bab ii tinjauan pustaka a . penyakit ginjal kronis
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronis
Batasan PGK menurut pedoman K/ DOQI adalah kerusakan ginjal yang
terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda
kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini juga
memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus ( LFG ) (K/
DOQI, 2002).
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
secara progresif dan akan berakhir dengan gagal ginjal, yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, dimana pada suatu derajat sehingga
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Pada individu dengan PGK, klasifikasi
stadium ditentukan oleh nilai LFG, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai LFG yang lebih rendah, seperti terlihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit (K/ DOQI, 2002).
Derajat Penjelasan LFG
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat
Gagal ginjal
60 - 89
30 - 59
15 - 29
< 15 / dialisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id9
B. Penyakit Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis
Kematian tersering pada pasien PGK diakibatkan oleh PKV dengan
mortalitas hampir 40% hingga 50% jika disertai gangguan serebrovaskuler pada
pasien yang dilakukan dialisis reguler. Patofisiologi terjadinya PKV salah satunya
melalui aterosklerosis yang menyebabkan kerusakan vaskuler (Payson et al.,
2004). Faktor penting yang berperan pada kerusakan vaskuler pasien dengan PGK
yaitu : faktor resiko klasik dan non klasik seperti yang terpapar pada gambar 2.1
(Stinghen, 2007).
Gambar 2.1. Faktor risiko aterosklerosis pada uremia (Stinghen, 2007)
Aterosklerosis adalah penyakit progresif dan dinamis yang merupakan
kombinasi disfungsi endotel dan inflamasi (Tavares, 2011). Marker inflamasi dan
disfungsi endotel digunakan untuk mengetahui resiko pasien terhadap
perkembangan aterosklerosis. Aterosklerosis melibatkan beberapa komponen
inflamasi, remodeling dan deposit lemak vaskuler, fibrosis serta trombosis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id10
(Sarnak et al., 2003). Aterosklerosis merupakan proses proliferasi dan respon
inflamasi yang berlebihan dari proliferasi dan migrasi otot polos vaskuler,
infiltrasi sel inflamasi, neovaskularisasi, produksi matriks ekstraseluler dan
akumulasi lemak. Faktor yang berperan terhadap inflamasi pada aterosklerosis
adalah DM, dislipidemia, hipertensi, obesitas, infeksi dan juga PGK (Nolan, 2005;
Guntur 2006; Bambang, 2012 B). Pada obesitas sentral terdapat peningkatan free
fatty acid (FFA), adinopektin dan leptin. Adiponektin mengeluarkan IL-6 yang
akan merangsang sel hepatosit membuat hs-CRP. Free fatty acid akan
meningkatkan fosforilasi serin yang akan mengakibatkan peningkatan inhibition
kB (IkB) selanjutkan akan mempengaruhi transkripsi DNA pada NF-kB sehingga
terjadi ekspresi sitokin proinflamasi yaitu TNF- -6 (Guntur, 2006).
Adanya aterosklerosis pada PGK memiliki resiko yang lebih besar untuk
terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat PKV (Nolan, 2005; Bambang, 2012
A).
PGK merupakan suatu penyakit inflamasi, dimana stimulus inflamasi yang
banyak terdapat pada pasien PGK menyebabkan dilepaskannya sitokin termasuk
interleukin (IL-1, IL-6 dan TNF- ). Meningkatnya kadar TNF- terdapat pada
keadaan inflamasi akut dan kronik ( Guntur, 2008; Bambang, 2012 A).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id11
Gambar 2.2. Jalur terbentuknya sitokin proinflamasi (Guntur, 2008)
Penyakit ginjal kronis menstimulasi akumulasi toksin ureum, produksi
ROS, AGEs (Advanced Glycosylation End Products), AOPP (Advanced
Oxidation Protein Products) serta gangguan metabolisme mineral (Arici, 2001;
Tesch, 2010). Akibatnya, akan menstimulasi sitokin pro inflamasi sistemik seperti
TNF- -1 merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen serta respon
vaskuler (MCP-1, IL- -1 dan VCAM-1), yang nantinya akan
menyebabkan stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan
plak dan proses terjadinya aterosklerosis (Guntur, 2006; Cachofeiro, 2008;
Gosmanova, 2011).
Uremia pada pasien PGK yang menjalani dialisis, diduga menyebabkan
peningkatan kadar sitokin (Himmerfarb et al., 2002). Indoxyl sulfat merupakan
salah satu molekul toksin uremik yang dapat menginduksi stres oksidatif pada sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id12
tubulus, sel mesangial, sel otot polos vaskuler, sel endotel dan osteoblas yang
akan menyebabkan terjadinya kalsifikasi pada pembuluh darah, meningkatkan
progresivitas PGK, PKV dan osteodistrofi (Niwa, 2010; Silverstein, 2009). Proses
dialisis pun turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi sitokin.
Tetapi dengan dialisis yang rutin dan jangka panjang akan terjadi penurunan
jumlah sitokin secara bermakna bila dibanding dengan pasien PGK yang hanya
diterapi konservatif (Malaponte, 2002). Pasien dengan hiperuremia kronis yang
disebabkan baik oleh faktor-faktor renal maupun non renal, faktor-faktor risiko
penyakit jantung dan aterosklerosis saling mempengaruhi sebagai komorbiditas
(Arici, 2001).
Gambar 2.3. Mekanisme penyakit kardiovaskuler dan disfungsi endotel pada penyakit ginjal kronis (William, 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id13
C. Penyakit Ginjal Kronis dan Disfungsi Endotel
Komplikasi kardiovaskuler pada PGK didasari aterosklerosis ditandai
adanya disfungsi endotel secara dini. Endotelium adalah selapis sel yang
membatasi lumen interior diding pembuluh darah yang berfungsi sangat kompleks
sebagai regulator homeostasis vaskuler. Endotel berfungsi mengatur tonus dan
menghasilkan suatu molekul yang disebut sebagai endothelium derived relaxing
factor (EDRF) yang identik dengan mediator vasoaktif yang dikenal sebagai nitric
oxide (NO) (Gosmanova, 2011; Bambang, 2012 B). Nitric oxide endogen
disintesis dari metabolisme L-arginine, suatu asam amino esensial menjadi L-
citruline dibantu oleh enzim endothelial NO synthase (eNOS). Disfungsi endotel
ditandai dengan penurunan bioavailabilitas produksi NO endotel yang dihasilkan
NO synthase (NOS). Disfungsi endotel dapat menyebabkan peningkatan
vasokonstriktor dan atau penurunan vasodilator (Montesa et al., 2009; Bambang,
2012 B).
Endotel mengeluarkan substansi khusus yang secara garis besar dibagi
menjadi 2 golongan yaitu endothelium derived relaxing factors (EDRFs) dan
endothelium derived contracting factors (EDCFs). Substansi yang dikeluarkan
endotel dijabarkan dalam tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Substansi yang dikeluarkan endotel (Deanfield et al., 2007)
Vasodilator Nitric oxide, prostasiklin, endothelium derived hyperpolarizing
factor(EDHF), bradikinin, adrenomedulin, C-natriuretic
peptide
Vasokonstriktor Endotelin-1, angiotensin-II, tromboksan A2, radikal oksigen,
prostaglandin H2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id14
Antitrombotik Nitric oxide, prostasiklin, plasminogen activator, protein C,
tissue factor inhibitor
Protrombotik Endotelin-1, radikal oksigen, plasminogen activator inhibitor-
1, von Willebrand factor, tromboksan A2, fibrinogen, tissue
factor
Nitric oxide merupakan faktor terpenting yang memelihara fungsi
vaskuler dan mempunyai sifat anti aterogenik seperti menghambat proliferasi otot
polos vaskuler, menghambat agregasi ptatelet dan mencegah thrombosis. Jika
terjadi salah satu gangguan fungsi pada endotel disebut sebagai disfungsi endotel (
Deanfield et al., 2007; Bambang, 2012 B). Disfungsi endotel dapat menyebabkan
peningkatan vasokonstriktor dan atau penurunan vasodilator (Montesa et al.,
2009; Bambang, 2012 B). Gangguan pada endotel atau jalur pembentukan NO
akan mengganggu tonus dan struktur pembuluh darah di seluruh tubuh dan juga
menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang berhubungan erat dengan PKV
(Mysliwiec , 2004; Gosmanova, 2011).
D. Evaluasi Disfungsi Endotel pada Penyakit Ginjal Kronis
Identifikasi adanya disfungsi endotel awalnya hanya berdasarkan gangguan
vasodilatasi tetapi saat ini istilah tersebut meluas tidak hanya terbatas pada
vasodilatasi tetapi juga status proinflamasi dan protrombik. Belum ada uji tunggal
dan menjadi standard penilaian disfungsi endotel in vivo (Sitia et al., 2010).
Endotel meregulasi beberapa fungsi vaskuler dan penilaian terhadap fungsi-fungsi
tersebut merupakan cara yang potensial untuk menilai integritas vaskuler.
Pendekatan yang sering dilakukan untuk mengevaluasi disfungsi endotel adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id15
dengan melakukan pengukuran aliran darah dan reaktivitas vaskuler (Celermajer,
2008; Ellins, 2011; Innaba et al., 2010).
Teknik pengukuran disfungsi endotel non invasif meliputi ultrasonografi
FMD, pulse wave analysis (PWA) atau pulse contour analysis (PCA), magnetic
resonance imaging (MRI), flowmetri laser Doppler serta pulse amplitudo
tonometry (PAT). Ultrasonografi FMD arteri brachialis merupakan metode yang
paling banyak digunakan baik pada penelitian skala kecil maupun besar pada
pediatrik dan dewasa serta telah digunakan sebagai gold standard di berbagai
negara (Celermajer et al., 1994; Celermajer, 2008; Ellins, 2011). Pengukuran
FMD menggunakan USG dinilai lebih murah, mudah dan dapat dilakukan dalam
skala besar (Celermajer et al., 1994; Al-Qaisi et al., 2008).
Penanda disfungsi endotel pada PGK secara biokimiawi yang banyak
digunakan saat ini tetapi tidak rutin dikerjakan, hanya terbatas digunakan dalam
penelitian adalah inhibitor NOS yaitu asymmetric dimethylarginin (ADMA)
Asymmetric dimethylarginin merupakan hasil dari metilasi postranskripsi L-
arginin oleh protein arginine methyltranferases (PRMTs) (Chhabra, 2009;
Landim et al., 2009). Asymmetric dimethylarginine juga menunjukkan korelasi
terbalik dengan FMD arteri brachialis pada pasien dengan proteinuria (Martens,
2011). Selain ADMA, disfungsi endotel dapat diukur menggunakan NO, soluble
vasculer adhesion molecule diantaranya adalah vascular cell adhesion molecule
(VCAM), intracelluler adhesion molecule (ICAM), endothelin-1 (ET-1), kadar
dan marker koagulasi dan fibrinolisis seperti plasminogen activator inhibitor-1
(PAI-1), faktor von Willebrand dan marker inflamasi seperti C reactive protein
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id16
(CRP), interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)- hnol et
al., 2007; Zocali et al., 2003).
Identifikasi dan kuantifikasi circulating endothelial cells (CECs) merupakan
penemuan baru saat ini dan teknik tersebut berkorelasi dengan marker fungsi
endotel yang lain seperti FMD, faktor von Willebrand dan aktivator plasminogen
jaringan (Deanfield et al., 2007). Secara garis besar gambar 2.4 menunjukkan
pendekatan terhadap evaluasi fungsi endotel (Chhabra, 2009).
Gambar 2.4 Pendekatan evaluasi disfungsi endotel. USG=ultrasonografi, FMD=flow mediated dilatation,MRI=magnetic resonance imaging, PWA=pulse wave analysis, PAT=pulse amplitude tonometry, PCA=pulse contour analysis, PAI=plasminogen activator inhibitor, TNF=tumornecrosis factor, IL=interleukin (Chhabra, 2009)
Evaluasi fungsi endotel
Aliran darah Reaktivitas vaskuler Marker aktivasi endotel
Metode non invasif(USG, MRI, PWA,
PAT, PCA)
Metode invasif(angiografi)
Endothelial dependent vasodilator
Endothelial independent vasodilator
Marker koagulasi dan fibrinolitik (PAI-1,
faktor von Willebrand)
Marker inflamasi(CRP, IL-1, IL-6, TNF-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id17
E. Flow Mediated Dilatation (FMD)
Peran endothelium dalam berbagai proses patologi dan fisiologi sangat
besar, meliputi regulasi tonus otot polos, mengontrol thrombosis, menghambat
adhesi lekosit dan trombosit serta meningkatkan permeabilitas intra arteri.
Beberapa substansi vasoaktif yang dilepaskan endotel melipuri prostasiklin,
endotelin, endothelial growth factors (ECGF), interleukin, inhibitor plasminogen,
dan NO yang merupakan mediator vasodilatasi utama (Inaba et al., 2010;
Deanfield et al., 2007). Selama 30 tahun NO telah diteliti dan penurunan
bioavailabilitas NO bersinonim dengan keadaan yang disebut disfungsi endotel.
Aterosklerosis dapat disebabkan disfungsi endotel. Endotel merupakan lapisan sel
tunggal yang memisahkan dinding vaskuler dari sirkulasi. Gangguan terhadap
lapisan sel tersebut terjadi pada awal pathogenesis PKV. Pemeriksaan FMD
merupakan alat standar untuk menilai disfungsi endotel (Reriani, 2010; Moreno et
al., 2011). FMD dinyatakan sebagai prosentase perubahan reaktivitas diameter
dinding pembuluh darah bagian dalam dibanding baseline sebelum diberikan
rangsangan shear-stress stimulus yang merupakan representasi aktifitas NO,
dengan demikian FMD sering dianggap sebagai index bioavailabilitas NO.
Penurunan FMD merupakan penanda awal terjadinya aterosklerosis dan telah
dipercaya kapasitasnya untuk memprediksi kemungkinan terjadinya PKV dimasa
depan (Celermajer, 2008; Padilla et al., 2008).
Pada tahun 1994 Celermajer menemukan teknik FMD sebagai metode non
invasif untuk mengukur fungsi endotel. Penilaian FMD menggunakan USG
sebagai respon terhadap oklusi yang menginduksi hiperemia telah ditetapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id18
sebagai pengukuran fungsi endotel yang dapat dipercaya, non invasif dan dapat
dikorelasikan dengan penilaian fungsi endotel secara invasif. Dalam istilah
popular, FMD dideskripsikan sebagai vasodilatasi arteri yang disebabkan
peningkatan aliran darah didalam lumen dan shear stress dinding internal
(Celermajer, 2008; Thijssen et al., 2011).
Gambar 2.5. Shear stress yang menghasilkan NO dan efek relaksasi pada sel otot polos (Coretti et al., 2002).
Flow mediated dilatation diukur menggunakan peralatan ultrasonografi
Doppler, panjang gelombang optimal probe 7-14 Mhz, sudut pengambilan gambar
60 derajat (Coretti et al., 2002; Deanfield et al., 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id19
Gambar 2.6. Hasil USG arteri brachialis saat baseline (A) dan 1 menit setelah rangsang hiperemia (B) (Ryan et al., 2010).
Penghitungan FMD sebagai prosentase perubahan diameter puncak
sebagai respon terhadap hiperemia reaktif dibandingkan diameter baseline dan
dihitung menggunakan rumus (Harris et al., 2009) :
FMD (%) = diameter puncak-diameter baseline x 100%diameter baseline
Pemeriksaan FMD arteri brachialis bermanfaat untuk mengukur NO yang
terikat fungsi endotel. Secara kasar, FMD dapat dipakai sebagai prediktor awal
faktor risiko kardiovaskuler sejak dini dan lebih dominan kearah faktor risiko non
tradisional, juga dapat digunakan untuk mengevaluasi pemberian terapi.
Keunggulan lainnya, FMD bersifat non invasif, murah, mudah, dapat dilakukan
dengan alat USG sederhana (Al-Qaisi et al., 2008, Moreno, 2011).
F. Malondialdehida (MDA) sebagai Biomarker Stres Oksidatif
Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat pendek sehingga sulit
diukur dalam laboratorium. Kerusakan jaringan lipid akibat ROS dapat diperiksa
dengan mengukur senyawa MDA yang merupakan produk peroksidasi lipid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id20
Malondialdehida (MDA) adalah salah satu hasil akhir dari peroksidasi lipid dan
telah lama digunakan untuk menunjukkan peningkatan stres oksidatif pada CKD
(Abdollahzad, 2009).
Gambar 2.7. Skema pembentukan malondialdehida. (Christie, 2012).
Mekanisme pembentukan MDA berasal dari asam lemak tak jenuh ganda jenis
linoleat yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap, sangat rentan terhadap
oksidasi oleh ROS atau molekul reaktif lainnya. Molekul ini menarik atom
hidrogen dari ikatan rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal
peroksi lipid. Radikal ini kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh
lainnya membentuk hidroperoksida lipid dan radikal peroksi lipid yang baru,
yang kemudian meneruskan reaksi oksidasi terhadap lipid lainnya yang dikenal
dengan auto-oksidasi lipid (Christie, 2012). Malondialdehida mampu bereaksi
lebih jauh dibandingkan F2-isoprostan dan menyebabkan percampuran protein
dan DNA sehingga kadar MDA harus diiterpretasikan dengan hati-hati.
Malondialdehida bersama dengan produk lipid peroksidase lain seperti 4-
hydroxyalkenals, adalah substansi reaktif asam barbiturat (TBARS). Ekstraksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id21
kromatografi cairan MDA dari plasma dianggap sebagai suatu alat pengukuran
stres oksidatif yang dapat dipercaya (Miler et al., 2006., Christie, 2012).
Produksi ROS secara tidak langsung dinilai dengan kadar peroksidasi
lipid. Pengukuran kadar MDA serum dapat dilakukan melalui tes thiobarbituric
acid-reactive subtance (TBARS). Dasar pemeriksaan adalah reaksi
spektrofotometrik sederhana, dimana satu molekul MDA akan terpecah menjadi 2
molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-3. Thiobarbituric
acid akan memberikan warna pink-chromogen yang dapat diperiksa secara
spektrofotometrik (Miler et al., 2006)
Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk karena proses
peroksidasi lipid juga mengukur produk aldehid lainnya termasuk produk non-
volatil yang terjadi akibat panas yang ditimbulkan pada saat pengukuran kadar
MDA serum yang sebenarnya. Kadar MDA mempunyai rentang standard antara
0.250 - yang dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin
(Olayaki et al., 2008).
Meskipun F2 isoprostan juga merupakan marker stres oksidasi seperti
halnya MDA, namun MDA terbentuk lebih dahulu baru kemudian F2 isoprostan.
Kondisi ini diduga menjadi penyebab adanya perbedaan keeratan hubungan antara
kadar F2 isoprostan dan kadar MDA dengan jumlah sel busa pada perkembangan
awal aterosklerosis (Jung, 2004., Miler et al., 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id22
G. Antioksidan pada Penyakit Ginjal Kronik
Antioksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak
negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam dalam
meredam dampak negatif oksidan. Fungsi antioksidan adalah mencegah
terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan
menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat
peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Pencegahan stres oksidatif
pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis difokuskan pada perbaikan
hemokompatibiliti sistem dialisis, suplementasi antioksidan dan modulasi
NADPH oksidase (Oberg et al., 2004; Singer, 2010).
Mekanisme pertahanan antioksidan pada pasien hemodialisis sangat lemah
disebabkan berbagai gangguan. Defisiensi vitamin C terjadi karena pembatasan
diet buah dan sayuran segar untuk menghindari resiko hiperkalemia serta
kehilangan vitamin C selama proses dialisis. Berat molekul vitamin C yang
rendah dan kelarutannya yang tinggi di dalam air sehingga vitamin C mudah
hilang saat dialisis. Defisiensi vitamin C pada pasien hemodialisis bukan hanya
pada kuantitasnya tetapi juga kualitas (Adly, 2010).
1. Vitamin C sebagai Antioksidan
Asam askorbat atau vitamin C adalah suatu monosakarida, termasuk
antioksidan larut air yang ditemukan pada berbagai jenis sayuran dan buah-
buahan yang sering mengalami kerusakan dalam proses pemasakan sampai
sedikitnya setengah dari kandungan vitamin C-nya. Salah satu enzim yang
diperlukan untuk membuat asam askorbat yaitu gulanolactone oxidase telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id23
hilang oleh mutasi selama evolusi manusia, karena itu asam askorbat harus
diperoleh dari makanan dan vitamin. Asam askorbat berarti asam antiskorbut atau
no-scurvy acid. Istilah vitamin C sebenarnya tidak hanya digunakan untuk L-asam
askorbat (bentuk tereduksi) tetapi juga bentuk teroksidasinya, dehydroascorbic
acid (Kim et al., 2002). Oksidasi bolak balik L-asam askorbat menjadi L-asam
dehidroaskorbat terjadi bila bersentuhan dengan tembaga, panas atau alkali.
Kedua bentuk vitamin C aktif secara biologik tetapi bentuk tereduksi adalah yang
paling aktif dan banyak terdapat dalam keadaan normal (80%) dari vitamin C
dalam sirkulasi dan bentuk teroksidasi yang meningkat dalam kedaan patologis.
Oksidasi lebih lanjut L-asam dehidroaskorbat menghasilkan asam diketo L-
gulonat dan oksalat yang tidak dapat direduksi kembali yang berarti telah
kehilangan sifat antiskorbutnya (Davies, 1991., Langlois et al., 2001).
Gambar 2.8. Struktur Molekul Vitamin C (Langlois et al., 2001)
Di dalam tubuh manusia vitamin C memiliki banyak fungsi tetapi fungsi
yang paling penting dari vitamin ini adalah kemampuannya untuk bertindak
sebagai katalis redoks dan kofaktor dalam banyak reaksi dan proses biokimia
tubuh manusia. Fungsi utama asam askorbat adalah bertindak sebagai pembersih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24
radikal bebas dengan menemukan molekul radikal bebas dalam darah dan
kemudian menyumbang elektron agar molekul menjadi stabil dan tidak reaktif.
Sebagai antioksidan, vitamin C bertindak sebagai donor elektron untuk
menghentikan reaksi meluas yang disebabkan oleh kehadiran radikal bebas seperti
hidroksil dan superoksida (Iqbal et al., 2004). Vitamin C menangkap secara
efektif radikal superoksida maupun singlet oksigen dan memutuskan rantai radikal
yang dihasilkan melalui peroksidase lipid. Asam askorbat itu sendiri teroksidasi
selama proses dan bentuk semi dehidroaskorbat yang merupakan radikal tetapi
tidak reaktif dan tidak kuat dan tidak mengurangi oksidasi. Dua askorbil radikal
dapat bergabung membentuk satu molekul askorbat dan salah satu dari
dehidroaskorbat. Bentuk yang teroksidasi dehidroaskorbat tidak stabil dan lebih
lanjut rusak membentuk oksalat dan asam treonik (Padayatty et al., 2003).
Vitamin C merupakan protektor (antioksidan) yang secara terus menerus
akan bertindak sebagai scavenger terhadap radikal bebas yang terbentuk sehingga
dimungkinkan tidak terjadi gangguan keutuhan dan fungsi sel. Vitamin C
merupakan antioksidan non enzimatik yang mudah larut dalam air sehingga
vitamin ini terdapat dicairan extra seluler. Vitamin C mempunyai sifat polaritas
yang tinggi karena banyak mengandung gugus hidroksil sehingga membuat
vitamin ini akan mudah diubah tubuh. Oleh karena itu vitamin C dapat bereaksi
dengan radikal bebas yang bersifat aqueous dan mampu menetralisir radikal bebas
(Bjelakovic G et al., 2007).
Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga
mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25
dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam
bentuk nonheme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C
berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati.
Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada
dalam bentuk larutan (Bor-yann et al., 2006). Vitamin C juga terlibat dalam
biosintesis kortikosteroid dan aldosteron, konversi kolesterol menjadi asam
empedu, dan metabolisme tirosin (Iqbal et al., 2004).
2. Pengaruh Vitamin C terhadap Penyakit Ginjal Kronik
Bila ada lebih banyak radikal bebas dalam tubuh manusia dari antioksidan,
kondisi ini disebut stres oksidatif dan memiliki dampak memperberat penyakit
ginjal kronis. Orang-orang mengalami stres oksidatif memiliki kadar askorbat
lebih rendah dari 45,0 mmol/ L, dibandingkan dengan individu sehat yang
berkisar antara 61,4-80 mmol/ L (Bjelakovic et al., 2007; Kim et al., 2002)
Singer tahun 2011 menyatakan dalam penelitiannya bahwa pemberian
vitamin C oral 250 mg 3 kali/minggu pasca hemodialisis selama 2 bulan terbukti
tidak merubah kadar stres oksidatif dan marker inflamasi pada pasien PGK
dengan hemodialisis (Singer, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Khosroshashi
tahun 2011 menyatakan bahwa pemberian vitamin C intravena 500 mg 2
kali/minggu setelah dialisis selama 2 bulan dapat menurunkan kadar CRP dan
TNF- emiliki
efek sebagai antioksidan juga dapat berperan sebagai antiinflamasi (Khosroshashi
et al., 2011). Pemberian vitamin C selama 3 bulan pada pasien hemodialisis secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26
intravena 1000 mg 3 kali/minggu menurunkan kadar stres oksidatif dan
memperbaiki vasodilatasi terikat NO ( Ting et al., 2009).
Gambar 2.9. Antioksidan menghambat sitokin proinflamasi (Guntur, 2008)
Vitamin C sebagai antioksidan berperan sebagai inhibitor terhadap Inhibitor
kinase (IKK) sehingga aktifasi nucleus factor (NF ) terhambat akibatnya
terjadi penurunan jumlah sitokin proinflamasi diantaranya IL-6 dan TNF-
tampak pada gambar 2.7. TNF- memicu terjadinya stres
oksidatif (Guntur, 2008; Carcamo, 2004). Vitamin C dapat memperbaiki disfungsi
endotel dengan cara merubah kembali BH4 teroksidasi menjadi kondisi tak
teroksidasi yang akan menormalkan produksi NO. Vitamin C dapat mencegah
oksidasi BH4 oleh ROS dengan bereaksi sebagai penangkap ROS atau dapat
secara langsung mengurangi hasil antara yang teroksidasi seperti BH3 (Alph N.,
2004; DuPont et al., 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27
Gambar 2.10. Vitamin C ( asam ascorbat) mengurangi degradasi BH4 menjadi BH3 yang bersifat radikal bebas (Alph N. 2004).
Mekanisme vitamin C sebagai antioksidan yang mencegah penurunan NO
diantaranya (May JM., 2000) :
1. Vitamin C menginduksi penurunan oksidasi LDL.
2. Menangkap superoksid intraselluler.
3. Meningkatkan pelepasan NO dari sirkulasi.
4. Mereduksi secara langsung nitrite menjadi NO.
5. Mengaktivasi NO synthase.
.3. Angka kecukupan gizi dan kebutuhan vitamin C
Angka kecukupan gizi untuk vitamin C pada pria dewasa sehat adalah 90
mg/ hari dan wanita dewasa 75 mg/ hari. Angka kecukupan gizi ini tergantung
kebutuhan tubuh seseorang juga dipengaruhi jenis kelamin, berat badan, tinggi
badan, aktivitas fisik dan stres, tetapi tidak terlalu jauh dari 100 mg/ hari untuk
vitamin C. Kebutuhan vitamin C setiap hari sangat berfluktuasi, tergantung
kondisi tubuh. Apabila kekebalan tubuh sedang rendah, maka diperlukan vitamin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28
C dosis tinggi. Angka kecukupan gizi tersebut berdasarkan kadar vitamin C
hampir maksimal pada neutrofil (leukosit) dengan ekskresi urin minimal.
Kebutuhan vitamin C juga meningkat pada saat operasi atau luka bakar karena
jaringan yang hilang lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kolagen
yang dihasilkan untuk mengganti jaringan yang hilang tersebut (Hamrick, 2008).
Tahun 1999 RDA telah menyetujui meningkatkan dosis vitamin C menjadi 120
mg/hari pada kasus-kasus tertentu untuk mengurangi risiko PKV dan kanker.
Dosis vitamin C yang lebih tinggi (500 mg/hari) dibutuhkan untuk mencapai
target penurunan tekanan darah dan vasodilatasi (Kim et al., 2002).
Penyakit ginjal kronis membutuhkan vitamin C lebih dari AKG dewasa
normal hanya belum ada patokan yang pasti mengenai dosis vitamin C yang
direkomendasikan untuk pasien PGK dengan dialisis (Montesa et al., 2009).
Pemberian vitamin C oral 1-1,5 gram/minggu atau parenteral 300 mg/sesi dialisis
direkomendasikan untuk mengganti defisiensi vitamin C meskipun hal tersebut
belum menjadi patokan. Batas maksimum yang diizinkan untuk mengkonsumsi
vitamin C adalah 1000 mg/ hari (Adly, 2010).