laporan jadi banget

57
BAB I PENDAHULUAN Mioma uteri adalah suatu tumor jinak yang tumbuh dalam otot uterus dan jaringan ikat sekitarnya. Biasa juga disebut fibromioma uteri, leiomioma uteri atau uterine fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan. 1 Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarce, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39 – 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 – 45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita yang sering melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau hanya hamil 1 kali. 2 Perihal penyebab pasti terjadi tumor mioma belum diketahui. Mioma uteri mulai tumbuh dibagian atas (fundus) rahim dan sangat jarang tumbuh dimulut rahim. Bentuk tumor bisa tunggal atau multiple (banyak), umumnya tumbuh didalam otot rahim yang dikenal dengan intramural mioma. Tumor mioma ini akan cepat memberikan keluhan, bila mioma tumbuh kedalam mukosa rahim, keluhan yang biasa dikeluhkan berupa perdarahan 1

Upload: irni-madyartii

Post on 30-Dec-2015

66 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

la

TRANSCRIPT

Page 1: laporan jadi banget

BAB I

PENDAHULUAN

Mioma uteri adalah suatu tumor jinak yang tumbuh dalam otot uterus dan jaringan

ikat sekitarnya. Biasa juga disebut fibromioma uteri, leiomioma uteri atau uterine fibroid.

Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan. 1

Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarce, sedangkan setelah

menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Diperkirakan insiden mioma

uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39 –

11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan

pada wanita umur 35 – 45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan

wanita post menopause. Wanita yang sering melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan

untuk berkembangnya mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau

hanya 1 kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang

tak pernah hamil atau hanya hamil 1 kali. 2

Perihal penyebab pasti terjadi tumor mioma belum diketahui. Mioma uteri mulai

tumbuh dibagian atas (fundus) rahim dan sangat jarang tumbuh dimulut rahim. Bentuk tumor

bisa tunggal atau multiple (banyak), umumnya tumbuh didalam otot rahim yang dikenal

dengan intramural mioma. Tumor mioma ini akan cepat memberikan keluhan, bila mioma

tumbuh kedalam mukosa rahim, keluhan yang biasa dikeluhkan berupa perdarahan saat siklus

dan diluar siklus haid. Sedangkan pada tipe tumor yang tumbuh dikulit luar rahim yang

dikenal dengan tipe subserosa tidak memberikan keluhan perdarahan, akan tetapi seseorang

baru mengeluh bila tumor membesar yang dengan perabaan didaerah perut dijumpai benjolan

keras, benjolan tersebut kadang sulit digerakkan bila tumor sudah sangat besar. 2

Tatalaksana operatif pada mioma uteri dapat dilakukan miomektomi atau

histerektomi. Jika fungsi reproduksi masih diperlukan (masih menginginkan anak) dan teknis

memungkinkan, dapat dilakukan miomektomi sehingga uterus masih dapat dipertahankan.

Tetapi apabila fungsi reproduksi sudah tidak diperlukan dan pertumbuhan tumor sangat cepat,

dilakukan histerektomi (pengangkatan uterus). Histerektomi adalah pengangkatan uterus

yang pada umumnya dilakukan perabdominal karena lebih mudah dan pengangkatan sarang

mioma dapat dilakukan lebih bersih dan teliti. Dampak dari dilakukannya histerektomi adalah

pasien tidak dapat mengalami menstruasi dan tidak dapat hamil lagi. Dengan kata lain, pasien

1

Page 2: laporan jadi banget

mengalami menopause sebelum waktunya dan dapat dikatakan infertil. Hal inilah yang dapat

mempengaruhi psikis pasien, apalagi pada kasus ini pasien belum memiliki anak.2

Histerektomi merupakan prosedur yang sering dilakukan untuk mioma uteri.

Mengingat histerektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi

kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan kelayakannya menjalani

operasi tersebut. Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama

perawatan di rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American

Family Physician). Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang

diperoleh dari anamnesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan

radiologik kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan

klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang

dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu. 1

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan

meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,

pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan

penanggulangan penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang

meliputi hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai

hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel

yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh.

Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi

lokal/ regional.6

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa

tahap persiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi

dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi. Tahap pra anestesi

merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal ini

penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi riwayat penyakit

pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-obatan dan

macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan

timbul pada waktu pengelolaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pada pasca

anestesi. Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang

dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan

pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan

sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.9

2

Page 3: laporan jadi banget

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Intubasi

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui

hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi

Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan.3

Tujuan Intubasi Endotrakhea.

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan

saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi,

serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya,

tujuan intubasi endotrakheal :3

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran

pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,

lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

Indikasi dan Kontraindikasi.3

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara

lain :

a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri

dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui

masker nasal.

b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di

arteri.

c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai

bronchial toilet.

3

Page 4: laporan jadi banget

d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien

dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain:3,4

a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.

b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada

kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa

mengganggu pekerjaan ahli bedah.

c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak

ada ketegangan.

d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,

memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra

pulmonal.

e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.

f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.

g. Tracheostomi.

h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.

Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa

indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:4

a. Asfiksia neonatorum yang berat.

b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent

dan sering menimbulkan aspirasi.

c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.

d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.

e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam

seharusnya diintubasi.

f. Pada post operative respiratory insufficiency.

Menurut Gisele ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal

antara lain :3

a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk

dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada

beberapa kasus.

4

Page 5: laporan jadi banget

b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,

sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Kesulitan Intubasi

Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat

anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas.

Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi

seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering

diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada

visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil

Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula

Mallampati 4 : Palatum durum saja

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah intubasi,

sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik

lainnya telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk

menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat badan, kepala dan

gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang

diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko

Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :

· Lidah besar

· Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

· Mandibula menonjol

5

Page 6: laporan jadi banget

· Maksila atau gigi depan menonjol

· Mobilitas leher terbatas

· Pertumbuhan gigi tidak lengkap

· Langit-langit mulut sempit

· Pembukaan mulut kecil

Anafilaksis saluran napas

· Arthritis dan ankilosis cervical

· Sindrom kongenital

· Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)

· Infeksi

· Massa pada mediastinum

· Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus

· Jaringan parut luka bakar atau radiasi

· Trauma dan hematoma

· Tumor dan kista

· Benda asing pada jalan napas

· Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan kepala,

kumis, jenggot)

· Nasogastrik tube

· Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.3

Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis

dan epiglotis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis

terlihat; Kelas 4: tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai

'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.

6

Page 7: laporan jadi banget

Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.3

Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam

keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang umum

adalah mengekstensikan kepala dan leher.

Alat-alat Untuk Intubasi3,4,5

Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal antara lain :

a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop

yaitu :

Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.

Blade lurus.

Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai teknik yang

berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena mempunyai

epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis dengan blade

lurus lebih sering terjadi.

b. Pipa endotrakheal.

Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan lebih tidak

mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher

7

Page 8: laporan jadi banget

dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk

mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff)

pada ujunga distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian

tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa

dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa

digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5

– 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm.. Untuk anak yang lebih

kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.

c. Pipa orofaring atau nasofaring.

Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan

faring pada pasien yang tidak diintubasi.

d. Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.

e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa

endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk

memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

f. Alat pengisap atau suction.

Tindakan Intubasi.3

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah

ditetapkan, antara lain :

a. Persiapan.

Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan

menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1

gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam

satu garis lurus.

b. Oksigenasi.

Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan

pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang

dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.

c. Laringoskop.

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan

tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan

8

Page 9: laporan jadi banget

terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan

kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan

tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak

keputihan berbentuk huruf V.

d. Pemasangan pipa endotrakheal.

Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa

tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk

menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila

mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan

memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun

laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

e. Mengontrol letak pipa.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan

auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada

ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan

terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-

kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat.

Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru

sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster

akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar

cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut

pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

f. Ventilasi.

Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.

Langkah-langkah pemasangan3

1. Siapkan alat dan pasien

2. Cuci tangan

3. Pakai masker penutup hidung dan mulut dan sarung tangan

4. Atur posisi pasien,kepala ekstensi,leher fleks

9

Page 10: laporan jadi banget

5. Tangan kanan memegang kedua bibir lalu buka mulut pasien

Tangan kiri memegang laringoscope,masukkan blade dari sebelah kanan mulut sambil

membawa bagian lidah ke arah kiri sampai terlihat uvula dan epiglottis.

6. Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya epiglottis

7. Masukkan endotracheal tube dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke

arah tengah

8. Isi balon endotracheal dengan spuit kosong

9. Sambungkan endotracheal dengan ventilator/bag

10. Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop masuk ke esophagus, terlalu kanan atau

terlalu kiri dari bronchus

11. Fiksasi menggunakan plester

Komplikasi Intubasi Endotrakheal.

1. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)

a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal

cuff.

b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut,

cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.

c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat,

tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.

d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

2. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.

a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan

malposisi laringeal cuff.

b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit

hidung

c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.

3. Komplikasi setelah ekstubasi.

a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara

sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.

b. Gangguan refleks berupa spasme laring.

10

Page 11: laporan jadi banget

2.2. Anestesi Pada Pasien Histerektomi

Pada pembedahan abdomen, masalah anestesi berhubungan dengan tersedianya jalan

nafas yang baik, penggunaan sirkuit yang menjamin akses bedah yang optimal, penggunaan

monitor yang sesuai dan terus menerus, dan penggunaan alat yang melindungi trakea dan

cabang bronchial terhadap darah dan debris. Sehingga proses pembedahan dapat berlangsung

dengan baik.6

Persiapan anestesi pada pasien struma dimulai dengan kunjungan preoperatif dan

evaluasi oleh anestesiolog. Anestesiolog harus berusaha agar membangun hubungan yang

cepat dengan pasien yang belum dikenal sebelumnya, persetujuan pasien harus diperoleh.6

Tujuan yang harus dicapai melalui pengobatan preoperatif adalah:

1. Tujuan utama adalah mengurangi kegelisahan pasien. Pengurangan kecemasan

sebelum pembedahan lebih banyak tergantung pada hubungan yang telah dibangun

oleh ahli anestesi dengan pasien daripada pilihan obat premedikasi.

2. Bila terdapat nyeri preoperatif, penting untuk memberikan analgesik dalam dosis

cukup untuk meminimalkan eksaserbasi nyeri oleh gerakan-gerakan yang diperlukan

dalam memindahkan pasien dari tempat tidur ke meja operasi.

3. Jika dipertimbangkan tehnik anestesi ringan-seimbang, maka obat sedatif atau amnesik

harus merupakan bagian dari premedikasi untuk mengurangi kemungkinan pasien

sadar.

4. Penggunaan antisialogogue sering penting untuk pembedahan leher dan kepala, dan

endoskopi, karena jalan napas pasien tidak akan dapat terjangkau untuk penghisapan

manual oleh anestesiolog. Pengurangan volume sekresi juga akan membantu

endoskopi.

5. Obat premedikasi depresan juga dapat membantu tehnik anestesi itu sendiri dengan

cara memperlancar induksi inhalasi dan mengurangi kebutuhan obat intraoperatif.

6. Obat premedikasi juga dapat untuk mengurangi kejadian mual muntah postoperatif,

walau untuk mencapai antiemesis yang efektif untuk operasi pada telinga bagian

dalam, efek premedikasi biasanya harus diperkuat dengan obat-obat seperti droperidol

tepat sebelum pasien terbangun.

2.3. Evaluasi Jalan Nafas

Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu

tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi

dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik.5

11

Page 12: laporan jadi banget

Untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi

endotrakea, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas.

Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar

jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Penggunaan

intubasi endotrakea juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat

mengganggu jalan napas.11

Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakea terlebih dahulu kita harus memahami

anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu menguraikan tentang

beberapa hal yang menyangkut fisiologi rongga orofaring, sebagian nasofaring dan akan lebih

ditekankan lagi pada bagian laring. Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain

umum yang dapat dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting.8

Secara esensial tentunya sistem ini terdiri dari permukaan respirasi dan bercabang

menjadi pasase konduksi yang membentuk pohon pernapasan. Permukaan respirasi ini sangat

luas kurang lebih 200 m2, dan membentuk sesuatu yang sangat tipis, barier yang lembab

untuk udara dan kapiler darah mengelilingi berjuta-juta kantong yang disebut alveolus yang

akhirnya membentuk suatu massa paru-paru.8

Gambar 2.1. Anatomi saluran napas bagian atas

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah

ditetapkan antara lain persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,

oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup

kerasatau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakea dan

laringoskop berada dalam satu garis lurus. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan

12

Page 13: laporan jadi banget

pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan

selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan

tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan

terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan

kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan

tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak

keputihan berbentuk huruf V. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan

mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa

asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak

dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.9

Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan

kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya

pipa difiksasi dengan plester. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu

ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri

sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakea. Bila terjadi intubasi

endotrakea akan terdapat tanda-tanda berupa suara napas kanan berbeda dengan suara napas

kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, secret lebih banyak dan tahanan jalan napas

terasa lebih berat.9

Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru

sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster

akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar

cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut

pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.9

2.4. Prosedur Anestesia Umum

Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias anestesi yaitu hipnotik,

analgesik, relaksasi dan stabilisasi otonom.7

Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya

kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri:

1. hipnotik

2. analgesia

13

Page 14: laporan jadi banget

3. relaksasi otot

Keadaaan anestesi biasanya disebut anestesi umum, ditandai oleh tahap tidak sadar

diinduksi, yang selama itu rangsang operasi hanya menimbulkan respon reflek autonom. Jadi

pasien tidak boleh memberikan gerak volunteer, tetap perubahan kecepatan pernapasan dan

kardiovaskuler dapat dilihat. Keadaan anestesi berbeda dengan keadaan analgesia, yang

didefinisikan sebagai tidak adanya nyeri. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh agen narkotika

yang dapat menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar. Sebaliknya,

barbiturate dan penenang tidak menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar.7

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia

adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan

hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan

hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran

kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan

mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara

tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva

autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi

serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

Anestesia aman Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang

maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan

yang terjadi pada serebral.4

Jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan

hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan

dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot,

atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia

regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia

regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada

pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan

yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti

phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita hipertensi

yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring

intra-arterial secara langsung diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan

14

Page 15: laporan jadi banget

preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia

jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah

dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam.

Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita

yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.4

2.4.1. Penilaian Prabedah

Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah kunjungan pra

anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif dan darurat

mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Tujuan kunjungan pra anestesi

adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.5

Adapun tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik

secara optimal, merencanakan dan memilih tehnik serta obat – obat anestesi yang sesuai

dengan fisik dan kehendak pasien, menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA

(American Society Anesthesiology).4

Tabel 2.1. Macam-macam teknik anestesi : No. Teknik Resevoir bag Valve Rebreathing Soda lime1. Open _ _ _ _2. Semi open + + _ _3. Semi closed + + + +4. Closed + + + +

Keterangan : Rebreathing ( - ) = CO2 langsung ke udara kamar.Rebreathing ( + ) = CO2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap lagi.Rebreathing ( + ) = CO2 dihisap lagi.

Semi closed anestesi mempunyai beberapa keuntungan :

1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan.

2). Konservasi panas dan uap.

3). Menurunkan polusi kamar.

4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.

Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology), yaitu :3

15

Page 16: laporan jadi banget

ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa

kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas mencapai

2 %.

ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena

penyakit bedah maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas

mencapai 16 %.

ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga

aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %.

ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

mengancam kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan

operasi. Angka mortalitas mencapai 68 %.

ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan operasi hampir

tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam

walaupun dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai 98 %

2.4.2. Tatalaksana Saat Anestesia

Tahapan – tahapan yang harus dilakukan selama anestesia umum.

A. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan untuk

melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Diantaranya sebagai berikut : 7

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.

2. Memperlancar induksi anestesia.

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

4. Meminimalkan jumlah obat anestesi.

5. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah dan menciptakan amnesia.

6. Mengurangi isi cairan lambung.

7. Mengurangi refleks yang membahayakan.

Obat-Obat Premedikasi

a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk

mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik

akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek

lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

16

Page 17: laporan jadi banget

gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame yang

berkaitan dengan anestesi umum.6

Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada perasaan

kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak

digunakan untuk anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita

dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya fibrilasi

aurikuler.

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.

Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg

untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.6

b. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer)

Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya sebagai

medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-bahan psikokimia dari obat itu berguna untuk

kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Sedangkan dengan benzodiazepin lain,

midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan amnesia. Ini 2 sampai 3 kali lebih poten

daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepun.6

Dosis biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5 mg pada

intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam. Insidensi efek samping

setelah masuknya obat rendah, meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat lebih dari yang

diharapkan, terutama pada pasien tua atau ketika obat dikombinasikan dengan depresan

system saraf pusat lain. Ada onset yang cepat pada kerja dan absobrsi yang diperkirakan

setelah injeksi intramuskular midazolam daripada diazepam. Waktu onset setelah injeksi

intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah

masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit. Ditambahkan onset

yang lebih cepat, penyembuhan lebih cepat muncul setelah masuknya midazolam

dibandingkan dengan diazepam. Hal ini mungkin sebagai hasil kelarutan midazolam pada

lemak dan distribusi yang cepat pada jaringan perifer dan biotransformasi metabolik.6

Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan dalam waktu 1 jam induksi.

Midazolam dimetabolisme dengan enzim mikrosomal hepatic untuk mencapai metabolisme

hidroksilasi yang inaktif. Reseptor H2 antagonis tidak mempengaruhi metabolisme. Eliminasi

waktu paruh midazolam kira-kira 1-4 jam dan dapat memanjang pada orang tua. Percobaan

menunjukkan fungsi mental biasanya kembali ke normal dalam 4 jam masuknya obat. Setelah

masuknya 5 mg, amnesia berakhir dari 20-32 menit. Masuknya obat intramuskuler dapat

17

Page 18: laporan jadi banget

menghasilkan periode amnesia lebih panjang. Hilangnya ingatan dapat diakibatkan oleh

masuknya skolpolamin berkelanjutan. Obat-obatan midazolam membuat hal ini ideal untuk

prosedur yang pendek.

Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan,

umumnya hanya sedikit. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan

umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah

dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB.6

c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)

Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan

pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa ipotensi, bronkospasme,

konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-4 mg.6

d. Antagonis Receptor Histamin (Antagonis reseptor H2)

Cimetidin, Ranitidin, Famotidin and Nizatidin mengurangi sekresi asam gaster.

Mereka memblok kemampuan histamine untuk menginduksi sekresi asam gaster dengan

konsentrasi ion hydrogen yang tinggi. Oleh karena itu antagonis reseptor histamin

meningkatkan pH gaster. Antagonisme dari reseptor histamine terjadi dalam cara yang

selektif dan kompetitif. Penting untuk mengingat bahwa obat-obatan ini tidak dapat

diperkirakan tergantung dari volume gaster. Dibanding dengan premedikasi, mereka relatif

memiliki efek samping yang lebih sedikit. Karena efek sampingnya yang relatif sedikit dan

karena banyak pasien elektif memiliki resiko aspirasi pneumonitis, beberapa anesthesiologists

menyarankan penggunaan antagonis reseptor H2.

Regimen dosis mulitipel dapat lebih efektif dalam meningkatkan pH gaster dibanding

dosis tunggal sebelum operasi pada hari operasi. Antagonis H2 juga dapat diberikan pada

pasien alergi.6

Ranitidin 50 mg

Ranitidin lebih poten,spesifik, dan kerja lebih lama dibanding cimetidin. Dosis oaral

biasanya 50-200 mg. Ranitidin 50-100 mg yang diberikan parenteral,akan menurunkan pH

cairan gaster dalam 1 jam. Sama efektifnya dengan cimetidin dalam mengurangi jumlah

pasien yang memiliki resiko aspirasi gaster dan memiliki sedikit efek samping terhadap

kardiovaskular dan SSP. Efek dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Oleh karena itu,

18

Page 19: laporan jadi banget

ranitidine lebih superior dari cimetidin pada prosedur jangka panjang dalam mengurangi

resiko aspirasi pneumonitis selama keadaan bahaya dari anestesi dan extubasi trakea.6

B. Induksi Anestesia

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan

hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat

intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama

pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan

untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.8

Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari

obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti

ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan

stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan

takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat

tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi

laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi

hemodinamik.8

Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi

untuk menghindari terjadinya hipertensi.

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,

sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol

1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

Menggunakan anestesia topikal pada airway (Muhiman, 2008).

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing

klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama

untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau

cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile,

sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.8

19

Page 20: laporan jadi banget

Obat - Obat Induksi

a. Profofol

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery

anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan cairan emulsi

minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg)

dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh

GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai

dalam waktu 30 detik.11

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi 25-

100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi

maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa

dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau secara

kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara

pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV

dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat.11

b. Petidin

Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan

morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia

petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat. Efek samping meperidin dan derivat

fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah,

perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.11

c. Atracurium

Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan

reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi

asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.11

Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45 menit

dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah

asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling

sring digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat antikolinergik

lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan,

bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga

pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau

glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.11

20

Page 21: laporan jadi banget

Pemeliharaan

a. N2O

N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan memanaskan

ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3 à 2H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk

gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara.

Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik

lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang

persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan

salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O

dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2

dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2

100% selama 5-10 menit.5

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% :

40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan

20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya

bila digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan

timpanoplasti.5

b. Halothan/fluothan

Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang

mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen

atau nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus

dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah

dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali

sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis

menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia,

vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor.

Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil. Sifatnya tidak berwarna,

mudah menguap, tidak mudah terbakar/meledak dan berbau harum tetapi mudah terurai

cahaya. Efeknya tidak merangsang traktus respiratorius, menghambat salivasi, nadi cepat,

ekskresi airmata dan asodilatasi pembuluh darah otak.5

c. Sevofluran

Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih

cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan

21

Page 22: laporan jadi banget

napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap

kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat

seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian

dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh sodalim

namun belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.5

2.4.3. Tatalaksana Pasca Anestesia

Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang

biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi

pasien pasa operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien

dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian

pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena

operasi atau pengaruh anestesinya.6

Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya

cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain obstruksi jalan nafas

karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme laring, pasca bedah dini juga dapat

terjadi muntah yang dapat menyebabkan aspirasi.

Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien belum sadar

dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari

pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan hiperkarbi

terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca

bedah adalah akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung

dan sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung.6

Tabel 2.2. Steward Scoring SystemKriteria Skor

Kesadaran

Jalan nafas

Gerakan

BangunRespon terhadap stimuliTak ada responBatuk atas perintahMempertahankan jalan nafas dengan baikPerlu bantuan untuk mempertahankanMenggerakkan anggota badan dengan tujuanGerakan tanpa maksudTidak bergerak

210210210

Tabel 2.3. Robertson Scoring System

22

Page 23: laporan jadi banget

Kriteria SkorKesadaran

Jalan nafas

Aktivitas

Sadar penuh, mata terbuka, berbicaraTertidur ringan, sekali-kali mata terbukaMata terbuka atas perintah atau respons bila dipanggil namanyaRespon terhadap cubitan telingaTak ada responMembuka mulut dan atau batuk atas perintahTak ada batuk volunter, jalan nafas bebas tanpa bantuanObtruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi tanpa bantuan ekstensiTanpa bantuan terjadi obstruksiMengangkat tangan dengan perintahGerakan tak berartiTak bergerak

432

1032

1

0210

Tabel 2.4. Aldrette Scoring SystemKriteria Recovery score

In 15 30 45 60 outAktivitas Dapat

bergerak volunter atau atas perintah

4 anggota gerak

2 2 2 2 2 2

2 anggota gerak

1 1 1 1 1 1

0 anggota gerak

0 0 0 0 0 0

Respirasi

Sirkulasi

Mampu benafas dan batuk secara bebas

2 2 2 2 2 2

Dyspnea, nafas dangkal atau terbatas

1 1 1 1 1 1

Apnea 0 0 0 0 0 0Tensi Pre op…mmHg

Tensi ± 20 mmHg preop

2 2 2 2 2 2

Tensi ± 20-50 mmHg preop

1 1 1 1 1 1

Tensi ± 50 mmHg preop

0 0 0 0 0 0

Kesadaran

Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0

Warna kulit

Normal 2 2 2 2 2 2Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1Sianotik 0 0 0 0 0 0

23

Page 24: laporan jadi banget

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama pasien : Ny. Nurjanah

Usia : 49 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Nomor RM : 12.57.83

Agama : Islam

Alamat : Lr. Rukun 4 No. 97 RT 21 RW 07

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal operasi : 18 November 2013, pukul 10.00 WIB

Diagnosa preoperatif : Mioma uteri

Diagnosa pascaoperatif : Post histerektomi

Jenis Pembedahan : Histerektomi

3.2. Anamnesis

(Anamesis pada tanggal 18 November 2013 pukul 16.00 WIB).

Pasien datang ke Rumah Sakit Muhammadiah karena mengeluh keluar darah dari jalan

lahir sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Darah yang keluar berwarna merah segar

yang disertai gumpalan darah, berwarna kehitaman. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri

perut pada bagian bawah. Pusing juga dirasakan, demam disangkal, sesak di sangkal, mual

muntah disangkal, konstipasi disangkal, BAB dan BAK lancar. Pasien mengaku pernah

menjalani operasi kuretase pada bulan januari 2013 atas indikasi polip endometrium.

Saat ini pasien tidak mengeluhkan batuk pilek. Pasien sudah melakukan puasa untuk

persiapan operasi.

Riwayat haid lancar, riawayat penyakit yang sama dalam keluarga (-), Riwayat

operasi/anestesi sebelumnya (+), Riwayat alergi makanan/obat (-), Riwayat asma dan

penyakit paru (-), Riwayat tekanan darah tinggi (-)

24

Page 25: laporan jadi banget

3.3. Pemeriksaan Fisik

(Pemeriksaan fisik pada tanggal 16 November 2013 pukul 16.00 WIB).

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Airway : - Spontan

: - Malampati 1

: - TMD > 6 cm

Breathing : - Reguler

: - Pernapasan 22 x/menit

: - Suara vesikuler normal, wheezing (-), ronchi (-)

Circulation : - TD 130/80 mmHg

: - Nadi 82 x/menit

: - Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)

Disability : - GCS 15, Temperature 36,6° C

Keadaan Spesifik

Kepala

Kepala : normocephali, rambut hitam

Mata : pupil isokor, Conjungtiva Anemis -/-, Sclera Icterik -/-,

Telinga : nyeri tekan tragus -/-

Hidung : deviasi septum -, mukosa hiperemi -, oedem –

Mulut : sianosis -, lidah tidak kotor

Tenggorokan : uvula di tengah, faring tidak hiperemi

Leher : tidak ada pembesaran KGB

Thoraks

Paru

Inspeksi : pergerakan hemitoraks kanan dan kiri simetris, dalam

keadaan statis dan dinamis

Palpasi : stem fremitus sama di kedua paru, nyeri tekan -

Perkusi : sonor diseluruh lapang paru, nyeri ketuk -

Auskultasi : suara napas vesikuler, ronchi -, wheezing-

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicular sinistra

25

Page 26: laporan jadi banget

Perkusi : batas jantung kanan : ICS V linea sternalis dextra

batas jantung kiri : ICS V linea midclavicular sinistra

batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi : BJ I-II regular, murmur -, gallop-

Ekstremitas : tidak ada deformitas, akral hangat +, oedem -, sianosis -

Status Lokalis

Regio abdomen

Inspeksi : perut datar, tegang, tidak terlihat adanya massa yang menonjol

Palpasi : terasa keras, teraba massa dengan ukuran 16x3x3 cm, padat, mobile,

nyeri tekan (-), nyeri lepas (-).

Perkusi : Timpani.

Auskultasi : Bising usus normal

Tinggi Badan : 160 cm

Berat Badan : 82 kg

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Darah Rutin

Hb : 10,3 gr/dl

Leukosit : 9000/cmm

LED : 52 mm/jam

Diffcount : 2/0/0/46/42/10

CT : 10 menit

BT : 2 menit

Golongan darah : O

Rhesus factor : +

Urine

Warna Urine : Kuning muda

Kejernihan : Agak keruh

pH Urine : 6,0

Berat Jenis : 1,030

Reduksi Urine : (-)

26

Page 27: laporan jadi banget

Protein Urine : (-)

Urobilin Urine : (-)

Bilirubin Urine : (-)

Keton Urine : (-)

Nitrit Urine : (-)

Lekosit Urine : (-)

Eritrosit Urine : (-)

Epitel Urine : (-)

Silinder Urine : (-)

Kristal Urine : (-)

Karbohidrat / Diabetes

BSS : 95 mg/dl

Rontgen thorak: kesan cor pulmo dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan dengan USG memberikan gambaran uterus yang

membesar sebesar kepala bayi, dan memberikan kesan mioma uteri

intramural.

3.5. Diagnosis

Diagnosis Pre-operasi : Mioma Uteri

Diagnosis Post-operasi : Post Histerektomi

Klasifikasi Status Operasi : ASA I

3.6. Tatalaksana Anestesi

Persiapan anestesi :

- Pukul 10.00 WIB dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan

operasi (melakukan informed consent), lembar konsultasi anestesi, obat-obatan

dan alat-alat yang diperlukan serta dilakukan pemeriksaan tanda vital.

- Infus RL terpasang pada tangan kanan.

- Kateter urin terpasang.

- Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi dan penutup kepala.

- Penderita ditidurkan di ruang operasi dengan posisi terlentang.

27

Page 28: laporan jadi banget

- Pengukuran tekanan darah terpasang di tangan kiri dan pengukur SpO2 terpasang

di jari ke-1 tangan kanan

Jenis anestesi : General anestesi

Teknik anestesi : ET no. 6,5 nafas kendali

Premedikasi :

- Diberikan obat-obatan premedikasi berupa ondansentron 8 mg

- Mempersiapkan alat – alat STATICS dan melakukan pengecekan.

- Menjelaskan tindakan/prosedur yang akan dilakukan pada pasien dan

memberitahu mengenai obat-obat yang akan diberikan dan efeknya.

Induksi :

- Induksi dimulai pukul 10.05 WIB.

- Induksi dilakukan dengan pemberian propofol 100 mg IV.

- Kemudian melihat refleks bulu mata pasien, jika sudah tidak ada, berikan pre-

oksigenasi ± 6 liter, posisi kepala ekstensi.

- Lakukan face mask, gunakan sungkup muka nomor 3, lakukan ± 3 menit.

- Kemudian pemberian obat pelumpuh otot yaitu atracurium 3 mg IV sampai 2

menit.

- Setelah itu dilakukan pemasangan ET, mulut di buka dengan laringoskop lalu ET

di masukkan ke trakea. Cuff dikembangkan agar ET terfiksasi.

- Ambu bag di pompa, dinding dada mengembang. Dengan menggunakan

stetoskop, kita mendengar sama di semua lapang paru.

- Intubasi ET berhasil dilakukan. ET dan pipa difiksasi dan dihubungkan dengan

mesin anestesi.

Maintenance :

- Pukul 10.10 anestesi sudah cukup dalam.

- Untuk mempertahankan status anestesi digunakan N2O 2 L/menit,O2 2L/menit,

Sevoflurane 2-2,5 vol% , ketorolac 30 mg.

- Pasien di monitoring (Tanda vital, SpO2, kedalaman anestesi, cairan dan

perdarahan).

- Pukul 11.30 operasi selesai.

- Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit.

28

Page 29: laporan jadi banget

- Saat operasi akan selesai matikan sevoflurane, N2O lalu Pasien diberi reverse 3 :

2, IV

- kemudian dilakukan ekstubasi, pompa balon secara manual sampai pasien

bernafas sendiri,saat itu dilakukan suction dan jaw trust untuk membangunkan

pasien, setelah pasien sudah dapat bernafas dengan adekuat dan terdapat refleks

bulu mata, diberikan oksigen murni menggunakan sungkup sebanyak 2L/menit

selama ± 10 menit.

Tabel 3.1. Monitoring Selama Anestesi

Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan

10.00

WIB

120/8

0

120 100 Masuk ruang operasi, infuse RL 500cc, dan fentanyl

50 mg IV

10.05 100/7

0

88 100 Injeksi propofol 100 mg, Atracrium 30 mg dan

intubasi

10.10 110/8

0

90 100

10.15 120/8

0

90 100 injeksi ondancentron 8 mg

10.20 80/50 80 100 Injeksi tramadol

10.25 90/50 90 100

10.30 90/50 90 100

10.35 100/6

0

90 100

10.40 100/6

0

90 100

10.45 110/7

0

90 100 Injeksi asam tranexamat 1 g dan infus voluven

500 cc

10.50 110/7

0

90 100

10.55 110/7

0

90 100

11.00 110/7

0

90 100

29

Page 30: laporan jadi banget

11.05 110/7

0

90 100

11.10 110/7

0

90 100

11.15 110/7

0

90 100

11.20 110/7

0

90 100

11.25 110/7

0

90 100

11.30 110/6

0

90 100 Injeksi Revers

11.35 110/6

0

80 100 Operasi Selesai, pasien diekstubasi dan pindah ke RR

11.40 110/6

0

80 100 Pasien dipindahkan ke ruangan

Kebutuhan Cairan Pasien :

M : 2 x BB = 166 cc

So : BB x 8 = 664 cc

PP : BB x 6 = 498 cc

I : ½ PP + M + So = 1079 cc

II/III : ¼ PP + M + So = 954,5 cc

EBV : BBx75= 83 x 75 = 6225 cc

ABL : EBV/5 = 1245 cc

EBL : tak bisa ditentukan

30

Page 31: laporan jadi banget

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien diatas dari pre operasi (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

penunjang) didapatkan status fisik pasien diklasifikasikan sebagai ASA I sehingga pasien

sehat baik secara organik, fisiologik, psikiatrik, maupun biokimia. Secara keseluruhan, tidak

didapatkan aspek-aspek yang dapat memperberat proses anestesi selama pembedahan.

Namun, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan selama masa pembiusan. Refleks laring

mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat

dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia.

Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif

dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu

sebelum induksi anestesia.7

31

Page 32: laporan jadi banget

Tindakan premedikasi sendiri, yaitu  pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia

bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk

meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi

kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah

pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang

membahayakan.7

Keluhan pasien jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan preparat opioid

misalnya petidin 50 mg intramuskular, fentanyl 50 microgram, ataupun morfin. Sedangkan

untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi berupa

ondansentron 2 -4 mg iv.7

Berdasarkan status fisik pasien tersebut, jenis anestesi yang paling baik digunakan

dalam histerektomi adalah general anestesi. Teknik anestesi umum yang dipilih adalah

teknik balance anesthesia, nafas kendali dengan endotracheal tube nomor 6,5. Teknik ini

dimulai dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolar, setelah itu dilakukan

pemasangan endotrakeal tube. Nafas dikendalikan dengan respiratoir atau secara manual.

Apabila menggunakan respiratoir, setiap inspirasi (volum tidal) diusahakan 6-10 ml/kgBB

dengan frekuensi 10-14 x/menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual harus

diperhatikan pergerakan dada kanan kiri simetris. Pada pasien ini, nafas dikendalikan dengan

respiratoir.

Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot athracurium 30 mg iv, yang

merupakan nondepolaritation intermediete acting. Sedangkan atracurium sebagai obat

pelumpuh otot non depolarisasi dipilih sebagai agen penginduksi karena mempunyai

beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama

melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung

pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian

berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular.  Dosis intubasi dan

relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB

(iv). Obat pelumpuh otot kalau perlu diulangi lagi dengan 1/3 dosis awal, yaitu apabila pasien

tampak ada usaha bernafas spontan, cegukan, ada tahanan pada inflasi paru. Menjelang akhir

operasi saat mulai menjahit lapisan kulit diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha

nafas sendiri secara manual.

Ektubasi dapat segera diberikan setelah spontan normal kembali dengan volume tidal

300 ml. O2 diberikan terus ( 5-6 L ) selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.

Apabila nafas tetap lemah setelah ditunggu beberapa menit dapat diberi obat anti pelumpuh

32

Page 33: laporan jadi banget

otot non depolarisasi sebelum diekstubasi yaitu neostigmin (prostigmin) dosis 0,04 mg/kg,

piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, atau fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. Penawar pelumpuh otot

bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus,

hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat

vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kg.11

Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak

sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Obat-obatan yang sering digunakan

untuk induksi antar lain tiopental, propofol dan ketamin. Pada pasien ini diberikan propofol

(fresofol) 100 mg iv. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang didistribusikan

dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi 2-2,5

mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk

perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi

pernapasan, apneu, bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit

kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual,

muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri.11

Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang.

Sungkup ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik ke belakang

( posisi kepala ekstensi) agar jalan nafas bebas dan pernafasan lancar. Pengikat sungkup

muka ditempatkan dibawah kepala. Jika pernafasan masih tidak lancar dicoba mendorong

kedua pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan kiri. Kalau perlu dengan

kedua tangan kita yaitu dengan kedua ibu dan telunjuk jari yang memegang sungkup muka

dan dengan jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan kanan kita dapat memegang

balon pernafasan dari alat anestesi untuk membuat pernafasan ( menekan balon sedikit bila

pasien melakukan ispirasi). N2O mulai diberikan 4L dengan O2 2 L /menit untuk

memperdalamkan anestesi, bersamaan dengan ini sevoflurance dibuka sampai 1% dan sedikit

demi sedikit ( sesudah setiap 5-10 kali tarik nafas) dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 %

tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda

mata ( bola mata menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak

berubah. Jika stadium anestesi sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukkan pipa

orofaring. Sevoflurance kemudian dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi

selesai. Selesai operasi N2O dihentikan dan pasien diberi O2 100% beberapa menit

mencegah hipoksia.

Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + iso. Oksigen diberikan untuk

mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal

33

Page 34: laporan jadi banget

25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi  analgetiknya kuat. Setelah pemberian

dihentikan, sevoflurance cepat dikeluarkan oleh tubuh.

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR).Di ruang inilah

pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan

dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan

ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan monitoring seperti di

ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga

kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia

(TD turun, nadi cepat , misalnya karena hipovolemik). Bila kesakitan harus diberikan

analgetik seperti petidin 50 mg IV, tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati

sebabnya, misalnya dengan menambah cairan elektrolit ( RL ), koloid ( dextran),

darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan

dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi

dalam batas normal. Pasien ini diberi obat tambahan yaitu asam traneksamat bertujuan

sebagai analgetik dan dan membantu pembekuan darah. Pasien dapat keluar dari RR apabila

sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh. Sedangkan pada pasien diatas,

didapatkan skornya 9 sehingga pasien dapat dipindahkan ke tempat perawatan selanjutnya.

Keadaan Postoperasi dan Perawatan pasca anestesi di RR :

- Pukul 11.30 WIB pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

- Pasien diberikan oksigen 2 L/menit kanul nasal.

- Kemudian diobservasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran sbb:

Kesadaran: somnolen

Infus : RL

Tensi : 110/60 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Saturasi O2: 100 %

- Pasien dipindahkan ke bangsal dengan skor aldrete 9, dengan perincian sbb:

Kesadaran : Dapat dibangunkan (skor 1)

Warna kulit : normal (skor 2)

Respirasi : nafas dalam, batuk (skor 2)

Aktifitas : empat extremitas dapat digerakkan (skor 2)

34

Page 35: laporan jadi banget

Tekanan darah : berubah <20 mmHg dari tekanan pra bedah (skor 2).

BAB V

KESIMPULAN

Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan

anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Dalam hal ini

pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan

anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan

memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat

menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus

benar- benar diperhatikan agar tidak menimbulkan efek samping yang membahayakan

pasien.6

Anestesi umum adalah pilihan anestesi untuk laparoscopic. Status fisik pasien termasuk

dalam ASA I sehingga secara keseluruhan, tidak didapatkan aspek-aspek yang dapat

memperberat proses anestesi maupun pembedahan. Tindakan premedikasi sendiri,

35

Page 36: laporan jadi banget

yaitu  pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia bertujuan untuk melancarkan

induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Pasien dapat keluar dari recovery room apabila

sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh. Hal ini penting dilakukan untuk

menilai kondisi paska operasi pasien.6

Dalam laporan ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi

histerektomi pada pasien perempuan, umur 49 tahun, status fisik ASA I. Dengan diagnosis

mioma uteri dengan menggunakan teknik general anestesi inhalasi semi closed dengan ET no

6,5. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik

tanpa ada kendala yang berarti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital.Dalam: Sarwono Prawiroharjo,edisi

kedua.Ilmu Kandungan.Yayasan Bina Pustaka.Jakarta:1994;338-345

2. Schwartz MS. Epidermiology of uterine leio myomata. In : Chesmy M, Heather,

Whary eds. Clinical Obstetric and Ginecology. Philadelphia : Lippincott Williams

and Willkins, 2001 ; 316 – 318

3. Anonim, (1989), Anestesiologi, edisi pertama, Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

4. Boulton, T.B., Blogg, C.E., 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.

5. Dachlan, R dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : bagian Anesteiologi

dan terapi Intensif. FK UI

6. Dobson Michael B, Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta, 2009.

36

Page 37: laporan jadi banget

7. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi

Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: FK UI.

8. Muhiman, M. 2008. Anastesiologi. Jakarta : bagian Anestesiologi dan terapi

Intensif. FK UI.

9. Muhardi, M, dkk. Anastesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, CV

Infomedia, Jakarta, 1999.

10. Sood, Jayashere. Laringeal Mask Airway and Its Variants. Indian Journal Anesthesia.

2005; 49(4): 275-280

11. Wirjoatmodjo, Karjadi., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar untuk

pendidikan S1 kedokteran. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depatemen

Pendidikan Nasional, Jakarta, hal 150; 165-67: 169-73

12. Bevan David R, Donati Francois. Muscle relaxants and clinical monitoring. In: Healy

Thomas EJ, Cohen Peter J, editors. Wylie and Churchill-Davidson’s A Practice of

Anaeshtesia. London: Edward Arnold, 1994; 147-71.

37