bab ii veli fix bismillah 2.docx
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keselamatan Kerja
Keselamatan Kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin,
pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahan, landasan kerja dan lingkungan
kerja serta cara-cara melakukan pekerjaan dan proses produksi (UU No.1/1970).
Keselamatan Kerja juga dapat didefinisikan sebagai suatu kemerdekaan atas
resiko celaka yang tidak dapat diterima. Keselamatan Kerja adalah dari, oleh dan
untuk setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada di perusahaan serta
masyarakat sekitar perusahaan yang mungkin terkena dampak akibat suatu proses
produksi industri.
Sementara itu, ruang lingkup dari keselamatan kerja sesuai dengan Pasal 2
UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja meliputi :
1) Keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam
tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di
dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
2) Ruang lingkup keselamatan kerja tersebut berlaku dalam tempat kerja
dimana :
a) Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat
perkakas, peralatan atau instalasi berbahaya atau dapat menimbulkan
kecelakaan, kebakaran atau peledakan;
b) Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut
atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah
terbakar, menggit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;
c) Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung, atau bangunan lainnya termasuk
bangunan perairan, saluran, atau terowongan dibawah tanah dan
sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan;
II-1
II-2
d) Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan,
pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya,
peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;
e) Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam,
bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak, atau mineral
lainnyabaik dipermukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar
perairan.
Keselamatan kerja juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja, yang menyangkut aspek keselamatan, kesehatan,
pemeliharaan moral kerja, perlakuan sesuai martabat manusia dan moral agama.
Hal tersebut dimaksudkan agar para tenaga kerja secara aman dapat melakukan
pekerjaannya guna meningkatkan hasil kerja dan produktivitas kerja.
(Tarwaka, 2012)
Tujuan keselamatan kerja adalah sebagai berikut :
1.) Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan
pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta
produktifitas nasional;
2.) Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja;
3.) Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara umum dan efisien.
(Suma’mur, 1989 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 4)
2.2. Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan Kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan
sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu,
harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses
kerja industri atau yang berkaitan dengannya. Dengan demikian kecelakaan kerja
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1) Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa kecelakaan tidak
terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan;
2) Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan
selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental;
II-3
3) Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya akan
dapat menyebabkan gangguan proses kerja.
Pada pelaksanaannya kecelakaan kerja di industri dapat dibagi menjadi 2
(dua) kategori utama, yaitu :
1) Kecelakaan Industri (Industrial Accident), yaitu suatu kecelakaan yang terjadi
di tempat kerja, karena adanya potensi bahaya yang tidak terkendali;
2) Kecelakaan di dalam perjalanan (Community Accident), yaitu suatu
kecelakaan yang terjadi di luar tempat kerja dalam kaitannya dengan adanya
hubungan kerja. (Tarwaka, 2012)
Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat
mendatangkan kecelakaan. Pengertian Hampir Celaka, yang dalam istilah safety
disebut dengan Insiden (Incident), adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak
diinginkan dimana dengan keadaan yang sedikit berbeda akan mengakibatkan
bahaya pada manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Bahaya
disebut tidak nyata (near miss) jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan
kecelakaan. Jika kecelakaan tersebut telah terjadi, maka bahaya tersebut dikatakan
sebagai bahaya nyata.
Kerugian yang disebabkan kecelakaan akibat kerja :
Kerusakan
Kekacauan organisasi
Keluhan dan kesedihan
Kelainan dan cacat
Kematian.
Kerugian diatas dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan akibat
terjadinya kecelakaan. Biaya tersebut dibagi menjadi biaya langsung (direct cost)
dan biaya tersembunyi (hidden cost/indirect).
Biaya langsung meliputi biaya pertolongan pertama (first aid), pengobatan,
perawatan, biaya rumah sakit, biaya angkutan, upah selama tidak mampu bekerja,
kompensasi cacat, biaya perbaikan alat-alat, mesin-mesin dan biaya atas
kerusakan bahan-bahan. Sedangkan biaya tidak langsung meliputi segala sesuatu
II-4
yang tidak terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah kecelakaan terjadi.
(R.M.S.Jusuf, 2003 dalam Laporan Kerja Praktek Annisa Noor Akbari halaman 3)
2.2.1. Sebab-Sebab Kecelakaan Kerja
Dari beberapa penelitian, memberikan indikasi bahwa suatu kecelakaan
kerja tidak dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi terjadi oleh satu atau
beberapa faktor penyebab kecelakaan sekaligus dalam suatu kejadian.
Dalam buku “Accident Prevention”, Heinrich (1950) mengemukakan
suatu teori sebab akibat terjadinya kecelakaan yang selanjutnya dikenal dengan
Teori Domino. Menurut teori tersebut digambarkan bahwa timbulnya suatu
kecelakaan atau cidera disebabkan oleh 5 (lima) faktor penyebab, yaitu :
1) Domino Lingkungan Sosial dan Kebiasaan Perilaku;
2) Domino Penyebab Dasar dari Kesalahan/Kecerobohan;
3) Domino Tindakan dan Kondisi Tidak Aman;
4) Domino Kecelakaan; dan
5) Domino Kerugian.
Gambar 2.1 Domino Rentetan Kejadian Kecelakaan Kerja (Heinrich, 1950)
Sumber : Dasar-Dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan di
Tempat Kerja, 2012
II-5
Selanjutnya, Heinrich menjelaskan bahwa untuk mencegah terjadinya
kecelakaan adalah cukup dengan membuang salah satu kartu domino atau
memutuskan rangkaian mata rantai domino tersebut (domino kesalahan manusia)
yang meliputi : lingkungan, kecerobohan manusia dan potensi bahaya yang
disebabkan karena tindakan manusia dan kondisi yang tidak selamat.
Secara ringkas proses “Heinrich’s Domino” dapat dijelaskan dengan
menggunakan logika berfikir terbalik, sebagai berikut :
1) Timbulnya cidera atau kerugian disebabkan karena suatu kejadian
kecelakaan;
2) Suatu kecelakaan hanya terjadi sebagai akibat dari hazard atau kondisi tidak
aman dan tindakan manusia yang tidak aman (penyebab langsung);
3) Kondisi tidak aman dan tindakan manusia yang tidak aman (penyebab
langsung) hanya terjadi melalui kesalahan atau kecerobohan manusia dan
desain yang tidak aman atau pemeliharaan yang tidak teratur (penyebab
dasar);
4) Kesalahan manusia dan peralatan hanya terjadi karena lingkungan sosial dan
kebiasaan hidup yang tidak aman;
5) Lingkungan sosial yang merupakan tempat dimana manusia bertindak tidak
aman, dapat diperbaiki dengan cara pendidikan dan pelatihan yang terus
menerus.
Selanjutnya, Frank Bird Jr.,1970 memodifikasi teori domino dengan
merefleksikan ke dalam hubungan manajemen secara langsung dengan sebab
akibat kerugian kecelakaan. Model penyebab kerugian melibatkan 5 (lima) faktor
penyebab secara berantai. Kelima faktor tersebut antara lain:
1) Lemahnya kontrol;
2) Sumber penyebab dasar;
3) Penyebab kontak;
4) Insiden; dan
5) Kerugian.
II-6
Gambar 2.2 Model Teori Domino Kecelakaan Menurut Frank Bird,Jr., 1970
Sumber : Dasar-Dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan di
Tempat Kerja, 2012
Selanjutnya, Bird dan Germain (1986) menjelaskan bahwa upaya
pencegahan kecelakaan akan berhasil dan efektif bila dimulai dengan
memperbaiki manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja.
Meski banyak teori-teori yang mengemukakan tentang penyebab
terjadinya kecelakaan kerja, namun secara umum penyebab kecelakaan kerja
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Sebab dasar atau asal mula, yaitu faktor yang mendasari secara umum
terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Meliputi, komitmen dari
manajemen perusahaan, manusia atau para pekerjanya sendiri, dan kondisi
tempat kerja;
II-7
b) Sebab utama, adalah faktor dan persyaratan K3 yang belum dilaksanakan
secara benar. Meliputi faktor :
Faktor manusia atau tindakan tidak aman (Unsafe Actions).
Faktor lingkungan atau kondisi tidak aman (Unsafe Conditions).
Interaksi Manusia-Mesin dan Sarana Pendukung Kerja yang Tidak
Sesuai (Unsafe Man-Mechine Interctions). (Tarwaka, 2012)
2.2.2. Pencegahan Kecelakaan Kerja
Pencegahan kecelakaan kerja pada umumnya adalah upaya untuk mencari
penyebab dari suatu kecelakaan dan bukan mencari siapa yang salah. Dengan
mengetahui dan mengenal penyebab kecelakaan makan disusun suatu rencana
pencegahannya yang pada hakekatnya adalah merupakan rumusan dari suatu
strategi bagaimana menghilangkan atau mengendalikan potensi bahaya yang
sudah diketahui.
Upaya pencegahan kecelakaan kerja yang baik adalah yaang mengandung
dan memperhatikan aspek-aspek berikut :
a) Desain pabrik. Desain pabrik harus memeperhatikan kinerja K3 bagi setiap
orang, seperti : pengaturan dan pembagian areal pabrik yang cukup aman,
dinding pemisah antara ruangan atau bangunan yang dapat menjamin dan
menghambat menjalarnya suatu kondisi yang berbahaya, penyediaan alat
pengaman;
b) Desain komponen dan peralatan pabrik. Semua komponen dan peralatan
pabrik yang digunakan harus dirancang sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan;
c) Pengoperasian dan pengendalian. Setiap pengoperasian suatu proses produksi
memerlukan sistem pengendalian proses, agar tetap aman dan selamat dalam
batas-batas yang telah ditentukan;
II-8
d) Sistem keselamatan. Setiap proses atau instalasi memerlukan suatu sistem
pengamanan yang bentuk desainnya tergantung pada potensi bahaya dan
resiko yang ada ditempat kerja;
e) Pencegahan kesalahan manusia dan organisasi. Upaya ini meliputi : pekerjaan
yang sesuai dan mudah dikerjakan, tanda atau simbol-simbol yang jelas dan
nyata, peralatan komunikasi yang benar dan pelatihan sesuai dengan jenis
pekerjaan;
f) Pemeliharaan dan monitoring. Pemeliharaan dan monitoring yang teratur oleh
tenaga kerja yang terlatih dan berpengalaman akan menciptakan sistem
keselamatan yang baik. (Tarwaka, 2012)
2.3. Kesehatan Kerja
Berdasarkan The Joint ILO/WHO Committee On Occupational Health yang
berlaku internasional tersebut dan sesuai dengan ketentuan peraturan dalam
Undang-Undang RI No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan Kerja, maka kesehatan
kerja merupakan hubungan dua arah antara kesehatan (health) dan kerja (work)
yang mencakup aspek kesehatan dari pekerja (health of the workers) yang bersifat
medis dan aspek lingkungan kerja (Occupational Environment) yang bersifat
teknis. Kedua aspek ini secara sinergis berupaya memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan pekerja, mencegah dan melindungi pekerja dari resiko yang ada
di pekerjaan dan linkgungan kerja yang dapat mempengaruhi keselamatan dan
kesehatannya.
2.3.1. Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Kesehatan Kerja
Ada beberapa bahaya dilingkungan kerja yang dapat menjadi penyebab
terjadinya kecelakaan dan kesehatan kerja, yaitu :
1) Faktor Fisik
a. Kebisingan
Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan. Alat utama yang
digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan adalah sound level meter.Di
tempat kerja, tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat
II-9
menyebabkan kerusakan pendengaran pada level diatas 85 dBA. Menurut
Suma’mur, 1996 dalam Laporan Kerja Praktek Theresia Edwina halaman 7,
seseorang yang terpapar kebisingan terus menerus dapat menyebabkan :
- Terjadi ketulian pada orang tersebut;
- Terjadi kecelakaan karena tanda peringatan dan sinyal lainnya tidak
dapat didengar;
- Berkurangnya konsentrasi dalam bekerja karena ketidaknyamanan;
- Gangguan komunikasi atau percakapan antara pekerja, sehingga terjadi
kesalahan informasi.
Intensitas kebisingan yang dianjurkan adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja.
Dasar hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di tempat
kerja.
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemajanan Satuan Intensitas Kebisingan dalam dBA
8 Jam 854 Jam 882 Jam 911 Jam 9430 Menit 9715 Menit 1007.5 Menit 1033.75 Menit 1061.88 Menit 1090,94 Menit 1122.12 Menit 11514.06 Menit 1185.03 Menit 1213.52 Menit 1241.76 Menit 1270.88 Menit 1300.44 Menit 1330.22 Menit 1360.11 Menit 139
Tidak boleh 140Sumber: KEP. MEN Tenaga Kerja No: KEP-51/MEN/1999
II-10
b. Radiasi
Radiasi yang ada di tempat kerja dan mempunyai pengaruh kepada tenaga
kerja dan pekerjaannya anatara lain (Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja
Praktek Wawan Sulistyo halaman 9):
Radiasi elektromagnetis, yaitu gelombang-gelombang mikro, radiasi
laser, radiasi panas, sinar infra merah, sinar ultraviolet, sinar X dan
sinar gamma.
Radiasi radioaktif, yaitu sinar-sinar dari bahan radioaktif.
c. Getaran
Getaran (Vibrasi) adalah suatu faktor fisik yang menjalar ke tubuh manusia,
mulai dari tangan sampai ke seluruh tubuh turut bergetar akibat getaran
peralatan mekanik yang digunakan dalam tempat kerja. Getaran akan
menimbulkan rasa tidak nyaman pada manusia/pekerja dan akan
mengurangi produktifitas kerja serta gangguan faal pada tubuh manusia.
Sumber Getaran dapat berupa getaran ataupun gesekan dari mesin, sehingga
akan menimbulkan gangguan pada denyut nadi dan keseimbangan tubuh.
(Salim, 2002 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 10)
d. Cuaca Kerja
Cuaca kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan gerak dan suhu radiasi. Kombinasi keempat faktor itu
dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh disebut tekanan panas. Nilai
Ambang Batas (NAB) untuk cuaca (iklim) kerja adalah 21-30oC suhu basah,
NAB ini akan dievaluasi terus menerus mengenai kecocokannya.
(Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman
12)
e. Tekanan Udara
Gejala sakit yang diakibatkan oleh rendahnya tekanan udara didasarkan atas
kurangnya oksigen dalam udara pernapasan.
II-11
(Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman
12)
f. Penerangan atau Pencahayaan
Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek-obyek
yang dikerjakan secara jelas dan cepat, selain itu penerangan yang memadai
memberikan kesan pemandangan yang lebih baik. Sifat-sifat dari
penerangan yang baik ditentukan oleh (Suma’mur, 1994 dalam Laporan
Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 12) :
1. Pencegahan kesilauan;
2. Arah sinar;
3. Warna;
4. Panas penerangan terhadap keadaan lingkungan.
g. Bau-Bauan di Tempat Kerja
Bau-bauan adalah jenis pencemaran udara yang tidak hanya penting ditinjau
dari segi penciuman, tetapi juga higien pada umumnya. (Suma’mur, 1994
dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 12)
2) Faktor Kimia
Faktor kimia yang ada di tempat kerja yang perlu diperhatikan adalah
(Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 13) :
a. Debu
Adanya debu dapat menyebabkan pneumoconiosis, diantaranya silicosis
karena debu silika, asbetosis karena debu asbes dan lain-lain.
b. Uap
Uap dapat menyebabkan metal fume fever, dermatis atau keracunan.
c. Gas
Gas dapat menyebabkan keracunan dan pedih mata.
d. Larutan
Larutan dapat menyebabkan dermatis.
e. Awan dan kabut
Awan dan kabut dapat menyebabkan keracunan dan mengganggu
penglihatan.
II-12
2.4. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Menurut PerMenaker 05 tahun 1996, Sitem Manajemen K3 adalah bagian
dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,
perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya
yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam pengendalian
resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang
aman efisien dan produktif.
Menurut OHSAS 18001:2007 OHS Management system: part of an
organization ‘s management system used to develop and implement its OH&S
Policy and manage OH&S Risks.
A management system is a set of interrelated elements used to establish policy
and objectives and to achieve those objectives.
A management system includes organizational stucture, planning activities
(including for example, risk assessment and the setting of objectives),
responsibilities, practices, procedures, process and resources.
Sistem Manajemen K3 merupakan konsep pengelolaan K3 secara sistematis
dan komprehensif dalam suatu sistem manajemen yang utuh melalui proses
perencanaan, penerapan, pengukuran dan pengawasan. Pendekatan sistem
manajemen K3 telah berkembang sejak tahun 80an yang dipelopori oleh pakar K3
seperti James Tye dari British Safety Council, Dan Petersen, Frank Birds dan
lainnya. Semua sistem manajemen K3 bertujuan untuk mengelola risiko K3 yang
ada dalam perusahaan agar kejadian yang tidak diinginkan atau dapat
menimbulkan kerugian dapat dicegah.
Dewasa ini, terdapat berbagai bentuk sistem manajemen K3 yang
dikembangkan oleh berbagai lembaga dan institusi di dalam dan di luar negeri,
antara lain:
Sistem Manajemen Five Star dari British Safety Council, UK
Dikembangkan oleh lembaga K3 di Inggris sekitar tahun 1970 dan digunakan
diberbagai perusahaan dan institusi.
II-13
British Standard BS 8800 Guide to Occupational Health and Safety
Management System.
Merupakan standar tentang SMK3 yang diberlakukan di Inggris dan negara
lainnya.
Occupational Health and Safety (OHS) Management System, OHSA, USA.
International Safety Rating System (ISRS) dari ILCI/ DNV
Suatu sistem manajemen K3 yang dipelopori oleh ahli K3 dari USA Mr.
Frank Bird yang mengembangkan metode penilaian kinerja K3 yang disebut
ISRS.
Process Safety Management , OHSA Standard CFR 29 1910.119
Merupakan sistem manajemen K3 yang dirancang khusus untuk industri
proses beresiko tinggi seperti perminyakan dan petrokimia.
Sistem Manajemen K3 dari Depnaker RI
Sistem ini telah digunakan di Indonesia dan diimplementasikan diberbagai
perusahaan.
American Petroleum Institute : API 9100A : Model Environmental Health
and Safety (EHS) Management System
Lembaga ini mengeluarkan pedoman tentang sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja.
American Petroleum Institute: API RP 750, Management of Process Hazard.
ILO-OSH 2001 : Guideline on OHS Management System
Lembaga perburuhan dunia ini juga mengembangkan pedoman sistem
manajemen K3 yang banyak digunakan sebagai acuan oleh berbagai dana
perusahaan.
E&P Forum : Guidelines for development and Application of HSE
Management System. (Soehatman Ramli, 2010)
2.4.1. Tujuan SMK3
Berbagai tujuan Sistem Manajemen K3 dapat digolongkan sebagai berikut:
Sebagai alat ukur kinerja K3 dalam organisasi
II-14
Sistem Manajemen K3 digunakan untuk menilai dan mengukur
kinerja penerapan K3 dalam organisasi.
Di Indonesia diberlakukan Permenaker No.5 tahun 1996 tentang audit
Sistem Manajemen K3 yang menetapkan kriteria untuk mengukur
kinerja K3 perusahaan.
Sebagai pedoman implementasi K3 dalam organisasi
Sistem manajemen K3 dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan
dalam mengembangkan sistem manajemen K3. Beberapa bentuk
sistem manajemen K3 yang digunakan sebagai acuan misalnya ILO
OHSMS Guidelines, API HSE MS Guidelines, dan lainnya.
Sebagai dasar penghargaan
Sistem manajemen K3 juga digunakan sebagai dasar untuk pemberian
penghargaan K3 atas pencapaian kinerja K3, Penghargaan K3
diberikan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh lembaga
independen lainnya.
Sebagai sertifikasi
Sistem manajemen K3 juga dapat digunakan untuk sertifikasi
penerapan manajemen K3 dalam organisasi. Sertifikasi diberikan oleh
lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh suatu badan akreditasi.
Banyaknya sistem manajemen K3 yang dikembangkan oleh berbagai
institusi tersebut, timbul kebutuhan untuk menstandarisasi sekaligus memberikan
sertifikasi atas pencapaiannya. Dari sini lahirlah sistem penilaian kinerja K3 yang
disebut OHSAS 18000 (Occupational Health and Safety Assessment Series).
OHSAS 18000 terdiri dari dua bagian yaitu OHSAS 18001 sebagai standar
atau persyaratan SMK3 dan OHSAS 18002 sebagai pedoman pengembangan dan
penerapannya. (Soehatman Ramli, 2010)
2.4.2. Proses SMK3
II-15
Menurut OHSAS 18001, sistem manajemen merupakan suatu set elemen-
elemen yang saling terkait untuk menetapkan kebijakan dan sasaran dan untuk
mencapai objektif tersebut.
Sistem manajemen K3 terdiri dari 2 (dua) unsur pokok yaitu proses
manajemen dan elemen-elemen implementasinya. Proses SMK3 menjelaskan
bagaimana sistem manajemen tersebut dijalankan atau digerakkan. Sedangkan
elemen merupakan komponen-komponen kunci yang terintegrasi satu dengan
lainnya membentuk satu kesatuan sistem manajemen.
Elemen-elemen ini mencakup antara laian tanggung jawab, wewenang,
hubungan antar fungsi, aktivitas, proses, praktis, prosedur dan sumber daya.
Elemen ini dipakai untuk menetapkan kebijakan K3, perencanaan, objektif dan
program K3.
Proses sistem manajemen K3 menggunakan pendekatan PDCA (Plan, Do,
Check, Action) yaitu mulai dari perencanaan, penerapan, pemeriksaan dan
tindakan perbaikan. Dengan demikian, sistem manajemen K3 akan berjalan terus
menerus secara berkelanjutan selama aktivitas organisasi masih berlangsung.
Sistem Manajemen K3 dimulai dengan penetapan kebijakan K3 oleh
manajemen puncak sebagai perwujudan komitmen manajemen dalam mendukung
penerapan K3. Kebijakan K3 selanjutnya dikembangkan dalam perencanaan.
Tanpa perencanaan yang baik, proses K3 akan berjalan tanpa arah, tidak efisien
dan tidak efektif.
Berdasarkan hasil perencanaan tersebut dilanjutkan dengan penerapan dan
operasional, melalui pengerahan semua sumber daya yang ada, serta melakukan
berbagai program dan langkah pendukung untuk mencapai keberhasilan.
Secara keseluruhan, hasil penerapan K3 harus ditinjau ulang secara berkala
oleh manajemen puncak untuk memastikan bahwa SMK3 telah berjalan sesuai
dengan kebijakan dan strategi bisnis serta untuk mengetahui kendala yang dapat
mempengaruhi pelaksanaannya. (Soehatman Ramli, 2010)
II-16
Gambar 2.3 Siklus Manajemen
Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001, 2010
2.4.3. SMK3 dan OHSAS 18001
Pemerintah melalui Kepmenaker 05/1996 telah mengeluarkan pedoman
Sistem Manajemen K3 (SMK3). Semua sistem manajemen K3 mempunyai tujuan
yang sama, yaitu bagaimana mengelola dan mengendalikan bahaya yang ada
dalam operasi organisasi.
Oleh karena itu antara SMK3 (Depnaker) dengan sistem manajemen K3
lainnya (termasuk OHSAS 18001) tidak perlu dipertentangkan karena semuanya
memiliki tujuan yang sama.
Menurut UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 87, setiap
perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan
manajemen perusahaan. UU ini tidak menyebutkan SMK3 yang harus dijalankan,
yang penting adalah menerapkan SMK3 di lingkungannya.
Akan tetapi, untuk mengetahui apakah suatu organisasi telah menerapkan
SMK3 dengan baik perlu dilakukan pengawasan oleh instansi berwenang. Salah
satu mekanismenya yaitu dengan melakukan audit SMK3 melalui lembaga yang
ditunjuk pemerintah.
Hubungan SMK3 (Depnaker) dengan SMK3-OHSAS :
Penghargaan peringkat
SMK3 perusahaan
OHSAS 1800117 Elemen
Apakah telah memenuhi kriteria?
SMK3Depnaker
163 Kriteria audit SMK3
II-17
Gambar 2.4 Pola Penerapan SMK3Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001, 2009
Pada dasarnya bahwa setiap organisasi cukup memiliki satu sistem
manajemen K3 yang dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dan
lingkup operasi organisasi. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, SMK3
organisasi tersebut harus memenuhi kriteria audit SMK3 (Depnaker) yang
ditetapkan untuk organisasi kecil, sedang dan besar karena bersifat mandatory.
Selanjutnya jika organisasi menginginkan sertifikasi SMK3 yang telah dijalankan,
dapat memperolehnya melalui proses audit oleh lembaga sertifikasi salah satu
diantaranya menggunakan standar OHSAS 18001. (Soehatman Ramli, 2010)
Indonesia telah mengembangkan Sistem Manajemen K3. Berbeda dengan
OHSAS 18000 yang sistem auditnya hampir sama dengan ISO 14000 dan ISO
9000 yang diaudit oleh badan sertifikasi manapun, maka khusus untuk SMK3 di
Indonesia seperti Permenaker 05/Men/1996 yang merupakan penilaian kinerja,
hanya bisa diaudit oleh Sucofindo. Selain itu, Permenaker 05/Men/1996 memiliki
pembagian jumlah/jenis elemen untuk jenis perusahaan yang tergantung pada
besar kecil perusahaan yang bersangkutan, sedangkan persyaratan untuk OHSAS
18001 berlaku untuk semua jenis organisasi. (Rudi Suardi, 2005)
Sistem manajemen K3 diarahkan untuk mengendalikan kecelakaan kerja
dan ini jelas melengkapi konsep dalam standar manajemen modern yang juga
OHSAS 1800117 Elemen
II-18
didukung oleh Sistem Manajemen Lingkungan, sehingga dapat memenuhi obsesi
zero delay, zero defect, zero emission, dan zero accident. (Utomo,dkk, 2002
dalam Laporan Kerja Praktek Herti Ayu Yusvalina halaman 30)
Manfaat utama yang dapat diambil dari implementasi SMK3 secara garis
besar adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap tenaga kerja
2. Meningkatkan keperdulian dan pengetahuan tenaga kerja mengenai K3
3. Menunjukkan kepatuhan melaksanakan peraturan
4. Mengetahui efektifitas, efisiensi, dan kesesuaian serta kekurangan dari
penerrapan SMK3
5. Pembentukkan sistem pengelolaan yang efektif
6. Penurunan kecelakaan dan kerugian akibat kecelakaan
7. Peningkatan perhatian manajemen puncak
8. Pengakuan terhadap kinerja SMK3 di perusahaan.
2.4.4. Kategori Penerapan SMK3 dalam Organisasi
Implementasi sistem manajemen KK3 dalam organisasi bertujuan untuk
meningkatkan kinerja K3 dengan melaksanakan upaya K3 secara efisien dan
efektif sehingga resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah atau
dikurangi.
Organisasi yang menerapkan SMK3 program implementasi tertata dalam
kerangka kesisteman yang baik sehingga hasil yang diperoleh juga baik.
Perusahaan banyak yang telah menerapkan SMK3 tetapi masih banyak kecelakaan
yang terjadi, hal ini dikarenakan kualitas penerapan SMK3 di dalam perusahaan
belum komprehensif. Penerapan SMK3 di dalam organisasi dapat dikategorikan
sebagai berikut :
SMK3 Virtual, artinya organisasi telah memiliki elemen SMK3 dan
melakukan langkah pencegahan yang baik, namun tidak memiliki sistem yang
mencerminkan bagaimana langkah pengamanan dan pengendalian resiko
dijalankan.
II-19
SMK3 Salah Arah, artinya organisasi telah memiliki sistem manajemen K3
yang baik, tetapi salah arah dalam mengembangkan langkah pencegahan dan
pengamanan.
SMK3 Acak, artinya organisasi telah menjalankan program pengendalian dan
pencegahan resiko yang tepat sesuai dengan realita yang ada dalam
organisasi, namun tidak memiliki elemen-elemen manajemen K3 yang
diperlukan.
SMK3 Komprehensif, yaitu organisasi yang menerapkan dan megikuti proses
kesisteman yang baik.
Bentuk sistem manajemen K3 yang akan dikembangkan tergantung kepada
kondisi dan lingkup kegiatan masing-masing. OHSAS 18001 memberi
keleluasaan kepada setiap organisasi untuk mengembangkan sistem manajemen
K3 sesuai kebutuhan industrinya. (Soehatman Ramli, 2010)
2.4.5. Lingkup dan Kebijakan SMK3
Lingkup penerapan sistem manajemen K3 berbeda antara suatu organisasi
dengan lainnya yang ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
a) Ukuran organisasi
b) Lokasi kegiatan
c) Kondisi budaya organisasi
d) Jenis aktivitas organisasi
e) Kewajiban hukum yang berlaku bagi organisasi
f) Lingkup dan bentuk SMK3 yang telah dijalankan
g) Kebijakan K3 organisasi
h) Bentuk dan jenis resiko atau bahaya yang dihadapi
OHSAS 18001 tidak mensyaratkan bagaimana lingkup penerapan K3,
tergantung kondisi dan kebijakan masing-masing organisasi. Lingkup penerapan
SMK3 dapat ditetapkan berdasarkan lokasi kegiatan, proses, atau lingkup
kegiatan. Misalnya, manajemen untuk tahap awal hanya untuk mengembangkan
II-20
SMK3 untuk unit produksi atau pada lokasi kerja tertentu yang dinilai memiliki
resiko tinggi atau strategis.
Lingkup ini harus didokumentasikan sehingga dapat diketahui oleh semua
pihak terkait dengan penerapan SMK3.
Kebijakan merupakan persyaratan utama dalam semua sistem manajemen
seperti Manajemen Lingkungan, Manajemen Mutu dan lainnya. Kebijakan
merupakan roh dari semua sistem, yang mampu memberikan spirit dan daya gerak
untuk keberhasilan suatu usaha, karena itu OHSAS 18001 mensyaratkan
ditetapkannya kebijakan K3 dalam organisasi oleh manajemen puncak. Kebijakan
K3 (OH&S Policy) merupakan perwujudan dari komitmen pucuk pimpinan yang
memuat visi dan tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk melaksanakan
keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja.
Frank Bird dalam bukunya “Commitment”, menyebutkan bahwa komitmen
adalah niat atau tekad untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi daya dorong
yang sangat kuat untuk mencapai tujuan. Berbagai bentuk komitmen yang dapat
ditunjukkan oleh pimpinan dan manajemen dalam K3 antara lain:
Dengan memenuhi semua ketentuan K3 yang berlaku dalam organisasi.
Memasukkan isu K3 dalam setiap kesempatan, rapat manajemen dan
pertemuan lainnya.
Secara berkala dan konsisten mengkomunikasikan keinginan dan
harapannya mengenai K3 kepada semua pemangku kepentingan.
Melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan K3.
Memberikan dukungan nyata dalam bentuk sumberdaya yang
diperlukan untuk terlaksananya K3 dalam organisasi.
Memberikan keteladanan K3 yang baik dengan menjadikan K3 sebagai
bagian intergral dalam setiap kebijakan organisasi.
Suatu kebijakan K3 yang baik disyaratkan memenuhi kriteria sebagai
berikut :
II-21
1. Sesuai dengan sifat dan skala risiko K3 organisasi. Kebijakan K3 tentu
berbeda antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, tergantung
sifat dan skala resiko K3 yang dihadapi.
2. Mencakup komitmen untuk peningkatan berkelanjutan. Aspek K3 tidak
statis karena berkembang sejalan dengan teknologi, operasi dan proses
produksi. Karena itu, kinerja K3 harus terus menerus ditingkatkan
selama organisasi beroperasi. Komitmen untuk peningkatan
berkelanjutan akan memberikan dorongan bagi semua unsur dalam
organisasi untuk terus menerus meningkatkan K3 dalam organisasi.
3. Termasuk adanya komitmen untuk sekurangnya memenuhi
perundangan K3 yang berlaku. Manajemen akan mendukung
pemenuhan semua persyaratan dan norma K3 baik yang disyaratkan
dalam perundangan maupun petunjuk praktis atau standar yang berlaku
bagi aktivitasnya.
4. Didokumentasikan, diimplementasikan dan dipelihara. Kebijakan K3
harus didokumentasikan secara tertulis sehingga dapat diketahui oleh
berbagai pihak, sedangkan implementasinya dengan menggunakan
kebijakan K3 sebagai acuan dalam setiap kebijakan organisasi,
pengembangan strategis dan rencana kerja.
5. Dikomunikasikan kepada seluruh pekerja dengan maksud agar pekerja
memahami maksud dan tujuan kebijakan K3.
6. Tersedia bagi pihak yang terkait. Kebijakan K3 harus diketahui oleh
pihak lain seperti konsumen, pemasok, instansi pemerintah, mitra bisnis
atau masyarakat sekitar.
7. Ditinjau ulang secara berkala.
Banyak organisasi yang memiliki kebijakan yang indah dan rapi, namun
kebijakan ini hanyalah berupa slogan kosong dalam pelaksanaannya dan kinerja
K3 organisasi. Pengembangan kebijakan K3 harus mempertimbangkan faktor
berikut :
1. Kebijakan dan objektif organisasi secara korporat.
II-22
2. Resiko dan potensi bahaya yang ada dalam organisasi.
3. Peraturan dan standar K3 yang berlaku.
4. Kinerja K3.
5. Persyaratan pihak luar.
6. Peningkatan berkelanjutan.
7. Ketersediaan sumber daya.
8. Peran pekerja.
9. Partisipasi semua pihak.
(Soehatman Ramli, 2010)
2.4.6. Perencanaan SMK3
OHSAS 18001 mewajibkan organisasi untuk membuat prosedur
perencanaan. Perencanaan ini merupakan tindak lanjut dan penjabaran kebijakan
K3 yang telah ditetapkan oleh manajemen puncak dengan mempertimbangkan
hasil audit yang pernah dilakukan dan masukan dari berbagai pihak termasuk hasil
pengukuran kinerja K3. Hasil dari perencanaan ini selanjutnya menjadi masukan
dalam pelaksanaan dan operasional K3.
Perencanaan yang baik mulai dari melakukan identifikasi bahaya,
penilaian resiko dan penentuan pengendaliannya. Dalam hal tersebut, harus
dipertimbangkan berbagai persyaratan perundangan K3 yang berlaku di organisasi
tersebut.
2.4.6.1. Manajemen Resiko
Tujuan upaya K3 adalah untuk mencegah kecelakaan yang ditimbulkan
karena adanya suatu bahaya di lingkungan kerja. Karena itu pengembangan sistem
manajemen K3 harus berbasis pengendalian resiko sesuai dengan sifat dan kondisi
bahaya yang ada.
Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau
insiden yang membawa dampak terhadap manusia, peralatan, material, dan
lingkungan. Adanya bahaya dan resiko tersebut harus dikelola dan dihindarkan
melalui manajemen K3 yang baik.
II-23
Sesuai dengan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan prosedur
mengenai Identifikasi Bahaya (Hazard Identification), Penilaian Resiko (Risk
Assessment), dan menentukan Pengendaliannya (Risk Control) atau disingkat
HIRARC. Keseluruhan proses ini juga disebut Manajemen Resiko (Risk
Management).
HIRARC merupakan elemen pokok dalam sistem manajemen K3 yang
berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya. Menurut
OHSAS 18001, HIRARC harus dilakukan oleh seluruh aktivitas organisasi untuk
menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi bahaya dan
menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
A. Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui potensi
bahaya di tempat kerja. Sejalan dengan proses manajemen resiko, OHSAS
18001 mensyaratkan prosedur identifikasi bahaya dan penilaian resiko
sebagai berikut :
1. Mencakup seluruh kegiatan organisasi baik kegiatan rutin maupun non
rutin.
2. Mencakup seluruh aktivitas individu yang memiliki akses ke tempat
kerja.
3. Perilaku manusia, kemampuan, dan faktor manusia lainnya.
4. Identifikasi semua bahaya yang berasal dari luar tempat kerja yang
menimbulkan efek terhadap kesehatan dan keselamatan manusia yang
berada di tempat kerja.
5. Mencakup seluruh infrastruktur, peralatan dan material di tempat kerja,
baik yang disediakan organisasi atau pihak lain.
Tujuan persyaratan ini adalah untuk memastikan bahwa identifikasi
bahaya dilakukan secara komprehensif dan rinci sehingga semua peluang
bahaya dapat diidentifikasikan. Organisasi harus menetapkan metode
identifikasi bahaya yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa aspek antara lain:
1. Lingkup identifikasi bahaya yang dilakukan;
II-24
2. Bentuk identifikasi bahaya, misalnya kualitatif atau kuantitatif;
3. Waktu pelaksanaan identifikasi bahaya.
Metode identifikasi bahaya harus bersifat proaktif atau prediktif sehingga
diharapkan dapat menjangkau seluruh bahaya baik yang nyata maupun
bersifat potensial.
Teknik identifikasi bahaya ada berbagai macam yang dapat diklasifikasikan
atas :
Teknik/ Metode Pasif
Cara ini bersifat primitif dan terlambat karena kecelakaan telah terjadi,
baru kita mengenal dan mengambil langkah pencegahan.
Teknik/ Metode Semiproaktif
Teknik ini disebut teknik belajar dari pengalaman orang lain karena kita
tidak perlu mengalaminya sendiri. Teknik ini lebih baik dari teknik
sebelumnya.
Teknik/Metode Proaktif
Metode terbaik untuk mengidentifikasi bahaya adalah cara proaktif, atau
mencari bahaya sebelum bahaya tersebut menimbulkan akibat atau
dampak yang merugikan. (Soehatman Ramli, 2010)
B. Penilaian Resiko
Penilaian resiko bertujuan untuk mengevaluasi besarnya resiko serta
skenario dampak yang akan ditimbulkannya. Penilaian resiko digunakan
sebagai langkah saringan untuk menentukan tingkat resiko ditinjau dari
kemungkinan terjadi (likelihood) dan keparahan yang dapat ditimbulkan
(severity). Ada berbagai pendekatan dalam menggambarkan kemungkinan
dan keparahan suatu resiko baik secara kualitatif, semi kuantitatif atau
kuantitatif.
Langkah berikutnya setelah resiko ditentukan adalah melakukan evaluasi
apakah resiko tersebut dapat diterima atau tidak, merujuk kepada kriteria
resiko yang berlaku atau ditetapkan oleh manajemen organisasi. Resiko yang
dapat diterima sering diistilahkan sebagai ALARP (As Low As Reasonably
Practicable), yaitu tingkat resiko terendah yang masuk akal dan dapat
II-25
dijalankan. Untuk menentukan batas resiko yang dapat diterima (ALARP)
tidaklah mudah, namun memerlukan kajian mendalam dari berbagai aspek
seperti teknis, sosial, moral, lingkungan atau keekonomiannya misalnya
dengan melakukan cost benefit analysis. Jika pengeluaran K3 ditingkatkan,
akan baik untuk bisnis pada level tertentu. Namun jika pengeluran K3 terus
ditingkatkan, akan baik bagi kemanusiaan namun buruk dampaknya terhadap
bisnis. (Soehatman Ramli, 2010)
C. Pengendalian Resiko
Pengendalian resiko merupakan langkah menentukan dalam keseluruhan
manajemen resiko. Organisasi harus memastikan bahwa hasil penilaian
resiko dipertimbangkan dalam menetukan pengendaliannya. Berdasarkan
hasil analisa dan evaluasi resiko dapat ditentukan apakah suatu resiko dapat
diterima atau tidak. Jika resiko dapat diterima, tentunya tidak perlu tindakan
lebih lanjut. Selanjutnya dalam menentukan pengendalian harus
mempertimbangkan hirarki pengendalian mulai dari eliminasi, substitusi,
pengendalian teknis, administratif dan yang terakhir penyediaan alat
keselamatan yang disesuaikan dengan kondisi organisasi, ketersediaan
biaya, biaya operasional, faktor manusia dan lingkungan. Tindakan
pengendalian yang dapat dilakukan dengan beberapa pilihan yaitu :
Mengurangi kemungkinan (reduce likelihood)
Mengurangi keparahan (reduce consequence)
Pengalihan resiko sebagian atau seluruhnya (risk transfer)
Menghindar dari resiko (risk avoid)
Eliminasi
Substitusi
Engineering
Administratif
APD
II-26
Gambar 2.5 Hirarki Pengendalian Bahaya
Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001, 2010
1. Eliminasi
Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber
bahaya, misalnya lobang di jalan ditutup, ceceran minyak pada lantai
dibersihkan, mesin yang bising dimatikan. Cara ini sangat efektif karena
potensi resiko dapat dihilangkan. Karena itu, teknik ini menjadi pilihan
utama dalam hirarki pengendalian resiko.
2. Substitusi
Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat,
bahan, sistem atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau
lebih rendah bahayanya.
3. Pengendalian Teknis
Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang ada
di lingkungan kerja. Karena itu, pengendalian bahaya dapat dilakukan
melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan dan pemasangan
peralatan pengaman.
4. Pengendalian Administratif
Pengendalian bahaya juga dapat dilakukan secara administratif misalnya,
mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja atau prosedur kerja yang lebih
aman, rotasi atau pemeriksaan kesehatan.
5. Penggunaan Alat Pelindung Diri
II-27
Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adlah dengan memakai alat
pelindung diri misalnya, pelindung kepala, sarung tangan, masker,
pelindung kaki, respirator dan pelindung jatuh. (Soehatman Ramli, 2010)
2.4.6.2. Perundangan dan Persyaratan Lainnya
Di Indonesia banyak dikeluarkan perundangan berkaitan dengan K3.
Sebagai payung hukum adalah UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Selanjutnya pemerintah melalui departemen teknis mengeluarkan berbagai
peraturan pelaksana, misalnya ketentuan K3 yang berlaku di sektor pertambangan,
kelautan, industri kimia, kesehatan dan perkebunan, jasa konstruksi dan lainnya.
Untuk itu, OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi untuk
mengidentifikasi semua perundangan dan persyaratan K3 lainnya yang berlaku
untuk kegiatan usahanya. Selanjutnya OHSAS 18001 mensyaratkan adanya
prosedur manajemen untuk mengidentifikasi semua perundangan, peraturan atau
standar yang terkait dengan resiko yang terdapat dalam organisasi. Semua
perundangan dan persyaratan K3 harus dikomunikasikan dan disosialisasikan agar
semua pihak dalam organisasi memahami dan menjalankannya dilingkungan
masing-masing. (Soehatman Ramli, 2010)
Untuk menjaga kelangsungan bisnis perusahaan diperlukan suatu
kejelasan dalam segi hukum dan peraturan yang berlaku di masing-masing
wilayah atau daerah. Salah satu hal yang dituntut untuk mewujudkan semangat
Good Corporate Governance adalah dengan pemenuhan terhadap peraturan
(peraturan perundangan/regulasi dan standar-standar) yang terkait (Utomo. dkk,
2002).
Pentingnya hukum, peraturan dan standar perusahaan, sebagai alat
kendali untuk membantu dalam usaha mencapai sasaran pencegahan kecelakaan
dan pencemaran lingkungan, yang merupakan dampak yang ditimbulkan dari LK3
(Utomo. dkk, 2002).
Dalam memenuhi hukum, peraturan dan standar lainnya, perusahaan
harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Utomo. dkk, 2002) :
II-28
1. Membuat daftar dampak LK3 dan lokasi yang terkena dampak dari
kegiatan operasional yang ada;
2. Memeriksa dan membuat daftar instansi yang terkait dengan kegiatan
operasional yang ada;
3. Memeriksa literatur untuk peraturan terkait dan interpretasinya;
4. Hubungan dengan badan atau instansi terkait;
5. Memeriksa daftar isi dan pembukaan setiap peraturan baru dilanjutkan
kebagian yang relevan;
6. Menganalisa mendalam kebagian peraturan yang terkait.
2.4.6.3. Objektif dan Program K3
Tanpa objektif K3 yang jelas dan terarah, implementasi SMK3 tidak akan
berhasil dengan baik. Objektif K3 harus memiliki kaitan dengan hasil identifikasi
bahaya yang telah dilakukan dan selaras dengan kebijakan organisasi serta strategi
bisnis yang dijalankan. Dalam mengembangkan objektif K3 harus
dipertimbangkan hal sebagai berikut:
a. Kebijakan organisasi secara menyeluruh, termasuk kebijakan K3;
b. Hasil identifikasi bahaya dan penilaian resiko;
c. Ketersediaan sumberdaya serta pilihan teknologi yang digunakan
dalam pencegahan kecelakaan;
d. Ketentuan perundangan yang terkait dengan bisnis organisasi;
e. Adanya partisipasi semua pihak dalam organisasi.
Objektif K3 harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Sederhana (simple);
b. Terukur (measurable);
c. Dapat dicapai (achievement);
d. Realistis (realistic);
e. Jangka waktu (time table) yang jelas dalam pencapaiannya.
II-29
Sebagaimana halnya dengan objektif K3, program kerja K3 harus
didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada semua pihak terkait, terutama
mereka yang terlibat dalam pelaksanaannya.
2.4.7. Implementasi
2.4.7.1 Sumberdaya, Peran, Tanggung jawab dan Wewenang
Peran utama dari fungsi K3 secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Sebagai alat manajemen;
2. Sebagai agen pemenuhan persyaratan;
3. Sebagai konsultan keselamatan;
4. Sebagai pengendali rugi.
Tanpa sumber daya yang memadai, program K3 tidak akan berjalan
dengan baik dan efektif. Sumberdaya yang diperlukan untuk kelangsungan
program K3 mencakup sumberdaya manusia, infrastruktur organisasional,
teknologi dan finansial.
Masalah mendasar dalam penerapan K3 adalah peran dan tanggung jawab
mengenai K3 dalam organisasi. OHSAS 18001 menekankan bahwa tanggung
jawab tertinggi mengenai K3 ada di tangan manajemen puncak.
Peran dan tanggung jawab mengenai K3 harus ditetapkan secara tertulis
dan menjadi bagian integral dari uraian tugas dan jabatan masing-masing.
2.4.7.2 Kompetensi, Pelatihan dan Kepedulian
Menurut ahli K3 sebagian besar kecelakaan disebabkan atau bersumber
dari faktor manusia dengan tindakan tidak aman (unsafe act). Karena itu banyak
pendekatan K3 dikembangkan untuk mengendalikan faktor manusia tersebut.
Contohnya adalah pelatihan. Pelatihan K3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Induksi K3 yaitu pelatihan yang dilakukan sebelum seseorang mulai
bekerja, atau memasuki suatu tempat kerja;
Pelatihan khusus K3, berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya masing-
masing;
II-30
Pelatihan K3 Umum, yaitu pelatihan yang bersifat umum dan diberikan
kepada seluruh pekerja.
Selain itu, OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi untuk memastikan
bahwa setiap individu yang menjalankan pekerjaan atau aktivitas yang memiliki
dampak K3 telah memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaannya.
Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan serta pengalaman yang
memadai dalam melakukan sesuatu tugas atau aktivitas.
Kepedulian mengenai aspek keselamatan dalam pekerjaan atau perilaku
sehari-hari merupakan landasan pembentukan budaya keselamatan (safety
culture). OHSAS 18001 mensyaratkan agar organisasi membangun dan
mengembangkan kepedulian mengenai K3 di lingkungan organisasi.
2.4.7.3 Komunikasi, Partisipasi, dan Konsultasi
Kebijakan K3 yang ditetapkan harus dikomunikasikan kepada seluruh
karyawan untuk dipahami dan dilaksanakan. Komunikasi adalah proses
penyampaian pesan dari pengirim ke penerima dengan tujuan untuk mencapai
salah satu sasaran berikut :
1. Untuk bertindak mengenai sesuatu hal;
2. Untuk menyampaikan informasi;
3. Untuk memastikan tentang sesuatu yang seharusnya dilakukan;
4. Untuk menyenangkan seseorang.
Komunikasi K3 dapat dibedakan atas :
1. Komunikasi manusia dengan manusia secara langsung;
2. Komunikasi manusia dengan manusia melalui alat/media komunikasi;
3. Komunikasi manusia dengan alat kerja.
Konsultasi dengan kontraktor, jika terdapat perubahan yang
mempengaruhi K3. Organisasi harus memastikan bahwa, jika diperlukan, pihak
eksternal yang terkait dikonsultasikan tentang permasalahan K3.
II-31
Mengingat pentingnya partisipasi seluruh pihak, maka OHSAS 18001
mensyaratkan organisasi untuk mengembangkan, menetapkan dan menjalankan
berbagai metode atau cara untuk menggalang peran serta semua pihak dalam K3.
2.4.7.4 Dokumentasi
Dokumentasi sangat penting dalam SMK3, karena memberikan manfaat
seperti :
Memudahkan dalam mencari dokumen yang diperlukan
Memberikan kesan yang baik kepada seluruh pihak.
Banyak aspek K3 yang perlu didokumentasikan seperti proses dan
prosedur yang dijalankan dalam pengembangan SMK3. Berbeda dengan sistem
manajemen lainnya, dalam bidang K3, banyak dokumen yang bersifat long life
misalnya data atau dokumentasi mengenai kasus-kasus kecelakaan atau insiden.
Untuk memudahkan, sistem dokumentasi K3 menggunakan hirarki sebagai
berikut. Dokumen level pertama adalah Manual Manajemen Sistem. Dokumen
berikutnya adalah prosedur yang berkaitan dengan SMK3, misalnya prosedur
dokumentasi, keadaan darurat atau pelatihan. Dokumen level ketiga adalah
petunjuk kerja yang bersifat teknis tentang cara melakukan suatu aktivitas atau
pekerjaan. Dokumen level keempat adalah formulir atau daftar periksa yang
digunakan dalam SMK3.
2.4.7.5 Tanggap Darurat
Tanggap darurat merupakan elemen penting dalam SMK3, untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tujuan K3 adalah untuk
mencegah kejadian atau kecelakaan yang tidak diinginkan. Namun demikian, jika
sistem pencegahan mengalami kegagalan sehingga terjadi kecelakaan, hendaknya
keparahan atau konsekuensi yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin.
Untuk itu diperlukan sistem tanggap darurat guna mengantisipasi berbagai
kemungkinan seperti kecelakaan, kebakaran, peledakan, dan kebocoran bahan
II-32
kimia. Pengembangan suatu sistem tanggap darurat sekurangnya meliputi elemen
sebagai berikut:
1. Kebijakan;
2. Identifikasi keadaan darurat;
3. Perencanaan awal;
4. Prosedur keadaan darurat;
5. Organisasi keadaan darurat;
6. Prasarana keadaan darurat;
7. Pembinaan dan pelatihan;
8. Komunikasi;
9. Investigasi dan sistem pelaporan;
10. Inspeksi dan audit.
Perusahaan perlu membuat rencana dalam menghadapi kecelakaan dan
kondisi bahaya/darurat yang tak terduga sebelumnya dan secara berkala menguji
rencana tersebut untuk mengusahakan agar respon yang cukup terjadi pada saat
hal-hal yang tak terduga benar-benat terjadi. Berdasarkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. Per /05/ MEN /1996 tentang Sistem Manajemen K3 telah diatur
didalamnya antara lain mengenai prosedur menghadapi keadaan darurat atau
bencana. (Soehatman Ramli, 2010)
2.4.8. Pemeriksaan
Organisasi harus menetapkan, menjalankan dan memelihara prosedur
untuk memantau dan mengukur kinerja K3 secara berkala. Prosedur ini harus
memuat :
a) Pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif, sesuai dengan kebutuhan
organisasi.
b) Pemantauan sampai kepada pencapaian objektif K3.
c) Pemantauan efektivitas pengendalian.
d) Pengukuran kinerja yang bersufat proaktif.
II-33
e) Pengukuran kinerja yang bersifat reaktif.
f) Rekaman data dan hasil pantauan.
Sebagai bagian dari siklus manajemen PDCA, pemantauan dan
pengukuran merupakan persyaratan dalam SMK3. Proses pelaksanaan SMK3
harus dipantau secara berkala untuk memastikan bahwa sistem berjalan sesuai
rencana atau telah terjadi penyimpangan yang tidak diinginkan.
Frank Bird dalam Loss Control Management System menyesuaikan tahap
pengukuran sebelum kejadian (pre contact), saat kejadian (contact), dan sesudah
kejadian (post contact).
Ketidaksesuaian dapat bersumber dari SMK3, kondisi fisik, individu,
lingkungan dan faktor non teknis lainnya. Semua ketidaksesuaian harus
diidentifikasi dan dievaluasi.
Tindakan koreksi dimaksudkan untuk mengambil langkah menghilangkan
faktor penyebab ketidaksesuaian, insiden atau kecelakaan yang ditemukan untuk
mencegah terulangnya kejadian serupa. (Soehatman Ramli, 2010)
2.4.9. Tinjauan Manajemen
OHSAS 18001 mensyaratkan untuk melakukan tinjauan manajemen secara
berkala oleh manajemen puncak. Tinjauan manajemen harus mencakup penilaian
terhadap peluang peningkatan SMK3 serta keperluan untuk merubah SMK3.
Tinjauan manajemen dilakukan secara menyeluruh dan tidak bersifat detail untuk
isu tertentu. Aspek yang dibahas dalam tinjauan manajemen antara lain:
Kesesuaian kebijakan K3 yang sedang berjalan;
Penyempurnaan objektif K3 untuk peningkatan berkelanjutan;
Kecukupan identifikasi bahaya, penilaian resiko dan proses
pengendalian bahaya;
Tingkat resiko saat ini dan efektifitas dari sistem pengendalian;
Kecukupan sumberdaya yang disediakan;
Evaluasi kecelakaan dalam kurun waktu tertentu;
Evaluasi penerapan prosedur K3;
II-34
Hasil dari audit K3 baik internal maupun eksternal dan lainnya.
Dari hasil tinjauan manajemen dapat dirumuskan langkah-langkah
perbaikan dan peningkatan kinerja K3 periode berikutnya. Langkah perbaikan ini
harus konsisten dengan hasil kinerja K3, potensi resiko, kebijakan K3,
ketersediaan sumber daya manusia dan prioritas yang diinginkan. OHSAS 18001
mensyaratkan agar tinjauan manajemen dikomunikasikan dan dikonsultasikan
dengan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan SMK3.
(Soehatman Ramli, 2010)