bab ii tinjauan pustaka a . penyakit ginjal kronis

21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronis Batasan PGK menurut pedoman K/ DOQI adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus ( LFG ) (K/ DOQI, 2002). Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan akan berakhir dengan gagal ginjal, yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, dimana pada suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Pada individu dengan PGK, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai LFG, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai LFG yang lebih rendah, seperti terlihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit (K/ DOQI, 2002). Derajat Penjelasan LFG 1 2 3 4 5 Kerusakan ginjal dengan LFG normal Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat Gagal ginjal 60 - 89 30 - 59 15 - 29 < 15 / dialisa

Upload: others

Post on 25-Mar-2022

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronis

Batasan PGK menurut pedoman K/ DOQI adalah kerusakan ginjal yang

terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda

kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini juga

memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus ( LFG ) (K/

DOQI, 2002).

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis

dengan etiologi yang beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal

secara progresif dan akan berakhir dengan gagal ginjal, yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, dimana pada suatu derajat sehingga

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau

transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Pada individu dengan PGK, klasifikasi

stadium ditentukan oleh nilai LFG, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan

nilai LFG yang lebih rendah, seperti terlihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit (K/ DOQI, 2002).

Derajat Penjelasan LFG

1

2

3

4

5

Kerusakan ginjal dengan LFG normal

Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan

Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang

Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat

Gagal ginjal

60 - 89

30 - 59

15 - 29

< 15 / dialisa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id9

B. Penyakit Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis

Kematian tersering pada pasien PGK diakibatkan oleh PKV dengan

mortalitas hampir 40% hingga 50% jika disertai gangguan serebrovaskuler pada

pasien yang dilakukan dialisis reguler. Patofisiologi terjadinya PKV salah satunya

melalui aterosklerosis yang menyebabkan kerusakan vaskuler (Payson et al.,

2004). Faktor penting yang berperan pada kerusakan vaskuler pasien dengan PGK

yaitu : faktor resiko klasik dan non klasik seperti yang terpapar pada gambar 2.1

(Stinghen, 2007).

Gambar 2.1. Faktor risiko aterosklerosis pada uremia (Stinghen, 2007)

Aterosklerosis adalah penyakit progresif dan dinamis yang merupakan

kombinasi disfungsi endotel dan inflamasi (Tavares, 2011). Marker inflamasi dan

disfungsi endotel digunakan untuk mengetahui resiko pasien terhadap

perkembangan aterosklerosis. Aterosklerosis melibatkan beberapa komponen

inflamasi, remodeling dan deposit lemak vaskuler, fibrosis serta trombosis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id10

(Sarnak et al., 2003). Aterosklerosis merupakan proses proliferasi dan respon

inflamasi yang berlebihan dari proliferasi dan migrasi otot polos vaskuler,

infiltrasi sel inflamasi, neovaskularisasi, produksi matriks ekstraseluler dan

akumulasi lemak. Faktor yang berperan terhadap inflamasi pada aterosklerosis

adalah DM, dislipidemia, hipertensi, obesitas, infeksi dan juga PGK (Nolan, 2005;

Guntur 2006; Bambang, 2012 B). Pada obesitas sentral terdapat peningkatan free

fatty acid (FFA), adinopektin dan leptin. Adiponektin mengeluarkan IL-6 yang

akan merangsang sel hepatosit membuat hs-CRP. Free fatty acid akan

meningkatkan fosforilasi serin yang akan mengakibatkan peningkatan inhibition

kB (IkB) selanjutkan akan mempengaruhi transkripsi DNA pada NF-kB sehingga

terjadi ekspresi sitokin proinflamasi yaitu TNF- -6 (Guntur, 2006).

Adanya aterosklerosis pada PGK memiliki resiko yang lebih besar untuk

terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat PKV (Nolan, 2005; Bambang, 2012

A).

PGK merupakan suatu penyakit inflamasi, dimana stimulus inflamasi yang

banyak terdapat pada pasien PGK menyebabkan dilepaskannya sitokin termasuk

interleukin (IL-1, IL-6 dan TNF- ). Meningkatnya kadar TNF- terdapat pada

keadaan inflamasi akut dan kronik ( Guntur, 2008; Bambang, 2012 A).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id11

Gambar 2.2. Jalur terbentuknya sitokin proinflamasi (Guntur, 2008)

Penyakit ginjal kronis menstimulasi akumulasi toksin ureum, produksi

ROS, AGEs (Advanced Glycosylation End Products), AOPP (Advanced

Oxidation Protein Products) serta gangguan metabolisme mineral (Arici, 2001;

Tesch, 2010). Akibatnya, akan menstimulasi sitokin pro inflamasi sistemik seperti

TNF- -1 merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen serta respon

vaskuler (MCP-1, IL- -1 dan VCAM-1), yang nantinya akan

menyebabkan stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan

plak dan proses terjadinya aterosklerosis (Guntur, 2006; Cachofeiro, 2008;

Gosmanova, 2011).

Uremia pada pasien PGK yang menjalani dialisis, diduga menyebabkan

peningkatan kadar sitokin (Himmerfarb et al., 2002). Indoxyl sulfat merupakan

salah satu molekul toksin uremik yang dapat menginduksi stres oksidatif pada sel

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id12

tubulus, sel mesangial, sel otot polos vaskuler, sel endotel dan osteoblas yang

akan menyebabkan terjadinya kalsifikasi pada pembuluh darah, meningkatkan

progresivitas PGK, PKV dan osteodistrofi (Niwa, 2010; Silverstein, 2009). Proses

dialisis pun turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi sitokin.

Tetapi dengan dialisis yang rutin dan jangka panjang akan terjadi penurunan

jumlah sitokin secara bermakna bila dibanding dengan pasien PGK yang hanya

diterapi konservatif (Malaponte, 2002). Pasien dengan hiperuremia kronis yang

disebabkan baik oleh faktor-faktor renal maupun non renal, faktor-faktor risiko

penyakit jantung dan aterosklerosis saling mempengaruhi sebagai komorbiditas

(Arici, 2001).

Gambar 2.3. Mekanisme penyakit kardiovaskuler dan disfungsi endotel pada penyakit ginjal kronis (William, 2012).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id13

C. Penyakit Ginjal Kronis dan Disfungsi Endotel

Komplikasi kardiovaskuler pada PGK didasari aterosklerosis ditandai

adanya disfungsi endotel secara dini. Endotelium adalah selapis sel yang

membatasi lumen interior diding pembuluh darah yang berfungsi sangat kompleks

sebagai regulator homeostasis vaskuler. Endotel berfungsi mengatur tonus dan

menghasilkan suatu molekul yang disebut sebagai endothelium derived relaxing

factor (EDRF) yang identik dengan mediator vasoaktif yang dikenal sebagai nitric

oxide (NO) (Gosmanova, 2011; Bambang, 2012 B). Nitric oxide endogen

disintesis dari metabolisme L-arginine, suatu asam amino esensial menjadi L-

citruline dibantu oleh enzim endothelial NO synthase (eNOS). Disfungsi endotel

ditandai dengan penurunan bioavailabilitas produksi NO endotel yang dihasilkan

NO synthase (NOS). Disfungsi endotel dapat menyebabkan peningkatan

vasokonstriktor dan atau penurunan vasodilator (Montesa et al., 2009; Bambang,

2012 B).

Endotel mengeluarkan substansi khusus yang secara garis besar dibagi

menjadi 2 golongan yaitu endothelium derived relaxing factors (EDRFs) dan

endothelium derived contracting factors (EDCFs). Substansi yang dikeluarkan

endotel dijabarkan dalam tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Substansi yang dikeluarkan endotel (Deanfield et al., 2007)

Vasodilator Nitric oxide, prostasiklin, endothelium derived hyperpolarizing

factor(EDHF), bradikinin, adrenomedulin, C-natriuretic

peptide

Vasokonstriktor Endotelin-1, angiotensin-II, tromboksan A2, radikal oksigen,

prostaglandin H2

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id14

Antitrombotik Nitric oxide, prostasiklin, plasminogen activator, protein C,

tissue factor inhibitor

Protrombotik Endotelin-1, radikal oksigen, plasminogen activator inhibitor-

1, von Willebrand factor, tromboksan A2, fibrinogen, tissue

factor

Nitric oxide merupakan faktor terpenting yang memelihara fungsi

vaskuler dan mempunyai sifat anti aterogenik seperti menghambat proliferasi otot

polos vaskuler, menghambat agregasi ptatelet dan mencegah thrombosis. Jika

terjadi salah satu gangguan fungsi pada endotel disebut sebagai disfungsi endotel (

Deanfield et al., 2007; Bambang, 2012 B). Disfungsi endotel dapat menyebabkan

peningkatan vasokonstriktor dan atau penurunan vasodilator (Montesa et al.,

2009; Bambang, 2012 B). Gangguan pada endotel atau jalur pembentukan NO

akan mengganggu tonus dan struktur pembuluh darah di seluruh tubuh dan juga

menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang berhubungan erat dengan PKV

(Mysliwiec , 2004; Gosmanova, 2011).

D. Evaluasi Disfungsi Endotel pada Penyakit Ginjal Kronis

Identifikasi adanya disfungsi endotel awalnya hanya berdasarkan gangguan

vasodilatasi tetapi saat ini istilah tersebut meluas tidak hanya terbatas pada

vasodilatasi tetapi juga status proinflamasi dan protrombik. Belum ada uji tunggal

dan menjadi standard penilaian disfungsi endotel in vivo (Sitia et al., 2010).

Endotel meregulasi beberapa fungsi vaskuler dan penilaian terhadap fungsi-fungsi

tersebut merupakan cara yang potensial untuk menilai integritas vaskuler.

Pendekatan yang sering dilakukan untuk mengevaluasi disfungsi endotel adalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id15

dengan melakukan pengukuran aliran darah dan reaktivitas vaskuler (Celermajer,

2008; Ellins, 2011; Innaba et al., 2010).

Teknik pengukuran disfungsi endotel non invasif meliputi ultrasonografi

FMD, pulse wave analysis (PWA) atau pulse contour analysis (PCA), magnetic

resonance imaging (MRI), flowmetri laser Doppler serta pulse amplitudo

tonometry (PAT). Ultrasonografi FMD arteri brachialis merupakan metode yang

paling banyak digunakan baik pada penelitian skala kecil maupun besar pada

pediatrik dan dewasa serta telah digunakan sebagai gold standard di berbagai

negara (Celermajer et al., 1994; Celermajer, 2008; Ellins, 2011). Pengukuran

FMD menggunakan USG dinilai lebih murah, mudah dan dapat dilakukan dalam

skala besar (Celermajer et al., 1994; Al-Qaisi et al., 2008).

Penanda disfungsi endotel pada PGK secara biokimiawi yang banyak

digunakan saat ini tetapi tidak rutin dikerjakan, hanya terbatas digunakan dalam

penelitian adalah inhibitor NOS yaitu asymmetric dimethylarginin (ADMA)

Asymmetric dimethylarginin merupakan hasil dari metilasi postranskripsi L-

arginin oleh protein arginine methyltranferases (PRMTs) (Chhabra, 2009;

Landim et al., 2009). Asymmetric dimethylarginine juga menunjukkan korelasi

terbalik dengan FMD arteri brachialis pada pasien dengan proteinuria (Martens,

2011). Selain ADMA, disfungsi endotel dapat diukur menggunakan NO, soluble

vasculer adhesion molecule diantaranya adalah vascular cell adhesion molecule

(VCAM), intracelluler adhesion molecule (ICAM), endothelin-1 (ET-1), kadar

dan marker koagulasi dan fibrinolisis seperti plasminogen activator inhibitor-1

(PAI-1), faktor von Willebrand dan marker inflamasi seperti C reactive protein

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id16

(CRP), interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)- hnol et

al., 2007; Zocali et al., 2003).

Identifikasi dan kuantifikasi circulating endothelial cells (CECs) merupakan

penemuan baru saat ini dan teknik tersebut berkorelasi dengan marker fungsi

endotel yang lain seperti FMD, faktor von Willebrand dan aktivator plasminogen

jaringan (Deanfield et al., 2007). Secara garis besar gambar 2.4 menunjukkan

pendekatan terhadap evaluasi fungsi endotel (Chhabra, 2009).

Gambar 2.4 Pendekatan evaluasi disfungsi endotel. USG=ultrasonografi, FMD=flow mediated dilatation,MRI=magnetic resonance imaging, PWA=pulse wave analysis, PAT=pulse amplitude tonometry, PCA=pulse contour analysis, PAI=plasminogen activator inhibitor, TNF=tumornecrosis factor, IL=interleukin (Chhabra, 2009)

Evaluasi fungsi endotel

Aliran darah Reaktivitas vaskuler Marker aktivasi endotel

Metode non invasif(USG, MRI, PWA,

PAT, PCA)

Metode invasif(angiografi)

Endothelial dependent vasodilator

Endothelial independent vasodilator

Marker koagulasi dan fibrinolitik (PAI-1,

faktor von Willebrand)

Marker inflamasi(CRP, IL-1, IL-6, TNF-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id17

E. Flow Mediated Dilatation (FMD)

Peran endothelium dalam berbagai proses patologi dan fisiologi sangat

besar, meliputi regulasi tonus otot polos, mengontrol thrombosis, menghambat

adhesi lekosit dan trombosit serta meningkatkan permeabilitas intra arteri.

Beberapa substansi vasoaktif yang dilepaskan endotel melipuri prostasiklin,

endotelin, endothelial growth factors (ECGF), interleukin, inhibitor plasminogen,

dan NO yang merupakan mediator vasodilatasi utama (Inaba et al., 2010;

Deanfield et al., 2007). Selama 30 tahun NO telah diteliti dan penurunan

bioavailabilitas NO bersinonim dengan keadaan yang disebut disfungsi endotel.

Aterosklerosis dapat disebabkan disfungsi endotel. Endotel merupakan lapisan sel

tunggal yang memisahkan dinding vaskuler dari sirkulasi. Gangguan terhadap

lapisan sel tersebut terjadi pada awal pathogenesis PKV. Pemeriksaan FMD

merupakan alat standar untuk menilai disfungsi endotel (Reriani, 2010; Moreno et

al., 2011). FMD dinyatakan sebagai prosentase perubahan reaktivitas diameter

dinding pembuluh darah bagian dalam dibanding baseline sebelum diberikan

rangsangan shear-stress stimulus yang merupakan representasi aktifitas NO,

dengan demikian FMD sering dianggap sebagai index bioavailabilitas NO.

Penurunan FMD merupakan penanda awal terjadinya aterosklerosis dan telah

dipercaya kapasitasnya untuk memprediksi kemungkinan terjadinya PKV dimasa

depan (Celermajer, 2008; Padilla et al., 2008).

Pada tahun 1994 Celermajer menemukan teknik FMD sebagai metode non

invasif untuk mengukur fungsi endotel. Penilaian FMD menggunakan USG

sebagai respon terhadap oklusi yang menginduksi hiperemia telah ditetapkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id18

sebagai pengukuran fungsi endotel yang dapat dipercaya, non invasif dan dapat

dikorelasikan dengan penilaian fungsi endotel secara invasif. Dalam istilah

popular, FMD dideskripsikan sebagai vasodilatasi arteri yang disebabkan

peningkatan aliran darah didalam lumen dan shear stress dinding internal

(Celermajer, 2008; Thijssen et al., 2011).

Gambar 2.5. Shear stress yang menghasilkan NO dan efek relaksasi pada sel otot polos (Coretti et al., 2002).

Flow mediated dilatation diukur menggunakan peralatan ultrasonografi

Doppler, panjang gelombang optimal probe 7-14 Mhz, sudut pengambilan gambar

60 derajat (Coretti et al., 2002; Deanfield et al., 2007).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id19

Gambar 2.6. Hasil USG arteri brachialis saat baseline (A) dan 1 menit setelah rangsang hiperemia (B) (Ryan et al., 2010).

Penghitungan FMD sebagai prosentase perubahan diameter puncak

sebagai respon terhadap hiperemia reaktif dibandingkan diameter baseline dan

dihitung menggunakan rumus (Harris et al., 2009) :

FMD (%) = diameter puncak-diameter baseline x 100%diameter baseline

Pemeriksaan FMD arteri brachialis bermanfaat untuk mengukur NO yang

terikat fungsi endotel. Secara kasar, FMD dapat dipakai sebagai prediktor awal

faktor risiko kardiovaskuler sejak dini dan lebih dominan kearah faktor risiko non

tradisional, juga dapat digunakan untuk mengevaluasi pemberian terapi.

Keunggulan lainnya, FMD bersifat non invasif, murah, mudah, dapat dilakukan

dengan alat USG sederhana (Al-Qaisi et al., 2008, Moreno, 2011).

F. Malondialdehida (MDA) sebagai Biomarker Stres Oksidatif

Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat pendek sehingga sulit

diukur dalam laboratorium. Kerusakan jaringan lipid akibat ROS dapat diperiksa

dengan mengukur senyawa MDA yang merupakan produk peroksidasi lipid.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id20

Malondialdehida (MDA) adalah salah satu hasil akhir dari peroksidasi lipid dan

telah lama digunakan untuk menunjukkan peningkatan stres oksidatif pada CKD

(Abdollahzad, 2009).

Gambar 2.7. Skema pembentukan malondialdehida. (Christie, 2012).

Mekanisme pembentukan MDA berasal dari asam lemak tak jenuh ganda jenis

linoleat yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap, sangat rentan terhadap

oksidasi oleh ROS atau molekul reaktif lainnya. Molekul ini menarik atom

hidrogen dari ikatan rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal

peroksi lipid. Radikal ini kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh

lainnya membentuk hidroperoksida lipid dan radikal peroksi lipid yang baru,

yang kemudian meneruskan reaksi oksidasi terhadap lipid lainnya yang dikenal

dengan auto-oksidasi lipid (Christie, 2012). Malondialdehida mampu bereaksi

lebih jauh dibandingkan F2-isoprostan dan menyebabkan percampuran protein

dan DNA sehingga kadar MDA harus diiterpretasikan dengan hati-hati.

Malondialdehida bersama dengan produk lipid peroksidase lain seperti 4-

hydroxyalkenals, adalah substansi reaktif asam barbiturat (TBARS). Ekstraksi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id21

kromatografi cairan MDA dari plasma dianggap sebagai suatu alat pengukuran

stres oksidatif yang dapat dipercaya (Miler et al., 2006., Christie, 2012).

Produksi ROS secara tidak langsung dinilai dengan kadar peroksidasi

lipid. Pengukuran kadar MDA serum dapat dilakukan melalui tes thiobarbituric

acid-reactive subtance (TBARS). Dasar pemeriksaan adalah reaksi

spektrofotometrik sederhana, dimana satu molekul MDA akan terpecah menjadi 2

molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-3. Thiobarbituric

acid akan memberikan warna pink-chromogen yang dapat diperiksa secara

spektrofotometrik (Miler et al., 2006)

Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk karena proses

peroksidasi lipid juga mengukur produk aldehid lainnya termasuk produk non-

volatil yang terjadi akibat panas yang ditimbulkan pada saat pengukuran kadar

MDA serum yang sebenarnya. Kadar MDA mempunyai rentang standard antara

0.250 - yang dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin

(Olayaki et al., 2008).

Meskipun F2 isoprostan juga merupakan marker stres oksidasi seperti

halnya MDA, namun MDA terbentuk lebih dahulu baru kemudian F2 isoprostan.

Kondisi ini diduga menjadi penyebab adanya perbedaan keeratan hubungan antara

kadar F2 isoprostan dan kadar MDA dengan jumlah sel busa pada perkembangan

awal aterosklerosis (Jung, 2004., Miler et al., 2006).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id22

G. Antioksidan pada Penyakit Ginjal Kronik

Antioksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak

negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam dalam

meredam dampak negatif oksidan. Fungsi antioksidan adalah mencegah

terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan

menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat

peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Pencegahan stres oksidatif

pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis difokuskan pada perbaikan

hemokompatibiliti sistem dialisis, suplementasi antioksidan dan modulasi

NADPH oksidase (Oberg et al., 2004; Singer, 2010).

Mekanisme pertahanan antioksidan pada pasien hemodialisis sangat lemah

disebabkan berbagai gangguan. Defisiensi vitamin C terjadi karena pembatasan

diet buah dan sayuran segar untuk menghindari resiko hiperkalemia serta

kehilangan vitamin C selama proses dialisis. Berat molekul vitamin C yang

rendah dan kelarutannya yang tinggi di dalam air sehingga vitamin C mudah

hilang saat dialisis. Defisiensi vitamin C pada pasien hemodialisis bukan hanya

pada kuantitasnya tetapi juga kualitas (Adly, 2010).

1. Vitamin C sebagai Antioksidan

Asam askorbat atau vitamin C adalah suatu monosakarida, termasuk

antioksidan larut air yang ditemukan pada berbagai jenis sayuran dan buah-

buahan yang sering mengalami kerusakan dalam proses pemasakan sampai

sedikitnya setengah dari kandungan vitamin C-nya. Salah satu enzim yang

diperlukan untuk membuat asam askorbat yaitu gulanolactone oxidase telah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id23

hilang oleh mutasi selama evolusi manusia, karena itu asam askorbat harus

diperoleh dari makanan dan vitamin. Asam askorbat berarti asam antiskorbut atau

no-scurvy acid. Istilah vitamin C sebenarnya tidak hanya digunakan untuk L-asam

askorbat (bentuk tereduksi) tetapi juga bentuk teroksidasinya, dehydroascorbic

acid (Kim et al., 2002). Oksidasi bolak balik L-asam askorbat menjadi L-asam

dehidroaskorbat terjadi bila bersentuhan dengan tembaga, panas atau alkali.

Kedua bentuk vitamin C aktif secara biologik tetapi bentuk tereduksi adalah yang

paling aktif dan banyak terdapat dalam keadaan normal (80%) dari vitamin C

dalam sirkulasi dan bentuk teroksidasi yang meningkat dalam kedaan patologis.

Oksidasi lebih lanjut L-asam dehidroaskorbat menghasilkan asam diketo L-

gulonat dan oksalat yang tidak dapat direduksi kembali yang berarti telah

kehilangan sifat antiskorbutnya (Davies, 1991., Langlois et al., 2001).

Gambar 2.8. Struktur Molekul Vitamin C (Langlois et al., 2001)

Di dalam tubuh manusia vitamin C memiliki banyak fungsi tetapi fungsi

yang paling penting dari vitamin ini adalah kemampuannya untuk bertindak

sebagai katalis redoks dan kofaktor dalam banyak reaksi dan proses biokimia

tubuh manusia. Fungsi utama asam askorbat adalah bertindak sebagai pembersih

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24

radikal bebas dengan menemukan molekul radikal bebas dalam darah dan

kemudian menyumbang elektron agar molekul menjadi stabil dan tidak reaktif.

Sebagai antioksidan, vitamin C bertindak sebagai donor elektron untuk

menghentikan reaksi meluas yang disebabkan oleh kehadiran radikal bebas seperti

hidroksil dan superoksida (Iqbal et al., 2004). Vitamin C menangkap secara

efektif radikal superoksida maupun singlet oksigen dan memutuskan rantai radikal

yang dihasilkan melalui peroksidase lipid. Asam askorbat itu sendiri teroksidasi

selama proses dan bentuk semi dehidroaskorbat yang merupakan radikal tetapi

tidak reaktif dan tidak kuat dan tidak mengurangi oksidasi. Dua askorbil radikal

dapat bergabung membentuk satu molekul askorbat dan salah satu dari

dehidroaskorbat. Bentuk yang teroksidasi dehidroaskorbat tidak stabil dan lebih

lanjut rusak membentuk oksalat dan asam treonik (Padayatty et al., 2003).

Vitamin C merupakan protektor (antioksidan) yang secara terus menerus

akan bertindak sebagai scavenger terhadap radikal bebas yang terbentuk sehingga

dimungkinkan tidak terjadi gangguan keutuhan dan fungsi sel. Vitamin C

merupakan antioksidan non enzimatik yang mudah larut dalam air sehingga

vitamin ini terdapat dicairan extra seluler. Vitamin C mempunyai sifat polaritas

yang tinggi karena banyak mengandung gugus hidroksil sehingga membuat

vitamin ini akan mudah diubah tubuh. Oleh karena itu vitamin C dapat bereaksi

dengan radikal bebas yang bersifat aqueous dan mampu menetralisir radikal bebas

(Bjelakovic G et al., 2007).

Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga

mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25

dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam

bentuk nonheme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C

berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati.

Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada

dalam bentuk larutan (Bor-yann et al., 2006). Vitamin C juga terlibat dalam

biosintesis kortikosteroid dan aldosteron, konversi kolesterol menjadi asam

empedu, dan metabolisme tirosin (Iqbal et al., 2004).

2. Pengaruh Vitamin C terhadap Penyakit Ginjal Kronik

Bila ada lebih banyak radikal bebas dalam tubuh manusia dari antioksidan,

kondisi ini disebut stres oksidatif dan memiliki dampak memperberat penyakit

ginjal kronis. Orang-orang mengalami stres oksidatif memiliki kadar askorbat

lebih rendah dari 45,0 mmol/ L, dibandingkan dengan individu sehat yang

berkisar antara 61,4-80 mmol/ L (Bjelakovic et al., 2007; Kim et al., 2002)

Singer tahun 2011 menyatakan dalam penelitiannya bahwa pemberian

vitamin C oral 250 mg 3 kali/minggu pasca hemodialisis selama 2 bulan terbukti

tidak merubah kadar stres oksidatif dan marker inflamasi pada pasien PGK

dengan hemodialisis (Singer, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Khosroshashi

tahun 2011 menyatakan bahwa pemberian vitamin C intravena 500 mg 2

kali/minggu setelah dialisis selama 2 bulan dapat menurunkan kadar CRP dan

TNF- emiliki

efek sebagai antioksidan juga dapat berperan sebagai antiinflamasi (Khosroshashi

et al., 2011). Pemberian vitamin C selama 3 bulan pada pasien hemodialisis secara

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26

intravena 1000 mg 3 kali/minggu menurunkan kadar stres oksidatif dan

memperbaiki vasodilatasi terikat NO ( Ting et al., 2009).

Gambar 2.9. Antioksidan menghambat sitokin proinflamasi (Guntur, 2008)

Vitamin C sebagai antioksidan berperan sebagai inhibitor terhadap Inhibitor

kinase (IKK) sehingga aktifasi nucleus factor (NF ) terhambat akibatnya

terjadi penurunan jumlah sitokin proinflamasi diantaranya IL-6 dan TNF-

tampak pada gambar 2.7. TNF- memicu terjadinya stres

oksidatif (Guntur, 2008; Carcamo, 2004). Vitamin C dapat memperbaiki disfungsi

endotel dengan cara merubah kembali BH4 teroksidasi menjadi kondisi tak

teroksidasi yang akan menormalkan produksi NO. Vitamin C dapat mencegah

oksidasi BH4 oleh ROS dengan bereaksi sebagai penangkap ROS atau dapat

secara langsung mengurangi hasil antara yang teroksidasi seperti BH3 (Alph N.,

2004; DuPont et al., 2011).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27

Gambar 2.10. Vitamin C ( asam ascorbat) mengurangi degradasi BH4 menjadi BH3 yang bersifat radikal bebas (Alph N. 2004).

Mekanisme vitamin C sebagai antioksidan yang mencegah penurunan NO

diantaranya (May JM., 2000) :

1. Vitamin C menginduksi penurunan oksidasi LDL.

2. Menangkap superoksid intraselluler.

3. Meningkatkan pelepasan NO dari sirkulasi.

4. Mereduksi secara langsung nitrite menjadi NO.

5. Mengaktivasi NO synthase.

.3. Angka kecukupan gizi dan kebutuhan vitamin C

Angka kecukupan gizi untuk vitamin C pada pria dewasa sehat adalah 90

mg/ hari dan wanita dewasa 75 mg/ hari. Angka kecukupan gizi ini tergantung

kebutuhan tubuh seseorang juga dipengaruhi jenis kelamin, berat badan, tinggi

badan, aktivitas fisik dan stres, tetapi tidak terlalu jauh dari 100 mg/ hari untuk

vitamin C. Kebutuhan vitamin C setiap hari sangat berfluktuasi, tergantung

kondisi tubuh. Apabila kekebalan tubuh sedang rendah, maka diperlukan vitamin

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28

C dosis tinggi. Angka kecukupan gizi tersebut berdasarkan kadar vitamin C

hampir maksimal pada neutrofil (leukosit) dengan ekskresi urin minimal.

Kebutuhan vitamin C juga meningkat pada saat operasi atau luka bakar karena

jaringan yang hilang lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kolagen

yang dihasilkan untuk mengganti jaringan yang hilang tersebut (Hamrick, 2008).

Tahun 1999 RDA telah menyetujui meningkatkan dosis vitamin C menjadi 120

mg/hari pada kasus-kasus tertentu untuk mengurangi risiko PKV dan kanker.

Dosis vitamin C yang lebih tinggi (500 mg/hari) dibutuhkan untuk mencapai

target penurunan tekanan darah dan vasodilatasi (Kim et al., 2002).

Penyakit ginjal kronis membutuhkan vitamin C lebih dari AKG dewasa

normal hanya belum ada patokan yang pasti mengenai dosis vitamin C yang

direkomendasikan untuk pasien PGK dengan dialisis (Montesa et al., 2009).

Pemberian vitamin C oral 1-1,5 gram/minggu atau parenteral 300 mg/sesi dialisis

direkomendasikan untuk mengganti defisiensi vitamin C meskipun hal tersebut

belum menjadi patokan. Batas maksimum yang diizinkan untuk mengkonsumsi

vitamin C adalah 1000 mg/ hari (Adly, 2010).