lapkas stemi budi
DESCRIPTION
sbTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk kumpulan
simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi akibat infark otot
jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah unstable angina pektoris,
infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST
(STEMI).1
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009). Hal
ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus
oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran
darah kolateral.2
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3 kriteria,
yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan
pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan
aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar,
elevasi segmen ST dan inversi gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung,
protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik
melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999). Protein-protein intraseluler ini
meliputi aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase
isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain
(MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar
serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.3
1.1 Rumusan Masalah
2
Adapun menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah “ Bgaimana gambaran klinis dan
penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang menderita ST-elevasi Miokard Infark .
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
faktor resiko, pathofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, pengobatan dan
prognosis ST-elevasi Miokard Infark. Selain itu, penulisan laporan kasus ini juga bertujuan
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Penyakit Dalam.
1.3 Manfaat
Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah:
ST-elevasi Miokard Infark.sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin memahami
lebih lanjut topik- topik yang berkaitan dengan ST-elevasi Miokard Infark.
BAB 2
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STEMI AKUT
2.1.1. Definisi
Infark miokard akut (IMA ) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot
jantung terganggu sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan sehingga berakibat adanya gangguan pada organ-organ tubuh. Hal ini
bisa disebabkan trombus arteri koroner oleh ruptur plak yang dipermudah terjadinya oleh
faktor-faktor seperti hipertensi,merokok dan hiperkolesterolemia. IMA dengan elevasi ST
(STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut yang terdiri dari angina
pektoris tak stabil, AMI tanpa elevasi ST dan AMI dengan elevasi ST. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini
dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Nyeri dada tipikal
(angina) merupakan gejala kardinal pasien AMI.4
Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner kanan
dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri koroner kiri kemudian
bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens
anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks
kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior jantung.
Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah.5
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut,dengan
pembagian:
1. Derajat I : tanpa gagal jantung
2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galopdan peningkatan
tekanan vena pulmonalis
3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
4. Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)6
4
Ada dua tipe dasar infark miokard akut:
1. Transmural: terkait dengan aterosklerosis arteri koroner utama yang melibatkan. Hal
pada anterior, posterior, inferior, lateral atau septum. Infark transmural
memperpanjang melalui seluruh ketebalan otot jantung dan biasanya merupakan
akibat dari kurang suplai darah di daerah itu.
2. Subendocardial: melibatkan area kecil di dinding subendocardial dari ventrikel kiri,
septum ventrikel, atau otot papiler. Infark Subendocardial dianggap akibat dari suplai
darah menurun secara lokal, mungkin dari penyempitan arteri koroner. Daerah
subendocardial adalah terjauh dari suplai darah jantung dan lebih rentan terhadap jenis
patologi.7
2.1.2. Etiologi
Infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:
1. Infark miokard tipe 1 Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura,
atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan
oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal
tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2 Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan
spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3 Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak
ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita
meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.
4. a. Infark miokard tipe 4a Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
b. Infark miokard tipe 4b Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent
trombosis.
5. Infark miokard tipe 5 Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal.
Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.8
5
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia.
Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas
normal. The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL
sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial
(CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas
akibat infark miokard.8
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau
tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila
proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen
yang tersedia.8
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%.
Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000
kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok.1
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49%
penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks
masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas
dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti
peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II.1
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang
rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol
satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard.
Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien
memiliki peningkatan resiko terkena penyakit.9
2.1.3. Patofisiologi
6
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian
ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan
formasibertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh
ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu
aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi.1
STEMI terjadi ketika sebuah bentuk trombus dalam arteri koroner, bocor dan
mencegah darah mengalir secara efektif ke jaringan distal. Dalam kondisi normal, sinyal
depolarisasi dikirim melalui jantung "nol keluar" di segmen ST, yang sesuai dengan
depolarisasi ventrikel waktu antara (kompleks QRS) dan repolarisasi ventrikel (gelombang
T). Sebagai jaringan mati, atau infark, kebocoran kalium keluar dari sel, mengubah muatan
selama ini bagian dari jantung. Dalam pengaturan iskemia, orang dapat menemukan berbagai
kelainan termasuk T-gelombang inversi dan perubahan ST-segmen tingkat dan morfologi.
Perubahan yang paling spesifik untuk STEMI adalah elevasi segmen ST pada EKG hasil. Hal
ini disebabkan infark jaringan transmural, yang menyebabkan kebocoran kalium signifikan.
Para kalium yang berlebih menciptakan muatan positif lokal jaringan, tercermin dengan
elevasi segmen ST.4
Identifikasi distribusi anatomi dari iskemia dan / atau infark bukan merupakan langkah penting dalam diagnosis STEMI. Hal ini penting, namun,
untuk mengakui bahwa daerah tertentu dari infark meningkatkan kemungkinan komplikasi tertentu dan bahwa informasi ini harus menjadi faktor dalam keputusan
pengobatan dan pemantauan.4
Pada tabel menunjukkan perubahan EKG dan cabang utama yang terkait arteri
koroner, dengan daerah kemungkinan kerusakan dan komplikasi potensi masing-masing.
Pencocokan perubahan EKG dengan anatomi sangat membantu dalam pemetaan distribusi
jaringan yang terlibat dengan adanya pola regangan (gelombang T inversi, ST depresi) atau
infark (ST-segmen elevasi dengan atau tanpa depresi berdekatan). Perhatian harus diambil
ketika menerapkan konsep ini pada pasien dengan penyakit jantung koroner berat yang
mungkin memiliki aliran sirkulasi kolateral yang signifikan. Jarang, variasi anatomi
kongenital juga dapat membuat sulit untuk menyimpulkan distribusi kerusakan dan
kemungkinan konsekuensi.4
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit
bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
7
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian
ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak
lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.10
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun
dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard.
Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner
berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.11
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan
struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon
dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi,
glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard.11
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner
tersumbat cepat.12
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid.13
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisura,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga
8
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran patologik klasik terdiri dari trombus
merah kaya fibrin, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberi respons terhadap
terapi trombolitik.12
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, serotonin,
epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
Tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesi yang
larut (integrin) seperti vWF dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen
yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi.12
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.12
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.12
2.1.4. Diagnosa
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan
gambaran EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan.
Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis,
namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim.14
a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah
9
ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM,
dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.15
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa
jam setelah bangun tidur.16
Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat
nyeri dada angina :
Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk,
diperas, dan dipelintir
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat
Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan
Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.16
b. Pemeriksaan fisis
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai
keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai
kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas
saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C
dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.16
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi karena bukti
kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk
dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
10
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark
miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.17
Lokasi Lokasi
elevasi
segmen st
Perubahan
resiprokal
Arteri koroner
Anterior V3,V4 V7,V8,V9 Arteri koroner kiri,cabang
LAD/Diagonal
Anterioseptal V1,V2,V3 V7,V8,V9 Arteri koroner kiri,cabang LAD
diagonal cabang LAD septal
Anteriorekstensif I,aVL,V2-V6 I,III,aVF Arteri koroner kiri,proksimal LAD
Anterolateral I,
aVL,V3,V4,
V5,V6
II,III,aVF,V7,
V8,V9
Arteri koroner kiri
Cabang LAD-diagonal dan cabang
sirkumfleks
Inferior II,III,aVF I,aVL,V2,V3 Arteri koroner kanan cabang decendens
posterior dan cabang arteri koroner kiri
sirkumfleks
Lateral I,aVL,V5,V6 II,III,aVF Arteri koroner kiri Cabang LAD- diagonal
dan cabang sirkumfleks
Septum V1,V2 V7,V8,V9 Arteri koroner kiri cabang LAD-septal
Posterior V7,V8,V9 V1,V2,V3 Arteri koroner kanan/ sirkumfleks
Ventrikel kanan V3R-V4R I,aVL Arteri koroner kanan proksimal
d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara
serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
11
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung
pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase
(LDH)
2.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
12
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA.19
Tujuan penanganan pada STEMI adalah:
a. Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara
cepat dan penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/ mengurangi nyeri dan
pencegahan atau penanganan henti jantung.
b. Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk membatasi
proses infark serta mencegah perluasan infark serta menangani komplikasi segera seperti
gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.
c. Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang timbul selanjutnya.
d. Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya progresi penyakit arteri koroner,
infark baru, gagal jantung, dan kematian
Penanganan kegawatdaruratan (lihat Guideline AHA 2010 di bawah)
a. Tatalaksana awal:
Oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan > 90%).
Aspirin 160mg (dikunyah).
Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri.
Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.20
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi).
Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum 4000u, dosis
maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48 jam dengan maksimum 1000 u/ jam dengan
target aPTT 50 – 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi dimulai. LMWH dapat
digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi
ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-laki atau < 2 mg/ dl pada wanita).20
Terapi fibrinolitik.
Dianjurkan pada:
13
a. Presentasi ≤ 3jam.
b. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat.
c. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik.20
Kontraindikasi fibrinolitik:
a. Kontraindikasi absolut:
Riwayat perdarahan intracranial apapun.
Lesi structural cerebrovaskular.
Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).
Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.
Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi).20
a. Kontraindikasi relatif:
Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial
selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolute.
Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar
< 3 minggu.
Perdarahan internal dalam2-4 minggu terakhir.
Terapi antikoagulan oral.
Kehamilan.
Non compressible punctures.
Ulkus peptikum aktif.
Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya (>5hari)
atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut
Terapi awal Antitrombin terapiKontraindikasi
spesifik
Streptokinase(SK) 1,5 juta unit/ 100ml
D5% atau NaCl 0,9%
Dengan atau tanpa
heparin iv selama 24
Riwayat SK atau
14
selama 30 – 60 menit. – 48 jam anistreplase
Alteplase(tPA) 15 mg iv bolus 0,75 mg/
kg BB selama 30 menit
kemudian 0,5 mg/ kg BB
selama 60 menit iv.
Dosis total tidak
melebihi 100mg
Heparin iv selama 24
– 48 jam
Percutanous coronary intervention (PCI)
a. PCI primer.
Dianjurkan pada:
Presentasi ≥ 3jam.
Tersedia fasilitas PCI.
Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit.
(Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi (waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1jam.
Terdapat kontraindikasi fibrinolitik.
Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip 3).
Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan.
b. PCI kombinasi dengan fibrinolitik.
Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI tidak dapat
dilakukan dengan segera dan pada pasien dengan risiko perdarahan rendah. Pada tindakan ini
tidak dianjurkan menggunakan penghambat reseptor GPIIb/ IIIa dengan dosis penuh.
c. Rescue PCI.
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada pasien dengan infark luas dengan:
Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia.
Keluhan iskemik yang berkepanjangan.
Syok kardiogenik.
15
Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana rescue PCI tidak
dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus dipertimbangkan dengan
fibrinolitik ulang atau tirofiban. Pemilihan stent pada PCI primer atau rescue PCI adalah Bare
metal stent (BMS).
Tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft)
Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibandingkan dengan pengobatan, pada
keadaan :
a. Stenosis yang signifikan ( ≥ 50 %) di daerah left main (LM)
b. Stenosis yang signifikan (≥ 70 %) di daerah proksimal pada 3 arteri koroner utama
c. Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk stenosis yang
cukup tinggi tingkatannya pada daerah proksimal dari left anterior descending
coronary artery.
2.1.6. Diagnosa Banding
Nilai prediktif dari sebuah elevasi segmen ST pada EKG sangat tergantung pada kejadian
penyakit dalam populasi di mana pasien cocok. Sebagai contoh, segmen ST elevasi pada
orang muda cenderung untuk dihubungkan dengan MI karena ada insiden lebih rendah pada
populasi yang lebih muda MI. Fakta ini, dalam dan dari dirinya sendiri, mengurangi nilai
prediktif positif dari EKG sebagai alat diagnostik dalam situasi ini. Untuk semua pasien,
tetapi khususnya di, penyebab muda lain dari elevasi ST-segmen harus hati-hati diteliti dalam
cntextes klinis.4
2.1.7. Komplikasi
a. Aritmia supraventrikular
Sinus takikardia merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal ini
terjadi sekunder akibat sebab lain, masalah primer sebaiknya diobati pertama. Namun,
jika sinus takikardia tampaknya disebabkan oleh stimulasi simpatik berlebihan, seperti
yang terlihat sebagai bagian dari status hiperdinamik, pengobatan dengan penghambat
beta yang relatif kerja singkat seperti propanolol yang sebaiknya dipertimbangkan.
b. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari
separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru
16
dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada.
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan
temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat
disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan / atau penurunan isi
sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi
kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan / diastolik.
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua pasien
dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel
distolik yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi farmakologik
sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama atau simptomatik.
Terapi antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia ventrikel yang penting secara
klinis, dikontra indikasikan karena terapi seperti itu dapat dengan jelas meningkatkan
mortalitas selanjutnya.14
2.1.8. PrognosisPrognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan TIMI score (Thrombolysis in Myocardial Infarction ). TIMI skor risiko untuk mengidentifikasi
STEMI signifikan gradien dari risiko kematian dengan menggunakan variabel yang menangkap sebagian besar informasi prognostik yang tersedia di multivariabel
model. Kapasitas prediksi risiko ini skor stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan bukan perokok. Selain itu,TIMI skor
risiko dilakukan baik dalam data eksternal yang besar ditetapkan pasien dengan STEMI.21
17
18
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 ANAMNESA PRIBADI
Nama : Amiruddin
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Status : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat :
Suku : Jawa
3.2 ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : nyeri dada.
Telaah : Pasien datang ke RS Pasien datang ke RSUD dr. H. Kumpulan
pane tebing tinggi dengan keluhan nyeri dada, lama nyeri lebih kurang 20 menit, nyeri
dirasakan hilang timbul, nyeri pertama kali dirasakan tiba-tiba saat OS beraktivitas.
Nyeri dada dirasakan panas seperti terbakar, nyeri dirasakan pada dada kanan dan
menjalar hingga ke punggung dan leher. OS juga mengeluh sesak nafas yang
bertambah berat saat beraktivitas, sesak nafas bertambah apabila OS berbaring dan
berkurang apabila OS duduk. Selain itu OS juga mengeluhkan batuk yang tidak
disertai dengan dahak dan darah. OS mengaku menderita darah tinggi sejak 2 tahun
terakhir dan mengkonsumsi obat captopril. Diabetes disangkal OS, tidak ada bengkak
pada perut dan kaki, mual (+), muntah (+). OS juga mengaku merokok sejak 25 tahun
19
yang lalu dan bisa menghabiskan hingga 3 bungkus rokok dalam sehari. OS juga
mengaku sering mengkonsumsi makanan bersantan dan berlemak. BAK (+), berwarna
kuning, tidak disertai nyeri dan berdarah, BAB (+) ampas lebih banyak dari pada air
dan tidak dijumpai cairan.
3.3 ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU
Riwayat hipertensi 2 tahun yang lalu dan pernah dirawat dengan keluhan
hipertensi
Riwayat DM tidak jelas
Riwayat nyeri sendi : Disangkal
3.4 RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT
- Os mengkonsumsi obat hipertensi captopril
3.5 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Riwayat penyakit keluarga disangkal os
3.6 ANAMNESA MAKANAN
- Nasi : (+)
- bubur : (-)
- Ikan : (+)
- Sayur-sayuran : (+)
- Daging : (+)
3.7 ANAMNESA INTOKSIFIKASI
- Riwayat intoksifikasi disangkal oleh pasien
20
3.8 STATUS PRESENT
Keadaan Umum : BAIK
- Sensorium : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 150/90 mmHg
- Nadi : 80 x/i, regular, equals, t/v kuat
- Pernafasan : 24x/i, thoraco-abdominal
- Temperature : 36,6ºC
3.9 KEADAAN PENYAKIT
Keadaan Penyakit : SEDANG
- Anemia : (-)
- Ikterus : (-)
- Sianosis : (-)
- Dispnue : (+)
- Edema : (+)
- Purpura : (-)
- Turgor Kulit : kembali cepat
- Pancaran Wajah : lelah
- Sikap Tidur Paksa : (+)
3.10 KEADAAN GIZI
BB : 66 Kg TB : 165 cm
RBW : ( BB / TB – 100 ) x 100%
: ( 66 /165 -100) x 100%
: 101 % Normoweight
21
3.11 PEMERIKSAAN FISIK
1. KEPALA
- Bentuk : Normocepahali
- Pertumbuhan Rambut : DBN
- Nyeri Tekan : (-)
- Perubahan Lokal : (-)
A. Muka
- Pancaran Wajah : Lelah
- Sembab : (+)
- Pucat : (-)
- Kuning : (-)
- Parase : (-)
- Gangguan Lokal : (-)
B. MATA
- Stand Mata : DBN
- Gerakan : Baik Kesegala Arah
- Exofthalmus : (-)
- Ptosis : (-)
- Ikterus : (-)
- Anemia : (-)
- Reaksi Pupil : (+/+), isokor, diameter 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
- Gangguan Local : (-)
22
C. TELINGA
- Sekret : (-)
- Radang : (-)
- Bentuk : DBN
- Atrofi : (-)
D. HIDUNG
- Sekret : (+)
- Bentuk : Dalam Bentuk Normal
- Benjolan – Benjolan : (-)
E. BIBIR
- Sianosis : (+)
- Pucat : (-)
- Kering : (-)
- Radang : (-)
F. GIGI
- Karies : (+)
- Pertumbuhan : DBN
G. Lidah
- Kering : (-)
- Pucat : (-)
- Beslag : (-)
- Tremor : (-)
23
H. Tonsil
- Merah : (-)
- Bengkak : (-)
- Beslag : (-)
2. LEHER
I nspeksi
- Struma : Tidak Terlihat Perbesaran
- Kelenjar Bengkak : (-)
- Pulsasi Vena : (+)
- Venektasi : (-)
Palpasi
- Posisi Trachea : Medial/DBN
- Nyeri Tekan : (-)
- Tekanan Vena Jugularis : R+0 cm H2O
3. THORAX
THORAX DEPAN
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis
- Simetris / Asimetris : Simetris
- Retraksi Iga : (-)
- Bendungan Vena : (-)
- Ketinggalan Bernafas : (-)
- Venektasi : (-)
24
- Pembengkakan : (-)
- Ictus Cordis : tidak terlihat
Palpasi
- Nyeri Tekan : (-)
- Fremitus Suara :
a. Lapangan Paru Atas : Kanan = Kiri
b. Lapangan Paru Tengah : Kanan = Kiri
c. Lapangan Paru Bawah : Kanan = Kiri
- Ictus Cordis
a. Lokasi : ICR V, 1 jari medial linea midclaviclacula sinistra
b. Kuat Angkat : (-)
c. Melebar : (-)
Perkusi
- Suara Perkusi Paru
a. Lapangan Paru Atas : Sonor, Kanan = Kiri
b. Lapangan Paru Tengah : Kanan = sonor, Kiri = beda
c. Lapangan Paru Bawah : Kanan = sonor, Kiri = beda
- Batas Paru Hati
a. Relatif : ICR V
b. Absolut : ICR VI
c. Peranjakan Hati : 2 jari dibawah batas paru hati absolut
25
- Batas Jantung
a. Kanan : ICR IV, Linea Parasternalis dextra
b. Atas : ICR III
c. Kiri : ICR V, 2 jari lateral linea midclavicula sinistra
Auskultasi
Paru – Paru
a. Suara Pernafasan
- Lapangan Paru Atas : vesikuler, Kanan = Kiri
- Lapangan Paru Tengah :vesikuler, Kanan = Kiri
- Lapangan Paru Bawah : vesikuler, Kanan = Kiri
b. Suara Tambahan
- Ronkhi Basah : (-)
- Ronkhi Kering : (-)
- Krepitasi : (-)
- Gesek Pleura : (-)
Cor
a. Heart Rate : 80 x/m, regular
b. Suara Katup : M1 > M2 A2 > A1
P2 > P1 P2 > A2
c. Suara Tambahan
- Desah Jantung fungsional / organis : (-)
- Gesek PeriCardial / PleuraCardial : (-)
THORAX BELAKANG
26
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis
- Simetris / Asimetris : Simetris
- Benjolan – Benjolan : (-)
- Scapulae Alta : (-)
- Ketinggalan Bernafas : (-)
- Venektasi : (-)
Palpasi
- Nyeri Tekan : (-)
- Fremitus Suara
a. Lapangan Paru Atas : Kanan = Kiri
b. Lapangan Paru Tengah : Kanan = Kiri
c. Lapangan Paru Bawah : Kanan = Kiri
Perkusi
- Suara Perkusi Paru
a. Lapangan Paru Atas : Sonor, Kanan = Kiri
b. Lapangan Paru Tengah : Sonor, Kanan = Kiri
c. Lapangan Paru Bawah : Sonor, Kanan = Kiri
- Batas Bawah Paru
a. Kanan : Vertebra Thoracal IX
b. Kiri : Vertebra Thoracal X
27
Auskultasi
a. Suara Pernafasan
- Lapangan Paru Atas : vesikuler, Kanan = Kiri
- Lapangan Paru Tengah : vesikuler, Kanan = Kiri
- Lapangan Paru Bawah : vesikuler, Kanan = Kiri
b. Suara Tambahan
- Ronkhi Basah : (+)
- Ronkhi Kering : (-)
- Krepitasi : (-)
- Gesek Pleura : (-)
4. ABDOMEN
Inspeksi
- Membesar : (+)
- Venektasi : (-)
- Gelembung : (-)
- Sirkulasi Kolateral : (-)
- Pulsasi : (-)
- Umbilicus : (-)
Palpasi
- Defens Muscular : (+)
- Nyeri Tekan : (+), Regio Epigastrium
- Lien : Tidak teraba
- Ren : Tidak Teraba
28
- Hepar : Tidak Teraba
Perkusi
- Suara Abdomen : Tympani
- Shiffting Dullnes : (+)
- Pekak Hati : (-)
Auskultasi
- Peristaltic Usus : (+), dalam batas normal
- Double Sound : (+)
5. EKSTREMITAS
Ekstremitas Atas
- Bengkak : (- /-)
- Merah : (- /-)
- Eritema Palmaris : (- /-)
- Stand Abnormal : (- /-)
- Gangguan Fungsi : (- /-)
- Rumple leed Test : (-)
- Reflex : - Biceps (+/+), Kanan = Kiri
- Triceps (+/+), Kanan = Kiri
Ekstremitas Bawah
- Bengkak : (- /+)
- Merah : (- /-)
- Oedem : (- /+)
- Pucat : (- /-)
29
- Gangguan Fungsi : (- /-)
- Varises : (- /-)
- Reflex : - KPR (+/+), Kanan = Kiri
- APR (+/+), Kanan = Kiri
3.12 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH URIN FESES
Hb 15, 0 g/dl Warna Kuning Muda Warna Merah
Leukosit 12. 7x 109/L Glukosa - Konsistensi Cair
LED - Protein - Eritrosit +
Eritrosit 4, 74 x 1012/L Bilirubin - Leukosit +
Hitung
Jenis
- Urobilinogen - Amoeba /
kista
-
Trombosit 289x 109/L Berat Jenis 1,015 Telur
Cacing
-
Sediment Ascaris -
Eritrosit 0 – 1 /Lpb Anchylosis -
Leukosit 1– 3 /Lpb T.Trichuria -
Silinder - Kremi -
Epitel +
30
Pemeriksaan Hasil
Glukosa Puasa 96 mg/dl
Glukosa 2 jam PP 101 mg/dl
Total Cholesterol 235 mg/dl
Trigliserida 142 mg/dl
3.13 RESUME
Anamnesa
Keluhan Utama : nyeri dada
Telaah : Pasien datang ke RS Pasien datang ke RSUD dr. H. Kumpulan pane
tebing tinggi dengan keluhan nyeri dada , nyeri dada dialami sekitar 15 menit. Nyeri
dada dirasaklan tiba-tiba, nyeri pada dada kanan dan menjalar hingga ke punggung
dan tengkuk OS. Nyeri disertai sesak nafas, sesak nafas terasa semakin berat apabila
OS beraktivitas dan apabila OS duduk maka sesak nafas berkurang. OS juga
mengalami batuk dan memilikin riwayat hipertensi lebih kurang 2 tahun.
Keadaan Umum Keadaan Penyakit Keadaan Gizi
Sens : Compos Mntis Anemia : (-) TB : 165 cm
TD : 150/90 mmHg Ikterus : (-) BB : 66 kg
HR : 80x/m, regular Sianosis : (-) RBW : 101 %
RR : 24x/m Dispnue : (+) “NORMOWEIGHT”
Suhu : 36,5ºC Edema : (+)
Sikap Tidur Paksa : (+)
31
Turgor : Kembali Cepat
Pancaran Wajah : lelah
PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala : Normocephali, dalam Batas Normal
- Leher : TVJ R+0 cmH2O
- Thorax :
Batas Jantung
a. Kanan : ICR IV, Linea Parasternalis dextra
b. Atas : ICR III
c. Kiri : ICR V, 2 jari lateral linea midclavicula sinistra
- Abdomen : Dalam Batas Normal
- Ekstremitas : Dalam Batas Normal
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
========================= URINE RUTIN ==========================
WARNA Kuning Muda SEDIMENT
GLUKOSA (-) ERITROSIT 0 – 1 /Lpb
PROTEIN (-) LEUKOSIT 1 – 3 /Lpb
BILIRUBIN (-) SILINDER (-)
UROBILINOGEN (-) EPITEL (+)
32
========================= DARAH RUTIN =======================
Hb 15, 0 g/dl
Leukosit 12, 7 x 109/L
LED -
Eritrosit 4, 74x 1012/L
Trombosit 289 x 109/L
DIFFERENTIAL DIAGNOSA
1. PJK2. Gastro Esofageal Refluk Disease3. Pleuritis4. Efusi pleura5. Trauma thoraks
DIAGNOSA SEMENTARA
PJK
TERAPI
Terapi Umum
- aktivitas ringan
- Diet jantung bentuk M II, rendah garam rendah lemak
Terapi Medikamentosa
O2 2-4 l/i
IVFD RL 10 gtt/i (macro)
Inj ketorolac 1 amp (k/p)
Inj Ranitidine 1 amp/ 12 jam
Inj ethiferan 1 amp/12 jam
ISDN 3x1
Simvastatin 1x1 (mlm)
Bisoprolol tab 5 mg 1x1
33
Neurodex 2x1
ANJURAN
- Foto Thorax
- EKG
- RFT ( Ureum Creatinine Uric Acid )
- LFT
- KGD 2 jam PP/N
- Feses Rutin
BAB IV
34
KESIMPULAN
Pembentukan thrombus di daerah plak akan mempersempit oklusi,dan gangguan aliran
darah menyebabkan ketidakseimbangan yang nyata antara pemasukan oksigen dan kebutuhan
oksigen. Bentuk ACS merupakan hasil yang bergantung dari derajat obstruksi koroner dan
berhubungan dengan iskemia. Oklusi thrombus parsial menyebabkan sindrom unstable
angina (UAP) dan non-ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI). Jika thrombus
menyumbat arteri koroner secara komplit, maka menyebabkan iskemik yang lebih parah dan
nekrosis yang lebih banyak, dikenal sebagai ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI).
Pasien datang dengan diagnosa STEMI dengan gejala klinis nyeri dada dirasakan os
seperti terhimpit benda berat. Penjalaran (+) ke bahu dan punggung. Durasi > 15 menit,
disertai mual (+), keringat dingin (+).
Daftar Pustaka
35
1. Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery
Disease. 1st ed. USA: Oxford University Press.
2. Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S.,
Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta.
3. Nigam. P.K., 2007. Biochemical Markers of Myocardial Injury. Indian Journal of
Clinical Biochemistry. Diambil dari: http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p10.pdf Di
akses Meir 27, 2013.
4. Kosowsky, Joshua M. Yiadom, Maame. 2009. The Diagnosis And Treatment of
STEMI In The Emergency Department. Emergency Medicine Practice. Diambil dari:
http://www.EBMedicine.net . Di akses Meir 27, 2013.
5. Oemar, H., 1996. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah. Dalam: Rilantono, L.I.,
Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI
6. Killip, T. Kimbal, J.T. 1967. Treatment of myocardial infarction in a coronary care
unit: A two year experience with 250 patients. Diambil dari:
http://content.onlinejacc.org . Di akses Meir 27, 2013.
7. Reznik, AG. 2010. "[Morphology of acute myocardial infarction at prenecrotic stage]"
(in Russian). Kardiologiia. Diambil dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Di akses
Meir 27, 2013.
8. Brown, T.C., 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William,
L.M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta.
9. Beers, M.H., Fletcher A.J., Jones, T.V., 2004. Merk Manual of Medical Information:
Coronary Artery Disease. 2nd ed. New York: Simon & Shcuster.
10. Price, S.A., 2006. William, L.M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta.
11. Selwyn, A.P., Braunwald E., 2005. Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L., Fauci,
A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds., Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA
12. Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L.,
eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA
36
13. Fenton, D.E., 2009. Myocardial Infarction. Diambil dari:
http://emedicine.medscape.com/article/759321-overview . Di akses Meir 27, 2013.
14. Alwi, Idrus. 2006. Tatalaksana Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
15. Samsu, N., Sargowo, D., 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada
Diagnosis Infark Miokard Akut. Tinjauan Pustaka. Malang: Fakultas Kedokteran
Brawijaya. Diambil dari http://mki.idionline.org/index.php?
uPage=mki.mki_viewall&smod=mki&s p=public&id_katparent=14&id_artikel=178 .
Di akses Meir 27, 2013.
16. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J Clin Pathol.
Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC501424/?page=1 . Di
akses Meir 27, 2013.
17. Chou, T., 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric:
Myocardial Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed.
Pennsylvania: W. B. Saunders Company.
18. Morrow, David. Antman Elliott. Charlesworth, Andrew, et al. 2011. TIMI Risk Score
for ST-Elevation Myocardial Infarction: A Convenient, Bedside, Clinical Score for
Risk Assessment at Presentation. Diambil dari http://circ.ahajournals.org . Di akses
Meir 27, 2013
19. Wicaksono, Sonny. Yuniadi, Yoga. 2009. J point/R wave ratio predicts in-hospital
major cardiovascular event in inferior myocardial infarction. Jurnal Kardiologi
Indonesia 2009. Vol. 30, No. 2. Mei-Agustus 2009
20. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA Guidelines for The
Management of Patients with ST Elevation Myocardial Infarction. Cardiac Cath
Conference.
21. O'Connor, Robert E. , William Brady, Steven C. Brooks, Deborah Diercks,. 2010 Part
10: Acute Coronary Syndromes 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Diambil dari
http://circ.ahajournals.org/. Di akses Meir 27, 2013.