kti keperawatan

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit rematik merupakan suatu kondisi yang menyakitkan, yang mengefek berjutaan orang. Terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik, antaranya adalah, osteoartritis, rheumatoid artritis, spondiloartritis, gout, lupu eritematosus sistemik, skleroderma, fibromialgia, dan lain-lain lagi. Penyakit ini menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen, dan tulang. Berdasarkan penelitian oleh Centers for Disease Control and Prevention, menunjukkan bahwa 33% (69.9 juta) daripada populasi Amerika Serikat mengeluhkan penyakit artritis atau penyakit sendi (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005). Penyakit rematik ini merupakan suatu sebab sering terjadinya keterbatasan aktivitas jika dibandingkan dengan penyakit jantung, kanker atau diabetes. Menurut Eustice (2007), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (2007), 38% (17 juta) penderita penyakit rematik di Amerika Serikat mengeluhkan keterbatasan fungsi fisik akibat daripada penyakitnya. Sementara, berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing, Y.Z., (2008) prevalensi nyeri rematik di beberapa negara asean adalah, 26.3% Bangladesh, 18.2% India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9% Vietnam. Dari data yang didapati ini, bisa dikatakan bahwa, negara Indonesia mempunyai prevalensi nyeri rematik yang cukup tinggi dimana keadaan

Upload: rhuzmyn-pemimpi

Post on 02-Jul-2015

2.699 views

Category:

Health & Medicine


1 download

DESCRIPTION

rs

TRANSCRIPT

Page 1: KTI keperawatan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit rematik merupakan suatu kondisi yang menyakitkan, yang

mengefek berjutaan orang. Terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik,

antaranya adalah, osteoartritis, rheumatoid artritis, spondiloartritis, gout,

lupu eritematosus sistemik, skleroderma, fibromialgia, dan lain-lain lagi.

Penyakit ini menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa

sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen, dan tulang. Berdasarkan

penelitian oleh Centers for Disease Control and Prevention, menunjukkan

bahwa 33% (69.9 juta) daripada populasi Amerika Serikat mengeluhkan

penyakit artritis atau penyakit sendi (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).

Penyakit rematik ini merupakan suatu sebab sering terjadinya

keterbatasan aktivitas jika dibandingkan dengan penyakit jantung, kanker

atau diabetes. Menurut Eustice (2007), berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (2007), 38%

(17 juta) penderita penyakit rematik di Amerika Serikat mengeluhkan

keterbatasan fungsi fisik akibat daripada penyakitnya. Sementara,

berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing, Y.Z., (2008) prevalensi

nyeri rematik di beberapa negara asean adalah, 26.3% Bangladesh,

18.2% India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9% Vietnam.

Dari data yang didapati ini, bisa dikatakan bahwa, negara Indonesia

mempunyai prevalensi nyeri rematik yang cukup tinggi dimana keadaan

Page 2: KTI keperawatan

seperti ini dapat menurunkan produktivitas negara akibat keterbatasan

fungsi fisik penderita yang mengefek kualitas hidupnya.

Keterbatasan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang

tidak dapat atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas

hariannya. Keterbatasan fungsi fisik yang sering terjadi pada penderita

rematik adalah pada hal-hal seperti berjalan 1 atau 2 kilometer, menaik 1

atau 2 tangga, mandi & mengeringkan tubuh dan lain-lain lagi. Pada

penderita rematik, keseimbangan antara istirahat dan olahraga menjadi

sangat penting untuk mempertahankan kondisi fungsi fisik yang optimal

(Bruce, B., et al., 2009).

Lebih lanjut awitan keadaan ini bisa bersifat akut, dan perjalanan

penyakitnya dapat ditandai oleh periode remisi (suatu periode ketika

gejala penyakit berkurang atau tidak terdapat) dan eksaserbasi (suatu

periode ketika gejala penyakit terjadi atau bertambah berat). Terapi dapat

sangat sederhana dan bertujuan untuk melokalisaasi rasa nyeri, atau

dapat kompleks dan dimaksudkan untuk mengurangi efek sistemiknya.

Perubahan yang permanent dapat terjadi akibat penyakit ini.

Arthritis rheumatoid merupakan kasus panjang yang sangat sering

diujikan. Biasanya terdapat banyak tanda-tanda fisik. Insiden puncak dari

arthritis rheumatoid terjadi pada umur dekade ke empat, dan penyakit ini

terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari pada laki-laki (Akhtyo, 2009).

Arthritis rheumatoid memang lebih sering dialami oleh lansia, untuk

itu perlu perawatan dan perhatian khusus bagi lansia dengan arthritis

Page 3: KTI keperawatan

rheumatoid terutama dalam keluarga. Kedudukan dan peranan orang

lansia dalam keluarga dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan

dihargai apalagi dianggap memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat

menjadikan secara psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan

diterima oleh orang lain akan mempengaruhi tanggapan mereka dalam

memasuki hai tua, dan berpengaruh pula kepada derajat kesehatan lansia

(Fitriani, 2009).

Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan kepada

anggota keluarga yang sakit, sebagai pendidik kesehatan dan sebagai

fasilitator agar pelayanan kesehatan mudah dijangkau dan perawat

dengan mudah dapat menampung permasalahan yang dihadapi keluarga

serta membantu mencarikan jalan pemecahannya, misalnya mengajarkan

kepada keluarga untuk mencegah agar tidak terjadi penyakit Artritis

Rhematoid.

Peran klien dan keluarga lebih difokuskan untuk menjalankan lima

tugas keluarga tersebut adalah mengenal masalah kesehatan, membuat

keputusan tindakan kesehatan yang tepat, memberi perawatan kepada

anggota keluarga yang sakit, mempertahankan atau menciptakan

suasana rumah yang sehat, mempertahankan hubungan dengan

menggunakan fasilitas kesehatan masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas tentang

perawatan keluarga terutama pada keluarga yang mempunyai masalah

Page 4: KTI keperawatan

kesehatan dengan nyeri sendi dan dapat mengaplikasikannya dalam

memberikan asuhan keperawatan keluarga dengan Rheumatoid Artritis.

1.2. TUJUAN PENULISAN

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran proses keperawatan kasus

rheumatoid artritis pada klien Tn. A. secara optimal.

1.2.2. Tujuan Khusus

a. Dapat melakukan pengkajian, analisa data, masalah

keperawatan pada klien Tn. A

b. Dapat menyusun rencana/ intervensi keperawatan pada klien

Tn. A

c. Dapat melaksanakan/ mengimplementasikan rencana

keperawatan kepada klien Tn. A

d. Dapat menilai hasil (evaluasi) tidakan keperawatan pada klien

Tn. A

e. Dapat membuat dokumentasi keperawatan pada klien Tn. A

1.3. Metodologi Penulisan

Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan

beberapa metode antaralain :

1. Studi kepustakaan yakni membaca literature yang

menerangkan dan berhubungan dengan kasus Rematik

Page 5: KTI keperawatan

dan perawatannya baik berupa buku-buku diktat dan bahan

informasi lainnya.

2. Studi kasus yaitu mengkaji, merencanakan, dan melaksanakan

asuhan keperawatan pada klien secara langsung di RS. Tk. II

Pelamonia makassar dengan cara :

a) Wawancara

Dalam pelaksanaan studi asuhan keperawatan terhadap

klien, penulis mendapatkan data secara lisan dari klien,

keluarga dan tim kesehatan lainnya melalui percakapan.

b) Mempelajari dokumentasi klien

Penulis mengkaji melalui catatan atau hasil-hasil

pemeriksaan yang ada pada status klien.

c) Observasi

Pada tahap pengkajian dan implementasi penulis dapat

melihat langsung keadaan klien.

d) Pemecahan masalah

Dalam penerapan studi asuhan keperawatan penulis

menyelesaikan masalah-masalah yang ada pada klien

dengan melakukan intervensi langsung dengan menjalin

kerja sama dengan tim kesehatan lainnya.

Page 6: KTI keperawatan

1.4. Manfaat penulisan

1. Manfaat ilmiah

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu

dan pengetahuan dan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya,

khususnya pada kasus Rematik.

2. Manfaat praktis

Diharapkan karya tulis ilmiah inidapat menjadi sumbangsih

referensi bagi institusi Rumah Sakit khususnya RS Tk. II

Pelamonia Makassar dalam proses manajemen pemberian

asuhan keperawatan khususnya pada kasus Rematik.

3. Manfaat bagi peneliti

Karya tulis ilmiah ini dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan peneliti dalam bidang ilmu keperawatan serta

penerapannya dalam proses keperawatan khususnya pada

kasus klien Rematik.

Page 7: KTI keperawatan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RHEUMATOID ARTRITIS

2.1.1 PENGERTIAN

Penyakit rematik yang sering disebut arthritis (radang sendi) adalah

penyakit yang mengenai otot-otot skelet, tulang, ligamentum, tendon dan

persendian pada laki-laki maupun wanita dengan segala usia (Smeltzer,

2002).

Reumatik yang sering disebut artritis (radang sendi) terdiri atas lebih

dari 100 tipe kelainan yang berbeda. Penyakit ini terutama mengenai otot -

otot skelet, tulang, ligamentum, tendon dan persendian pada laki-laki maupun

wanita dengan segala usia (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).

Artritis rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik

dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ

tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien-pasien arthritis rheumatoid terjadi

setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat

progresivitasnya (Mansjoer,dkk, 2002).

Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit inflamasi progresif,

sistemik, dan kronis. multisistem kronis yang penyebabnya tidak diketahui.

Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini, karakteristiknya

adalah peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis), biasanya

menyerang area sekitar sendi dengan distribusi yang simetris (Cush, J.J. dan

Lipsky, P.E., 2005).

Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat

menyebabkan kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang

Page 8: KTI keperawatan

lebih lanjut pada integritas sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini.

Walaupun berpotensi merusak, Rheumatoid arthritis cukup bervariasi.

Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan

dengan durasi yang singkat disertai dengan kerusakan sendi yang minimal,

sedangkan pada penderita yang lain dapat menunjukkan poliartritis progresif

yang ditandai kerusakan fungsional (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).

Beberapa penelitian mengatakan bahwa Rheumatoid arthritis

mengalami penuruanan dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya.

Sebagian besar, tanda dari Rheumatoid arthritis adalah homogen, dan pola

dari perubahan sendi dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor genetik. Artriris

reumatoid dihubungkan dengan penyakit ekstra-artikular yang secara

konsisten lebih sedikit terjadi pada orang Asia dan Afrika dibanding dengan

orang Kaukasia.

2.1.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI

Sendi sinovial memiliki karakteristik sedemikian rupa sehingga

Kemungkinkan jangkauan gerakan yang luas. Sendi sinovial diklasifikasikan

berdasarkan jangkauan gerakan atau berdasarkan bentuk bagian sendi dari

tulang yang terlibat.8

Page 9: KTI keperawatan

Setiap jenis sendi sinovial memiliki karakteristik yang sama, yaitu:

a. Kartilago hialin

Bagian tulang yang bersentuhan pasti dilindungi oleh kartilago hialin

yang menyediakan permukaan yang lembut dan cukup kuat untuk menyerap

gaya tekan serta menahan berat tubuh. Lapisan kartilago memiliki ketebalan

7 mm pada orang muda dan semakin tipis dan rentan terhadap tekanan

seiring dengan pertambahan usia. Hal ini menyebabkan bertambahnya

tekanan pada struktur sendi. Kartilago tidak diperdarahi tetapi menerima

nutrisi dari cairan sinovial.

b. Ligamentum kapsuler

Sendi dikelilingi dan ditutupi oleh jaringan fibrosa yang mengikat

tulang-tulang yang berkaitan. Jaringan tersebut cukup regang sehingga

Gambar 1 : Gambaran skematik dari sendi sinvial. (1) periosteum, (2) lapisan fibrous terluar dari kapsul, (3) lapisan sinovial bagian dalam dari kapsul, (4) lemak dan jaringan lunak longgar, (5) celah artikular, (6) kartilago, (7) tulang, (8) bare area.

Page 10: KTI keperawatan

pergerakan dapat dilakukan tapi juga cukup kuat untuk dapat melindungi dari

jejas.

c. Membran sinovial

Membran sinovial disusun oleh sel epitel dan berfungsi:

- Melapisi kapsul

- Menutupi bagian tulang di dalam sendi yang tidak ditutupi oleh kartilago

sendi

- Menutupi seluruh struktur intrakapsuler yang tidak menyokong berat

tubuh

d. Cairan sinovial

Cairan sinovial merupakan cairan kental dengan konsistensi

menyerupai putih telur dan disekresikan oleh membran sinovial kedalam

kavitas sinovial, dan berfungsi:

- Menyediakan nutrisi untuk struktur di dalam kavitas sinovial

- Mengandung fagosit yang mengeliminasi mikroba dan debris seluler

- Berfungsi sebagai lubrikan

- Mempertahankan stabilitas sendi

- Mencegah terpisahnya kedua ujung tulang yang berlengketan, seperti

sedikit air yang terdapat diantara dua permukaan kaca

e. Struktur intrakapsular lainnya

Beberapa sendi memiliki struktur-struktur yang terdapat di dalam

kapsul, tetapi berada di luar membran sinovial yang membantu

mempertahankan stabilitas, contohnya bantalan lemak dan meniskus pada

sendi lutut. Jika struktur tersebut tidak menyokong berat tubuh, biasanya

struktur tersebut tidak ditutupi oleh membran sinovial

Page 11: KTI keperawatan

f. Struktur ekstrakapsular

- Ligamentum, yang bergabung dengan kapsul memberikan stabilitas lebih

lagi pada kebanyakan sendi

- Otot atau tendon, juga menyediakan stabilitas. Selain itu otot dan tendon

juga meregang melintasi sendi ketika terjadi pergerakan. Jika otot

berkontraksi, otot tersebut akan memendek dan menarik dua tulang

sehingga semakin berdekatan.

g. Suplai darah dan persarafan

Saraf dan pembuluh darah yang melintasi sendi biasanya bertugas

menyuplai kapsul dan otot yang menggerakkannya.

2.1.3 ETIOLOGI

Penyebab Rheumatoid arthritis masih belum diketahui. Dikatakan

bahwa Rheumatoid arthritis mungkin merupakan manifestasi dari respon

terhadap agen infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik.

Karena distibusi Rheumatoid arthritis yang luas, hal ini menimbulkan

hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen infeksius, maka organisme

tersebut haruslah tersebar secara luas. Beberapa kemungkinan agen

penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus Epstein-Barr

(EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tapi berdasarkan bukti-

bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang menyebabkan

Rheumatoid arthritis tidak muncul pada penderita Rheumatoid arthritis (Cush,

J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).

Walupun etiologi dari Rheumatoid arthritis belum diketahui pasti,

namun nampaknya multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas,

dan penelitian pada orang kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%.

Page 12: KTI keperawatan

Sebanyak 70% dari pasien artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte

antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan

agen infeksius dikatakan memiliki peranan penting pada etiologi, namun

kontribusinya sampai saat ini belum terdefinisikan (Cush, J.J. dan Lipsky,

P.E., 2005).

2.1.4 PATOFISIOLOGI

Rheumatoid arthritis adalah proses inflamasi kompleks yang

merupakan hasil reaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan

proliferasi dari fibroblas sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan

sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain di seluruh

tubuh. Orang-orang yang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda

klinik yang bermacam-macam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam

jaringan sinovial, proses inflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema

dan proliferasi kapiler dan sel mesenkim. Pada jaringan sendi dan cairan

sinovial, terjadi akumulasi dari leukosit yang menghasilkan enzim lisosom dan

proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik. Kemudian, dengan

teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial, mediator ini dapat merusak

kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses ini terus berlanjut dan tidak

dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi

fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan sendi atau

terlihat ankilosis pada tulang (Carter, 2005).

Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah

destruksi akibat proses pencernaan oleh karena produksi protease,

kolagenase dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah

kartilago, ligamen, tendon dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama

Page 13: KTI keperawatan

dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit

polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari

respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal. Kedua

adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus

merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang

meradang dan kemudian meluas ke sendi. Disepanjang pinggir panus, terjadi

destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam

panus tersebut (Carter, 2005)

Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan

patogenesis Rheumatoid arthritis yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh

produksi dari berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor α (TNF-α) dan

interleukin-1 (IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF-α dan IL-1

juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang (Sommer, 2005).

2.1.5 Gambaran Klinis

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita

Rheumatoid arthritis. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat

yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang

bervariasi (Carter, 2005).

a) Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya

b) Poliartritis simetris: semua sendi dapat terserang terutama pada sendi

perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan

sendi-sendi interfalang distal.

c) Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat menyeluruh

tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan

Page 14: KTI keperawatan

kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung

selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam

d) Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran

radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi

tulang.

e) Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan

perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi

metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah

beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat

protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi

metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami

pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak

ekstensi.

f) Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada

sekitar sepertiga orang dewasa pasien Rheumatoid arthritis. Lokasi yang

paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau

sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-

nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini

biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih

berat.

g) Manifestasi ekstra-artikular; Rheumatoid arthritis juga dapat menyerang

organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),

mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari

Rheumatoid arthritis dari American Rheumatism Association tahun 1987

Page 15: KTI keperawatan

Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the

Classification of Rheumatoid Arthritis

Kriteria Definisi

1. Kekakuan pagi

hari

Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar

sendi, lamanya setidaknya 1 jam

2. Artritis pada

tiga atau lebih

area sendi

Setidaknya tiga area sendi secara bersama-

sama dengan peradangan pada jaringan lunak atau

cairan sendi. 14 kemungkinan area yang terkena, kanan

maupun kiri proksimal interfalangs (PIP),

metakarpofalangs (MCP), pergelangan tangan, siku,

lutut, pergelangan kaki, dan sendi metatarsofalangs

(MTP)

3. Artritis pada

sendi tangan

Setidaknya satu sendi bengkak pada

pergelangan tangan, sendi MCP atau sendi PIP

4. Artritis simetris Secara bersama-sama terjadi pada area sendi

yang sama pada kedua bagian tubuh

5. Nodul-nodul

reumatoid

Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau

permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular

6. Serum faktor

reumatoid

Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada

serum faktor reumatoid dengan berbagai metode yang

mana hasilnya positif jika < 5% pada subyek kontrol yang

normal

7. Perubahan

radiografik

Perubahan radiografik tipikal pada Rheumatoid

arthritis pada radiografik tangan dan pergelangan tangan

posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi

terlokalisasi yang tegas pada tulang.

Page 16: KTI keperawatan

Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika

pasien memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah

berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,

tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

2.1.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Diagnosis dari Rheumatoid arthritis dengan anamnesis dan pemeriksaan

yang dikorelasikan dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi.

Karakteristik pasien, termasuk umur, jenis kelamin dan etnis, sangat penting,

karena hal tersebut berhubungan dengan resiko dan tingkat keberatan dari

penyakit (Kent and Matteson, 2004)

1) Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis pada pasien dengan Rheumatoid arthritis adalah

penilaian standar untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan

keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis juga menunjukkan

adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis, nodul-nodul, efusi

pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah (Kent and

Matteson, 2004).

Pada Rheumatoid arthritis yang lanjut, tangan pasien dapat

menunjukkan deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi

distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP).

Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu

deformitas swan-neck (leher angsa), dimana juga terjadi hiperekstensi dari

sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah

Page 17: KTI keperawatan

seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa

silikon (Mettler, 2004).

Gambar 2 : Gambaran skematik dari deformitas swan-neck dan deformitas boutonniere, sering telihat pada Rheumatoid arthritis lanjut.

2) Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk

mendiagnosis Rheumatoid arthritis. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai

untuk membantu menegakkan diagnosis Rheumatoid arthritis. Sekitar 85%

pasien Rheumatoid arthritis memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang

dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M

(IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan

dari faktor reumatoid bukan merupakan hal yang spesifik pada penderita

Rheumatoid arthritis. Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5% pada serum

orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahan usia, sebanyak 10-

20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif memiliki faktro reumatoid

dalam titer yang rendah.

Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang tidak

spesifik. Pasien dengan Rheumatoid arthritis nilainya dapat tinggi (100

Page 18: KTI keperawatan

mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat dipakai untuk

memantau aktivitas penyakit (Carter, 2004).

Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita

dengan artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang.

Anemia ini tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa dan dapat

membuat seseorang merasa kelelahan (Lipsky, 2005).

Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,

walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk

Rheumatoid arthritis. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan

yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi glukosa

yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC)

meningkat mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini

merupakan karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian,

temuan ini tidak mendiagnosis Rheumatoid arthritis (Lipsky, 2005).

3) Pemeriksaan Radiologi

a) Foto Polos

Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada

pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah

sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan

ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang

pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini

biasanya irreversibel (Carter, 2004).

Page 19: KTI keperawatan

Gambar 3 : Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs

Gambar 4: A. Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi komplit pada pergelangan tangan

Page 20: KTI keperawatan

Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel pada tangan

Tanda pada foto polos awal dari Rheumatoid arthritis adalah

peradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan

oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid

merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan

ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun

adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.

Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita Rheumatoid

arthritis dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam

menegakkan diagnosis.

b) CT Scan

Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam

mendiagnosis Rheumatoid arthritis. Walaupun demikian, CT scan berguna

dalam memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di

tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan

MRI (Tsou, 2011).

Page 21: KTI keperawatan

CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki

kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk

mengindikasikan letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara

tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.

c) Ultrasonografi (USG)

Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi

tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada Rheumatoid

arthritis. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada

sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang

memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat

terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari

arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat

divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna

pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak

tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan

lokasinya yang dalam.14

Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis Rheumatoid arthritis

dengan tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi

konvensional. Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude

color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang

berguna untuk dugaan Rheumatoid arthritis. ACD imaging telah diaplikasikan

untuk Rheumatoid arthritis dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari

hiperemia pada peradangan jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan

ciri patofisiologi yang fundamental untuk Rheumatoid arthritis (Tsou, 2011).

Page 22: KTI keperawatan

d) MRI

Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang

baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak,

kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan

Rheumatoid arthritis (Tsou, 2011).

Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama

pada Rheumatoid arthritis. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas

MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk

perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan

penolong untuk mendiagnosis awal penyakit Rheumatoid arthritis. MRI juga

memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari Rheumatoid

arthritis, sebagai contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan

tenosinovitis (Wakefield, 2004).

2.1.7 PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi dari Rheumatoid arthritis adalah (1) mengurangi nyeri, (2)

mengurangi inflamasi, (3) menjaga struktur persendian, (4) mempertahankan

fungsi sendi, dan (5) mengontrol perkembangan sistemik.

Adapun penatalaksanaan dari Rheumatoid arthritis adalah sebagai berikut:

1) Obat-obatan

a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)

Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi

proses produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat

sintetase prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah

asam lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi

prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat

Page 23: KTI keperawatan

standar yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah

aspirin.

Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan

Rheumatoid arthritis. Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan

tromboksan ini memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan anti-

piretik.

b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)

Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas,

D-penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki

kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini

memberikan beberapa karakteristik (Lipsky, 2005).

Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak

dapat mengendalikan Rheumatoid arthritis. Beberapa obat-obatan yang

telah disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs

Administration untuk dipakai sebagai obat Rheumatoid arthritis. Tujuan

pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk

mengendalikan manifestasi klinis dan menghentikan atau memperlambat

kemajuan penyakit.

c. Terapi glukokortikoid

Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi

simptomatik pada penderita Rheumatoid arthritis. Prednison dosis rendah

(7,5 mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol

gejala. Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi

Page 24: KTI keperawatan

glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi

tulang (Lipsky, 2005)

2) Operasi

Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita

Rheumatoid arthritis dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun

artroplasti dan penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa

sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan

bahu. Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan

mengurangi disabilitas (Lipsky, 2005).