case atresia ani prof kt

22
BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb). B. Embriologi Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. endodern usus belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka. Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daerah ini terbentuklah korpus

Upload: ramadhan-ananda-putra

Post on 25-Oct-2015

66 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna,

termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000

kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial,

Esofageal, Renal, Limb).

B. Embriologi

Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens,

sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. endodern usus belakang ini juga membentuk

lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam

kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm

permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka.

Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal,

pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu

membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan bagian

posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal

mencapai membran kloaka, dan di daerah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran

kloakalis kemudian terbagi menjadi membran analis di belakang, dan membran urogenitalis

di depan.

Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, yang dikenal

sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran analis koyak, dan

terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari

endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang, yaitu arteri mesentrika

inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ektoderm dan

ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada

garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng.

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut.

Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung

sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus,

sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon

transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini

tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk

mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut.

Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan

anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator

berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi,

otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan

internus dapat tidak ada atau rudimenter.

C. Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena:

1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa

lubang dubur

2. Gangguan organogenesis dalam kandungan

3. Berkaitan dengan sindrom down

Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen

genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang

memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan

dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya

hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal

tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat

menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik.

D. Patofisiologi

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan

embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini

mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.

Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga

terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius

menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara

rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina

(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke

vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak

rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis).

E. Klasifikasi

Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2

golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki-laki golongan I dibagi

menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada

dan pada invertogram: udara >1cm dari kulit. Golongan II pada laki-laki dibagi 5 kelainan

yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada

invertogram: udara <1cm dari kulit.

Gambar 2.1 Gambaran Atresia Ani pada lali-laki

Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan

kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada

invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu

kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm

dari kulit.

Gambar 2.2 Gambaran Atresia Ani pada perempuan

F. Manifestasi Klinis

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala

itu dapat berupa :

1. Perut kembung.

2. Muntah.

3. Tidak bisa buang air besar.

4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai

dimana terdapat penyumbatan.

Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana rectum

berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat

melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan

malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.

Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas yang

mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50%-60%. Makin tinggi letak abnormalitas

berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan

secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan

kardiovaskuler.

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi

anorektal adalah

1. Kelainan kardiovaskuler.

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling

banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh

tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.

2. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi

duodenum (1%-2%).

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral

seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan

kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan

teratoma intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius.

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.

Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak

tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%.

Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER

(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL

(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb

abnormality).

G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.

Pada anamnesis dapat ditemukan :

1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.

2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.

3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah

letak rendah.

Menurut Pena, untuk mendiagnosa menggunakan cara:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia

letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa

kolostomi

b. Bila mekonium (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih

dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila

pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm

dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi.

Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.

2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi.

Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila

fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan

postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom

terlebih dahulu.

Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum

atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila pada pemeriksaan fistel (-)

maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24

jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki

dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud)

dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula

lakukan fistulografi.

Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi

saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera

setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer

melalui anus.

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula

rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam

pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal

atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut

dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong.

Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang

mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk

menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan

colostomy atau anoplasty.

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan

tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-

otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi

dan harus dilakukan colostomy.

Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah

meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada

anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium).

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi

harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani

menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak

menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries

pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital

anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus

levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.

Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka

panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma

psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang

dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan

USG.

Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan

menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan

pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi

yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak

ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.

Menurut Leape (1987) menganjurkan pada :

a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,

setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).

b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes

provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.

c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana

dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.

Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet

dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah

4–8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti,

baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.

Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan vital ke

vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar

dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.

Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar

selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan

makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila

terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan

jalan cerna.

Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.

Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak

dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera

dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit

perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat

diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di

posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang

anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.

Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.

Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan

pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan

kolostomi.

Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk perineum dan

tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada anak laki dapat dibuat

kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin,

tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra

maupun ke vesika urinaria.

Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila

kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter.

Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila

evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum

tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara >

1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior

dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah

selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin.

Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada

fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan

bedah.

I. Komplikasi post operasi PSARP

Kematian pascaoperasi PSARP pada atresia ani jarang, biasanya disebabkan oleh

kelainan kongenital mayor yang menyertai. Komplikasi mayor membutuhkan reoprasi dan

kasus yang paling sering adalah repair kloaka. Komplikasi minor yang sering terjadi adalah

infeksi perineal, dehisensi luka operasi, trauma uretra atau vagina, dan trauma pada saraf

daerah pelvis. Komplikasi lanjut yang sering terjadi adalah stenosis ani, prolaps mukosa

rektum, dan fistula yang rekuren.

J. Penatalaksanaan post operasi PSARP

Pemberian antibiotik intravena selama 3 hari, salep antibiotik diberikan selama  8 – 10

hari. 10 hari post operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation,  2x sehari dan tiap

minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran

ynag sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.

Dilatasi anus bisa dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking

kemudian dengan jari telunjuk selama 2–3 bulan berikutnya. Penutupan kolostomi dapat

dilakukan 2–3 bulan setelah pembedahan definitif.

Umur Ukuran Frekuensi Dilatasi

1-4 bulan 12 Tiap 1 hari 1 x dalam 1 bulan

4-12 bulan 13 Tiap 3 hari 1 x dalam 1 bulan

8 – 12 bulan 14 Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan

1-3 tahun 15 Tiap 1 minggu 1 x dalam 1 bulan

3-12 tahun 16 Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan

Untuk menilai fungsi anus , digunakan sistem skroring Klotz yaitu :

Variabel Kondisi Skor

1. Defekasi 1-2 x sehari 1

2 hari sekali 1

3-5 x sehari 2

3 hari sekali 2

> 4 hari sekali 3

2. Kembung Tidak pernah 1

Kadang – kadang 2

Terus menerus 3

3. Konsistensi Normal 1

Lembek 2

Encer 3

4. Perasaan ingin BAB Terasa 1

Tidak terasa 3

5. Soiling Tidak pernah 1

Terjadi bersama flatus 2

Terus menerus 3

6. Kemampuan menahan feses

yang akan keluar

>1 menit 1

<1 menit 2

Tidak bisa menahan 3

7. Komplikasi Tidak ada 1

Komplikasi minor 2

Komplikasi mayor 3

Nilai skoring 7 – 21

7 = Sangat baik

8-10 = Baik

11-13 = Cukup

>14 = Kurang

K. Pencegahan komplikasi post operasi PSARP

Tindakan pencegahan timbulnya komplikasi paska tidakan defenitif PSARP adalah

perawatan luka secara baik dan benar sehingga mengurangi resiko infeksi, melalukan

dilatasi rutin pada anus dengan cara colok dubur, konsumsi makanan bergizi dan

menghindari makanan yang mudah menyebabkan konstipasi.

BAB II

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS

Identitas

Nama : By. RS

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 1 hari

MR : 848075

Seorang pasien laki-laki, umur 1 hari, datang ke IGD RSUP M.Djamil Padang pada

tanggal 5 November 2013 dengan:

Keluhan utama : Tidak ada lubang anus sejak lahir

Riwayat penyakit sekarang :

Tidak ada lubang anus sejak lahir (24 jam yang lalu).

Pasien pasien merupakan anak kedua, lahir spontan, ditolong bidan, berat badan lahir

3100 gram, panjang badan 50 cm, cukup bulan.

Muntah 23 jam yang lalu, saat berusia 1 jam, frekuensi sebanyak 5 kali, muntah berwarna

putih (setelah diberi susu formula).

Perut membuncit sejak 20 jam yang lalu.

Mekonium belum keluar, buang air kecil biasa, tidak ada tercampur dengan mekonium

Saat hamil, ibu pasien kontrol teratur ke bidan, tidak pernah ke dokter, riwayat makan

obat-obatan saat hamil ada

Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada anggota keluarga lain sakit seperti ini sebelumnya.

Tidak ada anggota keluarga lain dengan kelainan bawaan sebelumnya.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : composmentis

Nadi : 140x/menit, irama teratur

Nafas : 40x/menit, reguler

Suhu : 37,60C

Kepala : Normochepal

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thorak :

Cor : HR 140x/menit, bising (-), murmur (-), gallop (-)

Pulmo : bronkovesikular, ronkhi (-), wheezing (-)

Abdomen :

Inspeksi : Distensi (+), darm countour (-), darm steifung (-), venektasi (+)

Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, metallic sound (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai

Perkusi : Hipertimpani

Punggung : Tidak ditemukan kelainan pada tulang belakang

Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, tidak ditemukan kelainan bawaan lain

Status Lokalis

Regio anus : Anal dimple (+), fistula (-), meconium urine (-)

DIAGNOSIS KERJA :

Malformasi anorektal tanpa fistula

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium (05/11/2013)

Hemoglobin : 19,4 g/dl

Hematokrit : 58 %

Leukosit : 15500/mm3

Trombosit : 277.000/mm3

GDS : 69 mg/dl

PT : 14,3 detik

APTT : 52,5 detik

2. Pemeriksaan Rontgen

Knee-chest position

DIAGNOSIS

Atresia ani letak tinggi tanpa fistula

TATALAKSANA

Awasi tanda vital

Informed consent

Pasang NGT dan kateter urine

IVFD D10% 8 tetes/menit

Cefotaxime inj 2x80mg iv

Gentamicyn inj 2x10mg iv

Konsul bagian perinatologi

Persiapan pre operatif

Operatif

o Sigmoidostomi

PROGNOSIS

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam