kelompok 3 modul 4 blok 10

Upload: okki-masitah-syahfitri-nasution

Post on 29-Oct-2015

46 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ndnd

TRANSCRIPT

PENYAKIT HORMON, ENDOKRIN, DAN METABOLIK

PENYAKIT HORMON, ENDOKRIN, DAN METABOLIKDIABETES MELLITUS

Disusun oleh :

Kelompok 3

Yunita

Hatfina Ranida

Husni Mubarak

Yoga Alfian Noor

Hajrah

Tatik Handayani

Dhiya Husna Izzati

Nurhasanah

Nurul Salamah

Tutor: dr. Sri Hastati, M.kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA

2008/2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan dengan tema Penyakit Hormon, Endokrin, dan Metabolik ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara garis besar berisikan tentang penyakit metabolik, khususnya Diabetes Mellitus.

Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Sri Hastati, M.kes selaku tutor kelompok 3 yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil pada modul IV mengenai penyakit ini.

2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil diskusi kelompok kecil ini.

3. Teman-teman kelompok III yang telah mencurahkan pikiran, tenaga dan waktunya sehingga diskusi kelompok kecil (dkk) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini.

4. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2007 yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai materi yang kita bahas.

Dan tentunya kami sebagai penyusun mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi para pembaca di kemudian hari.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini.

Hormat Kami,

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman judul. i

Kata pengantar.ii

Daftar isi.. iii

I. Pendahuluan

Latar belakang.... 1

Tujuan.... 1

II. Isi

Step 1 .2

Step 2..2

Step 3..3

Step 4..6

Step 5..7

Step 6..7

Step 7..7

III. Penutup

Kesimpulan ...............36Daftar pustaka....37BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat

menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang

peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai

kemungkinan etiologi DM yaitu :

1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan

sel beta melepas insulin.

2. Faktor faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen

yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan

gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.

3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang

disertai pembentukan sel sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan

kerusakan sel - sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel

beta oleh virus.

4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan

terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada

membran sel yang responsir terhadap insulin.2. Tujuan

Adapun tujuan umum DKK kali ini adalah agar mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan tentang Diabetes Mellitus, meliputi; definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosa kerja, diagnosa banding, pemeriksaan penunjang, penatalaksana, komplikasi, prognosis, serta pencegahan penyakit.

BAB II

ISI

STEP 1

Terminologi asing

Poliuri

: Pasase atau frekuensi pengeluaran urin yang besar dalam periode tertentu, penyebabnya adalah diuresis osmotik.

Polifagi

: Peningkatan rasa lapar serta frekuensi makan karena kekurangan kalori

Polidipsi

: Rasa haus dan minum air yang berlebihan, disebabkan karena penyebab organik, misal pada penderita Diabetes Mellitus.

Gula darah puasa: Kadar gula darah yang diukur setelah puasa selama 10 13 jam sebelumnya.

Gula darah 2JPP: Kadar gula darah yang diukur 2 jam setelah makan atau pembebanan glukosa, sebelumnya puasa selama 8 10 jam.

HbA1c

: Suatu metode untuk mengontrol glukosa pada setiap tipe diabetes, dimana nilai normalnya adalah 3,5 5,5 ; nilai baik 3,5 6 ; nilai cukup 7 8 ; dan nilai buruk untuk lebih dari 8. Jika hasil Ab1c makin besar, maka kadar gula darah besar dalam plasma.

STEP 2

Identifikasi Masalah

1. Mengapa Pak Amir mengalami keluhan poliuri, polifagi, dan polidipsi?

2. Mengapa pada 1 bulan terakhir Pak Amir mengalami kesemutan, nyeri sendi, dan penglihatan kabur ?

3. Mengapa berat badan Pak Amir turun drasttis ? Bagaimana mekanismenya?4. Mengapa riwayat pingsan, penurunan kesadaran, dan riwayat penyakit keluarga perlu dianamnesis? Apa hubungannya?

5. Adakah hubungan antara postur Pak Amir dan gejala-gejala yang dialaminya?

6. Mengapa harus dilakukan pemeriksaan gula darah saat puasa dan 2JPP?

7. Apa diagnosa dari hasil pemeriksaan laboratorium Pak Amir ?

8. Kapan pemeriksaan HbA1c dilakukan? Apa tujuannya ? dan Bagaimana caranya?

9. Apa diagnosa yang mungkin pada pernyakit Pak Amir?

10. Bagaimana terapi yang perlu dilakukan dan diberikan?STEP 3

Brainstroming

1. Alasan mengapa Pak Amir mengalami keluhan poliuri, polifagi, dan polidipsi.

a. Poluri memiliki keterkaitan dengan keluhan polidipsi. Yaitu pada tubuh Pak Amir terjadi Hiperglikemia yang disebabkan oleh kadar gula dalam darah meningkat sehingga osmolaritas pun meningkat, hal ini mengakibatkan perubahan viskositas darah menjadi lebih kental sehingga memacu kerja ginjal. Gula darah yang banyak disekresikan pada tubulus ginjal mengakibatkan peningkatan glukosa dalam urin dan glukosa tersebut tidak dapat direabsorbsi kembali karena melebihi ambang batas darah untuk mengangkut kembali glukosa yang belum di reabsorbsi. Karena hal tersebut naka memicu diuresis osmotik sehingga menghambat elektrolit lain untuk direabsorbsi, misal air sehingga glukosa banyak keluar bersama air melalui urin.

b. Polidipsi terjadi karena pengeluaran air yang berlebihan sehingga merangsang pusat haus di hipotalamus, rasa haus yang meningkat ini maka memacu Pak Amir untuk banyak minum.c. Polifagi terjadi juga karena hiperglikemia. Glukosa yang berlebih dalam darah dikarenakan oleh banyak faktor, sehingga glukosa yang seharusnya dideposit di jaringan tidak dapat masuk ke jaringan. Selain itu karena poliuri, glukosa juga banyak terbuang melalui urin. Hal ini mengakibatkan jaringan mengalami banyak kukurangan glukosa, walaupun dalam darah kadar glukosa sangat banyak. Hal ini merangsang pusat lapar sehingga Pak Amir makan terus untuk memenuhi kebutuhan energi.2. Gejala-gejala yang dialami Pak Amir selama 1 bulan terakhir, yaitu kesemutan, nyeri sendi, dan penglihatan kabur. Kesemutan merupakan gejala yang tidak khas pada penderita DM. Hal ini terjadi karena hiperglikemia sehingga viskositas darah meningkat. Karena perubahan ini mengakibatkan alirand arah menuju jaringan dan sel-sel saraf menjadi lambat dan junlahnya berkurang. Hal inilah yang mengakibatkan Pak Amir merasa kesemutan. Nyeri sendi merupakan gambaran klinis karena komplikasi dari DM. Penlihatan kabur dikarenakan juga oleh prefusi jaringan yang menurun, termasuk ke retina. Karena kebutuhan energi oleh retina berkurang, maka menghambat kerja dari protein C kinase dan menghambat nitrit okside sintase. Karena tak ada regulator maka asupan energi ke retina berkurang sehingga penglihatan menjadi kabur. Jika dibiarkan kronis tanpa penanganan bisa terjadi kebutaan.

3. Penurunan berat badan drastis yang dialami Pak Amir mekanismenya hampir sama dengan keadaan starvasi yaitu karena glukosa dalam darah yang berlebih, tidak dapat dideposit ke jaringan, maka ATP tidak terbentuk. Karena glikogen pada otot kurang, maka untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh dengan lipolisis. Lemat terus menerus dipecah, walaupun glukosa banyak dalam darah namun tidak terdeteksi. Hal inilah yang mengakibatkan berat badan Pak Amir menurun.

4. Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat pingsan, penurunan kesadaran, dan riwayat keluarga karena bertujuan untuk membantu menegakkan diagnosa, menentukan tipe DM yang kemungkinan diderita oleh Pak Amir, dan untuk menentukan insufisiensi insulin, apakah bersifat absolut atau relative.

5. Postur tubuh Pak Amir yang gemuk merupakan faktor resiko DM. Pada orang yang menderita obesitas bisa mengalami penurunan jumlah reseptor insulin pada sel target sehingga glukosa tidak dapat didistribusikan ke jaringan karena penurunan kepekaan insulin pada jaringan tersebut.

6. Perlu dilakuakn pemeriksaan gula darah sewaktu dan 2PJJ utnuk mengetahui kadar gula darah. Pada orang normal seharusnya walaupun setelah ia makan selama 2 jam, proses glikogenesis mulai terjadi dan kadar gula tidak terlalu tinggi. Namun pada penderita DM, kadar gula masih tetap tinggi lebih dari nilai semestinya. Pemeriksaan ini penting untuk menegakkan diagnosa pasti pada penderita DM.

7. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala yang dialami oleh Pak Amir yaitu poliuri, polifagi, polidipsi, dan penurunan berat badan adalah gejala khas pada DM. Keluhan kesemutan, nyeri sendi, dan penglihatan kabur merupakan gejala tidak khas pada DM. Kemudian melihat dari keadaan fisik Pak Amir yang gemuk, usia, dan riwayat yang ada membantu memperjelas kemungkinan Pak Amir menderita DM Tipe 2. Diagnosa didukung dengan hasil pemeriksaan gula darah Pak Amir yang tinggi. Maka diagnosanya adalah Diabetes Mellitus Tipe 2.

8. HbA1c memiliki perinsip kerja yaitu mengikat oksigen dan glukosa, sehingga dapat mendeteksi kemungkinan komplikasi pada penderita DM agar bisa dilakukan pencegahan sebelum terjadi komplikasi.

9. Dari hasi diskusi kami, tidak ada kemungkinan diagnosa penyakit lain selain Diabetes Mellitus Tipe 2.

10. Terapi yang dilakukan pada penderita DM dilakukan melalui manajemen hidup yang lebih sehat agar diabetes nya tidak bertambah parah, karena DM merupakan penyakit yang tidak bisa sembuh, maka perlu perhatian dari penderita untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Ada 4 terapi dasar pada penderita DM yaitu Edukasi yang baik, exercise atau berolahraga yang teratur dan berkesinambungan, perubahan gaya hidup terutama pada konsumsi makan atau diet si penderita, dan medicamentosa. STEP 4

Strukturisasi

STEP 5

Learning Objektif

1. Mengetahui dan menjelaskan tentang Diabetes Mellitus; definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosa kerja, diagnosa banding, komplikasi, penatalaksana (kuratif dan preventif), prognosis.2. Mengetahui dan menjelaskan hubungan antara faktor-faktor genetic dan Diabetes Mellitus.

3. Mengetahui dan menjelaskan tentang hormone-hormon yang berperan dalam penyakit Diabetes Mellitus.

STEP 6

Belajar mandiri

Pada tahap ini masing-masing anggota diskusi kelompok kecil melakukan belajar secara mandiri sesuai dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan sebelumnya untuk mengetahui lebih dalam terhadap materi yang akan dibahas pada diskusi kelompok kecil2. Setiap anggota dapat mencari bahan pembelajaran dari kepustakaan, internet, dan juga langsung bertanya kepada narasumber.STEP 7

SintesisDIABETES MELLITUS

DEFINISI

Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufiensi fungsi insulin. Insufiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO,1999).

ETIOLOGI

a. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun adapula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa antibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet Cell Surface Antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase).

Individu yang peka secara genetik akan memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinik diabetes mellitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada diabetes mellitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik yang berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Juga tedapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel beta.b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifactor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM Tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal (Resistensi Insulin). Resistensi insulin banyak terjadi di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

c. Diabetes Mellitus Tipe Lain

Diabetes Mellitus Tipe Lain dapat disebabkan oleh karena defek genetic fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin, penyakit endokrin pancreas, endokrinopati, diabetes karena obat/zat kimia (Glukortikoid, hormone tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilatin, interferon), diabetes karena infeksi, diabetes imunologi (jarang), dan juga dapat disebabkan karena sindroma genetic seperti Down syndrome, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Will.d. Diabetes Mellitus Gestational

Diabetes Mellitus gestational (GDM) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonyauntuk menderita lagi diabetes di masa depan.e. Pra-diabetes

Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggu daripada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam diabetes tipe 2. penderita pra-diabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes. Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi daripada penderita diabetes.

Kondisi pradiabetes merupakan factor resiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes.

KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut juvenile diabetes, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.

Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.

WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.

Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya. Klasifikasi Diabetes

Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel.

I. Diabetes Melitus Tipe 1 :Destruksi sel umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut

A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)

B. Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2

Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama

resistensi insulin

III. Diabetes Melitus Tipe Lain :

A. Defek genetik fungsi sel beta:

kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3),

kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)

kromosom 20, HNF-4 (dahulu disebut MODY 1)

kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1) (dahulu MODY 4)

kromosom 17, HNF-1 beta (dahulu MODY 5)

kromosom 2, Neuro DI (dahulu MODY 6)

DNA mitokondriaB. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechanism, sindrom Rabson Mendenhell, diabetes lipoatropik

C. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/prankeatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemkromatosis, pankreotpati fibro kalkulus

D. Endokrinopati : akromefali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somastotatinoma, aldosteronma,

E. Karena obat / zat kimia : vacor, pentamidin, asam niktinat, glukortikid, hormon tiroid, diazoxid, interferon alfa

F. Infeksi : rubella congenital, CMV,

G. Imunologi (jarang) : sindrom stiff-man, antibodi anti reseptor insulin

H. Sindrome genetik lain : sindrom down, sindrom klinifelter, sindrom truner, sindrom wolframs, ataksia friedreichs, chorea huntington, distrofi miotonik, porfiria, sindrom prader willi

IV. Diabetes Kehamilan (diabetes gestational)

GEJALA KLINIS

Gejala klinis DM yang klasik: mula-mula polifagi, polidipsi, poliuri, dan berat badan naik (fase Kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala Fase Dekompensasi (Dekompensasi Pankreas), yang disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan berat badan turun. Ketiga gejala klasik tersebut di atas disebut pula TRIAS SINDROM DIABETES AKUT (poliuri, polidipsi, berat badan menurun) bahkan apabila tidak segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan Ketoasidosis Diabetik.

Gejala kronis DM yang sering muncul antara lain lemah badan, semutan, kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering berubah, sakit sendi, dan lain-lain.PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS

A. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).

ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.

Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.B. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin.

Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.

Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2 disajikan dalam tabel 2

DM Tipe 1DM Tipe 2

Mula MunculUmumnya masa anak anak dan remaja, walaupun ada juga pada dewasa 40 tahun

Keadaan klinis saat diagnosisBeratRingan

Kadar insulin darahRendah, tidak adaCukup tinggi, normal

Berat badanBiasanya kurusGemuk atau normal

Pengelolaan yang disarankanTerapi insulin, diet, olahragaDiet, olahraga, hipoglikemik oral

C. Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.

Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.D. Pra-diabetes

Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes.

Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:

Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: 45 tahun

2. berat badan lebih : BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m23. hipertensi ( 140/90 mmHg )

4. riwayat DM dalam garis keturunan

5. riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gr

6. kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 250 mg/dl

Catatan :

Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negative, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa factor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 TGT tetap, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan denga penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM. hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.

Nilai atau indeks diagnostic lainnya

Definisi keadaan diabetes atau gangguan toleransi glukosa tergantung pada pemeriksaan kadar glukosa darah. Beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat berguna dalam menentukan subklas, penelitian epidemiologi, dalam menentukan mekanisme dan perjalanan alamiah diabetes.

Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian :

1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel Beta

Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi peptide penghubung (C-peptide). Nilai-nilai Glycosilated hemoglobin, nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.

2. Indeks proses diabetogenik

Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan penentuan tipe dan sub-tipe HLA; adanya tipe dan titer antibody dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau Langerhans (islet cell antibodies), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) dan sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pancreas: ditemukannya susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit lain pada pancreas dan penyakit endokrin lainnya.KomplikasiKomplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor: (1) komplikasi metabolik akut, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskuler jangka panjangKomplikasi Metabolik AkutKomlikasi metabolic diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dan konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasidosis diabetic(DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton. Peningkatan keton meningkatkan beban hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat menyebabkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akan mengalami koma dan kematian. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.

DKA ditangani dengan (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, (2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan(3) pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat diberikan melalui infus intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering dan infus glukosa dan air atau salin akan meninkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis dan pembentukan benda keton, serta memulihkan keseimbangan asam basa.Selain itu pasien juga memerlukan pergantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat dekompensasi diabetik akut dan DKA. Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberi pengobatan antibiotika.

Hiperglikemia, hiperosmolar, koma non ketotik (HHNK) adalah komlikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum leih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan enunggal bila kedaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatn HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.

Komlkasi metabolic lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi insulin,syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependent insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanent bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat,baik oral maupun intravena. kadang-kadang diberikan glukagon yang merupakan suatu hormon glikogenolisis secara intramuskular untuk meningkatkan glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan hormone pelawan regulator (glukagon, epenefrin, kortisol, hormone pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek somogyi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin, dan dengan demikian meurunkan hiperglikemia.

Komplikasi Kronik Jangka Panjang

Komlikasi vascular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopatik diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membrane dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak memburuhkan insulin. Bukti histologik dari mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita IGT. Namun, manifestasi klinis penyakit vascular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul 15-20 tahun sesudah awitan diabetes.

Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia denagn insidens dan bertambahnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola retina. Akibatnya perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Pengobatan yang paling berhasil retinopati adalah fotokoagulasi keseluruhan retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan parut korioretinal. Setelah pemberian sinar beberapa seri, akan dihasilkan sekitar 1800 parut yang ditempatkan pada kutub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya dapat menekan neovaskularisasi dan perdarahan yang menyertainya.

Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan enderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini, pasien mungkin memerlukan dialisis atau translantasi ginjal. Neuropati dan katarak disebabkan oleh ganguan jalur poliol (glukosa-sorbitol-fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dala lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositosil yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokomia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul rasa nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot an atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf krnial atau saraf autonom. Terserangnya sise saraf autonom dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural, dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokrdial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respon katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia.

Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dri gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa: (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelaianan pembekuan darah. Pada akhirnya, makroagiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer , dapat mengakibatkan insufisuensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstemitas serta insufisuensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.

Pencegahan

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan diabetes ada tiga jenis atau tahap yaiti:

1. Pencegahan primer

Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka yang masih sehat. Cakupannya mejadi sangat lias. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan hidup sehat dan menghindari pola hidup beresiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanyekan makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak.

2. Pencegahan sekunder

Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur dan menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus mendekati normal sepajang hari dan sepanjang tahun. Tekanan darah lipid juga harus normal. Dan supaya tidak rsistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid diutamakan cara-cara nonfarmakologis misalnya dengn die, tidak meokok dan berolahraga secara teratur. Pada pencegahan sekunderpun penyuluhan tentang prilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelaynan kesehatan primer dipusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Disamping itu juga diperlukan penyuluhan kepada keluarga dan pasien mengenai berbagai hal mengenai penataksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan itu. Pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan kedalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplokasi dapat dicegah karena masih reversibel. Untuk negara berkembang termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.

3. Pencegahan tersier

Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk kedala pencegahan sekunder. Upaya ini terdiri dari tiga tahap:

Pencegahan komplikasi diabetes, pada konsesus dimasukka sebagai pencegahan sekunder

mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ

mencegah terjadinya kecacatan disebabkan karena kegagalan organ atau jaringan.Penatalaksanaan Diabetes militus

Tujuan :

1.Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

2.Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.

3.Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan.

4.Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.

Pilar utama pengelolaan DM :

1. Edukasi 2. Perencanaan makan 3. Latihan jasmani4. Obat-obatanPada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.

Edukasi

Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:

1. makan makanan sehat

2. kegiatan jasmani secara teratur3. menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik4. melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada5. melakukan perawatan kaki secara berkala6. mengelola diabetes dengan tepat7. mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan8. dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.

Perencanaan makanDiabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi. Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak, protein). Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

Karbohidrat60-70%Protein10-15%Lemak20-25%Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.

Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT).

IMT = BB(kg)/TB(m2)

Tabel 2. Klasifikasi IMT (Asia Pasific)

Klasifikasi IMT (Asia Pasific) Lingkar Perut

80cm (Wanita)

Risk of co-morbidities

BB Kurang 23,0 :

- Dengan risiko : 23,0-24,9

- Obes I : 25,0-29,9

- Obes II : 30

Rendah

Rata-rata

Meningkat

Sedang

Berat

Rata-rata

Meningkat

Sedang

Berat

Sangat berat

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%Status gizi:

BB kurang bila BB < 90% BBI

BB normal bila BB 90-110% BBI

BB lebih bila BB 110-120% BBI

Gemuk bila BB >120% BBI

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-3%); untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori yang dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan perhitungan tersendiri. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal.

Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik.Jumlah kandungan kolesterol 140>200

A1c (%)8

Kolesterol Total (mg/dl)Kolesterol LDL (mg/dl)

Kolesterol HDL (mg/dl)Trigeliserida (mg/dl)130

>200

IMT (kg/m2)