bab ii veli fix bismillah 2.docx

51
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keselamatan Kerja Keselamatan Kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahan, landasan kerja dan lingkungan kerja serta cara-cara melakukan pekerjaan dan proses produksi (UU No.1/1970). Keselamatan Kerja juga dapat didefinisikan sebagai suatu kemerdekaan atas resiko celaka yang tidak dapat diterima. Keselamatan Kerja adalah dari, oleh dan untuk setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada di perusahaan serta masyarakat sekitar perusahaan yang mungkin terkena dampak akibat suatu proses produksi industri. Sementara itu, ruang lingkup dari keselamatan kerja sesuai dengan Pasal 2 UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja meliputi : 1) Keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. 2) Ruang lingkup keselamatan kerja tersebut berlaku dalam tempat kerja dimana : a) Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau II-1

Upload: habibi-prakoso-slamet-karyadi

Post on 26-Jan-2016

277 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keselamatan Kerja

Keselamatan Kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin,

pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahan, landasan kerja dan lingkungan

kerja serta cara-cara melakukan pekerjaan dan proses produksi (UU No.1/1970).

Keselamatan Kerja juga dapat didefinisikan sebagai suatu kemerdekaan atas

resiko celaka yang tidak dapat diterima. Keselamatan Kerja adalah dari, oleh dan

untuk setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada di perusahaan serta

masyarakat sekitar perusahaan yang mungkin terkena dampak akibat suatu proses

produksi industri.

Sementara itu, ruang lingkup dari keselamatan kerja sesuai dengan Pasal 2

UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja meliputi :

1) Keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam

tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di

dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

2) Ruang lingkup keselamatan kerja tersebut berlaku dalam tempat kerja

dimana :

a) Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat

perkakas, peralatan atau instalasi berbahaya atau dapat menimbulkan

kecelakaan, kebakaran atau peledakan;

b) Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut

atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah

terbakar, menggit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;

c) Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau

pembongkaran rumah, gedung, atau bangunan lainnya termasuk

bangunan perairan, saluran, atau terowongan dibawah tanah dan

sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan;

II-1

Page 2: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-2

d) Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan,

pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya,

peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;

e) Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam,

bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak, atau mineral

lainnyabaik dipermukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar

perairan.

Keselamatan kerja juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

kepada tenaga kerja, yang menyangkut aspek keselamatan, kesehatan,

pemeliharaan moral kerja, perlakuan sesuai martabat manusia dan moral agama.

Hal tersebut dimaksudkan agar para tenaga kerja secara aman dapat melakukan

pekerjaannya guna meningkatkan hasil kerja dan produktivitas kerja.

(Tarwaka, 2012)

Tujuan keselamatan kerja adalah sebagai berikut :

1.) Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan

pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta

produktifitas nasional;

2.) Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja;

3.) Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara umum dan efisien.

(Suma’mur, 1989 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 4)

2.2. Pengertian Kecelakaan Kerja

Kecelakaan Kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan

sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu,

harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses

kerja industri atau yang berkaitan dengannya. Dengan demikian kecelakaan kerja

mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1) Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa kecelakaan tidak

terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan;

2) Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan

selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental;

Page 3: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-3

3) Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya akan

dapat menyebabkan gangguan proses kerja.

Pada pelaksanaannya kecelakaan kerja di industri dapat dibagi menjadi 2

(dua) kategori utama, yaitu :

1) Kecelakaan Industri (Industrial Accident), yaitu suatu kecelakaan yang terjadi

di tempat kerja, karena adanya potensi bahaya yang tidak terkendali;

2) Kecelakaan di dalam perjalanan (Community Accident), yaitu suatu

kecelakaan yang terjadi di luar tempat kerja dalam kaitannya dengan adanya

hubungan kerja. (Tarwaka, 2012)

Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat

mendatangkan kecelakaan. Pengertian Hampir Celaka, yang dalam istilah safety

disebut dengan Insiden (Incident), adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak

diinginkan dimana dengan keadaan yang sedikit berbeda akan mengakibatkan

bahaya pada manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Bahaya

disebut tidak nyata (near miss) jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan

kecelakaan. Jika kecelakaan tersebut telah terjadi, maka bahaya tersebut dikatakan

sebagai bahaya nyata.

Kerugian yang disebabkan kecelakaan akibat kerja :

Kerusakan

Kekacauan organisasi

Keluhan dan kesedihan

Kelainan dan cacat

Kematian.

Kerugian diatas dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan akibat

terjadinya kecelakaan. Biaya tersebut dibagi menjadi biaya langsung (direct cost)

dan biaya tersembunyi (hidden cost/indirect).

Biaya langsung meliputi biaya pertolongan pertama (first aid), pengobatan,

perawatan, biaya rumah sakit, biaya angkutan, upah selama tidak mampu bekerja,

kompensasi cacat, biaya perbaikan alat-alat, mesin-mesin dan biaya atas

kerusakan bahan-bahan. Sedangkan biaya tidak langsung meliputi segala sesuatu

Page 4: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-4

yang tidak terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah kecelakaan terjadi.

(R.M.S.Jusuf, 2003 dalam Laporan Kerja Praktek Annisa Noor Akbari halaman 3)

2.2.1. Sebab-Sebab Kecelakaan Kerja

Dari beberapa penelitian, memberikan indikasi bahwa suatu kecelakaan

kerja tidak dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi terjadi oleh satu atau

beberapa faktor penyebab kecelakaan sekaligus dalam suatu kejadian.

Dalam buku “Accident Prevention”, Heinrich (1950) mengemukakan

suatu teori sebab akibat terjadinya kecelakaan yang selanjutnya dikenal dengan

Teori Domino. Menurut teori tersebut digambarkan bahwa timbulnya suatu

kecelakaan atau cidera disebabkan oleh 5 (lima) faktor penyebab, yaitu :

1) Domino Lingkungan Sosial dan Kebiasaan Perilaku;

2) Domino Penyebab Dasar dari Kesalahan/Kecerobohan;

3) Domino Tindakan dan Kondisi Tidak Aman;

4) Domino Kecelakaan; dan

5) Domino Kerugian.

Gambar 2.1 Domino Rentetan Kejadian Kecelakaan Kerja (Heinrich, 1950)

Sumber : Dasar-Dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan di

Tempat Kerja, 2012

Page 5: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-5

Selanjutnya, Heinrich menjelaskan bahwa untuk mencegah terjadinya

kecelakaan adalah cukup dengan membuang salah satu kartu domino atau

memutuskan rangkaian mata rantai domino tersebut (domino kesalahan manusia)

yang meliputi : lingkungan, kecerobohan manusia dan potensi bahaya yang

disebabkan karena tindakan manusia dan kondisi yang tidak selamat.

Secara ringkas proses “Heinrich’s Domino” dapat dijelaskan dengan

menggunakan logika berfikir terbalik, sebagai berikut :

1) Timbulnya cidera atau kerugian disebabkan karena suatu kejadian

kecelakaan;

2) Suatu kecelakaan hanya terjadi sebagai akibat dari hazard atau kondisi tidak

aman dan tindakan manusia yang tidak aman (penyebab langsung);

3) Kondisi tidak aman dan tindakan manusia yang tidak aman (penyebab

langsung) hanya terjadi melalui kesalahan atau kecerobohan manusia dan

desain yang tidak aman atau pemeliharaan yang tidak teratur (penyebab

dasar);

4) Kesalahan manusia dan peralatan hanya terjadi karena lingkungan sosial dan

kebiasaan hidup yang tidak aman;

5) Lingkungan sosial yang merupakan tempat dimana manusia bertindak tidak

aman, dapat diperbaiki dengan cara pendidikan dan pelatihan yang terus

menerus.

Selanjutnya, Frank Bird Jr.,1970 memodifikasi teori domino dengan

merefleksikan ke dalam hubungan manajemen secara langsung dengan sebab

akibat kerugian kecelakaan. Model penyebab kerugian melibatkan 5 (lima) faktor

penyebab secara berantai. Kelima faktor tersebut antara lain:

1) Lemahnya kontrol;

2) Sumber penyebab dasar;

3) Penyebab kontak;

4) Insiden; dan

5) Kerugian.

Page 6: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-6

Gambar 2.2 Model Teori Domino Kecelakaan Menurut Frank Bird,Jr., 1970

Sumber : Dasar-Dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan di

Tempat Kerja, 2012

Selanjutnya, Bird dan Germain (1986) menjelaskan bahwa upaya

pencegahan kecelakaan akan berhasil dan efektif bila dimulai dengan

memperbaiki manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja.

Meski banyak teori-teori yang mengemukakan tentang penyebab

terjadinya kecelakaan kerja, namun secara umum penyebab kecelakaan kerja

dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a) Sebab dasar atau asal mula, yaitu faktor yang mendasari secara umum

terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Meliputi, komitmen dari

manajemen perusahaan, manusia atau para pekerjanya sendiri, dan kondisi

tempat kerja;

Page 7: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-7

b) Sebab utama, adalah faktor dan persyaratan K3 yang belum dilaksanakan

secara benar. Meliputi faktor :

Faktor manusia atau tindakan tidak aman (Unsafe Actions).

Faktor lingkungan atau kondisi tidak aman (Unsafe Conditions).

Interaksi Manusia-Mesin dan Sarana Pendukung Kerja yang Tidak

Sesuai (Unsafe Man-Mechine Interctions). (Tarwaka, 2012)

2.2.2. Pencegahan Kecelakaan Kerja

Pencegahan kecelakaan kerja pada umumnya adalah upaya untuk mencari

penyebab dari suatu kecelakaan dan bukan mencari siapa yang salah. Dengan

mengetahui dan mengenal penyebab kecelakaan makan disusun suatu rencana

pencegahannya yang pada hakekatnya adalah merupakan rumusan dari suatu

strategi bagaimana menghilangkan atau mengendalikan potensi bahaya yang

sudah diketahui.

Upaya pencegahan kecelakaan kerja yang baik adalah yaang mengandung

dan memperhatikan aspek-aspek berikut :

a) Desain pabrik. Desain pabrik harus memeperhatikan kinerja K3 bagi setiap

orang, seperti : pengaturan dan pembagian areal pabrik yang cukup aman,

dinding pemisah antara ruangan atau bangunan yang dapat menjamin dan

menghambat menjalarnya suatu kondisi yang berbahaya, penyediaan alat

pengaman;

b) Desain komponen dan peralatan pabrik. Semua komponen dan peralatan

pabrik yang digunakan harus dirancang sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan;

c) Pengoperasian dan pengendalian. Setiap pengoperasian suatu proses produksi

memerlukan sistem pengendalian proses, agar tetap aman dan selamat dalam

batas-batas yang telah ditentukan;

Page 8: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-8

d) Sistem keselamatan. Setiap proses atau instalasi memerlukan suatu sistem

pengamanan yang bentuk desainnya tergantung pada potensi bahaya dan

resiko yang ada ditempat kerja;

e) Pencegahan kesalahan manusia dan organisasi. Upaya ini meliputi : pekerjaan

yang sesuai dan mudah dikerjakan, tanda atau simbol-simbol yang jelas dan

nyata, peralatan komunikasi yang benar dan pelatihan sesuai dengan jenis

pekerjaan;

f) Pemeliharaan dan monitoring. Pemeliharaan dan monitoring yang teratur oleh

tenaga kerja yang terlatih dan berpengalaman akan menciptakan sistem

keselamatan yang baik. (Tarwaka, 2012)

2.3. Kesehatan Kerja

Berdasarkan The Joint ILO/WHO Committee On Occupational Health yang

berlaku internasional tersebut dan sesuai dengan ketentuan peraturan dalam

Undang-Undang RI No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan Kerja, maka kesehatan

kerja merupakan hubungan dua arah antara kesehatan (health) dan kerja (work)

yang mencakup aspek kesehatan dari pekerja (health of the workers) yang bersifat

medis dan aspek lingkungan kerja (Occupational Environment) yang bersifat

teknis. Kedua aspek ini secara sinergis berupaya memelihara dan meningkatkan

derajat kesehatan pekerja, mencegah dan melindungi pekerja dari resiko yang ada

di pekerjaan dan linkgungan kerja yang dapat mempengaruhi keselamatan dan

kesehatannya.

2.3.1. Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Kesehatan Kerja

Ada beberapa bahaya dilingkungan kerja yang dapat menjadi penyebab

terjadinya kecelakaan dan kesehatan kerja, yaitu :

1) Faktor Fisik

a. Kebisingan

Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan. Alat utama yang

digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan adalah sound level meter.Di

tempat kerja, tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat

Page 9: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-9

menyebabkan kerusakan pendengaran pada level diatas 85 dBA. Menurut

Suma’mur, 1996 dalam Laporan Kerja Praktek Theresia Edwina halaman 7,

seseorang yang terpapar kebisingan terus menerus dapat menyebabkan :

- Terjadi ketulian pada orang tersebut;

- Terjadi kecelakaan karena tanda peringatan dan sinyal lainnya tidak

dapat didengar;

- Berkurangnya konsentrasi dalam bekerja karena ketidaknyamanan;

- Gangguan komunikasi atau percakapan antara pekerja, sehingga terjadi

kesalahan informasi.

Intensitas kebisingan yang dianjurkan adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja.

Dasar hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Nomor 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di tempat

kerja.

Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu Pemajanan Satuan Intensitas Kebisingan dalam dBA

8 Jam 854 Jam 882 Jam 911 Jam 9430 Menit 9715 Menit 1007.5 Menit 1033.75 Menit 1061.88 Menit 1090,94 Menit 1122.12 Menit 11514.06 Menit 1185.03 Menit 1213.52 Menit 1241.76 Menit 1270.88 Menit 1300.44 Menit 1330.22 Menit 1360.11 Menit 139

Tidak boleh 140Sumber: KEP. MEN Tenaga Kerja No: KEP-51/MEN/1999

Page 10: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-10

b. Radiasi

Radiasi yang ada di tempat kerja dan mempunyai pengaruh kepada tenaga

kerja dan pekerjaannya anatara lain (Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja

Praktek Wawan Sulistyo halaman 9):

Radiasi elektromagnetis, yaitu gelombang-gelombang mikro, radiasi

laser, radiasi panas, sinar infra merah, sinar ultraviolet, sinar X dan

sinar gamma.

Radiasi radioaktif, yaitu sinar-sinar dari bahan radioaktif.

c. Getaran

Getaran (Vibrasi) adalah suatu faktor fisik yang menjalar ke tubuh manusia,

mulai dari tangan sampai ke seluruh tubuh turut bergetar akibat getaran

peralatan mekanik yang digunakan dalam tempat kerja. Getaran akan

menimbulkan rasa tidak nyaman pada manusia/pekerja dan akan

mengurangi produktifitas kerja serta gangguan faal pada tubuh manusia.

Sumber Getaran dapat berupa getaran ataupun gesekan dari mesin, sehingga

akan menimbulkan gangguan pada denyut nadi dan keseimbangan tubuh.

(Salim, 2002 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 10)

d. Cuaca Kerja

Cuaca kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara,

kecepatan gerak dan suhu radiasi. Kombinasi keempat faktor itu

dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh disebut tekanan panas. Nilai

Ambang Batas (NAB) untuk cuaca (iklim) kerja adalah 21-30oC suhu basah,

NAB ini akan dievaluasi terus menerus mengenai kecocokannya.

(Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman

12)

e. Tekanan Udara

Gejala sakit yang diakibatkan oleh rendahnya tekanan udara didasarkan atas

kurangnya oksigen dalam udara pernapasan.

Page 11: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-11

(Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman

12)

f. Penerangan atau Pencahayaan

Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek-obyek

yang dikerjakan secara jelas dan cepat, selain itu penerangan yang memadai

memberikan kesan pemandangan yang lebih baik. Sifat-sifat dari

penerangan yang baik ditentukan oleh (Suma’mur, 1994 dalam Laporan

Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 12) :

1. Pencegahan kesilauan;

2. Arah sinar;

3. Warna;

4. Panas penerangan terhadap keadaan lingkungan.

g. Bau-Bauan di Tempat Kerja

Bau-bauan adalah jenis pencemaran udara yang tidak hanya penting ditinjau

dari segi penciuman, tetapi juga higien pada umumnya. (Suma’mur, 1994

dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 12)

2) Faktor Kimia

Faktor kimia yang ada di tempat kerja yang perlu diperhatikan adalah

(Suma’mur, 1994 dalam Laporan Kerja Praktek Wawan Sulistyo halaman 13) :

a. Debu

Adanya debu dapat menyebabkan pneumoconiosis, diantaranya silicosis

karena debu silika, asbetosis karena debu asbes dan lain-lain.

b. Uap

Uap dapat menyebabkan metal fume fever, dermatis atau keracunan.

c. Gas

Gas dapat menyebabkan keracunan dan pedih mata.

d. Larutan

Larutan dapat menyebabkan dermatis.

e. Awan dan kabut

Awan dan kabut dapat menyebabkan keracunan dan mengganggu

penglihatan.

Page 12: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-12

2.4. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

Menurut PerMenaker 05 tahun 1996, Sitem Manajemen K3 adalah bagian

dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya

yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan

pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam pengendalian

resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang

aman efisien dan produktif.

Menurut OHSAS 18001:2007 OHS Management system: part of an

organization ‘s management system used to develop and implement its OH&S

Policy and manage OH&S Risks.

A management system is a set of interrelated elements used to establish policy

and objectives and to achieve those objectives.

A management system includes organizational stucture, planning activities

(including for example, risk assessment and the setting of objectives),

responsibilities, practices, procedures, process and resources.

Sistem Manajemen K3 merupakan konsep pengelolaan K3 secara sistematis

dan komprehensif dalam suatu sistem manajemen yang utuh melalui proses

perencanaan, penerapan, pengukuran dan pengawasan. Pendekatan sistem

manajemen K3 telah berkembang sejak tahun 80an yang dipelopori oleh pakar K3

seperti James Tye dari British Safety Council, Dan Petersen, Frank Birds dan

lainnya. Semua sistem manajemen K3 bertujuan untuk mengelola risiko K3 yang

ada dalam perusahaan agar kejadian yang tidak diinginkan atau dapat

menimbulkan kerugian dapat dicegah.

Dewasa ini, terdapat berbagai bentuk sistem manajemen K3 yang

dikembangkan oleh berbagai lembaga dan institusi di dalam dan di luar negeri,

antara lain:

Sistem Manajemen Five Star dari British Safety Council, UK

Dikembangkan oleh lembaga K3 di Inggris sekitar tahun 1970 dan digunakan

diberbagai perusahaan dan institusi.

Page 13: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-13

British Standard BS 8800 Guide to Occupational Health and Safety

Management System.

Merupakan standar tentang SMK3 yang diberlakukan di Inggris dan negara

lainnya.

Occupational Health and Safety (OHS) Management System, OHSA, USA.

International Safety Rating System (ISRS) dari ILCI/ DNV

Suatu sistem manajemen K3 yang dipelopori oleh ahli K3 dari USA Mr.

Frank Bird yang mengembangkan metode penilaian kinerja K3 yang disebut

ISRS.

Process Safety Management , OHSA Standard CFR 29 1910.119

Merupakan sistem manajemen K3 yang dirancang khusus untuk industri

proses beresiko tinggi seperti perminyakan dan petrokimia.

Sistem Manajemen K3 dari Depnaker RI

Sistem ini telah digunakan di Indonesia dan diimplementasikan diberbagai

perusahaan.

American Petroleum Institute : API 9100A : Model Environmental Health

and Safety (EHS) Management System

Lembaga ini mengeluarkan pedoman tentang sistem manajemen keselamatan

dan kesehatan kerja.

American Petroleum Institute: API RP 750, Management of Process Hazard.

ILO-OSH 2001 : Guideline on OHS Management System

Lembaga perburuhan dunia ini juga mengembangkan pedoman sistem

manajemen K3 yang banyak digunakan sebagai acuan oleh berbagai dana

perusahaan.

E&P Forum : Guidelines for development and Application of HSE

Management System. (Soehatman Ramli, 2010)

2.4.1. Tujuan SMK3

Berbagai tujuan Sistem Manajemen K3 dapat digolongkan sebagai berikut:

Sebagai alat ukur kinerja K3 dalam organisasi

Page 14: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-14

Sistem Manajemen K3 digunakan untuk menilai dan mengukur

kinerja penerapan K3 dalam organisasi.

Di Indonesia diberlakukan Permenaker No.5 tahun 1996 tentang audit

Sistem Manajemen K3 yang menetapkan kriteria untuk mengukur

kinerja K3 perusahaan.

Sebagai pedoman implementasi K3 dalam organisasi

Sistem manajemen K3 dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan

dalam mengembangkan sistem manajemen K3. Beberapa bentuk

sistem manajemen K3 yang digunakan sebagai acuan misalnya ILO

OHSMS Guidelines, API HSE MS Guidelines, dan lainnya.

Sebagai dasar penghargaan

Sistem manajemen K3 juga digunakan sebagai dasar untuk pemberian

penghargaan K3 atas pencapaian kinerja K3, Penghargaan K3

diberikan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh lembaga

independen lainnya.

Sebagai sertifikasi

Sistem manajemen K3 juga dapat digunakan untuk sertifikasi

penerapan manajemen K3 dalam organisasi. Sertifikasi diberikan oleh

lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh suatu badan akreditasi.

Banyaknya sistem manajemen K3 yang dikembangkan oleh berbagai

institusi tersebut, timbul kebutuhan untuk menstandarisasi sekaligus memberikan

sertifikasi atas pencapaiannya. Dari sini lahirlah sistem penilaian kinerja K3 yang

disebut OHSAS 18000 (Occupational Health and Safety Assessment Series).

OHSAS 18000 terdiri dari dua bagian yaitu OHSAS 18001 sebagai standar

atau persyaratan SMK3 dan OHSAS 18002 sebagai pedoman pengembangan dan

penerapannya. (Soehatman Ramli, 2010)

2.4.2. Proses SMK3

Page 15: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-15

Menurut OHSAS 18001, sistem manajemen merupakan suatu set elemen-

elemen yang saling terkait untuk menetapkan kebijakan dan sasaran dan untuk

mencapai objektif tersebut.

Sistem manajemen K3 terdiri dari 2 (dua) unsur pokok yaitu proses

manajemen dan elemen-elemen implementasinya. Proses SMK3 menjelaskan

bagaimana sistem manajemen tersebut dijalankan atau digerakkan. Sedangkan

elemen merupakan komponen-komponen kunci yang terintegrasi satu dengan

lainnya membentuk satu kesatuan sistem manajemen.

Elemen-elemen ini mencakup antara laian tanggung jawab, wewenang,

hubungan antar fungsi, aktivitas, proses, praktis, prosedur dan sumber daya.

Elemen ini dipakai untuk menetapkan kebijakan K3, perencanaan, objektif dan

program K3.

Proses sistem manajemen K3 menggunakan pendekatan PDCA (Plan, Do,

Check, Action) yaitu mulai dari perencanaan, penerapan, pemeriksaan dan

tindakan perbaikan. Dengan demikian, sistem manajemen K3 akan berjalan terus

menerus secara berkelanjutan selama aktivitas organisasi masih berlangsung.

Sistem Manajemen K3 dimulai dengan penetapan kebijakan K3 oleh

manajemen puncak sebagai perwujudan komitmen manajemen dalam mendukung

penerapan K3. Kebijakan K3 selanjutnya dikembangkan dalam perencanaan.

Tanpa perencanaan yang baik, proses K3 akan berjalan tanpa arah, tidak efisien

dan tidak efektif.

Berdasarkan hasil perencanaan tersebut dilanjutkan dengan penerapan dan

operasional, melalui pengerahan semua sumber daya yang ada, serta melakukan

berbagai program dan langkah pendukung untuk mencapai keberhasilan.

Secara keseluruhan, hasil penerapan K3 harus ditinjau ulang secara berkala

oleh manajemen puncak untuk memastikan bahwa SMK3 telah berjalan sesuai

dengan kebijakan dan strategi bisnis serta untuk mengetahui kendala yang dapat

mempengaruhi pelaksanaannya. (Soehatman Ramli, 2010)

Page 16: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-16

Gambar 2.3 Siklus Manajemen

Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS

18001, 2010

2.4.3. SMK3 dan OHSAS 18001

Pemerintah melalui Kepmenaker 05/1996 telah mengeluarkan pedoman

Sistem Manajemen K3 (SMK3). Semua sistem manajemen K3 mempunyai tujuan

yang sama, yaitu bagaimana mengelola dan mengendalikan bahaya yang ada

dalam operasi organisasi.

Oleh karena itu antara SMK3 (Depnaker) dengan sistem manajemen K3

lainnya (termasuk OHSAS 18001) tidak perlu dipertentangkan karena semuanya

memiliki tujuan yang sama.

Menurut UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 87, setiap

perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan

manajemen perusahaan. UU ini tidak menyebutkan SMK3 yang harus dijalankan,

yang penting adalah menerapkan SMK3 di lingkungannya.

Akan tetapi, untuk mengetahui apakah suatu organisasi telah menerapkan

SMK3 dengan baik perlu dilakukan pengawasan oleh instansi berwenang. Salah

satu mekanismenya yaitu dengan melakukan audit SMK3 melalui lembaga yang

ditunjuk pemerintah.

Hubungan SMK3 (Depnaker) dengan SMK3-OHSAS :

Penghargaan peringkat

SMK3 perusahaan

OHSAS 1800117 Elemen

Apakah telah memenuhi kriteria?

SMK3Depnaker

163 Kriteria audit SMK3

Page 17: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-17

Gambar 2.4 Pola Penerapan SMK3Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS

18001, 2009

Pada dasarnya bahwa setiap organisasi cukup memiliki satu sistem

manajemen K3 yang dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dan

lingkup operasi organisasi. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, SMK3

organisasi tersebut harus memenuhi kriteria audit SMK3 (Depnaker) yang

ditetapkan untuk organisasi kecil, sedang dan besar karena bersifat mandatory.

Selanjutnya jika organisasi menginginkan sertifikasi SMK3 yang telah dijalankan,

dapat memperolehnya melalui proses audit oleh lembaga sertifikasi salah satu

diantaranya menggunakan standar OHSAS 18001. (Soehatman Ramli, 2010)

Indonesia telah mengembangkan Sistem Manajemen K3. Berbeda dengan

OHSAS 18000 yang sistem auditnya hampir sama dengan ISO 14000 dan ISO

9000 yang diaudit oleh badan sertifikasi manapun, maka khusus untuk SMK3 di

Indonesia seperti Permenaker 05/Men/1996 yang merupakan penilaian kinerja,

hanya bisa diaudit oleh Sucofindo. Selain itu, Permenaker 05/Men/1996 memiliki

pembagian jumlah/jenis elemen untuk jenis perusahaan yang tergantung pada

besar kecil perusahaan yang bersangkutan, sedangkan persyaratan untuk OHSAS

18001 berlaku untuk semua jenis organisasi. (Rudi Suardi, 2005)

Sistem manajemen K3 diarahkan untuk mengendalikan kecelakaan kerja

dan ini jelas melengkapi konsep dalam standar manajemen modern yang juga

OHSAS 1800117 Elemen

Page 18: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-18

didukung oleh Sistem Manajemen Lingkungan, sehingga dapat memenuhi obsesi

zero delay, zero defect, zero emission, dan zero accident. (Utomo,dkk, 2002

dalam Laporan Kerja Praktek Herti Ayu Yusvalina halaman 30)

Manfaat utama yang dapat diambil dari implementasi SMK3 secara garis

besar adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap tenaga kerja

2. Meningkatkan keperdulian dan pengetahuan tenaga kerja mengenai K3

3. Menunjukkan kepatuhan melaksanakan peraturan

4. Mengetahui efektifitas, efisiensi, dan kesesuaian serta kekurangan dari

penerrapan SMK3

5. Pembentukkan sistem pengelolaan yang efektif

6. Penurunan kecelakaan dan kerugian akibat kecelakaan

7. Peningkatan perhatian manajemen puncak

8. Pengakuan terhadap kinerja SMK3 di perusahaan.

2.4.4. Kategori Penerapan SMK3 dalam Organisasi

Implementasi sistem manajemen KK3 dalam organisasi bertujuan untuk

meningkatkan kinerja K3 dengan melaksanakan upaya K3 secara efisien dan

efektif sehingga resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah atau

dikurangi.

Organisasi yang menerapkan SMK3 program implementasi tertata dalam

kerangka kesisteman yang baik sehingga hasil yang diperoleh juga baik.

Perusahaan banyak yang telah menerapkan SMK3 tetapi masih banyak kecelakaan

yang terjadi, hal ini dikarenakan kualitas penerapan SMK3 di dalam perusahaan

belum komprehensif. Penerapan SMK3 di dalam organisasi dapat dikategorikan

sebagai berikut :

SMK3 Virtual, artinya organisasi telah memiliki elemen SMK3 dan

melakukan langkah pencegahan yang baik, namun tidak memiliki sistem yang

mencerminkan bagaimana langkah pengamanan dan pengendalian resiko

dijalankan.

Page 19: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-19

SMK3 Salah Arah, artinya organisasi telah memiliki sistem manajemen K3

yang baik, tetapi salah arah dalam mengembangkan langkah pencegahan dan

pengamanan.

SMK3 Acak, artinya organisasi telah menjalankan program pengendalian dan

pencegahan resiko yang tepat sesuai dengan realita yang ada dalam

organisasi, namun tidak memiliki elemen-elemen manajemen K3 yang

diperlukan.

SMK3 Komprehensif, yaitu organisasi yang menerapkan dan megikuti proses

kesisteman yang baik.

Bentuk sistem manajemen K3 yang akan dikembangkan tergantung kepada

kondisi dan lingkup kegiatan masing-masing. OHSAS 18001 memberi

keleluasaan kepada setiap organisasi untuk mengembangkan sistem manajemen

K3 sesuai kebutuhan industrinya. (Soehatman Ramli, 2010)

2.4.5. Lingkup dan Kebijakan SMK3

Lingkup penerapan sistem manajemen K3 berbeda antara suatu organisasi

dengan lainnya yang ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:

a) Ukuran organisasi

b) Lokasi kegiatan

c) Kondisi budaya organisasi

d) Jenis aktivitas organisasi

e) Kewajiban hukum yang berlaku bagi organisasi

f) Lingkup dan bentuk SMK3 yang telah dijalankan

g) Kebijakan K3 organisasi

h) Bentuk dan jenis resiko atau bahaya yang dihadapi

OHSAS 18001 tidak mensyaratkan bagaimana lingkup penerapan K3,

tergantung kondisi dan kebijakan masing-masing organisasi. Lingkup penerapan

SMK3 dapat ditetapkan berdasarkan lokasi kegiatan, proses, atau lingkup

kegiatan. Misalnya, manajemen untuk tahap awal hanya untuk mengembangkan

Page 20: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-20

SMK3 untuk unit produksi atau pada lokasi kerja tertentu yang dinilai memiliki

resiko tinggi atau strategis.

Lingkup ini harus didokumentasikan sehingga dapat diketahui oleh semua

pihak terkait dengan penerapan SMK3.

Kebijakan merupakan persyaratan utama dalam semua sistem manajemen

seperti Manajemen Lingkungan, Manajemen Mutu dan lainnya. Kebijakan

merupakan roh dari semua sistem, yang mampu memberikan spirit dan daya gerak

untuk keberhasilan suatu usaha, karena itu OHSAS 18001 mensyaratkan

ditetapkannya kebijakan K3 dalam organisasi oleh manajemen puncak. Kebijakan

K3 (OH&S Policy) merupakan perwujudan dari komitmen pucuk pimpinan yang

memuat visi dan tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk melaksanakan

keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja.

Frank Bird dalam bukunya “Commitment”, menyebutkan bahwa komitmen

adalah niat atau tekad untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi daya dorong

yang sangat kuat untuk mencapai tujuan. Berbagai bentuk komitmen yang dapat

ditunjukkan oleh pimpinan dan manajemen dalam K3 antara lain:

Dengan memenuhi semua ketentuan K3 yang berlaku dalam organisasi.

Memasukkan isu K3 dalam setiap kesempatan, rapat manajemen dan

pertemuan lainnya.

Secara berkala dan konsisten mengkomunikasikan keinginan dan

harapannya mengenai K3 kepada semua pemangku kepentingan.

Melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan K3.

Memberikan dukungan nyata dalam bentuk sumberdaya yang

diperlukan untuk terlaksananya K3 dalam organisasi.

Memberikan keteladanan K3 yang baik dengan menjadikan K3 sebagai

bagian intergral dalam setiap kebijakan organisasi.

Suatu kebijakan K3 yang baik disyaratkan memenuhi kriteria sebagai

berikut :

Page 21: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-21

1. Sesuai dengan sifat dan skala risiko K3 organisasi. Kebijakan K3 tentu

berbeda antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, tergantung

sifat dan skala resiko K3 yang dihadapi.

2. Mencakup komitmen untuk peningkatan berkelanjutan. Aspek K3 tidak

statis karena berkembang sejalan dengan teknologi, operasi dan proses

produksi. Karena itu, kinerja K3 harus terus menerus ditingkatkan

selama organisasi beroperasi. Komitmen untuk peningkatan

berkelanjutan akan memberikan dorongan bagi semua unsur dalam

organisasi untuk terus menerus meningkatkan K3 dalam organisasi.

3. Termasuk adanya komitmen untuk sekurangnya memenuhi

perundangan K3 yang berlaku. Manajemen akan mendukung

pemenuhan semua persyaratan dan norma K3 baik yang disyaratkan

dalam perundangan maupun petunjuk praktis atau standar yang berlaku

bagi aktivitasnya.

4. Didokumentasikan, diimplementasikan dan dipelihara. Kebijakan K3

harus didokumentasikan secara tertulis sehingga dapat diketahui oleh

berbagai pihak, sedangkan implementasinya dengan menggunakan

kebijakan K3 sebagai acuan dalam setiap kebijakan organisasi,

pengembangan strategis dan rencana kerja.

5. Dikomunikasikan kepada seluruh pekerja dengan maksud agar pekerja

memahami maksud dan tujuan kebijakan K3.

6. Tersedia bagi pihak yang terkait. Kebijakan K3 harus diketahui oleh

pihak lain seperti konsumen, pemasok, instansi pemerintah, mitra bisnis

atau masyarakat sekitar.

7. Ditinjau ulang secara berkala.

Banyak organisasi yang memiliki kebijakan yang indah dan rapi, namun

kebijakan ini hanyalah berupa slogan kosong dalam pelaksanaannya dan kinerja

K3 organisasi. Pengembangan kebijakan K3 harus mempertimbangkan faktor

berikut :

1. Kebijakan dan objektif organisasi secara korporat.

Page 22: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-22

2. Resiko dan potensi bahaya yang ada dalam organisasi.

3. Peraturan dan standar K3 yang berlaku.

4. Kinerja K3.

5. Persyaratan pihak luar.

6. Peningkatan berkelanjutan.

7. Ketersediaan sumber daya.

8. Peran pekerja.

9. Partisipasi semua pihak.

(Soehatman Ramli, 2010)

2.4.6. Perencanaan SMK3

OHSAS 18001 mewajibkan organisasi untuk membuat prosedur

perencanaan. Perencanaan ini merupakan tindak lanjut dan penjabaran kebijakan

K3 yang telah ditetapkan oleh manajemen puncak dengan mempertimbangkan

hasil audit yang pernah dilakukan dan masukan dari berbagai pihak termasuk hasil

pengukuran kinerja K3. Hasil dari perencanaan ini selanjutnya menjadi masukan

dalam pelaksanaan dan operasional K3.

Perencanaan yang baik mulai dari melakukan identifikasi bahaya,

penilaian resiko dan penentuan pengendaliannya. Dalam hal tersebut, harus

dipertimbangkan berbagai persyaratan perundangan K3 yang berlaku di organisasi

tersebut.

2.4.6.1. Manajemen Resiko

Tujuan upaya K3 adalah untuk mencegah kecelakaan yang ditimbulkan

karena adanya suatu bahaya di lingkungan kerja. Karena itu pengembangan sistem

manajemen K3 harus berbasis pengendalian resiko sesuai dengan sifat dan kondisi

bahaya yang ada.

Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau

insiden yang membawa dampak terhadap manusia, peralatan, material, dan

lingkungan. Adanya bahaya dan resiko tersebut harus dikelola dan dihindarkan

melalui manajemen K3 yang baik.

Page 23: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-23

Sesuai dengan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan prosedur

mengenai Identifikasi Bahaya (Hazard Identification), Penilaian Resiko (Risk

Assessment), dan menentukan Pengendaliannya (Risk Control) atau disingkat

HIRARC. Keseluruhan proses ini juga disebut Manajemen Resiko (Risk

Management).

HIRARC merupakan elemen pokok dalam sistem manajemen K3 yang

berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya. Menurut

OHSAS 18001, HIRARC harus dilakukan oleh seluruh aktivitas organisasi untuk

menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi bahaya dan

menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

A. Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui potensi

bahaya di tempat kerja. Sejalan dengan proses manajemen resiko, OHSAS

18001 mensyaratkan prosedur identifikasi bahaya dan penilaian resiko

sebagai berikut :

1. Mencakup seluruh kegiatan organisasi baik kegiatan rutin maupun non

rutin.

2. Mencakup seluruh aktivitas individu yang memiliki akses ke tempat

kerja.

3. Perilaku manusia, kemampuan, dan faktor manusia lainnya.

4. Identifikasi semua bahaya yang berasal dari luar tempat kerja yang

menimbulkan efek terhadap kesehatan dan keselamatan manusia yang

berada di tempat kerja.

5. Mencakup seluruh infrastruktur, peralatan dan material di tempat kerja,

baik yang disediakan organisasi atau pihak lain.

Tujuan persyaratan ini adalah untuk memastikan bahwa identifikasi

bahaya dilakukan secara komprehensif dan rinci sehingga semua peluang

bahaya dapat diidentifikasikan. Organisasi harus menetapkan metode

identifikasi bahaya yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan

beberapa aspek antara lain:

1. Lingkup identifikasi bahaya yang dilakukan;

Page 24: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-24

2. Bentuk identifikasi bahaya, misalnya kualitatif atau kuantitatif;

3. Waktu pelaksanaan identifikasi bahaya.

Metode identifikasi bahaya harus bersifat proaktif atau prediktif sehingga

diharapkan dapat menjangkau seluruh bahaya baik yang nyata maupun

bersifat potensial.

Teknik identifikasi bahaya ada berbagai macam yang dapat diklasifikasikan

atas :

Teknik/ Metode Pasif

Cara ini bersifat primitif dan terlambat karena kecelakaan telah terjadi,

baru kita mengenal dan mengambil langkah pencegahan.

Teknik/ Metode Semiproaktif

Teknik ini disebut teknik belajar dari pengalaman orang lain karena kita

tidak perlu mengalaminya sendiri. Teknik ini lebih baik dari teknik

sebelumnya.

Teknik/Metode Proaktif

Metode terbaik untuk mengidentifikasi bahaya adalah cara proaktif, atau

mencari bahaya sebelum bahaya tersebut menimbulkan akibat atau

dampak yang merugikan. (Soehatman Ramli, 2010)

B. Penilaian Resiko

Penilaian resiko bertujuan untuk mengevaluasi besarnya resiko serta

skenario dampak yang akan ditimbulkannya. Penilaian resiko digunakan

sebagai langkah saringan untuk menentukan tingkat resiko ditinjau dari

kemungkinan terjadi (likelihood) dan keparahan yang dapat ditimbulkan

(severity). Ada berbagai pendekatan dalam menggambarkan kemungkinan

dan keparahan suatu resiko baik secara kualitatif, semi kuantitatif atau

kuantitatif.

Langkah berikutnya setelah resiko ditentukan adalah melakukan evaluasi

apakah resiko tersebut dapat diterima atau tidak, merujuk kepada kriteria

resiko yang berlaku atau ditetapkan oleh manajemen organisasi. Resiko yang

dapat diterima sering diistilahkan sebagai ALARP (As Low As Reasonably

Practicable), yaitu tingkat resiko terendah yang masuk akal dan dapat

Page 25: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-25

dijalankan. Untuk menentukan batas resiko yang dapat diterima (ALARP)

tidaklah mudah, namun memerlukan kajian mendalam dari berbagai aspek

seperti teknis, sosial, moral, lingkungan atau keekonomiannya misalnya

dengan melakukan cost benefit analysis. Jika pengeluaran K3 ditingkatkan,

akan baik untuk bisnis pada level tertentu. Namun jika pengeluran K3 terus

ditingkatkan, akan baik bagi kemanusiaan namun buruk dampaknya terhadap

bisnis. (Soehatman Ramli, 2010)

C. Pengendalian Resiko

Pengendalian resiko merupakan langkah menentukan dalam keseluruhan

manajemen resiko. Organisasi harus memastikan bahwa hasil penilaian

resiko dipertimbangkan dalam menetukan pengendaliannya. Berdasarkan

hasil analisa dan evaluasi resiko dapat ditentukan apakah suatu resiko dapat

diterima atau tidak. Jika resiko dapat diterima, tentunya tidak perlu tindakan

lebih lanjut. Selanjutnya dalam menentukan pengendalian harus

mempertimbangkan hirarki pengendalian mulai dari eliminasi, substitusi,

pengendalian teknis, administratif dan yang terakhir penyediaan alat

keselamatan yang disesuaikan dengan kondisi organisasi, ketersediaan

biaya, biaya operasional, faktor manusia dan lingkungan. Tindakan

pengendalian yang dapat dilakukan dengan beberapa pilihan yaitu :

Mengurangi kemungkinan (reduce likelihood)

Mengurangi keparahan (reduce consequence)

Pengalihan resiko sebagian atau seluruhnya (risk transfer)

Menghindar dari resiko (risk avoid)

Eliminasi

Substitusi

Engineering

Administratif

APD

Page 26: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-26

Gambar 2.5 Hirarki Pengendalian Bahaya

Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS

18001, 2010

1. Eliminasi

Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber

bahaya, misalnya lobang di jalan ditutup, ceceran minyak pada lantai

dibersihkan, mesin yang bising dimatikan. Cara ini sangat efektif karena

potensi resiko dapat dihilangkan. Karena itu, teknik ini menjadi pilihan

utama dalam hirarki pengendalian resiko.

2. Substitusi

Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat,

bahan, sistem atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau

lebih rendah bahayanya.

3. Pengendalian Teknis

Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang ada

di lingkungan kerja. Karena itu, pengendalian bahaya dapat dilakukan

melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan dan pemasangan

peralatan pengaman.

4. Pengendalian Administratif

Pengendalian bahaya juga dapat dilakukan secara administratif misalnya,

mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja atau prosedur kerja yang lebih

aman, rotasi atau pemeriksaan kesehatan.

5. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Page 27: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-27

Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adlah dengan memakai alat

pelindung diri misalnya, pelindung kepala, sarung tangan, masker,

pelindung kaki, respirator dan pelindung jatuh. (Soehatman Ramli, 2010)

2.4.6.2. Perundangan dan Persyaratan Lainnya

Di Indonesia banyak dikeluarkan perundangan berkaitan dengan K3.

Sebagai payung hukum adalah UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Selanjutnya pemerintah melalui departemen teknis mengeluarkan berbagai

peraturan pelaksana, misalnya ketentuan K3 yang berlaku di sektor pertambangan,

kelautan, industri kimia, kesehatan dan perkebunan, jasa konstruksi dan lainnya.

Untuk itu, OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi untuk

mengidentifikasi semua perundangan dan persyaratan K3 lainnya yang berlaku

untuk kegiatan usahanya. Selanjutnya OHSAS 18001 mensyaratkan adanya

prosedur manajemen untuk mengidentifikasi semua perundangan, peraturan atau

standar yang terkait dengan resiko yang terdapat dalam organisasi. Semua

perundangan dan persyaratan K3 harus dikomunikasikan dan disosialisasikan agar

semua pihak dalam organisasi memahami dan menjalankannya dilingkungan

masing-masing. (Soehatman Ramli, 2010)

Untuk menjaga kelangsungan bisnis perusahaan diperlukan suatu

kejelasan dalam segi hukum dan peraturan yang berlaku di masing-masing

wilayah atau daerah. Salah satu hal yang dituntut untuk mewujudkan semangat

Good Corporate Governance adalah dengan pemenuhan terhadap peraturan

(peraturan perundangan/regulasi dan standar-standar) yang terkait (Utomo. dkk,

2002).

Pentingnya hukum, peraturan dan standar perusahaan, sebagai alat

kendali untuk membantu dalam usaha mencapai sasaran pencegahan kecelakaan

dan pencemaran lingkungan, yang merupakan dampak yang ditimbulkan dari LK3

(Utomo. dkk, 2002).

Dalam memenuhi hukum, peraturan dan standar lainnya, perusahaan

harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Utomo. dkk, 2002) :

Page 28: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-28

1. Membuat daftar dampak LK3 dan lokasi yang terkena dampak dari

kegiatan operasional yang ada;

2. Memeriksa dan membuat daftar instansi yang terkait dengan kegiatan

operasional yang ada;

3. Memeriksa literatur untuk peraturan terkait dan interpretasinya;

4. Hubungan dengan badan atau instansi terkait;

5. Memeriksa daftar isi dan pembukaan setiap peraturan baru dilanjutkan

kebagian yang relevan;

6. Menganalisa mendalam kebagian peraturan yang terkait.

2.4.6.3. Objektif dan Program K3

Tanpa objektif K3 yang jelas dan terarah, implementasi SMK3 tidak akan

berhasil dengan baik. Objektif K3 harus memiliki kaitan dengan hasil identifikasi

bahaya yang telah dilakukan dan selaras dengan kebijakan organisasi serta strategi

bisnis yang dijalankan. Dalam mengembangkan objektif K3 harus

dipertimbangkan hal sebagai berikut:

a. Kebijakan organisasi secara menyeluruh, termasuk kebijakan K3;

b. Hasil identifikasi bahaya dan penilaian resiko;

c. Ketersediaan sumberdaya serta pilihan teknologi yang digunakan

dalam pencegahan kecelakaan;

d. Ketentuan perundangan yang terkait dengan bisnis organisasi;

e. Adanya partisipasi semua pihak dalam organisasi.

Objektif K3 harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Sederhana (simple);

b. Terukur (measurable);

c. Dapat dicapai (achievement);

d. Realistis (realistic);

e. Jangka waktu (time table) yang jelas dalam pencapaiannya.

Page 29: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-29

Sebagaimana halnya dengan objektif K3, program kerja K3 harus

didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada semua pihak terkait, terutama

mereka yang terlibat dalam pelaksanaannya.

2.4.7. Implementasi

2.4.7.1 Sumberdaya, Peran, Tanggung jawab dan Wewenang

Peran utama dari fungsi K3 secara garis besar adalah sebagai berikut :

1. Sebagai alat manajemen;

2. Sebagai agen pemenuhan persyaratan;

3. Sebagai konsultan keselamatan;

4. Sebagai pengendali rugi.

Tanpa sumber daya yang memadai, program K3 tidak akan berjalan

dengan baik dan efektif. Sumberdaya yang diperlukan untuk kelangsungan

program K3 mencakup sumberdaya manusia, infrastruktur organisasional,

teknologi dan finansial.

Masalah mendasar dalam penerapan K3 adalah peran dan tanggung jawab

mengenai K3 dalam organisasi. OHSAS 18001 menekankan bahwa tanggung

jawab tertinggi mengenai K3 ada di tangan manajemen puncak.

Peran dan tanggung jawab mengenai K3 harus ditetapkan secara tertulis

dan menjadi bagian integral dari uraian tugas dan jabatan masing-masing.

2.4.7.2 Kompetensi, Pelatihan dan Kepedulian

Menurut ahli K3 sebagian besar kecelakaan disebabkan atau bersumber

dari faktor manusia dengan tindakan tidak aman (unsafe act). Karena itu banyak

pendekatan K3 dikembangkan untuk mengendalikan faktor manusia tersebut.

Contohnya adalah pelatihan. Pelatihan K3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Induksi K3 yaitu pelatihan yang dilakukan sebelum seseorang mulai

bekerja, atau memasuki suatu tempat kerja;

Pelatihan khusus K3, berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya masing-

masing;

Page 30: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-30

Pelatihan K3 Umum, yaitu pelatihan yang bersifat umum dan diberikan

kepada seluruh pekerja.

Selain itu, OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi untuk memastikan

bahwa setiap individu yang menjalankan pekerjaan atau aktivitas yang memiliki

dampak K3 telah memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaannya.

Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan serta pengalaman yang

memadai dalam melakukan sesuatu tugas atau aktivitas.

Kepedulian mengenai aspek keselamatan dalam pekerjaan atau perilaku

sehari-hari merupakan landasan pembentukan budaya keselamatan (safety

culture). OHSAS 18001 mensyaratkan agar organisasi membangun dan

mengembangkan kepedulian mengenai K3 di lingkungan organisasi.

2.4.7.3 Komunikasi, Partisipasi, dan Konsultasi

Kebijakan K3 yang ditetapkan harus dikomunikasikan kepada seluruh

karyawan untuk dipahami dan dilaksanakan. Komunikasi adalah proses

penyampaian pesan dari pengirim ke penerima dengan tujuan untuk mencapai

salah satu sasaran berikut :

1. Untuk bertindak mengenai sesuatu hal;

2. Untuk menyampaikan informasi;

3. Untuk memastikan tentang sesuatu yang seharusnya dilakukan;

4. Untuk menyenangkan seseorang.

Komunikasi K3 dapat dibedakan atas :

1. Komunikasi manusia dengan manusia secara langsung;

2. Komunikasi manusia dengan manusia melalui alat/media komunikasi;

3. Komunikasi manusia dengan alat kerja.

Konsultasi dengan kontraktor, jika terdapat perubahan yang

mempengaruhi K3. Organisasi harus memastikan bahwa, jika diperlukan, pihak

eksternal yang terkait dikonsultasikan tentang permasalahan K3.

Page 31: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-31

Mengingat pentingnya partisipasi seluruh pihak, maka OHSAS 18001

mensyaratkan organisasi untuk mengembangkan, menetapkan dan menjalankan

berbagai metode atau cara untuk menggalang peran serta semua pihak dalam K3.

2.4.7.4 Dokumentasi

Dokumentasi sangat penting dalam SMK3, karena memberikan manfaat

seperti :

Memudahkan dalam mencari dokumen yang diperlukan

Memberikan kesan yang baik kepada seluruh pihak.

Banyak aspek K3 yang perlu didokumentasikan seperti proses dan

prosedur yang dijalankan dalam pengembangan SMK3. Berbeda dengan sistem

manajemen lainnya, dalam bidang K3, banyak dokumen yang bersifat long life

misalnya data atau dokumentasi mengenai kasus-kasus kecelakaan atau insiden.

Untuk memudahkan, sistem dokumentasi K3 menggunakan hirarki sebagai

berikut. Dokumen level pertama adalah Manual Manajemen Sistem. Dokumen

berikutnya adalah prosedur yang berkaitan dengan SMK3, misalnya prosedur

dokumentasi, keadaan darurat atau pelatihan. Dokumen level ketiga adalah

petunjuk kerja yang bersifat teknis tentang cara melakukan suatu aktivitas atau

pekerjaan. Dokumen level keempat adalah formulir atau daftar periksa yang

digunakan dalam SMK3.

2.4.7.5 Tanggap Darurat

Tanggap darurat merupakan elemen penting dalam SMK3, untuk

menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tujuan K3 adalah untuk

mencegah kejadian atau kecelakaan yang tidak diinginkan. Namun demikian, jika

sistem pencegahan mengalami kegagalan sehingga terjadi kecelakaan, hendaknya

keparahan atau konsekuensi yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin.

Untuk itu diperlukan sistem tanggap darurat guna mengantisipasi berbagai

kemungkinan seperti kecelakaan, kebakaran, peledakan, dan kebocoran bahan

Page 32: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-32

kimia. Pengembangan suatu sistem tanggap darurat sekurangnya meliputi elemen

sebagai berikut:

1. Kebijakan;

2. Identifikasi keadaan darurat;

3. Perencanaan awal;

4. Prosedur keadaan darurat;

5. Organisasi keadaan darurat;

6. Prasarana keadaan darurat;

7. Pembinaan dan pelatihan;

8. Komunikasi;

9. Investigasi dan sistem pelaporan;

10. Inspeksi dan audit.

Perusahaan perlu membuat rencana dalam menghadapi kecelakaan dan

kondisi bahaya/darurat yang tak terduga sebelumnya dan secara berkala menguji

rencana tersebut untuk mengusahakan agar respon yang cukup terjadi pada saat

hal-hal yang tak terduga benar-benat terjadi. Berdasarkan Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No. Per /05/ MEN /1996 tentang Sistem Manajemen K3 telah diatur

didalamnya antara lain mengenai prosedur menghadapi keadaan darurat atau

bencana. (Soehatman Ramli, 2010)

2.4.8. Pemeriksaan

Organisasi harus menetapkan, menjalankan dan memelihara prosedur

untuk memantau dan mengukur kinerja K3 secara berkala. Prosedur ini harus

memuat :

a) Pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif, sesuai dengan kebutuhan

organisasi.

b) Pemantauan sampai kepada pencapaian objektif K3.

c) Pemantauan efektivitas pengendalian.

d) Pengukuran kinerja yang bersufat proaktif.

Page 33: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-33

e) Pengukuran kinerja yang bersifat reaktif.

f) Rekaman data dan hasil pantauan.

Sebagai bagian dari siklus manajemen PDCA, pemantauan dan

pengukuran merupakan persyaratan dalam SMK3. Proses pelaksanaan SMK3

harus dipantau secara berkala untuk memastikan bahwa sistem berjalan sesuai

rencana atau telah terjadi penyimpangan yang tidak diinginkan.

Frank Bird dalam Loss Control Management System menyesuaikan tahap

pengukuran sebelum kejadian (pre contact), saat kejadian (contact), dan sesudah

kejadian (post contact).

Ketidaksesuaian dapat bersumber dari SMK3, kondisi fisik, individu,

lingkungan dan faktor non teknis lainnya. Semua ketidaksesuaian harus

diidentifikasi dan dievaluasi.

Tindakan koreksi dimaksudkan untuk mengambil langkah menghilangkan

faktor penyebab ketidaksesuaian, insiden atau kecelakaan yang ditemukan untuk

mencegah terulangnya kejadian serupa. (Soehatman Ramli, 2010)

2.4.9. Tinjauan Manajemen

OHSAS 18001 mensyaratkan untuk melakukan tinjauan manajemen secara

berkala oleh manajemen puncak. Tinjauan manajemen harus mencakup penilaian

terhadap peluang peningkatan SMK3 serta keperluan untuk merubah SMK3.

Tinjauan manajemen dilakukan secara menyeluruh dan tidak bersifat detail untuk

isu tertentu. Aspek yang dibahas dalam tinjauan manajemen antara lain:

Kesesuaian kebijakan K3 yang sedang berjalan;

Penyempurnaan objektif K3 untuk peningkatan berkelanjutan;

Kecukupan identifikasi bahaya, penilaian resiko dan proses

pengendalian bahaya;

Tingkat resiko saat ini dan efektifitas dari sistem pengendalian;

Kecukupan sumberdaya yang disediakan;

Evaluasi kecelakaan dalam kurun waktu tertentu;

Evaluasi penerapan prosedur K3;

Page 34: BAB II veli FIX BISMILLAH 2.docx

II-34

Hasil dari audit K3 baik internal maupun eksternal dan lainnya.

Dari hasil tinjauan manajemen dapat dirumuskan langkah-langkah

perbaikan dan peningkatan kinerja K3 periode berikutnya. Langkah perbaikan ini

harus konsisten dengan hasil kinerja K3, potensi resiko, kebijakan K3,

ketersediaan sumber daya manusia dan prioritas yang diinginkan. OHSAS 18001

mensyaratkan agar tinjauan manajemen dikomunikasikan dan dikonsultasikan

dengan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan SMK3.

(Soehatman Ramli, 2010)