isi referat

58
1. Otitis Media Akut a. Definisi Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. b. Stadium 1) Stadium Oklusi Tuba Eustachius 2) Stadium Hiperemis (stadium pre-supurasi) 3) Stadium Supurasi 4) Stadium Perforasi 5) Stadium Resolusi c. Gambaran klinik (masing-masing stadium) 1) Stadium Oklusi Tuba Eustachius Tanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat absorspi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat di deteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi. 2) Stadium Hiperemis (stadium pre-supurasi) Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar dilihat. 3) Stadium Supurasi Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, yang serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum 1

Upload: hananti-ahhadiyah

Post on 15-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

1. Otitis Media Akut

a. DefinisiOtitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat.

b. Stadium1) Stadium Oklusi Tuba Eustachius2) Stadium Hiperemis (stadium pre-supurasi)3) Stadium Supurasi4) Stadium Perforasi5) Stadium Resolusi c. Gambaran klinik (masing-masing stadium)1) Stadium Oklusi Tuba EustachiusTanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat absorspi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat di deteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.

2) Stadium Hiperemis (stadium pre-supurasi)Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar dilihat.

3) Stadium SupurasiEdema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, yang serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah telinga luar.Pada keadaaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri ditengah bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul trombofeblitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke liang telinga luar.Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali.

4) Stadium Perforasi Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat tertidur nyenyak. Keadaan ini disebut dengan otitis media akut stadium perforasi.

5) Stadium ResolusiBila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

d. Penatalaksanaan (masing-masing stadium)1) Stadium oklusi Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius, sehingga tekanan negatif ditelinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak < 12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.2) Stadium presupurasiTerapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah golongan penisilin dan ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.3) Stadium supurasiSelain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100mg/kg BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari. 4) Stadium perforasiStadium perforasi sering terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.

5) Stadium resolusiPada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup.Bila tidak terjadi resolusi biasanya tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak,kemungkinan telah terjadi mastoiditis.Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut.Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK).Pada pengobatan OMA terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Risiko tersebut di golongkan menjadi risiko tinggi kegagalan terapi dan risiko rendah.

2. Otitis Media Supuratif Kronis

a. DefinisiOtitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. b. Tipe OMSK dapat dibagi atas 2 jenis yaitu :1) OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe banigna)2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna)Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi1) Kolesteatoma

DefinisiKolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar.

PatogenesisBanyak teori dikemukakan para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi.Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous ephithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat diliang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.

Klasifikasi Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis :a) Kolesteatoma kongenital yang terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan pada telinga dengan membran timpani utuh tanpa ada tanda-tanda infeksi.b) Kolesteatoma akuisital yang terbentuk setelah anak lahir, jenis ini terbagi atas 2 : kolesteatoma akuisital primer dan kolesteatoma akuisital sekunder. c. Gambaran klinis

Tanda klinik OMSK tipe bahaya :Mengingat OMSK tipe bahaya seringkali menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu ditegakkan diagnosis dini. Walaupun diagnosis pasti baru dapat ditegakkan dikamar operasi, namun beberapa tanda klinik dapat menjadi pedoman akan adanya OMSK tipe bahaya, sedangkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terlihat ; abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari telinga tengah, terlihat kolesteatoma pada telinga tengah, (sering terlihat di epitimpanum), sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma) atau terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.

d. PenatalaksanaanTerapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu :1) Adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar2) Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal3) Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid4) Gizi dan higeien yang kurangPrinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Banyak ahli berpendapat bahwa semua obat tetes yang dijual dipasaran saat ini mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik.Oleh sebab itu penulis menganjurkan agar obat tetes telinga jangan diberikan secara terus-menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat.Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi harus diobati terlebih dahulu, mungkin juga perlu melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi.Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi, bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.

3. Rinosinusitis

a. DefinisiInflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala. Salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior).

b. KlasifikasiBerdasarkan konsensus tahun 2004, sinusitis dibagi menjadi tiga berdasarkan waktunya, yaitu :1) Rinosinusitis akut: gejala terjadi selama 4 minggu atau kurang dari 4 minggu2) Rinosinusitis subakut: gejala terjadi lebih dari 4 minggu dan kurang dari 12minggu3) Rinosinusitis kronik: gejala lebih dari 12 minggu

c. Kriteria diagnosisKriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk penatalaksanaan rhinosinusitis kronis pada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT adalah sebagai berikut :

Gejala dan tanda

Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.

Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung (cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior) :

a) disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajahb) berkurang / hilangnya penciuman

Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin, ingus yang cair, hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka dilakukan tes alergi. (Fokkens W.2007)

d. PenatalaksanaanTujuan terapi sinusitis ialah :1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik.

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secra alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau telah memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob.Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyababkan sekret lebih kental. Bila alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proets displacemen therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi berat.

4. Rinitis Alergi

a. DefinsiRinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisai dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Pirquet, 1986).Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh IgE.b. Klasifikasi (menurut WHO ARIA) Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Intiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi menjadi :1) Intermiten (kadang-kadang) Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu2) Persisten/menetap Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :1) RinganBila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.2) Sedang-beratBila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

c. Kriteria diagnosis (menurut WHO ARIA) Menurut rekomendasi dari WHO intiative ARIA tahun 2001, rinitis alergi sedang-berat bila ditemukan satu atau lebih gangguan berikut diantaranya gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

d. Penatalaksanaan1) Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.2) MedikamentosaAntihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Anti histamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti kolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamananya.Kelompok pertama adalah astemisol dan tefrenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran).Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa.Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, fluktikason, mometason furoat dan triamsinolon).Preparat antikolinergik topikal adalah iprapotium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.

3) OperatifTindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat atau tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% triklor asetat.

4) ImunoterapiCara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dengan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual

5. Karsinoma nasofaring

a. Pembagian gejala

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok :1) Gejala nasofaringGejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor).

2) Gejala telingaGangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan muara tuba eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.

3) Gejala mataKarena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata.

4) Gejala sarafProses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.

b. StadiumUntuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002).T= Tumor primerT0= Tidak tampak tumorT1= Tumor terbatas di nasofaringT2= Tumor meluas ke jaringan lunakT2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke Parafaring T2b: Disertai perluasan ke parafaringT3= Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasalT4= Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial, Fossa infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator

N= Pembesaran kelenjar getah bening regionalNX= Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilaiN0= Tidak ada pembesaranN1= Metastasis kelenjar getah bening unilateral dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikulaN2= Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fosa supraklavikulaN3= Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula N3a: ukuran lebih dari 6 cm N3b: didalam fossa supraklavikula

M= Metastasis jauhMx = Metastasis jauh tidak dapat dinilaiM0= Tidak ada metastasis jauhM1= Terdapat metastasis jauh

Stadium 0T1sN0M0Stadium IT1N0M0Stadium IIAT2aN0M0Stadium IIBT1N1M0T2aN1M0T2bN0, N1M0Stadium IIIT1N2M0T2a, T2bN2M0T3N2M0Stadium IVaT4N0,N1,N2M0Stadium IVbsemua TN3M0Stadium IVcsemua Tsemua NM1

c. PenatalaksanaanStadium I: RadioterapiStadium II dan III: KemoradiasiStadium IV dengan N < 6cm: KemoradiasiStadium IV dengan N > 6cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasiTerapiRadioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan magavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa disleksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FK UI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dengan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan lebih baik. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mycin C dan 5 fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak di temukan adanya metastatis jauh.Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.

6. Abses Leher Dalam

a. Macam-macam ruang leher dalamAda dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.

1) Ruang Retrofaring (Retropharyingeal Space)Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasiliaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak dibagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak. 2) Ruang Parafaring (Fosa Faringomaksila = Pharyngo-Maxi-llary Fossa)Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis.Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

b. Definisi masing-masing ruang leher dalam1) Ruang retrofaring ( Retropharyngeal space)Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot otot faring yangberisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. 2) Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa)Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hyoid.3) Ruang SubmandibulaRuang ini dipisahkan oleh m. Mylohyoid menjadi ruang Sublingual di superior dan ruang submaksilaris di inferior.4) Ruang peritonsil Ruang yang berisikan jaringan ikat jarang

c. Gambaran klinis masing-masing abses leher dalam1) Abses Peritonsil (Quinsy)Selain gejala dan tanda tonsillitis akut juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau ( foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula

2) Abses RetrofaringGejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Dapat juga terjadi demam, leher kaku atau nyeri. Sesak nafas dapat timbul karena terjadi sumbatan jalan nafas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan pada abses dapat juga menggangu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis3) Abses ParafaringGejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan disekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. 4) Abses SubmandibulaTerdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.5) Angina LudoviciTerdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas.

d. Penatalaksanaan masing-masing abses leher dalam

1) Abses Peritonsil (Quinsy)Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau klindamisin dan obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.Bila terebentuk abses dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan gerakan atas terakhir pada sisi yang sakit.Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama sama dengan tindakan drainase abses disebut tonsilektomi a chauld. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi a froidPada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

2) Abses RetrofaringTerapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai terapi mendikamentosa dengan antibiotik dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob. Diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat di lakukan dengan analgesia lokal atau anastesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi mereda.

3) Abses ParafaringUntuk terapi diberikan antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.Insisi dari luar dilakukan 2 jari dibawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosessus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah didepan m.sternokleidomastoideus (Cara Mosher).Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

4) Abses SubmandibulaAntibiotik dosis tinggi kepada keman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas.Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1 2 hari gejala dan tanda infeksi reda.

5) Angina LudoviciSebagai terapi diberikan antibiotik dengan dosisi tinggi, untuk kuman aerob dan anerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan dengan tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada Angina Ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari dibawah mandibula). Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi), untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.

7. Pemeriksaan penala (garpu tala)

a. Macam-macam pemeriksaan1) Tes Rinne2) Tes Weber3) Tes Schwabah4) Tes Bing (tes Oklusi)Cara pemeriksaan : Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga terdapat tuli konduktif kira-kira 30 dB. Pelana digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala (seperti pada tes Weber) 5) Tes StengerDigunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-pura tuli)Cara pemeriksaan : menggunakan prinsip maskingMisalnya pada seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah penala yang identik di getarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan cara tidak kelihatan oleh yang diperiksa.Pelana pertama digetarkan dan diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar. Kemudian pelana yang keduua digetarkan lebih keras dan diletakkan di telinga kiri (yang pura-pura tuli). Apabila kedua telinga normal karena efek masking, hanya telinga kiri yang mendengar bunyi ; jadi telinga kanan tidak akan mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap mendengar bunyi.

b. Prinsip masing-masing pemeriksaan1) Tes RinneMembandingkan hantaran melalui udara dan hantaran tulang pada telinga yang diperiksa2) Tes WeberMembandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan3) Tes SchwabachMembandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal4) Tes Bing (Tes Okulasi)5) Tes Stenger

c. Hasil dan interpretasi masing-masingTes RinneTes WeberTes SchwabachDiagnosa

PositifTidak ada lateralisasiSama dengan pemeriksaNormal

NegatifLateralisasi ke telinga yang sakitmemanjangTuli konduktif

PositifLateralisasi ke telinga yang sehat memendekTuli sensorineural

Catatan :Pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif

Test Bing : Penilaian : Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup, berarti telinga tersebut normal. Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga tersebut menderita tuli konduktif.Tes StengerMisalnya pada seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah penala yang identik di getarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan cara tidak kelihatan oleh yang diperiksa.Pelana pertama digetarkan dan diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar. Kemudian pelana yang keduua digetarkan lebih keras dan diletakkan di telinga kiri (yang pura-pura tuli). Apabila kedua telinga normal karena efek masking, hanya telinga kiri yang mendengar bunyi ; jadi telinga kanan tidak akan mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap mendengar bunyi.

8. Tuli Mendadak (Sudden deafness)

a. DefinisiTuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis ketuliannya adalah sensorineural, penyebabnya tidak dapat langsung diketahui, biasanya terjadi pada satu telinga. b. Gambaran KlinisTimbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau menahun secara tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya menetap. Tuli yang bersifat sementara biasanya tidak berat dan tidak berlangsung lama. Kemungkinan sebagai pegangan harus diingat bahwa perubahan yang menetap akan terjadi sangat cepat. Tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo. Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga, dapat disertai dengan dengan tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus seperti parotis, varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus tersebut. Pada pemeriksaan klinis tidak terdapat kelainan telinga.

c. Penatalaksanaan1) Tirah baring sempurna (total bed rest) istirahat fisik dan mental selama dua minggu untuk menghilangkan atau mengurangi stres yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neurovaskular.2) Vasodilatansia injeksi yang cukup kuat disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral tiap hari.3) Prednison (kortikosteroid) 4 x 10 mg (2 tablet), tapering off tiap 3 hari(hati-hati pada pasien diabetes melitus).4) Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari, vitamin E 1x1 tablet5) Neurobion (neurotonik) 3x1 tablet/1hari6) Diit rendah garam dan rendah kolesterol7) Inhalasi oksigen 4x15 menit (2 liter / menit)8) Obat anti virus sesuai dengan virus penyebab9) Hiperbarik oksigen terapi (HB)Pada pasien diabetes perlu diperhatikan, sebaiknya diberikan kortikosteroid injeksi dan bila perlu dilakukan pemeriksaan gula darah secara rutin setiap hari serta konsultasi ahli penyakit dalam. Apabila hasil konsultasi dengan Sub Bagian Hematologi Penyakit Dalam dan bagian Kardiologi ditemukan kelainan terapi ditambah sesuai dengan nasehat bagian tersebut.Saat ini telah dikenal terapi oksigen bertekanan tinggi dengan teknik pemberian oksigen hiperbarik adalah dengan memasukkan pasien ke dalam suatu ruangan (chamber) yang bertekanan 2 ATA.Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan tiap minggu selama satu bulan. Kallinen et al (1997) mendefinisikan perbaikan pendengaran pada tuli mendadak adalah sebagai berikut.1) Sangat baikApabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi2) SembuhApabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan dibawah 25 dB pada frekuensi 4000 Hz.3) BaikApabila rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi4) Tidak ada perbaikanApabila terdapat perbaikan kurang dari 10 dB pada 5 frekuensi

Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di atas, dapat dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Apabila dengan alat bantu dengar juga masih belum dapat berkomunikasi secara adekuat perlu dilakukan psikoterapi dengan tujuan agar pasien dapat menerima keadaan.Rehabilitasi pendengaran agar dengan sisa pendengaran yang ada dapat digunakan secara maksimal bila memakai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, nada dan intonasi oleh karena pendengarannya tidak cukup untuk mengontrol hal tersebut.

9. Ototoksisitas

a. DefinisiObat ototoksik dapat di definisikan sebagai obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Ototoksisitas di definisikan sebagai kerusakan pada struktur koklea atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia.

b. Macam-macam obat ototoksik1) AminoglikosidaTuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan dapat disertai gangguan vestibular.Obat-obat tersebut : Streptomisin, Neomisin, Kanamisin, Gentamisin, Tobramisin, Amikasin, dan yang baru adalah Netilmisin dan Sisomisin. Netilmisin mempunyai efek seperti gentamisin tetapi sifat ototoksisitasnya jauh lebih kecil. Sisomisin juga mempunyai efek ototoksisitas yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan aminoglikosida-aminoglikosida lain.Khusus untuk pemakaian streptomisin memerlukan perhatian yang lebih. Hal ini harus dilakukan oleh karena Streptomisin merupakan salah satu obat golongan aminoglikosida, yang sampai saat ini masih digunakan sebagai terapi anti-tuberkulosis kategori II.

2) EritromisinGejala pemberian eritromisin intervena terhadap telinga adalah kurang pendengaran subjektif tinitus yang meniup dan kadang-kadang disertai vertigo. Pernah dilaporkan bahwa terjadi : tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian intravena dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah pengobatan dihentikanAntibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin, Capreomisin, Minosiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi ginjalnya.

3) Loop diureticsEthycrynic acid, furosemide dan bumetanide adalah diuritik yang kuat yang disebut loop diuritik karena dapat menghambat reabsorpsi elektrolit-elektrolit dan air pada cabang naik dari lengkungan henle. Walaupun diuretik tersebut hanya memberikan sedikit efek samping tetapi menunjukkan derajat potensi ototoksisitas, terutama bila diberikan kepada pasien dengan insufisiensi ginjal secara intravena. Biasanya gangguan pendengaran yang terjadi ringan, tetapi pada kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan tuli permanen.4) Obat Anti inflamasiSalisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensorineural berfrekuensi tinggi dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih dan tinitus akan hilang.5) Obat anti malariaKina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih dan tinitusnya hilang. Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada laporan kasus tuli kongenital dan hipoplasia koklea karena pengobatan malaria waktu ibu yang sedang hamil.6) Obat anti tumorGejala yang ditimbulkan CIS platinum, sebagai ototoksisitas adalah tuli subjektif, tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai gangguan keseimbangan. Tuli biasanya bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz dan 8 KHz, kemudian terkena frekuensi yang lebih rendah. Kurang pendengaran biasanya mengakibatkan menurunnya hasil speech discrimination score. Tinitus biasanya samar-samar. Bila tuli ringan pada penghentian pengobatan pendengaran akan pulih, tetapi bila tulinya berat biasanya bersifat menetap.7) Obat tetes telingaBanyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida seperti : Neomisin dan Polimiksin B. Terjadinya ketulian karena oleh karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun membran tersebut pada manusia lebih tebal 3x dibandingkan pada baboon (semacam monyet besar) ( > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obat tersebut. Sebetulnya obat tetes telinga yang mengandung antibiotika aminoglikosida di peruntukkan untuk infeksi telinga luar.

c. Faktor risiko ototoksisitas1) Pemberian terapi dengan dosis tinggi2) Konsentrasi serum tinggi3) Terapi dalam waktu lama4) Pasien dengan usia lanjut5) Pasien dengan insufisiensi renal6) Pasien dengan kondisi gangguan dengar sebelumnya 7) Riwayat keluarga yang mengalami ototoksisitas dan pasien yang sedang menerima pengobatan loop diuretik.

d. Gambaran klinisTinitus, gangguan pendengaran dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.1) Tinitus Tinitus biasanya mnyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun, dan sering kali mendahului serta lebih mengganggu dari pada tulinya sendiri.Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yang menetap tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang. Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai tinitus yang ringan. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversible dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop diuratics dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera. Tuli ringan juga pernah dilaporkan sebagai akibat antibiotik aminoglikosida, tapi biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih kembali. Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian antibiotika biasanya terjadi setelah 3 atau 4 hari, tapi mungkin akan lebih jelas setelah dosis pertama.2) Gangguan pendengaranTuli akibat ototoksik yang menetap dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Biasanya tuli bersifat bilateral, tetapi tidak jarang yang unilateral.Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural. antibiotika yang bersifat tuli sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram yang mendatar atau sedikit menurun.Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas sangat sering ditemukan, oleh karena pemberian gentamisin dan streptomisin. Terjadinya secara perlahan-lahan dan beratnya sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya. 3) Gangguan keseimbanganTerdapat juga gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasikan pandangan, terutama setelah perubahan posisi.

e. PenatalaksanaanTuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dapat diketahui secara audiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri. Apabila ketulian sudah terjadi dapat di coba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory tranning, termasuk cara menggunakan sisa pendengaran alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea (Cochlear implant)

10. Telinga

a. Fisiologi PendengaranGetaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe dan membran basalis ke arah bawah dan perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok, dan dengan terdorongnya membran basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang N. VIII, kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis

b. Fisiologi KeseimbanganKanalis semisirkularis merupakan alat keseimbangan dinamik dan terangsang oleh gerakan yang melingkar, sehingga kemana saja arah kepala, asal gerakan itu membentuk putaran, maka gerakan itu akan tertangkap oleh salah satu, dua atau ketiga kanalis semisirkularis bersama-sama. Pada manusia, kanalis semisirkularis horizontal yang mempunyai peran dominan oleh karena manusia banyak bergerak secara horizontal.

11. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak

a. DefinisiVertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) atau disebut juga Benign Paroxysmal Potitional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai.

b. PatofisiologiBPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain :1) Teori CupulolithiasisPada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia (otolit) yang terlepas dari makula utrikulus yang sudah berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). Kanalis semisirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.

2) Teori CanalolithiasisTahun 1980 Epley mengemukakan teori canalolithiasis, partikel otolith bergerak bebas di dalam kanalis semisirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang partikel ini berotasi ke atas sarnpa i 90 di sepanjang lengkung kanalis semisirkularis. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan kembali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, timbul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Model gerakan partikel seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir,kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan "delay" "(latency) nistagmus transien, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan konsep kelelahan "fatigability" dari gejala pusing.

c. Gambaran klinisGejala yang sering dikeluhkan adalah :1) Vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigonya, vertigo dirasakan sangat berat, berlangsung singkat hanya beberapa detik saja walaupun penderita merasakannya lebih lama2) Mual 3) Muntah4) Penderita merasa khawatir akan timbul serangan lagi, hal ini menyebabkan penderita berhati-hati dalam posisi tidurnya.

d. PenatalaksanaanTiga macam perasat dilakukan untuk menanggulangi VPPJ yaitu CRT (Canalith Repositioning Treatment), Perasat Liberatory dan latihan Brandt-Daroff, CRT sebaiknya segera dilakukan setelah hasil perasat Dix-Hallpike menimbulkan respon abnormal. Pemeriksan dapat mengidentifikasi adanya kanalitiasis pada kanal anterior atau kanal posterior dari telinga yang terbawah. Pasien tidak kembali ke posisi duduk, namun kepala pasien dirotasikan dengan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis menuju ke utrikulus, tempat dimana kanalith tidak lagi menimbulkan gejala. Bila kanalis posterior kanan yang terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT kanan. Perasat ini dimulai pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut selama 1-2 menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar secara perlahan ke kiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap ke kiri dengan sudut 45 sehingga kepala kebawah dan melihat lantai (3C). Akhirnya pasien kembali ke posisi duduk, dengan kepala menghadap depan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak merunduk, berbaring, membungkukkan badan selama satu hari. Pasien harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari. Perasat yang sama juga dapat digunakan pada pasien dengan kanalitiasis pada kanal anterior kanan. Pada pasien dengan kanalith pada kanal anterior kiri dan kanal posterior, CRT kiri merupakan metode yang dapat digunakan, yaitu dimulai dengan kepala menggantung kiri dan membalikan tubuh ke kanan sebelum duduk

12. Nervus Fasialis

a. Cabang-cabang dan perjalanannyaSetelah keluar dari dalam tulang mastoid n.VII menuju ke glandula parotis dan membagi dini untuk mensarafi otot-otot wajah. Di dalam tulang temporal n.VII memberikan 3 cabang penting, nervus petrosus superior mayor, nervus stapedius, dan korda timpani.1) Nervus petrosus superior mayor yang keluar dari ganglion genikulatum. Saraf memberikan rangsang untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis.2) Nervus stapedius yang mensarafi muskulus stapedius dan berfungsi sebagai peredam suara.3) Korda timpani yang memberikan serabut perasa pada dua pertiga lidah bagian depan

b. Otot-otot yang dipersarafi1) m. frontalis 2)m. sourcilier3)m. piramidalis4)m. orbikularis okuli5)m. zigomatikus6)m. relever komunis7)m. businatori8)m. orbikularis oris9)m. triangularis10)m. mentalis

c. Pemeriksaan otot-otot wajahTerdapat 10 otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut :1) m. frontalis diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas 2) m. sourcilierdiperiksa dengan cara mengerutkan alis3) m. piramidalisdiperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas4) m. orbikularis okulidiperiksa dengan memejamkan mata kuat-kuat5) m. zigomatikusdiperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi6) m. relever komunisdiperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke depan sambil memperlihatkan gigi 7) m. businatordiperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi8) m. orbikularis orisdiperiksa dengan menyuruh penderita bersiul9) m. triangularisdiperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah10) m. mentalisdiperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat kedepanPada tiap gerakan dari ke sepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :1) Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka (3)2) Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka (1)3) Diantaranya dinilai dengan angka dua (2)4) Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol (0)Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh (30).

d. Derajat (klasifikasi) parese, menurut :1) House brackmanDerajar 1Fungsional normal

Derajat 2Angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit simetris

Derajat 3Angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan usaha, mulut bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal

Derajat 4Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal

Derajat 5Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha, mulut sedikit bergerak

Derajat 6Tidak bergerak sama sekali

2) Yanagiharaa) Fase akut (0-3 minggu) Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat menyebabkan edema saraf. b) Fase sub akut (4-9 minggu) Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang. c) Fase kronik (> 10 minggu) Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.13. Polip Hidung

a. DefinisiPolip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.

b. Jenis-jenis polip hidungBerdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997). Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3 : polip yang masif. c. Gambaran klinisKeluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampat berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.Dapat menyebabkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.Selain itu harus ditanyakan riwayat rinitis, alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.

d. PenatalaksanaanTujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).

14. Tonsilitis

a. Jenis1) Tonsilitis Akut2) Tonsilitis Membranosa3) Tonsilitis Kronik

b. Perbedaan masing-masing Tonsilitis Akut1) Tonsilis viralGejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.

2) Tonsilitis bakterialRadang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritusi ini juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil. Tonsilitis membranosa1) Tonsilitis difteriTonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.

2) Tonsilitis septikTonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi.

3) Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.

4) Penyakit kelainan darahTidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.Tonsilis KronikTonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi golongan Gram negatif.

c. PatofisiologiBakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

d. Derajat pembesaran, menurut BailleyBesar tonsil dapat ditentukan sebagai berikut:T0 : tonsil telah diangkatT1 : bila besarnya jarak arkus anterior dan uvulaT2: bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvulaT3 : bila besarnya jarak arkus anterior dan uvulaT4 : bila besarnya mencapai uvula atau lebih

Gambar : Grade tonsil palatina

15. Fraktur maksilofasialis

a. Jenis - jenisMathog menggunakan pembagian klasifikasi fraktur maksila Le Fort dalam 3 kategori

Fraktur maksila Le Fort IFraktur Le Fort I (Fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum/arkus alveolar. Garis fraktur berjalan ke belakang melalalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa uni lateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah yang dapat mengenai :1) Nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress2) Bagian bawah lamina pterigoid3) Anterolateral maksila4) Palatum durum5) Dasar hidung6) Septum7) Spetura piriformisGerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya mengarah pada garis tengah membagi muka menjadi dua bagian (palatal split).

Fraktur maksila Le Fort IIGaris fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada kribriformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimaris

Fraktur maksila Le Fort IIIFraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang memisahkan secara lengkap yang memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid (ethmoid junction) melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang bersifat kominutif

b. PenatalaksanaanJika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertaii dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksadan dilakukan fiksasi.Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa :1) Fikasasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi2) Fikasasi inter maksilar menggunakan kombinasi reduksi terbuka dengan pemasangan kawat baja atau mini plate3) Fiksasi dengan pin

PenanggulanganPenanggulangan fraktur maksila (mid facial fracture) sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter-maksilar sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Pada tindakan ini banyak digunakan kawat baja atau mini-plate sesuai garis fraktur.

16. Karsinoma laring

a. DefinisiKeganasan yang terjadi pada daerah laring

b. StadiumStadium tumor berdasarkan UICC : 1. Tumor primer (T)

Supra glottis : T is: tumor insitu T 0: tidak jelas adanya tumor primer l T 1: tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal T 1a: tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika, ventrikel atau pita suara palsu satu sisi. T 1b: tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita suara palsu T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan / atau adanya infiltrasi ke dalam. T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring.

Glotis : T is: tumor insitu T 0: tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior) dengan pergerakan normal T 1a: tumor terbatas pada satu pita suara asli T 1b : tumor mengenai kedua pita suara T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun subglotis dengan pergerakan pita suara normal atau terganggu. T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita suara T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring

Sub glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada subglotis T 1a : tumor terbatas pada satu sisi T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara asli dengan pergerakan normal atau terganggu T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring.

2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N) N x : kelenjar tidak dapat dinilai N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar. N 1 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter 3 cm N 2 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 3 cm 6 cm. N 2b: klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter 6 cm N 3 : kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra lateral N 3 a: klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm N 3 b: klinis terdapat kelenjar bilateral N 3 c: klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral

3. Metastase jauh (M) M 0 : tidak ada metastase jauh M 1 : terdapat metastase jauh

4. Stadium : Stadium I: T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0 T1, T2, T3, N1, M0 Stadium IV : T4, N0, M0 Setiap T, N2, M0, setiap T, setiap N , M1

c. Gambaran klinis1) Suara serak yang tidak sembuh dengan pengobatan konservatif selama tiga minggu2) Nyeri tenggorok ringan yang menetap3) Gangguan menelan4) Sesak nafas5) Pembesaran kelenjar getah bening6) Batuk darah

d. PenatalaksanaanSecara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring, yaitu :1) PembedahanTindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :a) Laringektomi Laringektomi parsialLaringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II. Laringektomi totalAdalah tindakan pengangkatan seluruh laring mulai dari batas atas (epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.b) Diseksi Leher Radikal

2) RadioterapiKeuntungan dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000-7000 rad.Radioterapi dengan dosis menengah telah digunakan oleh Ogura, Som, Wong dkk untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah memperoleh kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 4000-5000 rad selama 4-6 minggu diikuti laringektomi total.

3) Kemoterapi Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvan ataupun paliativ. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80-120 mg/m2 dan 5 FU 800-1000 mg/m2

17. Sumbatan Jalan nafas Atas

a. Derajat menurut JacksonJackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda dan gejala :

Stadium 1:Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang

Stadium 2: Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi.

Stadium 3Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di intraklavikula dan sela-sela iga pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.

Stadium 4Cekungan-cekungan diatas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernafasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.

b. Gambaran klinisGejala dan tanda sumbatan laring ialah :1) Suara serak (disfoni) sampai afoni2) Sesak nafas (dispnea)3) Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi4) Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya otot-otot pernafasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat5) Gelisah karena pasien haus udara (air hunger) 6) Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia

c. PenatalaksanaanPenanggulangan sumbatan laring

Dalam penanggulangan prinsipnya diusahakan supaya jalan nafas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotika, dan pemberian oksigen intermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan saluran nafas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostomi atau krikotirotomi. Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring stadium 2 dan stadium 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium 4.Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasar analisis gas darah (pemeriksaan Astrup).Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama, sedangkan jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi.

33