case atresia ani prof kt
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna,
termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000
kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial,
Esofageal, Renal, Limb).
B. Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens,
sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. endodern usus belakang ini juga membentuk
lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam
kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm
permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka.
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal,
pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu
membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan bagian
posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal
mencapai membran kloaka, dan di daerah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran
kloakalis kemudian terbagi menjadi membran analis di belakang, dan membran urogenitalis
di depan.
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, yang dikenal
sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran analis koyak, dan
terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari
endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang, yaitu arteri mesentrika
inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ektoderm dan
ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada
garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng.
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut.
Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung
sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus,
sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon
transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini
tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk
mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut.
Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator
berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi,
otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan
internus dapat tidak ada atau rudimenter.
C. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang
memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan
dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya
hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal
tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik.
D. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina
(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke
vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak
rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis).
E. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki-laki golongan I dibagi
menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada
dan pada invertogram: udara >1cm dari kulit. Golongan II pada laki-laki dibagi 5 kelainan
yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada
invertogram: udara <1cm dari kulit.
Gambar 2.1 Gambaran Atresia Ani pada lali-laki
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan
kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu
kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm
dari kulit.
Gambar 2.2 Gambaran Atresia Ani pada perempuan
F. Manifestasi Klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala
itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai
dimana terdapat penyumbatan.
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana rectum
berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat
melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan
malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas yang
mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50%-60%. Makin tinggi letak abnormalitas
berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan
secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan
kardiovaskuler.
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi
anorektal adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh
tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan
kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan
teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak
tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%.
Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality).
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesis dapat ditemukan :
1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah
letak rendah.
Menurut Pena, untuk mendiagnosa menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia
letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa
kolostomi
b. Bila mekonium (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila
pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm
dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi.
Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila
fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan
postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom
terlebih dahulu.
Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum
atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila pada pemeriksaan fistel (-)
maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24
jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki
dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud)
dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula
lakukan fistulografi.
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi
saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera
setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer
melalui anus.
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam
pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal
atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut
dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong.
Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang
mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk
menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan
colostomy atau anoplasty.
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan
tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-
otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi
dan harus dilakukan colostomy.
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah
meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada
anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi
harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani
menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak
menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries
pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital
anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus
levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka
panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma
psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang
dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan
USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan
menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan
pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi
yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak
ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.
Menurut Leape (1987) menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet
dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah
4–8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti,
baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan vital ke
vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar
dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar
selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan
makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan
jalan cerna.
Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.
Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak
dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit
perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat
diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di
posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang
anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.
Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.
Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan
pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan
kolostomi.
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk perineum dan
tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada anak laki dapat dibuat
kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin,
tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra
maupun ke vesika urinaria.
Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila
kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter.
Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila
evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum
tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara >
1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior
dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah
selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin.
Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada
fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan
bedah.
I. Komplikasi post operasi PSARP
Kematian pascaoperasi PSARP pada atresia ani jarang, biasanya disebabkan oleh
kelainan kongenital mayor yang menyertai. Komplikasi mayor membutuhkan reoprasi dan
kasus yang paling sering adalah repair kloaka. Komplikasi minor yang sering terjadi adalah
infeksi perineal, dehisensi luka operasi, trauma uretra atau vagina, dan trauma pada saraf
daerah pelvis. Komplikasi lanjut yang sering terjadi adalah stenosis ani, prolaps mukosa
rektum, dan fistula yang rekuren.
J. Penatalaksanaan post operasi PSARP
Pemberian antibiotik intravena selama 3 hari, salep antibiotik diberikan selama 8 – 10
hari. 10 hari post operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2x sehari dan tiap
minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran
ynag sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.
Dilatasi anus bisa dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking
kemudian dengan jari telunjuk selama 2–3 bulan berikutnya. Penutupan kolostomi dapat
dilakukan 2–3 bulan setelah pembedahan definitif.
Umur Ukuran Frekuensi Dilatasi
1-4 bulan 12 Tiap 1 hari 1 x dalam 1 bulan
4-12 bulan 13 Tiap 3 hari 1 x dalam 1 bulan
8 – 12 bulan 14 Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan
1-3 tahun 15 Tiap 1 minggu 1 x dalam 1 bulan
3-12 tahun 16 Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
Untuk menilai fungsi anus , digunakan sistem skroring Klotz yaitu :
Variabel Kondisi Skor
1. Defekasi 1-2 x sehari 1
2 hari sekali 1
3-5 x sehari 2
3 hari sekali 2
> 4 hari sekali 3
2. Kembung Tidak pernah 1
Kadang – kadang 2
Terus menerus 3
3. Konsistensi Normal 1
Lembek 2
Encer 3
4. Perasaan ingin BAB Terasa 1
Tidak terasa 3
5. Soiling Tidak pernah 1
Terjadi bersama flatus 2
Terus menerus 3
6. Kemampuan menahan feses
yang akan keluar
>1 menit 1
<1 menit 2
Tidak bisa menahan 3
7. Komplikasi Tidak ada 1
Komplikasi minor 2
Komplikasi mayor 3
Nilai skoring 7 – 21
7 = Sangat baik
8-10 = Baik
11-13 = Cukup
>14 = Kurang
K. Pencegahan komplikasi post operasi PSARP
Tindakan pencegahan timbulnya komplikasi paska tidakan defenitif PSARP adalah
perawatan luka secara baik dan benar sehingga mengurangi resiko infeksi, melalukan
dilatasi rutin pada anus dengan cara colok dubur, konsumsi makanan bergizi dan
menghindari makanan yang mudah menyebabkan konstipasi.
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
Identitas
Nama : By. RS
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 1 hari
MR : 848075
Seorang pasien laki-laki, umur 1 hari, datang ke IGD RSUP M.Djamil Padang pada
tanggal 5 November 2013 dengan:
Keluhan utama : Tidak ada lubang anus sejak lahir
Riwayat penyakit sekarang :
Tidak ada lubang anus sejak lahir (24 jam yang lalu).
Pasien pasien merupakan anak kedua, lahir spontan, ditolong bidan, berat badan lahir
3100 gram, panjang badan 50 cm, cukup bulan.
Muntah 23 jam yang lalu, saat berusia 1 jam, frekuensi sebanyak 5 kali, muntah berwarna
putih (setelah diberi susu formula).
Perut membuncit sejak 20 jam yang lalu.
Mekonium belum keluar, buang air kecil biasa, tidak ada tercampur dengan mekonium
Saat hamil, ibu pasien kontrol teratur ke bidan, tidak pernah ke dokter, riwayat makan
obat-obatan saat hamil ada
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga lain sakit seperti ini sebelumnya.
Tidak ada anggota keluarga lain dengan kelainan bawaan sebelumnya.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : composmentis
Nadi : 140x/menit, irama teratur
Nafas : 40x/menit, reguler
Suhu : 37,60C
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorak :
Cor : HR 140x/menit, bising (-), murmur (-), gallop (-)
Pulmo : bronkovesikular, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (+), darm countour (-), darm steifung (-), venektasi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, metallic sound (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai
Perkusi : Hipertimpani
Punggung : Tidak ditemukan kelainan pada tulang belakang
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, tidak ditemukan kelainan bawaan lain
Status Lokalis
Regio anus : Anal dimple (+), fistula (-), meconium urine (-)
DIAGNOSIS KERJA :
Malformasi anorektal tanpa fistula
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (05/11/2013)
Hemoglobin : 19,4 g/dl
Hematokrit : 58 %
Leukosit : 15500/mm3
Trombosit : 277.000/mm3
GDS : 69 mg/dl
PT : 14,3 detik
APTT : 52,5 detik
2. Pemeriksaan Rontgen
Knee-chest position
DIAGNOSIS
Atresia ani letak tinggi tanpa fistula