid dan elemen megakariotik normal, remisi komplit juga meliputi hitung
darah tepi yang normal, tidak ada blas, jumlah granulosit 1500 /ul, trombosit >
100.000 dan Hb ≥ 10 g/dl. Selain itu, pada cairan serebrospinal harus bebas
dari blas dan organomegali menjadi hilang.
Terapi induksi berlangsung selama 4 - 6 minggu dengan dasar 3 - 4 obat
yang berbeda (dexamethason, vinkristin, L-aspaginase, dan atau antrasiklin).
Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah remisi komplit, remisi partial,
atau gagal.
Terapi utama induksi remisi adalah prednison dan vinkristin, namun
biasanya terdiri dari prednison, vinkristin dan antrasiklin (pada umumnya
daunorubisin) dan L-asparaginase. Tambahan obat seperti siklofosfamid,
10
sitarabin dosis konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan pada
beberapa regimen.
Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar
50% pasien ALL denovo. Penambahan antrasiklin memperbaiki CR menjadi
70-85 %. Daunorubisin biasanya diberikan seminggu sekali, tetapi beberapa
penelitian memberikan dosis intensifikasi (30 – 60 mg/m2 2 - 3 hari). Dosis
intensifikasi berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan
terapi supportif intensif dan pemberian faktor pertumbuhan (granulocyte
colony - stimulating factor/GSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi
mempersingkat lama neutropenia 5 - 6 hari dan menurunkan insiden infeksi.
b. Terapi Intensifikasi atau Konsolidasi 3,4,9
Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi (early
intensification) yang bertujuan mengeliminasi sel leukemia residual untuk
mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi ini juga
dilakukan 6 bulan kemudian (late intensification). Studi Cancer and Leukemia
Group B menunjukkan durasi remisi dan kelangsungan hidup yang lebih baik
pada pasien ALL yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi
intensifikasi (early dan late intensification) daripada pasien yang tidak
mendapat terapi intensifikasi. Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang
berbeda diberikan
c. Profilaksis SSP 3,4,9
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi ALL. Sekitar 50 – 75 %
pasien ALL yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps
11
pada SSP. Profilaksis SSP dapat terjadi dari kombinasi kemoterapi intratekal,
radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavaliabilitas
SSP yang tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dosis tinggi. Pemberian
ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak memberikan hasil yang superior,
sedangkan kemoterapi intratekal saja atau kemoterapi sistemik dosis tinggi
saja tidak memberikan proteksi SSP yang baik. Kemoterapi intratekal dengan
radiasi kranial (antara 1800 - 2400 gGy) memberikan angka relaps SSP yang
sama dengan kemoterapi intratekal ditambah dengan kemoterapi sistemik
dosis tinggi tanpa radiasi kranial yaitu antara 0 - 11%.
d. Pemeliharaan Jangka Panjang 3,4,9
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu
sekali selama 2-3 tahun. Pada ALL anak terapi ini memperpanjang disease -
free survivle, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.
Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2 - 2 ½ tahun
dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai 3 tahun. Dosis sitostatika
secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor
konsentrasi obat selama terapi rumatan
Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam
kamar yang suci hama). Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang
terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (10 5 –
10 6) immunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dikerjakan
dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Coryne bacterium dan
dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan
12
tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukimia yang
telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan terbentuk antibodi yang spesifik
terhadap sel leukimia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan
sehingga diharapkan penderita leukimia dapat sembuh sempurna. 2,5
Time frame Treatment
Induction, 4 wkVincristine 1.5 mg/m2 every week (maximum, 2 mg), days 0, 7, 14, 21
Prednisone 40 mg/m2/d, days 0-28
Doxorubicin 30 mg/m2/dose, days 0 and 1
HR: randomized with/without dexrazoxane 300 mg/m2, days 0 and 1
Methotrexate 4 g/m2 (8-24 h after doxorubicin) with leucovorin rescue
Asparaginase (randomized Erwinia or E coli) 25 000 IU/m2 IM × 1 dose, day 4
IT cytarabine* × 1 dose, day 0
TIT† × 1 dose, day 16
CNS therapy, 3 wk
SR: Randomized: TIT only (see “Randomizations”) or 18-Gy hyperfractionated cranial radiation with IT methotrexate/cytarabine
HR: 18-Gy cranial radiation (randomized hyperfractionated or daily fractions) with IT methotrexate/cytarabine
Intensification, 30 wk
Every 3 wk cycles:
SR: Vincristine 2.0 mg/m2 IV day 1 (maximum, 2 mg)
Prednisone 40 mg/m2/d orally, days 1-5
Methotrexate 30 mg/m2 IV or IM, days 1, 8, 15
6-MP 50 mg/m2/d orally, days 1-15
Asparaginase (randomized): Erwinia 25 000 IU/m2 IM weekly × 20 wk
Or
E coli 25 000 IU/m2 IM weekly × 20 weeks
HR: same as SR patients, except prednisone dose higher (120 mg/m2/d orally days 1-5), no methotrexate, doxorubicin 30 mg/m2 day 1 of each cycle (cumulative dose of 300 mg/m2), randomized to be given alone or with dexrazoxane 300 mg/m2/dose
13
Time frame Treatment
Continuation, until 24 mo CCR
Every 3 week cycles:
SR: same as intensification, except no asparaginase
HR: same as SR patients, except dose of prednisone (120 mg/m2/d, days 1–5)
IM indicates intramuscular: IT, intrathecal; TIT, triple intrathecal chemotherapy (methotrexate, cytarabine,
hydrocortisone): IV, intravenous; 6-MP: 6-mercaptopurine.*IT cytarabine dosed according to age.1 Patients with CNS leukemia at diagnosis (CNS-2 and CNS-3) received twice-weekly doses of IT cytarabine until CSF was clear of blast cells on 3 consecutive examinations. †TIT dosage according to age.
Tabel 1. Terapi Dana Farber Cancer Institut ALL Consortium Protocol 95-0110
Keterangan : Panah hitam menunjukkan pemberian triple terapi intratekal yang diberikan kepada semua pasien dan panah putih merupakan dosis tambahan untuk pasien yang memiliki risiko tinggi terjadinya relaps SSP. Iradiasi cranial dan 5 terapi intratekal hanya diberikan untuk pasien dengan T-cell immunophenotype dan leukosit awal 100x109/L.
Gambar 1. Skema Remisi Induksi, Konsolidasi dan Terapi lanjutan untuk Tahun Pertama11
G. Prognosis
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam
kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
membuktikan faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug
resistance. 3
Faktor prognostik LLA : 3
1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ALL pertama ditegakkan,
mungkin merupakan faktor prognostik bermakna tinggi. Ditemukan adanya
hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada
14
anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai
prognosis buruk.
2. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang berusia diantara itu.
Khusus untuk pasien dengan umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan
mempunyai prognosis paling buruk.
3. Leukimia sel B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi ”kappa” dan
”lambda” pada permukaan blas diketahui mempunyai prognosis buruk.
Dengan adanya protokol spesifik untuk sel - B, prognosisnya semakin
membaik. Sel - T leukimia juga mempunayi prognosis yang jelek dan
diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel - T leukemia
murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang
sama dengan leukimia sel pre - B. LLA sel - T diatasi dengan protokol risiko
tinggi.
4. Beberapa penelitian menunjukan bahwa anak perempuan mempunyai
prognostik lebih baik daripada anak laki - laki.
5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah
1 minggu terapi prednison dimulai. Adanya sisa sel blas pada sum - sum
tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukan prognosis buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>
50 kromosom) yang biasa ditemukan pada 25 % kasus mempunyai prognosis
yang baik. LLA hipoploid (3 – 5 %) mempunyai prognosis intermediet seperti
15
t (1;19). Translokasi t (9;22) pada 5 % anak atau t (4;11) pada bayi
berhubungan dengan prognosis buruk.
H. Relaps
Relaps didefinisikan sebagai munculnya kembali sel-sel leukemia pada
setiap bagian tubuh. Sebagian besar relaps terjadi selama pengobatan atau dalam 2
tahun setelah terapi selesai. Sum-sum tulang merupakan tempat yang paling
umum terjadi relaps pada LLA. Lokasi-lokasi lain seperti susunan saraf pusat dan
testis. Frekuensi relaps umumnya kurang dari 2 %. Relaps dapat juga terjadi pada
lokasi ekstramedular lainnya seperti mata, telinga, ovarium, uterus, tulang, otot,
tonsil, ginjal, mediastinum, pleura dan sinus paranasal. Relapsnya LLA
merupakan ancaman seumur hidup bagi penderita LLA. Walaupun telah terdapat
peningkatan terhadap terapi LLA pada anak, kejadian relaps LLA merupakan
faktor utama yang berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas pada anak
yang mengalami kelainan ini. Pada penelitian terhadap 3712 anak penderita LLA
pada tahun 1883 sampai 1989, didapatkan 1144 anak (84 %) mengalami relaps
pada satu bagian tubuh atau lebih. 5,6,12
Relaps sum-sum tulang yang terjadi dalam 18 bulan sesudah diagnosis
memperburuk prognosis (10–20 % long term survival) sementara relaps yang
terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,
khususnya relaps testis dimana long term survival 50–60 %. Terapi relaps harus
lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat. 5,12
16
Pada pasien ALL yang mempunyai resiko tinggi untuk relaps dilakukan
transplantasi sum-sum tulang alogenik pada remisi komplit yang pertama. Resiko
tinggi untuk relaps yaitu : 4,9
Kromosom Philadelphia
Perubahan susunan gen MLL
Hiperleukositosis
Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu
Pasien dengan relaps pada SSP biasanya muncul dengan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala atau muntah (terutama
muntah pada pagi hari), diplopia atau pandangan mata kabur, hemiparesis dan
dapat pula muncul sebagai gangguan saraf kranial. Relaps SSP cenderung muncul
antara 1 sampai 3 tahun setelah diagnosis. Diagnosis didasarkan pada munculnya
sel-sel leukemia di cairan serebrospinal dan gambaran radiologis walaupun jarang.
6,12
Terapi presimptomatik SSP telah mengubah prognosis LLA sejak awal
tahun 1970. Sebelumnya lebih dari setengah pasien yang telah mengalami remisi
komplit berakhir pada relaps SSP. Dengan kombinasi 2400c Gy iradiasi kranial
dan terapi intratekal, kurang dari 10 % kasus mengalami relaps SSP dan hampir
50 % mengalami long-term survival. Tetapi kemudian regimen intratekal dan
regimen sistemik intensif secara luas telah menggantikan iradiasi kranial pada
pasien LLA. Pada suatu studi didapatkan bahwa terjadinya relaps SSP pada
pemberian metotreksat intratekal pasien LLA berkisar antara 6–8 % sedangkan
pada pasien yang mendapatkan tripel terapi intratekal (metotreksat, sitarabin dan
17
hidrokortison sodium suksinat) mengalami relaps SSP sebanyak 3 %. Matloud
dkk, menganjurkan jika menggunakan metotreksat intratekal sebagai terapi SSP
presimptomatik harus dikombinasikan dengan terapi sistemik seperti, dosis
metotreksat yang tinggi, prednison dosis tinggi atau deksametason. Tripel terapi
intratekal memberikan keuntungan untuk pasien relaps yang resisten terhadap
metotreksat.13
Terapinya meliputi pengobatan metotreksat intrarekal, tripel terapi
intratekal, iradiasi kranial, radiasi kraniospinal, metotreksat intraventrikular,
metotreksat dosis tinggi atau kombinasi dari terapi-terapi tersebut. Anak yang
mengalami relaps SSP setelah mendapatkan terapi presimptomatik SSP yang
adekuat memiliki resiko relaps hematologi. Anak tersebut harus diterapi dengan
reinduksi sistemik yang intensif, konsolidasi dan kemoterapi rumatan
dikombinasikan dengan metotreksat intratekal dan iradiasi kranial atau radiasi
kraniospinal.12
Terapi induksi kedua umumnya terdiri dari kombinasi beberapa obat,
umumnya merupakan kombinasi dari vinkristin, prednison, asparaginase dan
antraksilin (dengan atau tanpa metotreksat dan sitosin arabinosit) Terapi intratekal
menggunakan satu atau lebih obat (metotreksat, sitosin arabinosit, hidrokortison,
tiotepa) sangat dianjurkan setiap minggu atau 2 kali seminggu sampai LCS bebas
dari blast. Kemudian ketika pasien telah mengalami remisi komplit dilanjutkan
dengan pemberian terapi profilaksis SSP. Dengan tingginya risiko relaps
hematologi pada pasien-pasien yang mengalami relaps SSP, maka transplantasi
sum-sum tulang direkomendasikan sebagai terapi post remisi. Beberapa studi juga
18
menyatakan regimen kemoterapi intensif merupakan terapi post remisi yang
adekuat untuk pasien yang mengalami relaps SSP terutama pada kasus relaps
yang munculnya lambat. Dinyatakan bahwa long term survival mencapai 45–70
% pada pasien yang mendapatkan terapi tersebut.6
Barreto dkk menganjurkan suatu protokol terapi untuk LLA relaps SSP.
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa protokol terapi yang diberikan
memberikan hasil yang baik terhadap pasien LLA yang mengalami relaps SSP
dan mengalami remisi komplit paling tidak dalam 18 bulan. Sedangkan untuk
pasien yang mengalami remisi komplit kurang dari 18 bulan pemberian protokol
terapi tersebut tidak memerikan pengaruh yang berarti. Protokol terapi yang
diberikan adalah14:
Tabel 2. Protokol Terapi LLA relaps SSP yang Digunakan oleh Barreto dkk14
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
1. Identitas penderita :
Nama penderita : An. MAM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat dan tanggal lahir : Banjarmasin, 27 Maret 2006
Umur : 2 tahun 8 bulan
2. Identitas orang tua/wali :
Ayah : Nama : Tn. M
19
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Alamat : Jl. Pembangunan Ujung No. 61 Rt. 34 Pasir
Mas Banjarmasin
Ibu : Nama : Ny. P
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh Pabrik
Alamat : Jl. Pembangunan Ujung No. 61 Rt. 34 Pasir
Mas Banjarmasin
II. ANAMNESIS
Kiriman dari : -
Dengan diagnosa : -
Aloanamnesa dengan : Orangtua pasien (Ayah dan Ibu pasien)
Tanggal/jam : 05 November 2008/ 11.00 WITA
1. Keluhan utama : Kejang
2. Riwayat penyakit sekarang :
Sekitar 6 jam sebelum masuk RS anak kejang. Kejang berlangsung
selama kurang lebih 1 jam. Kejang bersifat umum dengan mata melihat
ke atas, tangan mengepal ke atas dan kaki lurus menghentak. Saat anak
kejang tidak ada keluar cairan berbuih dari mulut. Pada saat kejang anak
tidak sadar dan setelah kejang anak sadar kembali sebelum dan selama
kejang anak tidak ada panas. Anak tidak ada batuk dan pilek. Sekitar 1
20
bulan yang lalu anak juga pernah mengalami kejang yang sama dan
dirawat selama 2 mingu di ruang anak RSUD Ulin Banjarmasin.
Anak memiliki riwayat penyakit leukemia tipe ALL dan telah menjalani
kemoterapi sampai dengan siklus kelima dari bulan Juni 2007 sampai
dengan bulan Agustus 2008. Menurut orang tua anak harus menjalankan
kemoterapi selama 2 tahun.
Sekitar 20 bulan yang lalu muncul sebuah benjolan sebesar kacang hijau
dengan konsistensi keras, tidak nyeri, berwarna kemerahan dan tidak
bisa digerakkan dari dasarnya pada pipi sebelah kanan. Oleh orang tua
anak dibawa ke dokter spesialis kulit kelamin dan diberi obat salep
(orang tua tidak tahu nama obatnya), tetapi tidak ada perubahan dan
benjolan malah bertambah besar. Sekitar 2 bulan kemudian benjolan
malah bertambah sebesar bola tenis, berwarna kemerahan, tidak nyeri
dan tidak mudah digerakkan dengan permukaan tidak rata. Selain itu
juga muncul benjolan di tempat lain yaitu di belakang telinga kanan dan
kiri, berwarna sama dengan kulit dan tidak mudah digerakkan. Anak
dibawa lagi ke dokter spesialis kulit kelamin yang kemudian oleh dokter
spesialis kulit kelamin anak dirujuk ke dokter spesialis anak.
Selama dirawat oleh dokter spesialis anak, dilakukan berbagai
pemeriksaan seperti pemeriksaan darah dan pengambilan sum - sum
tulang. Dari berbagai pemeriksaan yang dilakukan, anak dikatakan
menderita penyakit leukemia dan harus menjalani kemoterapi.
3. Riwayat penyakit dahulu :
21
Anak pernah sakit sebelumnya.
4. Riwayat kehamilan dan persalinan :
Riwayat Antenatal :
Ibu jarang memeriksakan diri ke bidan sewaktu hamil.
Riwayat Natal :
Spontan/tidak spontan : SC pada usia 8 bulan karena perdarahan
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Berat badan lahir : 2100 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Penolong : dr. Sp. OG
Tempat : RSUD Ulin Banjarmasin
Riwayat Neonatal :
Anak lahir prematur dan dirawat di inkubator selama 10 hari dengan
menggunakan O2. Anak juga pernah kuning dan menjalani fototerapi
selama dirawat.
5. Riwayat perkembangan :
Tiarap : 4 bulan
Merangkak : Ibu lupa
Duduk : Ibu lupa
Berdiri : 10 Bulan
22
Berjalan : 12 Bulan
Saat ini : Anak dapat bermain aktif dengan teman
- teman seusianya.
6. Riwayat imunisasi
Lengkap
7. Makanan :
0 - 6 bulan : Anak tidak pernah minum ASI, hanya minum susu botol
(lactogen) dengan frekuensi sekitar 8 x perhari dengan volume 50 - 100
cc/kali minum.
6 bulan - 1 tahun : Anak minum susu kaleng (Lactogen + Dancow)
dengan frekuensi sekitar 5 x perhari dengan volume sekitar 100 - 200
cc/kali minum. Ditambah bubur sun 4x perhari sebanyak 1 mangkok
kecil.
1 tahun - sekarang : Anak minum susu kaleng (Dancow) 3 x perhari
dengan volume 100 - 200 cc/kali minum ditambah makanan keluarga
(nasi, sayur dan ikan) sebanyak 1 piring kecil.
8. Riwayat keluarga :
Ikhtisar keturunan :
Keterangan : = Laki-laki
= Perempuan
= Penderita
23
Orang tua menyangkal ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
penyakit keganasan ataupun mengidap penyakit yang sama dengan
anak.
Susunan keluarga :
No. Nama
Umur
L/PKeterangan
1. Tn. M 37 th L Sehat2. Ny. P 30 th P Sehat3. An. MAM 2 th 8 bln L Sakit
9. Riwayat sosial lingkungan :
Anak tinggal bersama kedua orang tuanya di sebuah rumah kontrakan
semi permanen yang terbuat dari kayu dengan ukuran 5 x 8 m3.
Ventilasi dan pencahayaan cukup. Jarak rumah dengan rumah tetangga
sekitar 1 meter. Air untuk keperluan sehari - hari seperti memasak,
minum dan MCK berasal dari PDAM. Anak dititipkan pada tetangga
pada pagi hari ketika kedua orang tua pergi bekerja. Anak dititipkan
sampai pukul 14.00 wita.
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
GCS : 4-5-6
2. Pengukuran :
Tanda vital : Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit, regular, kuat angkat
24
Suhu : 36,7o C
Respirasi : 28x/menit
Berat badan : 17 kg (123 % standar BB/U)
Tinggi badan : 92 cm (98,9 % standar PB-TB/U)
(124 % standar BB/TB)
3. Kulit : Warna : sawo matang
Sianosis : tidak ada
Hemangiom : tidak ada
Turgor : cepat kembali
Kelembaban : cukup
Pucat : tidak ada
4. Kepala : Bentuk : mesosefali
UUB : sudah menutup
UUK : sudah menutup
Rambut : Warna : hitam
Tebal/tipis : tebal
Jarang/tidak (distribusi) : tidak jarang
Alopesia : -
Lain-lain : -
Mata : Palpebra : edema tidak ada
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
25
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm
Simetris : isokor
Reflek cahaya : (+/+)
Kornea : jernih
Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut : Bentuk : normal
Bibir : mukosa bibir basah
Gusi : - tidak mudah berdarah
- pembengkakan : tidak ada
Gigi-geligi : lengkap
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : merah muda
26
Faring : Hiperemi : tidak ada
Edema : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
Tonsil : Warna : merah muda
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
5. Leher :
Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat
Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Masa : tidak ada
Tortikolis : tidak ada
6. Thorak :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi : tidak ada
Dispnea : tidak ada
Pernafasan : thorakoabdominal
Palpasi : Fremitus fokal : simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler
27
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Iktus : tidak terlihat
Palpasi : Apeks : tidak teraba
Thrill : tidak ada
Perkusi : Batas kanan : ICS II LPS Dex - ICS VI LPS Dex
Batas kiri : ICS II LPS Sin - ICS VI LMK Sin
Batas atas : ICS II LPS Dex - LCS II LPS Sin
Auskultasi :
Frekuensi : 92 x/menit, irama : reguler
Suara dasar : S1 dan S2 tunggal
Bising : tidak ada
7. Abdomen
Inspeksi : Bentuk : datar, simetris
Lain-lain : -
Palpasi : Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Masa : tidak ada
Perkusi : Timpani/pekak : timpani
Asites : tidak ada
28
Auskultasi : bising usus (+) normal
8. Ekstremitas :
Umum : akral hangat, edem ( - - ), tidak parese ( - -)
Neurologis
Tanda Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan KiriGerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Tonus
Normal
Normal
Normal
Normal
Trofi
Eutrofi
Eutrofi
Eutrofi
Eutrofi
Klonus
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
RefleksFisiologis
BPR (+)TPR (+)
BPR (+)TPR (+)
KPR (+)APR (+)
KPR (+)APR (+)
Refleks patologis
Hoffman (-) Tromner (-)
Hoffman (-) Tromner (-)
Babinsky (-), Chaddok (-)
Babinsky (-), Chaddok (-)
Sensibilitas
Normal
Normal
Normal
Normal
Ta TidTidTidTid
29
nda meningeal
ak ada
ak ada
ak ada
ak ada
9. Susunan saraf : N I – XII dalam batas normal
10. Genetalia : laki - laki, tidak ada kelainan
11. Anus : (+), tidak ada kelainan
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA
Pemeriksaan Darah tgl 22 Oktober 2008
Jenis Pemeriksaan
Nilai
Hemoglobin 12,2 gr/dlEritrosit 4,65 juta/ulLeukosit 10,3 rb/ulHematokrit 37 vol %Trombosit 668 rb/ulRDW-CV 15,3 %MCV 80,3 flMCH 26,2 pgMCHC 32,7 %Neutrofil 82,4 %Limfosit 13,3 %MID 4,3 %Neutrofil 8,50 ribu/ulLimfosit 1,40 ribu/ulMID 0,40 ribu/ulKimia Darah (Elektrolit)
Natrium 136 mmol/lKalium 4,9 mmol/l
Clorida 101 mmol/l
30
V. RESUME
Nama : An. MAM
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 2 tahun 8 bulan
Berat badan : 17 kg
Keluhan utama : Kejang
Uraian : Sekitar 6 jam SMRS (22 Oktober 2008 jam 11.00 wita) anak
mengalami kejang selama kurang lebih 1 jam. Kejang bersifat
umum dengan mata melirik ke atas, tangan mengepal dan kaki
lurus. Selama kejang anak tidak sadar dan setelah kejang berhenti
anak sadar kembali. Anak tidak ada demam sebelum dan selama
kejang. 1 bulan yang lalu anak pernah kejang yang sama dan
dirawat di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin selama 2
minggu. Anak memiliki riwayat penyakit leukemia tipe ALL
yang telah terdiagnosa kurang lebih 17 bulan yang lalu dan telah
mendapat kemoterapi sampai siklus yang ke – 5 dari bulan Juni
2007 sampai dengan bulan Agustus 2008.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos mentis GCS : 4 - 5 - 6
Tensi : 100/60 mm/Hg
Denyut Nadi : 92 kali/menit
Pernafasan : 28 kali/menit
31
Suhu : 36,7 oC
Kulit : Tidak ada kelainan
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : Tidak ada kelainan
Telinga : Tidak ada kelainan
Mulut : Tidak ada kelainan
Thorak/paru : Tidak ada kelainan
Jantung : Tidak ada kelainan
Abdomen : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
Susunan saraf : Tidak ada kelainan
Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan
Anus : Ada, tidak ada kelainan
VI. DIAGNOSA
1. Diagnosa banding : Observasi konvulsi ec susp. relaps ALL
Observasi konvulsi ec susp. cerebral leukemia
2. Diagnosa kerja : Observasi konvulsi ec susp. relaps ALL
3. Status gizi :
32
WHO-NCHS : BB/U = 17 – 13,8 = 2,28 (gizi lebih)1,40
TB/U = 92 – 93 = -0,29 (normal) 3,4
BB/TB = 17 – 13,7 = 2,2 (gemuk) 1,5
CDC 2000 = 17 x 100% = 125% (Obesitas) 13,6
V. PENATALAKSANAAN
IVFD D51/1 NS 1275 cc/hari = 14 tts/menit
Stesolid rektal 10 mg (kalau kejang)
Inj. Metamozole 200 mg (iv) (K/P)
Dilantin bolus 2 x 50 mg
Kemoterapi untuk relaps ALL
VI. USULAN PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan darah dan hapusan darah tepi (hemoglobin, leukosit,
eritrosit, hematokrit, trombosit, hitung jenis leukosit, MCV, MCH,
RDW-CV, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, asam urat, albumin dan
protein total)
2. Pemeriksaan cairan serebro spinal (LCS)
3. Aspirasi sum – sum tulang (BMA)
4. Pemeriksaan radiologis
5. Pemeriksaan sitologi
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
VIII. PENCEGAHAN
Melakukan kemoterapi sesuai jadwal yang telah ditentukan.
33
34
Lembar Follow up tanggal 22 - 31 Oktober 2008Hari Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Subyektif
Batuk
<< << < < < < < < < <
Kejang
- - - - - - - - - -
Sesak
<< << - - - - - - - -
Panas
+ - - - - - - - - -
Muntah
- - - - - - - + - -
Ma/Mi
</+</+</+</+</+</+</+</+</+</+
35
BAB/BAK
+ + + + + + + + + +
Obyektif
HR 84 88 80 88 102120120120115120
RR 40 32 26 28 24 24 28 24 28 24
TD 100/65
110/70
100/70
100/60
- - - - - -
T 37,8
36,6
36,2
36,6
36,9
36,1
36,5
36,5
36,5
35,9
Pemeriksaan Fisik
Dbn
Dbn
Dbn
dbn Dbn
dbndbndbndbndbn
AssOb
36
essment
s. Konvulsi
ec. ALL
Planning
D5
1/2NS
+ + + + + + + + + +
Stesolid
Rectal
- - - - - - - - - -
Inj. Metamizol
e
+ - - - - - - - - -
37
Dilantin
2x50 gr
+ + + + + + + + + +
Lanjut
Kemoterapi
MTX it
MTX it
Metoclopramide
3x1/4 amp
- - - - - - - + + +
38
Lembar Follow up tanggal 01 - 10 November 2008Hari Ke
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Subyektif
Batuk
<< << << - - - - -- - -
Kejang
- - - - - - - - - -
Panas
- - - - - - - - - -
Muntah
- - - - - - - - - -
Ma/Mi
+/+ -/+ </+</+</+</+</+</+</+</+
BAB/
+ + + + + cair + + + +
39
BAK
Obyektif
HR120122120 96 100120116 88 84 80
RR 24 24 40 38 40 40 46 28 32 40
TD - - - - - - - - - -
T 36,1
36,5
36 37,4
37,6
36,1
35,5
36,8
36,6
36,5
Pemeriksaan Fisik
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Assessment
ALL
Relaps
40
Planning
D5
1/2NS
+ + + + + + + + + +
Stesolid
Rectal
- - - - - - - - - -
Inj. Metamizol
e
- - - - - - - - - -
Dilantin
2x50 gr
+ + + - - - - - - -
Cef - - - + + + + + + +
41
triaxon
e 1x750 mg
Fenitoin
2x50
mg
- - - - + + + + + +
Lanjut
Kemoterapi
MTX it
Metoclopramide
3x1
- - - - + + + + + +
42
/4 amp
Lembar Follow up tanggal 11 - 16 November 2008Hari Ke
21 22 23 24 25 26 27
SubyektifBatuk - - - - - -
Kejang
- - - - - -
Panas
- - - - - -
Muntah
- - - - - -
Ma/Mi
+/++/++/++/++/++/+
BAB/BA
+ + + + + +
43
K
Obyektif
HR140136120108120130
RR 40 42 40 40 42 36
TD - - - - - -
T 36,8
36,5
36,8
36,8
36,8
36,5
Pemeriksaan Fisik
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Assessment
ALL
Relaps
Pla
44
nning
D5
1/2NS
+ + + + + +
Stesolid
Rectal
- - - - - -
Inj. Metamizol
e
- - - - - -
Dilantin
2x50 gr
+ + + - - -
Ceftria
- - - + + +
45
xone
1x750 mg
Fenitoin
2x50
mg
- - - - + +
Lanjut
Kemoterapi
Mulai kemoterapi
+ (MTXIt)
Metoclopramide
3x1/4
- - - - - -
46
amp
47
Follow Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah tgl 28 Oktober 2008
Jenis Pemeriksaan
Nilai
Hemoglobin 12,8 gr/dlEritrosit 4,60 juta/ulLeukosit 8,3 rb/ulHematokrit 37 vol %Trombosit 469 rb/ulRDW-CV 14,5 %MCV 80,7 flMCH 27,8 pgMCHC 34,5 %Basofil 0,4 %Eosinofil 5,6 %Neutrofil 71,7 %Limfosit 16,1 %Monosit 46,2 %Basofil 0,03 ribu/ulEosinofil 0,46 ribu/ulNeutrofil 5,94 ribu/ulLimfosit 1,33 ribu/ulMonosit 0,51 ribu/ul
2. Pemeriksaan Morfologi Darah Tepi tanggal 24 Oktober 2008
Eritrosit : Normositik normokromik
Lekosit : Diff count : 0/3/0/80/13/3, blas 1% (kesan jumlah normal,
dijumpai blas 1%)
Trombosit : Kesan jumlah meningkat, morfologi normal
Kesan : ALL dengan blas 1%
Saran : Monitoring darah rutin dan hapusan darah tepi
48
3. Pemeriksaan LCS 28 Oktober 2008
Kesan : Dijumpai blas pada cairan otak. Blas tampak penuh
4. Pemeriksaan Darah tanggal 07 November 2008
Jenis Pemeriksaan Nilai
Hemoglobin 12,2 gr/dlEritrosit 4,46 juta/ulLeukosit 2,5 rb/ulHematokrit 36 vol %Trombosit 188 rb/ulRDW-CV 15,3 %MCV 80,4 flMCH 27,4 pgMCHC 34,1 %Basofil 0,4 %Eosinofil 0,0 %Neutrofil 53,6 %Limfosit 27,0 %Monosit 19,0 %Basofil 0,01 ribu/ulEosinofil 0,00 ribu/ulNeutrofil 1,35 ribu/ulLimfosit 0,68 ribu/ulMonosit 0,48 ribu/ulAlbumin 4 g/dlTotal Protein 5,7 g/dlUreum 17 mg/dlCreatinin 0,7 mg/dlAsam urat 3,5 mg/dL
5. Pemeriksaan LCS tanggal 08 November 2008
Makroskopis : Diterima cairan sebanyak 1 cc, warna jernih.
Mikroskopis : Menunjukkan hapusan hiperseluler
Kesimpulan : Tidak ditemukan sel blast pada cairan ini
6. Pemeriksaan LCS tanggal 15 November 2008
Makroskopis : Warna : tidak berwarna, Kekeruhan jernih
Mikroskopis : Pewarnaan MB : tidak ditemukan sel leukosit
Pewarnaan Gram : tidak ditemukan gram – dan gram +
49
Pewarnaan ZN : BTA negatif
Kimiawi : Nonne : negatif
Pandy : negatif
7. Pemeriksaan Darah tanggal 15 November 2008
Jenis Pemeriksaan Nilai
Hemoglobin 11,9 gr/dlEritrosit 4,37 juta/ulLeukosit 1,4 rb/ulHematokrit 35 vol %Trombosit 84 rb/ulRDW-CV 15,1 %MCV 80,1 flMCH 27,2 pgMCHC 34 %Basofil 0,0 %Eosinofil 2,1 %Neutrofil 72,2 %Limfosit 22,2 %Monosit 3,5 %Basofil 0,00 ribu/ulEosinofil 0,03 ribu/ulNeutrofil 1,04 ribu/ulLimfosit 0,32 ribu/ulMonosit 0,05 ribu/ulSGOT 86 mg/dLSGPT 54 mg/dlUreum 11 mg/dlCreatinin 0,7 mg/dlAs. Urat 3,6 mg/dl
50
Grafik 1. Follow up frekuensi nadi selama perawatan
Grafik 2. Follow up frekuensi pernafasan selama perawatan
Grafik 3. Follow up pengukuran suhu tubuh selama perawatan
PEMBAHASAN
Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor
limfoid atau sel progenitor limfoid di sum-sum tulang disertai dengan anemia,
febris, perdarahan dan infiltrasi sel ganas ke organ lain. Lebih dari 80 % kasus,
sel-sel ganas berasal dari limfosit B, sisanya merupakan bentuk leukemia sel T
(adult T cell leukemia, ATL). 1,2
Pada kasus ini, belum diketahui secara pasti penyebab pasti anak
mengidap ALL, kerena menurut pengakuan dari orang tua anak tidak ada
memiliki cacat genetik ataupun dari silsilah keturunan yang mengidap penyakit
keganasan. Anak juga tidak tinggal di dekat daerah elektromagnet dan tidak
memiliki faktor resiko untuk terpapar radiasi ionik. Sedangkan risiko antenatal
tidak dapat dikaji karena selama hamil ibu jarang memeriksakan diri pada petugas
kesehatan. Anak juga lahir kurang bulan (usia kehamilan 8 bulan) karena ibu
mengalami perdarahan, tetapi ibu tidak mengetahui penyebab dari perdarahan
tersebut sehingga kita juga tidak dapat mengkaji apakan hal ini berhubungan
dengan terjadinya penyakit ALL pada anak tersebut. Mengenai risiko perinatal
anak dengan riwayat penanganan bayi yang memerlukan perawatan inkubator dan
51
pemberian oksigen mengarahkan pada adanya kemungkinan anak pernah
mengalami asfiksia neonatorum yang merupakan salah satu faktor risiko perinatal
untuk terjadinya penyakit LLA walaupun mekanismenya untuk hal ini masih
belum jelas.
Pada kasus ini, anak mengalami relaps. Relaps didefinisikan sebagai
munculnya kembali sel-sel leukemia pada setiap bagian tubuh. Sebagian besar
relaps terjadi selama pengobatan atau dalam 2 tahun setelah terapi leukemia telah
selesai. Sum-sum tulang merupakan tempat yang paling umum untuk terjadinya
relaps pada LLA. Pada kasus ini relaps yang terjadi adalah pada susunan saraf
pusat dan sum–sum tulang.
Pasien dengan relaps pada SSP biasanya muncul dengan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala atau muntah (terutama
muntah pada pagi hari), diplopia atau pandangan mata kabur, hemiparesis dan
dapat pula muncul sebagai gangguan saraf kranial. Pada kasus ini gejala
peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi adalah kejang yang berlangsung
selama kurang lebih 1 jam, selain itu kurang lebih 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit anak juga pernah mengalami kejang yang serupa dan dirawat selama 2
minggu dan selama perawatan anak juga pernah mengalami muntah yang
merupakan manifestasi dari peningkatan tekanan intrakranial. Diagnosis relaps
SSP pada kasus ini juga didasarkan pada munculnya sel-sel leukemia di cairan
serebrospinal yaitu didapatkannya blas pada cairan otak bahkan pada kasus ini
dinyatakan bahwa blas yang terdapat pada cairan otak penuh.
52
Untuk relaps yang terjadi pada sum–sum tulang pada kasus ini didasarkan
pada pemeriksaan morfologi darah tepi dimana ditemukan eritrosist normositik
nornokromik, leukosit diff count 0/3/0/80/13/3 blas 1 % (kesan jumlah normal
dengan dijumpai blas 1 %), trombosit dengan kesan jumlah meningkat dengan
morfologi normal. Dari hasil pemeriksaan morfologi darah tepi memberi kesan
sebagai ALL dengan blas 1 %. Seharusnya untuk kasus relaps pada sum–sum
tulang dilakukan pemeriksaan aspirasi sum–sum tulang (BMA), hal ini dilakukan
untuk melihat bagaimana gambaran morfologi dari sum–sum tulang. Untuk kasus
ini pemeriksaan BMA tidak dilakukan.
Untuk kasus relaps di tempat lain seperti pada testis, mata telinga,
ovarium, uterus, tulang, otot, tonsil, ginjal, mediastinum, pleura dan sinus
paranasal belum dapat dibuktikan pada kasus ini, hal ini dikarenakan sampai saat
ini tidak ada tanda–tanda klinis yang mengarah kepada diagnosis relaps pada
tempat–tempat tersebut. Selain itu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk membuktikan adanya suatu relaps di tempat lain adalah pemeriksaan
radiologis dan pemeriksaan sitologi.
Pada pemeriksaan darah rutin yang dilakukan pada tanggal 22 dan 28
Oktober 2008 didapatkan nilai hemoglobin, lekosit, eritrosit dan hematokrit dalam
batasan normal sedangkan nilai untuk trombosit meningkat, hal ini dimungkinkan
karena anak selama ini menjalani kemoterapi dan telah menjalani terapi induksi
remisi dimana didapatkan hemopoisis yang normal dan juga organomegali yang
menghilang, walaupun mungkin pada kasus ini complet remisi yang terjadi tidak
komplet dimana pada kasus ini masih didapatkan jumlah trombosit yang
53
meningkat dan dari hapusan darah tepi yang dilakukan masih terdapat kesan ALL
dengan blas 1 %.
Pada kasus ini, anak telah menjalani proses kemoterapi selama lebih dari
1 tahun dan telah diberikan metotreksat intratekal yang pada suatu studi
dinyatakan bahwa pada pasien LLA yang telah mendapatkan terapi profilaksis
SSP berupa metotreksat intratekal memiliki kemungkinan untuk mendapatkan
relaps SSP sebanyak 6 - 8 %. Pada kasus ini tidak diketahui apakah terapi ALL
yang diberikan telah mencapai tahap profilaksis SSP atau tidak karena menurut
pengakuan orang tua sampai bulan Agustus 2008 anak baru menjalani siklus
kemoterapi yang ke - 5 , pada kasus ini telah terjadi relaps SSP dimana 50 – 70 %
pasien yang tidak mendapatkan terapi profilaksis SSP akan mengalami relaps.
Setelah anak didiagnosis sebagai relaps SSP, anak kemudian menjalani
regimen kemoterapi untuk resiko tinggi relaps SSP selama kurang lebih 25 bulan
yang terdiri dari fase induksi (metotreksat intratekal, siklofosfamid per drip,
daunorubicin iv dan vincristin iv) selama 5 bulan, kemudian dilakukan BMP.
Terapi dilanjutkan dengan profilaksis SSP dalam 9 bulan. Pemberian profilaksis
ini terdiri dari metotreksat dosis tinggi iv, leucovorin dan metotreksat intratekal.
Pada 2 bulan terakhir fase profilaksis SSP diberikan metotreksat peroral. Pada
fase intensif, diberikan siklofosfamid perdrip, daunorubicin iv, vinkristin iv dan
deksametason peroral. Fase intensif barlangsung selama 6 bulan, selanjutnya
dilakukan profilaksis SSP kembali selama 5 bulan menggunakan metotreksat
intratekal, metotreksat peroral dan merkaptopurin peroral. Pada kasus ini anak
baru memulai terapi untuk relaps SSP pada tanggal 28 Oktober 2008 dimana
54
dilakukan pemberian metotreksat intra tekal, dilanjutkan pemberian metotreksat
intratekal pada tanggal 8 November 2008. Pada tanggal 8 November 2008 itu juga
dilakukan pemeriksaan sitologi dari cairan LCS di laboratorium Patologi Anatomi
RSUD Ulin Banjarmasin dan didapatkan kesimpulan bahwa tidak ditemukan sel
blas pada cairan tersebut, berarti respon terapi yang diberikan pada pasien ini
sangat baik dimana hasil pemeriksaan dari LCS sebelumya menunjukkan pada
LCS pasien tampak penuh dengan blas.
Kemoterapi pada kasus ini selanjutnya dilanjutkan mulai tanggal 13–15
November 2008, dimana diberikan pemberian siklopospamid drip, daunorubisin
iv dan vinkristin iv, kemudian kemoterapi dilanjutkan dengan metotreksat intra
tekal yang ke-3. Pada tanggal 15 November 2008 tersebut diperiksa lagi LCS dan
didapatkan bahwa dengan pewarnaan MB tidak ditemukan adanya sel leukosit
lagi pada cairan LCS tersebut. Berarti respon terapi yang diberikan pada kasus ini
dengan menggunakan obat metotreksat intra tekal, siklopospamid drip,
daunorubisisn iv, vinkristin iv dan juga dexametason po dengan dosis 24 mg/hari
adalah sangat baik.
Kondisi pasien ini setelah dilakukan kemoterapi yang pertama ini sangat
baik dan tidak ada keluhan - keluhan seperti mual, muntah, nyeri kepala dan lain -
lain. Pada tanggal 15 November 2008 juga dilakukan pemeriksaan darah ulang
kembali dan didapatkan hasil Hb, eritrosit dan hematokrit dalam batas normal,
leukosit dan trombosit mengalami penurunan sedikit, fungsi hati meningkat
sedikit serta fungsi ginjal yang masih dalam batas normal. Penurunan jumlah
55
lekosit dan trombosit serta peningkatan nilai dari fungsi hati kemungkinan
disebabkan oleh efek dari kemoterapi yang diberikan pada kasus ini.
Efek samping terapi yang tidak dapat dihindari pada pengobatan ALL
adalah mielosupresi dan imunosupresi akibat kemoterapi. Kemoterapi yang
ditujukan pada limfoblas leukemik juga mempengaruhi limfosit T dan B normal,
menimbulkan limfositopenia dan imunodefisiensi. Pneumonia Pnemocystis carinii
dapat timbul pada keadaan remisi. Infeksi virus seperti virus herpes simplek dan
zoster, campak dan sitomegalovirus sering terjadi. Pertumbuhan pada anak agak
terganggu selama kemoterapi. Sebagian besar obat kemoterapi dan iradiasi
menimbulkan kemandulan. Fungsi gonad dapat pulih setelah interval yang
panjang. Gonad pada pasien prapubertas relatif resisten terhadap kemoterapi dan
sebagian besar pasien mengalami pubertas normal setelah terapi dihentikan.
Penyulit lambat adalah gangguan SSP dan neuroendokrinologik yang dapat timbul
akibat iradiasi setelah kranium, kanker sekunder dan leukemia mieloid yang dapat
timbul setelah iradiasi atau kemoterapi dan gangguan jantung akibat toksik. 1,9
Efek samping lain yang terjadi adalah tumor lysis syndrom, yang
merupakan suatu kelainan metabolik yang mengancam jiwa akibat pelepasan
sejumlah zat intraselular ke dalam aliran darah akibat tingkat penghancuran sel
tumor yang tinggi karena pemberian kemoterapi. Zat intraseluler tersebut adalah
hasil degradasi asam nukleat akibat destruksi sejumlah besar sel tumor yang
mengakibatkan meningkatnya metabolisme purin, diikuti oleh meningkatnya
pembentukan asam urat. Tumor lysis syndrom terdiri dari hiperurisemia,
hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Dalam hal ini, pemberian
56
kemoterapi pada sel tumor yang sensitif akan mengakibatkan terjadinya
penghancuran mendadak sejumlah besar sel tumor sehingga terjadi degradasi
asam nukleat, mengakibatkan katalisis hipoksantin dan xantin oleh xantin
oksidase yang meningkatkan pembentukan asam urat yang relatif tidak larut
dalam air. Ekskresi asam urat yang meningkat mengakibatkan konsentrasi
intratubular yang meningkat pula sampai melebihi batas kelarutan, sehingga
terjadi keadaan supersaturasi dan kristal asam urat pada tubulus renal dan distal
collecting system yang mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Keadaan ini
mengakibatkan terjadinya hiperfosfatemia yang makin memperburuk fungsi ginjal
sehingga terjadi penurunan ekskresi kalium sampai terjadi hiperkalemia,
disamping hiperfosfatemia sendiri mengakibatkan terjadinya hipokalsemia. 15,16,17
Pencegahan adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan. Pengenalan
jenis tumor dan pasien dengan risiko tinggi harus dilakukan sebelum kemoterapi
dimulai, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk melindungi fungsi
ginjal. Untuk pasien - pasien tersebut dapat diberikan hidrasi cairan 2000 - 3000
ml/m2/24 jam, yang sudah dimulai 24 jam sebelum pemberian kemoterapi. Selain
itu, diberikan alopurinol 2 x 75 mg/hari untuk memecah produksi asam urat dan
dilakukan tindakan alkalinisasi urin dengan pemberian natrium bikarbonat untuk
meningkatkan kelarutan asam urat sehingga dapat disekresikan melalui ginjal.15,18
Pasien yang mengalami relaps pada saat menjalani kemoterapi memiliki
prognosis yang buruk. Sedangkan pasien yang mengalami relaps pada lebih dari
24 bulan setelah diagnosis memiliki prognosis yang lebih baik.10 Pada kasus ini,
57
anak mengalami relaps saat menjalani pengobatan kemoterapi yaitu setelah
kemoterapi kelima sehingga prognosis untuk kasus ini adalah jelek.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus ALL dengan relaps SSP dan sum – sum
tulang pada seorang anak laki – laki umur 2 tahun 8 bulan yang dirawat di bagian
anak RSUD Ulin Banjarmasin.
Anak memiliki riwayat penyakit leukemia tipe ALL dan sampai bulan
Agustus 2008 anak telah menjalani kemoterapi sampai siklus ke - 5. Diagnosis
relaps SSP didapatkan dari anamnesa yakni didapatkan tanda – tanda peningkatan
tekanan intrakranial berupa kejang dan muntah serta hasil pemeriksaan
laboratorium (pemeriksaan LCS) dimana didapatkan blas pada cairan otak dan
blas pada cairan otak tampak penuh.
Anak akan menjalani regimen kemoterapi untuk resiko tinggi relaps SSP
selama kurang lebih 25 bulan yang terdiri dari fase induksi selama 5 bulan,
dilanjutkan dengan profilaksis SSP dalam 9 bulan, dilanjutkan fase intensif
selama 6 bulan selanjutnya dilakukan profilaksis SSP kembali selama 5 bulan.
58
Respon terapi pada kasus ini sangat baik dimana dengan pemberian terapi
kombinasi metotreksad intra tekal, siklopospamid drip, daunorubisisn iv,
vinkristin iv dan juga dexametason po, didapatkan hasil pemeriksaan LCS pada
tanggal 8 dan 15 November 2008 tidak ditemukan lagi adanya blas pada LCS
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Provan. Drew (editor). ABC of Clinical Haematology Second Edition. London: BMJ Book, 2003
2. Behrman RE, Vaughn VC, Nelson WE, eds. Ilmu kesehatan anak nelson 1. Alih bahasa : Siregar MR, Maulany RF, EGC. Jakarta : 1992
3. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005
4. Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Sinadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Departemen IPD FK UI, 2006
5. Beutler, Ernest, Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Uri Seligsohn (editor). Williams Hematology 6th edition. New York: McGraw-Hill Professional, 2000
6. Hoffman, Ronald, Edward J. Benz Jr, Sanford J Shattil, Bruce Furie Harvey J. Cohen, Leslie E. Silberstein, Philip McGlave. Hematology: Basic Principles and Practice 3rd Ed. New York: Churchill Livingstone, Inc, 2000
7. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006
8. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi 4. Jakarta: EGC, 2005
9. Isselbacher, Kurt J, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph B. Martin, Anthony K.Fauci, Dennis L. Kasper. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4. Jakarta: EGC, 2000
10. Moghrabi A et all. Results of the Dana-Farber Cancer Institute ALL Consortium Protocol 95-01 for children with acute lymphoblastic leukemia.
59
Blood: 109(3):896-904: 2007. (http://bloodjournal.hematologylibrary.org). Diakses tanggal 12 November 2008.
11. Pui CH et al. Improved Outcome for Children with Acute Lymphoblastic Leukemia: Results of Total Therapy Study XIIIB at St. Jude Children’s Research Hospital. Blood: 104(9):2690-2696: 2004. (http://bloodjournal.hematologylibrary.org). Diakses tanggal 17 November 2008.
12. Mcmillan JA, Deangelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, Oski FA dan Warshaw JB. Oski,s Pediatrics : Principles and Practice, 3rd Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins Publishers, 1999
13. Matloub Y et all. Intrathecal triple therapy decreases central nervous system relapse but fails to improve event-free survival when compared with intrathecal methotrexate: results of the Children's Cancer Group (CCG) 1952 study for standard-risk acute lymphoblastic leukemia, reported by the Children's Oncology Group. Blood :108 (4):1165-1173. 2006. (http://bloodjournal.hematologylibrary.org) Diakses tanggal 12 November 2008.
14. Barreto et al. Isolated CNS Relaps of Acute Lymphoblastic Leukemia Treated With Intensive Systemic Chemotherapy and Delayed CNS Radiation: A Pediatric Oncology Group Study. J Clin Oncol: 24(19):3142-3149 : 2006. (http://jco.ascopubs.org). Diakses tanggal 14 November 2008.
15. Ikeda Alan K. Tumor Lysis Syndrome. Clinical Fellow, Department of Pediatrics, Division of Hematology and Oncology, Mattel Children's Hospital, David Geffen School of Medicine at UCLA. 2006. http//www.eMedicine.com. Diakses 13 September 2008.
16. Krishnan Koyamangalath. Tumor Lysis Syndrome. Dishner Endowed Chair of Excellence in Medicine, Professor of Medicine and Chief of Hematology-Oncology, Program Director, Hematology-Oncology Fellowship, James H Quillen College of Medicine at East Tennessee State University. http//www.eMedicine.com. Diakses 13 September 2008.
17. Anonymous. Tumor Lysis Syndrome. 2007. (http//the Wikimedia Foundation, Inc) Diakses 13 September 2008.
18. Cabanillas Fernando. Tumor Lysis Syndrome. 2005. http//www.Medscape.com. Diakses 13 September 2008.
60
Laporan Kasus
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DENGAN RELAPS SSP DAN SUM – SUM TULANG
Oleh :
Masmuliyati
I1A001026
Pembimbing :
61
Dr. Wulandewi Marhaeni Sp.A
SMF / BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK
RSU DAERAH ULIN
Banjarmasin
November, 2008
DAFTAR SINGKATAN
62